BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Adaptasi - Interaksi dan Hambatan Budaya Antara Masyarakat Lokal dan Turis Asing Yang Berkunjung ke Tuktuk Siadong Kec Simanindo Kab Samosir

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Adaptasi Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan.

  Penyesuaian berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan keinginan pribadi Gerungan (1991: 55). Adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan hidup. Salah satu dari syarat tersebut adalah syarat sosial dimana manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keteraturan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaan Suparlan (1993: 2).

  Beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial Soerjono Sukanto (2000: 34) yaitu:

  1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan 2.

  Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan 3. Proses perubahan untuk penyesuaian dengan situasi yang berubah 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan 5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem

  6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah. Merton mengindentifikasikan lima bentuk-bentuk adaptasi yaitu: 1.

  Konformitas, perilaku mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan yang diharapkannya.

2. Inovasi, perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat ( tindakan kriminal).

  3. Ritualisme, melaksanakan ritual-ritual budaya tapi maknanya telah hilang.

  4. Pengunduran/ pengasingan diri, meninggalkan cara hidup yang buruk baik dengan cara konvensional maupun pencapaiannya yang konvensional.

  5. Pemberontakan, penarikan diri dari tujuan konvensional yang disertai dengan upaya melambangkan tujuan atau cara baru, seperti cara reformator agama. Daerah pariwisata mengalami kemajuan apabila menitikberatkan pada indikator adaptasi pariwisata berkelanjutan berupa:

  1. Pengembangan kegiatan dan manfaat sebagai upaya pemberdayaan dalam masyarakat akan sadar wisata

2. Masyarakat menciptakan citra positif wilayah 3.

  Masyarakat mengadakan gotong royong bersama 4. Ada kegiatan pariwisata, pertanian, peternakan sebagai sumber penghasilan daerah untuk kesejahteraan masyarakat.

  5. Ada usaha pengurangan kemiskinan dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang layak

  diakses 12 Januari 2014 pukul

  22.00 WIB )

2.2 Masyarakat

  Masyarakat dilihat sebagai kekuatan impersonal yang mempengaruhi, mengekang, dan juga mempengaruhi tingkah laku anggota-anggotanya. Defenisi masyarakat menurut Horton dan Hun, (1982: 47) adalah “a relatively

  

independents, self-perpetuating human group who accupy territory, share, and

have most of their associations within this group”. Tokoh Sosiologi, Emile

  Durkheim menyatakan masyarakat merupakan suatu kenyataan yang objektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota- anggotanya. Masyarakat bukanlah suatu penjumlahan individu semata melainkan suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka sehingga menampilkan realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya tersendiri, David (2003: 5).

  Ciri-ciri masyarakat menurut Horton dan Hant terdiri dari lima yaitu: 1.

  Kelompok manusia 2. Sedikit banyak memiliki kebebasan dan bersifat kekal 3. Menempati suatu kawasan 4. Memiliki kebudayaan 5. Memiliki hubungan dalam kelompok yang bersangkutan

  Masyarakat lokal atau Community adalah “adaptasi sub-group many of the

  

cahracteristic of society, but on adaptasi smaller scale, and with less extensiv,

adaptasi territorial area and coordinate common interest”. Dalam pengertian ini

  menyatakan bahwa masyarakat lokal adalah bagian kelompok dari masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil serta mereka lebih terikat oleh tempat, Fairchild (1980) dalam Elly, (2009: 85). Masyarakat lokal juga diartikan sebagai kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial dengan dua dasar yaitu lokalitas dan perasaan, Elly (2009: 86)

  Pasal 1 angka 34 UU No 37 Tahun 2007 menyebutkan masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau- pulau kecil. Max Webber mengatakan, masyarakat lokal adalah suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya, Wahatnala (2013: 2). Dalam ilmu Sosiologi ada dua macam masyarakat yaitu masyarakat paguyuban, ada hubungan antar pribadi yang menimbulkan suatu ikatan batin. Masyarakat patembayan, masyarakat yang terdapat hubungan pamrih antar anggot-anggotanya. Ada tiga unsur-unsur dalam masyarakat: 1.

  Harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak 2. Ada aturan dan undang-undang yang mengatur masyarakat untuk menuju kepentingan bersama

3. Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu.

2.3 Interaksi Sosial

  Manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam kehidupan untuk menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Interaksi sosial adalah proses sosial yang berarti suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam berkomunikasi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial Elly, (2009: 91). Interksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial oleh karena itu tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama, Kimbal Young dan Raymond dalam (Soekanto, 1982: 58).

  Secara sosiologis menyatakan bahwa interaksi manusia akan menghasilkan produk-produk berupa nilai, norma, serta kebiasaan-kebiasan yang dianaut oleh kelompok atau masyarakat tersebut.

  Menurut Mead dalam (Poloma, 2004: 256) masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan sekelompok aktor yang dinamis dan berubah dan tidak pernah selesai terbetuk sepenuhnya. Mayarakat bukanlah suatu yang statis yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Adapun ciri-ciri interaksi sosial adalah: 1.

  Jumlah pelakunya lebih dari seorang, biasanya dua atau lebih 2. Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol- simbol

  3. Ada suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, masa kini, dan akan datang, yang menentukan sikap dari aksi yang sedang berlangsung 4. Adanya tujuan tertentu. Dalam proses sosial, dapat dikatakan terjadi interaksi sosial apabila telah memenuhi sebagai aspek kehidupan bersama yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi sosial.

  1. Adanya kontak sosial, menurut Syani (2002) kontak sosial adalah hubungan antara dua orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat, konflik sosial dengan pihak yang lainnya. Dalam kontak sosial dapat terjadi hubungan yang fositif dan negarif. Hubungan positif terjadi apabila kedua belah pihak saling pengertian sehingga akan mengakibatkan hubungan yang berulang-ulang dan mengarah pada satu pekerjaan. Hubungan negatif tidak ada saling pengertian sehingga mengakibatkan konflik.

  2. Adanya komunikasi, seseorang memberikan penafsiran kepada perlakuan atau dengan kata lain manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandang orang lain, Soekanto (2002). Komunikasi menuntut adanya pemahaman makna atas suatu pesan dan tujuan bersama antara masing-masing pihak.

  Menurut Sitorus (2000) berlangsungnya suatu interaksi dapat didasarkan pada berbagai faktor antara lain imitasi, suggesti, identifikasi dan simpati.

  Identipikasi dan simpati memiliki kemiripan yaitu adanya kecenderungan menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Secara mendasar ada empat macam bentuk interaksi sosial yang ada dalam masyarakat yaitu: 1.

  Kerja sama (coorporation) 2. Persaingan (competition) 3. Akomodasi dan penyesuaian diri (accomodation) 4. Pertentangan atau pertiakaian (conflict).

2.4 Budaya

  Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, rasa dan karsa. E.B Tylor menyatakan budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istadat kemampuan lain yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

  Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan dipengaruhi oleh evolusionisme yang mengatakan kebudayaan akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.

  Substansi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala ide dan gagasan manusia yang bermunculan dalam masyarakat baik dalam bentuk sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan digolongkan dalam tiga wujud yaitu:

  1. Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan.

  2. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

  3. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

2.5 Hambatan Budaya

  Hambatan budaya adalah suatu budaya yang berkaitan dengan persepsi atau sudut pandang antara masyarakat dan pelaksana pembangunan. Hambatan budaya juga diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu: 1.

  Sikap tradisionalisme, kehidupan masyarakat tergantung kepada alam.

