336640660 presentasibirokrasiedisilengkap2011 110824171727 phpapp02. pptx

PRESENTASI MATERI KULIAH

BIROKRASI

Oleh : Adi Lesmana, S.Sos, M.Si
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Amuntai

TERMENOLOGI BIROKRASI








Birokrasi sebagai organisasi yang rasional (rational organization)
Birokrasi sebagai ketidak efeseinan organisasi (Organizational
inefficiency)
Birokrasi sebagai pemerintahan oleh para pejabat (rule of officials)
Birokrasi sebagai administrasi negara (public administration)

Birokrasi sebagai administrasi oleh para pejabat (administration by
officials)
Birokrasi sebagai organisasi yang memiliki ciri tertentu, seperti hirarki
dan peraturan (type of organization with specific characteristic and
quality as khierarchies and rules)
Birokrasi sebagai salah satu ciri masyarakat modern (an essential
quality of modern society)

Tipe Birokrasi
BIROKRASI DALAM MAKNA YANG BAIK DAN RASIONAL
(BEREAU-RATIONALITY)

* Birokrasi sebagai organisasi yang rasional (rational organization)

BIROKRASI DALAM MAKNA YANG NETRAL (NETRAL VALUE)






Birokrasi sebagai pemerintahan oleh para pejabat (rule of officials)
Birokrasi sebagai administrasi negara (public administration)
Birokrasi sebagai administrasi oleh para pejabat (administration by officials)
Birokrasi sebagai organisasi yang memiliki ciri tertentu, seperti hirarki dan peraturan
(type of organization with specific characteristic and quality as khierarchies and rules)

BIROKRASI DALAM MAKNA SEBAGAI PENYAKIT (BEREAU-PATHOLOGY)
* Birokrasi sebagai ketidak efeseinan organisasi (Organizational inefficiency)

BIROKRASI DALAM MAKNA YANG BAIK DAN RASIONAL
(BEREAU-RATIONALITY)

Terdapat dalam pandangan Hegel dan Max Weber
Hegel : Birokrasi adalah institusi yg menjembatani antara negara dan
masyarakat.
Max Weber : Birokrasi adalah organisasi yang memiliki ciri-ciri ;
a. adanya suatu hirarkhi, termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke
bawah
b. adanya serangkaian posisi jabatan yg masing-masing memiliki tugas &
tanggungjawab yg tegas

c. adanya aturan, regulasi, standard formal
d. adanya personel yg scr teknis memenuhi syarat, yg bekerja atas dasar
karier dan promosi

Birokrasi dalam pengertian Netral & Patologi
1. Pengertian Netral
tidak terkait baik atau buruk
2. Birokrasi sebagai Patologi
a. Patologi yg timbul akibat gaya manajerial
b. Patologi yg timbul akibat rendahnya pengetahuan & keterampilan
petugas pelaksana
c. Patologi yg timbul akibat tindakan anggota birokrasi yg melanggar norma
dan aturan perundangan
d. Patologi yg timbul akibat perilaku negatif birokrat
e. Patologi yg timbul akibat situasi internal berbagai instansi dalam
lingkungan pemerintahan

BIROKRASI DALAM KONTEKS PENGELOLAAN KEKUASAAN NEGARA
Monte palmer (1999)
Birokrasi adalah pihak yg paling aktif dalam kegiatan pengelolaan kekuasaan negara

sehari-hari, ia berperan sbg pelaksana keputusan yg dirumuskan pemimpin politik
Ryaas rasyid (1999)
Birokrasi berperan penting karena dalam kegiatan pengelolaan kekuasaan negara seharihari tidak pernah terjadi kevakuman administrasi, baik dalam proses perumusan
maupun di dalam proses pelaksanaan setiap kebijakan.
Kepimpinan politik betapapun pentingnya hanya merupakan satu dimensi dari
proses politik, sekali mkeputusan politik diambil, ia harus dapat dilaksanakan oleh
para birokrat, keputusan yang tidak dapat dilaksanakan akan selalu menjadi
sumber frustasi bagik bagi pemimpin itu sendiri maupun bagi rakyat yang
mengaharpkan perubahan (2000)
Peter woll (1978)
Dalam tradisi AS fungsi admnistrasi ditempatkan dalam kendali politik 2 cabang kekuasaan
negara ; kongres dan presiden , hingga tidak dapat independen dalam mengambil
keputusa, namun demikian pelaksanaan dari setiap kebijakan itu adalah birokrasi,
dan justru dalam pelaksanaan itulah sesungguhnya suatu kebijakan dibentuk.

