1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Penggunaan Rooftop antara Perusahaan Telekomunikasi dengan Pemilik Bangunan di Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini peranan telekomunikasi dirasakan tak ubahnya sebagai urat nadi

  yang memperlancar jalannya kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan usaha-usaha pembangunan. Pengembangan telekomunikasi di Indonesia pada akhir-akhir ini dipacu dengan cepat untuk mengimbangi kecepatan lajunya perkembangan di sektor- sektor kehidupan lain, seperti ekonomi, keuangan, perbankan, sosial politik, dan

  1 sosial budaya.

  Industri telekomunikasi dalam sejarahnya selalu berperan tidak saja sebagai akselerator pertumbuhan perekonomian suatu bangsa, tetapi lebih dari itu menjadi fasilitator bagi suatu masyarakat atau bangsa dalam membangun peradabannya. Maju-tidaknya suatu bangsa dapat dilihat dari sejauh mana mereka mampu memanfaatkan kemajuan teknologi dan industri telekomunikasi – tentunya bersama

  2 teknologi informasi, bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsanya.

  Sektor telekomunikasi mempunyai pengaruh yang sangat positif terhadap efisiensi di sektor industri lainnya seperti perbankan, manufaktur, perdagangan, pendidikan dan kesehatan, dan lainnya. Dalam masyarakat modern saat ini, tidak ada

  3 sektor kegiatan yang tidak mengandalkan dukungan fasilitas telekomunikasi. 1 2 Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi, Djambatan, Jakarta, 1993, hal.xiii.

  Zainal Abdi, Industri Telekomunikasi: Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi dan Kemajuan , Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hal.xxiii.

  Bangsa 3 Ibid. , hal. 42.

  1 Dalam aktivitas sehari-hari, sebagian besar masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sebuah perangkat telekomunikasi yang disebut telepon seluler (ponsel).

  Perkembangan teknologi yang semakin canggih juga terjadi pada ponsel, dari yang awalnya berukuran besar dan hanya bisa digunakan untuk bertelepon saja kemudian berkembang pesat menjadi ponsel yang berukuran kecil dan tidak hanya sekedar bisa bertelepon, namun juga memiliki banyak fitur/layanan mutakhir yang bisa menunjang segala aktivitas manusia.

  Telepon seluler (handphone) saat ini telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern. Telepon seluler bukan lagi menjadi barang mewah, hampir semua lapisan masyarakat mempergunakan telepon seluler untuk berkomunikasi. Produsen telepon seluler begitu agresif memproduksi berbagai tipe telepon seluler, dengan variasi harga yang terjangkau oleh masyarakat berbagai golongan. Sehingga pemakaian ponsel yang menjamur di masyarakat berdampak positif kepada perusahaan-perusahaan yang

  4 bergerak sebagai operator telekomunikasi.

  Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penyelenggara telekomunikasi seluler terbanyak di dunia jika dibandingkan dengan populasinya. Di tanah air, total terdapat sepuluh operator, baik teknologi GSM maupun CDMA (lima operator GSM

  5

  dan lima operator CDMA). Di Indonesia sendiri perusahaan operator seluler

4 Rudyanti Dorotea Tobing, "Aspek Hukum Pendirian Menara Telekomunikasi", Jurnal Socioscientia, Volume III No.1, Februari 2011, hal.118.

  5 Aditya Panji, “Terlalu Banyak, Operator Seluler Diminta Bersatu”, diperoleh dari http://tekno.kompas.com/read/2013/06/25/16145334/Terlalu.Banyak..Operator.Seluler.Diminta.Bersat u?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter, diakses tanggal 1 Juli 2013. bermunculan karena bidang usaha ini dianggap sebagai peluang bisnis yang menguntungkan.

  Untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanannya, perusahaan- perusahaan operator seluler pun semakin gencar membangun menara telekomunikasi di berbagai daerah. Menara telekomunikasi (Base Tranceiver Station/BTS) sangat diperlukan oleh operator telepon seluler karena keberadaan menara telekomunikasi (BTS) sangat berpengaruh terhadap pelayanan telekomunikasi bagi pelanggan operator telepon seluler. Oleh karena itu pembangunan menara telekomunikasi merupakan suatu keharusan bagi pelaku usaha operator seluler. Tidaklah mengherankan apabila kemudian menara telekomunikasi bermunculan dalam jumlah banyak di hampir semua wilayah, bahkan keberadaannya pun tidak memedulikan estetika lingkungan, tata ruang, dan tata wilayah, serta mengabaikan aspek keselamatan dan keamanan bagi masyarakat yang berada di sekitar menara

  6 telekomunikasi tersebut.

  Menara telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang vital. Menara telekomunikasi adalah bangunan khusus yang berfungsi sebagai sarana penunjang untuk menempatkan peralatan telekomunikasi yang desain atau bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan penyelenggaraan telekomunikasi untuk memperluas

  7 jangkauan telekomunikasi. 6 7 Rudyanti Dorotea Tobing, op.cit., hal.118.

  Ibid. , hal.119. Dari segi bisnis, keberadaan menara telekomunikasi (BTS) diharapkan dapat meningkatkan penggunaan telepon seluler melalui operator tersebut, sehingga secara langsung turut meningkatkan pendapatan dari operator seluler tersebut. Pendirian menara telekomunikasi di satu sisi mempunyai dampak positif bagi seluruh lapisan masyarakat maupun bagi pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya kemudahan telekomunikasi melalui telepon seluler, memperlancar komunikasi yang secara langsung sangat membantu masyarakat dan pemerintah terutama dalam menunjang pembangunan nasional.

  Namun di sisi lain, pendirian menara telekomunikasi (BTS) yang berjumlah massif tersebut cenderung tidak terkontrol dan menimbulkan permasalahan baik di kalangan masyarakat maupun pemerintah. Ada kalanya masyarakat menolak pembangunan menara telekomunikasi, bahkan ada pula menara telekomunikasi yang sudah berdiri diminta dirobohkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena masyarakat merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum atas pendirian menara telekomunikasi tersebut. Di sisi lain pembangunan menara telekomunikasi yang tidak

  8 teratur akan mengganggu tata ruang dan estetika tata kota di kemudian hari.

  Pendirian menara telekomunikasi dapat dilakukan di permukaan tanah yang kosong atau pada bagian suatu bangunan. Dalam penelitian ini peneliti hendak menelaah perjanjian sewa-menyewa rooftop antara pemilik bangunan dengan operator telekomunikasi di kota Medan. 8 Ibid. , hal.122.

  Perjanjian sewa-menyewa tersebut diadakan karena pihak operator telekomunikasi hendak menggunakan lahan yang terdapat pada tingkat tertinggi suatu bangunan (rooftop/puncak bangunan/lantai atap) untuk mendirikan menara telekomunikasi dan selanjutnya mengoperasikan menara tersebut untuk melayani kebutuhan jasa telekomunikasi dan meningkatkan cakupan pelayanan di wilayah tersebut. Dalam hal ini, perjanjian tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk akta otentik.

  Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikat diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu

  9

  pihak mengikat diri kepada pihak lain. Salah satu bentuk dari perjanjian adalah sewa-menyewa seperti perjanjian penggunaan rooftop tersebut di atas.

  Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikianlah definisi yang diberikan oleh Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

  10

  mengenai perjanjian sewa-menyewa. Sewa-menyewa, seperti halnya dengan jual- beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian 9 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 63.

  BW, 10 R.Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 39.

  konsensual. Artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.

  Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga sewa. Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual- beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa

  11 itu.

