Teori pengaruh media massa docx

Peran Media dalam Kehidupan Sosial Peran media dalam kehidupan sosial, terutama
dalam masyarakat modern (era globalisasi) tidak ada yang menyangkal, menurut
McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000 : 66), ada enam perspektif
dalam hal melihat peran media: Pertama, melihat media massa seabagai window on
event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak
melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar
untuk mengetahui berbagai peristiwa. Kedua, media juga sering dianggap sebagai a
mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai
peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya.
Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh
dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang
menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari
suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang
dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan
khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan. Ketiga,
memandang media sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk
diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi atau bentuk
content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh
media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian. Keempat, media
acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang
menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif

yang beragam. Kelima, melihat media sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai
informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan
umpan balik. Keenam, media sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat
berlalu-lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan
terjadinya komunikasi interaktif. Pendeknya, semua itu ingin menunjukkkan, peran
media dalam kehidupan sosial bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan
atau hiburan, tetapi isi dan informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signifikan
dalam proses sosial. Isi media merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga
apa yang ada di media akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial.
Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media inilah yang nantinya mendasari
respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari
media akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu.
Karenanya media dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas.
Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian media.
Globalisasi Media dan Dampaknya pada Indonesia sebagai Negara Berkembang
Bertolak dari besarnya peran media dalam mempengaruhi pemikiran khalayaknya,
tentulah perkembangan media di Indonesia pada akan datang harus dipikirkan lagi.
Apalagi menghadapi globalisasi media yang tak terelakan lagi. Globalisasi media
merupakan proses yang secara alami terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari,
sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor. Pendekatan profesional menjadi kata kunci,

masalah dasarnya mudah diterka. Pada titik-titik tertentu, terjadi benturan antar budaya
dari luar negeri yang tak dikenal oleh bangsa Indonesia. Jadi kekhawatiran besar
terasakan benar adanya ancaman, serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai-nilai
luhur dalam paham kebangsaan. Imbasnya adalah munculnya majalah-majalah Amerika

dan Eropa versi Indonesia seperti: Bazaar, Cosmopolitan, Spice, FHM (For Him
Magazine), Good Housekeeping, Trax, dan sebagainya. Begitu pula membajirnya
program-program tayangan dan produk rekaman tanpa dapat dibendung. Lantas
bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia menyikapi fenomena
transformasi media terhadap perilaku masyarakat dan budaya? Bukankah globalisasi
media dengan segala nilai yang dibawanya seperti lewat televisi, radio, majalah, koran,
buku, film, VCD dan kini melalui internet sedikit banyak akan berdampak pada
kehidupan masyarakat? Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalamai serbuan
yang hebat dari berbagai produk pornografi berupa tabloid, majalah, buku bacaan di
media cetak, televisi, radio dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik yang
datang dari luar negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pornografis
bukan barang baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang.
Bahkan beberapa orang asing menganggap Indonesia sebagai “surga pornografi”
karena sangat mudahnya mendapatkan produk-produk pornografi dan harganya pun
murah. Kebebasan pers yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh

sebagian masyarakat yang tidak bertanggungjawab, untuk menerbitkan produk-produk
pornografi. Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin sebagai
hak asasi warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran serta pembredelan. Padahal
dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 itu sendiri, mencantumkan bahwa pers
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat (pasal 5 ayat 1). Dalam media audio-visualpun,
ada Undang-undang yang secara spesifik mengatur pornografi, yaitu Undang-Undang
Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran. Dalam UU Perfilman 1992 pasal 33
dinyatakan bahwa setiap film dan reklame film yang akan diedarkan atau
dipertunjukkkan di Indonesia, wajib sensor terlebih dahulu. Pasal 19 dari UU ini
menyebutkan bahwa LSF (Lembaga Sensor Film) harus menolak sebuah film yang
menonjolkan adegan seks lebih dari 50 % jam tayang. Dalam UU Penyiaran pasal 36
dinyatakan bahwa isi siaran televisi dan radio dilarang menonjolkan unsur cabul (ayat 5)
dan dilarang merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama dan
martabat manusia Indonesia (ayat 6). Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah
membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup
masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima
berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana
kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang

