BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pembuatan Dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Antasida Dari Film Alginat-Kitosan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Penyakit utama dari lambung dan duodenum adalah, gastritis (radang

  )

  lambung , ulkus lambung (gastric ulcer), duodenitis (radang usus) dan ulkus duodenum (duodenal ulcer), yang semuanya dalam beberapa cara berkaitan dengan cedera yang dimediasi oleh asam (Gregory, 2000 ).

  Patofisiologi dari penyakit ulkus dapat digambarkan sebagai ketidakseimbangan antara faktor-faktor pertahanan mukosa (bikarbonat, mukus, prostaglandin, NO, peptida-peptida dan faktor-faktor pertumbuhan) dengan

  injurious factors (misalnya: asam dan pepsin). Kondisi produksi mukus yang

  terlalu sedikit atau sekresi asam yang terlalu banyak dalam lambung akan menyebabkan erosi di lapisan mukosa lambung. Berbagai kondisi dapat menyebabkan gangguan ini. Bakteri H. pylory dan agen eksogen seperti obat anti- inflamasi non steroid berinteraksi secara kompleks dalam menyebabkan ulkus.

  Aspirin adalah asam, yang secara langsung mengganggu atau mengikis lapisan mukosa lambung (Wallace, 2011; Corwin, 2008).

  Dalam kondisi normal, pH lambung adalah sekitar 1,2 - 1,8. Pada siang hari, makanan yang merangsang sekresi asam juga menetralisirnya dan menjaga pH lambung sekitar 3 - 5. Namun, ketika perut kosong, sekitar 2 - 3 jam setelah makan, pH kembali turun, dan penderita ulkus cenderung untuk mengalami rasa sakit yang hilang dengan makan atau minum antasida. Rasa nyeri yang dimediasi asam terjadi ketika pH lambung berada di bawah 2 (Gregory, 2000; Perigard, 2000; Tolman, 2000). Suatu ciri penting dari sekresi asam basal adalah rithme hariannya (circadian rhythm), bahwa sekresi asam tinggi antara jam 22.00 sampai tengah malam dan rendah pada jam 04.00 sampai jam 08.00 pagi. Inilah yang menjadi alasan pasien cenderung untuk bangun sekitar tengah malam dengan dispepsia dan nyeri ulu hati (heartburn). Ini menunjukkan bahwa pH lambung cenderung turun menjadi 1 atau 2, karena sekresi asam relatif tinggi dan tidak dinetralkan oleh makanan (Gregory, 2000; Tolman, 2000 ).

  Penggunaan antasida pada penyakit tukak lambung berdasarkan kemampuannya menetralkan asam lambung dan mencegah konversi pepsinogen menjadi pepsin. Pepsinogen merupakan prekursor yang diubah menjadi pepsin aktif dengan HCl bebas dan oleh proses autokatalitik. Pepsin adalah enzim proteolitik yang diperkirakan memediasi cedera jaringan atau degradasi mukus dan mukosa pada penyakit ulkus (Tolman, 2000).

  Ada perbedaan pada jenis antasida dalam hal kapasitas netralisasi, durasi kerja, dan efek samping. Penyebab kurang efektifnya pengobatan dengan sediaan antasida konvensional dapat terjadi karena frekuensi pengobatan tidak adekuat, pemilihan sediaan tidak tepat, dan sediaan antasida konvensional durasi kerjanya singkat. Dalam kondisi perut kosong antasida mempunyai waktu tinggal di lambung sekitar 30 menit. Jika diberikan ketika makanan di lambung, aksi penyangga akan berlangsung selama 2 jam dan tambahan dosis 3 jam setelah makan akan memperpanjang waktu penyangga 1 jam (Wallace, 2011; Tolman, 2000 ).

  Masa tinggal obat antasida konvensional yang singkat di lambung menyebabkan tidak menetralisir asam klorida yang keluar berkesinambungan dari sel-sel parietal untuk periode waktu yang lama. Antasida ideal adalah yang memiliki kapasitas penetralan yang besar, memiliki durasi kerja yang panjang, memberikan aksi mempertahankan pH (buffering action) terus menerus dan tidak menyebabkan efek lokal maupun sistemik yang merugikan (Tolman, 2000).

