357174676 Keracunan Fogging Surveilen Dan KLB Kelompok

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam peraturan Menteri Kesehatan No.370 Tahun 2010 tentang
pengendalian vektor disebutkan bahwa upaya penyelenggaraan pengendalian
vector (fogging) dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah Daerah
dan/atau pihak swasta oleh tenaga entomology kesehatan dan tenaga lain
yang terlatih yaitu yang telah mengikuti pelatihan pengendalian vector dari
institusi pelatihan yang terakreditasi. Di kabupaten Jombang penyakit
Demam Berdarah

Dengue DBD masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat yang cukup serius karena jumlahnya sangat banyak dan
menimbulkan kematian sehingga mudah menimbulkan Kejadian Luar Biasa
(KLB). Jumlah kasus DBD dari tahun ke tahun cenderung menunjukkan
kecenderungan meningkat.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD ada 3 cara yaitu secara
biologi, kimiawi dan fisik. Pencegahan biologi dengan memelihara ikan
pemakan jentik yang diletakkan di tempat-tempat penampungan air seperti

bak mandi dan WC. Secara kimiawi ada 2 (dua) cara yaitu melalui kegiatan
pengasapan atau fogging. Sedangkan pencegahan dan pemberantasan DBD
secara fisik yaitu dengan kegiatan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
dengan gerakan 3 MM Plus, yaitu menguras tempat-tempat penampung air
minimal seminggu sekali, menutup rapat tempat-tempat penampungan air dan
mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air yang bisa menjadi
tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes.
Pestisida selain bermanfaat, juga menghasilkan dampak lingkungan.
Disamping bermanfaat untuk meningkatkan hasil pertanian, ia juga
menghasilkan dampak buruk baik bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Lebih dari 98% insektisida dan 95% herbisida menjangkau tempat selain
yang seharusnya menjadi target, termasuk spesies non-target, perairan, udara,
makanan, dan sedimen. Pestisida dapat menjangkau dan mengkontaminasi

1

lahan dan perairan ketika disemprot secara aerial, dibiarkan mengalir dari
permukaan ladang, atau dibiarkan menguap dari lokasi produksi dan
penyimpanan. Penggunaan pestisida berlebih justru akan menjadikan hama
dan gulma resistan terhadap pestisida (https://id.wikipedia.org).

Data yang dikumpulkan WHO (2000), menunjukkan 500.0001.000.000 orang per tahun di seluruh dunia telah mengalami keracunan
pestisida dan sekitar 500-1000 orang per tahun diantaranya mengalami
dampak yang sangat fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan gangguan
pada hati. Menurut World Health Organization (WHO) (2003), Malathion
adalah salah satu insektisida organofosfat non-sistemik. Hal ini digunakan
dalam pertanian untuk mengontrol dan membunuh hama serangga dalam
berbagai bidang, buah tanaman dan sayuran.

Sebuah studi di Kanada

menunjukkan bahwa hampir 60% kasus keracunan terdaftar di sebuah rumah
sakit anak adalah karena pestisida dan efek dari kebanyakan pestisida yang
akut dan parah. Di negara berkembang, kejadian nyata keracunan pestisida
sulit untuk menilai, tapi diasumsikan tinggi. Sejumlah besar anak dan remaja
pekerja terpapar pestisida melalui pekerjaan pertanian, seperti yang biasa
terlibat informal dalam penyusunan dan penerapan pestisida. Anak-anak juga
terkena sebagai pengamat selama penyemprotan untuk pengendalian hama
pertanian (WHO, 2015).
Menurut


Keputusan

Dirjen

PPM

dan

PLP

No.

451-

I/PD.03.04/IF/1991 tentang Kejadian Luar Biasa, disebutkan jika terjadi
kejadian satu atau lebih penderita keracunan pestisida sudah dapat
dikategorikan Kejadian Luar Biasa atau KLB.
Berdasarkan kejadian kasus surveilens Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur pada kegiatan fasilitasi penanggulangan keracunan pestisida akibat
fogging liar di Kabupaten Jombang. Pada penyelidikan Epidemiologi

keracukan pestisida akibat fogging liar di wilayah Dusun Tambak Beras, Desa
Tambak Rejo, Kecamatan Jombang di konfirmasikan hasil data korban kasus
keracunan massal santri Pondok Pesantren Tambak Beras yakni ada 30
korban santri putri. Riwayat kejadian pada tanggal 20 november 2016 pukul
14.00 WIB Pelaksanaan fogging di asrama Pondok Pesantren Putra dan pukul

2

14.00 WIB di asrama putri. Kemudian ada 2 orang satriwati pingsan, 3 orang
kemudian berturut-turut 26 orang dan 4 orang di RS pelengkap dikarenakan
UGD RSUD jombang penuh. Setelah itu pada pukul 19.00 WIB tidak ada lagi
yang pingsan. Sehingga pada pukul 20.00 WIB ada 14 orang diperbolehkan
pulang dan 16 orang menjalani perawatan dalam menjalani rawat inap secara
insentif.
Pada faktor risiko fogging liar yang terjadi tanpa izin puskesmas dan
tidak ada surat pendamping dari petugas puskesmas terdekat. Kondisi medis
para santri putri yang mendasari (sesak nafas, kelelahan, stress/ujian
tahassus), tidak memakai alat pelindung diri (masker dan sarung tangan), ada
kemungkinan mengkonsumsi obat tertentu (tidak terpantau, satu orang
pemakai oxycan), konsumsi makanan yang terkontaminasi dengan cairan

pertisida yang tercecer (tidak memungkinkan). Sedangkan kontak beresiko
tidak ada ditemukan di kandang (hewan pemeliharaan) ayam yang mati
setelah di fogging.
Tindakan kebijakan dan langkah-langkah pengaturan harus diletakkan
di tempat untuk mengurangi atau menghilangkan paparan polutan kimia
prioritas yang mempengaruhi kesehatan dan perkembangan kejadian
keracunan pestisida di Wilayah Puskesmas Tambakrejo Kabupaten Jombang.
Sebagai langkah pertama dalam mengurangi paparan masyarakat untuk
mengurangi ketergantungan pada penggunaan pestisida beracun.Di tingkat
lokal, tindakan harus diambil untuk mempromosikan penggunaan yang aman
dari bahan kimia melalui penyediaan informasi berbasis bukti pada risiko
kesehatan dari paparan bahan kimia dan intervensi efektif untuk pengambil
keputusan.

3

1.2 Tujuan
1.2.1

Tujuan Umum

Menganalisis surveilens epidemiologi sebagai deteksi dini KLB
keracunan pestisida di Wilayah Puskesmas Tambakrejo Kabupaten
Jombang 2016.

