Ecolebel di tinjau dari sejarah hukum

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM

EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
RENHARD HARVE
PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014

Abstrak
Permasalah yang dibahas didalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah Ekolabel ditinjau
menurut sejarah hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan spesifikasi
penelitian deskripstif analitis. Penelitian dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang
dilakukan melalui teknik penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan sekunder yang berupa
bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum mengenai teori-teori hukum, dengan
menggunakan analisis kualiatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa begitu besarnya sumber
daya alam yang terkandung di indonesia khususnya di dalam bidang kehutanan sehingga
diperlukan peran serta pemerintah di dalam pengawasan akan penggarapan hutan, agar tidak di
eksploitasi sebesar-besarnya, sehingga peran pemerintah dalam pembetukan aturan hukum
mengenai sertifikasi akan penggunaan produk terhadap bahan baku yang mengangkut
lingkungan kehutanan, serta sejarah timbulnya Ekolabel di dunia yang dianggap penting karena
menyangkut tentang lingkungan dunia yang semakin parah akibat pemanasan dunia ( global

warming ) sehingga indonesia juga termasuk dalam kawasan hutan tropis dunia atau dengan kata
lain sebagai paru-paru dunia, yang memiliki jumlah hutan tropis yang sangat luas, oleh sebab itu
indonesia juga merasa turut andil dalam penerapan Ekolabel di indonesia.
Kata kunci : Ekolabel, Sejarah hukum

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
PENDAHULUAN

Ekolobel merupakan salah satu sarana penyampaian informasi yang akurat dan tidak
menyesatkan kepada konsumen mengenai aspek lingkungan dari suatu produk (barang dan jasa),
komponen atau kemasannya. Pemberian informasi tersebut pada umumnya bertujuan untuk
mendorong permintaan dan penawaran produk yang ramah lingkungan di pasar yang juga
mendorong perbaikan lingkungan secara berkelanjutan. Ekolabel dapat berupa simbol, label atau
pernyataan yang di terangkan pada produk atau kemasan produk, atau pada informasi produk,
buletin dan media sosial. Selain dari pada informasi yang disampaikan dapat pula lebih lengkap
dan mengandung informasi kuantitatif untuk aspek lingkungan tertentu yang terkait dengan
produk tersebut. Ekolabel dapat dibuat oleh produsen, importir, distributor, pengusaha “ retail “
atau pihak manapun yang mungkin memperoleh dari hal tersebut.
Dunia internasional mengunakan badan-badan resmi untuk menekan apabila ngera
penghasil kayu masih tidak memperhatikan masalah pelestarian, yakni dengan memboikot

penjualan kayu. Informasi kepada konsumen harus memberikan penjelasan tentang tat cara
pengambilan bahan baku, pengangkuan ke lokasi industri, proses dalam pabrik, pemakaian
produk dan proses pengolahan limbah secara keseluruhan harus ramah lingkungan atau tidak
mencemari lingkungan. Berbeda dengan pelabelan dari produk lainnya, umumnya memberi
keterangan tentang bahan yang dipakai , petunjuk cara pemaikaiannya atau sifat produknya,
misalnya sifat mudah melapuk atau aman bagi keselamatan.
Di bidang pertanian , label di berikan bila telah menunjukkan bibit dari suau hasil
pengelolaan lahan dengan beberapa kriteria, seperti tidak tercampurnya dengan bibi-bibit yang
lain, kandungan air dan daya tumbuh. Ekolabel pada dasarnya terdapat komponen yang meliputi
sertifikasi, sehingga diharapkan mempunyai akses pasar tinggi atau dapat bersaing. Meskipun
label bukan merupakan standar produk yang berhubungan dengan harga, tetapi merupakan
standar untuk dapat memasuki segmen pasar dunia karena saat ini komsumen (negara) telah
mempunyai sifat kritis terhadap pemasalahan lingkungan.1)
Ekolabel diartikan sebagai kegiatan pemberian label yang berupa simbol, atribut atau
bentuk lain terhadap suatu produk dan jasa. Label ini akan memberikan jaminan kepada
_________________________
1

Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Kanisius, Yogyakarta 2001, hal 165


JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
konsumen bahwa produk/jasa yang di konsumsi tersebut sudah melalui uji proses yang
memperhaikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan.
Secara umum, tujuan sertifikasi ekolabel dapat berupa:
1. Meningkatkan kepudulian konsumen terhadap hubungan industri dan lingkungan hidup;
2. Meningkatkan pangsa pasar/daya saing suatu produk dengan produk yang lainnya;
3. Meningkatkan kualitas lingkungan global;
4. Mempromosikan program pengelolaan lingkungan/pengelolaan hutan lestari;
5. Meningkatkan keyakinan penerimaan konsumen;
6. Menunjukkan bahwa manajemen hutan yang baik dapat melestarikan produksi, ekologi dan
sosial. 2)
Sedangkan manfaat ekolabel yaitu dapat dimanfaatkan untuk mendorong konsumen agar
memilih produk-produk yang memberikan dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan
dengan produk lainnya yang sejenis.
Penerapan ekolabel oleh para pelaku usaha dapat mendorong inovasi industri yang
berwawasan lingkungan. Selain itu, ekolabel dapat memberikan citra positif bagi “brand“ atau
“merk” produk maupun perusahaan yang memproduksi dan/atau mengedarkannya di pasar, yang
sekaligus menjadi investasi bagi peningkatan daya saing di pasar. Bagi konsumen, manfaat
penerapan ekolabel adalah konsumen dapat memperoleh informasi mengenai dampak
lingkungan bagi produk yang akan dibeli/digunakannya.

Karena kepentingan tersebut, konsumen juga memiliki kesempatan untuk berperan sera
dalam penerapan ekolabel dengan memberikan masukan dalam pemilihan kategori produk dan
kriteria ekolabel. Penyediaan ekolabel bagi konsumen juga akan meningkatkan kepedulian dan
kesadaran konsumen bahwa pengambilan keputusan dalam pemilihan produk tidak perlu hany
ditentukan oleh harga dan mutu saja, namun juga oleh faktor pertimbangan lingkungan.
Ukuran keberhasilan ekolabel dapat dilihat dari adanya perbaikan kualitas lingkungan yang dapat
dikaitkan langsung dengan produksi maupun produk yang telah mendapat ekolabel. Selain itu,

__________________________
2

Siti Latifah, Sistem Manjemen Lingkungan Untuk Menyongsong Era Rumah Lingkungan,
http://www.usulibrary.ac.id

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
tingkat peran serta dari kalangan pelaku usaha dalam menerapkan ekolabel juga menjadi indikasi
penting keberhasilan ekolabel.3)
Dalam prakteknya, secara garis besar ekolabel terdiri dari tiga tipe, tipe pertama adalah
tipe valunary, multiple criteria based practitioner programs, sedangkan tipe yang kedua adalah
tipe self declaration environmental claims dan tipe yang terakhir yaitu tipe quantified product

information label.

1. Ekolabel tipe 1
Jenis ekolabel yang banyak digunakan di dunia sampai saat ini adalah ekolabel tipe 1
yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yang independen. Kreteria pemberian ekolabel pada
umumny abersifat multi-kriteria, berdasarkan pertimbangan pada dampak lingkungan yang
terjadi sepanjang daur hidup produk. Setelah melalui proses evaluasi oleh badan pelaksana
ekolabel tipe ini, makan pemohon diberi lisensi untuk mencantumkan logo ekolabel ertentu pada
produk atau kemasan produknya. Keikutsertaan para pelaku usaha dalam penerapan ekolabel tipe
ini bersifa sukarela (voluntary). Secara umum, ekolobel tipr ini terdiri dari beberapa ahap sebagai
berikut :
1. pemilhan kategori produk dan jasa ;
2. Pengembangan dan penetapan kriteria ekolabel ;
3. Penyiapan mekanisme dan sarana sertifikasi, termasuk pengujian verifikasi dan
evaluasi serta pemberikan lisensi penggunaan logo ekolabel.

2. Ekologo tipe 2
Ekolabel tipe 2 ini merupakan pernyataan yang dibua sendiri oleh produsen/pelaku
usaha yang bersangkutan. Ekolabel tipe 2 dapat berupa simbol, label atau pernyataan yang
dicantumkan pada produk atau kemasan produk, atau pada informasi produk, buletin dan media

sosial. Contoh pernyataan atau kalim tersebut adalah : “ recyclable”, “recycled material”,
“CFC-Free”, dll.

__________________________
3

Ekolabel, http://www.penakayu.blogdrive.com

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
Keabsaan ekolabel tipe 2 ini sangat dipengaruhi oleh :
1. Metodologi evaluasi yang jelas, transparan, ilmiah dan terdokumentasi ;
2. verifikasi yang memadai.

