Jika Tuhan Bersama Kita Siapa Lagi yan

Jika Tuhan Bersama Kita - Siapa Lagi yang Mampu Menghalangi Kita?
Sekelumit Kisah di Balik Program Desaku Menanti
Arif Rohman
Charles Sturt University
School of Humanities and Social Sciences

Gang Tongkang Kramat Senen

Hari ini saya gembira bukan main. Iseng-iseng buka internet tentang gelandangan di perkotaan,
saya menemukan banyak berita dan artikel tentang Program Desaku Menanti. Angan saya
langsung terbang ke tahun 2009, ketika Bapak Salim Segaff Al Jufrie dilantik menjadi Menteri
Sosial Republik Indonesia oleh Bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang waktu itu menjabat
sebagai Presiden RI. Waktu itu memang banyak orang yang terkaget-kaget karena dalam 100
hari pertama kinerjanya Pak Menteri Sosial mentargetkan Indonesia bebas gelandangan,
pengemis dan anak jalanan dalam tempo 3 bulan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat masalah
gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah masalah sosial yang notabene inti kemiskinan
di perkotaan dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika memberdayakan orang
miskin aja susahnya setengah mati, lalu bagaimana dengan gelandangan yang disebut
kelompok termiskin dari orang miskin yang hidup di kota.

1


Saya mulai menekuni masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan sejak sekolah di
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Waktu itu, saya diajak teman saya untuk
ikut seleksi jadi relawan di Yayasan Ar Rufi’ yang menangani anak jalanan di bandung. Nama
teman saya itu kalau gak salah Natsir Sinambela dan Adi Apriyan. Saya waktu itu ogah-ogahan
karena sebenarnya gak punya ongkos buat naik angkot ke Riung Bandung yang jaraknya
lumayan jauh dari Dago. Tapi karena saya dibayarin, ya akhirnya ikutan. Uniknya, dua teman
saya ini justru gak diterima, yang diterima justru saya.
Pada waktu itu yang nge-test saya adalah Kang Cahyo. Senior saya ini orangnya keren, tampan
dan elegan. Tapi saya gak tahu sekarang orangnya ada dimana. Sudah putus kontak/hubungan
sejak saya merantau ke Senen, Jakarta. Pas di-test saya ditanya kalau diterima saya akan
melakukan apa untuk Ar Rufi’ dan anak jalanan di Bandung? Saya jawab, ya namanya mahasiswa
ya belum berpengalaman, tapi secara konseptual masih seger. Jadi ya saya akan coba praktik
ilmu pekerjaan sosial dari mulai engagement, intake, contract, needs assesment, intervention
dan monitoring and evaluation (sampai apal banget saya waktu itu). Kang Cahyo ini langsung
senyum-senyum misterius dan bikin deg-degan. Ehhh tahu-tahu saya diterima. Pas itulah saya
kenal dan mulai akrab dengan Teh Herti Fendiana. Teh Herti inilah yang nanti mengajarkan saya
bagaimana mengetik pakai komputer. Katanya saya harus bisa ngetik pakai computer karena
penting untuk bikin skripsi atau karya ilmiah (padahal waktu itu masih banyak yang pakai mesin
ketik). Teh Herti ini orangnya memang luar biasa, karena isi pembicaraannya tak jauh dari Al

