BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perdarhan postpartum 2.1.1. Definisi - Gambaran Kasus Perdarahan Postpartum Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2009 – 2011

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perdarhan postpartum 2.1.1. Definisi Hilangnya darah 500 ml atau lebih dari organ-organ reproduksi setelah selesainya kala tiga persalinan (ekspulsi atau ekstraksi plasenta dan ketuban). Normalnya, perdarahan dari tempat plasenta terutama dikontrol oleh kontraksi dan

  retraksi anyaman serat-serat otot serta agregasi trombosit dan thrombus fibrin di dalam pembuluh darah desidua (Taber, 1994).

  Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (lubis, 2011).

  Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan pasca persalinan dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius (koto,2011).

2.1.2. Klasifikasi

  Perdarahan postpartum dapat terbagi dua menurut kejadiannya yaitu :  Perdarahan postpartum primer (dini) adalah perdarahan yang berlebihan selama 24 jam pertama.

   Perdarahan postpartum sekunder (lanjut) adalah perdarahan yang berlebihan setelah 24 jam pertama sampai minggu ke-6 setelah kelahiran.

2.1.3. Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

  Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Lubis, 2011).

2.1.4. Diagnosis

  Karena pengertian dari Perdarahan postpartum itu kehilangan darah lebih dari 500 mL, maka di perlukan pengukuran jumlah darah yang hilang ketika persalinan. Tetapi hal ini tidaklah akurat dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:

  Tidak semua darah yang hilang terkumpul:

  • Beberapa mL darah ada di lantai atau alas tempat tidur

   Beberapa mL darah masih berada didalam uterus tetapi diluar pembuluh darah Cara lain yang mungkin secara tidak sengaja terhitung:

  • Urin  Cairan amnion  Cairan pembersih lainnya.

  Biasanya estimasi yang dibuat itu lebih kecil volumnya dibandingkan kehilangan darah yang sebenarnya, jadi penatalaksanaan akibat kehilangan darah yang terjadi pada kasus perdarahan postpartum ini lebih sedikit dibandingkan pada saat operasi bedah (Hamilton-Fairley, 2009).

  Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk mengetahui apakah ada robekan rahim. Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat diketahui dengan inspekulo. Diagnosis pendarahan pasca persalinan juga memerlukan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar fibrinogen, dan lain-lain (faisal, 2008).

2.1.5. Penyebab

  Kejadian perdarahan postpartum ini di sebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Atonia uteri: diperkirakan 90% 2. Robekan jalan lahir: diperkirakan 7% 3.

  Retensio plasenta, inversion uterus, dan gangguan pembekuan darah: diperkirakan 3% (Parisaei, et all., 2008).

1. Atonia Uteri

  Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Taber, 2010). Faktor Predisposisi atonia uteri sebagai berikut:

  • Regangan rahim yang berlebihan karena kehamilan kembar, polihidramnion, atau anak terlalu besar.
  • Kelelahan kerena persalinan lama.
  • Kehamilan grande-multipara.
  • Ibu dengan keadaan yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
  • Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.

  Diagnosis

  Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek, perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500 – 1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah (Karkata, 2009).

  Penanganan

  a) Pemberian uterotonik agen.

  • Pemberian oksitosin secara i.m., i.v. akan mencegah bnyak kasus atonia uteri
  • Derivat ergot, diberikan jika oksitosin tidak efektif mengembalikan kontraksi uterus. Biasanya diberikan 0.2 mg methylergonovine secara intramuskular. Perlu diperhatikan bahwa pemberian derivat ergot ini tidak dianjurkan secara intravena karena dapat menimbulkan hipertensi yang berbahaya khususnya terhadap kasus preeklamsi.
  • Pemberian analog prostaglandin F2α (carboprost tromethamine) yang terkadang menimbulkan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris, takikardia.

  b) Masase fundus uteri dan merangsang putting susu. d) Kompresi bimanual uterus

  e) Kompresi aorta abdominalis.

  f) Pemasangan tampon kondom dalam kavum uteri yang disambung dengan kateter dan di fiksasi dengan karet gelang kemudian diisi cairan infuse 200 ml yang mengurangi perdarahan. Pemasangan tampon ini hanya bersifat temporer.

  g) Bedah konservatif dengan cara ligasi arteria uterina / arteria ovarika dan operasi ransel B Lynch h) Histerektomi supravaginal ataupun total abdominal (Karkata, 2009).

2. Retensio Plasenta

  Bila plasenta tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila plasenta sampai menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium. (Karkata, 2009)

  Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus disebabkan :

  1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)

  2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)

  3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).

  Faktor predisposisi dari plasenta akreta, yaitu: Plasenta previa.

  • Seksio sesarea.
  • Kuretase.
  • Multigravida lebih dari 6 anak.
  • (Cunningham, 2010)

  Pada pemeriksaan intrauterin, sewaktu melakukan eksplorasi manual mengangkat plasenta yang tertahan, bidang pembelahannya tidak dapat diidentifikasi di antara plasenta yang melekat dan dinding uterus. Pada kasus plasenta akreta parsial, bidang pembelahan dapat ditelusuri, tetapi tidak dapat diikuti seluruhnya sepanjang permukaan maternal plasenta ketebalan perlekatan mengelilinginya.

  Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perdarahan yang banyak, ruptur uteri, inversio uteri, dan infeksi uterus jika plasenta tertinggal atau in situ.

  Penanganan yang penting adalah pemberian cairan dan darah secara intravena untuk memperbaiki hipovolimia yang diakibatkan kehilangan banyak darah.

