Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan (Studi Di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan)

(1)

EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

(STUDI DI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

FITRI HIDAYANTI 100200339

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia dari masa kegelapan ke masa yang terang benderang.

Penulisan skripsi ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Oleh karena itu, guna memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba membuat skripsi dengan judul : “EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN (Studi di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan)”.

Disini penulis juga menyadari terhadap penulisan dan pembahasan skripsi ini masih banyak dijumpai berbagai kekurangan baik dalam segi penguasaan susunan bahasa ataupun substansi isi dari penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang dapat mendukung terwujudnya kesempurnaan tulisan ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada :


(3)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahrial Pasaribu, DTM&H, Msc (CTM), Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah membina dan memberikan pandangannya dalam pendidikan di dalam kampus maupun di luar kampus.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DMF selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III.

3. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I serta Dosen Wali Akademik penulis yang telah dengan ikhlas, sabar, serta berbaik hati memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, bantuan, dan saran yang tak terhingga selama penulis menjalani pendidikan hingga terselesainya skripsi ini. Terimakasih banyak, Pak. Semoga Bapak selalu diberkahi berjuta kebaikan dan selalu dipeluk Allah dalam naungan kasih sayang-Nya.

4. Ibu Maria Kaban, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah dengan sabar, ikhlas, dan tulus memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, saran, dan motivasi yang sangat besar sehingga penulis semakin terpacu untuk menyelesaikan skripsi ini hingga selesai. Terimakasih banyak, Buk. Semoga kebahagiaan dan kasih sayang Tuhan selalu memeluk Ibu.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Dosen dan Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah


(4)

banyak memberikan saran-saran serta pengarahan kepada penulis di saat akan dilakukannya penulisan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu para Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga tingkat akhir menjadi Sarjana Hukum.

7. Seluruh staf Biro Pendidikan, yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak Azwir Agus, SH, M.Hum selaku Sekretaris Badan Arbitrase Nasional Kota Medan, yang memberikan banyak bantuan dan pengetahuan dalam penyusunan skripsi ini.

Dan rasanya merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis dalam kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Ayahanda Yafizham, SH dan Ibunda Farida Hanum, S.Pd atas perjuangan, pengorbanan, dan kasih sayang yang tak terhingga selama 21 tahun ini dalam mendidik dan membesarkan penulis, serta selalu memberikan semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih Mama, Babah sudah menjadi tempat berbagi keluh kesah, tempat bersandar, tempat berlindung, tempat bermanja, tempat mencurahkan segalanya. Terima kasih sudah menjadi paket sempurna yang dikirim Allah buat Anti di dunia ini. I love you super much, Ma, Bah. Semoga Mama dan Babah selalu berada dalam lindungan penjagaan dan dekapan kasih sayang Allah.


(5)

2. Dan juga kepada adik-adikku, Marlia Ulfa, M.Rizky Maulana, dan Annisa Zahra. Terimakasih sayang untuk kasih sayang, semangat, dan doa yang selalu kalian berikan. Ayong loves you, three.

3. Terima kasih juga teruntuk Awlia Sofwan Lubis, SH yang selalu memberikan bantuan, semangat, motivasi yang tiada hentinya. Terima kasih ya Doping III. I don’t love you, but I love you more.

4. Sahabat-sahabatku Indah Pradini Naska, Hanny Luvika, Dhabitah Amalina, Arifatul Khair, Reni Susanti, Naily Amalia, Khairunnisa, Mentari Yolanda, Cindy Annisa, Rhanty Jusmadi, Michelle, Nabilla, Rafika, Srik, yang telah memberikan semangat, bantuan, dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Kak Fanny Dwi Lestari, SH yang berbaik hati membantu penulis demi terselesainya skripsi ini.

6. Dan kepada teman-teman Mahasiswa baik teman satu angkatan dan junior seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, serta senior yang banyak memberikan arahan-arahan serta bimbingan kepada penulis. Terakhir sebagai penutup kata, penulis mengharapkan agar tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulisa sendiri di dalam menambah wawasan ilmu hukum pada umumnya dan di bidang arbitrase pada khususnya. Dan penulis juga berdoa semoga ilmu yang telah penulis dapatkan dapat dipergunakan untuk kepentingan agama, nusa, maupun bangsa.


(6)

Hormat Penulis


(7)

ABSTRAK

*Fitri Hidayanti

**Muhammad Husni, SH, MH ***Maria Kaban, SH, M.Hum

Sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, semakin banyak masalah atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan dan berdampak terhadap penumpukan perkara yang masuk ke pengadilan dan berakibat terhadap lamanya suatu sengketa tersebut di proses. Mengingat dan mempertimbangkan hal tersebut, dibutuhkan suatu metode penyelesaian sengketa yang adil, cepat, dan ringan biaya. Salah satu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan tersebut adalah arbitase, dimana arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian yang ditengahi oleh seorang arbiter atau majelis arbiter yang berhak untuk mengambil keputusan.

Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam mewujudkan tulisan ini, dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka dan melakukan penelitian secara langsung mengenai efektifitas pelaksanaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Kota Medan yang merupakan bagian dari lembaga arbitrase institusional di Indonesia, penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan sekretaris BANI.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai prosedur arbitrase yang dilakukan oleh BANI dimana tata cara pelaksanaannya sesuai dengan rule and procedural yang dibuat oleh BANI. Pihak yang bersengketa tunduk dan patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh BANI karena bersifat final dan mengikat. Penulis juga mendapati pengetahuan mengenai faktor pendukung terlaksananya efektifitas arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh BANI, yakni karena adanya keinginan para pihak terutama pihak bank untuk menyelesaikan sengketanya secara rahasia demi menjaga nama baik bank yang secara khusus merupakan lembaga fiduciary atau lembaga yang tumbuh dan berkembang karena kepercayaan masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

ABSTRAK...v

DAFTAR ISI...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...10

C. Tujuan Penelitian...10

D. Manfaat Penelitian...11

E. Metode Penelitian...12

F. Keaslian Penulisan...13

G. Sistematika Penulisan...14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE A. Defenisi Arbitrase, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia...16

B. Unsur, Objek, serta Jenis Arbitrase...34

C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase...43

D. Faktor-Faktor yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa...48


(9)