Qur’an, Hadits, dan bagaimana menjadi muslim yang baik (ilmunya sudah tinggi banget
memang), plus bagaimana menjadi wanita yang mandiri. Oh ya, eman saya si Natsir Sinambela
itu akhirnya sekarang jadi Boss di DKT dan si Adi Apriyan jadi pegawai di Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Balik Papan.
Yayasan Ar Rufi’ menurut saya organisasi sosial yang keren abis, karena idealismenya yang luar
biasa. Hampir semua pengurusnya adalah alumni Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Ihsan
STKS Bandung di Dago. Di sanalah saya ketemu sohib alias teman sejati namanya Wiluk. Mbak
Wiluk ini asli Malang, penampilannya apa adanya, dan kelebihannya yaitu dia suka main gitar.
Petikan gitarnya mendayu-dayu dan bisa bikin perut langsung lapar. Kehebatan yang kedua
yaitu dia itu seorang pendengar yang baik. Orangnya sabar banget dan gila banget mau
mendengarkan keluh kesah saya yang tidak jauh dari kiriman uang dari kampung yang minim
dan itu pun sering telat. Kelebihan Wiluk yang terakhir yaitu suka ngasih saya makan. Ya
maklum lah namanya juga membantu sesama mahasiswa. Tapi kalau saya makan di tempat dia
memang keseringan sih. Sebenarnya malu juga, tapi bagaimana? Daripada mati kelaparan di
dago udah jauh-jauh datang dari demak kan ironis banget. Belum lagi pasti bakalan dimuat
harian pikiran rakyat yang legend di bandung itu. Waduhhhh… Amit-amit dehhh…
Kerja di Ar Rufi’ itu memang total, sering kita lembur karena bantu-bantu bikin laporan dan
persiapan kegiatan kalau ada orang-orang atau tamu yang datang meninjau. Belum lagi kalau
harus pendampingan di Pasir Kaliki, hujan badai pun dilalui. Masak anak kecil aja pada hujanhujanan nyari uang buat bantu emaknya, kita asyik berteduh kan gak lucu. Pokoknya sering
basah kuyup dan nyampai kost-kostan langsung teler. Istilahnya baju basah kering di jalan

2

(akibatnya ya masuk angin). Lucunya (mungkin ini kritik buat pemerintah waktu itu), pas ada
program makanan tambahan, anak-anak yang kita dampingi makannya enak banget seperti
ayam, daging, minimal telor, sedangkan relawan pekerja sosial makan sama tempe dan sayur
tahu. Ironis memang. Tapi bukankah kerja jadi pekerja sosial/social worker memang utamanya
adalah keterpanggilan jiwa? Jadi ya gak masalah. Belum lagi kalau piket malam anak jalanan
pada kelahi, bawa pisau, bawa apaan itu garpu yang ditekuk untuk digenggam buat nonjok pas
kelahi. Belum lagi yang ngelem pakai aibon. Waduhhh… Pokoknya horror banget lah. Belum lagi
mereka yang berusia diatas 21 tahun ngaku anak jalanan dan nantang kelahi karena gak dapat
bantuan ini itu. Saya sampai dikerubutin mereka. Tapi akhirnya setelah saya kasih penjelasan,
kita semua malah jadi teman akrab dan saya sering diajak main ke rumahnya. Gila, sekampung
pada turun ke jalanan saking miskinnya. Oh ya, bantuan untuk anak jalanannya memang kerenkeren; seperti kursus nyetir (saya aja gak bisa), kursus bahasa inggris - saya aja sampek ngiler
lihatnya - padahal gara-gara pingin bisa bahasa inggris dibela-belain setiap sabtu minggu ke BIP
(Bandung Indah Plaza) di Gramedianya buat baca-baca buku bahasa Inggrisnya, dari itu toko
buku buka, sampai tutup friend…. Kaki pada pegal-pegal semua (berdiri soalnya). Untung lah
kuda-kuda saya lumayan kuat jadi ya dinikmati aja (ya sekali-sekali jongkok sih ngilangin pegel).
Itu adalah sedikit cerita kenapa saya mengenal dunia anak jalanan dan gelandangan serta
pengemis di Bandung. Yayasan Ar Rufi’ sendiri entah kenapa, entah pecah atau bubar saya
kurang tahu. Tapi yang pasti, ini lembaga tempat diri saya dibentuk dan ditempa di lapangan.