  Dalam perjanjian sewa-menyewa rooftop tersebut, pemilik bangunan selaku salah satu pihak dalam perjanjian tersebut akan mendapat kompensasi uang sewa dari pihak operator telekomunikasi karena telah menyewakan sebagian lahan bangunannya untuk digunakan oleh operator telekomunikasi. Namun pemilik bangunan selama jangka waktu perjanjian tersebut diwajibkan untuk memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh pihak operator telekomunikasi yang cenderung tidak berpihak kepada pemilik bangunan, seperti menyediakan akses penuh terhadap objek sewa selama dua puluh empat jam setiap hari kepada operator telekomunikasi.

  Selain itu pemilik bangunan juga dihadapkan pada risiko seandainya menara yang dibangun operator telekomunikasi tersebut tumbang ataupun terjadi musibah yang mengancam keselamatan jiwa dan keberadaan bangunan milik pihak yang menyewakan tersebut. Kemungkinan terjadinya risiko tersebut bisa menimpa 11 Ibid. , hal. 40. langsung pihak pemilik bangunan sendiri ataupun pihak ketiga yang berada di sekitar lokasi menara telekomunikasi tersebut karena lokasi pendirian menara tersebut yang berada di tengah wilayah permukiman masyarakat.

  Apalagi jika bangunan tersebut turut dihuni oleh pemilik bangunan dan dijadikan sebagai tempat mencari mata pencaharian, maka kemungkinan terjadinya risiko sebagaimana disebut di atas akan berpengaruh besar terhadap kelangsungan pencaharian pemilik bangunan. Selain itu, jika bangunan dan tanah tersebut akan atau telah dijadikan agunan kredit ke bank, maka risiko yang ditimbulkan menara telekomunikasi tersebut akan merugikan nilai jaminan si pemilik bangunan di bank.

  Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang perjanjian penggunaan lahan rooftop antara operator telekomunikasi dengan pemilik bangunan di kota Medan.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

  rooftop

  1. Mengapa terjadi perjanjian penggunaan antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan di kota Medan dan bagaimana pelaksanaan perjanjian tersebut ?

  2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pemilik bangunan dan masyarakat sekitar bangunan dalam perjanjian penggunaan rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan di kota Medan ?

  3. Apa saja hambatan yang timbul serta upaya untuk mengatasi hambatan tersebut dalam pelaksanaan perjanjian penggunaan rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan di kota Medan ?

  C. Tujuan Penelitian

  Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengapa terjadi pelaksanaan perjanjian penggunaan rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan di kota Medan dan bagaimana pelaksanaan perjanjian tersebut.

  2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi pemilik bangunan dan masyarakat sekitar bangunan dalam perjanjian penggunaan rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan di kota Medan.

  3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan yang timbul serta upaya untuk mengatasi hambatan tersebut dalam pelaksanaan perjanjian penggunaan rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan di kota Medan.

  D. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Secara teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat lebih mengerti dan memahami tentang pengetahuan hukum perdata khususnya bidang perikatan dan perjanjian tentang pelaksanaan perjanjian penggunaan

  rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan. Hasil

  daripada penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan penyempurnaan peraturan atau kebijakan tentang pelaksanaan perjanjian dan telekomunikasi di Indonesia.

  2. Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada aparat hukum dan masyarakat terkait dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian penggunaan rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan. Selain itu juga, dapat memberi masukan bagi kalangan profesi notaris, akademisi, pengacara dan mahasiswa.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik di lingkungan Magister Kenotariatan maupun di lingkungan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang membicarakan tentang masalah “PERJANJIAN PENGGUNAAN ROOFTOP ANTARA PERUSAHAAN

  TELEKOMUNIKASI DENGAN PEMILIK BANGUNAN DI KOTA MEDAN”.

  Meskipun ada judul penelitian sebelumnya yang membahas masalah perjanjian yang serupa, yaitu antara lain :

  1. Penelitian tesis yang dilakukan oleh Melissa Harahap (NIM : 097011024) dari Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang dilakukan pada tahun 2012 berjudul “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Tower

  Telekomunikasi Antara PT Telkomsel Dengan Perusahaan Mitra Kerja” dengan permasalahan yang dibahas berupa : a. Hubungan hukum yang timbul antara PT Telkomsel dengan perusahaan mitra kerja dengan persyaratan mengenai hukum perjanjian yang diatur di dalam

  Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

  b. Pengaturan hukum atas pembangunan tower telekomunikasi di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

  c. Hambatan-hambatan yang terjadi pada pelaksanaan perjanjian pembangunan

  tower PT Telkomsel dengan perusahaan mitra kerja dan bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut.