dibawa media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku.
Terutama masalah pornografi, dimana sekarang wanita-wanita Indonesia sangat
terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana
cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan. Sehingga kalau kita berjalan-jalan di
mall atau tempat publik sangat mudah menemui wanita Indonesia yang berpakaian
serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu sangat bertentangan dengan
norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan free sex di kalangan
remaja masa kini. Terbukti dengan adanya video porno yang pemerannya adalah orangorang Indonesia. Di sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh
melihat perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu

melarang berbagai sepak terjang masyarakat yang berperilaku tidak semestinya.
Misalnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menyarankan agar televisi tidak
menayangkan goyang erotis dengan puser atau perut kelihatan. Ternyata dampaknya
cukup terasa, banyak televisi yang akhirnya tidak menayangkan para artis yang
berpakaian minim. Sekarang di Indonesia bermunculan lembaga-lembaga media watch
yang keras terhadap pers sebagai jawaban terhadap kian maraknya penerbitan yang
bisa disebut “pers kuning”, “Massen Preese” dan “Geschaft Presse”. Melalui media pun,
kita dapat membangun opini publik, karena media mempunyai kekuatan
mengkonstruksi masyarakat. Misalnya melalui pemberitaan tentang dampak negatif
pornografi, komentar para ahli dan tokoh-tokoh masyarakat yang anti pornografi atau

anti media pornografi serta tulisan-tulisan, gambar dan surat pembaca yang berisikan
realitas yang dihadapi masyarakat dengan maraknya pornografi, maka media dapat
dengan cepat mengkonstrusikan masyarakat secara luas karena jangkauannya yang
jauh. Dalam masyarakat terutama di daerah pedesaan, dikenal adanya opinion leader
atau pemuka pendapat. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
untuk bertindak laku dalam cara-cara tertentu. Menurut Rogers (1983), pemuka
pendapat memainkan peranan penting dalam penyebaran informasi. Melalui hubungan
sosial yang intim, para pemuka pendapat berperan menyampaikan pesan-pesan, ide-ide
dan informasi-informasi baru kepada masyarakat. Melalui pemuka pendapat seperti
tokoh agama, sesepuh desa, kepala desa, pesan-pesan tentang bahaya media
pornografi dapat disampaikan. Tapi yang lebih penting lagi adalah ketegasan
pemerintah dalam menerapkan hukum baik Undang-Undang Pers, Undang-Undang
Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran secara tegas dan konsiten di samping tentu
saja partisipasi dari masyarakat untuk bersam-sama mencegah dampak buruk dari
globalisasi media yang kalau dibiarkan bisa menghancurkan negeri ini. Peranan Media
dalam Mendidik dan Mempengaruhi Pola Hidup Masyarakat Perkembangan media
begitu cepat sehingga berdampak pada berbagai sendi kehidupan manusia. Dalam
memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, lembaga pendidikan mempunyai
tanggung jawab mempersiapkan dan menghasilkan sumber daya manusia yang mampu
menghadapi semua tantangan perubahan yang ada disekitarnya yang berjalan sangat

cepat. Bahkan sebagai dampak globalisasi mengakibatkan terjadinya persaingan secara
bebas dalam dunia pendidikan maupun tenaga kerja. Kondisi tersebut menuntut perlu
adanya suatu sistem pendidikan yang bermutu yaitu sistem pendidikan yang mampu
menyediakan sumber daya manusia yang dapat bersaing dalam menghadapi
persaingan global. Karena itu pendidikan perlu diarahkan agar mampu menyediakan
sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan zaman secara efektif sejak
usia sekolah dengan memanfaatkan kemajuan terknologi. Pendidikan merupakan salah
satu upaya untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM. Peningkatan ini menuju
era globalisasi yang penuh dengan tantangan. Sehingga pendidikan disadari
merupakan sesuatu yang sangat fundamenal bagi setiap individu. Oleh karena itu,
kegiatan pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja, terutama dalam memasuki era
persaingan yang semakin ketat, tajam, dan berat pada era teknologi informasi saat ini.
Perkembangan teknologi informasi pada saat ini sangat pesat. Banyak media informasi
menawarkan kemudahan dalam memberikan informasi dengan cepat kepada
masyarakat. Media informasi, khususnya media massa, selain memberikan banyak

