Hubungan Sipil Militer Korea Utara Pada

Hubungan Sipil-Militer Korea Utara Pada Masa Kim il-Sung
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Hubungan sipil-militer tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan

perkembangan bangsa dan negara. Keikutsertaan Militer dalam kegiatan politik sering
menjadi suatu pembahasan yang menarik untuk dibahas.Istilah “intervensi Militer” dalam
kegiatan politik dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan demokrasi yang
dikendalikan oleh pemerintahan sipil.

Runtuhnya Uni Soviet yang menandai berakhirnya Perang Dingin
memberi implikasi yang lebih rumit bagi kondisi hubungan internasional.
Ketegangan maupun persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet pada
saat Perang Dingin berlangsung tidak lagi mewarnai sistem politik internasional.
Kondisi sistem internasional yang tidak stabil karena mengalami perubahan dari
bipolar menjadi multipolar menjadi suatu masalah tersendiri karena akan
berpengaruh terhadap negara-negara anggota system internasional tersebut.
Ketidakstabilan kondisi sistem internasional tersebut ditandai dengan mulai

merebaknya konflik antar etnis dan agama, proliferasi senjata pemusnah massal,
maupun terorisme. Asia Timur sebagai salah satu kawasan dalam sistem
internasional juga terpengaruh oleh adanya ketidakstabilan sistem internasional
yang diawali sejak berakhirnya Perang Dingin. Dengan kondisi sistem
internasional yang tidak stabil membuat negara-negara di Asia Timur mulai
mengarahkan perhatian pada perkembangan keadaan sekitarnya yang dianggap
dapat menjadi sumber ancaman dan mencari cara untuk mengatasinya.
Keadaan kawasan Asia Timur sampai saat ini masih tidak menentu
walaupun Perang Dingin telah berakhir. Sejarah Perang Dingin masih membekas
dan masih belum sepenuhnya usai dengan rivalitas antar negara Asia Timur.

1

Dinamika keamanan regional di kawasan Asia Timur berkisar pada tiga isu: 1
masalah hubungan Jepang dengan negara-negara tetangganya, ketegangan
hubungan antara Cina dan Taiwan, dan perang yang tak terselesaikan antara dua
negara Korea. Potensi konflik regional merupakan hal yang dirasakan oleh
negara-negara Asia Timur sebagai ancaman yang besar. Oleh sebab itu, negaranegara di Asia Timur saling berusaha untuk terus meningkatkan pertahanan
nasionalnya dengan meningkatkan pembelanjaan militer maupun modernisasi
persenjataan karena ada rasa saling curiga satu sama lain.


Dari seluruh negara di Asia Timur, Korea Utara merupakan negara yang
paling selalu berusaha mengembangkan nuklir. Sebenarnya kapabilitas kekuatan
militer konvensional yang dimiliki Korea Utara lemah. Ini terlihat dari usangnya
tank-tank yang dimiliki Korea Utara. Begitu pula dengan sistem udara statisnya.
Walaupun lemah, Korea Utara selalu berusaha meningkatkan kekuatan militer.
Dari pengembangan kekuatan militer tersebut terlihat bahwa terdapat suatu
hubungan sipil-militer, namun kekuasaan pemerintahan berada ditangan militer.
Dalam makalah ini penulis tertarik untuk meninjau bagaimana hubungan sipilmiliter di Korea Utara pada masa Kim Il Sung dan strategi apakah yang
digunakan Kim Il Sung dalam mempertahankan kekuasaan militernya yang
mampu menguasai sipil?
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian Latar Belakang diatas, maka penulis merumuskan

masalah dalam makalah ini :
1. Bagaimana bentuk hubungan Sipil-Militer yang terjadi pada masa Kim Il
Sung Berkuasa di Korea Utara?
1.3.


Batasan Masalah
Berdasarkan uraian Latar Belakang dan Rumusan Masalah, maka penulis

memberikan Batasan Masalah dalam makalah ini :

1 Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Power The Structure of International Security,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 152.

2

1. Hubungan Sipil-Militer di Korea Utara terbentuk melalui sebuah doktrin
yang dimiliki oleh Kim Il Sung. Kehidupan politik di Korea Utara
diwarnai dengan doktrin sebuah ideologi yang dinamakan dengan Juche.
Juche adalah ideologi resmi rezim Korea Utara dan merupakan teori yang
mengadilkan sistem penguasaan tunggal di bawah Kim Il sung (Presiden
pertama Korea Utara) hingga Juche dapat dikatakan sebagai pemujaan
personal untuk Kim Il-sung. Melalui Doktrin tersebut, maka Kim Il Sung
semakin menguatkan posisinya sebagai Presiden dan menguasai seluruh
kekuatan militer yang dimiliki. Arah kebijakan politiknya dilaksanakan

oleh Militer melalui program utamanya yaitu peningkatan kekuatan
militer.