  2. Penelitian tesis yang dilakukan oleh Ismoro H. Ilham (NIM : B4B005156) dari Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, yang dilakukan pada tahun 2008 berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Untuk Pendirian Base

  Transceiver Station

  (BTS) Oleh Perusahaan Telekomunikasi Seluler PT Indosat Tbk. di Kantor Pusat Regional Semarang” dengan permasalahan yang dibahas berupa : a. Pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tanah dan lokasi untuk pendirian BTS oleh perusahaan telekomunikasi seluler PT Indosat Tbk. di Kantor Pusat

  Regional Semarang.

  b. Hambatan yang ada dalam sewa-menyewa tanah dan lokasi untuk pendirian BTS dan penyelesaiannya oleh perusahaan telekomunikasi seluler PT Indosat Tbk. di Kantor Pusat Regional Semarang.

  Namun penelitian tersebut di atas tidak membahas substansi permasalahan yang sama dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam tesis ini, sehingga dapat dikatakan bahwa tesis ini adalah asli dari hasil tulisan penulis. Tesis ini disusun melalui referensi buku-buku dan informasi dari media cetak maupun media elektronik. Dengan demikian keaslian penulisan tesis ini dapat dipertanggungjawabkan, terutama secara ilmiah atau secara akademik.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

  Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan

  12 masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.

  Teori dalam penelitian ini berfungsi untuk mensistematiskan penemuan- penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

  13 dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

  Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori tujuan hukum. Menurut Gustav Radbruch, ada tiga tujuan hukum, yaitu kemanfaatan, kepastian, dan keadilan. Dalam melaksanakan ketiga tujuan hukum ini harus menggunakan azas 12 13 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 80.

  Ibid ., hal. 17.

  14

  prioritas. Keadilan bisa saja lebih diutamakan dan mengorbankan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Gustav Radbruch mengajarkan adanya skala prioritas yang harus dijalankan, dimana prioritas pertama selalu keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian hukum. Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan manusia dalam masyarakat. Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang membagi hak dan kewajiban antara setiap individu di dalam masyarakat. Hukum juga memberikan wewenang dan mengatur cara

  15 memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

  Menurut Rusli Effendy, tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ilmu hukum normatif, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukum, dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan, dan dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatan.

  Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal,

  

16

  dapat dilihat dari tiga aliran konvensional :

  1. Aliran Etis Tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan yang ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang adil dan yang tidak adil. Hukum bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. 14 Sonny Pungus, “Teori Tujuan Hukum” , diperoleh dari http://sonny- tobelo.blogspot.com/2010/10/teori-tujuan-hukum-gustav-radbruch-dan.html, diakses tanggal 16 Juli 2013. 15 Randy Ferdiansyah, “Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch”, diperoleh dari http://hukum- indo.blogspot.com/2011/11/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum.html, diakses tanggal 16 Juli 2013. 16 Ibid.

  2. Aliran Utilitis Tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia dan warga masyarakat dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (ajaran moral praktis).

  3. Aliran Yuridis Dogmatik Tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.

  Dikaitkan dengan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas untuk membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang, dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta

  17 memelihara kepastian hukum.

  Menurut Soedjono Dirdjosisworo, dalam pergaulan hidup manusia, kepentingan-kepentingan manusia bisa senantiasa bertentangan satu dengan yang

  18 lain, maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu.

  17 18 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta 2003, hal. 77.

