PERJALANAN PANJANG REKLAMASI JAKARTA Rek

PERJALANAN
PANJANG
REKLAMASI
JAKARTA
#ReklamasiJakarta

Menjelang pertarungan perebutan
kekuasaan DKI-1, reklamasi di pantai
utara Jakarta menjadi sorotan. Kali
ini, urusan reklamasi diangkat ke
ranah hukum. Dan, biarkan nanti
palu hakim yang berbicara meski
menarik untuk kita cermati bahwa
reklamasi memiliki sejarah panjang
di Ibu Kota. Laju reklamasi ternyata
juga seiring naik-turunnya
AP
kekuasaan.

Pesawat tempur Typhoon Angkatan
KOMPAS/HERU SRI KUMORO


Udara Inggris terbang di atas Palm
Daratan yang terbentuk oleh
Jumeirah di WIDIANTORO
Dubai,
Uni Emirat Arab, 24
KOMPAS/WISNU
KOMPAS/SYAMSUL
HADI
reklamasi di
Teluk Jakarta, Muara
KOMPAS/WISNU
WIDIANTORO
KOMPAS/RUDY
BADIL
Warga
memancing
di April
sekitar
proyek

Pantai Ancol
padaPalm
26
1972.
November
2009.
Jumeirah
Pantai Muara
Perumahan
Pantai
Baru
Indah
saat
sedang
Kapuk
di
Angke,
Jakarta
Utara,
pada

7
pembangunan
tanggul
di pesisir
Lokasi tempat
dibangunnya
Taman
adalah
pulau hasil
reklamasi
yang
direklamasi,
pinggir
pesisir
1983.
Jakarta
pada
Desember
2014.
Kawasan

ini2008.
Jakarta
Ancol,
12 November
2015.
Impian di
Jaya
Ancol.
dibentuk
mirip
pohon
palem. Di
pulau
rencananya akan dijadikan area bisnis
buatan itu akan dibangun hotel
dan permukiman.
mewah, permukiman, restoran, dan
sebagainya.

”D


ulu, Ancol adalah tempat di mana ’jin’ buang
anak. Akan tetapi, kini, Ancol menjadi kawasan di
mana orang ’bikin’ anak,” ujar Ir Ciputra, suatu

kali.
Sulit untuk tidak menyebut nama Ir Ciputra ketika kita
membicarakan reklamasi di pesisir utara Jakarta. Hampir lima
puluh tahun silam, Ciputra dan PT Pembangunan Jaya sudah
menyulap rawa-rawa bernama Ancol menjadi kawasan rekreasi
dan wisata. Sebuah kawasan yang hingga kini masih menjadi
magnet bagi warga Jakarta ataupun penduduk Indonesia lainnya.
Ancol bahkan pada akhirnya menjadi destinasi wajib bagi
penduduk Indonesia nonwarga Jakarta yang singgah di Ibu Kota
ini. Ketika ada kerabat datang dari luar Jakarta, maka kerabat
yang kebetulan bermukim di Jakarta hampir selalu diminta untuk
mengantar mereka ke Dunia Fantasi atau Sea World. Dua
destinasi itu ada di kawasan Ancol.
”Dulu kawasan Ancol juga rawa. Saudara pilih mana, Ancol
sekarang atau dulu seperti rawa-rawa?” ujar Ciputra dikutip dari

harian Kompas edisi 14 September 1992.
Rawa Ancol dengan luas 552 hektar menjadi ”matang” setelah
diuruk. Sebuah perusahaan kongsian dengan Perancis, ”Citra
Baru”, menguruk Ancol selama tiga tahun dan empat bulan.
Pengurukan akhirnya diselesaikan pada Februari 1966.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tampaknya telah
mempelajari sejarah reklamasi Jakarta. Dia paham reklamasi
Jakarta bukan sesuatu yang baru. ”Kamu kira Ancol itu hasil
beranak sendiri itu tanah?” ujar Ahok.
”Singapura, Dubai, di Belanda juga ada reklamasi. Ujung rumah
saya di Pantai Mutiara, kamu kira apa? Reklamasi!” ujar Ahok
ceplas-ceplos.