Pas saya sudah lulus kuliah tahun 2000, saya diajak dosen saya Pak Bambang Rustanto dan Ibu
Tuti Kartika ke Jakarta untuk ikut Program Ford Foundation dalam penanganan masyarakat
miskin di perkotaan di 5 wilayah DKI Jakarta. Saya kebetulan dikenalkan dengan koordinator
wilayah Bapak Nurjaman. Pak Nurjaman ini orangnya keren banget. Dia itu masih muda sudah
jadi wakil RW di Tongkang - Kembang Sepatu dan sekitarnya. Sejak berkenalan dengan pak
Nurjaman ini wawasan saya jadi terbuka. Ilmu yang saya peroleh di STKS - bangku kuliah
kayaknya gak ada apa-apanya. Pak Nurjaman ini bisa berhubungan baik – merakyat, dari
masyarakat dengan status sosial atas sampai status social paling bawah; dari orang tua sampai
anak-anak; dari laki-laki sampai perempuan. Orangnya cool dan luwes. Selama kerja disitu saya
tinggal di gudang rumahnya di gang Tongkang. Karena yah memang daerah padat ya lumrah.
Gak ada bantal gak ada kasur, prihatin banget tidur pun berbantalkan buku-buku saya. Pintu
kamar gak pernah saya kunci biar angin masuk (karena panas banget dan gak punya kipas
angin). Di Tongkaang inilah saya sering teriak-teriak baca puisi, cuman ya pernah dimarahin Ibu
Mertuanya Pak Nurjaman. Rip, eling… Eling… Nyebut… Istighfar… Waduh, beliau ini gak tahu
kalau seniman terkenal jaman sekarang dulu itu lulusan planet Senen yang kleleran dan
menggelandang di situ. Contohnya yaitu Oma Irama, sang satria bergitar. Tapi saya baru
menyadari ternyata yang ngefans dengan puisi saya lumaayan baanyak. Mereka adalah mbakmbak yang kost depan rumah yang kerjanya di Ramayana Senen. Mereka pada baik banget suka
ngasih makanan gorengan. Puncak prihatinnya tinggal di Tongkang Senen itu pas malammalam kaki saya digigit tikus sampai berdarah di kamar saya. Tikusnya gedhe banget. Cuman
saya gak marah aja, soalnya kehidupan kami gak jauh beda. Tikus-tikus itu teman pelipur lara.
Mereka juga harus survive Bukan? Ya saya maafkan aja. Hehehe… Ampun dah, pokoknya jangan

pernah ngalamin apa yang saya alamin deh. Semoga keluarga, dan anak keturunan saya dan
3

seluruh rakyat Indonesia jangan sampai mengalami yang kayak saya alamin. Meskipun saya
yakin masih banyak banget yang hidupnya sejuta lebih menderita dari saya. Contohnya Pak
karim teman saya di Aceh. Demi kuliah di IAIN beliau ini ngajar ngaji. Makan pun setiap hari
dengan ikan asin. Ikan asinnya gak dimakan tapi dibaui aja, untuk pelengkap nasi. Ikan asin
dicium pakai hidung baru nasi dimakan. Dan ikan asin itu bisa bertahan seminggu.
Yang bikin saya ingat sampai sekarang adalah bayar kost Rp 200.000,- kadang saya gak punya
uang. Lha waktu itu kalau Ibu Mertua Pak Nurjaman minta uang kost-an, biasanya Pak Nurjaman
langsung ke gudang atas dan nanya saya. Udah bayar kost belum Rip? Belum Pak… Gak punya
duit. Nah Pak Nurjaman itu langsung ngasih duit Rp 200.000,- dari dompetnya ke saya sambil
bilang, Resek lu ahh… Ini bayarin ke emak. Jangan bilang uangnya dari gw’. Ini kejadian berkalikali. Pak Nurjaman ini lah malaikat penolong saya pas merantau ke Jakarta. Kalau saya seharian
gak nongol, biasanya Pak Nurjaman langsung ke atas dan nanya ke saya, ‘Udah makan belon
lu?’ Belom Pak, gak punya duit. Langsung deh Bapak kita satu ini ngasih saya uang Rp 20.000,buat makan. Tapi kalau Pak Nurjaman juga lagi gak punya uang, biasanya saya disuruh ngutang
di warteg deket pos RW dan disuruh bilang, ‘Nanti pak wakil RW yang bayar’. Begitu lah storynya. Saya merasa Pak Nurjaman itu seperti Bapak saya sendiri. Walaupun Pak Nurjaman santai
dan lembut, tapi jangan salah, kalau lagi gak mood terus ada tukang petik/jambret habis
‘operasi’ dari jalan raya stasiun Senen, terus masuk gang tongkang dan biasanya merembes di
gang-gang sempit di gubuk-gubuk di rel kereta api, terus biasanya ilang hingga bikin nama
gang tongkang jelek, Pak Nurjaman pernah ambil celengkreng /garu/trisula panjang langsung