Birokrasi Negara Maju
Birokrtasi Negara Maju memiliki ciri-ciri :
1. Aparat negara yang netral (apolitis, tidak propolitik pemerintah
serta tidak pro pada kepentingan tertentu.
2. Objektif (memberikan pelayanan sama)

3. Rasional, tidak dikuasai/didominasi kelompok tertentu (public
Servant)
4. Cakap, terampil dan efesein dalam mencapai kesejahteraan
sosial
5. Formal dan legalistis
6. Tunduk kepada pemerintahan yang memperoleh kepercayaan
rakyat
7. Tidak mudah diintimidasi

Hasil Studi Perbandingan administrasi (Comparative Study
Administration Group/CAG)
(Fred W. Riggs , John D. Montgomery, Milton Esman, Ralph Braibanti,
William J. Smith, dan Edward W. Weidner )

• Pada negara maju, pengangkatan dan pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar
tertentu atau dikenal dengan istilah meryt system. Sementara pada negara berkembang,
pengangkatan dan pemberhentian pegawai terjadi karena birokrasi atau nepotisme.
• Pada negara maju, berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan
diselesaikan dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan hukum yang berlaku. Sebaliknya,
hubungan satu sama lain dalam pemerintahan di negara berkembang didominasi oleh praktik

yang dikenal dengan istilahbureaucr atic Click dan patron client relationship, yaitu
penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal.
• Pada negara maju, diferesiansi fungsi dalam administrasi pemerintahan terlihat dengan jelas
dan tegas, sementara hal ini tidak terjadi pada administrasi pemerintahan di negara
berkembang.
• Berbagai macam penawaran dan permintaan yang berkaitan dengan urusan administrasi
pemerintahan di negara maju dilakukan dalam mekanismeformal market. Tidak demikian
halnya pada negara berkembang, semua penawaran dan permintaan terjadi melalui
mekanisme informal market.
• Selain efektif, administrasi pada negara maju juga berjalan efisien. Sementara di negara
berkembang, efektivitas dalam hal administrasi tidak diikuti oleh efisiensi

Administration in Developing Countries
(the theory of prismatic society)
Fred W Riggs yang mempelajari ciri-ciri birokrasi di negara-negara
berkembang. Dalam bukunya yang berjudul Administration in developing
countries (the theory of prismatic society) tahun 1964 Riggs menyebut
birokasi dinegara berkembang dengan istilah SALA dengan cirinya :
a. bertindak dan berperilaku sebagai tuan (master)
b. cenderung korup

c. boros
d. tidak efesein dalam penggunaan waktu
e. birokrasi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan
Pada hakekatnya birokasi dinegar-negara berkembang berusaha mencoba
model birokrasi rasional yang ada/terjadi dibarat tetapi diisi dengan
budaya-budaya lokal seperti primodialisme dan paternalistik,

Birokrasi SALA
Birokrasi SALA memiliki ciri-ciri atau karateristik tersendiri,
yaitu :
1.Menunjukan adanya gejala formalisme, yaitu pelaksanaan
berbeda dengan perencanaan.
2.Terjadi penyimpangan, yaitu mencoba meniru struktur
birokrasi negara maju tetapi diisi dengan kegiatankegiatan atau praktek-praktek administratif yang bersifat
nepotisme
dan
primodialisme
sehingga
akan
menciptakan inefeseinsi.

3.Ada overlapping dalam praktek birokrasi, struktur modern
tetapi diisi dengan dengan budaya tradisional

Heady : Ciri-Ciri Birokrasi Negara Berkembang
1. Pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara
bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous) . Negara – negara berkembang,

baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat.
Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola Negara yang menjajahnya. Kingsley seperti
dikutip oleh Heady menyatakan bahwa di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan – jawatan,
perilaku birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan
dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya did aerah jajahan dan tidak di
negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di Negara penjajahnya, administrasi kolonial
bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.
Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara – Negara yang baru merdeka bahkan
sampai sekarang masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang.

2. Birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia
terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah
tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih

dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas
manajemen (management capacity), keterampilan – keterampilan pembangunan (development skills), dan
penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan
kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas
pendidikan atau orang – orang yang berijasah. Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki
banyak tenaga berpendidikan tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang kita ketahui keadaan itu juga berlaku
di Indonesia dewasa ini (Kartasasmita, 1995f). Kondisi yang demikian, yakni pengangguran orang
berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pembangunan atau dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions).

3. Birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang
benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha
mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Riggs (1964) menyatakannya
sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan
masyarakat (public-principled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan,
korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada
umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak Negara
berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan
diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut istilah Heady sanctioned by social mores dan semi
institutionalized.


4. Adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak
ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964)
menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujudwujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan
perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh
yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian
kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah
yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi
gambaran yang menguntungkan.

5.Birokrasi dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari
proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah
secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka.
dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan
memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam
pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif.

