Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI SYARIAH MENURUT PERSPEKTIF BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS)

DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)

Oleh:

FITRIYAH

103046228374

KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH

PROGRAM STUDI MU’AMALAT (EKONOMI ISLAM ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI SYARIAH MENURUT PERSPEKTIF BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS)

DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)

Oleh:

FITRIYAH

NIM: 103046228374

Di Bawah Bimbingan, Pembimbing

KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH

PROGRAM STUDI MU’AMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PEGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Menurut Perspektif Badan Arbitrase

Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 November 2008. Skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat

Jakarta, 4 November 2008 Disahkan Oleh,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag

(……….) NIP.150 289 264

2. Sekretaris : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (……….)

NIP. 150 318 308

3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA (……….)

NIP. 150 222 824

4. Penguji I : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (……….)

NIP. 150 318 308 5. Penguji II : Dr. Hendra Kholid, MA


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia memerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 4 November 2008


(5)

ABSTRAK

Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah NAsional (BASYARNAS) Dan

Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) Oleh: Fitriyah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menimbulkan sengketa asuransi syariah, mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa asuransi syariah BASYARNAS dan BMAI, mengetahui keunggulan BASYARNAS dan BMAI, serta membandingkan adakah perbedaan antara BASYARNAS dan BMAI dalam menyelesaikan sengketa asuransi syariah. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata atau wawancara pada BASYARNAS dan BMAI.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang menimbulkan sengketa asuransi syariah yaitu disebabkan karena adanya wanprestasi dan kesalahan teknis. Adapun penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI, yaitu apabila terjadi perselisihan antara tertanggung dan penanggung maka BASYARNAS dan BMAI merupakan lembaga yang tepat untuk menyelesaikan sengketa. Karena prosesnya yang cepat, relatif murah dan dijamin kerahasiaannya. Adapun sengketa yang sudah dapat diselesaikan di BASYARNAS hanya ada 10 sengketa mengenai perbankan syariah, sedangkan sengketa asuransi belum ada yang diselesaikan di BASYARNAS. Namun di BMAI sudah ada sengketa asuransi yang dapat diselesaikan kurang lebih kira-kira 16 kasus yang sudah diselesaikan.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbi al-alamin, sujud syukur penulis haturkan ke Dzat yang Maha Rahman bagi semesta Alam dan Rahim bagi semua hamba-hamba yang selalu menjalankan perintah-Nya, yang telah menciptakan rasa cinta dan kasih pada manusia. Washalatu wassalam ‘ala Rasulullah senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad Saw (yang tak pernah lelah untuk selalu membimbing umatnya dengan penuh kasih sayang), kepada keluarganya, sahabatnya serta umatnya sepanjang zaman semoga kita mendapat syafa’atnya di yaumu al-Ba’ats, amin.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapinya dengan ikhtiar dan tawakkal. Alhamdulillah atas Rahmat Allah SWT., serta berkat do’a dan dukungan orang tua, keluarga, sahabat serta teman-teman, segala hambatan dan cobaan dapat penulis hadapi. Karena itulah, dari lubuk hati yang paling alam, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Sebagai rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bpk. Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH., MA., MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Euis Amalia, M.Ag dan Ah. Azharudin Lathif, M.Ag, MH sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum.


(7)

3. Bpk Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dan senantiasa meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

4. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tempat penulis memperoleh berbagai informasi dan sumber-sumber skripsi.

5. Bpk Ketut Sendra selaku Sekretaris Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dan Ibu Euis Nurhasanah selaku Bendahara BASYARNAS, yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

6. Yang tercinta Ayahanda (Bpk H. Madsuri) dan Ibunda (Ibu Hj. Sa’adiah) yang dengan ikhlas selalu mengajarkan kehidupan. Sebagai seorang anak, penulis belum bisa membalas jasa keduanya kecuali do’a semoga Allah SWT memberikan hati yang sabar serta balasan yang terbaik atas semua amal mereka dan selalu melimpahkan Rahmat dan Inayah-Nya.

7. Kakak tercinta, Muslihah, S.Pd.I yang selalu memberikan nasehat-nasehatnya agar penulis menjadi lebih baik. Kaulah kakak dan sahabat terbaik penulis. Adik-adikku tersayang (Lukman, Lisoh & Hakim) yang selalu menjadi motivasi bagi penulis. Semoga kalian lebih baik dari penulis.

8. Orang-orang terdekat penulis, Kakakqu (Aiep) untuk cinta dan kasih sayangnya yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan dukungan serta do’a kepada


(8)

penulis. Ella yang telah membantu dan menemani penulis dalam penyusunan skripsi, makasih atas semangat dan motivasinya, “You’re my best friend”. 9. Rekan-rekan penulis Kie Zn, Nylam, Nana, Dini, Ayu, Nuril, Reni, K’anton,

K’goday & Teh Na terima kasih atas dukungan dan doanya. Mutie makasih yach atas rentalnya. Serta teman-teman Asuransi Syariah angkatan 2003 terutama Ozy makasih atas bantuannya, Ien, Eri, Bagol, Qorib, Dayat, Lana, dan Maul semoga silaturrahmi kita dapat terus terjalin. Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas semua bantuan dan masukannya kepada penulis.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Lebih dari ucapan terima kasih kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT., semoga senantiasa memberikan sinar terang kepada seluruh hambanya, dan semoga aktivitas penulis selalu diberkahi-Nya serta penulis selalu diberikan hidayah-Nya. Akhir kata penulis skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan, namun semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Jakarta, 04 November 2008


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6

D. Kerangka Teori ... 7

E. Kajian Pustaka ... 8

F. Objek Penelitian ... 9

G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan... 10

H. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Tinjauan Umum Asuransi ... 14

a. Pengertian Asuransi Syariah... 14

b. Dasar Hukum Asuransi Syariah... 17

c. Prinsip Dasar Asuransi Syariah ... 20

B. Tinjauan Umum Arbitrase... 23

a. Pengertian Arbitrase Syariah ... 23

b. Dasar Hukum Arbitrase Syariah ... 26


(10)

d. Syarat-Syarat Menjadi Arbiter... 32

C. Tinjauan Umum Mediasi ... 35

a...Penger tian Mediasi ... 35

b....Landas an Hukum Mediasi ... 37

c.... Syarat-Syarat menjadi Mediator ... 39

d...Tujuan mediasi ... 41

BAB III GAMBARAN UMUM BASYARNAS DAN BMAI ... 42

A. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)... 42

1. Sejarah Berdirinya BASYARNAS ... 42

2. Fungsi dan Tujuan BASYARNAS ... 46

3. Struktur Organisasi BASYARNAS ... 48

B. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ... 50

1. Sejarah Berdirinya BMAI ... 50

2. Fungsi dan Tujuan BMAI... 51

3. Struktur Organisasi BMAI ... 52

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI MENURUT PERSPEKTIF BASYARNAS DAN BMAI... 53


(11)

B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Sengketa Asuransi ... 54 C. Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Perspektif

BASYARNAS dan BMAI ... 56 D. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BASYARNAS

dan BMAI... 72 E. Keunggulan Penyelesaian Sengketa Asuransi pada

BASYARNAS dan BMAI... 80

BAB V PENUTUP... 86

A...Kesim

pulan... 86 B...