1.2.2

Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi masalah keracunan pestisida akibat fogging liar yang
sesuai dengan data surveilens dalam penyelidikan epidemiologi.
2. Menganalisis kronologi dari penyebab, gejala, keracunan pestisida,
tindakan yang dilakuakan dan langkah-langkah investigasi keracunan
pestisida akibat fogging liar.

1.3 Manfaat
Memberikan informasi tentang sistem informasi surveilens pada
penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) dalam penyelidikan epdemiologi
sebagai pendukung kewaspadaan dini pada keracunan pestisida akibat
fogging liar, di Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur.

4


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kejadian Luar Biasa

2.1.1 Definisi Kejadian Luar Biasa
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010 dan Keputusan Dirjen PPM No. 451 tahun
1991 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa, suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB apabila
memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada

atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu
menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru

dalam periode waktu 1 (satu) bulan

menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka
rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian per bulan selama 1(satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah
kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam
1(satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50%( lima puluh

5


persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu
penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
8. Beberapa penyakit khusus: Kolera, Dengue Hemoragic Fever/ Dengue
Shock Syndrome:
 Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah
endemis)
 Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode empat
minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit
yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami satu atau lebih penderita:


Keracunan makanan




Keracunan pestisida

2.1.2 Penanggulangan KLB/Wabah
Penanggulangan KLB/Wabah dilakukan secara terpadu oleh
Pemerintah,

pemerintah

KLB/Wabah

,meliputi

penatalaksananpenderita;

daerah

dan

masyarakat..


Penanggulangan

penyelidikan

epidemiologi

dan

pencegahan

dan

pengebalan;

surveilan;
penanganan

jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya
penanggulangan lainnya.
Penyelidikan epodemiologi dilaksanakan sesuai dengan tatacara
penyelidikan epidemiologi untuk mendukung upaya penanggulangan
wabah, termasuk tatacara bagi petugas penyelidikan epidemiologi agar
terhundar dari penularan wabah.
Surveilans di daerah wabah dan daerah yang beresiko terjadi
wabah dilaksanakan lebih intensif untuk mrngetahui perkembangan
penyakit menurut waktu dan tempat dan dimanfaatkan untuk mendukung

6

upaya penanggulangan yang sedang dilaksanakan, meliputi kegiatan
seperti:


Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-pos
kesehatan dan unit kesehatan lainnya, melakukan analisis
kecenderungan wabah dari waktu ke waktu.



Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepla
desa, kader, dan masyarakat untuk membahas penyakit dan hasil
dari upaya penanggulangan wabah.



Memanfaatkan

hasil

surveilans

tersebut

dalam

upaya

penanggulangan wabah.
Hasil penyelidikan epidemiologi dan surveilans secara teratur disampaikan
kepada

dinas

kesehatan

kabupaten/kota,

kepala

dinas

kesehatan

provinsidan Menteri yp. Direktur Jendral sbagai laporan perkembangan
penanggulangan wabah.
2.1.3

Tata Cara Pelaporan Penderita Atau Tersangka Penderita Penyakit
Menular Tertentu Yang Dapat menimbulkan Wabah
Laporan adanya penderita atau tersangka penderita penyakit
menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah disebut laporan
kewaspadaan.
Laporan kewaspadaan dilaporkan kepada lurah atau kepala desa dan atau
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam sejak
mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita (KLB), baik dengan
cara lisan maupun tertulis.
Isi laporan kewaspadaan antara lain:
1. Nama penderita atau yang meninggal
2. Golongan umur
3. Tempat dan lamat kejadian
4. Waktu kejadian

7

5. Jumlah yang sakit dan meninggal
Laporan kewaspadaan tersebut selanjutnya harus diteruskan kepada
kepada puskesmas setempat.
Gambar 1:

Alur Laporan Kewaspadaan (Permenkes 1501/2010)

Dinas kesehatan

Rumah Sakit

Camat
Puskesmas

Puskesmas Pembant

Desa/Lurah
Dusun RT/RW
Penyelidikan Epidemiologi
Dan
Penanggulangan KLB

Masyarakat

Kepala Puskesmas yang menerima laporan kewaspadaan harus
segera memastikan adanya KLB. Bila dipastikan telah terjadi KLB, kepala
Puskesmas

harus

segera

membuat

laporan

KLB,

melaksanakan

penyelidikan epidemiologis, dan penanggulangan KLB.
Laporan KLB disampaikan secara lisan ataupun tertulis. Laporan
KLB puskesmas dikirimkan secara berjenjang kepada menteri dengan
berpedoman pada laporan KLB (Formulir W1).

8

Formulir

laporan

KLB

adalah

sama

untuk

Puskesmas,

kabupaten/kota dan provinsi, namun dengan kode yang berbeda. Formulir
berisi nama daerah KLB, jumlah penderita dan meinggal pada saat
laporan, nama penyakit dan gejala-gejala umum yang ditemukan diantara
penderita dan langkah-langkah yang sedang dilakukan. Satu formulir W1
berlaku untuk satu jenis penyakit saja.

2.2 Pengertian Pestisida
Menurut Dirjend Prasaran dan Sarana Pertanian Kementerian
Pertanian, 2011 Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad
renik dan virusyang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak
tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
2. Memberantas rerumputan;
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk;
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
peliharaan dan ternak;
6. Memberantas atau mencegah hama-hama air;
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan
atau
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah atau air.
Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman, yang dimaksud dengan Pestisida adalah zat pengatur dan
perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang
digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman. Pestisida merupakan
bahan yang banyak memberikan manfaat sehingga banyak dibutuhkan
masyarakat pada bidang pertanian (pangan, perkebunan, perikanan,

9

peternakan), penyimpanan hasil pertanian, kehutanan (tanaman hutan dan
pengawetan hasil hutan), rumah tangga dan penyehatan lingkungan,
pemukiman, bangunan, pengangkutan dan lain-lain.
Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida yang digunakan
dalam bidang kesehatan terutama untuk pengendalian vektor penyakit. Dalam
Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah
semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang
dipergunakan untuk memberantas atau mencegah binatang-binatang yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Insektisida kesehatan masyarakat
adalah insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor penyakit dan
hama permukiman seperti nyamuk, serangga pengganggu lain (lalat,
kecoak/lipas), tikus,dan lain-lain yang dilakukan di daerah permukiman
endemis, pelabuhan, bandara, dan tempat-tempat umum lainnya.
2.2.1 Klasifikasi Pestisida
Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis
insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.
Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung
berkontak dengan tubuh serangga saat diaplikasikan.
Aplikasi kontak langsung dapat berupa penyemprotan udara (space
spray) seperti pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan
dingin (cold fogging) / ultra low volume (ULV). Jenis-jenis formulasi yang
biasa digunakan untuk aplikasi kontak langsung adalah emusifiable
concentrate (EC), microemulsion (ME), emulsion (EW), ultra low volume
(UL) dan beberapa Insektisida siap pakai seperti aerosol (AE), anti nyamuk
bakar (MC), liquid vaporizer (LV), mat vaporizer (MV) dan smoke.
Insektisida residual adalah Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan
suatu tempat dengan harapan apabila serangga melewati/hinggap pada
permukaan tersebut akan terpapar dan akhirnya mati. Umumnya insektisida
yang bersifat residual adalah Insektisida dalam formulasi wettable powder

10

(WP), water dispersible granule (WG), suspension concentrate (SC),
capsule suspension (CS), dan serbuk (DP).
Menurut Kemenkes, 2012 Jenis insektisida untuk pengendalian vektor
antara lain :
1.