Mereklamasi Ancol di pertengahan tahun 1960-an jelas tidak
mudah. Karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta waktu itu tidak
punya dana, maka biaya investasi dibebankan kepada PT
Pembangunan Jaya. Syarat itu disanggupi Ciputra selaku Direktur
PT Pembangunan Jaya.

KOMPAS/SYAMSUL HADI


Ir Ciputra dan istri saat meninjau pembangunan Taman Impian Jaya Ancol, April 1972.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Sudjono Humardani selaku sekretaris pribadi Presiden Soeharto sedang melakukan inspeksi peninjauan
proyek real estate Ancol, 17 Desember 1972.

KOMPAS/MOCH. S HENDROWIJONO

Pemandangan pantai Jakarta Ancol di Jakarta, dilihat dari udara, pada 10 Agustus 1975.

Ciputra dari awal optimistis dengan Ancol. ”Jakarta ini adalah kota
pantai. Satu-satunya pantai yang dekat dengan permukiman
adalah Ancol. Kita dapat mengembangkan Ancol menjadi pantai
nomor satu. Itu akan menjadi pantai emas,” ujarnya.
Kisah lengkap tentang Ciputra, Ancol, dan proyek-proyek PT
Pembangunan Jaya ditulis oleh Bondan Winarno dalam buku
Tantangan Jadi Peluang. Sebuah buku yang diterbitkan PT Pustaka
Gra tipers pada 1987.

Dalam buku itu dikisahkan, dulu ketika malam tiba, jalan menuju
pantai Ancol hanya dilengkapi penerangan obor-obor bambu.
Sebelum akhirnya penerangan itu naik kelas menjadi pelita
minyak dari kaleng bekas.
Perbankan sempat tidak mau meminjamkan dana sehingga
akhirnya PT Pembangunan Jaya mendapat dana pinjaman
sebesar Rp 1,5 juta dari Yayasan Bina Ria, yayasan yang didirikan
oleh istri dari para mantan menteri.
Tahun 1975, Ancol dilengkapi Pasar Seni. Juni 1985, Dunia Fantasi
mulai dioperasikan. Pada awalnya, Ciputra ingin supaya ada
Disneyland di Jakarta, tetapi ditolak. Disneyland ternyata hanya
mau beroperasi di negara-negara maju.
Namun, Dunia Fantasi akhirnya begitu membanggakan. Dibangun
dengan modal Rp 22 miliar, jauh lebih murah daripada
pembangunan Disneyland Tokyo dengan modal 650 juta dollar
AS, yang ketika itu setara Rp 1 triliun, Dunia Fantasi menjadi salah
satu kawasan rekreasi terbesar di belahan bumi bagian selatan.
Ancol, kawasan pesisir yang dulunya hanya dihuni monyet dan
ular, akhirnya menjadi kawasan hiburan modern yang dikuasai
"bekantan" bernama Dufan.


Membangun Pantai Indah Kapuk

U

sai ”mematangkan” Ancol, Ciputra mencari mutiara
terpendam di rawa-rawa lain. Kali ini, Ciputra
bergerak ke barat menuju Penjaringan. Di sana, dia

menemukan Pantai Indah Kapuk (PIK) di sisi jalan akses
Jakarta menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Namun, kali ini tidak mudah membangun PIK. Masyarakat mulai
kritis. Mulai ada pertanyaan terkait isu-isu lingkungan pasca
reklamasi terhadap Pantai Indah Kapuk.
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup Emil Salim juga terbilang kritis. Kebetulan, Emil Salim
adalah salah satu pejabat Indonesia yang berintegritas sehingga
kata-katanya didengarkan.
Emil Salim melalui surat nomor B-655/Men.KLH./3/1992, yang
ditujukan kepada Pemda DKI Jakarta, mempersoalkan kehadiran