informasi tetapi juga sudah menjadi bagian dari masyarakat kita, terutama pada era
teknologi informasi saat ini. Media massa dibagi menjadi dua, yaitu media elektronik
dan media cetak. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam memberikan
informasi dan mencerdaskan masyarakat. Hal itu sejalan dengan upaya dari pendidikan

untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM memasuki era persaingan.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi pendidikan di Indonesia di atas, maka
perlunya sebuah solusi yang dapat menjawab tantangan tersebut. Karena pada saat ini
pendidikan di Indonesia lebih mementingkan prestasi kognitifnya, dibandingkan
membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak. Seperti yang dicitacitakan oleh bangsa Indonesia di dalam tujuan pendidikan nasional. Perkembangan
teknologi informasi yang begitu pesat saat ini memiliki peranan yang sangat besar
dalam dinamika pendidikan. Khususnya pada media, lebih khusus media massa, baik
cetak maupun elektronik yang dengan mudah dapat diakses oleh siapa pun. Media
massa sebagai sarana dan saluran resmi alat komunikasi untuk menyebarkan berita
dan pesan kepada masyarakat luas (KBBI, 2008). Peranan media massa dalam dinamika
pendidikan seperti sebuah “pisau”. Di satu sisi media massa dapat menjadi sarana
pendidikan yang sangat efektif. Tetapi di satu sisi media massa pun dapat menjadi salah
satu penyebab bergesernya nilai-nilai moral dalam kehidupan generasi muda saati ini.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini dapat dimanfaatkan sebagai media
untuk menyebarkan informasi mengenai penanaman nilai-nilai moral kembali kepada
masyarakat. Tidak hanya untuk menyebarkan informasi saja, tetapi media massa juga
harus mampu menginspirasi masyarakat untuk kembali menanamkan nilai-nilai moral
di dalam kehidupan. Dengan begitu pemanfaatan media massa sebagai sarana
pendidikan untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut adalah salah satu solusi
sementara dari beragam masalah di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Karena

pendidikan bukanlah seperti mengisi ember, melainkan seperti menyalakan api (William
Butler Yeats, 1865-1939). Media massa radio, televisi, dan surat kabar lebih sering dilihat
dari sisi bisnis, sebagai mesin pencetak uang. Padahal fungsi utamanya bukan di situ.
Fungsi utama media cetak adalah informasi sedangkan elektronik hiburan. Yang
terpenting lagi keduanya memadukan unsur pendidikan. Yang dapat berakibat positif
serta negatif. Karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa Media massa adalah sebuah
kekuatan yang sangat menentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui
masyarakat. Kepercayaan akan kekuatan itulah yang menyebabkan para pengiklan di
seluruh dunia mengalirkan uang berlimpah kepada media untuk memasarkan produk
mereka. Tapi kepercayaan akan kekuatan itu pula yang menyebabkan banyak
pemerintah otoriter di dunia berusaha mengendalikan dunia. Dengan begitu bisa
dipahami bila kemerdekaan pers dipandang sebagai salah satu ukuran utama
terselenggaranya demokrasi di sebuah negara. Gagasan intinya adalah bahwa dengan
kemerdekaan itu akan hadir sebuah public sphere – ruang luas tempat orang bisa
bertukar informasi secara bebas, setara dan terbuka. Pengendalian media oleh
pemerintah dikutuk karena itu dipercaya akan membatasi pilihan informasi yang dapat
diakses masyarakat luas. Bila pemerintah diberi kewenangan politik untuk mengontrol
media, mereka akan memanfaatkannya untuk mencegah beredarnya informasi yang
bertentangan dengan kepentingan mereka. Tapi terbebas dari kontrol pemerintah
ternyata tidak dengan sendirinya menyebabkan masyarakat memperoleh keragaman


