BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Karakteristik Penderita Gangguan Jiwa Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Gangguan Jiwa

  Jiwa atau mental berasal dari bahasa latin yaitu : mens dan mentis yang artinya jiwa, sukma, nyawa, roh, dan semangat (Notosoedirjo, 2005). Gangguan jiwa adalah gangguan secara psikologis atau perilaku yang terjadi pada seseorang, umumnya terkait dengan gangguan afektif, perilaku, kognitif dan persepsi (Salan & Gunawan, 2005).

  Gangguan jiwa merupakan bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental (kesehatan mental), disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan mental terhadap stimulus eksternal dan ketegangan- ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu bagian satu organ atau sistem kejiwaan (Kartono, 2011) Jadi gangguan jiwa itu merupakan totalitas kesatuan dari ekspresi mental yang patologis terhadap stimulus sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab lainnya.

  Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna- guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005).

  Adapun hal yang penting untuk mengetahui apakah seseorang tersebut terkena gangguan jiwa adalah dengan mengenal ciri-ciri tingkah laku sehat atau normal seperti : bertingkah laku menurut norma-norma sosial yang diakui, mampu mengelola emosi, mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki, dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial, dapat mengenali risiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menentukan tingkah lakunya, mampu menunda keinginan sesaat yang berakibat buruk dalam mencapai tujuan jangka panjang, dan mampu belajar dari pengalaman (Siswanto, 2007).

2.2 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

  Adapun tanda dan gejala gangguan jiwa adalah sebagai berikut (Surya, 2011).

  1. Gangguan kognitif adalah gangguan dimana seseorang individu tidak dapat menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan dalam maupun lingkungan luar.

  2. Gangguan Perhatian adalah gangguan pemusatan dan konsentrasi energi, dalam suatu proses kognitif yang timbul dari luar akibat suatu rangsangan

3. Gangguan ingatan adalah gangguan dalam kesanggupan untuk mencari, menyimpan, atau memproduksi isi dan tanda-tanda kesadaran.

  4. Gangguan pertimbangan adalah gangguan dalam membandingkan/menilai pilihan dalam suatu kerangka kerja untuk memberikan nilai-nilai dalam memutuskan maksud dan tujuan dari suatu aktivitas.

  5. Gangguan kesadaran adalah gangguan dalam kemampuan seseorang untuk mengadakan hubungan dengan lingkungan, serta dirinya melalui panca indera.

  6. Gangguan kemauan adalah gangguan dalam proses keinginan-keinginan dipertimbangkan untuk dilaksanakan.

  7. Gangguan emosi adalah gangguan dalam mengendalikan emosi.

  8. Gangguan psikomotor adalah gangguan pada gerakan tubuh yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa, seperti aktivitas yang meningkat dan aktivitas yang menurun.

2.3 Penggolongan Gangguan Jiwa

  Penggolongan gangguan jiwa menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) di Indonesia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI).

  1. Gangguan mental organik

  2. Gangguan Mental dan perilaku akibat penggunaan zat NAPZA

  3. Skizofrenia, ganggan skizotipal dan gangguan waham

  4. Gangguan suasana perasaan (Mood)

  5. Gangguan somatoform

  6. Sindrom Tingkah laku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik

  7. Gangguan Kepribadian dan perilaku masa dewasa

  8. Retardasi Mental

  9. Gangguan perkembangan psikologis

  10.Gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa kanak dan remaja

2.4 Gangguan Mental dan Perilaku Penyalahgunaan NAPZA

2.4.1 NAPZA dan Jenis-Jenisnya

  NAPZA adalah Narkotika, Psikotropika, dan Zat-zat Adiktif. Menu Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

  Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Dalam

  United Nation Conference for Adoption of Protocol on Psychotropic Substance

  disebutkan batasan-batasan zat psikotropika yaitu bahan yang dapat mengakibatkan keadaan ketergantungan, depresi, dan stimulant sistem sarap Pusat (SSP), menyebabkan halusinasi, menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi.

  Zat Adiktif adalah bahan-bahan aktif atau obat yang dalam organisme hidup menimbulkan kerja biologi yang apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) yakni keinginan menggunakan kembali secara terus menerus. Penggunaan zat adiktif antara lain akan menimbulkan efek seperti merusak otak, memperlambat kerja sistem saraf pusat, memperlambat refleks motorik, serta dapat menyebabkan kematian akibat berhentinya pernafasan dan gangguan pada jantung (Dalami, dkk 2009) Jenis-Jenis NAPZA yang disalahgunakan adalah sebagai berikut.