Mandara Permai di PIK. Kata Emil, izin diterbitkan oleh Pemda DKI
Jakarta tanpa terlebih dahulu menyurvei amdal.
Surat Emil Salim adalah satu di antara banyak perdebatan tahun
1990-1992 yang mewarnai pembangunan PIK.
Digempur dari kanan-kiri, Ciputra tetap saja bertahan. Dia pasang
badan. Kepada media, Ciputra selaku Komisaris PT Mandara
Permai, developer PIK, menjamin kekhawatiran berbagai
kalangan tentang ancaman kerusakan lingkungan.
”Jika kelak ada satu kekhawatiran ternyata terbukti, saya siap
dihadapkan ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan. Saya
pertaruhkan segalanya. Saya pertaruhkan nama baik Ciputra,
moral, atau bank guarantee. Semuanya,” kata Ciputra, saat itu
seperti dikutip Kompas, Senin 14 September 1992.

KOMPAS/M YUNIADHI AGUNG

Akibat pengurukan Teluk Jakarta, menara mercusuar yang semula berada di lautan kini berada di tengah
daratan, seperti terlihat di Muara Baru, Jakarta Utara, 25 September 2002.

KOMPAS/PRIYOMBODO


Lalu lintas kapal di Teluk Jakarta, 2014. Proyek reklamasi di Teluk Jakarta menjadi kontroversi, baik dari
sisi lingkungan, kebijakan, hingga persoalan hukum.

Sebegitu masifnya perdebatan terkait PIK, Kompas menurunkan
Tajuk Rencana pada edisi Rabu (16/9/1992). Kompas meminta
seluruh pemangku kepentingan untuk belajar dari kasus proyek
Pantai Indah Kapuk.
Kompas mengakui bahwa wajar laba menjadi motif usaha swasta,
termasuk pengembang. Bahkan, telah berkembang fase baru
bahwa pengusaha tidak hanya terdorong oleh motif laba, tetapi
juga motif untuk membuat karya monumental, meninggalkan
nama hebat, mengembangkan imajinasinya, atau membuat
sesuatu dari hal yang tandus menjadi monumental.
Namun, saling mengingatkan, saling mengawasi, dan saling
koreksi, menurut Tajuk Rencana Kompas, menjadi tanggung jawab
yang bertambah besar dan bertambah kompleks. Segala sesuatu,
termasuk reklamasi, akan menjadi lebih kredibel jika dilengkapi
informasi yang bisa menjelaskan duduknya perkara.
Apa pelajaran yang dapat ditarik dari perdebatan terkait proyek
Pantai Indah Kapuk? Bahwa segala sesuatu terkait proyek oleh
semua pihak yang terlibat dan bertanggung jawab harus
ditangani secara sungguh, secara mendalam, secara profesional,
secara bertanggung jawab. Bahwa untuk menjamin proses yang
demikian, segala informasi terkait proyek itu harus lebih
transparan.
Kita akhirnya tahu siapa yang memenangkan pertempuran itu.
Jika Anda mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dari arah timur,
pesawat kita akan terbang tepat di sisi utara dari PIK.
Rawa seluas 831 hektar telah disulap menjadi perumahan PIK.
Mandara Permai telah menyulap rawa menjadi salah satu
permukiman terkemuka di Jakarta utara. Permukiman itu begitu
tertata seperti bukan di Indonesia saja.
Dari rawa akhirnya PIK menjadi perumahan dengan nilai jual
tinggi. Di Jalan Trimaran Indah, PIK misalnya, harga jual rumah
bekas mencapai Rp 38 juta per meter persegi. Sebuah rumah
dengan luas bangunan 1.000 meter persegi dihargai Rp 30 miliar.

Jika dibandingkan, harga rumah di PIK kini sebanding dengan
harga jual rumah di Puri Indah, Kemang, Sunter, dan Cempaka
Putih. Kawasan-kawasan perumahan yang lebih dulu matang.
Harga rumah di PIK hanya diungguli oleh harga rumah di
Kebayoran Baru dan Menteng. Di dua kawasan itu, harga rumah
sulit diprediksi karena permintaan jauh lebih tinggi daripada
penawaran sehingga kini dapat menembus angka Rp 100 juta per
meter persegi.