informasi. Ancaman bisa datang dari arah berbeda: para pemodal. Ketika segenap
perangkat peraturan yang membatasi wewenang pemerintah dalam mengontrol media
sudah tersedia, hak masyarakat atas keberagaman informasi tetap terancam oleh
kemampuan para pemodal untuk menentukan isi media Sebenarnya masalah tak akan
terlalu rumit kalau saja kita percaya bahwa independensi jurnalis profesional di sebuah
negara terjamin. Salah satu prinsip penting dari kemerdekaan pers adalah
kemerdekaan wartawan dalam menjalankan profesinya dari campur tangan pemilik.
Masalahnya, kondisi ideal semacam itu masih menjadi kemewahan bagi media di
negara berkembang, khususnya di Indonesia, terutama industri penyiaran. Berbeda
dengan banyak surat kabar yang dibangun atas dasar cita – cita demokratisasi,
kebanyakan stasiun TV nasional di Indonesia dimodali oleh para pengusaha dan
pedagang. Karena itu segenap perbincangan tentang independensi wartawan,
obyektivitas, ketidakberpihakan, pemberitaan berimbang, adalah rangkaian hal yang
mungkin baik tapi tidak penting bagi TV. Kepentingan mereka bukan demokrasi. Dalam
sistem penyiaran Indonesia, intervensi kepentingan pemodal dan pemilik tampil sangat
nyata, misal: Metro TV dijadikan sarana kampanye politik Surya Paloh di Indonesia. Jadi
apa yang akan terjadi? Yang paling dikhawatirkan tentu saja adalah kalau itu bergerak
ke arah pemusatan kepemilikan yang berimplikasi pada penunggalan informasi ala
Orde Baru. Sekarang, terbentuk kelompok media yang besar dengan kepemilikan yang

makin terkonsentrasi, sehingga proses pembelian media sedang terjadi dimana-mana.
Gejala ini mungkin hanya meningkatkan keuntungan bagi beberapa orang yang terlibat
dalam industri media. Terjadilah konglomerasi. Bila dilihat dari sudut pandang ruang
publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik (public interest).
Banyaknya media belum tentu menjamin terpenuhinya content yang menjadi
kepentingan publik. Konglomerat tentu bertujuan memaksimalkan keuntungan,
mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Dengan sendirinya hal ini berpengaruh
pada isi media. Terjadi hegemonisasi dan trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak
penting) karena berbenturan dan menyesuaikan kepentingan akan keuntungan bisnis.
Dalam hal ini media berperan menyebarkan dan memperkuat hegemoni dominan
untuk membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan membentuk
alam pikirannya agar mengikuti apa yang dilakukan media. Media dengan kekusaannya
memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada
khalayak. Apa yang diberitakan dalam surat kabar, radio, televisi dan film dapat
direkayasa, sesuai keinginan dan tujuan yang dikehendaki pemilik modal ditambah
fakta-fakta pendukung. Hal ini terjadi juga pada media di beberapa wilayah. Nampaknya
terjadi, saya di media berkuasa, maka saya dapat membuat opini publik.. Contoh lain
film yang kita konsumsi kebanyakan dari dunia barat seperti Amerika, yang membangun
masyarakat dunia bahwa Amerika hebat, superhero, polisi dunia, penyelamat dunia.
Film-filmnya menggambarkan Amerika sebagai sosok “jagoan”. Kita menjadi percaya

bahwa semua tindakan Amerika adalah untuk kepentingan seluruh bangsa di dunia. Hal
lainnya dalam dunia fashion. Semua remaja putri, ibu-ibu, dan anak laki-lakipun
mengikuti gaya busana yang terus menerus muncul di media, berganti hingga ada mode
baru yang ditampilkan. Media selalu memunculkan remaja putri dengan rambut lurus
berponi, kaus ketat, jeans boot cut, dan sepatu hak tinggi. Karenanya ramai-ramai
rambut di re-bounding, termasuk ibu-ibu yang bekerudungpun mengikuti gaya ini. Kalau