3. Ekolabel tipe 3
Ekolabel tipe 3 berbasis pada multi-kreteria seperti pada ekolabel tipe 1, namun informasi
rinci mengenai nilai pencapaian pada masing-masing jenis kreteria disajikan secara kuantitatif
dalam tabel. Evaluasi pencapaian pada masing-masing jenis kreteria tersebutt berdasarkan pada
suatu studi kajian daur hidup produk. Dengan penyajian informasi tersebut, konsumen
diharapkan dapat membandingkan kinerja lingkungan oleh berbagai produk berdasarkan
informasi pada label dan selanjutnya memilih produk berdasarkan jenis kriteria yang dirasakan

penting oleh masing-masing konsumen. 4)

__________________________
4

Ekolabel, http:// www.menlh.go.id

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sejarah Ekolabel

Dewasa ini masalah hutan makin berkembang dengan cepat, terutama pada hutan-hutan
tropis, sehingga memerlukan kesadaran unutk memperlakukan kualitas asal dan hasil produknya.
Hasil tersebut diperlukan terutama dalam penetapan aturan sehubungan dengan lingkungan.5)
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki hutan tropik yang terluas nomor dua di
dunia, dimana yang terluas petama adalah di negara Brazil. Dewasa ini hutan tropik diisukan
sebagai paru-paru dunia yang dikaitkan dengan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global
(global warming). Pernyataan ini mengarah pada pengakuan bahwa hutan tropis, termasuk yang
dimiliki Indonesia, merupakan warisan dunia (global heritage) yang berarti pula seluruh dunia

berkewajiban melestarikannya. 6)
Sejak berlangsung berlangsungnya Konferensi Stockholm pada tahun 1972, masalah
lingkungan hidup terus berkembang menjadi isu Global dan menjadi sorotan penting bagi
negara-negara maju dan negara-negara yang sedang berkembang. Negara industri maju,
khususnya di Amerika dan Eropa semakin meningkatkan kepeduliannya terhadap kondisi
lingkungan di seluruh dunia. Sebaliknya negara-negara berkembag juga terpacu untuk terus
menerus meningkakan upaya dalam menajaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas
lingkungan di negaranya masing-masing.
Pada akhir tahun di era 80-an hingga awal-awal 90-an para penggiat lingkungan yang
tergabung

dalam

lembaga

swadaya

masyarakat

(Enviromental


non-goverment

organization/ENGO) melihat bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi
laju pengurangan luasa kawasan hutan ataupun untuk menghentikan laju reboisasi hutan sangat
minimal sekali, baik yang terjadi dikawasan hutan hujan tropik maupun sub-tropik.
Upaya boikot terhadap hasil-hasil hutan terhadap kayu tropis, nyatanya tidak membawa
hasil yang menggembirakan. Terutama, selain terhadap ketentuan WTO yang tidak
membolehkan ada penghalang perdagangan, juga karena perdagangan kayu dan hasil turunannya
__________________________
5
6

Arifin Arief, Op.cit, hal 162
Bambang Pamulardi, hukum kehutanan dan pembangunan bidang kehutanan, P.Raja Grafindo
Persada, jakarta:1995, hal 89

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
tidak dapat dihindarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Situasi ini mendorong munculnya
inisiatif untuk menggunakan sistem sertifikasi hutan (forest certification system) yang

berorientasi pasar dan bersifat sukarela.
Sebuah aliansi yang mendorong antara Bank Dunia dan WWF Internasional mengakui
potensi serifikasi hutan dalam pencapaian praktek pengelolaan hutan yang baik. Bahkan
menargetkan bahwa pada tahun 2005, dimana sebanyak 200 juta hektar hutan di dunia yang
terbagi dalam hutan tropis dan sub-tropis telah di sertifikasi.
Berdasarkan sudut pandang konsumen, sertifikasi menunjukkan kepedulian mereka
dalam penggunaan produk hijau. Dalam konteks ini, konsumen menghendaki dilakukannya
internalisasi faktor kelestarian lingkungan huidup dalam aktivitas ekonomi, mulai dari
ekstraksi/eksploitasi bahan baku, proses produksi, hingga pengemasan. Konsumen memerlukan
simbol atau semacam label yang menunjukkan bahwa produk yang dipilih telah melalui proses
produksi yang ramah dengan lingkugan. Indikasi atau simbol tersebutlah yang kemudian dikenal
dengan sebutan ekolabel (ecolabelling). Ekolabel memberikan informasi bahwa suatu standar
yang ramah dengan lingkungan elah dilaksanakan dalam proses produksi barang/jasa yang
membawa label tertentu itu.
Inisiatif yang mendorong sertifikasi pengelolaan hutan dan label ramah lingkungan untuk
produk hutan, dengan demikian, muncul sebagai bagian dari respon masyarakat dan pengelolaan
hutan secara lestari. Meski demikian, inisiatif sertifikasi hutan tetap membuka peluang pada
konsumen: apa akan memilih produk yang berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan
/lestari/baik atau tidak.
Dengan demikian, bagi para produsen, sertifikasi ekolabel hutan pada dasarnya bersifat