3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Sejarah dan Teori Hubungan Militer-Sipil
Sejarah hubungan sipil-militer dapat ditinjau secara garis besar dalam tiga

waktu, yaitu era sebelum Perang Dingin, era Perang dingin, dan era sesudah
Perang Dingin. Perpindahan dari satu era ke era lain tidak hanya menunjukkan
perubahan konteks yang menuntut pengembangan dan perubahan karakter
hubungan Sipil-Militer, tetapi juga menggambarkan perbedaan ciri hubungan
sipil-militer sebagai hasil dari perubahan-perubahan itu.
Pada era sebelum Perang Dingin, hubungan sipil-militer sangat jelas dan
tegas mengacu kepada pemisahan tugas dan tanggung jawab militer dari tugas dan
tanggung jawab kaum sipil. Tugas dan tanggung jawab militer adalah membela

dan mempertahankan eksistensi, dan bahkan perluasan eksistensi negara. Militer
berurusan dengan strategi dan perang. Militer tidak berurusan dengan masalahmasalah politik yang menjadi bagian pokok tugas dan tanggung jawab sipil.
Hubungan antara militer dan politik dinyatakan oleh Carl Von Clausewitz pada
tahun 1832 “Perang bukan sekedar tindakan dari suatu kebiijakan, tetapi alat
politik yang sebenarnya, suatu kelanjutan politik dengan cara lain.”2
Pada era Perang Dingin, perkembangan menunjukkan bahwa antara
perang dan damai sulit dipisahkan yang mengakibatkan menyatunya urusanurusan strategi dan politik. Strategi (perang) bukan lagi merupakan kelanjutan dari
politik, melainkan instrumen dari politik. Militer tidak lagi memiliki wewenang
penuh dalam mengembangkan strategi (perang), untuk menentukan kalah atau
2Carl Von Clausewitz, On War, Edited and Translated by Michael Howard and Paret, Princeton
University Press, New Jersey, 1976, hlm. 87

4

menang. Dalam hal ini, perang dibatasi oleh politik yang mencakup waktu,
wilayah, sasaran dan senjata yang digunakan. Dalam batas-batas itu mulai berlaku
political ataupun bukan civilian supremacy atas militer.3
Era Pasca-Perang Dingin ditandai dengan berakhirnya konflik dominasi
dua ideologi besar dalam persaingan kekuatan antara dua negara adikuasa. Hal ini
tidak berarti bahwa dunia kemudian berkembang tanpa konflik dan perang sama

sekali. Tetapi konflik dan perang telah beralih dari tataran global ke tataran
regional dan lokal. Pada tataran regional, konflik dan ancaman perang antar
negara tetap berlangsung. Sementara pada tataran lokal, negara seringkali
dihadakan pada persoalan-persoalan kerusuhan dalam negeri atau internal
insurgencies, atau lebih dikenal dengan

dengan istilah ancaman militer

nontradisional, yaitu unconventional atau non-traditional military threat. Musuh
yang dihadapi oleh negara adalah kekacauan dan gejolak dalam negeri. Sejalan
dengan sejarah hubungan sipil-militer diatas, pemikiran atau teori hubungan sipilmiliter mengalami suatu perkembangan. Dalam pembahasan makalah ini, penulis
akan mengambil beberapa dasar teori yang telah dihasilkan oleh para pemikir
dalam teori hubungan sipil-militer.
Ada beberapa sebab yang mendorong militer secara aktif memasuki arena
politik dan memainkan peranan politik.4 Pertama, rangkaian sebab yang
menyangkut adanya ketidakstabilan system politik. Hal ini akan menyebabkan
terbukanya kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan
didalam kehidupan politik. Ketidak stabilan system politik ini termasuk ada
tidaknya pola-pola legitimasi yang secara umum diterima dalam masyarakat yang
menyangkut jalannya lembaga-lembaga sipil dan pemerintahan.

Kedua, kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir
(keadaan) kehidupan politik. Hal ini biasanya terjadi disaat kepemimpinan sipil
mengambil keputusan untuk memperbesar jumlah personil angkatan bersenjatanya
atau meningkatkan persenjataan militer karena diperlukan untuk menghadapi
3Lemhanas, Hubungan Sipil-Militer: Peran, Kontribusi dan tanggungjawab Sipil-Militer dalam
Penyelenggaraan Negara, Jakarta, PT. Grasindo, 1999, hlm. 6.
4 John P. Lovell & C.I. Eugene Kim, The Military and Political Change in Asia, Pacific Affairs,
Spring-Summer, 1967, hal 113-123; dapat dilihat pula Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer
dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hal 3-4.

