penjualan senjata Amerika Serikat ke Tai

PENJUALANAN SENJATA AMERIKA SERIKAT KE TAIWAN
(2001-2010)

Oleh

:

AMMAR FAZRI DZULFIQAR
2013230022

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA
JAKARTA
SEPTEMBER 2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepentingan nasional Cina dalam menjaga kedaulatan dan integrasi
wilayah dan kepentingan Cina untuk meningkatkan peranan di kawasan Asia

Timur sehingga muncul sebagai pemimpin dikawasan tersebut merupakan
upaya dan strategi Cina dalam mempertahankan kedaulatan dan hegemoninya.
Sikap AS dalam menerapkan standar ganda terhadap Cina dan Taiwan
membuat pemerintah Cina merasa terabaikan oleh perjanjian dan kesepakatan
yang pernah dijalin antara Cina dan AS dalam komunike bersama tahun 1979.
Melalui penandatanganan perjanjian tersebut AS mengakui kebijakan Cina
dan menggangap Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Namun,
pada tahun 1979 AS melanggarnya dengan meratifikasi Taiwan Relation Act
sebagai langkah awal dalam memulai kerjasama penjualan senjata ke Taiwan.
Hal inilah yang membuat Cina berang terhadap AS.
Kesepakatan Taiwan Relation Act akhirnya meligitimasi Taiwan untuk
memperoleh suplai persenjataan dari Amerika Serikat melalui transaksi
perdagangan militer. Permasalahan rencana penjualan senjata mempengaruhi
Cina untuk bertindak lebih ketat lagi dengan Taiwan, hal ini didasarkan atas
kekhawatiran Cina akan kedaulatan wilayah dan proses reunifikasi yang tidak
berjalan mulus. Selain itu integrasi melalui penyatuan kembali wilayah
merupakan hal yang paling diutamakan. Hal ini dilakukan dengan
memberikan perlindungan terhadap penguatan militer agar wilayah Cina yang
terbentang dari timur hingga barat dapat secara utuh dimiliki tanpa ada
intervensi dari pihak asing. Penentangan pemerintah Cina dalam transaksi

senjata tersebut didasari oleh kekhawatiran Cina terhadap kedaulatan wilayah
dan integrasi nasional.

Jika Amerika berhasil menjual senjata ke Taiwan maka akan sulit bagi
Cina untuk memasukan Taiwan menjadi bagian wilayah teritorialnya. Selain
itu penjualan senjata akan mengganggu hubungan dan melanggar kesepakatan
tiga komunike bersama Cina- AS tahun 1972, 1978, 1983. Tantangan yang
dihadapi oleh Cina dengan ikut campurnya AS dalam penjualan senjata ke
Taiwan. Disebabkan, karena kebijakan AS dalam penjualan senjata canggih ke
Taiwan serta pemberian dukungan politik dan militer kepada kepulauan
tersebut sebagai bentuk pengakuan adanya kedaulatan independen bagi
Taiwan.

BAB II
2.1 Rumusan Masalah
1. Mengapa Amerika Serikat Menjual Senjata ke Taiwan (2001-2010) ?

BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Teori Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk
melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari
gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan
kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik
(Morgenthau, 1951).
Kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan memahami
perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk
menjelaskan perilaku luar negeri suatu Negara. Para penganut realis
menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya Negara untuk mengejar
power, dimana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan
memelihara control suatu Negara terhadap Negara lain. Kekuasaan dan
kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari
tindakan suatu Negara utnuk bertahan hidup dalam politik internasional.