BAB III : ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

A. Defenisi Sengketa Perbankan...52 B. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian

Sengketa Perbankan di Luar Peradilan...64 C. Peran dan Prospek Penegakan Arbitrase di

Indonesia...68

BAB IV : EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN MELALUI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA

A. Prinsip dan Prosedur Pelaksanaan Arbitrase yang Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan...71 B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Arbitrase yang

Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional

Indonesia...81 C. Keberhasilan dan Kegagalan Arbitrase dalam

Penyelesaian Sengketa Perbankan yang Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia...83

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN


(10)

B. Saran...87

DAFTAR PUSTAKA...89

LAMPIRAN  

                                         


(11)

ABSTRAK

*Fitri Hidayanti

**Muhammad Husni, SH, MH ***Maria Kaban, SH, M.Hum

Sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, semakin banyak masalah atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan dan berdampak terhadap penumpukan perkara yang masuk ke pengadilan dan berakibat terhadap lamanya suatu sengketa tersebut di proses. Mengingat dan mempertimbangkan hal tersebut, dibutuhkan suatu metode penyelesaian sengketa yang adil, cepat, dan ringan biaya. Salah satu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan tersebut adalah arbitase, dimana arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian yang ditengahi oleh seorang arbiter atau majelis arbiter yang berhak untuk mengambil keputusan.

Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam mewujudkan tulisan ini, dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka dan melakukan penelitian secara langsung mengenai efektifitas pelaksanaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Kota Medan yang merupakan bagian dari lembaga arbitrase institusional di Indonesia, penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan sekretaris BANI.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai prosedur arbitrase yang dilakukan oleh BANI dimana tata cara pelaksanaannya sesuai dengan rule and procedural yang dibuat oleh BANI. Pihak yang bersengketa tunduk dan patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh BANI karena bersifat final dan mengikat. Penulis juga mendapati pengetahuan mengenai faktor pendukung terlaksananya efektifitas arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh BANI, yakni karena adanya keinginan para pihak terutama pihak bank untuk menyelesaikan sengketanya secara rahasia demi menjaga nama baik bank yang secara khusus merupakan lembaga fiduciary atau lembaga yang tumbuh dan berkembang karena kepercayaan masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam menjalani kehidupan, terkadang pasti terdapat situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan sengketa.1

Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan/ atau pemahaman antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan / atau tuntutan terhadap kewajiban atau tanggungjawab.

Konflik atau sengketa biasanya bahkan terjadi karena hal-hal kecil, antara lain sengketa yang terjadi antar tetangga karna tapak batas rumah, sengketa yang terjadi di dalam perjanjian karena salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat, sengketa dalam keluarga karena memperebutkan harta warisan, dan       

      1 

Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia  Indonesia, 2002) hlm.34 


(13)

sebagainya. Juga ada sengketa yang terjadi di dunia perbankan. Pada hakikatnya, tidak ada seorang pun yang menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi, namun terkadang hal-hal yang menjadi penyebab munculnya atau timbulnya tidak dapat dielakkan.

Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya. Agar tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung tin ggi hak untuk mendengar dan hak untuk di dengar. Dengan prasyarat tersebut proses dialog dan pencarian titik temu (commond ground) yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran tentang pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak berjalan dalam arti yang sebenarnya.2

Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu :

1. Kepentingan (interest) 2. Hak-hak (rights), dan 3. Status kekuasaan (power).3

Seperti diketahui, terdapat dua macam solusi penyelesaian sengketa, yaitu litigasi dan non-litigasi. Litigasi merupakan cara penyelesaian sengketa tertua       

     2 

Ibid 

     3 


(14)

dimana proses penyelesaiannya diserashkan melalui lembaga pengadilan. Kemudian berkembang pula proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi yakni alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui adanya kerjasama dan itikad baik antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan serta mengakhiri sengketa tersebut melalui bantuan pihak ketiga.

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).4

Dalam menggunakan penyelesaian sengketa secara litigasi dengan segala kelemahannya tersebut, para pihak yang bersengketa harus bersabar menunggu karena terjadinya penumpukan perkara di pengadilan. Untuk mengatasi penumpukan tersebut dan agar para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dengan waktu yang relatif singkat dengan biaya yang ringan pula, maka cara yang paling baik untuk ditempuh adalah melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Perkembangan penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan atau yang disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan kebalikan penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa menghasilkan       

     4 

Hukum dan Masyarakat, Bandung, L Angkasa, 1980, dalam skripsi Ririn Bidasari Tahun 2006  Fakultas Hukum USU, hlm.3 


(15)

kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.5

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dan biasa digunakan dalam menyelesaikan sengketa adalah:

1. Konsultasi (pertukaran pikiran dengan pihak ketiga, dalam hal ini bisa oleh konsultan hukum, untuk mendapatkan kesimpulan mengenai penyelesaian sengketa yang sedang terjadi)

2. Negosiasi (penyelesaian melalui tawar-menawar oleh kedua belah pihak yang bersengketa atau diwakili oleh masing-masing perwakilannya untuk mendapatkan titik temu dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi)

3. Mediasi (penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang disebut mediator, dimana mediator tersebut tidak memiliki kewenangan mengambil putusan)

4. Konsiliasi (usaha mempertemukan keinginan-keinginan para pihak sehingga tercapai persetujuan bersama)

5. Arbitrase (penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut arbiter, dimana arbiter dapat memberikan putusan)

Salah satu metode penyelesaian sengketa secara non-litigasi yang lazim digunakan adalah arbitrase. Dasar pemeriksaan arbitrase yang dipakai di Indonesia selama ini mengacu pada ketentuan hukum lama yakni Pasal 615       

     5 

Fanny Dwi Lestari, 2013, Efektifitas Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di  Pengadilan Negeri, Fakultas Hukum USU, hlm.4 


(16)

sampai dengan Pasal 651 reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847 Nomor 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941 Nomor 44) serta Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor 227), yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. Untuk itu, dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.6

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut secara tegas langsung mencabut ketiga jenis peraturan mengenai arbitrase sebelumnya, maka dengan jelas segala bentuk ketentuan yang menyangkut arbitrase, termasuk penerapan putusan arbitrase tunduk kepada Undang-Undang yang baru ini.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 selain mengatur mengenai arbitrase, juga mengatur mengenai pranata hukum lainnya yang dapat digunakan oleh dunia usaha untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya. Peraturan mengenai arbitrase dapat dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing mengenai Penanaman Modal dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Dengan sendirinya pelaksanaan ketentuan arbitrase sebagaimana yang tercantum dalam

Undang-            6 


(17)

Undang Nomor 5 Tahun 1968 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tersebut, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.7

Hal-hal yang dapat dikemukakan tentang arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah :

1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian 2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis

3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

Dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (pactum de compromittendo) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis).

Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. Selain syarat subjektif tersebut, terdapat pula syarat objektif yang harus dipenuhi. Menurut ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa di bidang

            7 


(18)

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat pada penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang:

-Perniagaan -Perbankan -Keuangan

-Penanaman modal -Industri

-Hak kekayaan intelektual.8

Ini berarti bahwa makna ‘perdagangan’ sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) seharusnya juga memiliki makna yang luas sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan selanjutnya dalam pasal 5 ayat (2), yang memberikan perumusan negatif, dimana dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ini berarti kita harus melihat kembali ketentuan mengenai perdamaian yang diatur       

     8 

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000)  hlm. 47 


(19)

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab Ke-delapan belas Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864.9

Pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Arbitrase adalah pranata alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak. Sifat pribadi dari arbitrase memberikan keuntungan-keuntungan melebihi proses ajudikisi di pengadilan. Arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.

Kebebasan yang dimaksud adalah para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan adil. Para pihak juga dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu.10

Seorang hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya dilarang ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya objektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan akhir oleh arbiter atau majelis arbiter.

            9 

Ibid. hlm.48 

     10 

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Bandung, PT  Citra Aditya Bakti, 2000) hlm.67 


(20)

Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.11

Dari uraian diatas, arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mempermudah para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya tanpa mempermalukan para pihak karena bersifat rahasia, juga penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan secara cepat tanpa menimbulkan penumpukan perkara di pengadilan. Arbitrase juga menguntungkan para pihak karena dilakukan dengan biaya yang ringan. Bagi masyarakat yang memiliki kepentingan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat dan efisien, maka arbitrase ini adalah jawaban untuk penyelesaian sengketa mereka. Yang diharapkan adalah hal ini sungguh-sungguh dilaksanakan oleh para arbiter termasuk oleh lembaga yang menaungi pelaksanaan arbitrase di Indonesia yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia, terutama Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan.

Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan diatas, maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN (Studi Kasus di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan)”

            11 


(21)

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis kemukakan diatas dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serta penelaahan terhadap perundang-undangan yang ada, serta dari berbagai literatur yang ada, maka permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prinsip dan prosedur pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam penyelesaian sengketa perbankan?

2. Apa sajakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia?

3. Bagaimanakah keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tujuan dalam skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui prinsip dan prosedur arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan dalam menyelesaikan sengketa perbankan.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia.


(22)

c. Untuk mengetahui bagaimana keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia, terutama dapat menambah pengetahuan di bidang arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa perbankan.

Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan memberikan gambaran yang nyata kepada kalangan masyarakat Indonesia mengenai peran dan efektifitas arbitrase dalam pemeriksaan dan penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Kota Medan.

b. Secara Praktis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi rekan mahasiswa, praktisi hukum, pemerintah, serta masyarakat yang bersengketa sebagai pedoman dan bahan rujukan dalam rangka menyelesaikan sengketa perbankan dengan memberdayakan arbitrase, sehingga penegakan hukum dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.


(23)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan secara yuridis normatif. Penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif ini merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang topik yang penulis angkat, kemudian melihat kesesuaian antara hal yang ditentukan dalam peraturan hukum tersebut dengan pelaksanaannya di lapangan berlakunya (dalam hal ini menyangkut efektif atau tidak antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan penelitian di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan, sebagai instansi yang wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik yang penulis bahas di dalam skripsi ini. Penulis memilih tempat tersebut sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan tempat tersebut memenuhi karakteristik bagi penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang akan ditulis.


(24)

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, upaya pengumpulan data dilakukan dengan data primer dan data sekunder dengan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Studi Lapangan (Data primer)

Wawancara yaitu melakukan penelitian langsung ke lapangan mengenai efektifitas dari peraturan hukum yang berkaitan dengan topik skripsi penulis terhadap praktek di lapangan. Wawancara dilakukan antara penulis dengan pihak Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan yang melakukan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan.

b. Studi kepustakaan (Data Sekunder)

Dilakukan dengan mempelajari dan meneliti berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam skripsi ini, seperti buku-buku hukum, makalah hukum, majalah hukum, surat kabar, artikel hukum di internet, pendapat para sarjana yang expert di dunia hukum, dan bahan-bahan lainnya.

F. Keaslian Penulisan

Penulis membuat tulisan ini dengan melihat perkembangan hukum saat ini dan mengaitkannya dengan dasar-dasar hukum yang bersumber dari berbagai literatur dan bahan bacaan dari berbagai referensi yang diperoleh dari perpustakaan atau toko buku dan beberapa diantaranya diperoleh dari internet maupun media massa. Sepanjang yang telah ditelusuri dan penulis ketahui mengenai karya ilmiah skripsi yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas


(25)

Sumatera Utara, tidak ada judul yang sama dengan apa yang ditulis oleh penulis. Dengan demikian, penulis meyakini bahwa skripsi ini adalah merupakan murni karya asli dari penulis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan mempermudah dan penulisan dan penjabaran penulisan skripsi dengan memberikan gambaran yang lebih jelas, penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Arbitrase

Menguraikan tentang hal-hal umum mengenai arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa. Memuat semua hal mengenai arbitrase mulai dari defenisi, sejarah dan perkembangan arbitrase di Indonesia, unsur, objek, serta jenis arbitrase, kelebihan dan kekurangan arbitrase, dan faktor-faktor yang mendorong para pihak memberdayakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.