rambut mengembang datang ke kampus, rasanya kurang percaya diri. Konsep cantik
dan gantengpun diberikan oleh media. Tampan adalah seperti dalam film Meteor
Garden dan cantik adalah berkulit putih, berambut panjang dan kebule-bulean. Media
yang paling mudah di akses adalah televisi. Menurut Rachmiatie (2009:68) budaya yang
diperkenalkan dan terus menerus disosialisasikan televisi bercorak pop atau urban,
padahal kita tahu masyarakat Indonesia sangat majemuk. Dalam sinetron remaja,
televisikah? yang mengajarkan orang tua untuk memberi izin anaknya yang masih
duduk di SMP untuk menyetir mobil sendiri ke sekolah, bahkan dengan ikhlas
membuatkan SIM tembak untuk anaknya? Televisikah? yang mengajarkan anak-anak
usia sekolah saat ini boleh keluar malam dan pulang pagi? Tentu kita masih ingat kasus
Smack Down yang mengajarkan kekerasan. Meski hanya hiburan, anak-anak tidak dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang permainan, terjadi peniruan tingkah
laku (Isna: 2007). Semuanya menjadi wajar. Tidak heran jika nampak di kota-kota besar,
kriminalitas dilakukan remaja, keseragaman dalam cara bergaul, cara berpakaian, dan
gaya hidup yang berlebih di kalangan remaja, bahkan anak-anakpun mengikuti bergaya
dewasa. Media sebagai Institusi Ekonomi di Masyarakat: Peran Penting dalam
Menghadapi Tantangan Global Perkembangan eknomi secara berkesinambungan telah
menjadi isu sosial politik di mana media memiliki peran penting. Di satu sisi mereka
menyampaikan informasi untuk mengedukasi dan meningkatkan sensitivitas
masyarakat umum. Di sisi lain, mereka bertugas sebagai watchdogs, menyoroti masalah
dan siapa yang bertanggungjawab untuk hal yang berpengaruh secara luas. Banyak
orang lupa arti penting media dalam ekonomi, peradaban, dalam kehidupan
bermasyarakat, dalam demokrasi, saat media berkembang menjadi industri yang
melahap triliunan rupiah per tahun. Sebagai contoh: pertelevisian bukan industri biasa
Secara keseluruhan peningkatan jumlah media massa merupakan isyarat baik bagi
kebebasan media seiring demokratisasi ekonomi dan politik. Selanjutnya tentu saja
timbul persaingan dalam media. Keadaannya semakin ketat karena mencakup
kompetisi. Ada tiga kelompok kompetisi, yaitu: Kompetisi antar media cetak; Kompetisi
antar media elektronik radio dan televisi; serta Kompetisi antara media cetak dan media
elektronik. Kompetisi ini tidak hanya meliputi aspek isi, penyajian berita atau bentuk
liputan lainnya, tetapi juga periklanan. sehingga cara, gaya dan strategi kompetisi
masing-masing media massa berpartisipasi sebagai respons terhadap tuntutan pasar.
Pengiklanlah yang direspon, bukan pembaca, penonton, atau pendengar media. Oleh
karena itu hampir semua isi media nampak seragam. Media massa tidak lagi menjadi
institusi yang terpisah dari kondisi di sekitarnya. Kini media massa harus didudukkan
selayaknya institusi ekonomi di mana informasi diolah dan disajikan sebatas sebagai
komoditas dalam parameter laku tidaknya dijual. Menurut pakar Komunikasi UI, Dedy
Nur Hidayat dalam Pramono (2012), media merupakan salah satu elemen dari
konfigurasi yang besar. Media ada dalam triangulasi hubungan antara negara, pasar
dan civil society. Media menjadi komponen yang menjembatani hubungan segitiga itu,
tapi media harus juga dilihat ujud kepentingan sendiri. Hubungan triangulasi bisa juga
diterapkan pada masa sebelumnya, tapi pada masa reformasi perimbangannya sudah
berubah. Dulu hubungan itu sangat didominasi oleh negara, sekarang pasar yang lebih
dominan. Civil society sekalipun sudah menonjol perannya, tapi masih belum “cukup
dewasa” dan masih banyak diintervensi dan dapat dengan mudah dimanfaatkan.