  

Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hal. 11. Sedangkan Muchsin menyatakan sebenarnya hukum bukanlah sebagai tujuan tetapi dia hanyalah sebagai alat, yang mempunyai tujuan adalah manusia, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan itu. Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Maksudnya hukum menghendaki perdamaian, yang semuanya bermuara kepada suasana damai. Rudolf Von Jhering mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk memelihara keseimbangan antara berbagai kepentingan. Aristoteles mengatakan tujuan hukum itu ialah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat sebanyak- banyaknya, sedangkan Roscoe Pound mengatakan tujuan hukum ialah sebagai alat

  19 untuk membangun masyarakat (law is tool of social engineering).

  Teori yang berkenaan dengan teori tujuan hukum dalam penelitian ini berkaitan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya. Selain itu termasuk juga teori kemanfaatan hukum, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum yang tertib (rechtsorde).

  Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh 19 Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2006, hal. 11. negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa

  20 yang telah diputuskan.

  Menurut Satjipto Raharjo teori kemanfaatan (kegunaan) hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma (aturan-aturan hukum). Pada dasarnya peraturan hukum yang mendatangkan kemanfaatan atau kegunaan hukum ialah untuk terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib

  21 (rechtsorde).

  Selanjutnya teori keadilan yang dipelopori oleh Aristoteles menyatakan bahwa setiap orang/pihak wajib memperoleh hak dan kewajibannya secara seimbang (proporsional) dalam suatu kesepakatan perjanjian.

  Dalam konstruksi filosofis mahluk moral yang rasional inilah, Aristoteles menyusun teorinya tentang hukum. Karena hukum menjadi pengarah manusia pada nilai-nilai moral yang rasional, maka ia harus adil. Keadilan hukum identik dengan keadilan umum, yang ditandai dengan hubungan yang baik antara satu sama lain, tidak mengutamakan kepentingan pribadi tapi juga tidak mengutamakan kepentingan pihak lain, serta ada kesamaan. Di sini tampak kembali apa yang menjadi dasar teori 20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 158. 21 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1991, hal. 13.

  Aristoteles, yakni perasaan ‘sosial-etis’. Tidak mengherankan jika formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam yang dianggapnya sebagai prinsip keadilan utama, yaitu: Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique

  tribuere

  (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya).

22 Menurut Aristoteles, berdasarkan kepada teori keadilan terdapat lima jenis

  perbuatan yang dapat digolongkan adil, yaitu :

  23

  a. Keadilan kumulatif adalah perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat jasa-jasa yang dilakukannya.

  b. Keadilan distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah dilakukannya.

  c. Keadilan kodrat alam adalah memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan orang lain kepada kita.

  d. Keadilan konvensional adalah keadilan apabila seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah diwajibkan.

  e. Keadilan menurut teori perbaikan. Perbuatan adil menurut teori perbaikan apabila seseorang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.

  22 Dirtamam, “Teori-teori Hukum” , diperoleh dari http://munzdirtamam.blogspot.com/2011/05/teori-teori-hukum.html, diakses tanggal 2 Juli 2013. 23 Joshua Lampasa, “Makna Keadilan”

  , diperoleh dari http://id.shvoong.com/social- sciences/2193610-makna-keadilan, diakses tanggal 5 Juli 2013. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, mengenai suatu permasalahan yang dapat dijadikan sebagai bahan pegangan teoritis bagi peneliti atau penulis. Teori adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubugan dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atau gejala.

  24

  “Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.

  25 Teori berfungsi untuk

  menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.

26 Menurut M. Solly Lubis bahwa :

  Teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

27 Suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana

  mengorganisasikan dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.

  28 24 Purnama Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang , Mandar Maju, Bandung, 2008), hal. 10. 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.6. 26 J.J.J.M. Wuisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal.203. 27 M. Solly Lubis, op.cit., hal.27. 28 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal.19. Kontrak yang berasal dari bahasa Inggris “contract”, adalah : Agreement

  between two or more persons which treaties an obligation to do or not to do a

particular thing. It’s essentials are competent, subject matters, a legal concideration,

mutuality of agreement, and mutuality of obligation the writing which contains the

agreement of parties, with the terms and conditions, and which serves as a proof the

  29 obligations .