Saran-saran ... 87


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pengembangan saat ini bidang perekonomian Indonesia banyak sekali tumbuh dan berkembang lembaga-lembaga perekonomian, lembaga keuangan itu dalam operasionalnya didasarkan pada prinsip syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), BPR – BPR syariah di berbagai daerah tingkat II. 1

Hal itu terbukti dengan berdirinya 4 unit Bank Umum Syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Mega Syariah, Bank Persyarikatan Indonesia. 14 Unit Syariah Bank Umum, yaitu Bank IFI Syariah, Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Bukopin Syariah, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank Internasional Indonesia Syariah, Bank HSBC Amanah Syariah, Bank Niaga Syariah, Bank Permata Syariah, Bank Lippo Salam, ABN Amru Bank Syariah. 15 Unit Usaha Syariah BPD, yaitu: Bank Jabar Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Sumut Syariah, BPD Aceh Syariah, BPD Kalsel Syariah, BPD NTB Syariah, Bank Sumsel Syariah, Bank Kalbar Syariah, BPD DIY Syariah, BPD Kaltim Syariah, Bank Naga Syariah, (BPD Sumbar), Bank Jatim Syariah, Bank Sulsel Syariah, Bank Jateng Syariah. 6 Bank Kustodian Syariah, yaitu: Deutsche

1


(13)

Bank, Kustodian Bank HSBC, Kustodian Bank Niaga Citibank, N.A. Indonesia, Kustodian Bank Bukopin, Standard Chartered Bank.2

Semenjak berdirinya bank – bank syariah barulah kemudian para pakar ekonomi Islam mencoba membuka peluang investasi dalam hal perlindungan aset dan kepemilikan, di samping itu adanya kesadaran dan dukungan masyarakat muslim pada ketentuan ajaran Islam yang bersifat komprehensif, profesional, integral serta kesiapan diri dalam menghadapi tantangan zaman, dengan demikian berkembanglah tuntutan untuk bermuamalah, khususnya di bidang perasuransian syariah. Oleh sebab itu maka lahirlah Asuransi Takaful di Indonesia pada tanggal 24 Februari 1994 dengan akta pendirian PT Syarikat Takaful Indonesia (di singkat dengan TEPATI).

Sebagai asuransi syariah yang berkembang di Negara yang mayoritas muslim khususnya di Indonesia, memiliki potensi yang sangat besar mengingat sistem asuransi syariah merupakan sistem asuransi alternatif yang saling menguntungkan, humanis dan universal. PT Syarikat Takaful Indonesia yang telah mendirikan dua anak perusahaan yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak dalam asuransi jiwa dan PT Asuransi Takaful Umum yang bergerak dalam bidang asuransi kerugian. Sebagai pelopor berkembangnya perasuransian yang berlandaskan dengan prinsip syariah seperti dengan berdirinya PT MAA Life Assurance Syariah, PT Tri Pakarta Syariah, PT Bumi Putera Syariah, PT

2

Perbankan Syariah s/d 17 Mei 2008 dari http: // www.mui.or.id/mui_in/pruduct_2/lks_lbs.php?id=6 pada tanggal 25 Mei 2008


(14)

BRIngin Life Syariah dan lain sebagainya, sehingga lembaga asuransi syariah telah mampu menjadi sarana yang dapat diandalkan dalam memobilisasi masyarakat. Oleh sebab itu perusahaan tersebut akan berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan jasa asuransi kepada para klien atau costumernya yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan efesiensi dan produktifitas lembaga asuransi syariah di Indonesia.

Dengan mencermati keadaan perasuransian syariah yang semakin berkembang tentunya tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute atau differrece) antar pihak yang terlibat di bidang asuransi, secara otomatis setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Membiarkan sengketa di bidang bisnis (khusus perasuransian) terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan ekonomi tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami keterhambatan dan biaya produksi menjadi meningkat. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan asuransi atau pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian, cara penyelesaian seperti ini tidak diterima di dunia bisnis khususnya di bidang perasuransian syariah karena tidak sesuai dengan ketentuan zaman.

Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi dalam hubungan bisnis atau suatu perjanjian, masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat di kemudian hari. Sengketa yang perlu diantisipasi dapat timbul karena


(15)

perbedaan penafsiran mengenai "bagaimana cara" melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang "apa Isi" dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal lain.

Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Cara-cara yang dimaksud seperti arbitrase, mediasi, negosiasi, dan pengadilan. Namun yang akan penulis bahas yaitu penyelesaian sengketa dengan cara melalui arbitrase dan mediasi.

Yang menjadi permasalahan/persoalan adalah, dengan berdirinya Badan Mediasi Asuransi Indonesia sebagai lembaga penyelesaian sengketa khusus di bidang asuransi. Disini antara BASYARNAS dan BMAI memiliki wilayah kerja yang sama dan mengurusi persoalan yang sama, yaitu menyelesaikan sengketa khususnya di bidang asuransi syariah.

Permasalahan yang muncul, lembaga mana yang lebih efektif untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Memang BASYARNAS lembaga hukum non-litigasi hasil bentukan dari MUI dengan tujuan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di bidang Muamalat dengan didukung fatwa-fatwa MUI sebagai rujukan hukumnya. Namun Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) juga lebih mempunyai wewenang untuk menyelesaikan bila terjadi sengketa. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) lebih mempunyai kekuatan karena lembaga ini lebih fokus untuk menyelesaikan sengketa di bidang asuransi.

Dengan keberadaan lembaga Arbitrase Syariah di Indonesia yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi


(16)

Indonesia (BMAI), kiranya dapat memberikan kontribusi di bidang asuransi dalam hal penyelesaian sengketa bagi para pihak yang bersengketa.

Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelaah secara mendalam skripsi yang berjudul "Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Guna fokus dan mendalamnya pembahasan, penelitian ini dibatasi pada penyelesaian sengketa asuransi syariah menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI.

Masalah pokok dalam penelitian ini bagaimana penyelesaian sengketa asuransi syariah, masalah pokok tersebut ditelusuri melalui jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dengan melalui arbitrase dan mediasi.

Dalam merealisasikan batasan masalah yang dikemukakan di atas maka penulis memberikan perumusan masalah untuk memudahkan pembahasan selanjutnya. Adapun beberapa permasalahan yang akan penulis kemukakan di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Faktor – faktor apa saja yang dapat menimbulkan sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI?


(17)

3. Apa keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada BASYARNAS dan BMAI?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini diadakan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor – faktor yang dapat menimbulkan sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI.

2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI.

3. Untuk mengetahui keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada BASYARNAS dan BMAI.

Sedangkan manfaat penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Bagi Akademisi, untuk menambah khasanah pengetahuan di bidang Hukum Ekonomi Islam khususnya mengenai Arbitrase dan Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa asuransi.