Kepentingan nasional suatu Negara secara khas merupakan unsur-unsur yang
membentuk kebutuhan Negara yang paling vital seperti, pertahanan,
keamanan , militer dan kesejahteraan ekonomi. ( Agung, & Mochamad,
2005, h. 35).
Jika membahas tentang kepentingan nasional maka apa yg dilakukan
Amerika Serikat dan China adalah implementasi dari kepentingan mereka

masing masing dan tidak dapat dipungkiri bahwa kepentingan dua negara
adidaya tersebut sangatlah bertolak belakang ditambah lagi dengan perbedaan
ideologi kedua negara yang bersebrangan menambah rumit masalah yang
terjadi di Taiwan. Sebagaimana jelasnya bahwa Amerika Serikat menjalin
kesepakatan dengan Taiwan yang semata mata untuk membendung dominasi
China di Asia Timur dan tidak ingin China menjadi hegemon di wilayah Asia.

3.2 Teori Balance of Power
Balance of Power merupakan manifestasi dari konsep power (Morgenthau,
1973). Karena pada dasarnya konsep ini merupakan kata lain bentuk
equilibrium dalam sistem politik. Asumsi dasar perimbangan kekuatan adalah
bahwa perang bisa dicegah jika kekuatan (power) setiap aktor berimbang,
sehingga secara rasional peluang menang atau kalah sama besar dan mereka
memilih untuk tidak saling menyerang. Sehingga perdamaian lebih mudah
untuk dicapai, karena perdamaian tersebut secara tidak langsung muncul dari
sisi

internal

pihak


masing-masing.

Dengan

demikian,

dunia

akan

tergeneralisasi kedalam dua pihak yang memiliki power yang kurang lebih
sama sehingga mereka akan menghilangkan pertikaian mereka sendiri. Akan
tetapi konsep perdamaian yang ditawarkan bersifat memaksa, dalam artian
masing-masing pihak serta-merta melakukan perdamaian bukan dari inisiatif
sendiri, melainkan paksaan dari satu pihak ke pihak yang lain secara tidak
langsung.
Berangkat dari konsep power yang dipaparkan oleh Morgenthau bahwa
turunan dari konsep power ini sendiri adalah balance of power yang mana
jika kita lihat dari masalah yang saya angkat ini nampaknya saling berkaitan.


Amerika Serikat menjual senjata ke Taiwan bukan semata mata untuk
mencari keuntungan tetapi ada hal yang lebih besar dibanding keuntungan itu
sendiri. Hal tersebut bertujuan untuk meredam dominasi China di Asia yang
notabene China mempunyai kemampuan militer nomor dua dibelakang AS.
tentu saja hal ini mengusik Amerika Serikat yang merasa kekuatannya akan
tersaingi oleh China.

BAB IV
PEMBAHASAN
sebelum membahas permasalahan ini ada baiknya kita sedikit mengingat
sejarah apa yg menyebabkan Taiwan menjadi daerah khusus yang mempunyai
otoritas sendiri. Ada beberapa alasan mengapa Cina tetap mempertahankan
Taiwan sebagai bagian integral dari Cina; Pertama, sejak perpecahan tahun
1949, Cina belum pernah menyatakan Taiwan sebagai suatu negara merdeka
yang berdiri sendiri.Cina malah menganggap Taiwan sebagai provinsi yang
membangkang dan belum waktunya saja untuk kembali reunifikasi dengan
Cina Daratan; Kedua, Cina melihat Taiwan sebagai daerah kepulauan yang
subur dan menyimpan banyak potensi ekonomi.Sumbangan pertumbuhan
ekonomi Taiwan bagi pembangunan ekonomi Cina diperkirakan mencapai 20

persen.Sumbangan tersebut diperoleh melalui perdagangan bilateral. Dari 300
miliar dolar AS investasi langsung yang telah dimanfaatkan oleh Cina sejak
tahun 1995.
Ketegangan yang terjadi akibat perdebatan antara unifikasi Cina-Taiwan
versus independensi Taiwan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Doktrin konsensus tahun 1992 tentang One China Policy terbukti tidak
memiliki signifikansi untuk menundukkan Taiwan di bawah bendera Cina.
Apalagi seiring berkembangnya waktu, populasi di Taiwan cenderung telah
mengidentifikasi diri mereka sebagai Taiwanese, bukan Chinese. Hal ini