5

musuh dari luar ataupun mengatasi pergolakan didalam negeri. Kapasitas militer
dalam

mempengaruhi

kehidupan

politik


bergantung

pada

kecakapan,

perlengkapan, dan persenjataan yang dimilik. Ketiga, berkaitan dengan political
perspectives kaum militer. Diantara perspektif politik kaum militer adalah yang
berhubungan dengan peranan dan status militer didalam masyarakat, dan
berkenaan dengan persepsi militer terhadap kepemimpinan sipil dan terhadap
system politik secara keseluruhan. Ketiga factor keterlibatan militer dalam politik
pada tiap Negara berbeda-beda.
Berdasarkan

ketiga

factor

tersebut,


berkuasanya

militer

dalam

pemerintahan di Korea Utara disebabkan oleh ketidak stabilan keadaan politik dan
kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik.
Paska pecahnya perang antara Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 1950,
Kim Il Sung semakin mendominasi dan menguatkan posisinya dalam
pemerintahan dengan menyingkirkan pesaing-pesaing politiknya. Kim Il Sung
semakin berkuasa dengan menguatkan seluruh kekuatan militernya sebagai
instrument politik bagi pelaksanaan kehidupan pemerintahannya.
Dalam pandangan S. E. Finer5 terdapat tiga jenis atau bentuk militer.
Pertama, keterlibatan militer dalam kehidupan politik sangat diminimalisir
sehingga terjadi suatu peningkatan dalam kemampuan strategi pertahanan militer
(skill) dan modernisasi peralatan militer. Peningkatan kemampuan dan
modernisasi militer merupakan suatu bentuk professional militer. Bentuk
Profesional militer ini merupakan suatu control sipil terhadap militer, sehingga

keterlibatan militer dalam politik maupun pemerintahan tidak terlalu banyak.
Kedua, adanya kekuasaan militer yang mendominasi di dalam kehidupan politik
merupakan suatu bentuk Proterian Militer. Timbulnya suatu otoriter militer
merupakan sebagai akibat lemahnya kemampuan sipil dalam menjaga kestabilan
politik,

sehingga

militer

dengan

mudah

memasuki

(intervensi)

dalam


pemerintahan. Dalam hal ini, militer memegang secara penuh kendali kehidupan
politik. Bentuk Proterian Militer, banyak terjadi di Negara Kawasan Asia
5 Samuel E. Finer, The Man On Horseback: The Role of Military in Politics, Transaction
Publisher: New Jersey, 2006.

6

Tenggara, seperti Myanmar pada masa Junta Militer, Indonesia pada masa
Soeharto, Korea Utara dll.
Ketiga, Militer revolusioner merupakan suatu bentuk hubungan sipilmiliter dimana antara sipil dan militer memiliki suatu kesamaan tujuan dalam
politik. Militer revolusioner biasanya terjadi diawali dengan perubahan secara
besar-besaran terhadap bentuk pemerintahan yang monarkhi atau absolut. Militer
mendukung terhadapan gerakan perubahan tersebut yang bertujuan untuk
membentuk suatu tatanan kehidupan negara yang lebih baik dari sebelumnya.
Namun, militer revolusioner dapat menjadi otoriter (protarian) apabila paska
perubahan tersebut sipil tidak dapat mengendalikan kehidupan politik negara.
Sebagai contoh, militer Revolusioner terjadi pada masa revolusi China yang
dilakukan oleh Sun Yat Sen, dimana militer mendukung terhadap gerakan revolusi
yang dilakukan oleh Sun Yat Sen terhadap kekuasaan kekaisaran Manchu.
Dalam pandangan Huntington,6 hubungan sipil-militer terbagi dalam dua
jenis kendali sipil atas militer, yaitu pengawasan sipil secara subyektif (subjective
civilian control) dan pengawasan sipil secara obyektif (obyektive civilian control).
Subjective civilian control menjelaskan pada dasarnya keberhasilan suatu
kekuatan dalam masyarakat yang mampu mengontrol militer yang bertujuan
untuk memenuhi kepentingan dan tujuan politiknya. Keberhasilan dapat dicapai
dengan cara mensipilkan militer (civilianizing the military), yang meniadakan
otonomi pada profesi militer dan menjadikan militer hanya sebagai alat bagi
penguasa untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik pribadi atau
golongannya.
Sedangkan Objective civilian control menjelaskan tentang pengakuan
umum atas otonomi profesi militer. Otonomi ini menyebabkan militer menjadi
golongan profesional yang hanya menjalankan tugas-tugas negara. Model ini
dicapai dengan cara memiliterkan militer dan menjadikan militer sebagai alat
negara dan militer tidak berurusan dengan politik. Tetapi politik tidak dapat lepas
dari urusan-urusan militer seperti kebijakan tentang keamanan nasional. Objective
6 Samuel P. Huntington, The Soldier and The State, Theory and Politicz of Civil Military
Relations, Cambridge: London, Harvard University Press, 1981.

