MAKANA LIRIK LAGU BAHASA DAERAH ETNIK SU

exel boyz

Senin, 05 Maret 2012
Skripsi Gaya Bahasa Dalam Tuturan Adat Rapanakh Meekeh
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Makhluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya adalah manusia.
Manusia sendiri mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Salah satu kelebihan manusia adalah memiliki alat komunikasi yang berupa bahasa.
Dengan bahasa manusia dapat mengungkapkan gagasan atau ide, realitas, isi
pikiran dan sebagainya. Pada saat ini, sebagai orang yang telah dewasa, kita
sanggup mengutarakan pikiran dan perasaan kita melalui rangkaian kata-kata yang
tidak terbilang banyaknya. Dengan sendirinya, hal ini merupakan suatu karya besar
dalam kehidupan individual tiap orang, tetapi tidak pernah terlintas dalam pikiran
kita untuk mengaguminya sebagai suatu karya besar.
Bangsa kita memiliki kebudayaan yang amat bervariasi dari berbagai suku
dan etnik. Hal inilah yang menjadikan bangsa kita selalu dikatakatan identik dengan
nilai budaya. Budaya yang ada sangatlah beraneka ragam. Hal ini dikarenakan oleh
faktor geogafis dan faktor topogafi. Bicara mengenai kebudayaan tidak telepas dari
adat istiadat dari suatu daerah, yang mana banyak sekali terdapat unsur seni.


Masyarakat Kisar memiliki kebudayaan yang sangat kaya akan unsur–unsur
nilai seni yang mencakup nilai sastra yang tinggi. Hal ini telihat dari salah satu
upacara pernikahan adat masyarakat Kisar yang disebut “rapanakh meekeh”.
Kisar merupakan daerah yang pernah dikuasai Portugis sehingga memiliki
perpaduan kebudayaan yang unik. Kebudayaan masyarakat Kisar secara umum
juga satu rumpun dengan Timor Leste yang secara geografis letaknya berdekatan.
Kisar terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya. Propinsi Maluku.
Masyarakat Kisar memiliki keunikan tersendiri dalam sistem perkawinan
karena dalam tatanan adat masyarakat Kisar, sistem perkawinan harus melalui
beberapa tahap, yaitu : Mainhari (tingkatan pertama); Mainhari merupakan upacara
persiapan untuk melakukan peminangan. Peminangan inilah yang disebut rapanakh
meekeh. Rapanakh meekeh masuk dalam tingkatan kedua. Penutur dalam
rapanakh meekeh haruslah orang yang dituakan dalam keluarga, dalam hal ini
penutur harus merupakan kepala suku, atau tetua-tetua dari keluarga yang
dianggap

layak.

Penutuur


harus

betul-betul

memahami

rapanakh

meekeh.

Penentuan penutur biasanya diambil sesuai dengan garis keturunan dalam
keluarga. Hanya keluarga tertentulah yang bisa menuturkan rapanakh meekeh.
Setelah melakukan rapanakh meekeh, mempelai pria sudah bisa tinggal bersama
mempelai wanita di rumah mempelai wanita. Mempelai pria tidak bisa membawa
mempelai wanita ke rumahnya sebelum melaksanakan polukaar. Polukaar ini
merupakan tingkatan terakhir dari sistem perkawinan adat masyarakat Kisar. Untuk
melaksanakan polukaar, mempelai pria paling tidak harus tinggal di rumah
mempelai wanita minimal tiga tahun, karena ini merupakan persyaratan utama
dalam melaksanakan polukaar.


Peneliti lebih cenderung memilih rapanakh meekeh untuk diteliti karena
kekhasan bahasa yang diucapkan penutur. Alasan lain peneliti memilih rapanakh
meekeh karena hal ini belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Rapanakh meekeh
merupakan tuturan atau petuah-petuah yang memiliki fungsi dan peran tersendiri
bagi masyarakat Kisar, khususnya bagi pasangan yang hendak melaksanakan
upacara pernikahan. Hal tersebut belum disadari sepenuhnya oleh sebagian besar
masyrakat Kisar sebagai suatu aset budaya yang benilai. Oleh karena itu peneliti
merasa tertarik untuk meneliti rapanakh meekeh dalam masyarakat Kisar, terutama
pemakaian gaya bahasa dan maknanya.
Penelitian ini ditinjau dari segi stilistika yang meliputi konsep-konsep tentang
pilihan leksikal seperti penggunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai
ungkapan dan majas (Nurgiantoro dalam Sarjianto, 2004 : 8).
Modal dasar kajian stilistika yaitu pemahaman terhadap bahasa. Peneliti yang
kurang paham tentang perbedaan antara bahasa sehari-hari dan bahasa sastra,
tentu akan mengalami kesulitan memahami stilistika. Stilistika sebagai bahasa khas
sastra memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bahasa sehari-hari.
Stilistika adalah bahasa yang telah diciptakan untuk mewakili ide sastrawan.
Penelitian stilistika hendaknya sampai pada tingkatan makna gaya bahasa dan
sastra. Makna tersebut terdiri atas dua hal yaitu makna denotasi (makna lugas) dan

makna konotasi (kias). Kedua makna memiliki hubungan satu sama lain. Stilistika
kiasan ada dua macam yaitu gaya retorik dan gaya kiasan, gaya kiasan amat
banyak ragamnya, antara lain : personifikasi, simile, sarkasme dan sebagainya
(Suwardi Endraswara, 2008:73).