sukarela (valountary) dan bukan keharusan (mandatory). Oleh karena itu dapat dimaklumi jika
pangamat ekonomi berpandangan sekarang ini bahwa serifikasi hutan sebagai instrumen
ekonomi yang berbasiskan pada pasar yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan
menyediakan insentif baik bagi produsen maupun konsumen menuju penggunaan hasil huan
yang lebih bertanggung jawab.
Tuntutan konsumen tentang kelestarian hutan terutama menekankan pada fungsi ekologis
dari hutan sebagaimana tercermin pada slogan-slogan yang digunakan dalam gerakan-gerakan
(boikot, diskusi, karya tulis): eco-label, green product, green economics, green prices. Tuntutan
konsumen pada dasarnya penekanan pada pengakuan (regocnition) hak-hak meayarakat lokal.

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
Dalam hal ini tuntutan pada ekologis, inisiatif sertifikasi diberlakukan tidak terbatas terhadap
hutan-hutan alam tropis yang diusahakan oleh perusahaan swasta skala besar, melainkan juga
terhadap hutan-hutan yang dikelola atau diusahakan oleh masyarakat. Sedangkan tuntutan
tentang adanya pengakuan hak-hak masyarakat lokal diberlakukan terhadap perusahaan swasta
yang berasal dari komunitas, dan tidak diberlakukan terhadap komunitas pengelola hutan.7)
Sejalan dengan hal diatas, dunia internasional juga telah melakukan berbagai upaya
lingkungan global.
Konfrensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diselenggarakan di Stockholm
pada bulan juni 1972 adalah merupakan gambaran awal dari lahirnya kesepakatan dari negarnegra di dunia untuk melindungi lingkungan global. Konfrensi yang kemudia dikenal dengan
nama konfrensi Stockholm 1972 tersebut elah memberikan dorongan yang kuat bagi
perkembangan gerakan-gerakan di bidang lingkungan, baik dalam tingkat nasional, regional
maupun pada tinggkat internasional.
Pada ingkat internasional sejak diadakan konfrensi itu, telah lahir gerakan hijau yang
memfokuskan diri pada lingkungan hidup manusia.
Selanjutnya pada tahun 1980, Internastional Union for The conservation of Nature and
Nature Resources (IUCN), bersama-sama dengan United Nations Enviromental Programme
(UNEP) dan World Wildlife Fund (WWF) telah melahirkan kesepakatan mengenai strategis
konservasi Sumber Daya Hayati, Konvensi Perubahan Iklam, Agenda 21 dan Prinsip-prinsip
Kehutanan pada KTT Bum (United Nations Conference on Environment and development/
UNCED) pada bulan juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.8)
Sebagai bagian dari proses diatas negara-negara anggota ITTO (International ropical
imber Organization) dalam konfrensi di Bali pada bukan Mei 1990 telah menyepakati bahwa
pada tahun 2000, seluruh kayu dari hutan tropis yang diperdagangkan harus berasal dari hutan
yang dikelola secara lestari.
Dalam perkembangannya kesepakan ini kemudian dikaitkan dengan implementasi
ekolabel pada kayu tropis di negara-negara anggota ITTO, termasuk Indonesia. Berbagai inisiatif

__________________________
7
8

Muhlasin, Ekolabelling, Strategis Bisnis jitu peduli hutan, http:/www.kabarindonesia.com
Lembaga Ekolabel Indonesia, http:/www.lei.or.id

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
telah berkembang pada level internasional, nasional dan unit menajemen, melibatkan berbagai
pihak, baik produsen maupun konsumen yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan
hutan dan kehutanan.
Berbagai inisiatif internasional yang penting dalam kaitan pengelolaan hutan adalah :9)
1.

Intenational Tropical Timber Organization (ITTO): Peneapan tahun 2000 sebagai target
pengelolaan hutan lestari di tindak lanjuti dengan penerbitan seri kebijakan, antara lain : “
ITTO Guidlines For Sustainable Management Of Naural Tropical Forest “ (1991), “
Creteria for The Measuremen of Sustainable Tropical Forest management “ (1992).