dilempar ke penjambret itu, tembus sampek betis kakinya. Itulah cerita heroik bapak penolong
kita satu ini. Tinggal disitu dari tahun 2000 sampai tahun 2004 membuat saya banyak tahu
tentang kehidupan gelandangan, apalagi sejak saya kenal sesepuh gelandangan senen Bapak
Indardjo. Orang yang tinggal digubuk-gubuk itu terkadang lucu, kalau bertengkar suami isteri;
sang isteri kadang ada yang lari sambil bugil dan nyobek-nyobek akte nikah (surat kawin). Dah
gitu nyesel, tapi dapet lagi surat kawin dari nikah massal, begitulah seterusnya, kadang program
nikah massal bisa jadi orang-orangnya dari tahun ke tahun ya itu itu juga — orang-orang
pemerintah mana tahu detail kayak gini? Hehehe…
Sebagai pendamping masyarakat istilah kerennya community worker atau facilitator atau
community development worker kita punya relasi yang bagus dengan tokoh masyarakat seperti
RW 03 Kramat Senen ada Pak Bambang, Ibu Tanjung dan 1 lagi saya lupa beliau adalah mantan
petinju dan keamanan di pasar RW 03. Demikian juga para tokoh masyarakat di RW 08. Selama
tinggal disitu, saya juga banyak mendapatkan teman dari Gang 21 seperti Novi Syaidah, Fiqih
Ananta Toer Syadat, dan Si Julung serta Neneng dari RW 03. Pokoknya berkesan banget deh
punya temen kayak mereka. Mereka ini bener-bener teman sejati banget. Cuma ya sayangnya,
aqua gallon di koperasi sering cepet habis karena saya minum soalnya kalau laper cukup minum
biasanya lapernya ilang lho. Ini pengalam pribadi. Hehehe…
Di Tongkang juga saya ketemu dengan DR Lea Jellinek dari Melbourne dan dia ngajarin saya
penelitian kualitatif dengan teknik wawancara air mengalir. Si Julung waktu itu jadi uji cobanya.
Gila banget interviewnya. Padahal mulanya cuman iseng. Lea nanya kamu sudah pernah lihat

4

wawancara air mengalir. Belum, kata saya. Pingin lihat? Iya. Terus dipanggil lah si Julung
diwawancarai. Si Julung ngaku sebagai musician padahal dia pengangguran. Makanya saya tahu,
sehebatnya teknik wawancara kalau kita tidak tahu betul seluk beluk kehidupan mereka seharihari aslinya, mungkin kita banyak dikibulin juga gak tahu. Apalagi Lea orang bule. Hahaha….
Saya sih diam aja lihat si julung ngarang-ngarang gak jelas gitu.
Suatu ketika, gak ada ujan gak ada angin saya pingin sekolah S2 di Universitas Indonesia (UI)
waktu itu Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP) membuka pendaftaran untuk angkatan 3.
Waktu itu saya pikir, keren juga kuliah disitu bermanfaat untuk karier ke depan. Alhamdulillah
ikut test diterima. Ehhh pusing disuruh bayar uang masuk Rp 7.500.000, - plus uang administrasi
jadi totalnya Rp 9.000.000,- uang dari mana coba? Waktu itu jurusan kesejahteraan sosial dan
kajian wanita masih 3 jutaan dan kajian amerika kalau gak salah 5 jutaan. Akhirnya pinjem sana
pinjem sini. Sedihnya, sampai ada tokoh masyarakat, Ibu-ibu yang memberikan akte tanahnya
untuk dipinjamkan ke Bank sambil air matanya menetes karena pingin lihat saya melanjutkan S2
di UI. Tentu saja saya tolak secara halus. Jadi dari sini saya baru tahu, keberhasilan seorang
fasilitator atau pendamping masyarakat itu gak harus muluk-muluk. Bisa berhubungan baik dan
diterima masyarakat itu saja sudah bagus. Selanjutnya baru mengalir…
Lha pas deadline Alhamdulillah Pak Nurjaman bantu pinjam sana-sini dan akhirnya waktu itu
hari Jum’at akhir tahun 2002, batas waktu - terakhir pembayaran, akhirnya saya bisa ke gedung
pasca sarjana UI Salemba buat nyetor uang di bank BNI, sekaligus daftar ulang. Pas jam 3 sore