1.Narkotika

  a. Heroin

  Heroin atau diasetilmorfin adalah obat semi sintetik dengan kerja analgetis yang 2 kali lebih kuat tetapi mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali sehingga tidak digunakan dalam terapi. Pertama kali ditemukan digunakan untuk penekan dan melegakan batuk (antitusif) dan penghilang rasa sakit, menekan aktivitas depresi dalam sistem saraf, melegakan nafas dan jantung, juga membesarkan pembuluh darah dan memberikan kehangatan serta melancarkan pencernaan.

  Akibat pemakaian heroin adalah ketergantungan fisik dan psikis seperti narkotika yang lain, juga dapat menyebabkan euphoria, badan terasa sakit, mual dan muntah, mengantuk, dan konstipasi.

  b. Kokain/Cocain

  Pada tahun 1880, Sigmund Freud membaca sebuah laporan seorang dokter tentara Jerman yang memberikan kokain kepada pasukan Bavaria yang akan melakukan suatu gerakan operasi. Hasilnya luar biasa, pasukan tersebuh memperlihatkan peningkatan energi dan daya tahan yang benar-benar hebat (Hamzah, 1994).

  Kokain memacu jantung, meningkatkan tekanan darah dan suhu badan, juga menghambat perasaan lapar serta menurunkan perasaan letih dan kebutuhan tidur.

  Penyalahgunaan kokain yang dihisap melalui hidung menimbulkan euphoria tetapi disusul segera oleh depresi berat yang menimbulkan keinginan untuk menggunakannya lagi dalam dosis yang semakin besar dan menyebabkan ketergantungan psikis yang kuat dan toleransi untuk efek sentral. Pada keadaan kelebihan dosis timbul eksitasi,kesadaran menurun, pernafasan tidak teratur, tremor, pupil melebar, nadi bertambah cepat, suhu badan naik, rasa cemas dan ketakutan, serta kematian biasanya disebabkan pernafasan berhenti.

c. Mariyuana Ganja/Kanabis

  Nama jalanan yang sering digunakan adalah : grass, cimeng, ganja, gelek, hasish, dan bhang. Marijuana berasal dari tanaman kanabis sativa dan kanabis indica. Pada tanaman ganja terkandung tiga zat utama yaitu : tetrehidro, kanabinol, dan kanabidio. Efek rasa dari Kanabis tergolong cepat, si pemakai: cenderung merasa lebih santai, rasa gembira berlebih (euphoria), sering berfantasi (Ardani, 2011).

  Mariyuana memberikan efek tergantung pada potensi dan ukuran dosisnya. Dosis besar dilaporkan menimbulkan berbagai perubahan cepat dalam emosi, perhatian yang menumpul, pikiran yang terpecah, dan melemahnya memori. Dosis yang sangat besar kadang menimbulkan halusinasi dan berbagai efek lain yang sama dengan efek LSD termasuk kepanikan ekstrim, yang kadang muncul dari keyakinan bahwa pengalaman yang menakutkan tersebut tidak akan pernah berakhir (Davidson G, 2006).

  Menurut Penelitian Ilmiah Marijuana Research Findings pada tahun 1980 mengindikasikan bahwa mariyuana menghambat banyak fungsi kognitif. Sejumlah tes yang mengganti angka-angka dengan simbol, tes waktu reaksi, menghapal serangkaian deretan angka dari depan dan dari belakang, penghitungan aritmatik, tes pemahaman bacaan dan berbicara, -mengungkap kelemahan intelektual pada mereka yang berada didalam pengaruh mariyuana (Davidson G, 2006).

  Mariyuana juga memberikan efek somatik. Efek somatik jangka pendek mariyuana mencakup mata yang memerah dan gatal, mulut dan kerongkongan kering, nafsu makan meningkat, berkurangnya tekanan pada mata, dan meningkatkan tekanan darah. Penggunan mariyuana dalam waktu lama secara serius merusak struktur dan fungsi paru-paru karena mariyuana mengandung zat karsinogen (Davidson G, 2006).

d. Morfin

  Morfin merupakan hasil olahan dari opium/candu yang menimbulkan efek stimulasi sistem saraf pusat (SSP) seperti miosis (penciutan pupil mata), mual, muntah-muntah, eksitasi dan konvulsi. Pada pemakaian yang teratur, morfin dengan cepat menimbulkan toleransi dan ketergantungan yang cepat. Morfin menekan pusat pernafasan yang terletak pada batang otak sehingga menyebabkan pernafasan terhambat yang menyebabkan kematian (Tjah dan Rahaja, 2002).