2. “ Biological Diversity in Tropical Production Forest “ (1995). Keseluruhan dokumen ITTO
tersebut merupakan arahan di tingka kebijaksanaan dan panduan implementasi umum yang
diacu oleh lembaga-lembag sertifikasi yang bergerak di hutan tropis untuk mengembagkan
kreteria dan indikastor Pengelolaan Hutan Produksi Lestari ( PHPL) dalam konteks audit
internal.
3. Forest Stewardship Council (FSC) : FSC adalah lembaga swadaya Masyarakat (LSM)
independen, nirlaba dan didirikan oleh perwakilan berbagai kelompok yang mewakili
lembaga lingkungan, perdagangan kayu, profesional kehutanan, organisasi masyarakat lokal,
asosiasi kehutanan dan lembaga sertifikasi dari 25 negara. FSC tidak secara langsung
melakukan sertifikasi, tetapi merupakan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan
pronsip dan kriteria pengelolaan hutan lestari (Prinsip dan Kreteria FSC), mengakreditasikan
lembaga-lembaga sertifikasi berdasarkan prinsip-prosnip dan kreteria tersebut, dan
mendukung pembangunan standar lokal berdasarkan pronsip dan kreteria FSC.
4. Proses Montreal : Dalam proses ini dibentuk kelompok kerja untuk menyusun : “Criteria
and Indicators for The Conservation and suistanable Managemant of Temperate and Boreal
Forest”. Pada tahun 1995, proses Montreal menghasilkan kesepakatan Santiago (Santiago
Agreement) yang berisi kesepakatan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang
dikembangkan oleh kelompok kerja diatas.
5. International Standart Organization (ISO): Organisasi ini didirikan pada tahun 1947 dan
berdomisili di Geneva, Switzerland, merupakan federasi badan standarisasi nasional lebih
dari 100 negara Misi ISO adalah standarisasi barang dan jasa yang diperdagangkan secara
__________________________
9

ibid

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
internasional. Aktivitasnya mencakup bidang milik hak intelektual, pengembangan ilmmu
dan teknologi dan ekonomi. Pada akhir tahun 1990, organisasi ini mengeluarkan seri standar
ISO 9000 mengenai kualitas produk. Menindaklanjuti UNCED, ISO mengembangkan seri
standar baru yang dikenal dengan seri ISO 14000 sebagai alat ukur mengenai sistem
manajemen lingkungan . ISO membentuk komisi teknis TC 207 pada tahun 1993 untuk
mengembangkan seri ISO 14000.
Berbagai kelompok yang memperhatikan keinginan konsumen dan mengelola konsep
ekolabel yang dapat dipercaya. Dituntut agar penilaian tingkat keramahan lingkungan dari suatu
produk dilakukan dengan informasi yang akurat. Ketetapan informasi ini dianggap hanya dapat
diperoleh bila badan/lembaga penerbit sertifikat dapat secara transparan menyajikan prosuder
penilaian yang dilakukan. Banyak badan sertifikasi internasional yang telah mengembangkan
kreteria dan indikator pengelolaan hutan lestari dan secara aktif mengimplementasikan sertifikasi
PHPL.
Dan di Indonesia sendiri sudah mulai masuk Pada pertengahan tahun 1990-an, gagasan
dan inisiatif sertifikasi ekolabel merupakan salah satu (dari sedikit pilihan) kebijakan yang
memberikan "ruang" intervensi pemerintah terhadap pasar kayu global dan kebijakan pemerintah
sebagai bagian dari upaya mengembangkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. pemerintah
disini menginginkan bahwa sertifikasi ekolabel ini dapat menjadi instrumen yang efektif untuk
mendorong proses demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia , yaitu antara lain
melalui transparansi informasi kehutanan dan pelibatan masyarakat dalam proses sertifikasi itu
sendiri. Selain itu, ada pula harapan agar proses sertifikasi ekolabel ini menjadi "arena" belajar
bersama bagi para pihak yang berkepentingan (pemerintah, pemerintah, pengusaha, akademisi
dan masyarakat) untuk menemukenali apa makna "Pengelolaan Hutan Lestari" untuk Indonesia .
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada tahun 1993 muncul inisiatif pembentukan
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang diharapkan akan berperan sebagai lembaga independen
yang diharapkan bekerja secara mandiri, terbuka memiliki kredibilitas tinggi, objektif, transparan
dan demokratis. Inisiatif pembentukan lembaga independen ini menjadi penting karena
bagaimanapun kondisinya, inisiatif dari kalangan asosiasi produsen akan mengandung bias yang
cukup besar (pada awal tahun 1993 Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI mulai
memprakarsasi pembentukan tim ahli untuk menuangkan sejumlah prinsip dan kriteria ITTO