7

civilian control menjelaskan bahwa militer berkewajiban menjalankan tugas-tugas
pengamanan negara atas dasar kebijakan-kebijakann yang ditentukan oleh politik.
Dalam makalah ini teori yang digunakan adalah dasar pemikiran S.E.
Finer mengenai Militer revolusioner, dimana kekuasaan militer di Korea Utara
memegang kendali atas seluruh kebijakan politik. Kebijakan Politik dilaksanakan
melalui peningkatan kekuatan militer sebagai alat politik bagi terlaksananya
seluruh kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan oleh Kim Il Sung.

8

BAB 3
SEJARAH MILITER KOREA UTARA
3.1.

Bentuk Administrasi Korea Utara
Setiap negara di dunia memiliki sistem administrasi negara masing-

masing. Menurut Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell, “a system implies
the interdependence of parts, and a boundary between it and its environment. By
interdependence we mean that when the characteristics of one part in a system
change, all the other parts and the system as whole are affected.” Definisi tersebut
dipahami bahwa suatu sistem memperlihatkan hubungan antar bagian dan
pembatasan antar bagian tersebut dengan lingkungannya. Adapun administrasi
negara adalah manajemen dan organisasi daripada manusia dan peralatannya guna
mencapai tujuan pemerintah (Dwight Waldo). Administrasi negara sebagai sebuah
sistem mengendalikan setiap unsur atau bagian dalam kehidupan suatu bangsa
sehingga berlangsung sebagai satu keseluruhan yang bergerak pada pencapaian
tujuan nasionalnya. Dengan demikian, sistem administrasi negara adalah
keseluruhan

daripada

perundang-undangan,

peraturan,

praktek-praktek

penyelenggaraan, hubungan-hubungan, kode-kode dan adat-adat kebiasaan yang
berlaku pada setiap daerah wewenangnya (jurisdiction) untuk menunaikan dan
menegakkan kebijaksanaan negara (Leonard D. White).
Sistem administrasi negara mempunyai hubungan yang berkaitan erat
dengan lingkungan (environment), karena terdapat pengaruh besar terhadap sistem
administrasi negara, bahkan dapat terjadi hubungan yang timbal balik. Faktorfaktor lingkungan diantaranya adalah geografis, historis, ekonomi, politik, sosial
budaya, hankam, dan sebagainya. Faktor lingkungan tersebut menentukan
bagaimana sistem administrasi negara di suatu negara berjalan. Salah satu elemen
lingkungan yang memiliki pengaruh besar adalah faktor politik. Lebih jauh, pada
sisi politik ini ditekankan khususnya budaya politik suatu bangsa. Budaya politik
merupakan sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam

9

bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu (G. A.
Almond dan S. Verba).
Menurut Almond dan Verba, budaya politik memiliki tipe masing-masing.
Tipe budaya politik berarti jenis kecenderungan individu di dalam sistem politik.
Tipe-tipe budaya politik yang ada adalah:
1. Budaya Politik Parokial, merupakan budaya politik dimana ikatan
seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu
kuat, baik secara kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya
politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu
tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini
diakibatkan karena individu tidak merasa bahwa mereka adalah
bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan.
2. Budaya Politik Subyek, merupakan budaya politik dimana individu
merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara.
Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian
yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap
mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam
arti, secara emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara
mereka. Saat membicarakan masalah politik, cenderung ada
perasaan tidak nyaman karena mereka tidak mempercayai orang
lain begitu saja. Pada sisi lain, saat berhadapan dengan institusi
negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang
kuat (strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau
totalitarian.
3. Budaya Politik Partisipan, merupakan budaya politik dimana
individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya
sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan
pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di
sisi lain kewajiban misalnya membayar pajak. Dalam budaya
politik partisipan, bebas mendiskusikan masalah politik, bebas