2. Bagi Pemerintah, dengan adanya skripsi ini dapat dijadikan sebagai rujukan atau pertimbangan pemerintah dalam menetapkan Undang-undang tentang penyelesaian sengketa khususnya di bidang asuransi.

3. Bagi Masyarakat, diharapkan menambah informasi tentang keberadaan BASYARNAS dan BMAI sebagai lembaga penyelesaian sengketa asuransi apabila mengalami perselisihan di bidang asuransi.


(18)

D. Kerangka Teori

Menurut Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan pengadilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh para pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum dan sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.3

R. Subekti, mengatakan bahwa Arbitrase adalah suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit ataupun wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.4

M.N.Purwosutjipto mengartikan perwasitan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa, dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi para kedua belah pihak.5

3

Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditiya, 1992), h. 276.

4

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Alumni, 1979, h. 5.

5

Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Kedua, h.222


(19)

Dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02/2003, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 ayat 6 yaitu: "Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator".6

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.7

E. Kajian Pustaka

1. Judul : Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Dalam Penyelesaian Sengketa Di Bidang Asuransi Syariah (2006)

Oleh : Maryudi (UIN JAKARTA)

Skripsi ini hanya menjelaskan/memaparkan tentang arbitrase khususnya BASYARNAS sebagai lembaga penyelesaian sengketa, serta prosedur penyelesaian sengketa asuransi di BASYARNAS.

2. Judul : Arbitrase Dalam Hukum Positif, Hukum Adat, dan Hukum Islam

“Sebuah Analisa Perbandingan” (2006)

Oleh : Mukhtar Sedayu Siregar (UIN JAKARTA)

6

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 119

7Ibid


(20)

Skripsi ini hanya menjelaskan secara umum tentang arbitrase dan menganalisa sistem arbitrase dalam hukum positif, hukum adat, dan hukum Islam.

Penelitian tentang asuransi syariah sudah banyak dibahas, sedangkan penelitian tentang arbitrase dan mediasi belum ada yang membahas. Untuk itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan membahas penelitian tentang penyelesaian sengketa asuransi syariah. Adapun yang ingin penulis bahas dari judul tersebut, yaitu mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan sengketa asuransi syariah pada BASYARNAS dan BMAI, bagaimana penyelesaian sengketa asuransi syariah menurut BASYARNAS dan BMAI, dan apa saja keunggulan BASYARNAS dan BMAI.

F. Objek penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang berlokasi di gedung ARVA lantai IV, Jl. Cikini raya No.60 Jakarta 10330. Dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang berlokasi di gedung MENARA DUTA, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B.9 Jakarta Selatan.

G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, metode ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang


(21)

tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab dari suatu gejala tertentu.8 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menguraikan tentang sifat-sifat dari suatu keadaan dan sekedar memaparkan uraian (data dan informasi) yang berdasarkan pada fakta yang diperoleh dari lapangan.9

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan ini dilakukan dengan cara survey, tujuan dari menggunakan pendekatan survey adalah untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa menyelidiki kenapa gejala-gejala tersebut ada.10

3. Jenis Data dan Sumber Data

a. Data Primer, merupakan data yang didapat dari sumber pertama kali baik dari individu atau dari perseorangan seperti hasil dari wawancara atau hasil pengisian kuesioner, yaitu terdiri atas:

1. Gambaran umum perusahaan 2. Hasil wawancara

3. Observasi.11

b. Data Sekunder, merupakan data yang telah ada yang diperoleh dari buku, majalah, Koran dan sumber tertulis lainnya yang mengandung informasi yang berhubungan dengan penelitian ini.

8

Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.22.

9

J. Supranto, Tehnik Riset Pemasaran dan Ramalan Penjualan, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, h. 38.

10

Subana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung, Pustaka Setia, 2005, h.25.

11Ibid


(22)

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini diperoleh melalui:

1. Penelitian perpustakaan (Library Reseach), yaitu dengan jalan mengumpulkan data dari buku-buku, majalah, dan artikel yang berhubungan dengan materi skripsi.

2. Penelitian lapangan (Field Reseach), yaitu dengan observasi langsung ke Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Untuk mendapatkan data yang valid dan akurat, dengan melalui tiga cara yaitu:

a. Observasi, dengan melihat dan mengamati secara langsung kegiatan yang ada di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

b. Wawancara, yakni wawancara bebas yang dilakukan dalam bentuk Tanya jawab dengan pemimpin dan karyawan yang dapat dianggap dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini. c. Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk memperoleh data tertulis

tentang penyelesaian sengketa asuransi pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).


(23)

5. Teknik Analisis dan Interpretasi Data

Dalam menganalisis data, akan menggunakan metode deskriptif analisis kualitatif, yakni suatu teknik analisis data di mana terlebih dahulu dipaparkannya semua data yang telah diperoleh kemudian menganalisisnya dengan berpedoman pada sumber-sumber dalam bentuk kalimat-kalimat.

Adapun dalam teknik penulisan ini merujuk kepada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007".

H. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi V bab yang terdiri dari beberapa sub bab yang pada garis besarnya adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Di dalamnya diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, kajian pustaka, objek penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini membahas pengertian asuransi syariah, dasar hukum asuransi syariah, dan prinsip-prinsip asuransi syariah, pengertian arbitrase syariah, dasar hukum arbitrase syariah, macam-macam arbitrase


(24)

syariah, syarat-syarat menjadi arbiter, pengertian mediasi, dasar hukum mediasi, syarat-syarat menjadi mediator, dan tujuan mediasi. BAB III Gambaran Umum

Bab ini akan membahas profil Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), mengenai sejarah berdirinya, visi dan misi, dan struktur organisasi. BAB IV Penyelesaian Sengketa Asuransi menurut Perspektif BASYARNAS

dan BMAI

Bab ini membahas mengenai sengketa asuransi, faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya sengketa, penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI, prosedur beracara dalam penyelesaian sengketa asuransi, keunggulan penyelesaian asuransi syariah pada BASYARNAS dan BMAI.

BAB V Penutup


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan umum asuransi

a. Pengertian Asuransi Syariah

Asuransi dapat dilihat dari berbagai jenis bahasa dan pengertian serta perbandingannya dalam perspektif Islam. Adapun asuransi ditinjau dari jenis bahasa dan pengertiannya adalah sebagai berikut:

Menurut bahasa, kata asuransi berasal dari bahasa inggris adalah

"insurance" yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata

"pertanggungan".12 Kemudian dalam bahasa Belanda adalah "verzekering"

yang berarti tanggungan.13

Menurut ketentuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha Perasuransian Bab I pasal I: " Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan itu tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita

12

AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004, h. 57.

13

Wirjono Prodjodikoro, HukumAsuransi di Indonesia, Jakarta, PT. Intermasa, 1996, h. 1.