Organofosfat (OP).
Insektisida ini bekerja dengan menghambat enzim kholinesterase. OP
banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian vektor, baik untuk
space spraying, IRS, maupun larvasidasi. Contoh: malation, fenitrotion,
temefos, metil-pirimifos, dan lain lain.

2.

Karbamat.
Cara kerja Insektisida ini identik dengan OP, namun bersifatreversible
(pulih kembali) sehingga relatif lebih aman dibandingkanOP. Contoh:
bendiocarb, propoksur, dan lain lain.

3.

Piretroid (SP).
Insektisida ini lebih dikenal sebagai synthetic pyretroid(SP) yang
bekerja mengganggu sistem syaraf. Golongan SPbanyak digunakan
dalam pengendalian vector untuk seranggadewasa (space spraying dan
IRS), kelambu celup atau InsecticideTreated Net (ITN), Long Lasting
Insecticidal Net (LLIN), danberbagai formulasi Insektisida rumah
tangga. Contoh: metoflutrin,transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin,
permetrin, sipermetrin,deltametrin, etofenproks, dan lain-lain.

4.

Insect Growth Regulator (IGR).
Kelompok senyawa yang dapat mengganggu prosesperkembangan dan
pertumbuhan serangga.IGR terbagi dalam dua klas yaitu :

a.

Juvenoid atau sering juga dikenal dengan Juvenile
Hormone Analog (JHA). Pemberian juvenoid padaserangga berakibat
pada perpanjangan stadiumlarva dan kegagalan menjadi pupa. Contoh
JHAadalah fenoksikarb, metopren, piriproksifen danlain-lain.

b.

Penghambat Sintesis Khitin atau Chitin Synthesis
Inhibitor (CSI) mengganggu proses ganti kulit dengancara menghambat
pembentukan kitin. Contoh CSI:diflubensuron, heksaflumuron dan lainlain.

11

5.

Mikroba
Kelompok Insektisida ini berasal dari mikroorganisme yangberperan
sebagai insektisida. Contoh: Bacillus thuringiensis varisraelensis (Bti),
Bacillus sphaericus (BS), abamektin, spinosad, danlain-lain.

6.

Neonikotinoid.
Insektisida ini mirip dengan nikotin, bekerja pada sistem saraf pusat
serangga yang menyebabkan gangguan pada reseptor post synaptic
acetilcholin. Contoh: imidakloprid, tiametoksam, klotianidin dan lainlain.

7.

Fenilpirasol
Insektisida ini bekerja memblokir celah klorida pada neuron yang diatur
oleh GABA, sehingga berdampak perlambatan pengaruh GABA pada
sistem saraf serangga. Contoh: fipronil dan lain-lain

8.

Nabati
Insektisida nabati merupakan kelompok Insektisida yang berasal dari
tanaman Contoh: piretrum atau piretrin, nikotin, rotenon, limonen,
azadirachtin, sereh wangi dan lain-lain.

9.

Repelen
Repelen adalah bahan yang diaplikasikan langsung ke kulit, pakaian
atau lainnya untuk mencegah kontak dengan serangga. Contoh: DEET,
etil-butil-asetilamino propionat dan ikaridin. Repelen dari bahan alam
adalah minyak sereh/sitronela (citronella oil) dan minyak eukaliptus
(lemon eucalyptus oil).

2.2.2 Pengelolaan Insektisida (Pestisida)
Pengelolaan dan penanganan insektisida perlu dilakukan dengan baik
untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan menjamin mutu
insektisida yang akan digunakan. Proses penyimpanan insektisida yang

12

digunakan dalam pengendalian vektor harus memenuhi persyaratan berikut
ini:
1. Gudang
Gudang

tempat

penyimpanan

insektisida

harus

memenuhi

persyaratan sebagai berikut:
- Aman dari pencurian,
- Tidak bocor,
- Tidak kena banjir,
- Cukup ventilasi/penerangan atau pencahayaan,
- khusus untuk gudang penyimpanan insektisida, terletak tidak menyatu
dengan tempat permukiman
- Tidak digabung dengan bahan non-insektisida
2. Konstruksi bangunan Gudang, meliputi:
a. Lantai dan dinding harus kedap air dan mudah dibersihkan
b. Langit – langit atap terbuat dari bahan yang ringan dan tidak tembus
cahaya.
c. Bangunan dilengkapi dengan exhause fan (kipaspenghisap)
d. Bahan bangunan sedapat mungkin tidak mudah terbakar
3. Sanitasi
a. Tersedia air bersih yang cukup
b. Tersedia tempat cuci tangan yang dilengkapi dengansabun dengan
kain lap
c. Tersedia tempat sampah
4. Tata letak tempat penyimpanan
Penempatan insektisida harus ditata dengan baik:
a. Insektisida yang akan disimpan dikelompokkanberdasarkan bentuk
formulasi (padat atau cair),secara tepat dan aman
b. Setiap kemasan insektisida tidak boleh diletakanlangsung di atas
lantai,

untuk

kemasan

yang

berat(drum,

bags,

boxes)

diletakkan/disusun di atas balok-balokkayu (pallet), untuk kemasan
kecil diletakkan /disusun di dalam rak

13

c. Tinggi rak/susunan kemasan besar, maksimal 2meter dan jarak dari
atap gudang minimal 1 meter,
d. Insektisida dengan kemasan bungkusan yangberbentuk kotak disusun
dengan sistem berkaitdengan diberi jarak di antara tumpukan,
untuksirkulasi udara.
e. Jarak tumpukan insektisida dari dinding minimal 50cm, untuk lewat
orang
f. Cara meletakan dan menyusun kemasan insektisidaharus diatur untuk
memudahkan pemeriksaan dansirkulasi barang (FEFO, first expired
first out).
g. Penyimpanan insektisida harus dilengkapi dengankartu stok, kartu
gudang dan kartu barang
h. Di antara tumpukan insektisida harus ada lorong/gang yang dapat
dilalui dengan lebar minimal 50 cm.
5. Distribusi
Distribusi perlu dilakukan dengan baik agar kualitasinsektisida tetap
terjamin. Untuk itu harus diperhatikanbahwa dalam pendistribusian
insektisida, kemasan harusdijaga dari kerusakan atau kebocoran dan
terlindungdari

pengaruh

cuaca

luar

(panas,

hujan

dll).