  Sifat morfin yang lainnya adalah dapat menimbulkan kejang abdominal, mata merah, dan gatal terutama disekitar hidung yang disebabkan terlepasnya histamine dalam sirkulasi darah dan konstipasi. Pemakai morfin akan merasa mulutnya kering, seluruh tubuh hangat, anggota badan terasa berat, dan euphoria (Davidson G, 2006).

e. Kodein

  Kodein termasuk turunan dari candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih dan cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.

2. PSIKOTROPIKA

a. Amfetamin (Amphetamine)

  Amfetamin pada awal 1930 sebagai inhaler untuk melegakan hidung tersumbat dan kemudian diresepkan oleh para dokter untuk mengendalikan depresi ringan. Amfetamin seperti Benzedrin, Deksedrin, dan Methedrin menghasilkan efeknya dengan menyebabkan pelepasan norepinefrin dan dopamin dan menghambat pengembalian kedua neorotransmiter tersebut. Obat-obatan tersebut dapat ditelan atau disuntikkan dan dapat menyebabkan kecanduan. Keterjagaan meningkat, fungsi-fungsi pencernaan dihambat, dan nafsu makan berkurang-oleh karena itu obat ini digunakan untuk diet. Denyut jantung semakin cepat, dan pembuluh darah dikulit serta selaput lendir mengalami penyempitan. Individu yang bersangkutan menjadi terjaga, euforik, dan bersemangat serta dirasuki oleh energi yang seolah tanpa batas dan rasa percaya diri (Davidson G, 2006).

  Dosis yang lebih besar dapat membuat pengguna menjadi gugup, mudah terpancing, dan bingung sehingga ia dapat mengalami gemetar, sakit kepala, pusing dan tidak dapat tidur. Terkadang para pengguna berat menjadi sangat dipenuhi rasa curiga dan bersikap bermusuhan sehingga ia dapat membahayakan orang lain (Davidson G, 2006).

b. Ecstasy

  Ecstasy pada tahun 1914 dipasarkan sebagai obat penekan nafsu

  makan. Pada tahun 1970-an, obat ini digunakan di Amerika Serikat sebagai obat tambahan pada psikoterapi dan kemudian dilarang pada tahun 1985. Sekarang ini ecstasy banyak digunakan oleh para pecandu di banyak negara termasuk Indonesia terutama oleh para remaja dan kalangan eksekutif di tempat-tempat hiburan sehingga disebut juga party drug atau dance drug (Tjah & Rahaja, 2002).

  Ecstasy saat ini dikenal dengan nama lain yaitu: huge drug, yuppie

  

drug, essence, clarity, butterfly , dan lain-lain. Penggunaan Ecstasy dapat

  menimbulkan kerusakan otak yang permanen dan kematian (Dalami, dkk 2009).

  Daya kerjanya agak singkat (4-6 jam) dan bekerja berdasarkan gangguan re-uptake dari serotonin di otak yang berperan penting pada suasana hati, proses berfikir, makan, dan tidur. Obat-obat Ecstasy mempunyai efek kerja serotonergik dan dopaminergenik pada sistem saraf pusat dan adakalanya dicampur dengan obat-obatan lain dengan tujuan memperkuat efeknya yaitu rasa senang yang berlebih atau eforia (Tjah & Rahaja, 2002).

  Karena ecstasy dibuat dari bahan dasar amfetamin, maka efek yang ditimbulkan juga mirip, seperti mulut kering, jantung berdenyut lebih cepat, berkeringat, mata kabur, demam tinggi, ketakutan, sulit konsentrasi, dan seluruh otot nyeri (Sasangka, 2003).

c. Shabu

  Nama Shabu adalah nama julukan terhadap zat metamfetamin yang mempunyai sifat stimulansia lebih kuat dibanding turunan amphetamine yang lain. Nama lainnya adalah Ice, Crystal, dan Crank. Cara penggunaannya adalah dibakar dengan menggunakan kertas aluminium foil dan asapnya dihisap, atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus (Ardiani, 2011).

