BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan perbankan syariah yang dikenal sebagai perbankan Islam (Islamic Banking ) semakin kokoh setelah mendapat legalitas seiring kelahiran Undang-

   Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS 2008). UUPS

  2008 telah memperkuat secara kelembagaan serta mengintrodusir berbagai produk usaha yang sesuai ketentuan hukum Islam, sekaligus memberi aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan perbankan syariah.

  Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), bulan Oktober 2011, menampilkan Jaringan Kantor Perbankan Syariah (Islamic Banking Network) terdiri dari 11 Bank Umum Syariah (BUS) dengan 1365 jumlah kantor, 23 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan 327 jumlah kantor,

   dan 154 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan 362 jumlah kantor.

  Statistik ini memperlihatkan perkembangan perbankan syariah, sehingga secara kuantitas semakin banyak akad yang terbit atas produk usaha yang terjadi antara bank syariah dengan masyarakat pelaku bisnis. Meningkatnya hubungan hukum yang terjadi di lingkungan perbankan syariah sedikit banyak akan berpengaruh pula terhadap kemungkinan timbulnya sengketa antara perbankan syariah dengan nasabah sebagai pengguna jasa perbankan. 1 2 LNRI Tahun 2008 Nomor 94, TLNRI Nomor 4867, mulai berlaku tanggal 16 Juli 2008.

  Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics) – Juni 2012,

  Hukum telah menyediakan berbagai sarana bagi masyarakat yang terlibat sengketa untuk menyelesaikannya. Setidaknya dikenal dua jalur penyelesaian sengketa, yaitu melalui mekanisme peradilan dan mekanisme di luar peradilan. Kedua jalur ini dimungkinkan oleh UUPS 2008 untuk digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 UUPS 2008, sengketa di lingkungan perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan agama atau dapat dilakukan melalui mekanisme lain di luar peradilan agama sesuai kesepakatan yang dicantumkan secara tegas di dalam akad dengan

  

  mengindahkan prinsip syariah. Dengan demikian, selain secara litigasi melalui badan peradilan agama, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa juga dilakukan secara non-litigasi di luar peradilan dengan melakukan pilihan forum (choice of forum) yang

   ditetapkan dalam akad. 3 Pasal 55 UUPS 2008 menyebut: (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh

pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan

penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. 4 Istilah akad dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘perjanjian’ dalam hukum positif Indonesia.

  

Syamsul Anwar menyebut, akad sebagai ‘pertemuan ijab kabul sebagai pernyataan kehendak dua

pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.’ Syamsul Anwar, Hukum

Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat , (Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2007), hlm. 68. Sementara itu, Fathurrahman Djamil mengatakan, akad dalam pandangan

Islam merupakan hubungan hukum yang mencakup semua objek akad dan tidak membedakan asal usul

akad selama dibenarkan hukum Islam. Oleh karena itu, istilah akad dapat mencakup pengertian

perikatan dan juga perjanjian. Namun, bila dicermati lebih mendalam, tampaknya akad merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, karena akad menimbulkan hubungan hukum yang memberikan

hak dan meletakkan kewajiban serta mengikat para pihak yang membuat perjanjian. Fathurrahman

Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 14. Dalam hukum perjanjian Indonesia sebagaimana disebut dalam Pasal 1233 KUH. Perdata diketahui, bahwa perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan atau karena undang- undang. Subekti menyatakan Istilah persetujuan adalah sama artinya dengan perjanjian, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Keduanya dibedakan dengan istilah kontrak yang mempunyai

  Eksistensi penyelesaian sengketa di luar peradilan telah diakui dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan

   Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS 1999). Arbitrase merupakan cara

  penyelesaian sengketa di luar peradilan yang dikenal masyarakat pebisnis. UUAAPS 1999 menyebut, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

  

  pihak-pihak yang bersengketa. Ketentuan ini menunjukkan, arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa di luar peradilan yang ditunjuk berdasarkan pilihan

   para pihak yang bersengketa.

  Sesuai dengan ketentuan UUAAPS 1999, penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur yang disepakati dalam akad merupakan pilihan penyelesaian

  

Perjanjian , (Jakarta: Intermasa, 2010), hlm. 1. Budiono Kusumohamidjojo merinci, ciri utama dari

kontrak adalah merupakan perjanjian yang dirumuskan secara tertulis oleh para pihak lengkap dengan ketentuan dan syarat-syarat serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya kewajiban dan sekaligus

hak secara timbal balik. Karena itu, kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut juga sebagai

perjanjian. Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Grasindo,

2001), hlm. 7. Pasal 1313 KUH. Perdata merumuskan persetujuan atau perjanjian sebagai suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

  Pengertian yang diberikan Pasal 1313 KUH. Perdata ini dipandang selain tidak lengkap, karena hanya menyebut perjanjian sepihak saja, juga rumusannya sangat luas, sebab dapat mencakup janji kawin yang termasuk lapangan hukum keluarga, dan juga mencakup perbuatan melawan hukum yang tidak memiliki unsur perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman, KUH. Perdata Buku III, Hukum Perikatan

Dengan Penjelasan , (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 89. Seharusnya rumusan Pasal 1313 KUH.