mengindikasikan konflik Cina-Taiwan merupakan rivalitas nasionalisme,
bukan lagi perkara kontadiksi ideologis.
Perselisihan diantara mereka tidak selesai begitu saja.Dalam politik
hubungan internasional, mereka berdua masih saja bersikap bertentangan. Di
satu sisi, Cina menganggap bahwa Taiwan adalah penghianat atau
pemberontak terhadap Pemerintah Pusat (yaitu Republik Rakyat Cina) dan
Cina masih menganggap bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayah Cina
bukannya bagian Cina yang memerdekakan diri dan berdaulat. Di lain sisi,
Taiwan menganggap bahwa dirinya telah berdiri sebagai sebuah negara yang
berdaulat yang berhak melakukan hubungan dengan negara lain sebagai

sebuah negara. Dan dapat dikatakan bahwa yang sangat mempengaruhi
peruncingan perselisihan antara Cina dan Taiwan adalah Amerika.
Hubungan mereka masih tetap belum berubah, begitu pula Amerika
sebagai pihak yang menjadi penggerak Taiwan, masih mengakui Taiwan
sebagai representasi dari Cina dan dengan Doktrin Truman nya berusaha
membendung komunis termasuk di wilayah Asia Timur. Pada saat pecah
Perang Korea 1950, untuk mengamankan Taiwan dari usaha penaklukan
komunis maka AS mengirim Pasukan ke-7 serta menghadang intervensi Cina
di dalam perang tersebut. Kemudian pada tahun 1954 Amerika dan Republik
Cina menandatangani pakta pertahanan bersama –dengan tujuan yang sama
melindungi Formosa (Taiwan) dari komunis dengan dalih menjaga
perdamaian dunia.
Pada bulan Desember 1954, AS dan pihak-pihak yang berwenang di
Taiwan mengesahkan Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual-Defense
Treaty) yang menetapkan posisi Taiwan berada dalam naungan AS. Hal ini
dinilai salah karena campur tangan AS terlalu jauh dalam konflik yang
melibatkan RRC dan mengakibatkan konflik tersebut berlangsung dalam
jangka panjang. Isu ini juga membuat ketegangan hubungan antara
Washington dan Beijing.


Semasa era Perang Dingin Republik China (Taiwan sekarang) dinilai
sebagai “Negara China yang Bebas” dan suatu bentuk penentangan terhadap
komunisme, sedangkan Republik Rakyat China disebut sebagai “China
Merah”. Republik China terus berada dibawah pemerintahan darurat seperti
yang dinyatakan didalam Undang Undang Darurat Selama Pemberontakan
Komunis dan pemerintahan satu partai hingga empat dekade (1948-1987).
Taiwan pernah dijajah oleh belanda (1642), kemduian dibebaskan oleh
Cheng Cheng-Kung pada 1662. Wilayah Taiwan yang sekarang de facto
merupakan wilayah Republik China yang pernah menjadi protektorat Jepang
setelah peperangan China-Jepang pada (1894-1895), yaitu ketika China masih
berada dibawah Dinasti Qing dari Manchuria yang berbuah kekalahan China
dan perjanjian Shimonoseki (1895) sampai berakhirnya masa Perang Dunia II
dan Taiwan diambil alih oleh pemerintahan Koumintang.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II Taiwan dikembalikan kepada China
secara de jure maupun de facto. Ketika itu koumintang dibenci oleh rakyat
dari semua etnis di seluruh negeri China karena tindakan kerasnya.
Akibatnya, pemerintahan Republik China dan Koumintang pun runtuh. Pada
1 oktober 1949 Republik Rakyat China berdiri menjadi satu satunya
pemerintah sah di China. Dan kelompok Koumintang pun dipaksa mundur ke
Taiwan. Dengan dukungan pemerintah Amerika Serikat pada saat itu, terjadi

situasi terpisah di Selat Taiwan.
Semakin bangkitnya posisi China di dunia internasional semakin membuat
khawatir dan tidak dapat dipandang sebelah mata oleh Amerika Serikat dan
sekutunya. Apalagi setelah perpecahan persekutuan China dan Uni Soviet
pada 1960an. Menyebabkan Amerika Serikat merasa perlu mendekati China
untuk mengimbangi kekuatan Uni Soviet.
Pada 1971, Amerika Serikat mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taipe
ke Beijing dan selanjutnya kursi Republik China di PBB digantikan oleh