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
untuk pengelolaan hutan lestari ke dalam daftar pertanyaan untuk penilaian Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari secara internal).
Untuk mempersiapkan pembentukan LEI, pada akhir tahun 1993 dibentuk Kelompok
Kerja Ekolabel yang dipimpin oleh Prof. Emil Salim untuk membangun sistem sertifikasi (yang
terdiri dari kriteria dan indikator, prosedur, mekanisme pengambilan keputusan serta prasyarat
minimum) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) di Indonesia. Kelompok kerja (pokja)
ekolabel ini terdiri dari kalangan organisasi non pemerintah (pemerintah) dan kalangan
akademisi. Dalam proses pengembangan sistem, pokja ini melibatkan perwakilan berbagai pihak
seperti Tim Ahli APHI, Departemen Kehutanan, Badan Standarisasi Nasional (BSN), pakar
bidang-bidang ilmu terkait dari perguruan tinggi serta pemerintah. Dalam perjalanannya, pokja
ini memprioritaskan kerjanya pada dua hal ; pertama adalah persiapan sistem kelembagaan dan
yang kedua adalah mempersiapkan kriteria dan indikator untuk ekolabel yang dimulai dari
kehutanan. Pokja inilah yang menjadi embrio dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). 10)
LEI sebagai lembaga pengembang sistem untuk ekolabel, diharapkan dapat memenuhi
prinsip-prinsip :
1. Sukarela (Voluntary-based)
2. Bersifat Terbuka (transparan)
3. Partisipatif
4. Non diskriminatif
5. Dapat dipertanggung jawabkan.
Seiring dengan proses pengembangan sistem sertifikasi untuk PHPL ini, ternyata
Departemen Perdagangan pada saat itu juga mempelajari kemungkinan untuk mengembangkan
ekolabel bagi produk-produk utama ekspor Indonesia . Hal ini sejalan dengan permintaan
Kementrian Lingkungan Hidup pada saat itu kepada pokja ekolabel untuk mulai
mengembangkan sistem sertifikasi bagi produk-produk non hutan. Berdasarkan seluruh inisiatif
tersebut, ternyata ada "kesepakatan yang tidak formal" mengenai lembaga yang mengembangkan
sistem sertifikasi untuk sumberdaya alam, dimana semuanya meletakkan tanggung jawab
pengembangannya kepada LEI sebagai lembaga independen.

__________________________
10

Lembaga Ekolabel Indonesia, http://www.mutucertification.com/id/lei

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
Tanggal 6 Februari 1998, di hadapan Notaris B.R.AY. Mahyastoeti Notonagoro SH
dengan Akta No. 03 tahun 1998, Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia resmi berdiri sebagai
badan hukum. Lembaga Ekolabel Indonesia adalah lembaga yang mandiri, nirlaba dan tidak
memajukan kepentingan suatu kelompok atau golongan politik tertentu. Lembaga Ekolabel
Indonesia didirikan atas landasan komitmen tunggal yaitu pada keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup. Dan pada bulan Juni 1998, sistem sertifikasi PHPL yang dikembangkan oleh LEI
kemudian secara resmi diadopsi sebagai standar nasional indonesia.
Untuk produk yang bahan bakunya berasal dari sumber daya alam (SDA),
sertifikat ekolabel menunjukkan produk tersebut benar-benar berasal dari SDA yang dikelola
secara lestari. Jadi, kalau sebuah produk mebel (furniture) memperoleh sertifikat ekolabel, ini
berarti produsen furniture tersebut terbukti hanya menggunakan bahan kayu yang berasal dari
unit

manajemen

hutan

(UMH)

yang

dikelola

secara

lestari.