Penempataninsektisida dalam sarana angkutan harus diatur sehinggatidak
mudah terjadi benturan-benturan selama perjalanan
6. Penanganan insektisida di lapangan
Penanganan insektisida selama operasional di lapanganperlu
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penyimpanan sementara di lapangan/desaditempatkan pada ruangan
atau peti yang dapatdikunci
b. Harus ada petugas yang mengawasi sisa Insektisida segera
dikembalikan ke gudang asal
c. Sisa larutan Insektisida dan wadahnya harus dikuburminimal setengah
meter di dalam tanah, jauh darisumber air.
7. Pemusnahan

14

Pemusnahan insektisida dapat dilakukan dengan berbagaicara
seperti dengan penguburan dalam tanah (landfill),panas (thermal
decomposition), dan kimiawi (chemicalneutralization). Di antara caracara tersebut, yang palingmungkin dilakukan di lapangan adalah
penguburan dalamtanah (landfill).
a. Penguburan dalam tanah (Landfill)
Cara ini pada dasarnya dipergunakan bila belumdiperoleh cara lain
yang lebih tepat. Untuksuatu jumlah sisa insektisida yang sedikit,
makapenguburan dilakukan minimal setengah meter didalam tanah,
jauh dari sumber air.
b. Pemanasan (thermal decomposition)
Pemusnahan insektisida dengan pemanasandilakukan dengan suhu
tinggi (9000C-10000C) melaluiincinerator (instalasi pembakaran).
c. Kimiawi (Chemical Neutralization)
Cara ini hanya dapat dilakukan oleh instansi yangkompeten.
2.2.3 Dampak pestisida terhadap Kesehatan
Pada umumnya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tersebut adalah biosida yang tidak saja bersifat racun
terhadap organisme pengganggu sasaran, tetapi juga dapat memberikan
pengaruh yang tidak diinginkan terhadap organisme bukan sasaran,
termasuk manusia serta lingkungan hidup.
Keracunan pestisida yang digunakan secara kronik maupun akut
dapat terjadi pada pemakai dan pekerja yang berhubungan dengan pestisida,
misalnya petani, pengecer pestisida, pekerja pabrik/gudang pestisida, dan
sebagainya serta manusia yang tidak bekerja pada pestisida. Keracunan akut
terhadap pemakai dan pekerja dapat terjadi karena kontaminasi kulit,
inhalasi (pernafasan) dan mulut/ saluranpencernaan, dan apabila mencapai
dosis tertentu dapat mengakibatkan kematian.
2.2.4. Keracunan Pestisida

15

Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam
tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi
sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh.
Penggunaan pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara
langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Keracunan akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit
ringan, badan terasa sakit dan diare.
b. Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang
perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut
nadi meningkat, pingsan.
c. Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan
menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang
sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya: iritasi
mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan
saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
Keracunan ditentukan oleh tingkat kontaminasi, juga ditentukan oleh
daya racun pestisida yang berbeda antara satu formulasi dengan formulasi
lainnya.

Keracunan

kronik

(antara

lain

karsinogenik,

teratogenik,

onkogenik, mutagenik, kerusakan jantung, ginjal dan lain-lain) disamping
dapat terjadi pada pemakai dan pekerja, juga dapat terjadi pada konsumen
yang mengkonsumsi produk tertentu yang mengandung residu pestisida.
2.2.5 Patofisiologi
Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara, Pertama
absorpsi melalui kulit berlangsung terus selama pestisida masih ada dikulit.
Kedua melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau
sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga
mengakibatkan kematian. Ketiga melalui pernafasan dapat berupa bubuk,
droplet atau uap dapat meyebabkan kerusakan serius pada hidung,
tenggorokan jika terhisap cukup banyak.
Pestisida meracuni tubuh manusia dengan mekanisme kerja sebagai
berikut:

16

a. Mempengaruhi kerja enzim/hormon. Enzim dan hormon terdiri dari
protein komplek yang dalam kerjanya perlu adanya activator atau
cofaktor yang biasanya berupa vitamin. Bahan racun yang masuk
kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator sehingga enzim atau
hormon tidak dapat bekerja atau langsung non aktif. Pestisida masuk
dan berinteraksi dengan sel sehingga akan menghambat atau
mempengaruhi kerja sel, contohnya gas CO menghambat haemoglobin
dalam mengikat atau membawa oksigen.
b. Merusak jaringan sehingga timbul histamine dan serotine. Ini akan
menimbulkan reaksi alergi, juga kadang-kadang akan terjadi senyawa
baru yang lebih beracun.
c. Fungsi detoksikasi hati (hepar). Pestisida yang masuk ketubuh akan
mengalami proses detoksikasi (dinetralisasi) di dalam hati oleh fungsi
hati (hepar). Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa lain
yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh
2.3 Jenis –jenis fogging
Fogging/pengasapan sesuai dengan peraturan Gubenur Nomor 20
Tahun 2011 Tanggal 25 Februari 2011 Tentang Pengendalian Penyakit DBD
di Provinsi Jawa Timur adalah pemberantasan nyamuk yang menggunakan
mesin/alat, insektisida khusus pada waktu dan area tertentu dengan pelaku
yang

terlatih

baik

berupa

pengasapan/fogging

fokus

maupun

pengasapan/fogging massal. Fogging/pengasapan merupakan salah satu
kegiatan penanggulangan DBD yang dilaksanakan pada saat terjadinya
penularan

DBD

dalam

bentuk

pengasapan/fogging

fokus

dan

pengasapan/fogging massal pada terjadi kejadian luar biasa (KLB) DBD.
Dalam menanggulangi KLB DBD, terdapat beberapa jenis foging di
Kabupaten Jombang:
1. Fogging fokus
Adalah kegiatan fogging yang dilaksanakan atas dasar di Wilayah tersebut
ada penderita DBD dengan hasil Penyelidikan Epidemiologi (PE)
menunjukkan hasil positif. PE dinyatakan positif bila ditemukan 1 atau

17

lebih penderita infeksi dengue lainnya dan /atau >=3 penderita demam
tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik (HI) >=5%. Luas cakupan
fogging adalah radius minimal 200 (dua ratus) meter sekitar penderita
DBD. Biaya fogging fokus dibebankan pada anggaran Pemerintah
Kabupaten