(26)

tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.14

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang di maksud asuransi atau pertanggungan adalah "suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu.15

Sedangkan asuransi dalam perspektif Islam terdapat beberapa istilah, antara lain dikenal dengan istilah Takaful. Menurut etimologi Bahasa Arab, istilah Takaful berasal dari kata Kafala. Dalam ilmu tashrif atau Sharaf,

Takaful ini masuk dalam barisan Bina muta'aadi, yaitu Tafaa'ala artinya saling menanggung. Dan ada juga yang menerjemahkan dengan makna saling menjamin.16

Wahbah al-Zuhaily (ahli fiqih kontemporer) mendefinisikan asuransi sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya asuransi itu dibagi menjadi dua, yaitu al-Ta'min al- Ta'awun (asuransi tolong menolong) dan al-Ta'min bi qist-Tsabit (asuransi dengan pembagian tetap).

14Ibid.,

h. 61

15

Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, h. 59

16Ibid


(27)

Al-Ta'min al-Ta'awun adalah kesepakatan sejumlah orang yang membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemadharatan, seperti kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama.

Sedangkan al-Ta'min bi qist-Tsabit adalah akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi. 17

Abbas salim sebagaimana dikutip Ali Hasan mendefinisikan asuransi sebagai suatu keinginan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai subtitusi kerugian-kerugian besar yang belum pasti.18

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi. Menurutnya, asuransi syariah (Ta'min, Takaful, Tadhamun)

adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang

17

M. Zaidi Abdad, Lembaga perekonomian Ummat di Dunia Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), Cet. Pertama, h. 87-88.

18

M. Ali Hasan, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 61.


(28)

memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.19

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut ta’awun yaitu prinsip saling melindungi dan tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi dalam menghadapi risiko.

b. Dasar hukum asuransi syariah

Dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:

Sedangkan menurut Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi syariah.20

Pada dasarnya hukum asuransi syariah maupun konvensional di Indonesia, hingga saat ini pada dasarnya dan kenyataannya masih diatur dalam berbagai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia, terutama:21

19

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. Pertama, h. 30

20

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 128.

21

M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Teori, Sistem, Aplikasi dan Pemasaran, Jakarta, Kholam Publishing, 2006, h. 44-45.


(29)

a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Keputusan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.

b. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi.

c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

423/KMK.06/2003 tentang pemeriksaan perasuransian.

d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

424/KMK.06/2003 kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan Reasuransi.

e. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

425/KMK.06/2003 tentang perizinan dan penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan penunjang usaha asuransi.

f. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

426/KMK.06/2003 tentang perizinan usaha dan kelembagaan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.

g. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep.4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah.

Landasan asuransi dalam Islam sebenarnya bertumpu pada konsep wata'awanu 'alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa)


(30)

dan At-ta'min yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang menjamin dan menanggung risiko satu sama lain.22

Landasan asuransi syariah diantaranya: a. Saling tolong – menolong

! "

#

$ % &

'

(

)

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya". (Q.S. Al-Maidah (5) : 2)

Islam juga mengarahkan kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lainnya. Dalam asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan dalam bentuk premi tabarru' adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang terkumpul

b. Saling meridhoi

!

*ﻡ , -!. /0!1

2 ﻡ1

34

56 ﺏ 2*8ﺏ

9

2 1

- :$;

2*ﻡ <=

:&8>; 2ﺏ 3

2?@ 1

#

, ?*

'

(A

)

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

22

Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Pertama, h. 100.


(31)

dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".

Dalam Islam jika seorang muslim memakan harta orang lain dengan jalan batil maka hukumnya adalah haram. Dana kebajikan yang kelak akan diterima oleh pemegang polis jika ia mengalami kerugian sebelum masa asuransinya berakhir adalah dana yang halal yang dikeluarkan dengan saling meridhoi antara kedua belah pihak yakni pemegang polis dan perusahaan.

c. Prinsip dasar asuransi syariah

Asuransi syariah memiliki sembilan macam prinsip dasar, yaitu: tauhid, tolong-menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, kebenaran, larangan riba, larangan judi dan larangan gharar.23

a. Tauhid

Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariat Islam. Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan.

b. Keadilan

23

AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004, h. 70


(32)

Prinsip ini dalam berasuransi terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.

c. Tolong-menolong

Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong-menolong (ta'awun) antara nasabah (anggota).

d. Kerja sama

Prinsip kerja sama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi islam. Kerja sama dalam asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara nasabah dan perusahaan asuransi.

e. Amanah

Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan.


(33)

Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru').

g. Larangan riba

Riba secara bahasa bermakan ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

h. Larangan maisir

Syafi'i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa periodenya, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.

i. Larangan gharar

Gharar menurut bahasa adalah al-khida' (penipuan), yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan


(34)

1. Pengertian arbitrase syariah

Kata arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut "kebijaksanaan". Dalam istilah bahasa Inggris arbitrase disebut "arbitration". Sedangkan pengertian arbitrase secara umum di Indonesia, menurut para pakar hukum adalah sebagai berikut :

Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.

R. Subekti, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.24

Sudargo Gautama, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilkanakan karena akan ditaati para pihak.25

24

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), h.1

25


(35)

Abdulkadir Muhammad, menyatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalm perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas dari para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.26

Faturrahman Jamil mengatakan bahwa: “pengertian arbitrase dalam bahasa konvensional sekarang ini dipersamakan dengan istilah tahkim dalam hukum Islam yang artinya: pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai.27

Menurut Undang-Undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa, arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Sedangkan arbitrase dalam perspektif Islam (arbitrase syariah) dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja

26

Absul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditiya, 1992), h.276

27


(36)

hakkama.28 Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seorang menjadi pencegah suatu sengketa. Secara teknis tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal saat ini, yaitu : "Pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai". Kata sinonim yang digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter digunakan istilah hakam, yaitu yang menyelesaikan perselisihan.

Arbitrase menurut para pakar hukum islam dari empat imam Mahzab mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:29

a. Kelompok Hanafiyah, berpendapat bahwa memisahkan persengketaan atau memutuskan pertikaian atau menetapkan hukum antara manusia dengan yang hak dan atau ucapan yang mengikat yang keluar dari yang mempunyai kekuasaan secara umum

b. Kelompok Malikyah, berpendapat bahwa hakikat qadlha adalah pemberitaan terhadap hukum syari’I menurut jalur yang pasti (mengikat) atau sikap hukum yang mewajibkan bagi pelaksanaan hukum Islam walaupun dengan ta’dil atau tarjih tindak untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum.

c. Kelompok Syafi’I, berpendapat bahwa memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT. Atau

28

Luis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1994), h.146

29

A Rahmat Rosyadi, Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), cet-1, h. 44


(37)

menyatakan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa wajib melaksanakannya.

d. Kelompok Hanabilah, berpendapat bahwa penjelasan dan kewajibannya serta penyelesaiannya antara para pihak.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa arbitrase syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan oleh wasit (hakam) di luar lembaga peradilan berdasarkan kesepakatan baik sebelum atau sesudah terjadinya sengketa secara syariah.