tepat bank mau tutup saya leganya bukan main. Duduk di bawah pohon beringin saya lemes
banget dan sudah gak kuat ngisi form. Soalnya mental saya kena, down saya, nyaris, rasanya
seperti antara hidup-mati nyari uang segitu buat sekolah S2. Terus, saya bilang ke Pak
Nurjaman, pak tolong diisiin pak, saya gak mampu lagi ngisi, tangan sama badan saya
gemetaran semua gak kuat nulis. Dan saya pun menangis. Saya tidak malu, karena kadang
seorang super hero pun bisa menangis, dan itu bukanlah sebuah dosa. Pak Nurjaman akhirnya
ngisi, padahal beliau hanya tamatan SMA. Jadi form saya kuliah pertama S2 di KPP UI yang ngisi
adalah Pak Nurjaman. Pak Nurjaman benar-benar orang yang baik hatinya minta ampun. Kata
Pak Nurjaman, hidup di Jakarta itu yang penting nyali. Pak Nurjaman juga selalu mengingatkan
kalau besok-besok sudah kerja dan stabil secara ekonomi diusahakan beli baju yang baru.
katanya penampilan itu perlu. Masyarakat kita suka melihat dan menghargai seseorang
seringkali hanya dari penampilan. Kalau baju kumal ya gak bakalan dihargai orang.
Whatzzzz….??? Maksudnya saya kumal begitu? Keterlaluan banget Pak Nurjaman ini. Hya
dhezagggggg….!!!!
Selama kuliah, saya tinggal di Majelis Taklim di Gang 21 RW 08. Saya boleh tinggal disitu sambil ngajar bahasa inggris untuk anak-anak SD. Saya digaji semangkok Indomie dan es teh
sama Fiqih - itupun kayaknya dia dapat uang dari kakaknya (Ria Kamei). Sekarang Ria menikah
dengan orang Jepang dan tinggal di negeri Sakura. Selama kuliah prihatin banget. Pernah tidur
di pinggir jalan depan gang Tanah Tinggi depan warung Mas Cirebon seberang stasiun Senen.
Pernah makan sama-sama gelandangan walaupun sisa mereka. Gak peduli saya, yang penting
saya hidup dan bisa survive. Dan ironisnya orang disana gak ada yang tahu kalau saya kuliah di

5

S2 UI. Mereka tahunya saya kuli konveksi di pasar senen dan luntang lantung cari kerjaan di
pasar poncol. Waktu kuliah bersyukur banget ada teman dari Batak, kerja di Dinas Tata Kota DKI
namanya Bang Andor Siregar. Bang Andor ini hatinya seputih salju. Kalau iuran foto copy buku
pelajaran bisa sampai ratusan ribu semua Bang Andor yang bayarin semuanya buat saya. Pernah
hari Minggu, pernah saya gak punya uang, dia bela-belain dari rumahnya Meuruya ke kampus
Salemba cuman buat ngasih saya uang buat makan. Gila betul nih hidup. Bener kata orang, Ibu
kota lebih kejam daripada Ibu Tiri.
Karena hidup sudah terlanjur susah dan sudah kepalang tanggung. makanya untuk thesis saya
ngambil penelitian tentang gelandangan di Senen. Gak tanggung-tanggung saya langsung
minta pembimbing Professor Parsudi Suparlan, PhD dan Ibu Siti Oemijati Djajanegara, PhD.
Komplit sudah pembimbingnya, yang pertama lulusan S2-S3 dari Amerika yang kedua lulusan
S2-S3 dari Perancis. Kata orang sih dua-duanya ini manusia-manusia aneh yang susah
ngelulusin mahasiswanya - bahkan ada yang gak sampek lulus, tapi saya gak peduli. Tanggung
amat nyari dosen pembimbing. Sempat frustasi dibimbing Professor gelandangan ini saya
menghadap dan bilang tidak jadi meneliti homeless people soalnya dimarahin mulu sama
professornya sampe kenyang banget, di bilang sontoloyo lah, preman demak lah, mahasiswa
goblok lah, etc. Tapi Prof Parsudi ini ternyata ada sisi-sisi lembutnya. Beliau bilang, sebagai
seorang ilmuwan sosial itu ada dua hal yang harus dipegang. Pertam,a harus jujur. Yang kedua,