BAB III : Arbitrase Sebagai Salah Satu Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan

Membahas dan menguraikan arbitrase sebagai salah satu pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan. Memuat hal mengenai defenisi sengketa perbankan, arbitrase sebagai salah satu


(26)

cara penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan, serta peran dan prospek penegakan arbitrase di Indonesia.

BAB IV : Efektifitas Penerapan arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Mendeskripsikan prinsip dan prosedur pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam penyelesaian sengketa perbankan. Memaparkan faktor penghambat pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia, serta keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

A.Defenisi, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.12

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda),

arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang

berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter arau wasit.13

Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah ”indepensi” dari arbiter dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang “adil” dan “cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun bersengketa.14 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa.15

      

     12 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, 

pasal 1 angka 1 

     13 

Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.1 

     14 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, 

Op.Cit, hlm.70 

     15 

Umar Sandi, “Arbitrase”, artikel,  http://umarzandi.blogspot.com/2011/02/arbitrase.html ,  diakses 9 Februari 2014 


(28)

Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun 1999 serta Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting dari arbitrase, yaitu:

1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan 2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak

3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi

4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan.

5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.

Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak ketiga yang memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang menghadapi sengketa dan memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa tersebut. Pihak ketiga ini berperan sebagai jembatan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini dapat memberikan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan serta memberikan kepuasan terhadap para pihak.

Secara terminologi, defenisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai pihak serta ahli hukum adalah:

Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan


(29)

dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.”16

Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some

fashion select.”17 (arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para

pihak sengketa untuk mengantisipasi kemungkinan sengketa yang akan terjadi atau sengketa yang sedang terjadi, para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang pengambil keputusan yang akan memberikan beberapa macam pilihan).

Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya bahwa arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang diambil untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara para pihak.

Sementara itu menurut R. Subekti “arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.”18

            16 

M. Husseyn Umar, Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia (Jakarta,  Komponen Hukum Ekonomi Elips Project, 1995) hlm.2 

     17 

Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.2 

     18 


(30)

Disini Subekti menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim atau arbiter dalam penyelesaian sengketa harus ditaati oleh pihak yang bersengketa. Mereka harus tunduk dan terikat kepada hasil keputusan tersebut.

Secara lebih terperinci, Abdulkadir Muhammad juga memberikan pengertian “arbitrase adalah badan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.”19

Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu bagian dari peradilan umum yang memang telah dikenal secara khusus dalam dunia perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di perusahaan. Arbitrase ini merupakan cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri berdasarkan kehendak bebas dari pihak yang bersengketa berdasarkan perjanjian yang telah mereka buat secara tertulis baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang telah diatur dalam hukum perdata.

Batasan arbitrase menurut Sudargo Gautama “arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat

            19 

Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya  Bakti, 1993) hlm.276 


(31)

dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.”20

Pernyataan Sudargo Gautama ini memberikan pengertian bahwa arbitrase dilakukan dengan tidak sedikitpun terikat dengan berbagai formalitas seperti yang dilakukan oleh pengadilan, keputusan yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dilakukan secara cepat dan mudah serta mengikat dan harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam Black Law Dicitionary dikatakan “Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay,

the expense and taxation of ordinary litigation.”21 (Arbitrase adalah suatu

referensi terhadap penyelesaian sengketa yang dialihkan kepada orang ketiga yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa yang telah disetujui sebelumnya di awal perjanjian untuk mematuhi apa yang diputuskan arbiter setelah arbiter mendengar kesempatan kedua belah pihak menyampaikan pendapatnya. Pengaturan ini termasuk untuk menerima dan mematuhi keputusan orang ketiga yang dipilih tersebut dalam menyelesaikan sengketa, tidak membawa sengketa ke pengadilan,

            20 

Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, dalam buku Rachmadi Usman,  hlm.3 

     21 Tommi Ricky Rosandy, “Pengantar Hukum Arbitrase di Indonesia”, artikel, 

http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/14/pengantar‐hukum‐arbitrase‐di‐indonesia/ ,  diakses 9 Februari 2014 


(32)

yang dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan perpajakan litigasi biasa).

Black Law Dicitionary menekankan bahwa penggunaan arbitrase adalah untuk mencegah masuknya sengketa ke pengadilan untuk menghindari segala macam bentuk formalitas di pengadilan yang memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit pula.

Z. Azikin Kusumah Atmadja dalam ceramahnya yang berjudul Enforcement Of Foreign Arbital Awards, pada seminar yang diadakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia bersama dengan International Chamber of Commerce tanggal 13 September 1978 di Jakarta, mengartikan arbitrase sebagai “arbitration is the business community’s self regulatory practise of dispute

settlement.”22 (arbitrase adalah praktik regulasi diri yang dilakukan komunitas

bisnis terhadap penyelesaian sengketa).

Dari beberapa defenisi-defenisi yang telah disebutkan, antara satu sama lain tidaklah terlalu berbeda. Dalam pengertian yang lebih sederhana, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang penyelesaiannya diadakan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang berhak mengambil keputusan terhadap sengketa tersebut.

Pihak ketiga atau arbiter tersebut dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa, dan sudah seharusnya arbiter memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.

            22 


(33)

Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal emmpunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang ahli bidang tertentu.23

Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memnuhi syarat-syarat sebagai berikut:

- Cakap melakukan tindakan hukum - Berumur paling rendah 35 tahun

- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa

- Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase

- Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.24

Hakim, jaksa, panitera dan pejabat-pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.25

Tidak diperbolehkannya orang-orang atau pejabat-pejabat yang disebut dalam ayat itu menjadi arbiter, adalah agar terjamin adanya pemeriksaan dan pemberian putusan oleh arbiter secara objektif.

Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbitrase yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, hal ini sesuai dengan       

     23 

Munir Fuady, Op.Cit, hlm.67 

     24 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, 

Pasal 12 ayat 1 

     25 


(34)

ketentuan yang disebutkan dalam Pasal1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang menyebutkan “arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.” Dari kalimat “seorang atau lebih” tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan pokok mengenai jumlah arbiter yang diperbolehkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sweet and Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review mengemukakan dalam menentukan berapa orang kah yang sebaiknya menjadi arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa faktor dibawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. jumlah yang dipersengketakan

b. kompleksitas klaim

c. nasionalitas dari para pihak

d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam sengketa

e. ketersediaan arbiter yang layak

f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan26

            26 


(35)

Pengangkatan arbiter dapat dilakukan dengan penunjukan oleh para pihak, penunjukan oleh hakim, dan penunjukan oleh lembaga arbitrase. Cara pertama dengan penunjukan oleh para pihak dilakukan melalui pembuatan pactum de compromittendo ataupun akta kompromis. Perjanjian tersebut harus memuat ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak tersebut. Yang penting untuk diingat, walaupun arbiter ditunjuk dalam jumlah lebih dari satu orang atau lazimnya disebut majelis arbiter, jumlahnya haruslah ganjil.

Tata cara dengan penunjukan langsung oleh para pihak ini adalah yang paling baik dikarenakan para pihak telah menyepakati dari awal mengenai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Dengan cara ini, proses pengangkata arbiter adan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih cepat diselesaikan.27

Namun jika tidak terjadi kesepakan antara para pihak dalam pemilihan atau penunjukan arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan kepada hakim atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi “Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”.

            27 


(36)

Dasar hakim atau ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk arbiter ini adalah berdasarkan permohonan kedua belah pihak ataupun salah satu pihak dengan menceritakan serta menjelaskan tentang tidak tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh para pihak ini berfungsi sebagai acuan atau dasar untuk mencampuri hal mengenai penunjukan arbiter yang memang merupakan wewenang dari pihak yang bersengketa.

Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review mengemukakan, apabila arbiter dipilih oleh lembaga arbitrase, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan, yaitu:

- Sifat dan hakikat dari sengketa - Ketersediaan dari arbiter - Identitas dari para pihak - Independesi dari arbiter

- Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase - Saran-saran yang diberikan oleh para pihak28

Seorang yang telah dipilih atau ditunjuk untuk menyelesaikan suatu sengketa dapat menerima ataupun menolak penunjukannya tersebut. Penerimaan ataupun penolakannya tersebut wajib diberitahukan kepada para pihak secara tertulis paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal penunjukkannya sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

            28 


(37)

1999. Jika ia menerima, maka arbiter tersebut tidak dapat mengundurkan dirinya dari tugasnya sebagai arbiter ketika sengketa belum selesai. Hal ini telah ditekankan pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, namun terdapat pengecualian jika para pihak setuju dan mengijinkan pengunduran diri arbiter tersebut setelah didahului dengan pengajuan permohonan secara tertulis.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, Arbiter harus netral, independen, adil serta bebas dari benturan kepentingan dan afiliasi dengan salah satu pihak yang bersengketa atau dengan masalah yang menjadi sengketa.29 Untuk sukses menjalankan tugasnya tersebut, sudah sepatutnya arbiter tersebut adalah orang yang profesional di bidangnya.

Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh arbiter diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negerti dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi akta pendaftaran. Pencatatan ini menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.30

Seorang arbiter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas apapun yang dilakukannya selama proses penyelesaian sengketa berlangsung selama yang diperbuatnya tersebut adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang penjalanan fungsi arbiter.       

     29 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, Arbiter/Mediator, artikel, 

http://www.bapmi.org/in/arbitrators_requirements.php diakses 9 Februari 2014 

     30 


(38)

Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ternyata memberikan kemungkinan kepada para pihak untuk menuntut ganti kerugian dan penggantian biaya yang dikeluarkannya serta menuntut tanggung jawab hukum lainnya dari arbiter, seperti tertera di dalam Pasal 18, 19, 20, 21, 22, dan 56.

Berbicara tentang arbitrase, tidaklah sempurna jika tidak mengupas tentang sejarah perkembangannya. Sejarah perkembangan arbitrase sangat panjang dikarenakan arbitrase telah lama dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak mulai berlakunya Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).

Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS, berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra berlaku hukum adatnya masing-masing, tetapi dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.

Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah ada pula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya. Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum


(39)

acara yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang disingkat B. RV atau RV.

Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene Inlandsch Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengeswesten atau Rbg.

Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut : a. Untuk pulau Jawa dan Madura berlaku peraturan organisasi Peradilan dan

kebijakan kehakiman di Hindia Belanda (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie disingkat R.O).

b. Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan daerah seberang laut (Rechtsreglemetn Buitengewesten / Rbg).

Sedangkan dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.31

Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR maupun Rbg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan

            31 


(40)

tersebut, pasal 337 HIR, 705 Rbg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata (Reglement opde Burgerlijke disingkat Rv. S 1847-52 jo 1849- 63).32

Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putera, hukum perdata material yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan Rbg untuk derah luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).

Bagi golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum perdata Materil yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek / BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Kophandel / WvK (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (RV).33

Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu : - Badan arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia

- Badan arbitrase tentang kebakaran

- Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.34

Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda, peradilan Raad Van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi       

     32 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, 

Op.Cit, hlm.12 

     33 

Ibid. hlm.14 

     34 


(41)

nama (Tiboo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan Rbg.35

Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-udang dari pemerintah dahulu (Pemerintah Hindia Belanda) tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.36

Kemudian untuk mencegah kevakuman hukum, pada waktu indonesia merdeka diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini”

Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan Nomor 2 yang dalam pasal (1) menyatakan : Segala Badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar tersebut”.

Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, Rbg dan Rv. Mengenai badan peradilannya dibeberapa bagian RI yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat,       

     35 

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.15 

     36 


(42)

landrechter ini manjadi Pengadilan Negeri sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.37

Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal pangadilan Adat dan Swapraja.

Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku saat itu (konstitusi Republik Indonesia Serikat), dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa :

a. Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut Pasal 197 konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini.

b. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentan tata usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku,

            37 


(43)

sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI, Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan.38

Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : ‘Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun 1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peraturan-peraturan dan ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di ubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan arbitrase yang diatur dalam Rv juga masih tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.39

            38 

Ibid. hlm.17 

     39 


(44)

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat.40

Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Dan secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. 41

Dalam perkembangannya, saat ini arbitrase telah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dikarenakan lebih efisien dalam segitu waktu, usaha, serta kerahasiaannya dibanding dengan menyelesaikan sengketa menggunakan jalur litigasi yakni melalui peradilan umum. Di satu segi, pelaksanaan arbitrase juga membantu dalam mengurangi laju sengketa yang masuk ke pengadilan.