  Perdata diadakan perubahan dengan memantapkan perbuatan dimaksud adalah ‘perbuatan hukum’ dan

menambah anak kalimat ‘atau saling mengikatkan dirinya’ untuk menunjukkan adanya perjanjian

secara dua pihak. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 49.

Dengan perbandingan yang dikemukakan, dalam konteks penulisan ini kata akad yang berasal dari

bahasa Arab dipadankan dengan perjanjian dalam bahasa Indonesia. Pandangan ini diperkuat dengan mengkaitkannya pada rumusan Pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), ‘akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. 5 6 LNRI Tahun 1999 Nomor 138, TLNRI Nomor 3873, mulai berlaku tanggal 12 Agustus 1999. 7 Pasal 1 butir 1 UUAAPS 1999.

  Susilawety, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam Perspektif

   yang dilakukan di luar peradilan agama, diantaranya melalui badan arbitrase syariah.

  Sebagai salah satu pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama, dipandang penting untuk mengetahui dan mengkaji prinsip yang mendasari pola operasional arbitrase syariah. Melalui kajian ini pelaku bisnis dan masyarakat perbankan syariah, dapat lebih memahami prinsip-prinsip yang mendasari

   cara kerja arbitrase syariah.

  Studi terhadap prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah perlu dilakukan dengan didasarkan pada lima alasan pokok.

  

Pertama , pengaturan atau positivisasi perbankan syariah yang memberi aturan

  mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah relatif baru, yakni sejak berlaku UUPS 2008. Secara normatif UUPS 2008 memperkenankan arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan agama melalui pilihan forum (choice 8 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 menyebut, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai

  

dengan isi akad dapat berupa upaya musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain atau melalui pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) ini telah dilakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU—X/2012, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meski Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, namun tidak berarti arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar peradilan agama turut kehilangan peran untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Arbitrase syariah tetap memiliki peran untuk

dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara non litigasi di luar peradilan agama, sebab

norma utama yang terumus dalam Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 memungkinkan adanya pilihan forum (choice of forum) arbitrase syariah bilamana para pihak menyepakati dalam akad yang dibuat secara jelas dan tertulis. 9 Dalam penulisan ini istilah arbitrase syariah ditempatkan dalam makna yang sama dengan arbitrase berbasis syariah, sehingga kedua istilah ini terkadang dipertukarkan pemakaiannya.

  Penggunaan istilah ‘syariah’ menjadi tradisi di Indonesia untuk menggambarkan pemberlakuan hukum

Islam atas suatu kegiatan atau institusi seperti perbankan syariah, dan arbitrase syariah. Pemakaian

istilah arbitrase syariah, bukan arbitrase Islam adalah untuk menghindari penafsiran yang dikaitkan dengan upaya menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Dari perspektif Islam, istilah yang digunakan adalah tahkim yang semakna dengan arbitrase. Tahkim diterjemahkan dengan arbitrase bukan arbitrase syariah, karena sudah tentu tahkim dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Untuk sekedar membedakan dengan arbitrase non syariah yang telah dikenal dalam kehidupan perdagangan, maka

disebutlah arbitrase syariah secara khusus untuk menyelesaikan sengketa perdagangan yang terjadi

  of forum), sehingga perlu di elaborasi prinsip-prinsip yang mendasari cara kerjanya

  

  dari perspektif hukum Islam. Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UUP 1992) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UUP 1998), tidak terdapat pengaturan yang memuat ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perbankan.

  Kedua , arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi bangunan perbankan

  syariah yang berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar mekanisme peradilan. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah lebih efisien dan sejalan dengan nilai-nilai keislaman yang menghargai prinsip persaudaraan untuk menjaga hubungan silaturrahim sehingga hubungan kerja antarpihak yang bersengketa tetap dapat berjalan harmonis.

  Ketiga , eksistensi arbitrase syariah memiliki prospek masa depan yang

  signifikan dengan melihat pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang pesat mengikuti perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat. Hal ini ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di luar perbankan syariah seperti asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, pasar modal syariah, dan reksa dana syariah yang dalam transaksi masing-masing juga berpotensi timbul sengketa.