Implikasinya, seluruh mata rantai produksi furniture tersebut telah memenuhi syaratsyarat kelestarian SDA, baik pada tingkat UMH maupun tingkat distribusi kayunya. Sertifikasi
pada tingkat kedua ini disebut sertifikasi chain of custody (CoC), untuk memastikan agar seluruh
kayu yang menjadi bahan baku benar-benar berasal dari UMH bersertifikat ekolabel.
Konsep kelestarian SDA di dalam sertifikasi ekolabel mengandung tiga kriteria utama,
yaitu kelestarian produksi, ekologi, dan sosial budaya. Kriteria ini lah dijadikan indikator
Untuk hutan alam produksi di Indonesia, misalnya, ketiga kriteria di atas dijabarkan ke
dalam 57 indikator. Dalam proses sertifikasi, indikator-indikator inilah yang digunakan untuk
menilai kinerja UMH, untuk kemudian diberikan skor berdasarkan kondisi riil UMH
bersangkutan. Jadi, untuk sebuah UMH seperti perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau
Hutan Tanaman Industri (HTI), yang dinilai bukan hanya indikator-indikator ekologis saja.
Namun juga indikator-indikator kelestarian produksi, yang meliputi antara lain kelestarian
usaha. Oleh karena itu, sebuah unit manajemen yang dari cash flow (arus dana)-nya diduga akan
mengalami ”bencana finansial” seperti kredit macet, jelas tidak akan lulus sertifikasi ekolabel.
Indikator-indikator sosial-budaya juga berperan vital dalam sertifikasi ekolabel. Kalau
misalnya sebuah HPH mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, yang kemudian
menimbulkan konflik sosial antara keduanya, bisa dipastikan nilainya akan sangat buruk.
Akibatnya, HPH tersebut juga tidak lulus proses sertifikasi ekolabel. Demikian juga apabila
HPH atau HTI yang bersangkutan mengabaikan keselamatan kerja bagi pegawai, karena

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
indikator ini termasuk dalam syarat sertifikasi yang sudah tercanum didalam kriteria tersebut.
Dalam sertifikasi ekolabel, ada dua prinsip yang dipegang teguh:
1.

Sertifikasi ini bersifat sukarela, sesuai dengan kebutuhan pasar (market-based approach).
Artinya, sertifikasi ekolabel tidak boleh diwajibkan oleh pemerintah, walaupun
kelestarian

sumber daya alamnya sendiri perlu menjadi kebijakan pemerintah. Jadi,

inisiatif untuk memperoleh sertifikat ekolabel harus berasal dari unit manajemen yang
bersangkutan, sesuai dengan keinginan mereka untuk memenuhi permintaan pembeli.
2.

Proses sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang independen (independent thirdparty). Independensi ini vital karena kalau lembaga pemberi sertifikasi mempunyai
konflik kepentingan, misalnya terkait kepemilikannya dengan unit manajemen hutan atau
konsultan

kehutanan,

maka

proses

sertifikasinya

bisa

dikompromikan.

Di Indonesia, saat ini sertifikasi ekolabel baru diterapkan terhadap produk hasil hutan,
terutama kayu dan olahannya. Namun di masa mendatang, produk-produk hutan non kayu,
produk kelautan, dan berbagai hasil SDA lainnya, juga bisa diberikan sertifikat.
Indonesia (terutama sektor kehutanan) perlu segera melaksanakan sertifikasi ekolabel
dikarenakan :
1.

Tingkat kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Dengan demikian,
manajemen hutan secara lestari (sustainable forest management - SFM) harus segera
diterapkan, dan sertifikasi ekolabel merupakan sebuah alat pasar untuk mendorong SFM

2

Sertifikasi ekolabel sudah menjadi keniscayaan global di dalam perdagangan
internasional. Akibatnya, kinerja ekspor Indonesia bisa sangat terganggu kalau industri
ekspornya tidak memenuhi persyaratan ekolabel. Padahal, dan ini merupakan