Jombang

sedangkan

pelaksana

fogging

fakus

adalah

Puskesmas.
2. Fogging massal
Adalah fogging yang dilaksanakan saat terjadi kejadian luar biasa (KLB)
DBD secara massal di Wilayah yang terjadi KLB DBD tersebut. Yang
dimaksud dengan KLB DBD adalah terjadinya penngkatan jumlah
penderita DBD di suatu wilayah sebanyak 2 (dua) kali atau 1 (satu)
minggu/bulan dibandingkan dengan minggu/bulan sebelumnya atau bulan
yang sama pada tahun yang lalu.
3. Fogging mandiri
Fogging yang dilaksanakan atas inisiatif masyarakat atau desa. Fogging ini
diperbolehkan dengan syarat Wilayah tersebut ada penderita infeksi
dengue, hasil PE Positif dan jika anggaran yang telah disediakan oleh
Pemerintah Kabupaten Jombang tidak mencukupi untuk fogging fokus
atau memang masyarakat menghendaki adanya perluasan area fogging.
Namun, sudah dikomunikasikan dengan puskesmas dan Camat setempat
sebagai pengawas lapangan. Luas cakupan seluas fogging fokus, 1 (satu)
dusun atau beberapa dusun bahkan bisa seluas 1 (satu) desa/kelurahan.
Biaya fogging berasal dari murni partisipasi masyarakat atau swadaya.
Pelaksanaan fogging mandiri bisa dari pihak desa bekerjasama dengan
pihak Puskesmas atau diserahkan ke pihak swasta.
2.4 Fogging sebagai langkah pengendalian vektor
a. Fog/kabut/asap adalah semprotan aerosol yang menyebarkan droplet
dengan sebuah Diameter Rata-rata Isi (VMD) di rentang kurang dari 50
mikron (biasanya 5-15 mikron). Thermal fog sangat dapat mengganggu
pandangan sehingga akan dapat dapat menimbulkan bahaya bagi lalu

18

lintas. Fogging dianggap sebagai pilihan terakhir dalam metode
pengendalian kimia oleh karena keterbatasannya sebagai berikut:
 Keberadaaanya hanya sementara di lingkungan tanpa adanya efek sisa.
 Efek utamanya hanya terhadap nyamuk dewasa kontak dengan droplet.
 Dibutuhkan aplikasi ulangan.
 Biayanya besar.
 Efek terhadap vektor sangat tergantung pada faktor iklim seperti
kecepatan angin, arah angin, kelembababan, suhu dan lain-lain.
 Kecepatan pergerakan dari petugas fogging
 Penyebaran asapnya
 Kualitas dari alat fogging
Akan tetapi, fogging telah dianggap berguna dalam situasi khusus
seperti kendali vektor saat wabah penyakit Dengue atau DHF.
Pelaksanaan

yang

efektif

dari

pengendalian

vektor

ini

membutuhkan teknik pelaksanaan yang tepat dan alat yang cocok dengan
kondisi lokal. Bentuk-bentuk cakupan dari area target tergantung pada
spesies vektor dan bionomiknya, level kendali yang diinginkan serta
priode penularan penyakit untuk menjaga biaya serendah mungkin.
Manejemen dan perencanaan yang baik, pelatihan operator dalam hal
teknik operasi serta kalibrasi dan penggunaan alat yang efisien adalah
faktor yang penting dalam aplikasi insektisida yang tepat.
Berdasarkan pandangan di atas, fogging bukanlah metode yang
dipilih dalam pengendalian vektor sebagai metode rutin. Fogging
sebaiknya dipilih hanya untuk memutus (melokalisir) epidemik yang
sifatnya sementara, sebagai pelengkap dan pencegahan epidemi yang lain.
Fogging hanya digunakan dalam waktu yang terbatas di area yang sudah
teridentifikasi dengan jelas.
b. Thermal Fogging
Teknik ini berdasar prinsip bahwa insektisida diuapkan lalu
diembunkan menjadi awan tipis berupa droplet ketika kontak dengan
udara pendingin saat keluar dari mesin. Insektisida tersebut diuapkan pada

19

suhu yang sangat tinggi di dalam mesin. Begitu asap keluar dari mesin,
langsung menyebar sesuai arah angin.
Insektisida yang dipilih untuk fogging adalah malathion atau
pyrenthum ekstrak oleh karena toksisitasnya yang rendah terhadap
mammalia dan karena dapat didegradasi sehingga tidak terus berada di
lingkungan dalam jangka waktu yang lama. Thermal fogging ini secara
psikologi lebih dapat diterima oleh karena asapnya yang lebih nampak.
Jenis alat nya yang paling sering digunakan adalah portabel dan mist
blower. Sedangkan yang terangkai dengan kendaraan, penggunaannya
hanya terbatas pada jalan-jalan umum. Meskipun thermal fogging
menghasilkan asap yang lebih tebal dan jelas, tapi secara epidemiolgy
kurang efektif dan biayanya lebih mahal dari ULV.
Keuntungan thermal fogging:
 Formulasi semprotannya mengandung bahan aktif insektisida yang
lebih sedikit sehingga mengurangi ekspos ke operator.
 Asapnya lebih nampak.
Adapun kerugiannya:
 Formulasinya terdiri dari lebih banyak zat pelarut sehingga biaya lebih
mahal.
 Asap yang tebal akan mengganggu pandangan dan mengganggu lalu
lintas.
 Pembakaran banyak zat pelarut bukanlah ramah lingkungan.
 Berisiko tinggi terjadinya kebakaran oleh karena mesin beroperasi
dalam temperatur yang sangat tinggi.
c. Indikasi Fogging
Wabah dengue atau DHF
Fogging dipilih hanya untuk pengendalian wabah yang ditimbang
sangat diperlukan. Fogging pyranthrum di dalam ruangan hendaknya
dilaksanakan sekali dua minggu dengan maksimum 3 putaran. Bila
memngkinkan, fogging dilaksanakan pada kepadatan nyamuk yang tinggi
dan untuk kejadian yang bersamaan dari beberapa kasus pada suatu area.

20

Harus digunakan alat yang tepat. Alat yang portabel lebih efektif
dan lebih murah daripada yang tergabung dengan kendaraan. Ketika
sedang membatasi area target, diperlukan identifikasi pusat wabah melalui
investigasi yang tepat dengan tetap mempertimbangkan waktu kebiasaan
menggigit dari vektor.
d. Area Target
Sangat penting untuk mempersiapkan dengan layak sebuah peta area target
yang akurat dan lengkap. Sebuah peta seharusnya mengidentifikasi:


Jalan, struktur bangunan, batas dari area yang diproteksi, tempat bertelur
dsb.



Dimana adanya kondisi yang baik bagi vektor untuk bertelur seperti
kumpulan air, tumbuhan air dll.