China. Seiring dengan pengucilan Republik China oleh dunia internasional,
nasionalisme tumbuh di dalam Taiwan. Nasionalisme ini muncul karena
adanya perasaan bahwa Koumintang adalah pemerintahan dari daratan China.
Kemudia masyarakat mengusahakan perjuangan ke arah kemerdekaan Taiwan
sebagai negara yg berdaulat.
Pembukaan hubungan diplomatik dilakukan pada masa Jimmy Carter,
setelah AS menerima posisi China dalam masalah Taiwan. Namun pada masa
pemerintaha Ronald Reagen, China-AS kembali terlibat dalam masalah
Taiwan, dan pada 1982 China dengan AS menandatangani Komunike 17
Agustus yang berisi kesepakatan penyelesaian bertahap dalam masalah
penjualan senjata ke Amerika Serikat kepada Taiwan. Ketiga Komunike

tersebut antara lain Komunike Shanghai, Komunike tentang Pembukaan
Hubungan Diplomatik, dan Komunike 17 Agustus. Dalam laporan tahunan
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di 2007. China dianggap telah
meningkatkan suhu politik dan ancaman militer yang membahayakan dalam
masalah Taiwan.
Kedua, dengan penempatan jumlah peluru kendali yang diarahakn ke
Taiwan pada 2007. Namun China tidak terima dan menuduh balik Amerika
Serikatlah yang telah meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan dengna
rencana penjualan senjata dari Amerika Serikat senilai 2,2 miliyar dolar AS
berupa satu lusin pesawat patroli anti kapal selam P-3 Orion, peluru kendali
anti pesawat udara SM-2 kepada Taiwan. Dan China juga selalu menuduh AS
selalu menggunakan standar ganda dalam masalah Taiwan dan selalu
menunjukkan sikap keberpihakan ke Taiwan, seperti pernyataan Panglima
Komando Pasifik Amerika Serikat – Blair pada 2002 yang menyatakan “has
received definite order” untuk membantu pertahanan Taiwan apabila terjadi
konflik bersenjata dengan China.
Ketiga, Amerika Serikat menilai China telah meningkatkan pengembangan
senjata pemusnah massal dan pada tahun 2003 Amerika Serikat telah

menjatuhkan sanksi kepada delapan perusahaan China yang dituduh
membantu pengembangan program nuklir Iran. Pada 20 Februari 2008
malam, Amerika Serikat telah menembakkan peluru kendali SM-3 dari kapal
perang USS-J AKE ERIE dan menghancurkan satelit mata mata AS yg sudah
tidak berfungsi. Dan atas sikap yang diambil oleh AS, China menuding ada
sesuatu yang disembunyikan dibalik pernyataan bahwa satelit ini ada untuk
melindungi manusia dari bahaya.
Keempat, perselisihan dalam perdagangan bilateral dan isu isu ekonomi
lainnya. Nampaknya AS masih belum dapat menerima peran China sebagai
salah satu aktor ekonomi dunia. Berbagai tekanan dilakukan yang
ditunjukkan terhadap China bertujuan untuk menahan serbuan produk China
yang mencemaskan Amerika Serikat. Dan usaha yang dilakukan Amerika
Serikat adalah dengan menuduh China melakukan praktik dagang yang tidak
jujur serta mendesak China untuk merevaluasi kurs mata uang Yuan-nya.
Amerika Serikat juga melakukan gugatan terhadap China sebagai bentuk
tekanan ke Badan Penyelesaian Sengketa (Disputes Settlement Body) karena
China dianggap melakukan prakter dumping atau menjual barang dibawah
harga.
Kelima, rencana China untuk membangun pelabuhan di Sittwe-Myanmar
berikut jaringan pipa minyak dan gas yang sepanjang 2300km dapat
menghemat jarak pelayaran dan juga langkah strategis untuk mengamankan
jalur transportasi minyaknya. Pembangunan pipa bawah laut ini merupakan
langkah strategis karena Selat Malaka sebagai jalur utama transportasi
minyak China sudah bergeser ke kondisi yang tidak nyaman, setelah Amerika
Serikat mendorong militerisasi Selat Malaka dengan melakukan latihan
perang disana. Namun Chin menuduh langkah AS tersebut adalah bagian dari
skenario besar untuk membendung China. Langkah tersebut berangkat dari
perspektif hegemoni Amerika Serikat yang menyatakan bahwa “setiap