  Keempat , penggunaan arbitrase merupakan salah satu prinsip bisnis dalam

  Islam, termasuk perbankan syariah, yang relevan menyelesaikan sengketa untuk terwujud kemakmuran ekonomi dan keharmonisan sosial para pihak. Bila terjadi 10 Meskipun penggunaan arbitrase syariah sebagai pilihan forum dalam penyelesaian sengketa

  

perbankan syariah relatif baru, yaitu sejak diundangkan UUPS 2008 tanggal 16 Juli 2008, namun keberadaannya di Indonesia telah mewujud tahun 1993 dengan terbentuknya Badan Arbitrase

Muamalah Indonesia (BAMUI) sebagai hasil Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun perselisihan dalam praktik bisnis, Islam menganjurkan penyelesaian dengan cara arbitrase melalui arbiter yang bebas dan dapat dipercaya (In case of dispute, Islam

   encourages settlement through an independent and reliable arbitrator ). Perintah

  arbitrase (tahkim) sudah qath’i dalam Alquran, yaitu untuk menyelesaikan

  

  perselisihan, mendamaikan dengan musyawarah. Tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah mewujudkan perdamaian (sulh atau ishlah) guna mempertahankan hubungan silaturrahim antara para pihak yang bersengketa. Alasan ini berkaitan dengan sejarah tahkim yang telah lama dikenal dalam sejarah peradilan Islam.

  Kelima , pemahaman terhadap keberadaan arbitrase syariah relatif masih

  belum banyak diketahui, yang ditandai belum berperan secara optimal dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Fakta ini terlihat dari jumlah perkara yang terdaftar di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), yaitu dalam kurun waktu 1997-2009 hanya terdapat 17 perkara, dan baru memiliki 15 kantor

  

  perwakilan di daerah. Implikasi yang diharapkan melalui kajian ini adalah agar masyarakat dapat lebih mengetahui keberadaan dan cara kerja arbitrase syariah,

  11 Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, Islam & Business, (Malaysia: Pelanduk Publication, 2002), hlm. 95. 12 Muhamad Asro dan Muhamad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 266. 13 Perkara di BASYARNAS umumnya semacam pembiayaan macet yang sebagian besar perkara diajukan oleh pihak bank syariah. Dari sisi pembentukan lembaga saat ini BASYARNAS telah

terbentuk 15 (lima belas) kantor perwakilan di daerah, seperti Riau, Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur,

dan Kalimantan Barat. Redaksi, “Syariah Perlu Perangkat Hukum Baru,” Republika, Selasa, 28 September 2010, hlm. 20. Data terakhir sampai bulan Agustus 2013 jumlah perkara yang diselesaikan melalui BASYARNAS berjumlah 20 (dua puluh) kasus. Data diperoleh dari percakapan dengan Ibu sehingga dapat meningkatkan peran optimal dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lain di masa depan.

  Penggunaan arbitrase dengan berbagai keistimewaannya untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, di bidang keperdataan (muamalah), merupakan pilihan

  

  yang tepat. Arbitrase syariah menjadi sarana yang perlu dimanfaatkan oleh umat Islam Indonesia dalam mengikuti perkembangan dan aktivitas perbankan syariah.

  Dikatakan oleh Tahir Azhary, kehadiran arbitrase Islam di Indonesia merupakan

  

  suatu conditio sine qua non. Arbitrase syariah pada perkembangan saat ini menjadi salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Perkembangan industri perbankan syariah menghendaki penguatan arbitrase syariah sebagai pilar penyanggah, dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap kemungkinan terjadi perselisihan dalam aktivitas perbankan syariah. Penguatan arbitrase syariah akan memperkuat sistem hukum perbankan syariah dalam konteks penyelesaian sengketa yang terjadi di lingkungan bank syariah.

  Berbagai kegiatan usaha perbankan syariah baik pada instrumen penghimpunan maupun penyaluran atau pendanaan dalam bentuk pembiayaan, tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa (dispute) antara bank dengan nasabah. Persengketaan dapat muncul karena tidak terpenuhi hak dan kewajiban atau timbul ketidakpuasan dalam pelaksanaan akad atau perjanjian. Kompleksitas akad dan beda 14 Achmad Djauhari, “Peran Arbitrase Dalam Sistem Ekonomi Syariah”, Majalah Hukum

  Nasional , Nomor 2 Tahun 2007, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM RI), hlm. 186. Salah satu faktor keistimewaan arbitrase adalah putusannya yang bersifat final dan

binding , yaitu tidak adanya upaya instansi hukum (banding, kasasi, maupun peninjauan kembali) sehingga secara ekonomis lebih efisien. 15 M. Thahir Azhary, “Islam, Hukum Islam Dan Eksistensi Arbitrase Islam Di Indonesia”, dalam Satria Effendi M. Zein, et.al. Arbitrase Islam Di Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat pendapat antara bank syariah dengan nasabah dalam memahami dan menginterpretasi akad, serta berselisih dalam pelaksanaan prestasi bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran perjanjian (breach of contract). Pelanggaran terhadap akad merupakan bentuk potensial terjadinya sengketa di lingkungan perbankan syariah. Dalam konteks ini, aktivitas perbankan syariah memerlukan peran yuridis di dalamnya terutama ketika terjadi konflik agar dapat diselesaikan secara adil. Penyelesaian sengketa diharapkan tidak merusak hubungan bisnis yang tengah berjalan, sehingga kelangsungan usaha para pihak tetap berlangsung secara produktif. Karena itu, aspek penyelesaian sengketa dalam transaksi keuangan pada perbankan syariah menjadi

  

  sangat penting, terutama mekanisme yang mampu menyelesaikan secara efektif dan efisien dengan tetap menjaga hubungan silaturrahim, serta jauh dari publikasi yang dapat memengaruhi reputasi bisnis para pihak yang bersengketa. Forum penyelesaian

   sengketa yang memiliki karakteristik semacam itu tidak lain ada pada arbitrase.