  Histerektomi abdominal merupakan pengobatan yang lebih disukai untuk kebanyakan pasien segera setelah diagnosis ditegakkan. Karena pelepasan plasenta normal tidak mungkin, berbagai upaya untuk mengeluarkan plasenta yang lengket secara manual atau dengan kuretase dapat menyebabkan katastropik atau rupture traumatik otot uterus yang tipis.

  Jika tidak terjadi perdarahan dan pasien berkeinginan keras untuk memiliki anak lagi maka plasenta dapat ditinggalkan in situ dengan menerima resiko infeksi uterus dan pelvis. Tingkat mortalitas pasien yang diobati tanpa histerektomi hampir empat kali lebih tinggi dari pasien dengan histerektomi segera (Taber, 1994).

3. Robekan Jalan Lahir Robekan jalan lahir umumnya terjadi pada persalinan dengan trauma.

  Pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan jalan lahir, maka karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum, trauma foseps, atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.

  Robekan yang terjadi dapat berupa : Ringan (lecet, laserasi),

  • Luka episiotomy,
  • Robekan perinieum spontan derajat ringan,
  • Rupture perinea totalis (sfingter ani terputus),
  • Robekan pada dinding vagina,
  • Robekan pada forniks uteri,
  • Robekan pada serviks,
  • Ruptura uteri.
  • Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya dikarenakan ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai speculum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai dengan denyut nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal (Karkata, 2009).

  Laserasi yang berdarah diperbaiki dengan benang kromik 00 atau 000. Visualisasi yang adekuat penting, dan serorang asisten sering diperlukan untuk meretraksi dinding vagina dengan retractor sudut kanan.

  Laserasi serviks diperbaiki dengan merenggut mulut serviks yang berdekatan dengan laserasi dengan menggunakan forsep cincin. Jahitan berurutan dengan 00 atau 000 dilakukan melalui bagian yang paling mudah dari robekan

  chromic

  serviks. Traksi pada jahitan tersebut dapat membantu dalam menarik apeks laserasi kebawah. Pembuluh-pembuluh yang mengeluarkan darah harus diligasi untuk mencegah hematoma retroperitroneum. Jahitan yang paling penting adalah pada apeks laserasi, di mana diperlukan perhatian yang vermat untuk memastikan bahwa pembuluh-pembuluh yang mengalami retraksi tidak terus berdarah. Jahitan terputus atau kontinu dapat dipakai, tergantung pada luasnya perdarahan, tempat perdarahan yang terlihat dan keinginan operator (Taber, 1994) 4.

   Inversi Uteri

  Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah inverse uterus yang merupakan keadaan di mana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit (Karkata, 2009). Inversi inkompit dimana fundus uteri tidak terbalik di luar servis. Inverse komplit merupakan seluruh uterus terbalik keluar, menonjol melalui cincin serviks.

  Factor-faktor predisposisi dari inverse uterus, yaitu: Tekanan fundus,

  • Traksi tali pusat,
  • Insersi fundus plasenta,
  • Dinding uterus yang tipis atau kendor,
  • Tekanan abdomen yang meningkat secara tiba-tiba dan berkaitan
  • dengan atonia uteri (Taber, 2010).

  Inversion uteri ditandai dengan dengan: Syok karena kesakitan.

  • Perdarahan banyak bergumpal.

  • Bila baru terjadi maka prognosis masih baik, bila kejadiannya cukup lama mengakibatkan uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi dikarenakan jepitan dari serviks yang semakin mengecil.

  Tindakan yang dilakukan secara garis besar sebagai berikut.

  1. Memanggil bantuan anastesi dan memasang infuse untuk cairan/darah pengganti dan pemberian obat.

  2. Pemberian tokolitik/MgSO

  4

  untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.

  3. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infuse atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru dilepaskan.

  4. Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai dengan keperluannya.

  5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan maneuver di atas tidak bias dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis(Karkata, 2009).

  5. Gangguan Pembekuan Darah.

  Kausal perdarahan postpartum karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan da tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan

  Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin

  

degradation product ) serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial

thromboplastin time ).

  Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis.

  Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid) (Karkata, 2009) 2.1.6.

   Pencegahan

  Pencegahan atau antisipasi dari perdarahan postpartum dapat dilakukan secara berikut:

  1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal 2. Mengenal factor predisposisi perdarahan postpartum seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya dan kehamilan resiko tinggi lainnya yang bisa muncul saat persalinan.

  3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan pertus lama.

  4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.

  5. Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari persalinan dukun.

  6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi perdarahan postpartum dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya (Karkata, 2009).

Dokumen yang terkait

Gambaran Kasus Perdarahan Postpartum Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2009 – 2011

2 54 50

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vaginosis Bakterial 2.1.1. Definisi - Profil Skor Nugent Berdasarkan Pewarnaan Gram pada Pasien Vaginosis Bakterial di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi - Hubungan Psoriasis Dengan Profil Lipid Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012-2013

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Retina 2.1.1. Anatomi Retina - Karakteristik Penderita Retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 – Desember 2013

0 0 26

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Definisi - Karakteristik Penderita Retinoblastoma Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011 – 2012

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cutaneous Larva Migrans 2.1.1. Definisi - Karakteristik Penderita Cutaneous Larva Migrans di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2012

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi - Profil Kanker Penis Di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Periode 2008- 2011

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi - Karakteristik Penderita Sinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2011

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infark Miokard 2.1.1. Definisi - Gambaran Profil Lipid Pasien Infark Miokard Akut Di Departemen Kardiologi RSU Haji Adam Malik Medan Tahun 2011

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Hemopoiesis - Gambaran Hasil Kesimpulan Bone Marrow Puncture (BMP) Pada Penderita Leukemia Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011

0 0 18