pantang menyerah. Terus beliau bilang, apakah masih lanjut dengan penelitian gelandangan?
Saya bilang, lanjut Prof! Ngomong-ngomong, waktu itu, saya adalah mahasiswa generasi 3 yang
meneliti permasalahan orang gelandangan. Yang pertama adalah Prof parsudi Suparlan sendiri
pada tahun 1960 an - generasi pertama. Yang kedua adalah Pak Haswinar Arifin, penelitian
gelandangan tahun 1980 an - generasi kedua. Dan yang terakhir adalah saya, penelitian
gelandangan tahun 2004 - generasi ketiga. Menariknya pas dibimbing Ibu Oemijati, siang saya
dikoreksi-bimbingan, malam jam 9 saya sudah menyerahkan revisi saya. Begitu terus sampai
pembantunya apal dan bosen lihat muka saya. Ibu oemi bilang, anda ini lucu, kok begitu
bersemangatnya, apakah tidak ada hari esok? Saya hanya diam tersenyum pahit, andaikan
beliau tahu kondisi saya yang prihatin banget. Saksinya itu Mbak Rani Toersilaningsih dari
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI. Itu saksi hidupnya. Hehehe…
Kalau yang bimbingan dengan Prof Parsudi justru tidak ada masalah. Beliau selalu bilang ilmu
ditemukan nanti di lapangan. Begitulah… Susahnya kuliah di UI. Tapi dikala kita lagi down, Bang
Andor selalu bilang dan menyemangati saya, JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA LAGI
YANG MAMPU MENGHALANGI KITA?Kata-kata Bang Andor inilah yang bikin saya semangat.
Dan akhirnya, story ditutup dengan manis, saya bisa mendapatkan gelar Magister Sains
Perkotaan (MSiP) dalam waktu 3 semester. Yang lucunya, pas sudah beberapa tahun, Bang
Andor ketemu dan tanya ke saya, Arif kok dulu kau bisa lulus cepat begitu sedangkan
Abang susah kali? Terus saya sambil nyengir kuda bilang, lho bukannya Abang yang ngasih
mantera ke saya. Mantera apa? Katanya. Itu lho JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA LAGI

YANG MAMPU MENGHALANGI KITA? Yah apalagi niat kita juga baik kok, gak neko-neko
untuk menuntut ilmu, bukankah Tuhan pasti bakalan kasih jalan? Bang Andor tertawa dan tak
lama kemudian dia lulus dari Kajian pengembangan Perkotaan. Selamat dan sukses buat Bang
6