2. Dasar Hukum Arbitrase Syariah

Dasar hukum yang mengokohkan eksistensi tahkim (arbitrase Islam) terdapat di dalam Al-qur'an, sunnah, dan ijma'.

Al-qur'an dan sunnah sebagai sumber hukum yang paling utama memberikan petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa di antara para pihak, apakah di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Al-qur'an surat An-Nissa ayat 35 :

-ﻡ :&2>

B1 -ﻡ :&2> C ﺏ D &/*8ﺏ E " @F

! !

/ B1

GH

: 8 F :&8

3

&/*8ﺏ

ID ! :>

#

, ?*

'

JK

)

Artinya : "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik


(38)

kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An-Nisaa : 4 : 35)

L B 8ﺏ1 - L B -ﺏ M! " - M! " -ﺏ N & -ﺏ B !O! * >

&

1

P B

*2! B

&ﺱ ﺱ

8 R

H R S ﺱ;

D

S D ﺱ 8 R

H R S ﺱ; T D 2U ﺏ1

'

2U B R

U ﺏ *2 D 2U 8

S D V 2

'

W 1 <L8" D @ F X Wﻡ Y

ﺏ Z&2UD

8*

/

D

[

W

3

G

@

!

8

-\

Y

S

'

>

?

-B

.

D

&

]

-V

Y

S

'

W

"

!

M

R

?

^

Y

S

'

D

&

-3

B

Y V

S

'

"

!

M

\

Y

S

H

R

8

'

D4

Z

"

!

<M

#

% ?* T ;

)

Artinya: “Yazid (Ibn al-Miqdam bin Syuraih) menceritakan kepada kami, (riwayat) dari Syuraih bin Hani dari ayahnya (Hani), bahwa ketika ia (Hani) menemui Rasulullah SAW banyak orang memanggilnya dengan panggilan Abul Hakam, kemudian Rasul memanggil Hani seraya bersabda: sesungguhnya Hakam itu adalah Allah dan kepada-Nyalah dimintakan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abu al-Hakam?” Abu Syuraih menjawab: jika kaumku bersengketa maka mereka mendatangiku untuk meminta penyelesaian dan kedua belah pihak akan rela dengan putusanku”, kemudian nabi mengomentari jawaban Abu Syuraih : “Alangkah baiknya perbuatanmu ini! Apakah kamu mempunyai anak ?”. Abu Syuraih menjawab: “Ya, saya punya anak yaitu Syuraih, ‘Abdullah, dan Musallam”. Siapa yang paling tua? “. Tanya Nabi. Jawab Abu Syuraih: “Syuraih” kata Rasul: “kalau begitu, engkau adalah Abu Syuraih”. (HR. Al-Nasa’i).30

Adapun dasar hukum yang ketiga adalah Ijma' ulama, yang telah memperkuat tentang adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi persengketaan para pihak dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa setelah wafat Rasulullah SAW, banyak dilakukan pada masa sahabat

30

Abdurrahman Ibn Syu’aib al-Nasa’I, Juz VIII Bab “Idza Hakamu Rajulan Faqadha Bainahum” (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1138 H), h. 199


(39)

dan ulama untuk menyelesaikan sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui musyawarah dan konsensus antara mereka sehingga menjadi

Yurisprudensi Hukum Islam dalam beberapa kasus. Keadaan Ijma sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya, karena tidak semua masalah sosial keagamaan tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah secara rinci. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab pernah mengatakan, bahwa tolaklah permusuhan hingga mereka damai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka.

Sedangkan dasar hukum arbitrase yang berlaku secara positif dapat dijelaskan bahwa, Alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat umum, yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi, Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-undang No. 32 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu.

3. Macam-macam Arbitrase

Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu sebagai berikut :

a. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase)

Disebut dengan arbitrase ad-hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini


(40)

keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad-hoc ini pun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Para arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.31

Dalam arbitrase ad hoc proses beracara dalam arbitrase ditentukan sendiri oleh para pihak menurut ketentuan yang lazim berlaku, atau jika dikehendaki dapat diikuti proses beracara pengadilan.

Pada arbitrase ad hoc para pihak dapat mengatur cara-cara bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administrasi dan arbitrase. Namun demikian dalam pelaksanaannya, arbitrase ad hoc ini memiliki kesulitan antara lain kesulitan dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dan arbitrase serta kesulitan dalam merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak. Karena

31

Gunawana Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 19


(41)

ada beberapa kesulitan itu sering kali dipilih bentuk arbitrase kedua yaitu arbitrase institusional.

b. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)

Sedikit berbeda dari arbitrase ad-hoc, arbitrase institusional keberadaannya praktis bersifat permanen, dan karenanya juga dikenal dengan nama "permanent arbitral body". Arbitrase institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa terbit dari kalangan dunia usaha hampir dari semua Negara-negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menunjukkan diri pada aturan-aturan main dari lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang berlaku untuk masing-masing lembaga tersebut.32

Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen karena sering juga disebut “Permanent Arbitral Body” sebagaimana dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.

32Ibid


(42)

Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc yang dibentuk setelah perselisihan timbul. Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.

Arbitrase institusional, proses beracara dalam arbitrase institusional biasanya memutus proses beracara yang sudah baku menurut ketentuan lembaga tersebut.

Dalam arbitrase institusional, di samping ketentuan yang berlaku umum tata cara pengangkatan arbiter biasanya sudah ditentukan oleh lembaga tersebut, termasuk perlawanan yang mungkin ditiadakan terhadap arbiter yang ditunjuk.

Selain itu bagi arbitrase institusional, proses beracara dalam arbitrase institusional biasanya memutuskan proses beracara yang sudah baku menurut lembaga tersebut.


(43)

Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:33

a. Cakap melakukan tindakan hukum; b. Berumur paling rendah 35 tahun;

c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;

e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun;

Dengan ketentuan bahwa hakim, jaksa, panitera, dan pejabat-pejabat lainnya tidak dapat di tunjuk atau diangkat sebagai arbiter.

Ketentuan yang mengatur mengenai berakhirnya tugas arbiter dalam bab dapat kita temui dalam bab VIII dari pasal 73 sampai dengan pasal 75 Undang-undang No 30 tahun 1999.

Dalam pasal 73 Undang-undang tahun 1999 dikatakan bahwa tugas arbiter berakhir karena:34

a. Putusan mengenai sengketa telah di ambil;

33

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum Arbitrase,(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60

34Ibid.