10

mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun
mendukung pemerintah, hingga pada tingkatan tertentu dapat
mempengaruhi jalannya perpolitikan negara.
Di

setiap

negara,

budaya

politik

memiliki

cerminan

yang

merepresentasikan kehidupan politik negara bersangkutan, khususnya dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan. Budaya politik setiap negara berbeda-beda
satu dengan yang lainnya. Salah satu negara yang memiliki kekhasan dalam
kehidupan politik adalah negara Korea Utara. Korea Utara adalah negara yang
terletak di kawasan Asia Timur. Negara dengan sistem pemerintahan Republik
Sosialis-Komunis tersebut merupakan negara yang berkarakteristik unik dalam
kehidupan perpolitikan bangsanya.
Kehidupan politik di Korea Utara diwarnai dengan doktrin sebuah ideologi
yang dinamakan dengan Juche.7 Juche adalah ideologi resmi rezim Korea Utara
dan merupakan teori yang mengadilkan sistem penguasaan tunggal di bawah Kim
Il sung (Presiden pertama Korea Utara) hingga Juche dapat dikatakan sebagai
pemujaan personal untuk Kim Il-sung. Ideologi ini pertama kali dicetuskan oleh
Kim Il-sung pada tanggal 28 Desember 1955. Dalam sidang Partai Buruh Korea
ke-5 tahun 1970, Juche diresmikan sebagai ideologi resmi partai di negara
komunis. Selanjutnya, ideologi tersebut didukung oleh konstitusi yang mana
menurut konstitusi yang direvisi pada tahun 1982, Juche ditetapkan sebagai
ideologi nasional resmi Korea Utara. Pada tahun 1974, Juche resmi dinamakan
‘Kim Il-sung-isme’ (atau Kimisme) sebagai sistem ideologi revolusioner yang
baru dan unik.
Munculnya ideologi tersebut menjadikan rakyat Korea Utara sangat
mendewakan sosok Kim Il-sung yang mana semasa hidup dipercaya oleh
rakyatnya menjadi pemimpin tertinggi. Hal ini didukung pula oleh ajaran Juche
yang mengungkapkan bahwa untuk mencapai sebuah kesejahteraan maka
dibutuhkan suatu kepemimpinan yang mengatur segala aspek kehidupan, agar
dalam implementasi kebijakan tidak akan saling berbenturan dan akhirnya akan
7 http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/general_04b.htm diakses pada tanggal 7
Juli 2012 pukul 10.00 WIB.

11

membentuk sebuah sinambung. Dengan demikian, rezim Korea Utara telah
menciptakan sistem ideologi tunggal, yaitu ideologi Juche yang berarti
perwujudan kesatuan politik dan ideologi di masyarakat Korea Utara.
Ideologi Juche yang merupakan ideologi resmi Korea Utara dan menjadi
pengaruh besar dalam segi kehidupan politik rakyat Korea Utara secara otomatis
menjadi ideologi partai politik yang berkuasa di Korea Utara. Korea Utara adalah
negara yang menganut sistem satu partai (monopartai). Partai berkuasa yang
memusatkan ideologi menempati posisi teratas dalam struktur kekuatan nasional,
dimana secara nyata menguasai kekuatan legislatif, administratif dan yudikatif
secara keseluruhan. Partai bukan hanya menguasai tiga lembaga itu, melainkan
juga memimpin organisasi sosial dan kehidupan rakyat. Oleh karena itu, Korea
Utara dapat dikatakan sebagai negara yang dipimpin partai. Walaupun terdapat
lebih dari satu partai, partai tersebut bukan kubu oposisi, tetapi mitra partai yang
berkuasa. Partai berkuasa di Korea Utara adalah Partai Buruh Korea.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara memiliki sistem
pemerintahan terpusat (sentralistik) dimana kekuasaan negara terkonsentrasi pada
satu partai yang merupakan penguasa tunggal.8 Kekuasaan di dalam partai
tersebut dimiliki oleh satu orang secara eksklusif, sehingga hal ini mencirikan
kediktatoran. Pembagian kekuasaan di Korea Utara dibagi menjadi tiga
kekuasaan, yakni: eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dipegang oleh
perdana menteri; legislatif sebagai pembuat undang-undang dipegang oleh Ketua
Majelis Rakyat Tertinggi (MRT); dan yudikatif sebagai pengawas undang-undang
yang dipegang oleh para hakim agung yang dipilih oleh MRT. Dengan demikian,
jelas bahwa pemerintah/negara memiliki kekuatan yang besar dibandingkan
rakyatnya.
3.2.