  Penggunaan zat ini akan menimbulkan perasaan melayang, semangat dan gembira luar biasa, serta mengakibatkan insomnia dan mengurangi nafsu makan. Perasaan melayang dan semangat tersebut hanya bersifat sementara yang kemudian akan berangsur-angsur membangkitkan kegelisahan luar biasa (Dalami dkk, 2011).

  Dalam pemakaian jangka panjang penggunaan shabu akan menimbulkan gangguan serius pada kejiwaan, pembuluh darah rusak, rusaknya ujung saraf dan otak, kehilangan berat badan, serta tekanan darah meningkat (Dalami dkk, 2011).

d. Sedatif

  Sedatif memberikan efek depresiva yaitu mengurangi kegiatan dari Sistem saraf pusat sehingga dipergunakan untuk menenangkan saraf atau membuat seseorang mudah tidur. Obat ini justru menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikis dan pada umumnya sudah dapat timbul setelah 2 minggu penggunaan terus menerus.

  Sedatif dengan golongan barbiturat digunakan sebagai obat yang membantu seseorang agar dapat tidur atau merasa rileks. Sedatif ini melemaskan otot, mengurangi kecemasan dan dalam dosis rendah menghasilkan kondisi euforik ringan. Dosis yang berlebihan menyebabkan bicara menjadi tidak jelas dan langkah tidak stabil. Penilaian, konsentrasi, dan kemampuan untuk bekerja dapat sangat melemah. Pengguna kehilangan kendali emosional dan dapat menjadi mudah tersinggung serta agresif sebelum akhirnya tertidur lelap. Dosis yang sangat besar dapat menjadi fatal karena otot diafragma melemas hingga ke kondisi yang dapat membuat individu kehabisan nafas (Davidson G, 2006).

  Sedatif dengan golongan benzodiazepin juga digunakan sebagai obat penenang dan obat tidur. Nama jalanannya adalah : BK, Dum, Lexo,

  Mg, Rohyp. Pemakaian benzodiazepine dapat melalui oral, intra vena, dan rectal (Ardani, 2011).

e. Halusinogen

  Halusinogen disebut juga psikodelika. Pada tahun 1954, A. Hoffer dan H. Osmond memperkenalkan istilah halusinogen untuk memberi nama pada zat tertentu yang dalam jumlah sedikit dapat mengubah persepsi, pikiran, dan perasaan seseorang serta menimbulkan halusinasi (Davidson G, 2006).

  Salah satu zat yang termasuk dalam golongan halusinogen adalah LSD (Lysergic Acid) yang memiliki nama jalanan acid, trips, tabs. Zat ini menyebabkan distorsi penglihatan dan pendengaran yang mampu menimbulkan efek khayalan, juga menyebabkan ketegangan dan depresi.

  Bahaya terbesar menggunakan LSD adalah dapat berkembang menjadi serangan panik yang sempurna dan menimbulkan ketakutan yang disebut dengan bad trip/flip (Davidson G, 2006).

3. Zat-Zat Adiktif a.Alkohol

  Efek alkohol bervariasi tergantung kadar konsentrasi zat tersebut didalam aliran darah dimana tergantung pada banyaknya alkohol yang dikonsumsi dalam satu kurun waktu tertentu, adanya makanan dalam lambung yang menahan alkohol dan mengurangi tingkat penyerapannya, dan kemampuan kerja organ hati.

  Alkohol memberikan efek awal yaitu bersifat merangsang dimana peminum merasakan suatu perasaan sosiabilitas dan nyaman yang ekspansif seiring naiknya kadar alkohol dalam darah. Namun, setelah kadar alkohol dalam darah mencapai puncaknya dan mulai turun, alkohol berfungsi sebagai depresan dimana berbagai emosi negatif meningkat (Davidson G, 2006).

  Alkohol dalam jumlah banyak mengganggu proses berfikir kompleks, koordinasi motorik, keseimbangan, kemampuan bicara dan penglihatan juga melemah. Alkohol juga mampu menghilangkan rasa sakit dan dalam dosis yang lebih besar bersifat sedatif, menyebabkan orang tertidur bahkan kematian (Davidson G, 2006).

  Kebiasaan minum yang kronis menimbulkan kerusakan biologis parah selain kemunduran psikologis. Konsumsi alkohol dalam waktu lama memberikan efek negatif bagi hampir setiap jaringan dan organ tubuh seperti malnutrisi parah. Alkohol tidak mengandung berbagai zat gizi yang penting bagi kesehatan (Dalami dkk,2011).