Wallis (1989) : Karateristik Birokrasi Negara Berkembang
• Pertama , dibanyak negara berkembang birokrasi sangat dan
makin bertambah birokratik. Departemen-departemen,

badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang
terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan
para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya
bekerja tidak efisien.
• Kedua, unsur – unsur nonbirokratik sangat berpengaruh
terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan
hubungan – hubungan primordial lain, seperti suku dan
agama, dan keterkaitan politik (political connections)
mempengaruhi birokrasi, yang sangat bertentangan dengan
asas birokrasi yang baik (misalnya menurut kriteria Weber).

BIROKRASI KERAJAAN MAJAPAHIT

1. Pada tahun 1292 negara Majapahit hanyalah sebuah desa yang
ada disebelah timur sungai Brantas, yang dibangun dengan
pembukaan hutan Tarikh oleh Sanggramawijaya
2. Nama Majapahit berawal dari kedatangan orang Madura ke tanah
tandus Tarikh, ketika mereka melakukan perjalanan dan mereka
lapar dan setelah memasuki hutan mereka berupaya mencari
sumber makanan untuk bertahan hidup. Mereka menemui
sebuah pohon maja yang berbuah dan mereka memakannya.
Akan tetapi buah yang mereka itu terasa pahit
3. Majapahit adalah negara yang didirikan oleh Raden Wijaya, putra
Lembu Tal keturunan Naga Singa Murti,menantu prabu
Kertanagara dari Singasari. Pada hakekatnya munculnya kerajaan
Majapahit adalah karena usaha keras dari Raden Wijaya dan
bantuan dari pengikut setianya.

Kekuasaan Kerajaan Majapahit

Sistem Pemerintahan Majapahit
• Jabatan kepala negara bersifat turun temurun, jadi yang memerintah kerajaan
Majapahit menurut ketetapan adat ialah keturunan Narrarya Sanggramawijaya.
Dalam perkembangan sejarah kerajaan Majapahit, memang diperintah oleh
keturunan Narrarya Sanggramawijaya sampai pemerintahan Suhita dan setelah
itu diperintah oleh keturunan selir. Adapun rajawangsa atau dinasti Majapahit
yang didirikan oleh Narrarya Sanggramawijaya, tidak bernama Wijaya Wangsa
• Kepala negara Majapahit adalah raja, umumnya raja diberi gelar Sri Maharaja.
Dalam melaksanakan tugasnya, raja dibantu oleh pejabat-pejabat kerajaan
yang terdiri dari beberapa bidang. Perihal mengambil keputusan penting, raja
dibantu oleh kerabat kerajaan yang tak lain adalah orang-orang terdekat raja.
Kerabat raja biasa disebut Dewan Pertimbangan Agung pemerintah
Majapahit, yang terdiri dari sembilan orang. Para Dewan ini bersidang setiap
kali Ingkang Sinuwun Prabu akan mengambil keputusan penting dan
membutuhkan hasil suara yang bulat atau kesepakatan bersama

Sistem Pemerintahan Majapahit
• Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan,
dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja
biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
1.Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
2.Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan
pemerintahan
3.Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
4.Dharmma-upapat, para pejabat keagamaan
• Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting
yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan
sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan
kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan
pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.

Sistem Pemerintahan Majapahit
Pada masa pemerintahan di Majapahit ada istilah-istilah bagi setiap pegawaipegawai kerajaan. Misalnya saja, untuk pegawai pemerintahan
disebut tanda. Para tanda Majapahit ini dapat digolongkan dalam tiga
golongan:
1. Pertama; Golongan
Rakrian. Gelar
ini
berhak
diginakan
oleh Mahamantri Kartini, Pasangguhan/Hulubalang, Sang Panca
Wilwatikta yakni lima orang pembesar yang diserahi tugas urusan
pemerintahan Majapahit, Juru Pengalasan yakni pembesar daerah
mancanegara, para Patih negara-negara bawahan.
2. Kedua; Golongan Arya. Golongan ini mempunyai kedudukan lebih
rendah dari pada golongan rakrian. Jika seorang arya memiliki jasa-jasa
maka bisa saja ia dianja digkat menjadi wredramantri atau mantri
sepuh.
3. Ketiga; Golongan Dang Arcaya. Sebutan ini diperuntukkan khusus bagi
para pendeta Siwa dan Buda yang diangkat sebagai
darmadyaksa/hakim tinggi atau apapati/hakim.

Silsilah Raja-raja Majapahit
Narraryya Sanggramawijaya (Sri Kertarajasa Jayawarddhana)
1293-1309

Jayanagara (Sri Sundarapandyadewadhiswaranamarajabhiseka Wikramotunggadewa)
1309-1328

Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani
1328-1350

Hayam Wuruk ( Sri Rajasanagara)
1350-1389

Wikrama Wardana-Khsumawardani
1389-1400

Suhita
1400-1447

Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya
1447-1451

Bhre Pamotan (Sri Rajasawarddhana)
1451-1453

Dyah Suryawikrama Girisawarddhana
1456-1466

Bhre Pandan Alas (Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana)
1466-1474

Bre Kertabumi
(1474-1477)

Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (Sri Paduka Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunatha)
1477-1518

Pembagian Wilayah Selama Pemerintahan
Hayam Wuruk (1350 s/d 1389)

Ciri-ciri Birokrasi Kerajaan Di Indonesia
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi
publik sebagai urusan pribadi;
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah
anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu- waktu
sekehendak raja;
5. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya
terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja.
6. Aparat
kerajaan
dikembangkan
sesuai
dengan
perkembangan kebutuhan raja.