  Penyembuhan penyakit asam lambung terjadi bila pH rata-rata 24 jam dijaga di atas 3 - 4. pH tersebut dapat ditingkatkan dengan baik oleh penetral asam (antasida) atau penghambat sekresi lambung (antagonis H2-reseptor atau inhibitor pompa proton) (Tolman, 2000 ).

  Penyampaian obat dengan sistem gastroretentif (Gastroretentive Drug

  

Delivery Systems/GDDS ) merupakan suatu solusi untuk memperpanjang masa

  tinggal obat di lambung dan mengatasi durasi kerja antasida konvensional yang singkat. Sistim gastroretentif adalah sebuah pendekatan untuk memperpanjang waktu tinggal obat di lambung, menargetkan pelepasan spesifik ke lambung dan melepaskan obatnya secara terus menerus dan terkontrol dalam waktu yang lebih lama, sehingga akan bermanfaat untuk meningkatkan efikasi dari obat (Nayak, et al., 2010).

  Perpanjangan waktu tinggal dalam lambung dari sediaan obat dapat meningkatkan bioavailabilitas, mengontrol lamanya pelepasan obat. Disamping itu juga akan bermanfaat bagi kerja lokal obat di bagian atas saluran pencernaan terutama untuk pengobatan ulkus peptik (Nayak, et al., 2010).

  Beberapa contoh desain dan pengembangan dari sistem gastroretentif meliputi; sistem penyampaian obat mukoadhesif yang melekat pada permukaan mukosa; sistem pengembangan (swelling) yaitu sediaan ketika kontak dengan cairan lambung akan mengembang dengan ukuran yang mencegah obat melewati pilorus sehingga sediaan tetap berada dalam lambung untuk beberapa waktu tertentu; sistem pengapungan (floating system) yaitu sistem penyampaian dengan menggunakan sediaan dengan densitas rendah sehingga dapat mengapung dan bertahan dalam lambung untuk beberapa waktu, dan selanjutnya sediaan dengan densitas tinggi yang ditahan pada dasar lambung (Ami, et al., 2012; Nayak, et al., 2010).

  Beberapa penelitian telah menjelaskan tentang penggunaan alginat- kitosan dalam formulasi pelepasan obat terkontrol, sediaan film dan sediaan gastroretentif, seperti formulasi mikropartikel alginat-kitosan sebagai mukoadhesif yang mengandung prednisolon untuk pelepasan terkontrol (Wittaya, et al., 2006), sediaan floating dan mukoadhesif dari bead alginat-kitosan yang mengandung amoksisilin sebagai gastroretentif mampu memperpanjang pelepasan obat selama lebih dari 6 jam dalam lambung (Sahasathian, et al., 2010). Evaluasi fisika-kimia film alginat/kitosan yang mengandung natamycin sebagai agen antimikroba (Silvaa, et al., 2005), dan Lilian, et al, (2011), membuat campuran film kitosan kationik dengan ekstrak protein quinoa anionik yang dapat digunakan sebagai edibel film untuk tujuan pengemasan dalam industri makanan.

  Selanjutnya suatu sediaan antasida dengan masa tinggal yang diperpanjang di lambung (Antacid Compositions With Prolonged Gastric

  

Residence Time ) telah ditemukan dan dipatentkan oleh Spickett, et al., (1994),

  produk antasida ini meliputi campuran 10-70 % vesikel lipid dengan partikulat base yang mengandung antasida dalam bentuk koloid, suspensi, atau produk kering. Fase lipid dibentuk dari gliserol monostearat (GMS), kolesterol, dan cetyl

  (CPC) untuk muatan positif atau asam oleat untuk muatan

  pyridinium chloride negatif, dan tween 60 sebagai surfakatan yang menunjukkan bahwa pada waktu enam jam sebagian besar dari vesikel lipid masih dipertahankan di lambung.

  Sediaan antasida dengan durasi diperpanjang (Extended duration antacid

  

product ) juga telah dipatentkan oleh Wallach, et al., (1996). Penemuan ini

meliputi sediaan padat oral dua fase dengan aktivitas antasida yang diperpanjang.