Andor. Semoga Ahok mengangkat dia sebagai Kepala Dinas Sosial di Tata Kota DKI Jakarta. I
highly recommend him for sureeeeeee…..
Singkat cerita akhirnya saya lulus. Sempet ngajar sebagai dosen tamu di S2 Arsitektur UI, S2
kajian Pengembangan Perkotaan UI, ngajar metode kualitatif di Prodip IV STKS Bandung dan
Kemiskinan Perkotaan di program spesialis 1 nya STKS, terus ke Aceh ikut program Unicef
dengan Departemen Sosial RI (waktu itu namanya belum Kementerian Sosial). Kaget karena
diceritain gajinya sewaktu mendampingi anak korban tsunami gajinya Rp 900.000,- ternyata pas
disana gajinya Rp 9.000.000,-. Yah berkah buat ngirim Ibu di Kampung, kakak-kakak dan
menikah. Tuhan memang maha besar…. Jadi pingin nangis nih pas ngetik ini.
Seperti buku karangan Lea SEPERTI RODA BERPUTAR (the wheel of fortune),saya juga
diterima di Departemen Sosial RI. Kemudian karena Tuhan kasihan sama saya dan dan Tuhan
sudah bosan melihat kemalangan hidup saya, gak tahu gimana ceritanya tiba-tiba saya saya
mendapat beasiswa ADS dan melanjutkan ke University of New England – Armidale – Australia
di bidang Women’s and Gender Studies. Kemudian melanjutkan lagi ke Charles Sturt University
untuk mendalami tentang Social Work. Itulah cerita singkat saya. Lucunya, pas pamitan ke IbuIbu di Kramat Senen - kata-kata dari para Ibu-Ibu selalu tetap sama. Sudah deh jangan sekolah
lagi. Nanti ente kelaparan lagi lho, disana jauh, gak ada kita-kita. Nanti kalau kelaparan lagi
gimane? Saya hanya senyum-senyum saja pas pamitan. Satu yang saya pelajari di sini adalah
masalah seberat apapun akan terselesaikan kalau kita ngomong. Kedua, kalau niat kita tulus gak
macem-macem, pasti Tuhan akan mengabulkan permintaan kita. Ketiga, seperti kata Bang
Andor, JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA LAGI YANG MAMPU MENGHALANGI KITA?
Pengalam saya ketika tinggal menggelandang di Senen inilah yang menginspirasi saya menulis
gagasan tentang Program Desaku Menanti. Awalnya Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat
Dirjen Pelayanan dan rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, setengah bercanda mendorong
saya untuk menulis program untuk Pak Menteri sebagai wujud kontribusi. Bisa gak kamu nulis
program buat ngamanin Pak Menteri? OK saya bikin. Tapi program penanganan gelandangan
itu gak cukup 3 bulan, bisa bertahun-tahun karena harus komprehensif dan berkelanjutan, kalau
tidak mereka bakalan kembali turun ke jalan. Akhirnya saya bikin. Dalam suatu meeting waktu
itu saya diketawain orang banyak karena filosofi dan pendekatannya yang agak beda dan
waktunya yang relatif panjang. Saya bilang pendekatannya haarus multi years karena
menanganai orang gelandangan tidak mudah dan membutuhkan koordinasi dan kerjasama
yang luar biasa dari pemerintah pusat dan daerah. Tentu saja hal ini beda dengan programprogram sebelumnya yang memaksakan semua tahapan harus selesai dalam setahun – program
instan - mana kadang anggaran seringkali telat turunnya dan turun di pertengahan tahun.
Walaupun banyak diketawain waktu itu, well actually I don’t care….. Program itu saya tulis
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya, jadi tentu saja akan beda. Mereka yang
mentertawakan itu kan sebenarnya anak-anak orang kaya yang hidupnya tidak pernah
menderita. Mana tahu dia kehidupan orang susah. Seperti kata Bapak Makmur Sunusi, PhD salah
satu orang terdekat saya dan saya kagumi. Banyak program yang dibuat copy paste dan pakai
ilmu kira-kira. Baru bangun tidur langsung dapat ilham…. Hahaha…. +&^$£”£$£$$£_)*saya
7