  Pada penyalahgunaan alkohol kronis yang berusia lebih tua, kekurangan vitamin B-kompleks dapat mengakibatkan sindrom amnestik yaitu suatu sindrom hilangnya memori yang parah atas berbagai peristiwa yang belum lama berselang maupun yang sudah lama terjadi. Kesenjangan memori ini sering kali diisi dengan menuturkan berbagai kejadian imajiner yang sangat tidak mungkin.

  Konsumsi alkohol yang sangat banyak semasa hamil diketahui merupakan penyebab utama retardasi mental. Pertumbuhan janin melambat, dan terjadi kelainan tempurung kepala, wajah serta anggota tubuh. Kondisi tersebut dikenal sebagai sindrom alkohol fetal (Davidson

  G, 2006)

  b. Inhalansia dan Solvent (Pelarut)

  Zat yang digolongkan dalam inhalansia dan Solvent (pelarut) ini adalah gas atau zat pelarut yang mudah menguap. Zat ini banyak terdapat pada alat-alat keperluan rumah tangga seperti perekat, hair spray, deodorant spray, pelumas mesin, bahan pembersih, dan thinner.

  Inhalansia bekerja pada membrane sel terutama sel saraf pusat. Gejala pecandu inhalansi antara lain : pusing-pusing, bicara tidak lancer, berjalan atau berdiri sempoyongan, euphoria, halusinasi, mudah tersinggung, impulsif, perilaku aneh, dan luka-luka atau peradangan disekitar mulut dan hidung (Davidson G, 2006).

  c. Nikotin Nikotin adalah zat dalam tembakau yang menyebabkan kecanduan.

  Nikotin merangsang pelepasan dopamin di otak. Dopamin adalah zat dalam saraf yang berperan menghadirkan rasa bahagia. Nikotin menstimulasi produksi dopamin secara berlebihan, membuat tubuh rileks.

  Ketika konsentrasi dopamin menurun, orang bisa merasa gelisah. Akhirnya konsumsi nikotin lewat rokok meningkat intensitasnya. Jika tiba-tiba menghentikan konsumsi rokok, ia pasti akan mengalami efek balikan (withdrawal effect).

  d. Kafein

  Kafein adalah alkaloida yang terdapat dalam tanaman coffee yang berasal dari Arab, Etiopia, dan Liberia.

  Arabica, coffea canephora

  Selain kopi, minuman lain yang banyak mengandung kafein seperti daun teh (teh hitam dan teh hijau), kakao, dan coklat.

  Minum kopi terlalu banyak (lebih dari 3-4 cangkir per hari) dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung karena memperbesar kadar

  hemosistein darah terutama bila bersamaan dengan kebiasaan merokok (Tjah & Raharja, 2002).

  Kafein dapat menghilangkan rasa letih, lapar dan mengantuk, juga meningkatkan konsentrasi. Kafein merangsang otot jantung sehingga kadang-kadang menyebabkan aritmia jantung, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, meningkatkan tekanan darah,dan iritasi pada lambung.

  Konsumsi kafein terlalu banyak mengakibatkan tangan gemetar, perasaan gelisah, tidak tenang, ingatan berkurang, tidak dapat tidur, poliuria, mual, otot berkedut, serta denyut jantung cepat dan tidak teratur (Sesangka, 2003).

2.4.2 Gangguan Jiwa Penyalahgunaan NAPZA

  Dalam penggunaan NAPZA penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat terjadi dan ditandai oleh berbagai masalah yang berkaitan dengan konsumsi suatu zat. Ini mencakup penggunaan zat yang lebih banyak dari yang dimaksudkan, mencoba untuk berhenti namun tidak berhasil, memiliki berbagai masalah fisik atau psikologis yang semakin parah karena penggunaan obat dan mengalami masalah dalam pekerjaan atau dengan teman-teman.

  Penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pola penggunaan NAPZA yang bersifat patologik, paling sedikit satu bulan lamanya, sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial. Pola penggunaan zat yang bersifat patologik dapat berupa intoksikasi sepanjang hari, terus menggunakan zat tersebut walaupun penderita mengetahui dirinya sedang menderita sakit fisik akibat zat tersebut, atau adanya kenyataan bahwa ia tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa menggunakan zat tersebut. Gangguan yang terjadi tersebut adalah gangguan fungsi sosial yang berupa ketidakmampuan memenuhi kewajiban terhadap keluarga atau teman- temannya karena perilaku yang tidak wajar, impulsive, atau karena perasaan agresif yang tidak wajar. Dapat pula berupa pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas, serta perbuatan kriminalitas lainnya karena motivasi memperoleh uang (Ardiani, 2011).