  Fase internal terdiri dari campuran serbuk yang mengandung bahan aktif antasida dan bahan tambahan yang dapat diterima (acceptable) secara farmasetika dan fase eksternal mengandung suatu zat hidrofobik organik, seperti: ester dari gliserol dengan asam palmitat atau stearat, polialkena dihidroksilasi dan emulsifier non- ionik.

  Sementara sediaan gastroretentif bentuk matriks film dengan menggunakan HPMC dan eudragit sebagai polimer dan dibutil ftalat sebagai plastisizer menunjukkan bahwa sediaan film mampu bertahan dalam lambung hingga 6 ± 0,5 jam dalam kondisi puasa dan 8 jam dalam keadaan makan ( Sathish, et al., 2013).

  Alginat merupakan suatu polisakarida yang dihasilkan dari ganggang coklat (Phaeophyceae) dan bakteri. Alginat adalah kopolimer anionik linier yang terdiri dari residu asam

  β-D-manuronat dan asam α-L-guluronat dalam ikatan 1,4. Kelebihan yang paling penting dari natrium alginat sebagai matriks untuk formulasi pelepasan terkontrol adalah karena sifatnya yang biodegradabel dan biokompatibel (Sachan, et al., 2009).

  Kitosan merupakan derivat kitin adalah biopolimer kedua terbanyak yang terdapat di alam sesudah sellulosa. Terdapat pada hewan khususnya kerang- kerangan, kulit kepiting dan udang. Kitosan merupakan polisakarida kationik lemah, bersifat basa lemah dengan pKa dari residu D-glukosamine kira-kita 6,2 - 7,0 dan oleh karena itu tidak larut dalam pH netral dan alkali tetapi larut dalam asam encer membentuk gel. Kitosan bersifat non toksik, membentuk film (film

  

former ), biokompatibel, biodegradable dan bersifat mukoadhesif. Mekanisme

  kerja mukoadhesif terjadi melalui interaksi ionik antara gugus amino kitosan yang bermuatan positif dengan muatan negatif asam sialat yang terdapat dalam mukus.

  Selain itu, polimer hidrofilik ini menarik cairan dari lapisan gel mukus yang terdapat pada permukaan epitel dan akan mengembang dalam suasana asam (Felt, et al., 1998; Yogeshkumar, et al., 2013).

  Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk merancang suatu sediaan antasida model baru dengan sistem penyampaian obat gastroretentif, dengan bentuk sediaan berupa film yang digulung, kemudian dimasukkan ke dalam cangkang kapsul, dan saat kapsul hancur di lambung, film akan membentang kembali, sehingga memperpanjang waktu tinggal obat di lambung, dan melepaskan obatnya secara terus menerus dan terkontrol dalam waktu yang lebih lama.

  Kitosan dan alginat adalah polimer yang digunakan untuk formulasi sediaan gastroretentif berbentuk film dalam penelitian ini, serta gliserin sebagai plastisizer. Kedua polisakarida bermuatan berlawanan ini akan membentuk kompleks polielektrolit yang memiliki karakteristik menarik untuk aplikasi pelepasan terkontrol (Yan, et al., 2001).

  Sifat-sifat dan kemampuan kitosan membentuk film, bersifat mukoadhesif, dan mengembang dalam suasana asam akan sangat cocok dikombinasikan dengan alginat yang mengontrol pelepasan obat dan bertahan di lambung sebagai sediaan gastroretentif.

  Magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida dalam penelitian ini adalah sebagai model obat. Magnesium hidroksida memiliki aksi yang cepat dalam penetralan asam, yang juga bersifat pencahar dan dapat menyebabkan diare. Aluminium hidroksida memiliki tindakan yang relatif lebih lambat dan cenderung menyebabkan sembelit. Kombinasi senyawa magnesium dan aluminium dapat digunakan untuk saling meminimalkan efek samping, kombinasi ini banyak dipilih oleh para ahli (Neal, 2002; Wallace, 2011).

  Penelitian ini meliputi pembuatan sediaan film alginat-kitosan yang mengandung Al(OH) 3, Mg(OH)

  2 dan kombinasi Al(OH) 3 dan Mg(OH) 2 , evaluasi dan karakterisasi sediaan, serta uji in vitro.