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM

PENUTUP
Indonesia sekarang ini memiliki hutan tropis yang sangat luas di dunia yaitu tepatnya ke2 didunia, oleh sebab itu indonesia di sebut juga sebagai paru-paru dunia. Dan sebagai negara
yang memiliki hutan yang luas tersebut, segala kegiatan yang menyangkut tentang eksploitasi
akan hutan khususnya kayu akan berdampak besar bagi dunia, terkhusus mengenai dampak
lingkungan . karena secara tidak langsung penggunaan kayu yang besar untuk kebutuhan perabot
rumah tangga dan alat-alat yang lainya yang menggunakan kayu dari hutan tropis akan
mengakibatkan kegundulan pada hutan apalagi bila para penebang hutan tersebut tidak
melakukan penanaman kembali (reboisasi). Hal inilah yang menjadi masalah dunia juga, karena
banyak kayu dari hutan tropik di ekploitasi secara besar-besaran unuk memenuhi kebutuhan
pasar dunia akan perabot rumah tangga (furniture). Oleh sebab itu melalui konfrensi stockholm
1972 adalah merupakan gambaran awal dari lahirnya kesepakatan dari negar-negra di dunia
untuk melindungi lingkungan global.
Kemudian ketentuan WTO yang tidak membolehkan ada penghalang perdagangan, juga
karena perdagangan kayu dan hasil turunannya dan Situasi ini mendorong munculnya inisiatif
untuk menggunakan sistem sertifikasi hutan (forest certification system) yang berorientasi pasar
dan bersifat sukarela.
Sebuah aliansi yang mendorong antara Bank Dunia dan WWF Internasional mengakui
potensi serifikasi hutan dalam pencapaian praktek pengelolaan hutan yang baik. Bahkan
menargetkan bahwa pada tahun 2005, dimana sebanyak 200 juta hektar hutan di dunia yang
terbagi dalam hutan tropis dan sub-tropis telah di sertifikasi.
Dan di Indonesia sendiri sudah mulai masuk Pada pertengahan tahun 1990-an, gagasan
dan inisiatif sertifikasi ekolabel merupakan salah satu kebijakan yang memberikan "ruang"
intervensi pemerintah terhadap pasar kayu global dan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari
upaya mengembangkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. pemerintah disini menginginkan
bahwa sertifikasi ekolabel ini dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mendorong proses
demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia , yaitu antara lain melalui transparansi
informasi kehutanan dan pelibatan masyarakat dalam proses sertifikasi itu sendiri. Selain itu, ada
pula harapan agar proses sertifikasi ekolabel ini menjadi "arena" belajar bersama bagi para pihak

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM
yang berkepentingan (pemerintah, pemerintah, pengusaha, akademisi dan masyarakat) untuk
menemukenali apa makna "Pengelolaan Hutan Lestari" untuk Indonesia .
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada tahun 1993 muncul inisiatif pembentukan
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang diharapkan akan berperan sebagai lembaga independen
yang diharapkan bekerja secara mandiri, terbuka memiliki kredibilitas tinggi, objektif, transparan
dan demokratis. Inisiatif pembentukan lembaga independen ini menjadi penting karena
bagaimanapun kondisinya, inisiatif dari kalangan asosiasi produsen akan mengandung bias yang
cukup besar (pada awal tahun 1993 Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI mulai
memprakarsasi pembentukan tim ahli untuk menuangkan sejumlah prinsip dan kriteria ITTO
untuk pengelolaan hutan lestari ke dalam daftar pertanyaan untuk penilaian Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari secara internal).
Untuk mempersiapkan pembentukan LEI, pada akhir tahun 1993 dibentuk Kelompok
Kerja Ekolabel yang dipimpin oleh Prof. Emil Salim untuk membangun sistem sertifikasi (yang
terdiri dari kriteria dan indikator, prosedur, mekanisme pengambilan keputusan serta prasyarat
minimum) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) di Indonesia. Kelompok kerja (pokja)
ekolabel ini terdiri dari kalangan organisasi non pemerintah (pemerintah) dan kalangan
akademisi. Dalam proses pengembangan sistem, pokja ini melibatkan perwakilan berbagai pihak
seperti Tim Ahli APHI, Departemen Kehutanan, Badan Standarisasi Nasional (BSN), pakar
bidang-bidang ilmu terkait dari perguruan tinggi serta pemerintah. Dalam perjalanannya, pokja
ini memprioritaskan kerjanya pada dua hal ; pertama adalah persiapan sistem kelembagaan dan
yang kedua adalah mempersiapkan kriteria dan indikator untuk ekolabel yang dimulai dari
kehutanan. Pokja inilah yang menjadi embrio dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).

JURNAL HUKUM : RENHARD. HARVE. EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM

DAFTAR PUSTAKA
Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Kanisius, Yogyakarta 2001, hal 165
Bambang Pamulardi, hukum kehutanan dan pembangunan bidang kehutanan, P.Raja Grafindo
Persada, jakarta:1995, hal 89.
Muhlasin, Ekolabelling, Strategis Bisnis jitu peduli hutan, http:/www.kabarindonesia.com,
diakses pada
tanggal 2 Desember 2014.
Siti Latifah, Sistem Manjemen Lingkungan Untuk Menyongsong Era Rumah Lingkungan,
http://www.usulibrary.ac.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2014.
Ekolabel, http://www.penakayu.blogdrive.com, diakses pada tanggal 2 Desember 2014.
Ekolabel, http:// www.menlh.go.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2014.
Lembaga Ekolabel Indonesia, http://www.mutucertification.com/id/lei, diakses pada
tanggal 2 Desember 2014.