Terseret Kejatuhan Orde Baru

K

etika Ciputra mengincar PIK, kelompok usaha
Sudono Salim ketika itu juga mengincar Pantai
Kapuknaga di Kabupaten Tangerang untuk dijadikan

Kawasan Wisata Terpadu Pantai Kapuknaga (KWTPK).
Proyek KWTPK lebih besar karena akan menguruk pesisir seluas
4.000 hektar, mengalihfungsikan 4.000 hektar tanah daratan,
bahkan mengubah sawah irigasi seluas 1.160 hektar. Kawasan di
sisi utara Bandara Internasional Soekarno-Hatta itu diproyeksikan
akan dibangun.
Namun karena di kawasan tersebut merupakan daerah irigasi,
maka ada tarik-menarik kepentingan antara pertanian dan
kawasan komersial sehingga reklamasi tidak juga dimulai.
Pengembang juga tampaknya butuh jaminan legalitas dari
pemerintah.
Sampai akhirnya, Presiden Soeharto menerbitkan Keppres
Nomor 73/1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuknaga Tangerang
dan Keppres No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Hadirnya dua keppres itu diharapkan mengakhiri pro-kontra di
Kapuknaga dan Pantura Jakarta.
Dua keppres itu seolah menjadi lampu hijau bagi reklamasi.
Keppres Nomor 25 Tahun 1995 misalnya, mengatur reklamasi
secara masif. Luas lahan hasil reklamasi direncanakan 2.700
hektar atau diproyeksikan akan ada tambahan lahan setara 14
kelurahan baru.
Mereklamasi Pantura Jakarta dengan total luas 2.700 hektar jelas
tidak mudah. Dibutuhkan lebih kurang 200 juta meter kubik tanah
dari hasil pendalaman pelabuhan lama, hasil pengerukan 13
sungai di Jakarta, dan tanah hasil penggalian jalur kereta bawah
tanah.
Dana untuk mereklamasi pesisir utara Jakarta tidak dari APBN
atau APBD, tetapi dari dana swasta. Reklamasi pantai utara
Jakarta juga dikerjakan bertahap dalam waktu 20-30 tahun.
Namun menjelang akhir tahun 1990-an, badai krisis menerjang
Indonesia sehingga para pengusaha harus mengonsolidasikan
usahanya sebelum mereklamasi Jakarta.
Rencana tinggal rencana. Presiden Soeharto mengundurkan diri
dari kursi kepresidenan. Dari Kompas edisi Kamis, 15 Oktober
1998, kita paham bahwa akhirnya pemerintahan yang baru
mencabut tiga keppres mengenai pengembangan kawasan
Jonggol, Pantai Kapuknaga, dan Pantai Utara Jakarta.

Apa alasan dari pencabutan keppres? Menteri Agraria Hasan
Basri Durin, ketika itu, mengatakan, pengaturan dengan keppres
aturan hukumnya terlampau tinggi. Dengan keppres,
dikhawatirkan terjadi penyimpangan tata ruang dan pemberian
fasilitas. ”Itu alasan utama,” katanya.
Menteri Penerangan Muhammad Yunus menambahkan,
penguasaan lahan perusahaan pengembang terlalu besar pada
tiga proyek tadi. ”Karena keppres yang mengatur, seolah-olah
yang di bawah ini, takutlah gitu,” katanya.
Meski demikian, Durin menambahkan, pencabutan keppres tidak
otomatis menghilangkan proyek yang ada. Proyek dapat terus
dijalankan jika disetujui gubernur atau pemerintah daerah.