Kebebasan pers tidak bisa dilihat terpisah dari kebebasan publik untuk menyampaikan
pendidikan. Dominasi modal dalam industri pers merugikan publik yang tidak punya
akses sebagaimana yang seharusnya dimiliki.Juga jurnalis akan dirugikan. Media
komunikasi telah berkembang dengan pesatnya dalam bentuk media cetak dan
elektronik. Perkembangan ini membawa kemudahan kita untuk berkomunikasi dan
menerima informasi dengan cepat kemana saja dan kapan saja dengan mudah dan
murah tentunya. Disisi lain juga membawa hal yang negatif terutama bagi
perkembangan anak dan remaja, serta orang dewasa. Dengan kata lain membawa
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Disinilah diperlukan media literacy
atau melek media sehingga masyarakat mengetahui apa media itu. Media menyajikan
melalui proses yang panjang. Apa yang ditampilkan bukanlah 100 persen yang
sebenarnya. Muatan politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya mudah dimasukkan.
Maka diperlukan pengetahuan untuk memahami media. Dahulu berkomunikasi
memerlukan waktu dan tidak cepat mendapat respon. Sekarang, seiring perkembangan
teknologi, media baru muncul sebagai alternatif yang digunakan masyarakat yang
hemat waktu, mudah dan efektif. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang
dipenuhi oleh media. Dalam Media Now (2009) kehadiran teknologi media menjadikan
konvergensi (titik temu) teknologi media, telekomunikasi, dan komputer. Teknologi
mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Yang tadinya orang membaca suratkabar, kini
beralih ke media online yang lebih murah dan media ini mudah diakses bahkan dapat
dibaca lewat hand phone. Menurut Everett M. Rogers dalam bukunya Communication
Technology; The New Media in Society (Mulyana, 1999) mengatakan era hubungan
komunikasi di masyarakat, terdiri dari era tulis, era media cetak, era media
telekomunikasi dan era media komunikasi interaktif, yang dikenal dengan media
komputer,videotext, teletext, teleconferencing, TV kabel dan sebagainya. Perkembangan
media cetak dan elektronik setelah reformasi di Indonesia sudah begitu cepat. Untuk
media cetak yang awalnya banyak sekali, lama kelamaan jumlahnya menurun karena
ketatnya persaingan. Media cetak yang dapat bertahan hanya yang masuk dalam
kelompok media besar. Seperti kelompok Kompas Gramedia, Pos Kota, Jawa Pos,
Pikiran Rakyat, kelompok Femina, dan lain-lain. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana
menempatkan media? Mau tidak mau, pertama-tama media harus dilihat sebagai
institusi ekonomi institusi bisnis. Memang harus hati-hati agar tidak terjebak dalam
economic determinism sehingga seolah-olah semua yang dilakukan media selalu
didasari pertimbangan ekonomi. Demokratisasi politik dapat dilihat sebagai liberalisasi
politik, datang satu paket dengan liberalisasi ekonomi. Di Indonesia juga begitu, karena
itu, liberalisasi politik sangat renta terhadap kepentingan yang datang bersamaan
dengan liberalisasi ekonomi tadi. Demokratisasi yang ada akan semakin banyak
dimanfaatkan kelompok pemilik modal yang mampu masuk ke industri media. Apakah
artinya media akan semakin tersegmentasi, setiap kelompok kepentingan memiliki
corong masing-masing? Idealnya tidak, karena semestinya ada media yang bisa
menjembatani ketiga elemen tadi. Bukan malah lahir media milik pemerintah atau
media swasta. Struktur media yang ada sekarang ini tidak terlepas dari latar belakang
historis dan perimbangan kekuatan di masa lalu. Pasar industri media bukan realitas
obyektif, tapi suatu konstruksi sosial yang tidak bisa lepas begitu saja dari konfigurasi
masa lalu atau yang ada pada saat ini. Itu realitas yang tidak bisa kita terima begitu saja.