(44)

b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah di perpanjang oleh para pihak telah lampau; atau

c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali pertunjukan arbiter;

Sedangkan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) BASYARNAS pasal 5 dijelaskan syarat-syarat untuk diangkat menjadi arbiter sebagai berikut:35

a. Beragama Islam yang taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Ahli dalam ilmu, baik murni maupun terapan dan telah mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun dalam bidangnya;

c. Memiliki integritas, kredibilitas serta nama baik di masyarakat;

d. Menyatakan setuju dan menerima segala ketentuan yang ada dan peraturan prosedur beracara yang berlaku di dalam Badan Arbitrase Syariah Nasional;

e. Mengisi dan menandatangani formulir isian yang disiapkan oleh Badan Pengurus dan siap untuk dilantik sebagai arbiter Badan Arbitrase Syariah Nasional;

Berakhirnya masa ke-anggotaan sebagai arbiter, dikarenakan sebagai berikut:36

a. Meninggal dunia

35

Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah Di Indonesia, (Jakarta: BASYARNAS, 2006), h.57

36Ibid


(45)

b. Atas permintaan sendiri

c. Menduduki jabatan yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku dilarang untuk menjadi arbiter

d. Diberhentikan (dengan alasan karena tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai arbiter dan/atau melakukan perbuatan yang tercela dipandang dari agama Islam).

Seorang arbiter memiliki tugas pokok sebagai berikut:37

a. Memeriksa dan memberi putusan arbitrase dalam jangka waktu yang telah ditentukan (menurut pasal 48, paling lama 180 hari sejak penunjukan/pengangkatannya);

b. Bersikap independen dalam menjalankan tugasnya demi mencapai suatu putusan yang adil dan cepat bagi para pihak yang beda pendapat, berselisih paham maupun yang bersengketa;

c. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter/majelis arbiter harus terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa (pasal 45 ayat 1);

d. Apabila usaha mendamaikan tersebut berhasil, maka arbiter/majelis arbiter membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut;

37


(46)

Tugas arbiter berakhir sebagaimana diatur dalam pasal 37 UU. No. 30/1999, adalah sebagai berikut:38

a. Apabila putusan mengenai sengketa telah diambil;

b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah dilampaui;

c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter;

C. Tinjauan Umum Mediasi 1. Pengertian Mediasi

Para penulis dan praktisi yang berusaha menjelaskan pengertian mediasi. Tetapi, upaya untuk mendefinisikan mediasi bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya.

Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak mengidentifikasi masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan

38Ibid


(47)

sebuah proposal. Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.39

Mediasi adalah forum penyelesaian sengketa yang sekarang sudah juga mulai berkembang. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang netral.

Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh mediator.40

Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02/2003, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 6, yaitu: Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Disini disebutkan kata mediator, yang harus mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa yang diterima para pihak. Pengertian mediator, disebutkan dalam pasal 1 butir 5, yaitu: mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.41

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi dengan

39

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 119

40

BMAI, Peraturan Badan Mediasi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 7

41


(48)

antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.42

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara “pribadi” dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak yang netral tersebut tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi.

2. Landasan Hukum Mediasi

Dasar hukum mediasi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 1999 pasal 1 ayat 10 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa: Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

42

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 120


(49)

yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.43

Pada tanggal 11 September 2003 yang lalu Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 yang mengatur tentang mediasi. Perma ini dirancang oleh Mahkamah Agung dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), yaitu organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Sejauh ini IICT telah memberikan sumbangsih atas penyelenggaraan penyelesaian sengketa secara efektif melalui upaya untuk mengembangkan pola-pola resolusi konflik untuk membangun masyarakat yang demokratis, harmonis, menghargai kemajemukan dan kesetaraan serta mengembangkan pola-pola penyelesaian sengketa yang mencerminkan keadilan prosedural dan subtansial.

Adapun Badan Mediasi Asuransi Indonesia beroperasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama: MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN (Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006), GUBERNUR

BANK INDONESIA (Nomor: 8/50/KEP.GBI/2006), MENTERI

KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006) dan MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA (Nomor: KEP-75/MBU/2006) TENTANG: PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan ditetapkan

43

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 163.


(50)

di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. Juga berdasarkan pada lampiran III Lembaga Keuangan Non-Bank poin-3, program-3 tentang Perlindungan Pemegang Polis dengan Penanggung Jawab Departemen Keuangan RI.44

3. Syarat – Syarat Menjadi Mediator

Mengingat mediator sangat menentukan efektivitas proses penyelesaian sengketa, ia harus secara layak memenuhi kualifikasi tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa. Jika ia berpengalaman tak terbiasa berperkara di pengadilan, hal itu sangat membantu. Tetapi, pengalaman apapun, selain pengalamannya sendiri sebagai mediator, memang kurang relevan. Pengetahuan secara substansi atas permasalahan yang disengketakan tidak mutlak dibutuhkan, yang lebih penting adalah kemampuan menganalisis dan keahlian dalam menciptakan pendekatan pribadi.

Dalam PP No.54/2000 ditentukan kriteria untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, yaitu:45

a. Cakap melakukan tindakan hukum;

b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;

44

BMAI, Peratutan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 64

45

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 133


(51)

c. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima0 tahun; dan

d. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Di samping itu, mediator (atau pihak ketiga) harus memenuhi syarat sebagai berikut:46

a. Disetujui oleh para pihak yang bersengketa;

b. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;

c. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.

Penyebutan kriteria atau persyaratan sebagai mediator secara terperinci menjadi sangat penting karena dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02/2003 hal itu tidak diatur. Oleh karena itu, kriteria atau persyaratan di atas sangat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan bagi pengangkatan mediator dalam berbagai kasus lainnya, tentunya dengan berbagai pertimbangan sesuai dengan kebutuhan.

Dalam praktek, mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkan berhubungan secara menyenangkan dengan masing-masing pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak

46Ibid


(52)

menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berpikir masing-masing pihak, serta kesiapannya untuk memahami dengan empati pandangan para pihak.

Mediator perlu memahami dan memberikan reaksi positif (meskipun tidak berarti setuju) atas persepsi masing-masing pihak dengan tujuan membangun hubungan baik dan kepercayaan. Jika para pihak sudah percaya kepada mediator dan proses mediasi, mediator akan lebih mampu membawa mereka ke arah konsensus.47

4. Tujuan Mediasi

Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk:

a. Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan; b. Melenyapkan kesalahpahaman;

c. Menentukan kepentingan yang pokok;

d. Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan;

e. Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak;48

47Ibid

., h. 135

48

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet-4, h. 156-157


(53)

BAB III

TINJAUAN UMUM

BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

A. Badan Arbitrasee Syariah Nasional (BASYARNAS)

1. Sejarah Berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Di Indonesia lembaga arbitrase telah didirikan pada tanggal 3 Desember 1977 dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Prakarsa pendirian BANI disponsori oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN).49 Seiring dengan kehadiran Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang merupakan konfirmasi dari eksistensi atau legitimasi terhadap badan arbitrase di Indonesia, maka hadir pulalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan salah satu wujud dari arbitrase syariah yang pertama kali didirikan di Indonesia.

Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) bermula dari Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang pendiriannya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pada tanggal 5 jumadil awal 1414 H, bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan Akta Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21 oktober

49


(54)

1993. Didalam Akta pendirian Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), yang dimaksud dengan yayasan ini bernama: YAYASAN BADAN ARBITRASE MUAMALAH INDONESIA disingkat BAMUI (pasal 1). 50

Instansi ini merupakan badan pekerja yang berada di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kelehirannya menyusul hadirnya Bank Muamalah Indonesia sebagai bank syariah pertama, kemudian disusul dengan Asuransi Syariah yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia.