negara yang berpotensi menjadi pesaing harus dibendung pengaruhnya dan
dilemahkan dari dalam”.
persengketaan antara China, Taiwan dan Amerika Serikat berlangsung
selama bertahun tahun yang mengakibatkan adanya ketegangan dan
meningkatnya suhu politik diantara negara yang bertikai akhirnya bisa
diredam dengan cara China yang meratifikasi kerjasama ECFA (Economic
Cooperation Framework Agreement) bersama Taiwan pada tahun 2010
menjadikan sebuah batu loncatan yang diharapkan dapat meminimalisir dan
menciptakan hubungan yang baik antar kedua negara. Menariknya, didalam
kerjasama ekonomi ECFA tersebut, pihak China justru tidak mendapatkan
keuntungan yang bersifat resiprokal dibandingkan dengan apa yang Taiwan
dapatkan. Didalam draft ECFA yang telah disepakatidiantara pemerintah
China dan Taiwan, dijelaskan bahwasanya pihak China telah bersedia
menurunkan tarif impor 539 jenis barang yang berasal dari Taiwan dan
sebaliknya, Taiwan melalui kesepakatannya hanya menurunkan tarif impor
267 jenis barang dari China.
Meskipun kesepakatan ECFA tidak memberikan keuntungan yang bersifat
resiprokal bagi China, namunsecara politis, kerjasama ECFA merupakan
sebuah strategi awal bagi China untuk dapatmencapai kepentingan
nasionalnya di wilayah Taiwan melalui skema kerjasama integrasi ekonomi.
mengingat semenjak tahun 1949 Taiwan telah menjalin aliansi dengan
AmerikaSerikat melalui TRA (Taiwan Relations Act) maka penggunaan
instrumen ekonomi sebagai alatuntuk mencapai kepentingan politik luar
negeri China di wilayah Taiwan merupakan salah satulangkah yang sangat
strategis

dibandingkan

dengan

menggunakan

tindakan

militerisasi

untukmenekan Taiwan. Hal tersebut dikarenakan China tidak ingin
mengambil resiko dengan menentang status quo diwilayah Taiwan secara
langsung