BIROKRASI ZAMAN KERAJAAN
• Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem
kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan.
• Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan
absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada
kehendak sang Raja.
• Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki ciri – ciri
sebagai berikut :
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktuwaktu sekehendak raja;
5. Para pejabat kerajaan dapat ertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan
oleh raja.
• Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja.
• Di dalam pemerintahan pusat ( keratin), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat
setingkat menteri ( wedana lebet ) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri
Kordinator ) pepatih lebet ). Pejabat – pejabat kerajaan tersebut masing – masing membawahi pegawai (
abdidalem ) yang jumlahnya cukup banyak.
• Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja menunjuk bupati –bupati yang setia kepada raja untuk
menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan oleh raja, pemuka
masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.

Birokrasi Zaman Kolonial









Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem
administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu.
Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi
pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai
wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin
hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif
utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan.
Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi
telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial ( binnenlandcshe
Bestuur ) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi
lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih tetap dipertahankan.
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja Belanda.
Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu Belanda
menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan
gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai.
Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil
pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur jenderal
untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari – hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama
• Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan
sistem birokrasi pemerintahan.
• Perbedaan – perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk
Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus kea rah disintegrasi bangsa
dan keutuhan aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan
konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
• Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara
menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI,tetapi relatif kurang memiliki
keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada
Pemerintah belanda yang memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
• Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringinya pada tahun
1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa
bulan.
• Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam
birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa
atau berpengaruh dalam suatu departemen.Program – program departemen yang tidak sesuai dengan garis
kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen.
• Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau
berpengaruh.Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang
tidak sehat di dalam birokrasi.
• Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan
pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang
berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system,
tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru
• Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus
dalam rangka mengontrol publik secara penuh.
• Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system
perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem
tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat,
seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar
kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi
terhadap hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru
mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan
nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki
birokrasi
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat
3. Untuk
memperluas
wewenang
pemerintah
baru
dalam
rangka
mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi

• Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan
perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
namun harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan
sebagaimana birokrasi di Negara – Negara maju tampaknya masih sulit untuk
diwujudkan.
• Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum
sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. (contoh Kasus Brunei
Gate dan Bulog Gate )
• Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat
politik yang efektif bagi kepentingan – kepentingan golongan atau partai politik tertentu.
• Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau
jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan
melakukan tindak KKN.
• Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat
birokrasi pada masa reformasi.
• Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial
ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi.
• Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi
yang dihadapi oleh Negara – Negara yang sedang berkembang seringkali berbeda
dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.

SEJARAH BIROKRASI INDONESIA
MASA KERAJAAN
1. Kerajaan maritim dan agraris
2. Agraris dominan (pemusatan sumber ekonomi, kehormatan, kesaktian dll pada raja
dan didistribusikan pada para birokrat)
MASA PENJAJAHAN
3. Pada jaman belanda struktur & sistem birokrasi kerajaan tidak dirubah selama
menguntungkan
4. Beda dgn abdi dalem, priyayi (birokrat belanda) yg diangkat belanda dan mengadopsi
gaya belanda tapi gaya feodal kemasyarakat
5. Timbul ketidaksenangan para nasionalis pada para priyayi (birokrat belanda)
MASA KEMERDEKAAN
6. Transformasi gaya-gaya kerajaan dan kolonial masih melekat
7. Posisi dan status masih berkaitan dgn hirarki, abdi negara,sentralistis dan ritualitas
8. Perbedaannya birokrat tdk berada pada kelas istimewa karena terlalu banyak dan
penurunan kemakmuran serta terus menerus mengalami krisis kepercayaan
masyarakat

Penampilan & Sosok Birokrasi Indonesia
1. Patrimonial Birokrasi
a. Patronase di Lingkungan elite
b. Simbiosa Penguasa & Pengusaha
c. Abivalensi Hubungan pusat- daerah
2.Setralisasi yg amat kuat
3. Menilai Keseragaman dalam struktur birokrasi
4. Pendelegasian wewenang yg kabur
5. Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan

Birokrasi Pemerintah Daerah
ciri birokrasi pemerintahan daerah yang kurang kondusif bagi kemajuan
daerah yaitu :
1) Umumnya jumlah pegawai terlampau berlebihan (over satffed ), sehingga
menimbulkan pengangguran terselubung.
2) Kurang profesional, karena organisasinya tidak memberikan iklim yang
memungkinkan berkembangnya profesionalisma.
3) Kurang memiliki daya inisiatif, cenderung menunggu petunjuk dari atasan.
4) Menggunakan manajemen pemerintahan yang sudah usang.
5) Selalu mengalami keterbatasan anggaran, karena kesalahan menggunakan
konsep berpemerintahan.
6) Kurang memiliki visi dan misi yang jelas, karena terkungkung oleh
paradigma keseragaman.
7) Kurang peka terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat.
8) Kegiatannya lebih terfokus ke dalam tubuh birokrasi itu sendiri,
sedangkan masyarakat lebih banyak dijadikan komoditi politik.

Paradigma Birokrasi
Paradigma birokrasi yang digunakan pemerintahan sekarang ini pada dasarnya
berangkat dari tesis Max Weber, yang dikembangkan di Jerman sekitar akhir abad
ke-18. Dengan berbagai keunggulan dan kelemahannya, teori birokrasi dari Max
Weber masih mampu bertahan sampai akhir abad ke-20. Berbagai konsep tandingan
mengenai birokrasi telah banyak dihasilkan oleh para ilmuwan sosial lainnya, tetapi
pendapat Max Weber mengenai birokrasi sampai saat ini masih banyak penganutnya,
teori birokrasi max weber, tsb, mengajarkan ; Hubungan impersonal, Hirarkhi, dll

Konsep tandingan tersebut, misalnya ;
1.Woodrow Wilson

pada tahun 1887 dalam The Study of Administration telah mengemukakan konsep
dikotomi politik dan administrasi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien.

2.Max weber (1922) dengan teori The Ideal Type of Bureucracy,
3.Luther gullick (1937) dengan konsep POSDCORB,
4. Frank J. Goodnow (1900) dengan konsepnya yang tertuang

dalam makalahnya Politics and

Administration,

5.Frederick W. Taylor (1912) dengan konsepnya Scientific Management,
6.Herbert A. Simon (1946) dengan konsepnya The Proverbs of Administration
7.David osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki
konsep-konsep dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan David Osborne
dan Ted Gaebler tentang Reinventing Government tertuang dalam karyanya yang berjudul Reinventing
Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun
1992 dan Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, buku terakhir ini ditulis
oleh David Osborne dan Peter Plastik yang dipublikasikan pada tahun 1997.

BIROKRASI MAX WEBER
• Max Weber, sosiolog Jerman abad 19 ini, mengemukakan tentang
konsepsi tipe ideal organisasi pemerintah yang rasional dan
profesional, dalam bukunya “the theory of social and economic
organization. 1974. the free press, New York”. Pemikiran Weber
didorong keinginannya menciptakan organisasi modern yang bisa
digunakan pemerintah menjalankan modernisasi dan pembangunan.
Weber mengenal tiga otoritas (1) otoritas tradisional; (2) otoritas
kharismatik; (3) otoritas legal-rasional (birokrasi).
• Sebelum itu, tahun 1970, Martin Albrow mempopulerkan istilah
”birokrasi” sebagai nama lain organisasi pemerintah, lihat bukunya
“Bureaucracy. 1970. FAP. New York”. Selanjutnya para pakar (misalkan
Fred Kramer, dll, lihat buku Miftah Thoha, Perspektif Perilaku Birokrasi,
1991, Rajawali Pers, Jakarta) mengaitkan atau menamakan konsepsi
tipe ideal organisasi pemerintah yang rasional danprofesional ala
weber sebagai birokrasi pemerintahan.

KONSEPSI BIROKRASI RASIONAL MAX WEBER
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh
jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan
individu dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan
jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hirarki dari atas ke bawah
dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan. Ada
yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hirarki itu secara spesifik
berbeda satu dengan lainnya.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian
tugas masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi
wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai kontrak.

KONSEPSI BIROKRASI RASIONAL MAX WEBER
5.
6.

7.
8.
9.

Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya
melalui ujian kompetitif.
Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk termasuk hak untuk menerima
pensiun sesuai dengan tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya.
Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan
jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri
dalam keadaan tertentu.
Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan promosi
berdasarkan senioritas dan penilaian obyekif (merit system).
Setiap pejabat tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan sumber
daya instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu
sistem yang dijalankan secara disiplin.