Proses awal berdirinya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), dengan adanya pertemuan pertama dan kedua diruang rapat Majelis Ulama Indonesia (MUI), masing-masing tanggal 22 April 1992 dan 2 Mei 1992. Kemudian melalui surat keputusan Nomor 392/M.U.I/V/1992 memutuskan untuk mengangkat kelompok kerja pembentukan Lembaga Arbitrase Islam. Kelompok kerja dibagi menjadi dua bagian, yaitu nara sumber terdiri dari: Prof. K.H.Ali Yafie; Prof K.H. Ibrahim, LML; H. Andi Lolo Tonang, S.H.; H. Hartono Mardjono, S.H.; Jimly Asshiddiiqie, S.H., M.A; panitia teknis terdiri dari: Abdul Rahman Saleh, S.H., (koordinator), dengan anggotanya, Dr. Herman Rajagukguk, S.H.; LL.M; Hidayat Achyar, S.H.; Dr. Satria Efendi; M. Zein; Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H.; Yudo Paripurno, S.H.; Drs. H. Syaidu Syahar, S.H.; H.A Z. Umar Purba, S.H.; dan Drs. K.H. Ma’ruf Amin. Sebagai sekretaris adalah H.M. Isa Anshary, M.A dan Drs Ahmada Dimyati.

50

BAMUI, Salinan Aktia Pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, (Jakarta: BAMUI, 1999), h. 15


(55)

Pada tanggal 29 Desember 1992 Tim Kerja Pembentukan Badan Arbitrase melaporkan hasil kerjanya dan menjadi agenda keputusan TAKERNAS MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) seluruh Indonesia tanggal 24-27 November 1992 di Jakarta. Keputusan tersebut berkaitan dengan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), bahwa : “Sehubungan dengan rencana pendirian lembaga Arbitrase Syariah Rakernah menyarankan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera merealisasikan pembentukannya”. Sebagai realisasi dari keputusan itu, maka pada tanggal 4 Januari 1993 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengelurkan Surat Keputusan Nomor 08/M.U.I/I/1993 tentang panitia persiapan peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

Kemudian selama kurang lebih 10 tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjelaskan perannya dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meniggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagai diatur dalam undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut. Maka atas nama keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia No: Kep-09/M.U.I/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menjadi badan yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat oraganisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).51

51

Salinan Akta Pernyataan Keputusan Raapt Dewan Pimpinan MUI tentang Basyarnas No. 15, (Jakarta: BASYARNAS, 29 Januari 2004)


(56)

Kemudian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam di Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam melainkan menjadi suatu kebutuhan riil adanya praktek perdata secara perdamaian dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu tujuan di dirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan permanent yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan jasa dan lain-lain di kalangan umat islam.

Menurut H.S. Prodjokusumo, Seketaris Umum Majelis Ulama MUI, menyebutkan bahwa gagasan pembentukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari kontek perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam.52

Oleh karena itu sangat pentingnya keberadaan lembaga Arbitrase seperti Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), karena hampir setiap Negara mendirikan lembaga arbitrase untuk keperluan para pembisnis. Apalagi di zaman era globalisasi ini, frekuensi bisnis sangat padat dan hampir tanpa ada pemisah antar Negara. Dengan demikian, di kemudian hari pasti akan timbul permasalahan bisnis antara para pihak. Hal ini untuk menghindari penyelesaian terlalu lama. Penyelesaian perkara melalui badan Arbitrase dianggap lebih murah, cepat, dan

52


(57)

dapat menjaga kredibilitas perusahaan. Itulah alasannya, mengapa di setiap Negara didirikan badan arbitrase dan keberadaannya sangat dibutuhkan.

Terdapat sejumlah alasan, para pembisnis memilih penyelesaian sengketa ke badan arbitrase daripada ke lembaga pengadilan, antara lain di kemukakan oleh Roedijono,53 bahwa daya tarik relatif arbitrase adalah refleksi dari kelemahan-kelemahan litigasi. Prosesnya bilamana secara tepat dilaksanakan, menjanjikan party autonomy yang maksimal, campur tangan yang minimal dari pengadilan dan berkaitan dengan arbitrase internasional, pengakuan dan pelaksanaan putusan peradilan wasit, jadi arbitrase memberikan beberapa keunggulan; pemilihan arbiter oleh para pihak (pemilih ahli yang diinginkan), keterbatasan upaya hukum atas putusan arbiter, kerahasiaan, kenyamanan para pihak, prosedur yang tidak formal dan eksekusi putusan arbiter sebagai vonis.

Dalam melaksanakan tugasnya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah beban (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.

2. Fungsi dan Tujuan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Setiap lembaga atau badan pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapainya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan tujuan tersebut maka suatu lembaga atau badan dapat memperkirakan mutu didirikannya badan atau

53

Roedijono, Alternative Dispute Resolution (ADR) (Pilihan Penyelesaian Sengketa), (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1996), h. 5-5.


(58)

lembaga tersebut. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mempunyai visi dan misi yaitu sebagai berikut:

Penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan (khususnya) yang ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) diputuskan secara final dengan prinsip perdamaian.

Dengan prinsip perdamaian, menurut A. Wasil Aulawi terdaapt nilai-nilai dan juga konstruktif yaitu:54

1. Kedua belah pihak menyadari sepenuh perlunya penyelesaian sengketa yang terhormat dan bertanggung jawab.

2. Secara suka rela mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercayai.

3. Secara suka rela mereka akan menyelesaikan putusan dari arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter

4. Kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus disepakati 5. Mereka menghargai hak orang lain itu adalah lawannya.

6. Mereka tidak ingin meresa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang mungkin ada pada orang lain

7. Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara atau bermasyarakat sehingga dapat dihindari tindakan main hakim sendiri

54

Badan Arbitrase Syariah dan Perannya dalam Mendukung Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: BASYARNAS, 2004), h. 16


(59)

8. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim atau arbitrase itu di dalamnya mengandung makna musyawarah dan perdamaian.

Di samping itu tujuan utama pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:55

1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam perdagangan industri, keuangan, jasa dan lain-lain

2. Memenuhi permintaan yang di ajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan pendapat yang mengikat mengenai persoalan yang berkenaan dengan perjanjian tersebut.

3. Struktur Organisasi

Penasehat 1. Dr. K.H. Sahal Mahfudh

2. Prof. K.H. Ali Yafie

3. Prof. Dr. H. Said Agil Husein Munawar, M.A. 4. Prof. H. Bismar Siregar, S.H.

5. Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H. 6. Prof. Dr. H.M. Tahir Azhary, S.H. 7. Prof. Dr. Umar Shihab

8. Prof. Dr. H. Asmuni Abdurrahman 9. KH. Kholid Fatlulluah, S.H.

55


(60)

10. KH. Ma'ruf Amin

11. Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab

12. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H. 13. Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin

Ketua : H. Yudo Paripurno, S.H.