1.2 Perumusan Masalah

  1. , Mg(OH) dan kombinasi Al(OH) dan Mg(OH) dapat

  3

  2

  3

  2 Apakah Al(OH)

  diformulasi dalam bentuk film alginat-kitosan sebagai sediaan

  Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS)? 2.

  Apakah bentuk sediaan gastroretentif film alginat-kitosan yang mengandung Al(OH)

  3 , Mg(OH) 2 dan kombinasi Al(OH) 3 dan Mg(OH)

  2

  sebagai antasida mampu mempertahankan pH 3 sampai 4 dalam waktu yang lebih lama dibandingkan sediaan konvesional yang diuji secara in

  vitro ?

  1.3 Hipotesis 1.

  Alginat-kitosan merupakan suatu polimer yang dapat berinterakasi membentuk kompleks polielektrolit yang dapat diaplikasikan terhadap Al(OH)

  3 , Mg(OH) 2 dan kombinasi Al(OH) 3 dan Mg(OH) 2 sebagai suatu sediaan film yang bertahan lebih lama dalam lambung/GDDS.

  2.

  3 ,

  Sediaan GDDS dari film alginat-kitosan yang mengandung Al(OH) Mg(OH) dan kombinasi Al(OH) dan Mg(OH) sebagai antasida yang

  2

  

3

  2

  dilipat dan dimasukkan dalam kapsul mempunyai sifat elastis dan akan membentang kembali ketika kapsul hancur di lambung sehingga mencegah obat melewati pilorus, ditambah lagi dengan kitosan yang bersifat mukoadhesif serta mengembang dalam suasana asam akan lebih membantu sediaan tertahan di lambung dan menjaga pH 3 - 4 dalam waktu yang lebih lama dibandingkan sediaan konvensional yang diuji secara in

  vitro.

  1.4 Tujuan Penelitian 1.

  Untuk membuat formula film alginat-kitosan yang dapat diformulasikan dengan Al(OH) , Mg(OH) dan kombinasi Al(OH) dan Mg(OH) sebagai

  3

  2

  3

  2

  suatu sediaan antasida dalam bentuk film yang mampu bertahan lebih lama dalam lambung/GDDS.

  2. Untuk mengetahui kemampuan sediaan gastroretentif film alginat-kitosan yang mengandung Al(OH)

  

3 , Mg(OH)

2 dan kombinasi Al(OH) 3 dan

  Mg(OH) tertahan di lambung dan menjaga pH antara 3 - 4 dalam durasi

  2

  yang lebih lama dibandingkan sediaan konvensional yang diuji secara in vitro .

1.5 Manfaat Penelitian

  Penelitian ini memberikan informasi dan kontribusi dalam pengembangan Sistem Penyampaian Obat/Drug Delivery System (DDS) terutama dalam teknologi sediaan obat-obat yang tertahan di lambung (Gastroretentive Drugs Delivery

  System (GDDS). Sediaan GDDS dapat mengontrol lamanya pelepasan obat dalam lambung sehingga lebih efektif.

  1.6 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter Film Alginat- Al(OH) 3 Film Alginat- Mg(OH) 2 Durasi Kerja

  Meliputi:

  • Variasi tebal & berat Antasida

  film Karakteristik Konvensional

  • Sifat pembentangan Sediaan Film Kitosan- yang Singkat

  (Unfolding Al(OH) 3 behaviour)

  • Keutuhan film (Integrity Film Kitosan-

  properties ) Mg(OH) 2

  • SEM Formulasi Gastroretentif film Alginat- Film Alginat- Kitosan yang

  Sifat Pengembangan Al(OH) 3 dan mengandung (swelling properties) Mg(OH) 2 Antasida (Al(OH) 3 , Mg(OH) 2 , dan

  Sifat Bioadhesif kombinasi Film Kitosan- Efektivitas

  Al(OH) 3 , dan Al(OH)3 dan Sediaan Mg(OH) 2 ) Mg(OH) 2 Profil Netralisasi HCL 0,1 N secara in vitro Film Alginat-

  Kitosan- Pelepasan ion logam Al(OH) 3 dan dari sediaan film

  Mg(OH) 2 secara in vitro