  Secara konstitusional, penegakan hukum dan keadilan atas suatu sengketa, termasuk sengketa yang terjadi di lingkungan perbankan syariah, hanya dapat dilakukan oleh badan peradilan yang berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman

  

  yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa perbankan syariah

  16 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 109. 17 Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan , (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm. 4 18 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah perubahan

atau amandemen keempat, Pasal 24 telah mengalami perubahan. Pasal 24 ayat (2) menyebut,

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilam militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Jimly

  

  di luar badan peradilan negara, yakni melalui arbitrase syariah, dimungkinkan bila ditunjuk para pihak melalui kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Arbitrase syariah mendapat tempat dalam UUPS 2008 sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama. Pengakuan terhadap keberadaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui arbitrase syariah terlihat dari banyak Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang menetapkan agar penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan arbitrase syariah,

   bila gagal mencapai kesepakatan melalui musyawarah.

  Regulasi Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan kemudian diubah dengan PBI Nomor 10/16/PBI/2008, menentukan penyelesaian sengketa antara bank syariah dengan nasabah dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah bila kesepakatan melalui musyawarah dan mediasi termasuk mediasi perbankan tidak dapat dilakukan. Ketentuan ini disebut dalam Pasal 4 yang mengatur, sebagai berikut:

  (1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana 19 tertuang dalam akad antara Bank dengan nasabah, atau jika terjadi

  Sesuai ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LNRI Tahun 2006 No. 22, TLNRI No. 4611) dalam kaitan ini

yang dimaksud peradilan negara dimaksud adalah pengadilan agama. Pasal 49 dan Penjelasannya

menetapkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang menyelesaikan perkara dibidang

ekonomi syariah, yang meliputi: a. bank syariah; b. lembaga keuangan mikro syariah; c. asuransi

syariah; d. reasuransi syariah; e. reksa dana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. 20 Diantaranya Fatwa No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa No. 05/DSN- MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’,

  Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Fatwa No. 08/DSN- MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. M. Ichwan Sam dkk, (Penyunting), Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI , (Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari’ah Nasional MUI – Bank sengketa antara Bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah. (2)

  Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)

  Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Arbitrase syariah bisa digunakan sebagai salah satu pilihan mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Terminologi arbitrase yang dikenal pada masa modern saat ini sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out court system), dalam perspektif hukum Islam sepadan dengan tahkim. Penunjukan tahkim didasarkan pada kesepakatan dua pihak yang menunjuk hakam (arbiter) untuk memberi keputusan hukum guna menyelesaikan persengkataan yang terjadi antara kedua pihak bersengketa

  

  berdasarkan petunjuk hukum syarak. Legalitas tahkim (arbitrase) diakui dalam

22 Alquran, Hadis maupun Ijmak ulama. Pengakuan terhadap arbitrase dalam hukum

  Islam terlihat dalam Alquran, seperti mengenai penyelesaian perselisihan antara suami-isteri melalui hakam (arbiter) sebagai juru damai (Q.S. An-Nisa’ [4]: 35 dan

  

  128). Dari sumber inilah arbitrase kemudian ditetapkan sebagai forum penyelesaian sengketa dalam tradisi hukum Islam. Bila di telaah lebih seksama, arbitrase dalam hukum Islam prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan persengketaan secara 21 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 8, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm.

  374. 22 Validitas yang menjadi dasar keabsahan tahkim atau arbitrase dalam hukum Islam diuraikan lebih lanjut pada Bab II disertasi ini. 23 Uraian lebih lanjut terhadap keberadaan tahkim yang dipadankan dengan arbitrase dapat damai. Penyelesaian secara damai terhadap setiap perselisihan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Arbitrase syariah memegang peranan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah untuk memecahkan masalah secara kerjasama dengan mewujudkan perdamaian melalui pihak ketiga yang netral dalam memberi keputusan.

  Perdamaian (sulh) menjadi pola penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah (tahkim). Penggunaan sulh yang dilakukan di luar pengadilan, didasarkan pada kesepakatan para pihak untuk tidak menempuh jalur ajudikasi dalam

  

  menyelesaikan sengketa mereka. Pola ini sangat fleksibel dan menjadi sarana mewujudkan silaturrahim dan kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Sulh tidak

  

  dilakukan bila mendatangkan kerusakan dan kemudaratan bagi manusia. Konsep perdamaian merupakan doktrin utama hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa.