  Kehul H Landis mengatakan kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakat sangat tergantung kepada pertanian, tingkat tehnologi rendah dan produksinya hanya memenuhi pada kebutuhan keluarga. Ciri-ciri sikap tradisional, Raharjo (2004: 66) yaitu: a.Mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap lingkungannya, b. Rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya, c.Cenderung menganggap segala sesuatu sebagai kesatuan

  (tingginya kekeluargaan),

  d. Pola hidup yang lamban, karena terggantung kepada alam, e. Tingginya kepercayaan kepada takhayul,

  f. Aspek kebudayaan material relatif bersahaja, g. Tidak mengindahkan segi ornamen dan keindahan- keindahan seni, h. Standart moral yang kaku di dalam masyarakat.

  2. Etnosentrisme, sikap mengagung-agungkan budaya suku bangsa sendiri dan menganggap rendah budaya lain yang dapat mengakibatkan konflik SARA (Setiadi, 2006: 33). Kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik juga menolak kebudayaan lain yang masuk kedaerahnya. Orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan memeluk agama yang fanatik.

  3. Penstreotipean yang menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi. Beberapa penyebab stereotipe menurut Baron dan Paulus yaitu: a.

  Kekurangan informasi mengenai mereka, dengan cenderung menyamaratakan dan menganggap mereka homogen.

  b.

  Kecenderungan melakukan kognitif sedikit mungkin dalam berpihak dengan orang lain.

  4. Rasialisme, suatu penekanan pada ras atau menitikberatkan pertimbangan rasial. Rasialisme atau sering disebut dengan rasisme yang dapat menghambat keefektifan komunikasi antar budaya antar ras yang berbeda. Gerakan rasisme umumnya merujuk kepada sifat individu, selain itu juga merujuk kepada gerakan sosial politik dengan melambangkan supermasi ras. Fokus para rasisme adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi sosial.

  5. Perkembangan IPTEK sebagai hasil dari kebudayaan, yang sering disalahgunakan oleh manusia. Contoh pembuatan nuklir mengakibatkan kehancuran manusia akibat penyalahgunaan fungsi.

  

(htttp//:luciatriediana.wordpress.2009. Diakses 16 Januari 2014, 22:10)

  Sebagaimana hubungan manusia dari budaya yang berbeda, hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal dipengaruhi oleh sistem sosial budaya kedua belah pihak. Perbedaan budaya merupakan hal yang penting mendapatkan perhatian dalam melihat interaksi wisatawan dengan masyarakat lokal. Reisinger (1997: 131) menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:

  “Culural differences, together with asymmetry of the frequent

  and transitory tourist-host contact, are the most important factors which influence interaction difficulties between tourist and host (Pearce, 1982b; Sutton, 1967). Therefore, understanding of croos culture tourist-host contact and the influence of the culture background of tourist and host is the key featur for identification of the culture potential for taourist-host interaction and the effect this interaction on the overall tourist holiday satisfaction”. (Artinya): Perbedaan

  budaya bersamaan dengan frekuensi kontak dan transitori turis dan masyarakat lokal adalah faktor yang paling penting dan mempengaruhi kesulitan interaksi antara tamu dan masyarakat lokal (Pearce, 1982b; Sutton, 1967). Oleh karena itu, pemahaman kontak budaya berbeda dan pengaruh latar belakang budaya turis dan masyarakat adalah kunci utama untuk identifikasi potensi interaksi budaya turis dan masyarakat lokal dan mempengaruhi kepuasan liburan turis.

2.5.1 Budaya Batak Toba (Anakni Raja dan Boruni Raja)

  Status sosial dalam masyarakat Batak ada dibuat penamaan sebagai Halak

  Batak (Orang Batak). Penamaan untuk orang Batak tersebut kurang tepat,

  melainkan lebih kepada Bangso Batak (Bangsa Batak). Budaya Batak Sangat tinggi disamping bahasa ada tulisan, pembagian waktu, penamaan hari, bulan, mata angin, ulos, ukiran dan alat musik lainnya. Pada orang Batak akan tetap mengamalkan ajaran adat-istiadat Batak walaupun dia memeluk agama Kristen.