PANDANGAN TERHADAP BIROKRASI WEBERIAN
Warren Bennis (1967)
Birokrasi hirarki piramida pada masa depan akan diganti dengan sistem sosial baru sesuai harapan
masyarakat.
Lawrence dan Lorch (1967)
Birokrasi yang bersifat rutin dan stabil, belum tentu cocok untuk lingkungan yang kompleks. Oleh
karena itu, jika ingin survive birokrasi harus menyesuaikan diri dengan perkembangan atau perubahan
lingkungan.
David Bheetham (1975)
Birokrasi Weber memiliki ciri-ciri pokok (1) instrumen teknis; (2) kekuatan independen; (3) dapat keluar
dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung dari klas sosial partikular (parpol, misalnya).
Heckscher dan Donellon (1994)
Bentuk organisasi masa depan adalah “post bureaucratic organization” yang tidak sama dengan
birokrasi weberian. Powering (kekuasaan) bukan satu-satunya cara mengendalikan birokrasi,
melainkan perlu empowering (pemberdayaan).
Miftah Thoha (2003)
Birokrasi weberian –diistilahkans sebagai officialdom atau kerajaan pejabat-- memiliki dua pemahaman
yaitu birokrasi yang rasional (netral) dan birokrasi yang sarat dengan kekuasaan (potensi politis).
Birokrasi yang netral bisa dilihat pada poin (1), birokrasi politis dapat dilihat pada poin (2) dan (3).

BIROKRASI HEGELIAN dan MARXIS
Hegel
“Birokrasi adalah jembatan penghubung antara negara (pemerintah) dengan
masyarakatnya”.

Karl Marx
Didasari teori perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan
komunisme, Karl Marx berpendapat tentang birokrasi sbb:
1. Birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.
2. Birokrasi merupakan instrumen yang digunakan oleh kelas yang
3. dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas klas
4. sosial lainnnya.
5. Dalam masyarakat komunis kelak (tiada kelas sosial, semua sama), birokrasi
menjadi tiada arti karena fungsi birokrasi dijalankan oleh semua anggota
masyarakat.

PANDANGAN TERHADAP BIROKRASI
HEGELIAN/MARX
Miftah Thoha (2003)
1. Birokrasi Hegelian termasuk dalam kategori
birokrasi netral.
2. Birokrasi Marxis termasuk dalam kategori
birokrasi politik atau tidak netral.

Penerapan Paradigma Reinventing
Government
Diantara berbagai konsep tandingan sebagaimana dikemukakan
di atas, nampaknya yang mulai memperoleh banyak pendukung
– termasuk kalangan pemerintahan di Indonesia – adalah
paradigma Reinventing Government (Regom) yang dikemukakan
oleh Osborne dan Gaebler (1992). Bahkan konsep tersebut
sudah dilaksanakan di Amerika sejak tahun 1992 sampai dengan
sekarang dengan hasil yang memuaskan – yakni mampu
membuat pemerintahan menjadi lebih efisien yang ditandai
dengan menurunnya defisit anggaran pemerintah federal.
Laporan pelaksanaan Regom di AS selama kurun waktu 1992 –
1996 dapat dilihat dari buku karya Al Gore (1995) berjudul
“Common Sense Government – Works Better dan Cost Less”
serta buku “The Best Kept Secret in Government “ (1996).

BIROKRASI DAVID OSBORNE dan TED GAEBLER (1993)
Birokrasi pemerintah sebaiknya bercirikan sebagai berikut:
1. Katalis (mengarahkan ketimbang mengayuh)
2. Memberi wewenang ketimbang melayani.
3. Pemerintahan yang kompetitif.
4. Digerakan oleh misi bukan aturan.
5. Berorientasi hasil bukan masukan.
6. Melayani pelanggan, bukan dilayani atau melayani diri sendiri.
7. Menghasilkan ketimbang membelanjakan.
8. Antisipatif (mencegah daripada mengobati)
9. Desentrasi ketimbang sentralisasi
10. Pemerintah beroreintasi pasar.

10 Prinsip Reinveinting Government
1. Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh. Artinya, jika pemerintahan

diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai pengemudi yang
mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang mengayuh untuk membuat
perahu bergerak. Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan
kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis
pelayanan (mengayuh).
2. Pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi
pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat. Hal
ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan
pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan
masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari
penyelesaian masalah mereka sendiri
3. Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.
Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya menyebabkan risorsis pemerintah
menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin
berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan
buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu,
pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan
organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang
lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif.

4.Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan. Artinya, pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak
efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh karena itu,
pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan
lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan,
birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang
memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut.

5.Pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan . Artinya,
bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan (income), maka sedikit
sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika
mereka dibiayai berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi. Sistem
penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan atas kualitas hasil kerja
bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas.

6.Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan
birokrasi. Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak fokus dan

perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan puas dengan
pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan
rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai
mendengarkan secara cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus
dan berbagai metode yang lain

7.Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan . Artinya, sebenarnya pemerintah
mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda
dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha
harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit
tersebut. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan biaya
untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inoasi-inovasi di bidang
pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil,
meski dalam situasi keuangan yang sulit.
8.Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. Artinya, pemerintahan tradisional yang birokratis
memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka
mendanai perawatan kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi. Untuk
memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini
harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air
dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk mencegah
kebakaran.
9.Pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja . Artinya, pada saat teknologi
masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka
sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami
perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri
yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang
paling diperlukan
10.Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya, daripada beroperasi
sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi
sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh.
Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti
berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang
memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang
digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin
kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama.