  Perintah untuk mendamaikan dua orang yang bersengketa dinukilkan dalam Q.S Al- Hujurat (49): 10 yang dikaitkan dengan hubungan persaudaraan di antara orang-orang mukmin. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu

  

damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu

mendapat rahmad.”

  Penyelesaian sengketa dalam hukum Islam adalah untuk menjaga hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa agar tetap terjalin dengan baik. Dalam makna yang sama, filosofi penyelesaian sengketa dalam perspektif syariah tidak

24 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional , (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 206.

   boleh memutuskan hubungan silaturrahim di antara para pihak yang berselisih.

  Selain itu, penyelesaian sengketa dari perspektif syariah sangat menjunjung tinggi keadilan dan kepastian tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ketuhanan (ilahiyah), kemanusiaan (insaniah), keseimbangan (al-wustha’), kerjasama (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah), dan kemaslahatan (maslahah), yakni mengupayakan

  

  kebajikan maksimal dan mengeliminasi segala bentuk kemudharatan. Prinsip yang melekat dalam mekanisme penyelesaian sengketa secara syariah perlu di elaborasi untuk memahami karakteristik dan cara kerja arbitrase syariah. Melalui pembahasan ini diharap ditemukan pemahaman guna lebih mengetahui prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sesuai syariat Islam.

  Arbitrase syariah merupakan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang dilakukan melalui arbiter (hakam) berdasarkan prinsip syariah yang bersumber pada Alquran dan Sunnah. Term arbitrase syariah menunjuk mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dilakukan berdasar syariat Islam untuk membedakan dengan arbitrase non syariah. Arbitrase syariah merupakan arbitrase khusus untuk menyelesaikan sengketa di bidang muamalah berdasar ketentuan hukum Islam.

  Karena dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, forum arbitrase yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah disebut arbitrase syariah.

  26 H.M. Hasballah Thaib, ”Kata Pengantar” dalam Iman Jauhari, Penyelesaian Sengketa Di

Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam , (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2009)., hlm. ii. Filosofi

tahkim dalam Islam agar tidak terputusnya hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa ini

pula yang membedakan dengan filosofi arbitrase non syariah yang lebih didasarkan pada efisiensi

dalam penyelesaian sengketa. 27 H.M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (Perspektif Sosioyuridis),

  Prinsip syariah menjadi ruh yang senantiasa menyemangati dan memiliki kedudukan fundamental dalam pelaksanaan arbitrase berbasis syariah. Prinsip syariah yang melekat pada arbitrase syariah, pada dasarnya sebangun dengan yang berlaku pada aktivitas perbankan syariah. Kegiatan keduanya senantiasa harus dilandasi dan

  

  diikat oleh prinsip syariah yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah. Dengan paradigma ini, Tuhan menjadi sumber nilai dan tujuan akhir. Berbagai aspek ekonomi syariah, termasuk aktivitas penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah, mendasarkan sistemnya kepada Tuhan. Selain itu, ekonomi syariah yang berbasis

   pada agama adalah sistem yang memiliki akhlak, bersifat manusiawi, dan moderat.

  Penunjukan forum arbitrase syariah untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah bukan berarti tidak merespon keberadaan lembaga peradilan agama, sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perekonomian syariah. Apalagi dimaksudkan untuk mereduksi kewenangan mutlak peradilan agama dalam

  

  menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah. Keberadaan arbitrase syariah sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perbankan syariah, tidak ditafsirkan

   sebagai pernyataan tentang tidak pentingnya arti pengadilan dalam penataan sosial.

  Studi ini tidak dimaksudkan mempertentangkan keberadaan arbitrase syariah dengan lembaga peradilan agama. Kajian berada pada posisi bahwa ruang peradilan bukan 28 29 Muhammad Alim, Pengantar Ilmu Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm.73. 30 Ibid., hlm. 72.

  Ada pandangan yang melihat, bahwa pengakuan dan penunjukan badan arbitrase syariah

melalui Fatwa DSN-MUI itu belum merespons peradilan agama sebagai lembaga yang memiliki

kewenangan mutlak di bidang ekonomi syariah. Padahal lembaga arbitrase syariah masih sangat

terbatas kantor cabangnya di Indonesia. Lihat H. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama , (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 51. 31 Marc Galanter, “Keadilan Di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat

  Serta Hukum Rakyat,” dalam T.O. Ihromi , peny. Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, satu-satunya institusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Di sampingnya masih terdapat forum arbitrase syariah yang juga diakui memiliki otoritas dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Keberadaan arbitrase syariah ditempatkan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa bagi bank syariah dan nasabah guna menegakkan keadilan di luar pengadilan negara. Arbitrase syariah merupakan salah satu jalur yang dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam aktivitas perbankan syariah berdasar pilihan para pihak

   melalui akad.