  Dalam hal ini, kebudayaannya sebagai Batak akan lebih kuat dibandingkan dengan kekristennannya. Seorang yang tidak beragama di Budaya Batak tidak dianggap sesuatu hal yang sangat parah, tetapi apabila seseorang disebut naso

  

maradat (tidak ada adat) maka seseorang tersebut layaknya tidak lagi menjadi

anggota masyarakat, Jhon Peter (2009: 16).

  Dalam kebudayaan Batak semua orang Batak disebut sebagai Raja, apakah

  Raja Ni Hula-Hula, Rajani Dongan Tubu, Raja Ni Boru, Raja Na Ro dan sebagainya. Diamati dari hal yang membedakan status orang Batak apakah dapat disebut sebagai Raja Batak atau tidak yaitu, dengan melihat jumlah tangga pada rumahnya (umumnya menggunakan Rumah Bolon). Jumlah anak tangga menentukan status sosialnya, apabila jumlah tangga genap maka asal muasalnya tidak jelas dan tidak pantas untuk disebut sebagai raja.

  Marga adalah nama family yang diambil dari garis keturunan ayah (patrilineal), marga juga sebagai suatu penyelaras status sosial masyarakat. Oleh karena itu, mengapa semua perempuan Batak dan laki-laki Batak disebut sebagai Boruni Raja dan Anakni Raja karena saat pelaksanaan pesta pernikahan ada acara menyusul setelah acara adat yaitu Tikkir Tangga yang bertujuan untuk melihat lebih lanjut berapa jumlah anak tangga keluarga mempelai perempuan. Jumlah anak tangga apabila genap tetap mempelai perempuan disebut sebagai Boruni Raja, karena ada satu yang menyelaraskannya yaitu dari segi nama keluarga (Marga) dan dengan memahami asal-usul marga nenek moyangnya, maka layaklah disebut Anakni Raja dan Boruni Raja, Jhon Peter (2010: 6).

2.5.2 Budaya Barat (Turis Asing)

  Kebudayaan Barat adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan cara memahami ilmu pengetahuan dan filsafat. Mereka melakukan berbagai diskusi untuk menentukan makna sebenarnya dari kesadaran. Melalui proses belajar mereka dituntut untuk pandai berceramah dan berdiskusi. Dalam kaca mata Indonesia bahkan dalam kaca mata kebudayaan Timur mengenal bahwa kebudayaan Barat memiliki sifat, mandiri, disiplin, terbuka, pekerja keras, gaya berpakaian yang bebas, sangat menghargai waktu dan privacy namun kurang perduli dengan norma-norma dan agama, Hidayati (2003: 10).

  Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup (lifestyle) bermakna individualitas, pernyataan diri dan kesadaran diri. Fashion adalah suatu aksi yang dirangsang oleh industri konsumen Chaney, (2004: 99). Cara berpakaian bagi kebudayaan Barat tidak tergantung kepada penilaian orang lain terhadap cocok tidaknya pakaian yang dipakai seseorang, tetapi lebih kepada apakah seseorang itu nyaman dengan apa yang dipakainya. Keberadaan budaya

  

nigh club , konser atau bersantai dirumah juga menentukan cara berpakaian

  mereka, Judith Schlehe (2006) Bersepeda adalah salah satu gaya hidup dalam kebudayaan Barat sekalipun mereka memiliki mobil. Bersepeda adalah hal yang umum digunakan terutama di pusat kota di Eropa. Alasan mereka memilih bersepeda adalah, untuk kesehatan, mengurangi kemacetan, bersifat ekonomis, mengurangi pemakaian kendaraan bermotor untuk kesadaran ramah lingkungan dan sepeda tidak terkait dengan status, Judith Schlehe (2006) ).