            40 Munir Fuady, 

Op.Cit, hlm.30 

     41 

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30034/3/Chapter%20II.pdf , diakses 10  Februari 2014 


(45)

B. Unsur, Objek serta Jenis Arbitrase a. Unsur Arbitrase

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar peradilan yang di dasari atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa.

Dari defenisi atau pengertian tersebut dapat diambil suatu bagian unsur-unsur dari arbitrase secara umum, yaitu meliputi :

a. penyelesaian sengketa b. di luar peradilan umum

c. berdasarkan perjanjian tertulis42

Telah jelas bahwa pada poin c dikatakan bahwa unsur dari arbitrase adalah berdasarkan perjanjian tertulis. Sebagaimana tertera di dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Dengan adanya perjanjian arbitrase ini, berarti meniadakan hak para pihak yang bersengketa untu mengajukan gugatan terhadap penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri.

Dikarenakan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa, maka bentuk klausula arbitrase pun dapat dibagi       

     42 

Eddy Leks,  http://eddyleks.blog.kontan.co.id/2013/01/07/arbitrase‐sebagai‐alternatif‐ penyelesaian‐sengketa‐bisnis/ , artikel, diakses 10 Februari 2014 


(46)

menjadi dua bentuk yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula yang berbentuk akta kompromis.

Klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak dalam perjanjiannya sebelum timbulnya sengketa. Dalam hal ini para pihak menyetujui atau menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan timbul atau terjadi dikemudian hari melalui arbitrase kepada lembaga arbitrase ataupun arbitrase ad-hoc.

Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa, “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam pasal 615 ayat (3) Rv yang menentukan “bahwa diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dijumpai dalam pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan “...the parties undertake to submit to arbitration all or any differences....which may arise between them...”43

Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut :

a. meninggalnya salah satu pihak b. bangkrutnya salah satu pihak c. novasi (pembaruan utang)

            43 


(47)

d. insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari salah satu pihak e. pewarisan

f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok

g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok44

Bentuk klausula lain adalah akta kompromis. Klausula ini dibuat setelah timbul atau terjadinya sengketa. Pada perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, lalu setelah terjadinya sengketa maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase. Perjanjian mengenai hal tersebut dibuat secara tersendiri serta terpisah dari perjanjian pokok yang mana di dalamnya tertera mengenai penyerahan penyelesaian sengketa secara arbitrase.

Disimpulkan dari pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa pembuatan suatu akta kompromis dapat diancam batal demi hukum jika tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi

b. persetujuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa harus dibuat secara tertulis, tidak boleh diperjanjikan secara lisan

            44 

Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa  Alternatif pasal 10 


(48)

c. harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris.

d. Isi dari perjanjian harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiter serta pernyataan kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya yang dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa.

Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup :

1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase 2. Ruang lingkup arbitrase

3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad.hoc. apabila memlikih bentuk ad.hoc, maka klausula tersebut merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase

4. Aturan prosedural yang berlaku

5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase 6. Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase

7. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas).45

Menilik penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa unsur perjanjian tertulis tersebut merupakan ciri khas penyelesaian       

     45 

Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Arbitrase di Indonesia:Beberapa Contoh  Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1995) hlm.25 


(49)

sengketa melalui arbitrase. Karena tanpa adanya perjanjian tertulis yang dibuat antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase.

Berbicara tentang perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada aturan yang tertera di dalam hukum perjanjian pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jadi, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase tidak terlepas dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.46

b. Objek Arbitrase

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, objek memiliki arti hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan.

Berdasarkan pengertian objek tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa yang menjadi objek arbitrase adalah hal-hal yang dibahas dalam arbitrase atau hal-hal yang dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase.

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

            46 

http://ilmuhukumuin‐suka.blogspot.com/2013/12/macam‐macam‐perjanjian‐arbitrase‐ dan.html , artikel, diakses 10 Februari 2014 


(50)

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.47

b. Jenis Arbitrase

Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai jenis-jenis arbitrase, dimana hal ini berarti menyangkut masalah lembaga yang akan menangani jalannya arbitrase. Untuk tinjauan terhadap lembaga arbitrase ini dilakukan pendekatan melalui ketentuan yang tercantum didalam Rv dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Jenis arbitrase yang akan dibahas ini merupakan jenis arbitrase yang kewenangan serta eksistensi nya diakui sebagai lembaga untuk memriksa, menangani serta memberikan putusan terhadap sengketa yang terjadi antara pihak-pihak yang telah melakukan perjanjian.

Berdasarkan terkoordinasi dan tidak terkoordinasinya arbitrase oleh suatu lembaga, maka jenis arbitrase terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Arbitrase ad-hoc 2. Arbitrase institusional             47 

BPK, Arbitrase. http://jdih.bpk.go.id/wp‐content/uploads/2011/03/Arbitrase.pdf , artikel,  diakses 11 Februari 2014 


(51)

Arbitrase ad-hoc atau disebut juga arbitrase volunter adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.48

Arbitrase ad-hoc ini dibentuk setelah suatu sengketa terjadi. Arbitrase ini tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase, jadi dapat dikatakan bahwa arbitrase ini tidak memiliki aturan ketentuan sendiri mengenai tata cara pelaksanaan pemeriksaan sengketa maupun pangikatan arbiternya.

Dalam hal ini arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.49

Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekatpada suatu badan (body) atau lembaga (institution) tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelasanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan atta cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.50

Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para

            48 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, 

Op.Cit. hlm.55 

     49 

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm.150 

     50 


(52)

pihak sering kali memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional.51

Arbitrase institusional tersebut menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter.52

Karena arbitrase institusional sangat mendukung pelaksanaan arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat dan sering kali sepakat menggunakan jasa-jasa lembaga arbitrase atau arbitrase institusional. Aturan-aturan umum tentang kebebasan dan otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak yang menggunakan lembaga arbitrase dapat menyesuaikan proses arbitrase mereka.53

Ada beberapa lembaga arbitrase institusional yang menyediakan jasa arbitrase, diantaranya bersifat Internasional dan yang bersifat Nasional.