  NAPZA memberikan pengaruh pada susunan saraf pusat dan menimbulkan berbagai efek kognitif dan perilaku maladaptif. Ketergantungan obat dibedakan atas ketergantungan fisik dan ketergantungan psikis. Arti adiksi dipersempit menjadi ketergantungan fisik dan ketergantungan psikis disebut habituasi. Beberapa ahli memberi arti adiksi sebagai bentuk ketergantungan yang berat pada hard drug (heroin, morfin), sedangkan habituasi sebagai bentuk ketergantungan ringan yaitu pada soft drug seperti marijuana dan sedatif. (Ardiana, 2011).

  Untuk memperoleh khasiat seperti semula dari zat yang dipakai berulang kali, diperlukan jumlah yang makin lama makin banyak. Keadaan yang demikian disebut toleransi. Toleransi diindikasikan oleh salah satu dari : dosis zat yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang didingginkan lebih besar atau efek obat menjadi sangat berkurang jika mengonsumsi obat dalam dosis yang biasa (Davidson G, 2006).

  Gejala putus zat atau gejala lepas zat (Withdrawal syndrome) merupakan gejala yang timbul bila seseorang yang ketergantungan pasa suatu zat kemudian dihentikan atau dikurangi (Ardiani, 2011).

2.5 EPIDEMIOLOGI

2.5.1 Distribusi dan Frekuensi Menurut Orang

a. Variasi Usia

  Berdasarkan Data World Drug Report 2014, Pada tahun 2012 kelompok umur penyalahgunaan NAPZA paling banyak yaitu pada kelompok umur 15-64 tahun sebanyak 324 juta orang dengan pemakaian marijuana, opium, kokain , dan amfetamin.

  Menurut Data Rekapitulasi data Morbiditas pasien rawat jalan dan rawat inap di Rumah sakit Indonesia tahun 2010, kategori umur gangguan jiwa penyalahgunaan NAPZA tertinggi terdapat pada kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 46,1%, diikuti dengan 26,7 % dari kelompok usia 15-24 tahun, dan 19,6% dari kelompok usia 45-64 tahun. Adapun jumlah pasien sebanyak 3.064 dengan rekapitulasi data dari 1.523 rumah sakit.

  b.Variasi Jenis Kelamin

  Menurut Data Rekapitulasi data Morbiditas pasien rawat jalan dan rawat inap di Rumah sakit Indonesia tahun 2010, gangguan jiwa penyalahgunaan NAPZA terdapat pada laki-laki 2 kali lebih banyak dari perempuan.

  2.5.2 Distribusi dan frekuensi Menurut Tempat

  Selama tiga tahun berturut dari 2011, 2012, 2013, jumlah penyalahgunaan NAPZA terdapat paling banyak di Jawa Timur. Kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA umumnya terjadi di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, dll.

  Penyalahgunaan NAPZA tidak hanya marak di perkotaan, tetapi juga di pedesaan. Jika kita melihat faktor penyebab dari penyalahgunaan NAPZA dimana kondisi individualis, mobilitas dan aktivitas orang tua yang tinggi sehingga kurang komunikasi dengan anak, dan gaya hidup (life style) dimana tempat hiburan yang menjadi lokasi strategis untuk peredaran NAPZA juga lebih banyak didaerah perkotaan, dan diikuti dengan rasa kesepian tinggi, maka daerah perkotaan lebih berisiko untuk terjadi penyalahgunaan NAPZA. Dimana gangguan jiwa juga lebih sering terjadi didaerah perkotaan.

  2.5.3 Penyebab atau Determinan

  Adapun penyebab atau determinan gangguan jiwa penyalahgunaan NAPZA adala sebagai berikut:

1. Faktor Individu

  Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat. Perubahan yang cepat kadang- kadang menimbulkan ketegangan, keresahan, kebingungan, perasaan tertekan, rasa tidak aman dan tidak jarang menjadi depresi (Ardiani, 2011) Jenis Kelamin Juga memberikan kontribusi dalam mempengaruhi terjadinya gangguan penyalahgunaan NAPZA. Ada kecenderungan bahwa laki-laki harus selalu berprestasi dan menerima tanggung jawab dalam keluarga. Tekanan tersebut menimbulkan ketegangan dan untuk mengatasinya seseorang akan memberontak yang salah satunya dengan menggunakan NAPZA (Badan Narkotika Nasional)

  . Keingintahuan yang besar untuk mencoba, mudah merasa bosan

  dan jenuh, keinginan untuk mengikuti mode (life style) juga termasuk dalam faktor individu.