  Konsumsi minuman beralkohol juga merupakan gaya hidup, 77% penduduk dewasa di negara Barat terutama di Jerman, mengkonsumsi bir secara teratur. Setiap bulan Oktober ada pestival Octoberfest perayaannya identik dengan pesta bir, bahkan diperhitungkan bir yang dihabiskan selama festifal tersebut mencapai setengah dari keseluruhan konsumsi bir di Jerman selama setahun. Pola konsumsi ini tidak hanya berhubungan dengan selera atau rasa tetapi sebagai sarana megekspresikan suatu identitas tertentu. Konsumsi bir sebagai sarana interaksi dengan sesama yang pada akhirnya akan membentuk kelompok- kelompok tertentu. Hasil penelitian Judith Schlehe (2006).

  Komisi ahli statistik Liga Bangsa-Bangsa 1937 menyatakan turis asing atau sering disebut wisatawan asing adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara diluar dari negara asalnya dalam jangka waktu minimal 24 jam dan bukan untuk menetap tetapi tujuan bersenang-senang. Turis atau wisatan bahkan sering disebut dengan travelers merupakan orang yang melakukan perjalanan, Irawan (2010: 11). U.N Convention Concerning Costums Fasilities For Touring menyatakan turis asing adalah setiap orang yang datang ke suatu negara karena alasan yang sah, selain untuk berimigrasi dan tinggal setidaknya selama 24 jam dan selama-lamanya enam bulan, Irawan (2010: 12). U.N Conference On Interest

  Travel And Tourism di Roma 1963 dalam Irawan (2010: 12) menggunakan istilah

  pengunjung atau visitors untuk setiap orang yang datang ke suatu negara yang bukan tempat tinggalnya dan biasa untuk keperluan apa saja, selain melakukan perjalanan yang digaji. Pengunjung dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1.

  Wisatawan, pengunjung yang datang ke suatu negara yang dikunjunginya tinggal selama minimal 24 jam dengan tujuan untuk bersenang-senang, berlibur, kesehatan, belajar, keperluan agama, berbisnis, keluarga, utusan dan pertemuan.

2. Excurtion, pengunjung yang hanya tinggal sehari di negara yang dikunjunginya tanpa bermalam.

  Menurut Kasumarungin, (2009: 18) wisatawan dibagi menjadi empat menurut

  sifatnya, yaitu: 1.

  Modern idealis, wisatawan menaruh perhatiannya pada budaya dan explorasi alam

2. Modern materialis, wisatawan mencari keuntungan secara berkelompok

  3. Tradisional idealis, menaruh minat pada sosial budaya yang bersifat tradisional dan sangat menghargai alam yang tidak bercampur dengan modernisasi 4. Tradisional materialis, berpandangan konvensional, mempertimbangkan keterjangkauan, murah dan keamanan.

  

(http//:tourismeconomic.wordprss.com2012/10/29/wisata-pariwisata-

wisatawan-kepariwisataan-unsur-unsur-pariwisata. Diakses 20 Januari

  2013 20:03)

2.5.3 Posisi Budaya Terhadap Perilaku ( Hambatan Budaya)

  Budaya yang dikembangkan akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari orang asing. Kebudayaan yang berlaku yang dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek lainnya. Berikut beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dengan perilaku, Elly dkk (2009: 38) yaitu:

  1. Environtmental behaviour and process, bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial

  2. Cultural social environtment, meliputi aspek kebudayaan serta proses sosialisasi

  3. Environtmental orientation and representation, mengacu kepada kepercayaan dan kognitf masyarakat yang berbeda-beda mengenai budaya dan lingkungannya 4. Out carries product, usaha manusia mengelola lingkungan dan budayanya 5. Physical environtment, mengarah kepada lingkungan natural

2.5.4 Mengatasi Hambatan Budaya

  Berikut adalah beberapa cara mengatasi hambatan budaya: 1.