Wakil Ketua : H. Abdul Rahman Saleh, S.H. MH.

Wakil Ketua : H. Hidayat Ahyar, S.H. Wakil Ketua : Hj. Fatimah Ahyar, SH.

Sekretaris : H. Acmad Djauhari, SH. MH.

Wakil Sekretaris : Drs. Anwar Sanusi Adiwijaya, SH. MM. Wakil Sekretaris : Drs. H. Ahmad Dimyati

Bendahara : Dr. Ir. H. Riyanto Sofyan Wakil Bendahara : Drs. H. Mochtar Luthfi, SH. Wakil Bendahara : Dra. Euis Nurhasanah

Anggota : Prof. Dr. Erman Rajagukguk, SH, LLM

H.A. Zen Umar Purba, SH, LLM Tgk. H. Ir. Ibrahim Arief, SH, M.Agr. H.M. Isa Anshar, MA.


(61)

Niniek Rustinawati, SH. H.M. Saeful Rahman, SH Mohammad Nur, SH

B. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)

1. Sejarah Berdirinya Badan Mediasi Asuransi Indonesia

Badan Mediasi Asuransi Indonesia adalah lembaga independen dan imparsial yang memberikan pelayanan untuk penyelesaian sengketa klaim (tuntutan ganti rugi atau manfaat) asuransi antara Perusahaan Asuransi dengan Tertanggung atau pemegang polis.56

Pendirian Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) digagas oleh industri asuransi dan semua Asosiasi Perusahaan Perasuransian Indonesia (FAPI) yaitu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI), serta didukung oleh pemerintah. Tujuan pendirian Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) adalah untuk memberikan pelayanan yang lebih profesional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak tertanggung atau pemegang polis. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) secara resmi didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi pada tanggal 25 September 2006.57

56

BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 64

57Ibid


(62)

Adapun Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ini beroperasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama: MENTERI KOORDINATOR

BIDANG PEREKONOMIAN ( Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006),

GUBERNUR BANK INDONESIA (Nomor: 8/50/KEP.GBI/2006),

MENTERI KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006), dan MENTERI

NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA (Nomor:

KEP-75/MBU/2006) TENTANG : PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. 58

2. Fungsi dan Tujuan Badan Mediasi Asuransi Indonesia

Setiap Lembaga atau Badan pasti mempunyai Fungsi dan Tujuan. Begitu juga dengan Badan Mediasi Asuransi Indonesia yang mempunyai Fungsi akan selalu bertindak independen dalam memberikan pelayanan dan sebagai media yang tidak memihak (imparsial) dan penengah perselisihan dan tidak akan bertindak sebagai penasihat hukum baik bagi Anggota, Pemohon atau pihak-pihak lainnya yang mengajukan sengketa kepadanya.

Sedangkan tujuan dari Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yaitu untuk memberikan pelayanan yang lebih profesional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak tertanggung atau pemegang polis.

58


(63)

3. Struktur Organisasi Badan Mediasi Asuransi Indonesia59

59

http: // www.bmai.or.id pada tanggal 01 Juli 2008 KETUA

Frans Lamury

SEKRETARIS

Ketut Sendra

BENDAHARA


(1)

WAWANCARA

Nama : Ketut Sendra Jabatan : Sekretaris

1. Kasus asuransi mengenai apa saja yang ditangani oleh BMAI?

Jawab: Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri, kasus yang masuk dan ditangani oleh BMAI kebanyakan mengenai klaim dan asuransi jiwa

2. Apakah kasus yang ditangani oleh BMAI dapat terselesaikan?

Jawab: Sudah sekitar 80 kasus sengketa asuransi mengenai klaim dan dan asuransi jiwa yang masuk ke Badan Mediasi Asurani Indonesia (BMAI) dan semuanya dapat terselesaikan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) .

3. Adakah asuransi syariah yang diselesaikan oleh BMAI?

Jawab: Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri dan beroperasi, belum pernah ada asuransi syariah yang masuk ke Badan Mediasi Asuransi Indonesia, jadi belum ada kasus asuransi syariah yang terselesaikan di Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

4. Apa dasar Hukum BMAI?

Jawab: Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ini beroperasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama: MENTERI KOORDINASI BIDANG


(2)

PEREKONOMIAN (Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006, GUBERNUR BANK INDONESIA (Nomor: 8/50/KEP.GBI/2006), MENTERI

KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006) dan MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA (Nomor: KEP-75/MBU/2006) TENTANG: PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. Juga berdasarkan pada lampiran III Lembaga Keuangan Non- Bank poin-3, program-3 tentang Perlindungan Pemegang Polis dengan Penanggung Jawab Departemen Keuangan RI.

5. Apa syarat-syarat menjadi mediator?

Jawab: Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:82

f. Cakap melakukan tindakan hukum; g. Berumur paling rendah 35 tahun;

h. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

i. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;

82

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum Arbitrase,(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60


(3)

j. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun;

6. Berapa lamakah kasus yang ditangani oleh BMAI?

Jawab: Dalam menangani kasus sengketa asuransi yang masuk, Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dapat menyelesaikan kasus tersebut memakan waktu yang sangat singkat.

7. Apa perbedaan mediasi dengan arbitrase?

Jawab: Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh Mediator. Sedangkan Arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa".

8. Sudah berapa jauh BMAI mensosialisasikan kepada masyarakat?

Jawab: Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) sudah mensosialisasikan kepada masyarakat dengan cara mengadakan seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan, membuka cabang di daerah-daerah, melalui internet, dam lain-lain.


(4)

WAWANCARA

Nama : Euis Nurhasanah Jabatan : Wakil Bendahara

1. Kasus asuransi mengenai apa saja yang ditangani oleh BASYARNAS?

Jawab: Selama Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri, belum ada kasus asuransi syariah yang dapat diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah Nasional karena belum ada kasus asuransi syariah yang masuk ke Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

2. Apakah kasus yang ditangani oleh BASYARNAS dapat terselesaikan?

Jawab: Kasus yang masuk dan ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dapat dan akan terselesaikan.

3. Adakah asuransi konvensional yang diselesaikan oleh BASYARNAS? Jawab: Belum ada kasus sengketa asuransi konvensional yang masuk dan

diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). 4. Apa syarat-syarat menjadi arbiter?

Jawab: Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:83

83

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum Arbitrase,(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60


(5)

1. Cakap melakukan tindakan hukum; 2. Berumur paling rendah 35 tahun;

3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

4. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;

5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun;

5. Apa perbedaan mediasi dengan arbitrase?

Jawab: Arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Sedangkan Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh Mediator.

6. Seberapa jauh BASYARNAS mensosialisasikan kepada masyarakat? Jawab: Sudah cukup banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan

BASYARNAS. Sosialisasi yang dilakukan BASYARNAS yaitu dengan cara mengadakan seminar-seminar, media masa maupun media elektronik. Juga membuka beberapa cabang di daerah-daerah.


(6)