2. Faktor Lingkungan Sosial a.

  Lingkungan keluarga Hubungan ayah dan ibu yang retak, komunikasi yang kurang efektif antara orang tua dan anak, orang tua yang serba membolehkan (permisif), kurangnya rasa hormat antar anggota keluarga, dan adanya orangtua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna NAPZA.

  b.

  Lingkungan sekolah Sekolah yang kurang disiplin, sekolah yang terletak dekat dengan tempat hiburan dan penjual NAPZA, sekolah yang kurang memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif, dan adanya murid pengguna NAPZA. c.

  Lingkungan Teman Sebaya Adanya kebutuhan akan pergaulan teman sebaya mendorong remaja untuk dapat diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. Penggunaan NAPZA sering dijadikan syarat atau tuntutan agar diterima di kelompok untuk membuktikan rasa solidaritas pertemanan.

  d.

  Lingkungan Masyarakat/Sosial Lemahnya pengegakan hukum, situasi politik, sosial, dan ekonomi yang kurang mendukung justru mendorong untuk mencari kesenangan dalam penyalahgunaan NAPZA.

3. Faktor NAPZA

  Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”, banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menimbulkan daya tarik untuk dicoba, dan khasiat farakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, membuat euphoria, fly, high, stone menjadi faktor penyalahgunaan NAPZA (Ardiani, 2011).

2.6 Pencegahan Upaya pencegahan meliputi tiga hal berikut.

1. Pencegahan primer

  Upaya ini terutama dilakukan untuk mengenali kelompok yang mempunyai resiko tinggi untuk menyalahgunakan NAPZA, setelah itu melakukan intervensi terhadap mereka agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini ada baiknya dilakukan sejak anak berusia dini agar faktor yang dapat menghambat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.

  Masyarakat umum secara keseluruhan menjadi target dari pencegahan primer. Pelaksanaan pencegahan primer dilakukan dengan berbagai bentuk penyuluhan tatap muka (ceramah, diskusi, seminar), penyuluhan melalui media cetak (surat kabar, pamphlet,brosur, buletin, dan lain-lain). Kegiatan penyuluhan maupun pendidikan memiliki konten tentang NAPZA dan bahayanya bagi fisik dan mental (Ardiani, 2011).

2. Pencegahan Sekunder

  Pencegahan ini ditujukan kepada penyalahguna pada tahap coba-coba menggunakan NAPZA serta komponen masyarakat yang berpotensi menyalahgunakan NAPZA.

  Kegaitan yang dilakukan pada pencegahan ini antara lain : Deteksi dini penyalahguna NAPZA, bimbingan sosial melalui kunjungan rumah, pelayanan konseling perorangan atau keluarga bermasalah penyalahgunaan narkoba, serta penerangan dan pendidikan pengembangan individu (Ardiani, 2011).

  Didalam pencegahan sekunder penanganan secepatnya atau pengobatan juga dilakukan. Adapun penanganan secepatnya adalah sebagai berikut: 1.

  Farmakoterapi Farmakoterapi disebut juga obat psikotropik atau lebih tepat obat yang memiliki khasiat psikoterapik (mempengaruhi fungsi-fungsi dari otak). Adapun obat-obat psikotropika yang sering digunakan dalam pelayanan kesehatan jiwa adalah sebagai berikut (Ikawati, 2014) a.

  Obat Antipsikotik (Anatensol, Clozapil, Largactil, Mellerril, haloperidol) b.

  Obat Anti Depresan (Asendin, Anafranil, Antiprestin, Ludiomil) c. Obat Anti Insomnia (Mogadon, Esilgan) 2. Psikoterapi

  Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seseorang yang terlatih dalam hubungan professional secara sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah dan menghambat gejala-gejala yang ada, mengkoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.

3. Pencegahan Tersier

  Pencegahan tersier ini dilakukan kepada residivisme atau mereka yang merupakan bekas korban penyalahgunaan NAPZA, melalui peran polisi dan agen lain dalam sistem peradilan pidana. Tujuan dari pencegahan tersier ini untuk mencegah jangan sampai para penyalahgunan NAPZA tersebut kambuh/relaps dan terjerumus kembali dalam penyalahgunaan NAPZA. Pencegahan tersier dilakukan dalam bentuk bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan atau keluarganya, penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang menguntukkan eks korban dalam memantapkan kesembuhannya, pengembangan minat, bakat, dan keterampilan bekerja dan berusaha.