Proyek juga harus disesuaikan dengan tata ruang, ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, serta disetujui perusahaan
pengembang yang telah ada.
Kebetulan, Pemprov DKI Jakarta berencana melanjutkan proyek
reklamasi atas 17 pulau di Teluk Jakarta. Kelanjutan reklamasi
didasarkan pada SK Gubernur DKI Jakarta No 2238 Tahun 2014.
Meski demikian, ada pihak yang bersikukuh bahwa Gubernur DKI
Jakarta melangkahi kewenangannya. Padahal, pembatalan atas
Keppres No 52 Tahun 1995 mengembalikan urusan reklamasi
Pantai Utara Jakarta kepada Pemprov DKI Jakarta.
Nah, jika reklamasi kemudian dibatalkan, atas nama
pertumbuhan bisnis, maka dapat saja justru ada kawasankawasan permukiman di Jakarta yang dicaplok oleh pengembang
properti. Bagi pengembang, uang harus terus berputar. Jadi,
siapa yang dapat menghalangi?
Di sisi selatan TPU Karet Bivak misalnya, permukiman warga yang
terbilang padat kini diakuisisi oleh pengembang-pengembang
besar. Perumahan warga di sisi barat dari Jalan Tentara Pelajar,
Jakarta Barat, juga mulai dibebaskan pengembang.
Dalam skala lebih kecil, kawasan penyangga dari Jalan TB
Simatupang perlahan demi perlahan juga mulai diakuisisi oleh
pengembang skala kecil. Pengembang itu membangun klusterkluster perumahan dengan harga jual per meter persegi mulai
menembus angka belasan juta rupiah. Penduduk asli pada
akhirnya mulai tersingkir.
Jadi, harus disadari bersama, ketika reklamasi ditunda terlalu
lama, maka dana-dana yang tadinya dialokasikan untuk
membangun pulau-pulau reklamasi dapat saja dialihkan untuk
”mengakuisisi” Kota Jakarta. Ini adalah sebuah fakta yang juga
harus disadari bersama.

Reklamasi di Negeri Seberang

U

rusan reklamasi di negeri ini selalu saja ramai. Hal
berbeda terjadi di negara-negara di seberang
lautan. Sejak dekade lalu, Uni Emirat Arab

membangun lima proyek reklamasi seluas 170 juta meter
persegi dengan nilai investasi 10 miliar dollar AS.
Lima proyek itu adalah Dubai Waterfront, Palm Jebel Ali, Palm
Jumaeirah, The World, dan Palm Deira. Palm Jebel Ali dan Jebel
Jumaeirah bahkan dikenal dan dikenang karena pulau yang
menyerupai palem dan reklamasi dengan bentuk pulau-pulau
utama di dunia.
Pada tahun 2009, investasi properti di Dubai sempat terguncang
sehingga proyek sempat terhambat. Namun, guncangan serupa
juga terjadi di belahan dunia lain, seperti di Eropa dan Amerika.
Setelah guncangan mereda, kemudian pembangunan terus
dikerjakan.
Di Singapura, reklamasi juga terus berlangsung. Seperti halnya
Jakarta, reklamasi di Singapura dimulai pada 1960-an. Luas
Singapura bahkan telah bertambah sebesar 20 persen akibat
reklamasi dari 584 kilometer persegi dan kini menjadi 714
kilometer persegi.
Ketika kita mendarat di Bandara Internasional Changi, bandara
tersebut didirikan pada lahan hasil reklamasi. Berkat konsistensi
Singapura dalam memberikan pelayanan, bandara tersebut
bahkan menjadi bandara hub di Asia Tenggara.
Terlepas dari suka atau tidak sukanya warga Jakarta dengan
reklamasi, toh ketika berlibur di Singapura, salah satu destinasi
tujuan adalah kawasan wisata Marina Bay. Kawasan itu ternyata
juga hasil reklamasi dengan luas setara 17.000 lapangan sepak
bola.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Potret Danau Marina yang diambil dari SkyPark Marina Bay Sands, Singapura. Kawasan ini merupakan
hasil reklamasi, perluasan Singapura.

WONG MAYE-E

Gambar yang diambil dari Swissotel The Stamford menunjukkan pebalap F1 pada sesi latihan GP
Singapura, 26 September 2008. Lokasi sirkuit juga dibangun di atas lahan reklamasi.