  Menempatkan arbitrase syariah sebagai paradigma penyelesaian sengketa di

  

  luar peradilan, tidak berarti pengadilan dan arbitrase menjadi dua entitas yang saling meniadakan, melainkan saling mengisi di dalam sebuah relasi mutualisme

  

  sistem hukum. Prinsipnya tidak ada konflik yang berarti antara pengadilan yang 32 Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa, terutama di

  

bidang perdata selain bisa diselesaikan melalui peradilan, juga terbuka kemungkinan diselesaikan

melalui forum penyelesaian sengketa lainnya. dan salah satu di antaranya adalah cara penyelesaian

sengketa yang dikenal dengan sebutan arbitrase, dalam kajian ini difokuskan pada arbitrase berbasis

syariah. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI

Tahun 2009 No. 157, TLNRI No. 5076) menyebutkan, “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.” 33 Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (pardigm) pertama kali dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution. Kuhn melihat, ilmu pengetahuan pada saat tertentu di dominasi oleh paradigma tertentu, yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu

Pengetahuan Berparadigma Ganda , (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 4. Bernard Arief Sidharta

mengatakan, paradigma adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau

gejala di interpretasi dan dipahami. Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu

Hukum , (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 91. Dengan demikian, paradigma menjadi landasan atau

keyakinan mendasar yang menjadi pemandu dalam membahas dan menginterpretasi isu hukum.

  

Paradigma membantu merumuskan apa yang seharusnya dipelajari, isu apa yang seharusnya

dikemukakan untuk dijawab aturan apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang

diperoleh. Pengertian paradigma lainnya dikemukakan oleh M. Solly Lubis yang mengatakan

paradigma sebagai parameter atau rujukan, acuan yang dipergunakan untuk berpikir atau bertindak

lebih lanjut. Lihat M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 15. 34 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia, (Surakarta: LPP

  sifatnya publik dengan arbitrase yang berwatak privat. Lembaga peradilan yang mempunyai kekuatan memaksa, agar para pihak mematuhi perjanjian arbitrase dan putusannya. Hanya perlu ditetapkan secara jelas wilayah masing-masing agar tidak

  

  terjadi kesimpangsiuran antara pengadilan dan arbitrase. Dengan demikian, upaya penguatan arbitrase syariah tidak dimaksudkan untuk meniadakan kewenangan dan

  

  peran lembaga peradilan agama di bidang perbankan syariah. Baik peradilan agama maupun arbitrase syariah diakui sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sesuai mekanisme dan kewenangan masing-masing. Keberadaan arbitrase berbasis syariah sudah menjadi realitas yang diakui sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama.

  Pembicaraan mengenai pengembangan dan penguatan arbitrase selama ini dilakukan karena adanya krisis yang dialami lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa. Pengadilan dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen, bahkan para hakim telah kehilangan integritas moral dalam

  

  menjalankan profesinya. Akibatnya pelaku bisnis mencari alternatif yang mampu

  

  menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien, dilaksanakan secara profesional, dapat dipercaya (confidence), tidak begitu formal dan lebih fleksibel, putusannya

  35 Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hlm. 6. 36 Eksistensi peradilan dalam menyelesaikan sengketa tidak mungkin direduksi oleh arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Kedudukan peradilan telah ditetapkan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yang diakui dan diperkokoh secara konstitusional melalui amandemen ketiga. Yang di cantumkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit. 37 38 Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 2.

  Adi Sulistiyono, Op. Cit., hlm. 14; Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif

  

  bersifat final dan mengikat, serta terjaga kerahasiaan proses berperkara. Karakter penyelesaian sengketa ini dimiliki arbitrase sebagai institusi penyelesaian sengketa di luar peradilan. Selain itu, mekanisme arbitrase lebih informal, sehingga terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai

  

  (amicable). Penyelesaian melalui arbitrase bersifat kooperatif dan non

  

  konfrontatif, yang dilandasi prinsip musyawarah dengan menghindari konfrontasi yang dapat mengganggu hubungan produktif para pihak. Kelebihan dan sifat dasar yang melekat pada forum arbitrase ini tentu saja menjadi landasan bagi arbitrase syariah yang beraktivitas sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu, adanya mafia peradilan dengan modus jual beli hukum menempatkan arbitrase sebagai pilihan para pihak yang bersengketa untuk mencari keadilan, sekaligus untuk mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung atau lembaga peradilan di

   bawahnya.

  Pengembangan dan penguatan arbitrase berbasis syariah perlu dilakukan guna membangun kepercayaan masyarakat untuk menggunakan forum arbitrase menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pilihan ini merupakan bagian dari

  39 40 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 12-15.

  Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia Perlu meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002, hlm. 8. 41 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Suatu

  

Pengantar , (Jakarta: Fikahati Aneska, 2011), hlm. 1; Anita D. A. Kolopaking, ”Asas Itikad Baik

Sebagai Tiang Dalam Pelaksanaan Persidangan Arbitrase” dalam Idris, Rachmawati dan Imam

Mulyana, eds, Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum UNPAD, 2012), hlm. 42. 42 Frans H. Winarta, “Penyelesaian Sengketa di Arbitrase Salah Satu Cara Untuk Menghindari

  

  penyaluran kebebasan para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan (konsensus), untuk menentukan lembaga penyelesaian sengketa yang mereka anggap lebih tepat dan efisien. Forum arbitrase terbentuk melalui kebebasan para pihak yang bersengketa dengan menciptakan dan menyepakati sendiri hukum dan prosedur yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa mereka. Dikatakan Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan hukum prosedur dan hukum para pihak (law of procedure dan

   law of the parties ).

  Untuk dapat disandingkan dengan mekanisme penyelesaian sengketa lain bagi masyarakat dalam mendapatkan keadilan (access to justice), dan untuk mengetahui aktualisasi penyelesaian sengketa perbankan syariah, perlu diketahui cara kerja dengan mengadakan pengkajian untuk mengetahui serta mendalami prinsip-prinsip arbitrase syariah. Pengkajian ini sekaligus akan memperkuat validitas arbitrase syariah, sehingga tidak ada keraguan terhadap keberadaannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah terutama di bidang perbankan syariah.

  Belum banyak pengkajian berakibat pada kurangnya referensi dan informasi bagi masyarakat pelaku bisnis maupun perbankan akan eksistensi dan prinsip yang terkandung dalam arbitrase syariah. Keadaan ini bisa menjadi faktor berpengaruh bagi pemahaman dan kepedulian masyarakat, sehingga forum penyelesaian sengketa

43 Kesepakatan merupakan merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian, yang oleh Eggens

  

dikatakan sebagai tuntutan kesusilaan (zadelijk eis). Dalam kesepakatan ini diletakkan kepercayaan pada perkataan seseorang. Dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan ini, seseorang tersebut ditingkatkan martabatnya sebagai manusia setinggi-tingginya. Kalau seseorang ingin dihargai sebagai manusia, maka harus dapat dipegang perkataannya. Lihat R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 5. melalui arbitrase syariah belum berkembang secara optimal.

   Menurut Adi

  Sulistiyono, ada 7 (tujuh) faktor penghambat perkembangan penggunaan arbitrase, yaitu:

  

  1) ketentuan hukum yang mengatur masalah arbitrase di Indonesia belum banyak diketahui dan dipahami pelaku bisnis; 2) belum adanya budaya

  arbitration minded di kalangan pengusaha Indonesia; 3) banyak di antara

  mereka yang belum berani membawa sengketa yang dialaminya keluar dari jalur peradilan. .....; 4) profesionalitas dan kredibilitas arbiter, baik itu selaku pribadi maupun dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia belum banyak diketahui oleh pelaku bisnis.....; 5) belum banyak konsultan hukum Indonesia yang mau memperkenalkan/mengarahkan kliennya untuk bersengketa melalui arbitrase: 6) tidak mudah membawa dan menyadarkan pihak-pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan itikad baik. ....; 7) kurangnya pemahaman hakim-hakim tentang arbitrase, sehingga seringkali sengketa yang berdasarkan “klausul arbitrase” seharusnya diselesaikan melalui arbitrase, namun Pengadilan Negeri tetap saja manangani sengketa tersebut. Walaupun pada akhirnya kesalahan tersebut dikoreksi oleh Mahkamah Agung, namun kasus itu sudah terlanjur memakan waktu bertahun-tahun.

  Perkembangan yang belum optimal, dan sengketa yang diselesaikan masih sedikit, tidak berarti arbitrase syariah gagal dalam melaksanakan perannya, sebab bisa karena tidak ada sengketa yang terjadi atau sengketa dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak secara musyawarah.

  

  45 Masyarakat pebisnis di Indonesia dipandang belum familiar dengan forum arbitrase, karena pada umumnya sengketa bisnis yang terjadi cenderung untuk diselesaikan melalui pengadilan. Forum arbitrase banyak dipilih orang asing untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, karena itu pencantuman klausul arbitrase hampir terdapat dalam setiap kontrak bisnis internasional. Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 6;

  Begitu juga karena jaringan yang masih sedikit mengakibatkan masyarakat belum mengetahui akan kedudukan arbitrase syariah

  46 Adi Sulistiyono Op. Cit., hlm. 142. Meskipun belum pernah dilakukan kajian mendalam, keadaan yang dikemukakan dalam literatur terhadap arbitrase non syariah tersebut juga disinyalemen

terjadi bagi arbitrase syariah, paling tidak keadaan ini tercermin dari sengketa yang terdaftar di