  Kegiatan Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahguna NAPZA dilaksanakan sesuai Standard Minimal dan Pedoman Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA yang disusun BNN, meliputi: 1.

  Pendekatan Awal Pendekatan Awal adalah kegiatan yang mengawali keseluruhan proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan penyampaian informasi program kepada masyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial lain guna memperoleh dukungan dan data awal calon klien residen dengan persyaratan yang telah ditentukan.

2. Penerimaan

  Pada tahap ini dilakukan kegiatan administrasi untuk menentukan apakah diterima atau tidak dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a.

  Pengurusan administrasi surat menyurat yang diperlukan untuk persyaratan masuk panti (seperti surat keterangan medical check up, test urin negative, dan sebagainya).

  b.

  Pengisian formulir dan wawancara dan penentuan persyaratan menjadi residen c.

  Pencatatan residen dalam buku registrasi 3.

   Assesment

  Assesment merupakan kegiatan penelaahan dan pengungkapan masalah

  untuk mengetahui seluruh permasalahan residen, menetapkan rencana dan pelaksanaan intervensi.

  Kegiatan assessment meliputi : a.

  Menelusuri dan mengungkapkan latar belakang dan keadaan residen b.

  Melaksanakan diagnosa permasalahan c. Menentukan langkah-langkah rehabilitasi d.

  Menentukan dukungan pelatihan yang diperlukan e. Menempatkan residen dalam proses rehabilitasi 4. Bimbingan Fisik

  Kegiatan ini ditujukan untuk memulihkan kondisi fisik residen, meliputi pelayanan kesehatan, peningkatan gizi, baris berbaris, dan olahraga.

  5. Bimbingan Mental dan Sosial Bimbingan mental dan sosial meliputi bidang keagaaman/spiritual, budi pekerti individual dan sosial/kelompok dan motivasi residen (psikologis).

  6. Bimbingan Orang Tua dan Keluarga Bimbingan bagi orang tua/keluarga dimaksudkan agar orang tua/ keluarga dapat menerima keadaan residen, memberi dukungan, dan menerima residen kembali dirumah pada saat rehabilitasi telah selesai.

  7. Bimbingan Keterampilan Bimbingan Keterampilan berupa pelatihan vokalisasi atau keterampilan usaha (survival skill) sesuai dengan kebutuhan residen.

  8. Resosialisasi/Reintegrasi Kegiatan ini merupakan komponen pelayanan dan rehabilitasi yang diarahkan untuk menyiapkan kondisi residen yang akan kembali kepada keluarga dan masyarakat.

  Kegiatan ini meliputi : a.

  Pendekatan kepada residen untuk kesiapan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat tempat tinggalnya b.

  Menghubungi dan memotivasi keluarga residen serta lingkungan masyarakat untuk menerima kembali residen c.

  Menghubungi lembaga pendidikan bagi klien yang akan melanjutkan sekolah

  9. Penyaluran dan Bimbingan Lanjut (Aftercare) Dalam penyaluran dilakukan pemulangan residen kepada orang tua/wali, disalurkan ke sekolah maupun instansi/ perusahaan dalam rangka penempatan kerja, Bimbingan lanjut dilakukan secara berkala dalam rangka pencegahan kambuh/relapse dengan kegiatan konseling, kelompok dan sebagainya.

10. Terminasi

  Kegiatan ini berupa pengakhiran/ pemutusan program pelayanan dan rehabilitasi bagi residen yang telah mencapai target program (clean and sober).

2.7 Kerangka Konsep

  Berdasarkan studi kepustakaan yang diperoleh, maka kerangka konsep penelitian tentang karakteristik penderita gangguan jiwa penyalahgunaan NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra "Insyaf" Sumatera Utara tahun 2014 sebagai berikut: Karakteristik Penderita Gangguan Jiwa Penyalahgunaan NAPZA 1.

  Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Suku Pendidikan Pekerjaan Status perkawinan 2. Gejala Awal 3. Jenis Zat yang dipakai 4. Alasan memakai NAPZA 5. Lama Pemakaian 6. Pengobatan 7. Lama Perawatan 8. Keadaan Sewaktu Pulang