langsung ngakak pas denger Pak Makmur ngomong seperti itu. Sayang beliau sekarang sudah
pensiun dari Kementerian Sosial. Beliau adalah orang hebat di bidang kesejahteraan sosial.
Beliau selalu mengatakan program yang baik harus research-based. Dan inilah kelemahan di
Kementeriann Sosial selama ini, antara research dan program sering gak nyambung. Itulah
sejarah asal usul Program Desaku Menanti. Untuk rinci mengenai Program Desaku Menanti
dapat di download di sini….. Download Here
Berikut adalah beberapa link berita dari Program Desaku Menanti :
Tangani Gepeng, Kemensos Kembangkan “Desaku Menanti”
Kemensos Berdayakan Gepeng Lewat Program Desaku Menanti
Kemensos Kembangkan Program Desaku Menanti Kurangi Pengemis
Program Desaku Menanti Ajak Pengemis Pulang Kampung
2015, Kemensos Luncurkan `Program Desaku Menanti`
Public Welfare, Ministry Of Social Affairs Develops Desaku Menanti Program
Gubernur DIY Relakan Sultan Ground untuk Gelandangan dan Pengemis
Keraton Yogya Sumbang Lahan untuk Gelandangan
Kampung “Desaku Menanti”
Bikin Desaku Menanti, Pakde Karwo bagikan rumah untuk 135 PMKS
Update tentang Pak Nurjaman, sekali waktu beliau ternyata sudah jadi Ketua RW 01 di Kramat
Senen selama 2-3 periode. Keren bukan? Pas malam-malam saya datang buat nongkrong di pos
RW ternyata lagi rame orang kelahi. Yah masalah muda-mudi. Mereka sama-sama dari Tegal. Di
Tegal sana kampung mereka beda dan memang suka berantem. Lha suatu ketika adik ceweknya
diajak malam mingguan sampai pulang pagi, kakaknya gak diterima langsung dipukulin tuh
cowok, keluarganya gak terima dan ribut – sentimen kampung ikut akhirnya jadi bentrokan
antar kampung Tegal di Jakarta. Mumet kan. Terus saya bilang, ada apa pak? Ini, pusing saya.
Dari tadi Maghrib gak kelar-kelar urusannya soalnya pada bawa aparat. Terus Pak Nurjaman
berdiri dan bilang, Saya kasih waktu ½ jam persoalan harus selesai. saya gak maau tahu. Sudah
gitu dia tendang itu meja sampai mumbul – mencelat beberapa tombak. Persis kayak dalam
adegan filmnya Tian Long Babu pas Xiao Feng marah dan mengeluarkan ilmu 18 Jurus Penakluk
Naga. Semua orang langsung diam dan tidak berapa lama masalah selesai dan mereka
berdamai. FYI Pak Nurjaman bahkan sempet kuliah kesejahteraan social di STISIP WIDURI tapi
tinggal Skripsi tidak dilanjutin karena anak-anaknya sudah menginjak SMA dan masuk
perguruan tinggi juga. Ya Tuhan…. Andai saya punya uang mungkin sudah saya bayari itu SPP
Pak Nurjaman di STISIP WIDURI Jakarta. Menariknya hubungan baik kami terus berlanjut bahkan
pas saya research di Kampung Kusta Sitanala beliau ini sempet-sempetnya nemanin saya naik
busway dari Senen ke Tangerang untuk nyari kost2an buat saya. O, Lord… Lucunya Pak
Nurjaman cerita kalau ada orang dari LSM atau proyek P2KP yang datang ke Gang Tongkang
atau RW 01 Kramat Senen, Pak Nurjaman selalu bilang, ‘Kenal Arip gak?’ Dia dulu disini lama.
Terus saya bilang, ‘Ya gak kenal lah Pak, emangnya saya siapa….’. Sekarang selalu terngiangngiang gaya khas omongan Pak Nurjaman. La khau la aja lah Rip… Resek lu Ahhhh…. Tuhan,
berikanlah keberkahan bagi Bapak satu ini. Amien……. Link berita tentang pak Nurjaman dapat
dilihat di sini:
8

Ratusan Bangunan Liar Jalan Thonkang Dibongkar
Warga Jalan Thongkang Senen Sadar Segera Pindah
KEBANGETAN, orang Miskin bukannye dibantu malah dibuat tontonan … ???
Pagar Pembatas Rel Kereta Yang Jebol Hingga Kini Belum Diperbaiki
Masyarakat Kurang Sadar Pemeriksaan Gratis Virus Aids
Proyek MP3KI Kucurkan Dana 2,3 Milyar Bagi Pemberdayaan Mandiri Perkotaan
Semoga cerita saya ini bermanfaat bagi kita semua. Tulisan ini hanya refleksi iseng jangan
diambil serius. Tetapi jujur, sumpah saya seneng banget program ini akhirnya berani dilaunching
tanpa malu-malu kucing lagi. Dulu saya masih ingat, katanya dananya gak ada, tapi akhirnya
setelah menunggu 4-5 tahun Program Desaku Menanti bisa terlaksana. Yah better late than
never lah… Itu kan harusnya untuk tahun 2009, yahh cuman gak laku aja waktu itu. Gak direspon
maksudnya. Saya hanya bisa mendoakan semoga program ini berjalan dengan lancar, dan tugas
semua masyarakat lah mengawasi pelaksanaan dan keberlanjutannya. Sebagai penutup saya
kutip motto kampus saya dulu di armidale. EX SAPIENTA MODUS (OUT OF WISDOM COMES
MODERATION). Salam dari mahasiswa gelandangan….. JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA
LAGI YANG MAMPU MENGHALANGI KITA?

Wagga Wagga, 3 December 2014

9