Penerapan regom di Indonesia




Paradigma Regom ini sudah cukup lama diterapkan di Indonesia, yakni
mulai awal tahun 1993. Akan tetapi karena tidak ada dukungan politik
secara terbuka oleh pucuk pimpinan pemerintahan nasional, maka
perkembangannya berjalan tersendat-sendat. Berbagai contoh mengenai
penggunaan paradigma Regom misalnya dengan adanya lembaga
swadana, upaya privatisasi BUMN, pengurangan jumlah pegawai
pemerintah (konsep zero growth dan minus growth), pelaksanaan titik
berat otonomi pada unit yang langsung berhadapan dengan masyarakat,
pemberian penghargaan Abdisatya Bakti dan sebagainya.
Penggunaan paradigma Regom di Indonesia bersifat setengah hati. Hal
tersebut nampak misalnya adanya upaya pengurangan jumlah unit
organisasi pemerintah dengan penghapusan Departemen Penerangan dan
Departemen Sosial, yang kemudian diikuti dengan pembentukan badan
baru, setelah adanya protes dari para pegawai departemen bersangkutan.
Pertimbangan politik nampaknya lebih dikedepankan dibandingkan
pertimbangan efektifitas dan efisiensi birokrasi.

PANDANGAN TERHADAP BIROKRASI
DAVID OSBORNE/TED GAEBLER

Miftah Thoha (2003)
1. Konsep birokrasi pemerintahan ini banyak dipengaruhi
konsep enterpreneurship (wirausaha) dunia swasta atau
bisnis, sedangkan konsep briokrasi pemerintahan umumnya
dipengaruhi konsep weberian (birokrasi rasional, hirarki, dan
kaku). Pergerseran paradigma birokrasi pemerintahan ini
tidak bisa segera diterapkan tetapi memerlukan waktu yang
cukup lama.
2. Akan lebih mudah diterapkan di negara yang telah maju,
kaya, berpendidikan, swasta/ masyarakat yang kuat dan
mandiri, pasar bebas, berideologi liberal.
3. Sulit diterapkan di negara komunis, dan juga di negara

Kritik Terhadap Regom
• Regom memang sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Selandia Baru dan beberapa negara maju
lainnya, tetapi kenyataannya, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara miskin, seperti negaranegara di kawasan benua Afrika yang gagal menerapkan konsep Regom karena tidak sesuai dengan landasan
ideologi, politik, ekonomi dan sosial-budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya, negara tersebut tetap miskin dan
tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kemajuan.
• Regom memandang masyarakat yang dilayani sebagai customer, padahal masyarakat adalah warga negara
(citizens) sebagai pemegang penuh kedaulatan negara
• Menurut konsep Regom pemerintah berada di belakang kemudi kapal, sedangkan kapalnya dijalankan oleh organorgan diluar pemerintah.
• Paradigma steering rather than rowing ala Regom dikritik sebagai paradigma yang melupakan siapa sebenarnya pemilik
kapal (who owned the boat). Seharusnya pemerintah memfokuskan usahanya untuk melayani dan memberdayakan warga
negara karena merekalah pemilik “kapal”.

• Ketika pemerintah melayani masyarakat sebagai warga negara misalnya, aspek privatisasi bisa saja tetap berlangsung
asalkan atas nama melayani kepentingan warga negara bukan pelanggan. Misalnya, sektor pendidikan dapat
diprivatisasi asalkan pelaksana pendidikan tetap melayani masyarakat sebagai warga negara bukan pelanggan.
• Prinsip-prinsip Regom belum tentu bisa diaplikasikan pada semua tempat, situasi dan kondisi. Administrasi negara
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (ideologi, politik, hukum, ekonomi, militer, sosial dan budaya), sehingga
suatu paradigma yang sukses di suatu tempat belum tentu berhasil diterapkan pada tempat yang lain.
• Urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan bagaimana menyelenggarakan pelayanan publik, tetapi juga
menyangkut bagaimana melakukan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di negara-negara
maju seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Selandia Baru yang tidak lagi berkutat pada upaya percepatan
pembangunan (development acceleration) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi karena negara-negara tersebut
relatif sudah stabil, maka pelayanan publik menjadi program prioritas yang strategis. Namun, bagi negara-negara
berkembang, pelayanan publik bisa jadi belum menjadi agenda prioritas karena masih berupaya mengejar
pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan.