EPA/JORGE FERRARI

Foto udara pulau buatan Palm Jumeirah di Uni Emirat Arab, 21 Maret 2004.

Sejak tahun 2008, Marina Bay bahkan menjadi magnet
pertumbuhan Singapura. Tiga menara dengan ”bahtera” di lantai
57 menjadi destinasi utama. Belum lagi, kawasan Marina tiap
bulan September menggelar ajang balap Formula 1, balap mobil
paling bergengsi di muka bumi.
Singapura ternyata belum akan berhenti. Kini, Singapura sedang
mengerjakan reklamasi seluas 50 hektar untuk pembangunan
industri dan permukiman. Reklamasi itu untuk menjamin
ketersediaan lahan bagi perumahan warga Singapura untuk 20
tahun mendatang.
Di atas lahan itu direncanakan pembangunan 21.000 unit hunian
dan apartemen. Ini untuk menambah portofolio Housing and
Development Board (HDB) Singapura yang sebelumnya telah
membangun 1 juta unit hunian.

Apakah reklamasi itu hanya untuk orang kaya? Manajer
Komunikasi HDB Singapura Tay Boon Sun, dikutip dari Kompas,
Kamis (5/9/2013), menjawab, ”Tidak!” Kata Tay, Pemerintah
Singapura memberikan subsidi 40 persen dari nilai hunian bagi
masyarakat berpenghasilan rendah.
Justru pada lahan hasil reklamasi tersebut tidak hanya berdiri
apartemen mewah, tetapi juga apartemen-apartemen yang dapat
dihuni oleh kebanyakan warga Singapura.
Konsep HDB Singapura, yang memberikan subsidi untuk
pembelian hunian, ternyata pula telah mendorong persentase
kepemilikan rumah warga Singapura mencapai 87 persen.
Itulah angka kepemilikan rumah tertinggi di Asia. Hal berbeda
terjadi di Indonesia ketika lokasi-lokasi program rumah sejuta
rumah berada justru jauh dari Ibu Kota menuju kawasan
penyangga atau suburban.

Tinjau Ulang Masterplan

A

pakah tidak ada pendapat kontra terhadap reklamasi
di Singapura? Tentu ada. Namun, Pemerintah
Singapura dengan tanggap telah memberikan

jawaban atas pertanyaan ataupun keberatan dari
kelompok mana pun.
Keterbukaan juga salah satu kunci dari kondusifnya reklamasi
dan redevelopment di Singapura. Segala informasi dapat diunduh
atau dicari kanal informasinya melalui laman Urban
Redevelopment Authority.

Keterbukaan kiranya sangat penting supaya tidak ada pihak yang
merasa dikhianati atau ditipu. Supaya reklamasi juga menjadi
milik bersama, milik warga kota tidak sekadar dimonopoli oleh
pengembang.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah
Bernardus Djonoputro mengatakan, keterbukaan penting untuk
proyek besar seperti reklamasi 17 pulau. Keterbukaan bahkan
harus dimulai ibaratnya sebelum penyusunan amdal bukan saat
pengembang menjual produk dalam rencana tata ruang
(masterplan) yang sudah selesai.
”Justru keterbukaan saat amdal itu yang penting. Dalam amdal itu
ada soal sosial dan dari hasil amdal harusnya menjadi jelas di
mana posisi nelayan setelah reklamasi 17 pulau. Lokasi nelayan
tidak harus di posisi semula, tetapi tujuan dari pembangunan itu
harus jelas, yakni menyejahterakan masyarakat,” ujar Bernardus,
yang akrab dipanggil Bernie.
Bernie menegaskan, dalam pembangunan, maka masyarakat
setempat harus menjadi subyek dari pembangunan. ”Pulau hasil
reklamasi juga harus inklusif, tidak boleh hanya dikuasai oleh
pihak tertentu dan dihuni kelompok tertentu,” ujarnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Proyek pembangunan permukiman, perkantoran, dan kawasan niaga terpadu di pulau hasil reklamasi di
Teluk Jakarta, 5 Maret 2016.