Yang bersifat Internasional misalnya :

- The International Centre for Setlement of Investment Dispute (ICSID),

didirikan oleh World Bank. Diratifikasi melalui Undang-Undang nomor 5 Tahun 1968.

- Court of Arbitration of The International Chamber of Commerce (ICC),

bertempat di Paris.

- United Nation Commisson on International Trade Law (UNCITRAL),

didirikan pada tanggal 21 Juni 1985.

      

     51 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, 

Op.Cit. hlm 25 

     52 

Ibid. hlm.26 

     53 


(53)

Sedangkan lembaga arbitrase yang bersifat Nasional antara lain : - Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

- Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

Dalam bagian ini sedikit akan dibahas tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai sebuah lembaga arbitrase institusional dalam lingkup Nasional yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian sengketa yang timbul mengenai permasalahan perdagangan, industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional secara adil dan cepat.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini berdiri pada tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia sebagai sarana kepercayaan para pengusaha Indonesia termasuk pengusaha perdagangan bagi kelancaran usahanya, untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya, berkedudukan di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di tempat-tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu setelah diadakan mufakat dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.

Prakarsa KADIN dalam pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri yang antara lain menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan Industri dapat melakukan antara lain jasa-jasa baik dalam bentuk pemberian surat keterangan, penengahan, arbitrase, dan rekomendasi mengenai usaha pengusaha Indonesia, termasuk legalisasi surat-surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya.54

            54 


(54)

Jadi walaupun Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini memiliki sifat, ruang lingkup keberadaan serta hanya meliputi kawasan Indonesia, namun bukan berarti Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini hanya dapat menyelesaikan sengketa nasional saja, tetapi juga dapat menyelesaikan sengketa yang bebobot internasional, asalkan hal tersebut diajukan atau diminta serta disepakati oleh para pihak.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia terdiri dari susunan seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa orang anggota tetap, beberapa orang anggota tidak tetap, dan sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Ketua, Wakil Ketua, anggota, dan sekretariat tersebut diangkat dan diberhentikan atas pengusulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Untuk pertama kali mereka diangkat atas pengusulan Team Inti Pendiri BANI. Jangka waktu pemangkuan jabatan tersebut adalah untuk waktu lima tahun, setelah mana mereka dapat diangkat kembali. Ketua, Wakil Ketua, dan para anggota tetap merupakan pengurus (Board of Managing Directors) Badan Arbitrase Nasional Indonesia.55

C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase 1. Kelebihan Arbitrase

Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan-kelebihan sehingga dipilih atau digunakan oleh pihak-pihak yang sedang berada atau mengalami sengketa.

            55 


(55)

Berdasarkan penjelasan umum yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak

b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan

dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

HMN Purwosutjipto juga mengemukakan kelebihan-kelebihan peradilan wasit (arbitrase) yaitu :

1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat

2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak

3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak

4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat


(56)

rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.56

Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah As compared with the court system, the main advantages clained for arbitration are :

1. Quicker resolution of disputes (penyelesaian sengketa secara cepat) 2. Lower costs in time and money to the parties (biaya yang rendah)

3. The availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute” (kemampuan para pihak yang ahli dalam sengketa).57

Menurut Prof. Subekti, bahwa bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia.

Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang Indonesia” menyebutkan keuntungan arbitrase yang menyebabkan arbitrase disebut di pilih dalam menyelesaikan sengketa, yaitu :

a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan b. Keahlian

c. Cepat, dan hemat biaya             56 

Budhy Budiman, “Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik  Peradilan 

Perdata Dan undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999”, dalam http://jdih.bpk.go.id/wp‐ content/uploads/2011/03/Arbitrase.pdf diakses 15 Februari 2014 

     57 

http://fikrimuhammad17.blogspot.com/2011/03/arbitrase.html , artikel, diakses 15 Februari  2014 


(57)

d. Bersifat rahasia e. Bersifat non-preseden

f. Kepekaan arbiter pelaksanaan keputusan g. Kecenderungan yang modern

Hampir sama dengan hal tersebut, Sudargo Gautama juga menyebutkan alasan arbitrase digunakan sebagai metode penyelesaian sengketa dalam bukunya yang berjudul “Arbitrase Dagang Internasional” adalah :

a. Dihindarkannya publisitas b. Tidak banyak formalitas

c. Bantuan pengadilan hanya pada taraf eksekusi d. Baik untuk pedagang-pedagang bonafide

e. Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha f. Lebih murah dan cepat

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan ahli-ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kelebihan atau keunggulan arbitrase adalah sebagai berikut :

Pertama, para pihak mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan

hukum, proses serta tempat penyelenggaraan arbitrase, dan tidak terikat dalam bentuk formal peradilan seperti hal nya di dalam proses litigasi. Fleksibilitas arbitrase ini menjadi daya tarik yang sangat besar karena para pihak yang besengketa dapat dengan langsung membahas hal-hal yang menjadi persengketaan mereka tanpa perlu diwakili oleh kuasa hukum seperti beracara di pengadilan.

Kedua, pada umumnya arbitrase dilakukan secara tertutup atau bersifat


(58)

oleh para pihak yang bersengketa saja. Artinya tidak ada pihak lain yang mengetahui permasalahan-permasalahan yang menjadi sengketa sengketa para pihak seperti hal nya penyelesaian sengketa melalui litigasi sehingga kegiatan usaha tidak menjadi terganggu. Hal ini juga menjadi dasar sehingga para pihak memilih arbitrase, karena mereka tidak menginginkan masalah yang dihadapi diketahui oleh orang lain ataupun dipublikasikan kepada media.

Ketiga, pihak yang bersengketa dapat memilih sendiri arbiter atau orang

yang ahli untuk menyelesaikan sengketa mereka. Hal ini dimaksudkan agar orang yang ahli tersebut dengan ilmunya dapat memberikan putusan yang cepat dan adil serta dapat dipertanggungjawabkan sesuai pengetahuan yang dimilikinya terhadap sengketa yang tengah dihadapi para pihak.

Keempat, arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa yang tidak

memakan banyak waktu dan dilaksanakan dengan biaya yang murah dibandingkan dengan proses berperkara di pengadilan atau litigasi.