Sistem & Kebijakan Militer Kim Il Sung
Sistem dan kebijakan Militer yang dimiliki Kim Il Sung tidak lepas dari

pengaruh pendidikan yang pernah dijalaninya di China Hwasong Uisuk. Hwasong
Uisok adalah sekolah dua tahun militer dan politik milik Jongui-bu. Sekolah ini
8 http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/general_03a.htm diakses pada tanggal 7
Juli 2012 pukul 10.30 WIB.

12

didirikan pada awal 1925 dengan tujuan untuk pelatihan kader untuk Angkatan
Darat Kemerdekaan. Kim Il Sung masuk ke Sekolah Uisuk Hwasong sesuai
dengannya ide untuk memenangkan kemerdekaan negara melalui perjuangan
bersenjata.
Korea Utara mulai meningkatkan kekuatan militernya pada tahun 1960-an.
Doktrin dan struktur kekuatan militer Korea Utara saat itu berorientasi ofensif. 9
Secara keseluruhan, pada tahun 1960-an, Korea Utara berusaha memproduksi
ataupun memperoleh roket, rudal, dan pengembangan sumber daya manusia guna
mendukung program rudalnya. Ada beberapa alasan politis dan keamanan yang
mendorong Korea Utara pada masa ini untuk mengembangkan kapabilitas rudal
dan nuklirnya. Dari segi eksternal, alasan keamanan pertama adalah intervensi AS
pada Perang Korea menghalangi tujuan Kim Il Sung dalam menyatukan Korea
melalui kekuatan militer. Kim Il Sung beranggapan bahwa nuklir merupakan
senjata yang dapat menangkal atau mengalahkan pasukan AS dalam situasi
konflik. Kedua, aliansi Korea Utara dengan Uni Soviet dan Cina yang sering
mengalami pasang surut membuat Kim Il Sung mempertanyakan kredibilitas
komitmen Moscow serta Beijing untuk membantu Korea Utara menghadapi
perang lainnya.10
Alasan keamanan lainnya dari segi internal dikarenakan Korea Utara
memiliki ideologi yang disebut juche. Juche pertama kali diperkenalkan oleh Kim
Il Sung pada tahun 1950-an sebagai ideologi resmi negara yang kemudian
menonjol pada tahun 1960-an. Juche diartikan sebagai kepercayaan diri yang
lebih luas lagi dipahami sebagai sikap mandiri dalam memenuhi kebutuhan
sendiri tanpa tergantung negara lain. Juche merupakan inti dari kontrol politik
yang dimiliki Kim Il Sung. Perang Korea memberikan kesempatan baik bagi
Korea Utara untuk memperdalam militerisasi dan ideologi juche karena militer
merupakan tulang punggung rezim Kim Il Sung.

9 Byung-joon Ahn, “Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur,” Masalah Keamanan Asia,
(CSIS, 1990), hlm. 159.
10 “Missile Overview,” http://www.nti.org/e_research/profiles/NK/Missile diakses pada tanggal 9
Juli 2012 pukul 22:15 WIB.

13

Sepanjang tahun 1950-an miiliter Uni Soviet telah membantu Korea Utara
meningkatkan military-industrial-complex yang pada masa itu telah mencapai
300.000 pasukan.11 Selain ideologi juche tersebut, Korea Utara juga memiliki
Empat Garis Besar Militer guna mendukung rezim pemerintahan Kim Il Sung
maupun pertahanan negara. Empat Garis Besar Militer Korea Utara yang
dikeluarkan oleh Kim Il Sung:12
1. Mempersenjatai semua warga negara.
2. Memperkuat seluruh negeri,
3. Melatih semua anggota angkatan darat menjadi “cadre army” (kader
tentara)
4. Melakukan modernisasi semua angkatan darat, doktrin, dan taktik di
bawah prinsip kepercayaan diri terhadap pertahanan nasional.
Tiga ciri khas utama untuk memahami rejim Korea Utara adalah: Politik
dikuasai oleh satu partai, kekuasaan tunggal, dan kekuasaan yang diwariskan.
Korea Utara dijalankan oleh Kim Il Sung dengan prinsip berdikari, berusaha
hidup tanpa bantuan negara lain walaupun kenyataan di lapangan lebih pahit
karena pertumbuhan ekonomi yang lemah, sementara lahan pertanian sangat
terbatas. Akibatnya Korea Utara banyak terbantu oleh bantuan dari negara Uni
Soviet. Akan tetapi Uni Soviet runtuh di tahun awal 90 an, membuat Korea Utara
harus bekerja ekstra keras, di antaranya dengan kamp-kamp pekerja yang tak
manusiawi. Runtuhnya Uni Soviet yang juga memberi perlindungan selama ini,
membuat Korea Utara mencari alternatif untuk mempertahankan dirinya, di
antaranya melirik teknologi rudal dan senjata nuklir. Peningkatan kekuatan militer
dan senjata bahkan harus membayar mahal kesejahteraan rakyatnya.
Melalui perjuangan ini, Kim Il Sung yakin