Anthony Giddens dalam bukunya ”Third Way” tentang
peranan pemerintah pada era sekarang ini











Menyediakan sarana untuk merepresentasikan kepentingan yang beragam;
Menawarkan forum untuk menyelaraskan tuntutan-tuntutan yang bersaing atas kepentingan
yang beragam tersebut;
Menciptakan dan melindungi ruang publik terbuka (open public sphere), dimana perdebatan
tentang masalah kebijakan dapat dilangsungkan tanpa hambatan;
Menyediakan barang-barang produktif (public goods) secara luas, termasuk bentuk
kesejahteraan dan keamanan kolektif;
Melakukan regulasi pasar sesuai kepentingan publik dan mendorong kompetisi pasar dimana
ada ancaman monopoli;
Meningkatkan pengembangan aktif SDM (human capital) melalui peranan intinya dalam
sistem pendidikan;
Mengukuhkan suatu sistem hukum yang efektif;
Mempunyai peranan ekonomi, sebagai penyedia pekerjaan utama - dalam intervensi makro
dan mikro ekonomi - serta pengadaan infra struktur;
Secara kontroversial mempunyai tujuan civilisasi (penyebaran peradaban), Pemerintah
mengukuhkan norma-norma dan nilai-nilai, disamping juga membantu pembentukan normanorma dan nilai-nilai tersebut melewati sistem pendidikan dan lembaga lain;
Mendorong aliansi-aliansi regional dan internasional serta mengejar tujuan global.

Antony Giddens : Unsur Negara Demokrasi &
Masyarakat Madani
Menurut Giddens, unsur - unsur dalam negara demokrasi mutakhir adalah :
• Devolusi, yakni desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan;
• Demokratisasi ganda, yakni struktur dan kultur;
• Pembaruan ruang publik, yakni transparansi;
• Efisiensi administratif;
• Mekanisme demokrasi yang bersifat langsung;
• Pemerintah sebagai manajer resiko.
Tentang masyarakat madani, Giddens menyarankan unsur-unsur sebagai berikut :
• Pemerintah dan masyarakat madani dalam hubungan kemitraan;
• Pembaruan satuan masyarakat lokal melalui membudayakan inisiatif lokal;
• Keterlibatan sektor ketiga (LSM atau organisasi-organisasi nirlaba);
• Perlindungan atas ruang publik lokal;
• Pencegahan kriminalitas berbasis masyarakat;
• Keluarga yang demokratis.

Perubahan paradigma birokrasi di Indonesia







Untuk menjawab tantangan baru dalam atmosfir demokrasi, birokrasi
perlu menata dirinya kembali dalam paradigma baru, yakni dari paradigma
lama Birokrasi sebagai alat dominasi, menjadi paradigma baru Birokrasi
sebagai alat demokratisasi.
Dalam paradigma baru harus mempunyai ciri sebagai sebuah lembaga
yang non-partisan, imparsial, dan profesional. Dengan ciri-ciri demikian
dia dapat memainkan peranan penting di sebuah negara demokrasi yang
antara lain :
Birokrasi yang pejabat-pejabatnya dipilih melalui seleksi yang mengacu
pada kualitas, menjadi pengimbang pengisian jabatan politik yang
dilakukan dengan Seleksi yang berdasarkan pada popularitas.
Secara esensial, birokrasi menjaga kesinambungan (Continuity) dan
pejabat politik mendorong perubahan (Change) yang secara bersamasama memberi keseimbangan terbaik bagi bangsa dan negara.

Birokrasi Penyebab lambannya Reformasi
Administrasi Negara
1. Rendahnya kompetensi kepemimpinan yang dimiliki oleh personal birokrasi sehingga daya saing dan efisiensi
rendah;
2. Pencapai karir pimpinan birokrasi masih berkaitan dengan misi politik, artinya penentuan kepemimpian
birokrasi belum independen sehingga sering kali pimpinan birokrasi, baik di pusat maupun di daerah lebih
menonjolkan perilaku dan sikap untuk membayar utang-utang politiknya kepada pimpinan politik yang
mempromosikan, ketimbang harus bekerja sebagai administrator yang profesional (Musakabe, 2002);
3. Rendahnya kompetensi teknis dan umum yang dimiliki oleh para pimpinan birokrasi pemerintahan. Hal ini
berkaitan dengan rendahnya dukungan organisasi yang mampu memberikan kesempatan kepada individu
maupun kelompok untuk menciptakan dan membangun akumulasi pengetahuan secara sistematik
(Sedarmayanti, 2004);
4. Inovasi yang belum menjadi sebuah budaya dan ukuran kinerja, padahal inovasi penting sebagai penentu
bagi penciptaan kondisi yang mendukung upaya transformasi organisasi instansi pemerintah atau birokrasi
yang belum terlalu terbangun spirit leading of changes, akibatnya perubahan melalui inovasi menjadi sangat
tertingal (Martani, 1999). Namun inovasi organisasi itu akan sangat ditentukan oleh sejauh mana organisasi
itu memfasilitasi semua anggotanya