2. Kelemahan Arbitrase

Sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, arbitrase tidak hanya memiliki kelebihan-kelebihan namun juga memiliki kelemahan-kelemahan yang perlu diketahui oleh pengguna metode arbitrase.

Kelemahannya terletak pada masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas, ini khususnya terjadi di Indonesia dari praktek arbitrase yang sudah berjalan selama ini. Selain itu, di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar peradilan umum yang didasarkan pada adanya klausul mengenai cara penyelesaian secara arbitrase di dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa secara tertulis. Penyelesaian sengketa secara arbitrase ini sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Secara normatif penyelesaian sengketa secara arbitrase sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni, Pasal 615 s/d 651 RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), Pasal 377 HIR (Het Herziebne Indonesich Reglement), Pasal 705 RBG (Reglement op de Rechtsvordering). Secara formal, arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Arbitrase ini semakin berkembang karena proses pelaksanaannya yangt cepat, hemat biaya, dijamin keberhasilannya, para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan serta latar belakang yang cukup mengenai sengketa yang tengah dihadapinya, serta putusan arbitrase merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak melalui prosedur yang sederhana. Karena memberikan kemudahan-kemudahan yang menguntungkan tersebutlah pihak yang bersengketa memilih arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa yang tengah dihadapinya dari pada menyelesaikan melalui jalur pengadilan.


(2)

2. Praktek pelaksanaan arbitrase melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia tanpa ada hambatan yang berarti karena ditunjang oleh sarana dan kekuatan mengikat yang dimiliki oleh BANI. Namun terdapat sedikit yang menjadi kelemahan adalah kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai lembaga arbitrase di dalam masyarakat, sehingga masih ada segolongan masyarakat yang belum mengenal arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa, serta belum adanya lembaga arbitrase perbankan umum yang secara khusus menangani sengketa perbankan agar sengketa perbankan dapat diselesaikan secara khusus tanpa bercampur dengan sengketa lainnya.

3. Efektifitas arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan berjalan dengan baik dikarenakan pihak bank memilih arbitrase sebagai jalan aman untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi karena bersifat rahasia dan tertutup untuk umum, sehingga bank yang merupakan lembaga fiduciary

yang berlandaskan kepercayaan masyarakat tidak kehilangan esensinya tersebut dikarenakan nama baik bank tetap terjaga. Namun berdasarkan penelitian bahwa sampai saat ini belum ada sengketa perbankan yang di daftarkan dan diselesaikan oleh BANI Perwakilan Medan. Efektifitas terlihat dari pelaksanaan yang dilakukan BANI Pusat dan terlihat dari kinerja BANI dalam menyelesaikan sengketa lainnya, karena pada dasarnya prosedur dan pelaksanaan penyelesaian sengketa perbankan sama dengan penyelesaian sengketa lainnya.


(3)

B. Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut :

1. Dalam melaksanakan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia perlu dibuat suatu peraturan mengenai suatu putusan arbitrase dapat dilakukan langsung tanpa perlu pendaftaran eksekusi melalui pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar esensi BANI sebagai suatu badan atau lembaga arbitrase menjadi lebih kuat karena dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap putusan yang dikeluarkannya tanpa perlu meminta bantuan eksekusi dari pihak pengadilan.

2. Perlu dilakukan sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui seluk beluk dan hal-hal terkait arbitrase dan lembaga yang dapat melakukan arbitrase, dalam hal ini terkhusus kepada BANI. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengerti tentang arti arbitrase sebenarnya dan tau lebih dalam mengenai tata cara atau prosedur pelaksanaan arbitrase sebagai suatu cara peyelesaian sengketa yang efektif, adil, tidak membuang waktu yang lama, terjaga kerahasiaannya, dan juga ringan biaya.

3. Perlu dibuat suatu lembaga arbitrase perbankan umum yang secara khusus menangani sengketa perbankan agar sengketa perbankan dapat diselesaikan secara khusus tanpa bercampur dengan sengketa lainnya. Hal ini dikarenakan pada saat ini perbankan merupakan suatu lembaga penting yang menopang dan menunjang kehidupan perekonomian bangsa dan


(4)

negara, sehingga dengan adanya lembaga arbitrase perbankan umum tersebut dapat lebih meningkatkan keefektifitasan arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa perbankan.

                                           


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Damanik, D. 2003. Bermimpi Memajukan Indonesia dengan Eukaliptus.

www.Medan Bisnis.com [ 9 September 2013]

Departemen Kehutanan, 1994. Eucalyptus. Pedoman Teknis Penanaman Jenis-jenis Kayu Komersial. Badan Litbang Departemen Kehutanan.

http://www.indonesiaforest.com/tanaman_andalan/eucalyptus.PDF [10 September 2013]

Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Hutan Tanaman. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan

Djafaruddin. 2001. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta. Khaeruddin, 1999. Pembibitan Tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Cetakan

kedua. Penebar Swadaya. Jakarta.

Latifah, S. 2004. Pertanaman dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis di Hutan

Tanaman Industri. http://www.libraryusu.ac.id [10 September 2013]

Nar, K. S. S. 2000. Insects Pest and Diseases in Indonesian Forest an Assessmentof the Major Threats, Research Efforte and Literature. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Old, M.K, Wingfield, J.M and Z.Q. Yuan. 2003. A Manual of Diseases of Eucalyptus in South- East Asia. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan d Indonesia: Gejala, Penyebab dan Teknik Pengendaliannya. Kanisius. Yogyakarta.

Satrahidayat, I.R. 1990. Ilmu Penyakit Tanaman. Usaha Nasional. Surabaya.

Semangun, H. 2003. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Silalahi, N.R. 2008. Inventarisasi Fungi Patogen pada Daun Bibit Tanaman Eucalyptus spp. (Studi Kasus Di Pembibitan PT.Toba Pulp Lestari Porsea Sumatera Utara). Departemen Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Tidak Dipublikasikan.


(6)

Widarto, L. 1996. Perbanyakan Tanaman dengan Biji, Stek, Cangkok, Sambung, Okulasi dan Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta.

Widyastuti, S.M, Sumardi, Harjono. 2005. Ptologi Hutan. Gadjah Mada University-Press. Yogyakarta.

Sumardi dan S. M Widyastuti. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.