melalui

tindakan

offensive,

sehingga

upaya

perimbangan

kepentingan China di wilayah Taiwan dilakukan melalui jalur-jalur secara
damai salah satunya melalui kerjasama ekonomi ECFA.
Disadari oleh pemerintah China, dengan semakin berjayanya China dalam
konstelasi ekonomi internasional, menjadikan instrumen ekonomi sebagai alat
yang rasional bagi pemerintah China untuk mencapai kepentingan
nasionalnya. Pertumbuhan ekonomi China yang semakin pesat inilah yang
pada akhirnya banyak mengubah pola kebijakan pemerintah China, termasuk
kebijakannya terhadap Taiwan. Semenjak tahun 2000, fokus politik luar
negeri China terhadap Taiwan lebih banyak diubah dari hard power menjadi
soft power melalui instrumen ekonomi, dengan bukti ditandatanganinya
kesepakatan ECFA pada tahun 2010.
Perubahan kebijakan China ini, diakibatkan karena China mulai
mengaggap bahwasanya kekuatan militer dengan strategi ofensif sudah tidak
relevan untuk digunakan mengintervensi Taiwan agar tunduk dalam kebijakan
China. Hal ini mengingat adanya peran AS (Amerika Serikat) di wilayah
Taiwan yang berusaha membantu Taiwan menghadang perilaku agresif China
yang berkeinginan untuk melakukan reunifikasi bersama Taiwan. Perubahan
kebijakan China ini, diakibatkan China mulai menganggap kekuatan militer
dengan strategi offensive sudah tidak relevan untuk digunakan mengintervensi
Taiwan agar tunduk kepada China. Hal ini mengingat adanya peran Amerika
Serikat di wilayah Taiwan yang berusaha membantu Taiwan dalam
menghadang perilaku agresif China yang berkeinginan untuk melakukan
reunifikasi bersama Taiwan. Semenjak tanggal 10 April 1979, Taiwan telah
melakukan kerjasama dengan AS melalui Taiwan Relations Act (TRA) yang
didalam kesepakatan tersebut selain terdapat kesepakatan perdagangan,
pertukaran kebudayaan, juga terdapat kesepakatan penyediaan senjata oleh
Amerika Serikat bagi pertahanan Taiwan.
Keterlibatan AS dalam hubungan China-Taiwan pun pada akhirnya
menimbulkan bipolar balance of power di wilayah Taiwan. Disatu sisi AS

yang merupakan kekuatan tunggal hegemon pasca Perang Dingin berupaya
mempertahankan posisinya sebagai negara adikuasa di wilayah Taiwan, salah
satunya melalui upaya balancing dengan Taiwan, namun disatu sisi lainnya
muncul China sebagai kekuatan baru di dalam dinamika sistem internasional
yang berusaha menghadang laju AS di Taiwan. Namun pertentangan antara
China dan AS di wilayah Taiwan tersebut tidak direspon secara koersif oleh
kubu China. Pemerintah China dalam upaya

pencapaian kepentingan

nasionalnya di wilayah Taiwan menganggap penggunaan kapabilitas militer
sudah sangat tidak relevan semenjak Taiwan mengadakan perjanjian TRA
dengan AS.

BAB V
Kesimpulan
Sebuah keadaan dimana Amerika Serikat berusaha membendung dominasi
China dengan cara masuk melalu internal atau dengan kata lain masuk
melalui Taiwan yang notabene masih bagian dari China. Pasca Perang Dingin
berakhir hanya menyisakan satu kekuatan super power yaitu Amerika Serikat
yang menjadi kekuatan unggul di dunia. Banyak negara negara di dunia ingin
mengambil hati Amerika Serikat supaya AS mau menanamkan investasinya
dan AS pun tidak menyianyiakan kesempatan emas ini untuk melebarkan
sayapnya ke seluruh penjuru dunia.
Berangkat dari pandangan tersebut tergambar jelas bahwa China berusaha
dengan keras untuk bangkit guna menyamakan kedudukannya dengan
Amerika Serikat. Hasilnya pun bisa kita lihat sekarang dengan menjamurnya
produk produk made in China yang banyak terdistribusi di pasaran, atas
faktor tersebut Amerika Serikat menilai China sebagai suatu ancaman dalam