2.5 Prosedur tetap (Protap)penanggulangan DBD fogging
 Tahapan kegatan fogging fokus adalah sebagai berkut :
1. Setelah hasil PE dinyatakan positip dan disetujui oleh Dinas Kesehatan
untuk diadakan fogging fokus, maka Puskesmas segera membuat daftar
KK/rumah yang akan dilakukan fogging (radius 200 meter dari rumah
pendderita)
2. Puskesmas segera mengajukan usulan dana dan kebutuhan insektisida
ke Dinas Kesehatan
3. Satu hari sebelum pelaksanaan fogging Puskesmas mengadakan siaran
keliling/ledang di Wilayah yang akan difogging fokus dan masyarakat
diharapkan dapat melaksanakan kegiatan PSN
4. Isi atau pesan dari siaran keliling adalah mengenai penyakit DBD dan
cara pencegahannya serta hal-hal yang harus dilakukan oleh masyarakat
sebelum pelaksanaan, pelaksanaan dan setelah fogging.
5. Kemudian diadakan pelaksanaan fogging seluas radius 200 meter di
sekitar rumah penderita DBD yang dilakukan oleh petugas Puskesmas
dan petugas harian lepas sebagai penyemprot, pada waktu pelaksanaan
dimohon juga perangkat desa untuk mendamping petugas.

21

6. Segera

setelah

pelaksanaan

penanggulangan

fokus,

Puskesmas

melaporkan kegiatannya dan menyelesaikan SPJnya untuk di setor ke
Dinas Kesehatan.

 Tahapan kegiatan fogging mandiri adalah sebagai berikut :
1. Desa yang akan melaksanakan fogging harus berkoordinasi dengan
Camat dan Kepala Puskesmas setempat, yang dibuktikan dengan
adanya surat pemberitahuan fogging mandiri.
2. Selanjutnya pemerintah desa bisa bekerja sama dengan puskesmas
mengadakan siaran keliling/ledang di Wilayah yang akan diadakan
fogging.
3. Isi atau pesan dari siaran keliling adalah mengenai penyakit DBD dan
cara pencegahannya serta hal-hal yang harus dilakukan oleh masyarakat
sebelumnya pelaksanaan, pelaksanaan dan setelah pelaksanaan fogging.
4. Minimal 1 (satu) hari sebelumnya dilaksanakan fogging, desa atau
wilayah yang akan di fogging harus dilakukan kegatan PSN;
5. Kemudian diadakan pelaksanaan fogging mandiri, pada waktu
pelaksanaan dimohon juga perangkat desa untuk mendampingi petugas.
6. Kegiatan fogging mandiri harus mendapat pengawasan dari Camat dan
Kepala Puskesmas.
7. Segera setelah pelaksanaa fogging mandiri, desa dimohon melaporkan
kegiatannya ke Puskesmas dan Dinas Kesehatan.
Pada umumnya program pemberantasan penyakit DBD belum berhasil,
terutama karena masih tergantung pada penyemprotan dengan insektisida
untuk

membunuh

nyamuk

dewasa.

Penyemprotan

membutuhkan

pengoperasian khusus, membutuhkan biaya cukup tinggi, dan detail teknis
yang harus dikuasai pelaksana program. Berikut beberapa informasi yang
perlu diketahui tentang pemberantasan vektor DBD secara kimia, khususnya
melalui metode fogging.

22

Menurut Iskandar (1985), pemberantasan vektor dengan mesin fogging
merupakan metode penyemprotan udara berbentuk asap yang dilakukan untuk
mencegah penyakit DBD. Pelaksanaannya dilakukan pada rumah penderita
dan lokasi sekitarnya serta tempat-tempat umum. Tujuan pelaksanaan fogging
adalah untuk membunuh sebagian besar vektor yang infektif dengan cepat
(knock down effect). Disamping memutus rantai penularan dan menekan
kepadatan vektor sampai pembawa virus tumbuh sendiri sehingga tidak
merupakan reservoir yang aktif lagi.
Sementara menurut Depkes RI (2007), kegiatan pengendalian vektor
dengan

pengasapan

atau

fogging

fokus

dilakukan

di

rumah

penderita/tersangka DBD dan lokasi sekitarnya yang diperkirakan menjadi
sumber penularan. Fogging (pengabutan dengan insektisida) dilakukan bila
hasil PE positif, yaitu ditemukan penderita/tersangka DBD lainnya atau
ditemukan tiga atau lebih penderita panas tanpa sebab dan ditemukan jentik >
5 %. Fogging dilaksanakan dalam radius 200 meter dan dilakukan dua siklus
dengan interval + 1 minggu.
Sedangkan prosedur dan tata laksana pelaksanaan pengasapan atau
fogging antara lain sebagai berikut :


Sebagai langkah awal pengasapan/fogging dalam suatu area tertentu,
dengan membuat gambaran atau memetakan area yang disemprot. Area
yang tercakup sedikitnya berjarak 200 meter di dalam radius rumah yang
terindikasi sebagai lokasi dengue. Kemudian dilakukan peringatan kepada
warga terlebih dahulu untuk keluar ruamh dengan terlebih dahulu menutup
makanan atau mengeluarkan piaraan.



Berbagai bahan insektisida yang dipergunakan dalam pelaksanaan
operasional fogging fokus adalah golongan sintentik piretroit dengan dosis
penggunaan 100 ml/Ha. Semaentara perbandingan campuran 100 ml : 10
liter solar.



Sasaran fogging adalah semua ruangan baik dalam bangunan rumah
maupun di luar bangunan (halaman/pekarangan), karena obyek sasaran
adalah nyamuk yang terbang. Sifat kerja dari fogging adalah knock down

23

effect yang artinya setelah nyamuk kontak dengan partikel (droplet)
isektisida diharapkan mati setelah 24 jam.


Terdapat dua macam peralatan yang digunakan untuk pengasapan atau
fogging antara lain mesin fog dan ULV (Ultra Low Volume). Mesin fog
dipergunakan untuk keperluan operasional fogging dari rumah ke rumah
(door to door operation). Untuk keperluan ini dipergunakan swing fog
machine SN 11, KeRF fog machine, pulls fog dan dina fog. Beberapa jenis
peralatan ini mempunyai prinsip kerja yang sama yakni menghasilkan fog
(kabut) racun serangga sebagai hasil kerja semburan gas pembakaran yang
memecah larutan racun serangga (bahan kimia yang digunakan), menjadi
droplet yang sangat halus dan berwujud sebagai fog. Rata-rata alokasi
waktu yang diperlukan dengan penggunaan peralatan ini adalah 2-3 menit
untuk setiap rumah dan halamannya. Sementara Ultra Low Volume (ULV)
menghasilkan cold fog. hasil ini didaptkan dengan mekanisme terjadinya
tekanan mekanik biasa terhadap racun serangga melewati system nozzle.
Dengan alat ini droplet racun serangga yang dihasilkan jauh lebih halus
daripada fog biasa. ULV sangat cocok dipergunakan pada area out door
atau luar ruangan.