dari sebelumnya bahwa

kekuatan massa yang tidak habis-habisnya dan bahwa mereka akan menampilkan
kekuatan tak terkalahkan jika mereka diorganisir dan dimobilisasi dengan benar.
Program penguatan militer Korea Utara dianggap banyak pihak mengorbankan
11 Etel Solingen, Nuclear Logics: Contrasting Paths in East Asia and the Middle East, (Princeton:
Princeton University Press, 2007), hlm . 126.
12 “Doctrine,” http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/doctrine/index.html, diakses pada 9 Juli 2012,
pukul 20:00 WIB.

14

kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyatnya yang dilansir banyak hidup
susah. Selain sumber daya yang terbatas, Korea Utara juga terkena embargo dunia
internasional di berbagai bidang menyangkut kebijakan program senjata
nuklirnya. Untuk menunjang kekuatan militer konvensional yang lemah, maka
Korea Utara berusaha untuk mengembangkan nuklir. Program nuklir yang
dilakukan Korea Utara memiliki tujuan:13
1. Meningkatkan kekuatan untuk mencapai posisi setara dengan Korea
Selatan.
2. Menambah kewibawaan dan pengaruh Korea Utara dalam hubungan antar
negara di dunia.
3. Digunakan sebagai sarana pemerasan agar mendapatkan keuntungan dari
Korea Selatan.
4. Sebagai strategi penyeimbang terhadap persenjataan Korea Selatan.
Tahun 1965 ditandai dengan pendirian Akademi Militer Hamhung, dimana
para tentara Korea Utara menerima pelatihan pengembangan rudal. 14 Uni Soviet
pada tahun ini juga mulai menyediakan bantuan secara meluas kepada Korea
Utara dalam membangun pusat penelitian di Yongbyon. Fasilitas nuklir yang
dikembangkan pertama kali oleh Korea Utara ini adalah reaktor nuklir model Uni
Soviet yang dioperasikan untuk tujuan penelitian di Yongbyon, Korea Utara. Di
tempat ini Uni Soviet membantu Korea Utara untuk menjalankan reaktor nuklir
berdaya 5MW. Reaktor ini sangat kecil sehingga tidak menjadi perhatian negaranegara sekitar karena membutuhkan waktu bertahun-tahun bagi reaktor tersebut
untuk memproduksi plutonium yang cukup dan menjadi sebuah bom nuklir.
Fasilitas nuklir ini juga dilaksanakan secara independen dan terfokus pada
lingkaran bahan bakar nuklir (penyulingan bahan bakar nuklir dan perubahan).
Dengan adanya fasilitas nuklir di Yongbyon, Korea Utara memperoleh plutonium
dan mulai menguasai teknologi nuklir yang mendorong Kim Il Sung memutuskan
untuk membangun senjata nuklir. Bagi Korea Utara, senjata nuklir akan membuat
13 Alexander Y. Mansourouv, “The Origins, Evolution and Future of The North Korean Nuclear
Program”, dalam Korea and World Affairs, Vol. XIX No. 1, Spring 1995, hlm. 50.
14 Joseph S. Bermudez, Jr., “A History of Ballistic Missile Development in the DPRK,”
Occasional Paper No. 2, (Center for Nonproliferation Studies, 1999), hlm. 2.

15

Korea Utara lebih kuat dari Korea Selatan. Selain itu senjata nuklir dapat
menangkal serangan AS dan memperkecil ketergantungan Korea Utara terhadap
Uni Soviet dan Cina. Senjata nuklir juga memberikan jaminan keamanan bagi
Korea Utara yang selama ini tidak ditawarkan oleh negara manapun dalam
komunitas internasional. Lebih jauh lagi, dikarenakan Korea Utara menghadapi
situasi keamanan yang lemah terutama sepanjang Perang Korea, pengembangan
senjata nuklir menjadi sumber keamanan rezim bagi Kim Il Sung dan pemimpinpemimpin berikutnya.15

15 Jessica Kuhn, ”Global Security Issues in North Korea,” Multilateralism in Northeast Asia,
(Task Force, 2010), hlm. 38.