  Jadi, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) di antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan (hak) dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. Suatu kontrak dari definisi di atas “memiliki unsur- unsur, yaitu pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum,

  30

  perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Pembuat Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyamakan istilah “kontrak dengan perjanjian, dan

  31 bahkan juga dengan persetujuan.

  Pengertian perjanjian sewa-menyewa secara umum dapat ditemui pada pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa : “Sewa- menyewa ialah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”. Kita perhatikan lagi, yang dapat menjadi objek sewa-menyewa yaitu barang, dan dalam pasal 1548 ayat 2 Kitab Undang- 29 30 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal.33. 31 Ibid.

  Ibid ., hal.19. undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa “semua jenis barang baik yang tak bergerak, baik bergerak dapat disewakan.

  Unsur yang ada dalam Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata di atas yaitu persetujuan, pihak-pihak, barang dan pembayaran. Persetujuan terjadi bila ada kata sepakat. Pihak-pihak adalah pemilik barang yang disewakan dan penyewa. Barang yang dimaksud barang secara umum baik benda bergerak maupun benda tetap. Harga ialah nilai yang ada materi ekonomis yang disepakati pihak-pihak dan pembayaran adalah merupakan atau jenis maupun bentuk pembayaran.

  Jadi, adanya kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu kontrak, membangkitkan kepercayaan bahwa kontrak itu dipenuhi. Namun, harus diingat bahwa asas kepercayaan ini merupakan “nilai etis yang bersumber pada moral”. Manusia terhormat akan memelihara janjinya. Para pihak di dalam suatu kontrak saling percaya bahwa di belakang hari masing-masing akan memenuhi perikatan tersebut. Asas ini memberikan arah terhadap pihak sehingga mereka itu mengikatkan dirinya.

  Teori tujuan hukum penting dalam pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa rooftop antara perusahaan telekomunikasi dengan pemilik bangunan. Perjanjian sewa- menyewa tersebut merupakan suatu perbuatan hukum yang dibuat oleh para pihak sehingga klausula dalam perjanjian harus didasarkan pada prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum agar kedua belah pihak kedudukannya seimbang dan proposional.

  Selain itu azas ini penting untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik bangunan dan/atau pihak ketiga khususnya jika terjadi wanprestasi oleh perusahaan telekomunikasi terkait perjanjian penggunaan rooftop tersebut. Sehingga adalah adil, apabila hukum menjamin hak-hak dari pemilik bangunan yang telah menyewakan lahan bangunannya kepada perusahaan telekomunikasi. Para pihak dalam perjanjian juga menghendaki adanya jaminan kepastian hukum atas perikatan yang dilakukan tersebut. Tanpa perlindungan yang memadai maka yang terjadi adalah, salah satu pihak bisa saja ingkar dari kewajibannya, tanpa perlu takut bahwa tindakannya dapat terjerat oleh hukum.

2. Kerangka Konsep

  Dalam bahasa Latin, kata conceptio (di dalam bahasa Belanda : begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “definisi” yang di dalam bahasa Latinnya adalah definitio. Definisi tersebut berarti perumusan (di dalam bahasa Belanda : omschrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian di samping aneka bentuk lain yang

  32 dikenal dalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.

  Dalam penelitian hukum sebagai suatu penelitian kualitatif yang sering kali lebih bersifat normatif atau doktrinal, adanya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoretis menjadi syarat yang sangat penting agar penelitian ini menjadi tidak bias. Dalam kerangka konsepsional ini harus diungkapkan beberapa konsepsi 32 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hal. 6. atau pengertian yang akan digunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam landasan atau kerangka teoretis duraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai sistem aneka “theore’ma” atau ajaran (di dalam bahasa Belanda :

  33 “leerstelling”).

  Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang

  34

  disebut dengan operational definition. Peranan konsep dalam penelitian adalah

  35 untuk menghubungkan dunia teori dan penelitian, antara abstraksi dan realita.

  Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalah dan kerangka konsep teoretisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian. “Konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, menemukan antara variabel-variabel

  36 yang lain, menentukan adanya hubungan empiris”.

  Kerangka konsep merupakan penggambaran hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, tetapi

  33 34 Ibid. , hal.7.

  Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993,

hal.10. 35 36 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, UI Press, Jakarta, 1989, hal.34.

  Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 21.

  37

  merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Perjanjian, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

  38 mengakibatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

  Rooftop

  b. , adalah bubungan atap atau disebut juga pucuk/puncak bangunan. Dalam hal ini rooftop mengacu pada bagian datar dari lantai atau tingkat teratas pada suatu bangunan, yang kemudian dipergunakan oleh operator telekomunikasi

  39 untuk mendirikan menara telekomunikasinya.

  c. Sewa-menyewa, ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak yang tersebut belakangan itu disanggupi

  40 pembayarannya.

  d. Telekomunikasi, adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik

  41 lainnya.

  e. Operator telekomunikasi, adalah penyelenggara telekomunikasi yang berbentuk perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, 37 Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 4. 38 39 Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 40

“Deskripsi Rooftop” , diperoleh dari http://deskripsi.com/r/rooftop, diakses tanggal 5 Juli 2013

41 Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

  Pasa

l 1 angka 1 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. Operator telekomunikasi melakukan kegiatan penyediaan dan pelayanan

  42 telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.

  f. Bangunan, adalah rumah, gedung ataupun segala sarana, prasarana atau infrastruktur dalam kebudayaan atau kehidupan manusia dalam membangun

  43

  peradabannya. Fungsi bangunan umumnya dipergunakan sebagai tempat tinggal ataupun tempat usaha oleh manusia. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,

  44 budaya, maupun kegiatan khusus.

  g. Menara telekomunikasi, adalah bangunan khusus yang berfungsi sebagai sarana penunjang untuk menempatkan peralatan telekomunikasi yang desain atau bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan penyelenggaraan

  45 telekomunikasi.

G. Metode Penelitian

  Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu 42 43 Pasal 1 angka 8 dan 12 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

  “Definisi Bangunan” , diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bangunan, diakses tanggal 5 Juli 2013. 44 45 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 1 angka

  3 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

  

46

timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

  Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

  Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan secara meneliti bahan

  47

  pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian yuridis normatif (doktrinal) adalah penelitian yang dilakukan dengan menginventarisir hukum positif yang berkaitan dengan penulisan tesis untuk menemukan landasan hukum yang jelas. Penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan hukum normatif dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.

  Selain itu sebagai tambahan juga digunakan metode penelitian yuridis empiris (studi lapangan), yang menitikberatkan pada penelitian lapangan yang menjelaskan 46 47 Soerjono Soekanto, op.cit., hal. 43.

  Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 13-14. situasi serta hukum yang berlaku dalam masyarakat secara menyeluruh, sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan dari segi peraturan perundang-undangan

  48 yang berlaku serta dokumen-dokumen berbagai teori.

  Sifat penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian yang bersifat preskriptif, yaitu untuk mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang hanya dipandang dari luar, melainkan masuk menusuk ke suatu hal yang esensial yaitu sisi intrinsik dari hukum. Dengan penelitian yang bersifat preskriptif dimaksudkan untuk mencari jawaban cara apakah untuk dapat menjembatani antara dua realitas yaitu apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya, yang kemudian diakhiri

  49 dengan memberikan rumusan-rumusan tertentu.

  Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang- undangan (statute approach). “Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

  

50

dengan isu hukum yang sedang ditangani”.

2. Metode Pengumpulan Data

  Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang berfungsi untuk mendapatkan konsep, teori atau 48 Ibrahim Johni, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hal. 336. 49 50 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 22.