BASYARNAS sebanyak 17 (tujuh belas) perkara dalam kurun waktu 1997-2009. Tidak tertutup kemungkinan sedikitnya sengketa yang diselesaikan oleh BASYARNAS, karena tidak ada perselisihan

yang terjadi di lingkungan perbankan syariah atau dapat diselesaikan secara internal melalui musyawarah. 47 Erman Rajagukguk, “Keputusan Pengadilan Mengenai Beberapa Masalah Arbitrase”, dalam dalam lingkungan mereka. Kondisi yang demikian sejatinya bukan menjadi faktor penghalang untuk mengadakan pengkajian dan pengembangan arbitrase berbasis syariah. Kekurangan-kekurangan itu menjadi faktor motivasi untuk melakukan pengkajian, sehingga penelitian terhadap substansi dan prinsip arbitrase syariah menjadi keniscayaan yang perlu dilakukan.

  Melalui penelitian ini akan dapat dipahami substansi dan prinsip arbitrase syariah yang bermanfaat bagi penyusunan perangkat regulasi yang mendukung operasionalisasinya. Penelitian dilakukan untuk menggali prinsip yang mendasari pola kegiatan arbitrase syariah dan menyesuaikannya dengan kondisi dan karakteristik bangsa Indonesia. Belum dipahami dan ditegakkan prinsip dan norma hukum arbitrase syariah secara komprehensif dapat menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah. Prinsip syariah yang menjadi dasar aktivitas arbitrase dalam hukum Islam masih memerlukan perumusan dan pengkajian untuk menentukan kesesuaian dengan kehidupan bangsa Indonesia, karena itu perlu terus dilakukan upaya aktualisasi secara rasional-

   objektif.

  Di Indonesia, pola pengembangan arbitrase berbasis syariah, mengikuti pola legislasi yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Karena itu, selain tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, arbitrase syariah juga senantiasa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengembangan arbitrase syariah di Indonesia, dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah selain tetap berada dalam koridor syariah, juga senantiasa mengindahkan peraturan perundang- undangan yang menjadi payung yuridis keberadaan sistem penyelesaian sengketa di

  

  luar peradilan, yaitu UUAAPS 1999). Pengkajian ini semakin relevan untuk menentukan kesesuaian atau harmonisasi prinsip yang terkandung dalam UUAAPS 1999 dengan arbitrase berbasis syariah. Meskipun tidak tegas disebut, keberadaan arbitrase syariah juga berpayung kepada UUAAPS 1999. Arbitrase syariah dipandang sebagai arbitrase khusus yang menangani dan menyelesaikan sengketa ekonomi dan bisnis berbasis syariah. Pengaturan dalam perundang-undangan membuktikan, keberadaan arbitrase di Indonesia, termasuk arbitrase syariah, memang dikehendaki oleh pemerintah sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di

   luar pengadilan.

  Melalui pengkajian ini diharapkan masyarakat pelaku bisnis syariah, khusus yang berhubungan dengan perbankan syariah dapat menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang mampu menjaga keharmonisan, silaturrahim, bersifat efektif dan efisien, serta memuaskan pihak yang bersengketa. Penyelesaian yang tetap menjaga silaturrahim, efektif dan efisien akan menjadikan hubungan mitra bisnis antara bank syariah dengan nasabah tetap berjalan secara produktif.

  Selanjutnya, kajian ini diharapkan menjadi informasi ilmiah bagi teoritisi dan praktisi hukum dalam memahami prinsip arbitrase syariah sebagai salah satu jalur 49 Payung yuridis eksistensi arbitrase di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 30

  

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LNRI Tahun 1999 No. 138,

TLNRI No. 3872). Undang-undang ini telah mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan arbitrase

yang memuat Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar (Pasal 7-26); Hukum Acara

Arbitrase (Pasal 27-51); Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52-58); Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59-72); dan Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73-77); Secara normatif dan faktual undang-

undang ini masih perlu diuji dengan nilai-nilai syariah sebagai landasan fundamental keberadaan

arbitrase syariah. 50 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Pustaka

Dokumen yang terkait

Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

33 262 583

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undangundang No.21 Tahun 2008.

1 67 70

Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)

3 31 109

I. Pendahuluan - Memberdayakan Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Luar Pengadilan

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Yuridis Pemberian Pembiayaan Modal Kerja pada Perbankan Syariah dengan Menggunakan Akad Mudharabah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 0 56

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Perbankan Syariah Dengan Perbankan Konvensional Yang Terdapat Di Indonesia

0 0 7

Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

0 0 36

BAB II IMPLIKASI PENGATURAN PERBANKAN SYARIAH BAGI ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Dinamika Pengaturan Perbankan Syariah Dalam Memperkuat Eksistensi Perbankan Syariah Pada Sistem Hukum Perbankan Nasiona - Prinsip Arbitrase Berb

0 2 168