segala bidang dan harus dibendung kekuatannya. Sebagai contoh usaha yang
dilakukan AS untuk membendung dominasi China adalah dengan
menjegalnya pada masalah Historis yaitu dengan condong ke Taiwan. Karena
kekuatan China yang terus merangkak naik bukan saja kekhawatiran biasa
melainkan AS beranggapan bahwa jika China akan timbul sebagai negara
yang mendominasi maka dengan bersamaan ajaran komunis akan tersebar.
Kehadiran investasi AS di Taiwan terus mengusik China namun AS
mengatakan bahwa kerjasama dan kehadiran AS di Taiwan atas dasar faktor
sejarah dan China melihat hal ini bukan masalah faktor sejarah melainkan
ingin meredam dominasi China dengan cara masuk ke Taiwan. Namun perlu
disadari bahwa intervensi yang dilakukan AS terhadap Taiwan dapat
mendorong konflik kearah yang lebih meruncing, padahal secara jelas telah
dipaparkan bahwa AS tidak ingin berperang dengan China karena dampak
yang ditimbulkan akibat perang akan merugikan keduanya. Dalam usaha
menjalankan “containment policy”-nya, AS lebih memperkuat lagi posisinya
dengan menginfiltrasi lebih dalam tentang keadaan politik di Taiwan. Taiwan
yang pernah melakukan kerjasama dengan AS tentu secara cepat dapat
menangkap nilai-nilai demokrasi dan liberal yang dibawa AS ke wilayahnya.
Lewat “penanaman kembali” ideologinya, AS kembali membina dan
“menyetir” Taiwan. Dengan ini AS telah berhasil menggunakan Taiwan
sebagai “Democratic Window” dengan tujuan untuk mempromosikan sebuah
reformasi politik dengan mengangkat demokrasi ke wilayah Cina.
Menurut saya telah nampak jelas bahwa AS bertujuan untuk mempersulit
unifikasi Cina dan Taiwan lewat perbedaan ideologi antara keduanya
sehingga yang terjadi justru ketegangan hubungan akibat dari perbedaan
pijakan. Hal ini lah yang kemudian mendorong pemerintah Cina, Deng
Xiaoping, memberlakukan kebijakan “one country two system” di mana
muncul sistem yang berbeda pada wilayah Taiwan dengan pemerintah
Republik Rakyat Cina yang berpusat di Beijing kecuali permasalahan

pertahanan luar negeri. Namun hal ini tetap sulit dijalankan karena hingga
saat ini banyak negara yang belum mengakui status Taiwan sebagai negara
yang berdaulat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Sutopo, FX. (2009). CHINA Sejarah Singkat. Jogjakarta:Garasi.
Sukarnaprawira SE, Aa Kustia. (2009). Cina Peluang atau Ancaman. Jakarta:
Restu Agung.
DR. Perwita, Anak Agung Banyu & DR. Yanyan Mochamad Yani. (2005).
Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda.
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. (2009). Hubungan Internasional Prespektif
dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jackson, Robert & Georg Sorensen. (2014). Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

B. Artikel Jurnal
Chang, Parris H. 2014. Beijing’s Unification Strategy Toward Taiwan and
Cross-Strait Relations, Taylor & Francis Online. The Korean Journal of
Defense Analysis, Vol. 25, No. 3, hal. 299-314.

C. Website
Sucitra, Udayana. (2015) Konflik China dan Taiwan. Oktober 6,
2015.Kompasiana,
http://www.kompasiana.com/oedajanasoetjitra/konflik-chinataiwan_550115a6a333117f72512b0c
Guanqun, Wang. (2011) Full text: China’s National Defense in 2010. Diakses
pada 6 oktober 2015. News.xinghua,
http://news.xinhuanet.com/english2010/china/2011-03/31/c_13806851.htm
O’ Hanlon, Michael E. (2005) The Risk Of War Over Taiwan is Real. Diakses
pada 5 oktober 2015 .Brookings.edu,
http://www.brookings.edu/research/opinions/2005/05/01asia-ohanlon
Tsu, Lien-Kien. (2010) The ECFA Hoax and Chinese swindlers. Diakses pada
5 oktober 2015 .Taipetimes.
http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2010/03/13/200346787
9

Economic Cooperation Framework Agreement.
Diaksespada tanggal 28 Januari 2014.
http://www.customs.gov.hk/en/trade_facilitation/ecfa/ecfa/.