  Ibid. , hal.93. doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang berhubungan dengan objek yang diteliti dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis seluruh peraturan/undang-undang, buku, artikel/berita dari media cetak, tulisan ilmiah, bahan seminar, bahan dari internet dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam tesis ini.

  Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier, yaitu :

  1. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan turunannya seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan aneka peraturan terkait yang masih berlaku hingga saat ini.

  2. Bahan hukum sekunder Yaitu bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang mengacu pada bahan hukum primer serta implementasinya seperti buku, laporan penelitian, artikel ilmiah, makalah pertemuan ilmiah, dan tesis yang berhubungan dengan penelitian ini.

  3. Bahan hukum tersier Yaitu bahan referensi, bahan acuan atau bahan rujukan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder. Bahan acuan ini membantu dalam memperoleh informasi tertentu secara cepat. Dengan demikian dalam hal ini bisa secara langsung menuju kepada informasi yang dimuat dalam bahan acuan tersier tersebut. Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang digunakan adalah ensiklopedi dan kamus sebagai bahan rujukan untuk memperoleh informasi berupa pengertian suatu kata atau istilah yang diperlukan dalam penelitian ini.

  Untuk memperoleh data yang akurat dan relevan, dilaksanakan 2 (dua) tahap penelitian antara lain:

  1. Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, menelaah, mempelajari, dan menganalisis bahan hukum kepustakaan untuk meneliti lebih jauh, guna memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer dan sekunder yang relevan dengan penelitian tesis ini.

  2. Wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti

  51

  dengan narasumber untuk mendapatkan informasi. Dalam hal ini peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah ditentukan (terstruktur) yang ditujukan kepada narasumber yang telah ditetapkan, yakni :

  a. pemilik bangunan di kota Medan, yang rooftop-nya disewakan untuk pendirian menara telekomunikasi sebanyak dua orang, yaitu :

  1. Bapak Hasan, pemilik bangunan perseorangan yang menyewakan rooftop ke operator XL.

  2. Ibu Ida, pemilik bangunan perseorangan yang menyewakan rooftop ke operator Smart.

  b. operator telekomunikasi yang diwakili oleh personil site acquisition (sitac), yaitu Bapak Agus Manurung, site acquisition coordinator pada perusahaan

51 Ibid, hal. 161.

  telekomunikasi XL, selaku penanggung jawab dalam pekerjaan konstruksi pendirian menara BTS XL pada rooftop bangunan milik Bapak Hasan.

3. Analisis Data

  Analisis data merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai ke komponen- komponennya dan kemudian menelaah hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaahan dilakukan sesuai

  52 dengan tujuan penelitian yang telah diharapkan.

  Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisa data kualitatif yaitu analisa data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan dan keterangan dari para narasumber sehingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

  Bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran

  53 penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.

  Kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum untuk selanjutnya menuju kepada hal-hal yang bersifat khusus dalam menjawab segala permasalahan yang ada dalam suatu penelitian, sehingga memungkinkan menghasilkan kesimpulan yang menjawab permasalahan yang telah ditetapkan.

  52 53 Sri Mamudji, op.cit., hal. 67.

  Ibid.

  

BAB II

TERJADINYA PERJANJIAN PENGGUNAAN ROOFTOP ANTARA

PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PEMILIK BANGUNAN DI

KOTA MEDAN

A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan suatu perjanjian

  adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Para sarjana berpendapat bahwa pengertian perjanjian di atas tidak lengkap dan terlalu luas. Disebut tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dan dikatakan terlalu luas karena dapat

  54 mencakup semua hal.

  Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

  55

  suatu hal. Sudikno Mertokusumo menyatakan perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu

  56 akibat hukum.

  Wirjono Prodjodikoro menyebutkan perjanjian adalah suatu perhubungan mengenai hukum harta benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji, dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, atau untuk tidak melakukan sesuatu hal

  54 55 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 115. 56 R. Subekti, Hukum Perjanjian,Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1.

  

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985,

hal. 97.