Khususnya di era globalisasi, media lebih banyak menampilkan diri sebagai institusi
ekonomi yang mencari untung dan mempergunakan kriteria ekonomi untuk mengukur
kinerjanya ketika seharusnya media lebih berpijak pada kriteria kepentingan publik.
Sekarang media melihat publik lebih sebagai konsumen saja yang dipilah antara mereka
yang punya daya beli dan yang tidak. Segmen publik yang tidak punya nilai ekonomi
tidak akan dilayani, seperti suku minoritas yang tidak akan punya akses ke media.
Kelompok mayoritas untuk kepentingan yang menguntungkan bagi rating akan lebih
banyak ditampilkan. Yang jadi masalah, akses publik ke media akan ditentukan oleh
faktor politik dan ekonomi Media televisi menyediakan informasi dan kebutuhan
manusia keseluruhan, seperti berita cuaca, informasi finansial atau katalog berbagai
macam produksi barang. Kebebasan media tv dalam menayangkan film-film berbau
porno, sadis atau menyangkut SARA, sering menimbulkan polemik dan konflik diantara
pakar-pakar komunikasi massa, para agamawan, budayawan bahkan kaum moralis.
Dampak negatif lain yang menjadi perhatian dunia ketiga, yaitu terjadinya kesenjangan
informasi antara negara-negara yang telah maju secara industri, ekonomi dan teknologi
dengan negara-negara berkembang, dalam bentuk monopoli informasi. Kesenjangan
informasi ini menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Setiap negara memiliki
berbagai argumentasi serta kepentingan tersendiri terhadap penayangan informasi
televisi. Media televisi sebagai sarana tayang realitas sosial menjadi penting artinya bagi
manusia untuk memantau diri manusia dalam kehidupan sosialnya. Selain itu, kualitas
informasi yang ditayangkan televisi, juga menjadi tolok ukur untuk memantau sampai
sejauh mana informasi tersebut benar-benar memiliki arti penting bagi hidup manusia
secara moral maupun edukasi. Televisi mudah menyebabkan penonton menjadi
kosmopolit. Adanya budaya media, pada umumnya menjelaskan interdependensi
manusia kepada media massa untuk memperoleh informasi dan hiburan. Media televisi
sanggup menjauhkan manusia dari kenyataan hidup sehari-hari. Tetapi, TV juga dapat
disebut sebagai ‘jendela dunia besar’, karena realitas sosial yang berhasil
ditayangkannya. Sekarang, terbentuk kelompok media yang besar dengan kepemilikan
yang makin terkonsentrasi, sehingga proses pembelian media sedang terjadi dimanamana. Gejala ini mungkin hanya meningkatkan keuntungan bagi beberapa orang yang
terlibat dalam industri media. Terjadilah konglomerasi. Bila dilihat dari sudut pandang
ruang publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik (public interest).
Banyaknya media belum tentu menjamin terpenuhinya content yang menjadi
kepentingan publik. Konglomerat tentu bertujuan memaksimalkan keuntungan,
mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Dengan sendirinya hal ini berpengaruh
pada isi media. Terjadi hegemonisasi dan trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak
penting) karena berbenturan dan menyesuaikan kepentingan akan keuntungan bisnis.
Dalam hal ini media massa berperan menyebarkan dan memperkuat hegemoni
dominan untuk membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan
membentuk alam pikirannya agar mengikuti apa yang dilakukan media. Media dengan
kekusaannya memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu
kepada khalayak. Apa yang diberitakan dalam suratkabar, radio, televisi dan film dapat
direkayasa, sesuai keinginan dan tujuan yang dikehendaki pemilik modal ditambah
fakta-fakta pendukung. Hal ini terjadi juga pada media di beberaoa wilayah. Nampaknya
terjadi, saya di media berkuasa, maka saya dapat membuat opini publik..

Selengkapnya : http://m.kompasiana.com/derryfahrizal/menghadapi-tantangan-globalperanan-media_5529e02d6ea8345657552d42

Diakses pada tanggal 28-03-2016