Menurut Depkes RI (2005), untuk membatasi penularan virus dengue
dilakukan dua siklus pengasapan atau penyemprotan, dengan interval satu
minggu. Penentuan siklus ini dengan asumsi, bahwa pada penyemprotan
siklus pertama semua nyamuk yang mengandung virus dengue atau
nyamuk infektif, dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Kemudian akan
segera diikuti dengan munculnya nyamuk baru yang akan mengisap darah
penderita viremia yang masih ada yang berpotensi menimbulkan
terjadinya penularan kembali, sehingga perlu dilakukan penyemprotan
siklus kedua. Penyemprotan yang kedua dilakukan satu minggu sesudah
penyemprotan yang pertama, agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan
terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Sedangkan persyaratan waktu penyemprotan menurut WHO (2003)
sebagai berikut :

24

Kondisi yang
Paling baik
Pagi hari
(06.30-08.30)

Waktu

Kondisi

rata-rata
tidak baik
Pagi sampai tengah Pertengahan pagi
Hari/sore hari,awal sampai
malam hari

pertengahan sore hari

0-3 km/jam

Medium sampai
kuat, diatas 13 km/jam

Kecepatan
Angin

Tetap
(3-13 km/jam)

Hujan

Tidak ada hujan Gerimis kecil

Suhu udara Dingin

Kondisi yang

Sedang

Hujan lebat
Panas

Dalam pelaksanaannya, kegiatan fogging dilakukan minimal oleh
dua orang petugas, dengan perhitungan setiap hari dapat menyelesaikan
30-40 rumah (1-1,5 Ha).
Hal-hal yang perlu dperhatikan dalam pengasapan/fogging fokus
dan mandiri;
I. Syarat dilakukan pengasapan
Apabila ada penderita DBD dan disertai :
a. Ada penderita DBD lain di lokasi penderita (20 rumah sekitar
penderita) atau
b. Ada penderita panas tanpa sebab jelas sebanyak >=3 orang dan ada
jentik
II. Persiapan sebelum pengasapan
1. Satu hari sebelumnya pelaksanaan fogging diharapkan ada
kegiatan PSN dan penyuluhan keliling/ledang di Wilayah yang
akan di fogging
2. Pada

hari

pelaksanaan

sebelumnya

fogging

dilaksanakan,

hendaknya semua tempat penampungan air dikosongkan
3. Tenaga fogging adalah tenaga terlatih dan memakai APD saat
pelaksanaan fogging dan data surat perintah kerja/surat tugas dari
kepala puskesmas setempat.
4. Mesin yang dipakai berstandar SNI atau WHO
5. Insektisida

yang

digunakan

Kementerian Pertanian

25

terdaftar

di

Kemenkes

atau

6. Buat larutan insektisida sesuai terdaftar di Kemenkes dan
Kementerian pertanian
7. Koordinasi dengan pihak desa/Kepala Desa agar warga juga ikut
berpartisipasi dalam kegiatan fogging dengan menunjuk salah satu
pamong/perangkat atau warga sebagai pendamping petugas
fogging.
8. Pendamping tersebut mempunyai tugas memastikan bahwa rumah
yang akan difogging:
a. Semua makanan dan minuman harus disimpan di tempat yang
tertutup rapat (misal : almari dll)
b. Kompor dan lampu (berbahan bakar minyak) yang menyala
harus dimatikan.
c. Bahan yang mudah terbakar (premium dn lain-lain) hendaknya
diamankan.
d. Binatang piaraan seperti : burung, ayam, kucing, anjing,
hendaknya dikeluarkan dari rumah. Untuk ikan/aquarium bisa
ditutup rapat.
e. Mainan anak-anak hendaknya disimpan ditempan di tempat
yang aman dari percikan/semprotan pengasapan.
f. Kasur, bantal, seprei hendaknya dilipat.
g. Piring, gelas, sendok, dll. Hendaknya ditutup dengan koran atau
penutup lain
h. Semua jendela ditutup, sedangkan pintu dibuka.
III. Selama Pengasapan/Fogging
1. Semua penghuni hendaknya di luar rumah
2. Semua penghuni tidak diperkenakan mengikuti petugas pengasap
atau keluar masuk rumah
3. Operasional pengasapan/fogging;
a. Sasaran fogging; rumah/bangunan dan halaman/perkarangan
sekitarnya
b. Waktu operasional; pagi hari atau sore (Ae Aegypti) dan malam
hari (Anopheles atau culex)

26

c. Kecepatan gerak fogging; seperti orang berjalan biasa (2-3
km/jam)
d. Temperatur/suhu udara ideal; 18 oC, Maksimal 28 oC
e. Fogging di dalam rumah; dimulai dari ruangan yang paling
belakang, jendela dan pintu kecuali pintu depan untuk keluar
masuk petugas.
f. Untuk rumah dua lantai atau lebih, fogging dimula dari lantai
atas
g. Fogging diluar rumah; tabung pengasap harus searah dengan
arah angin, dan petugas berjalan mundur.
IV. Selesai pengasapan/fogging
1. Menutup pintu depan setelah selesai pengasapan (bila petugas
pengasapan belum sempat menutup)
2. Menununggu sampai +/- 1 jam setelah penyemprotan selesai atau
asap fogging sudah habis, penghuni rumah diperbolehkan masuk
rumah.
3. Menyapu/membersihkan lantai terutama apabila ada binatang
kecil/serangga yang mati agar dikubur di tanah atau dibuang di
tempat sampah yang aman dari jangkauan binatang piaraan.
4. Membersihkan/mengepel lantai dan kotoran bekas penyemprotan
agar penghuni rumah terhindar dari keracunan.
5. Bila ada makanan/minuman, air minum yang terkena semprot
harus dibuang di tempat yang aman dari jangkauan binatang
piaraan
6. Air di kamar mandi bila terkena obat semprot hendaknya dibuang /
dikuras.
2.6 Peralatan perlindungan diri terhadap fogging
Cara mengatasi/mencegah terjangkitnya penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) yang paling penting adalah menanamkan pengetahuan kepada
masyarakat, agar masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat, yaitu
menjaga kebersihan lingkungan yang dapat menjadi sarang dan tempat

27

berkembangbiaknya vektor penyakit termasuk nyamuk Aedes aegypti. Hal ini
dilakukan untuk memutus rantai penularan penyakit, yaitu memutus mata
rantai perkembangbiakan jentik nyamuk menjadi nyamuk dewasa.
Berikut beberapa Peralatan Perlindungan Diri pada petugas/pelaksana
pengendalian vektor sesuai Permenkes 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor. Peralatan perlindungan diri yang harus digunakan oleh
petugas/ pelaksana pengendalian vektor sesuai dengan jenis pekerjaannya
harus mengacu pada kriteria klasifikasi pestisida berdasarkan bentuk fisik,
jalan masuk kedalam tubuh dan daya racunnya, maka harus dipilih
perlengkapan pelindung diri seperti tertera pada Tabel berikut;