  Social competen, kemampuan untuk membuat jejaring sosial dan pandai bergaul

  2. Goverment socialization of tourism convesness, sosialisasi pemerintah akan sadar wisata

  3. Openness to other way of thinking, keterbukaan untuk menerima pikiran yang berbeda

  4. Cultural adaptation, kemampuan seseorang menerima budaya baru

  5. Professional Excellence, mempunyai kemampuan yang handal dibidang tertentu

6. Language skill, kemampuan berbahasa asing 7.

  Ability to work in team, kemampuan bekerjasama dalam tim 8. Self reliance or independence, percaya diri dan mandiri 9. Mobility, berwawasan luas 10.

  Sensivity, Peka terhadap sesuatu yang baru.

  (http//:harissupiandi.blogspot.com/2003/07/hambatan-dalam-komunikasi- antar-budaya.html?m=1. Diakses 24 Januari 2004)

2.6 Penelitian Terdahulu

  Berikut adalah beberapa hasil penelitian terdahulu di beberapa daerah tujuan wisata yang telah dilaksanakan oleh para peneliti terdahulu. Penelitian ini sebagai acuan penelitian yang akan saya laksanakan.

1. Penelitian oleh Grace Sinambela 2008 Sosiologi Fisip USU yang berjudul

  “Pengaruh Keberadaan Wisatawan Asing Terhadap Perkembangan Bisnis

  Pariwisata Masyarakat di Tuktuk Siadong. Dengan kesimpulan penelitian adalah keberadaan industri pariwisata di Tuktuk Siadong berpengaruh terhadap perkembangan bisnis masyarakat. Usaha bisnis yang lebih maju adalah pada masyarakat yang menikah dengan turis asing dan membuka usaha bisnis di Tuktuk Siadonng.

  2. Penelitian oleh Andre Causeu seorang Antropolog berkebangsaan asing pada tahun 2006 yang berjudul “Situs-Situs Interaksi Dalam Budaya Batak Toba di Samosir”. Kesimpulan hasil penelitiannya adalah turis asing merasa lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat lokal walaupun terkadang sulit dalam pemahaman bahasa. Dalam memposisikan turis asing, masyarakat lokal mendapat kesulitan dikarenakan mereka tidak memiliki marga. Sebagian Masyarakat lokal menganggap turis berusia lebih dari 30 tahun dan masih lajang adalah seorang pastur atau missionaris agama.

3. Penelitian oleh Andre Lukman 2007 yang bersumber dari Jurnal

  Pariwisata Padang Sumatra Barat dengan judul “Sikap Melayani Turut Menentukan Perkembangan Pariwisata Padang Sumatra Barat”.

  Kesimpulan hasil penelitian adalah kurangnya sikap melayani yang baik oleh masyarakat lokal terhadap tamu. Baik ditunjukkan dengan usaha- usaha restoran dan pusat perbelanjaan. Perkembangan sektor priwisata tidak hanya ditentukan oleh kegiatan-kegian berskala besar dan objek wisatanya. Kreatif, inovatif, komunikatif dan pelayanan yang bagus perlu ditingkatkan untuk pengembangan industri pariwisata Padang Sumatra Barat.

  4. Penelitian oleh Arya Sarah 2009 yang bersumber dari jurnal pariwisata Kabupaten Serang propinsi Banten yang berjudul “Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari Terhadap Pendapatan Masyarakat Lokal, Pantai Bandulu Kabupaten Serang Provinsi Banten”. Kesimpulan hasil penelitian adalah Masyarakat lokal merasakan dampak langsung dari keberadaan industri pariwisata, dengan peningkatan pendapatan hingga 64% . Namun, kedatangan wisatawan umumnya lebih banyak dari wisatawan lokal bukan turis asing. Hal ini dikarenakan kurangnya promosi yang inovatif.

  5. Penelitian Gita Sarah Antropologi Fisip USU 2009 yang berjudul “Perkawinan Campur Orang Batak dengan Wisatawan Asing Di Samosir”.

  Kesimpulan hasil penelitain adalah Pernikahan antara orang Batak dengan wisatawan asing akan sah secara adat Batak Toba, apabila telah ada upacara pemberian marga terhadap wisatawan asing.