KOMPAS/HARRY SUSILO

Aktivitas alat berat di Pulau G di daerah Pluit, Jakarta Utara, 18 November 2015.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pembangunan area komersial di proyek reklamasi Teluk Jakarta, 4 Februari 2016.

Kira-kira 20 hari sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menangkap anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, yang
diduga menerima suap dari pengembang reklamasi, Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mencoret draf Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis (RTRKS) Pantura Jakarta.
Basuki bermaksud memastikan tambahan kontribusi dari
pengembang sebesar 15 persen nilai jual obyek pajak dari lahan
yang boleh dijual (saleable area) yang berkisar 50-58 persen dari
total luas pulau. Itu cara Basuki untuk menyeimbangkan kaum
kaya dan nonkaya.
Tambahan kontribusi dari pengembang akan digunakan oleh
Basuki untuk membangun Jakarta. Akan ada semacam subsidi
silang bagi masyarakat yang kurang beruntung dengan dana dari
pengembang.
Dapat saja, dengan dana tambahan itu, Pemprov DKI Jakarta
membangun lebih banyak rusunawa. Basuki seolah-olah
mengambil peran sebagai ”Robin Hood” dengan menekan tuan-

tuan tanah hasil reklamasi.
Namun bagi Bernie, jelas kini—pasca operasi KPK—lebih baik
untuk meninjau ulang masterplan dari pulau-pulau hasil
reklamasi. ”Reklamasi lebih baik berhenti dulu sejenak. Tidak
mengapa, kan reklamasi juga tidak perlu terlalu buru-buru,”
ujarnya.
Bernie menyarankan penyusunan ulang masterplan 17 pulau
hasil reklamasi. Penyusunan tata ruang secara partisipatif, kata
Bernie, sangat penting untuk mencegah ”swastanisasi” terhadap
pulau-pulau hasil reklamasi.
”Lebih penting lagi supaya reklamasinya jelas daripada terus
terjadi kon ik,” ujar Bernie, tegas.

Produser
Prasetyo Eko Prihananto
Nasru Alam Aziz
Penulis
Haryo Damardono
Fotografer
Syamsul Hadi
Rudy Badil
Wisnu Widiantoro
Heru Sri Kumoro
Desainer & Pengembang
Pandu Lazuardy Patriari
Yosef Yudha Wijaya
Infogra k
Parlindungan Siregar

Dokumen yang terkait

EVALUASI MANFAAT JALAN LINGKAR SELATAN KOTA PASURUAN DITINJAU DARI SEGI PENGGUNAAN BAHAN BAKAR KENDARAAN DAN NILAI WAKTU PERJALANAN

0 28 2

PENGARUH LAMA PENUTUPAN PINTU PERLINTASAN KERETA API TERHADAP TUNDAAN DAN PANJANG ANTRIAN KENDARAAN (Studi Kasus Pada Perlintasan Kereta Api di JPL No.69 Jl. WR. Supratman, Kel. Klojen, Kec. Blimbing, Kota Malang)

24 123 19

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

0 16 13

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

0 11 13

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

HUBUNGAN ANTARA LEBAR INTERMOLAR DAN PANJANG LENGKUNG GIGI RAHANG ATAS PADA PASIEN USIA 8-10 TAHUN DI KLINIK ORTODONSIA RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT UNIVERSITAS JEMBER

0 26 17

KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUALTERHADAP STANDAR PENGOBATAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI PUSKESMAS PANJANG BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI-JUNI 2012

2 36 33

KAJIAN PERBANDINGAN METODE DAN TEKNOLOGI KONSTRUKSI PADA PEMBANGUNAN PLATFORM TANKI TIMBUN DI DERMAGA NILAM TANJUNG PERAK DENGAN SISTEM DECK ON PILEDAN REKLAMASI

5 53 36

ANALISIS MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBA- KARAN DI PUSKESMAS KECAMATAN CIPAYUNG JAKARTA TIMUR Analysis Of Management Prevention And Fight Fire At The Health Center Of Cipayung East Jakarta

0 1 9