Keterangan:
1 Sepatu boot, 2 Sepatu kanvas, 3 Baju terusan lengan panjang dan celana
panjang (coverall), 4 Topi, 5 Sarung tangan, 6 Apron/celemek, 7 pelindung
muka, dan 8 Masker.
+ = harus digunakan, - = tidak perlu, * = bila tidak menggunakan pelindung
muka, ** : bila tidak memakai sepatu boot. (KEPMENKES RI,No.
1350/Menkes/SK/XII/2001, Tentang Pestisida, 11 Desember 2001)

28

Perlengkapan pelindung dikelompokkan menjadi 4 tingkat berdasarkan
kemampuannya untuk melindungi penjamah dari pestisida, yaitu :
1. Highly-Chemical Resistance: digunakan tidak lebih dari 8 jam kerja, dan
harus dibersihkan dan dicuci setiap selesai bekerja.
2. Moderate-Chemical Resistance: digunakan selama 1-2 jam kerja. dan
harus dibersihkan atau diganti apabila waktu pemakaiannya habis.
3. Slightly-Chemical Resistance: dipakai tidak lebih dari 10 menit.
4. Non-Chemical Resistance: tidak dapat memberikan perlindungan terhadap
pemaparan tidak dianjurkan untuk dipakai.
Baju terusan berlengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki
dan sepatu dapat berupa seragam kerja biasa yang terbuat dari bahan katun
apabila menggunakan pestisida klasifikasi II atau III. Apabila menggunakan
pestisida klasifikasi 1.a dan 1.b maka dianjurkan memakai baju terusan yang
dapat menutup seluruh badan dari pangkal lengan hingga pergelangan kaki
dan leher, dengan sesedikit mungkin adanya bukaan, jahitan atau kantong
yang dapat menahan pestisida. Baju terusan tersebut (coverall) dipakai diatas
seragam kerja diatas dan pakaian dalam.
Kaca mata yang menutup bagian depan dan samping mata atau
googles dianjurkan untuk menuang atau mencampur pestisida konsentrat atau
pada kategori 1.a dan 1.b. Apabila ada kemungkinan untuk mengenai muka
maka faceshield sangat dianjurkan untuk dipakai.
Perlu

juga

untuk

menyediakan

peralatan

dan

bahan

untuk

menanggulangi tumpahan/ceceran pestisida, antara lain : kain majun, pasir /
serbuk gergaji, sekop dan kaleng/kantong plastik penampung.
Kotak P3K berisi obat-obatan, kartu emergency plan yang memuat
daftar telepon penting, alamat dan nama yg di dapat dihubungi untuk
meminta pertolongan dalam keadaan darurat / keracunan. Misalnya Pusat
Keracunan (Poison center), ambulans, rumah sakit terdekat dengan lokasi
kerja, polisi, pemadam kebakaran. Penyediaan pemadam kebakaran portable
juga dianjurkan apabila bekerja dengan mesin semprot yang dapat
menimbulkan bahaya kebakaran.

29

Bahan yang digunakan dalam upaya pengendalian vektor berupa
insektisida, baik sasaran terhadap nyamuk vektor dewasa maupun terhadap
larva/jentik nyamuk, sebagai berikut :
1. Insektisida yang digunakan untuk penyemprotan residual dalam program
pengendalian malaria adalah Bendiocarb 80 %, Lamdacyhalothrine 10 %,
Etofenprox 20 %, Bifenthrine 10 %, Alfacypermethrine 5 % dan
Deltamethrin 5 %
2. Insektisida yang dicelupkan pada kelambu dan kelambu berinsektisida
(LLINs = Long Lasting Insecticidal dan Permethrine) dalam program
pengendalian malaria adalah Deltamethrine dan Permethrine
3.

Insektisida yang digunakan untuk mengendalikan larva/jentik nyamuk
vektor malaria adalah Pyriproxyfen, S-Metoprene, Bacillus thuringiensis
sub sp israelensis

4. Insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor Demam
5. Berdarah Dengue adalah Malathion, Metil pyrimifos, Cypermetrin,
Alfacypermetrin
6. Insektisida yang digunakan untuk mengendalikan larva/jentik nyamuk
vektor Demam Berdarah Dengue adalah Temephos, Pyriproxyfen, Bacillus
thuringiensis sub sp israelensis.
2.7 Penyelidikan KLB pada keracunan pestisida di Indonesia
2.7.1 Langkah-langkah Investigasi KLB Keracunan
1. Persiapan lapangan
Penyelidikan KLB dikerjakan secepat mungkin karena diharapkan
dalam 24 jam pertama sudah adanya informasi mengenai kejadian
tersebut.
Persiapan lapangan meliputi :
a. Pemantapan (konfirmasi) Informasi.
b. Pembuatan rencana kerja penyelidikan, minimal berisikan :
- Tujuan penyelidikan KLB meliputi mamastikan diagnosis penyakit,
menetapkan

KLB,

menentukan

mengetahui keadaan penyebab KLB.

30

sumber

dan

cara

penularan,

- Definisi kasus awal, merupakan arahan pada pencarian kasus
- Hipotesis awal mengenai agent penyebab penyakit, cara dan sumber
penularan
- Macam dan sumber data yang diperlukan
- Startegi penemuan kasus
- Sarana dan tenaga yang diperlukan
c. Pertemuan dengan pejabat setempat untuk membicarakan rencana dan
pelaksanaan penyelidikan KLB, kelengkapan sarana dan tenaga di
daerah serta memperoleh ijin dan pengamanan.
2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB
Kejadian keracunan pestisida dapat di suatu kelompok masayrakat yang
dapat menyebabkan kesakitan ataupun kematian dapat di tetapkan suatu
kejadian luar biasa.
3. Memastikan diagnosis etiologis
Laporan tentang adanya peristiwa keracunan pestisida dapat berasal dari
berbagai sumber. Seriap laporan dari manapun datangnya hendaknya di
cek kebenarannya dan dicoba untuk menegakan diagnosa dengan
anamnesa yang baik, bila mungkin disesuaikan gejala, hasil pemeriksaan
laboratorium dan masa Inkubasi
Penetapan etiologi KLB keracunan dapat dilakukan berdasarkan 4
langkah kegiatan yaitu :
a) Wawancara dan pemeriksaan fisik terhadap kasus-kasus yang
dicurigai
Pada saat berada di lapangan, dilakukan wawancara dan
pemeriksaan pada penderita yang berobat ke unit pelayanan. Dari
hasil pemeriksaan ini dapat diperkirakan gejala dan tanda penyakit
yang paling menonjol diantara penderita yang berobat dan kemudian
dapat ditetapkan diagnosis banding awal.
b) Distribusi gejala-tanda kasus-kasus yang dicurigai
Wawancara kemudian dapat dilakukan pada kasus-kasus yang
lebih luas dan sistematis terhadap semua gejala yang diharapkan
muncul pada penyakit keracunan yang termasuk dalam diagnosis

31

banding. Dari seluruh gejala tersebut di atas disusun sebuah daftar
pertany