16

BAB 4
KESIMPULAN
Dalam sistem pemerintahan Korea Utara, partai memimpin negara, dan
ketuanya memimpin partai. Itulah prinsip dasar pelaksanaan sistem rezim Korea
Utara secara keseluruhan. Bagi rakyat Korea Utara pemimpin adalah lambang
perwujudan tekad dan keinginan partai, serta merupakan pusat kekuatan untuk
mengorganisir dan memimpin kegiatan sosiopolitik secara terpadu dan secara
utuh. Peranan dan kekuatan pemimpin ditempatkan pada posisi teratas dan posisi
yang tidak bisa ditantang. Budaya politik di negara Korea Utara dapat
dikategorikan sebagai budaya politik subyek, yang mana orientasi warga negara
bersifat pasif dalam kaitannya dengan kehidupan negara. Rakyat Korea Utara
hanya menyadari sebagai warga negara yang taat dan patuh terhadap negara yang
menerima segala bentuk kebijakan dan keinginan pemerintah. Tidak ada ruang
bagi publik untuk bersuara memperjuangkan hak-haknya karena tidak dapat
melakukan aktivitas politik dengan bebas, apalagi untuk turut campur tangan
dalam aktivitas pemerintahan.
Lemahnya kesempatan berpolitik di Korea Utara akibat penerapan sistem
partai politik tunggal telah menunjukkan kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir
elit yang secara eksklusif menguasai negara. Hal ini mengindikasikan bahwa
sistem pemerintahan yang berjalan bersifat tertutup serta cenderung otoriter.
Sistem pemerintahan yang dijalankan di Korea Utara mengandung makna bahwa
kedaulatan berada di tangan negara sendiri dengan kekuasaan yang bersifat
pewarisan. Namun, di satu sisi dapat pula dipahami bahwa situasi yang telah
terbentuk tersebut masih menunjukkan proses penyelenggaraan pemerintahan
yang kondusif dan stabil. Dengan demikian, antara rakyat dan pemerintah Korea
Utara tidak terjalin hubungan yang setara, akibat situasi budaya politik yang
tertanam pada rakyat. Terlebih dengan mengakarnya ideologi Juche maka semakin
mengkristalkan sebuah sistem pemerintahan/administrasi negara yang sentralis.

17

Berdasarkan pembahasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa hubungan
pengaruh kekuasaan militer dalam pemerintahan telah menjadi suatu system yang
bersifat mutlak. Kekuasaan yang besifat otoriter dilatar belakangi dengan
pendidikan yang pernah dijalani Kim Il Sung di pendidikan Militer dan politik
Hwasong Uisok China. Lemahnya ekonomi

mengharuskan Korea Utara

meningkatkan kekuatan Militernya dengan melibatkan warga sipil dan
memberikan pendidikan Militer.

18

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahn, Byung-joon, “Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur,” Masalah
Keamanan Asia, (CSIS, 1990).
Buzan, Barry and Ole Waever, Regions and Power The Structure of International
Security, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003).
Finer, Samuel E., The Man On Horseback: The Role of Military in Politics,
Transaction Publisher: New Jersey, 2006.
Huntington, Samuel P., The Soldier and The State, Theory and Politicz of Civil
Military Relations, Cambridge: London, Harvard University Press, 1981.
Kuhn, Jessica, ”Global Security Issues in North Korea,” Multilateralism in
Northeast Asia, (Task Force, 2010).
Lemhanas, Hubungan Sipil-Militer: Peran, Kontribusi dan tanggungjawab SipilMiliter dalam Penyelenggaraan Negara, Jakarta, PT. Grasindo, 1999.
Lovell, John P. & C.I. Eugene Kim, The Military and Political Change in Asia,
Pacific Affairs, Spring-Summer, 1967.
Muhaimin, Yahya A., Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 19451966, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.
Solingen, Etel, Nuclear Logics: Contrasting Paths in East Asia and the Middle
East, (Princeton: Princeton University Press, 2007).
Von, Carl Clausewitz, On War, Edited and Translated by Michael Howard and
Paret, Princeton University Press, New Jersey, 1976.
JURNAL
Bermudez, Joseph S., Jr., “A History of Ballistic Missile Development in the
DPRK,” Occasional Paper No. 2, (Center for Nonproliferation Studies,
1999).
Mansourouv, Alexander Y., “The Origins, Evolution and Future of The North
Korean Nuclear Program”, dalam Korea and World Affairs, Vol. XIX No.
1, Spring 1995.

19

WEB
http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/general_04b.htm
http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/general_03a.htm
“Missile Overview,” http://www.nti.org/e_research/profiles/NK/Missile
“Doctrine,” http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/doctrine/index.html

20

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65