Secara umum, lingkup telaah stilistika mencakup diksi atau pilihan kata
(pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima dan mantra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sujiman,
1993:13). Di samping itu, kajian stilistika dilakukan dengan mengkaji berbagai
bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan seperti yang terlihat dalam
struktur lahir. Tanda-tanda kebahasaan itu sendiri dapat berupa unsur fonologi,
unsur leksikal, unsur sintaksis dan unsur bahasa figuratif (Nurgiyantoro, 1995:280).
Dikemukakan Pradopo (1991:4), aspek gaya bahasa meliputi, bunyi, kata dan
kalimat. Bunyi meliputi asosiasi, aliterasi, pola persajakkan, orkestrasi dan
iramanya; kata meliputi aspek morfologi, semantik, etimologi; sedangkan kalimat
meliputi gaya kalimat dan sarana retorika. Menurut Keraf (2000:113), gaya bahasa
yang baik harus mengandung tiga dimensi yaitu, kejujuran, sopan santun dan
menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidahkaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak
terarah,


serta

penggunaan

kalimat

yang

berbelit-belit

adalah

jalan

untuk

mengundang ketidakjujuran. Sopan santun dalam bahasa berarti kita memberi
penghargaan atau menghormati orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar
atau pembaca. Menarik dalam bahasa dapat diukur melalui komponen variasi,
humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup dan penuh daya imajinasi.

Melalui gaya bahasa, bahasa dan sastra berjalan seiring dan bahu-membahu
sampai mewujudkan dunia tersendiri dalam gaya bahasa itu sendiri, sehingga pada
akhirnya gaya bahasa tersebut memiliki kekhasan, karena menyimpan kekuatan
estetik yang mandiri. Oleh karena itu, gaya bahasa memiliki wilayah yang kuat.
Gaya bahasa menjadi berbeda dengan gaya keseharian orang berbicara karena

bagian ini merupakan sesuatu yang menarik bagi peneliti khususnya dari aspek
stilistika.
Gaya bahasa adalah pengungkapan ide atau gagasan, pikiran-pikiran seorang
penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa bahkan wacana
untuk menghadapi situasi tertentu (Rahayu, 2005:11).
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas,
citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam
karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam
Fillaili, 2007:14). Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batasbatas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harafiah (Sudjiman dalam
Fillaili, 2007:13). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena
perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang (Slamet Mujana dalam
Pradopo; dalam Sowikromo, 2007:7).
Gaya bahasa merupakan cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa sebagai
bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau

karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi (Gorys Keraf, 2004:23).
Dengan gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak dan
kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Gaya bahasa juga dapat
dimanfaatkan dalam pemikiran strategis.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka perumusan
masalah dalam penelitian ini dirangkum dalam dua poin yaitu sebagai berikut :

1.2.1

Gaya bahasa apa sajakah yang terdapat dalam tuturan rapanakh meekeh?

1.2.2 Makna apa saja yang terdapat dalam tuturan rapanakh mekeh?
1.3. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka yang menjadi
tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa yang dipakai dalam tuturan rapanakh meekeh.
2. Mendeskripsikan makna yang terdapat dalam tuturan rapanakh meekeh.
1.4. Manfaat Penelitian

Secara teoretik itu penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
perilaku manusia dalam menghargai kebudayaan daerah, khusunya gaya bahasa
dan makna yang terdapat dalam tuturan daerah. Manfaat teoretik juga diharapkan
dapat berguna untuk peneliti-peneliti berikutnya yakni sebagai referensi, khususnya
bagi peneliti gaya bahasa dan makna dalam tuturan adat.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjaga eksistensi, sekaligus
sebagai pelestarian budaya masyarakat Kisar. Di samping itu, penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat Kisar, khususnya bagi generasi
muda, agar dapat mengenal dan mengetahui gaya bahasa dan makna yang
terdapat dalam tuturan adat rapanakh meekeh masyarakat Kisar.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1.

Kajian Pustaka
Penelitian-penelitian terhadap sastra lisan telah banyak dilakukan, baik dalam

bentuk makalah, jurnal, buku maupun skripsi. Penelitian-penelitian yang memiliki
kemiripan dan telah memberikan kontribusi bagi peneliti dalam meneliti gaya

bahasa dan makna dalam tuturan rapanakh meekeh antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Diana yusuf dalam skripsinya yang berjudul “Diksi dan Gaya Bahasa
Dalam Antologi Geguritan Medhitasi Alang-alang karya Widodo Basuki (Kajian
Stilistika: 2005). Masalah yang dibahas adalah bagaimana penggunaan diksi
dengan gaya bahasa dalam antologi geguritan medhitasi alang-alang karya Widodo
Basuki. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi peneliti dalam meneliti gaya
bahasa dalam tuturan adat rapanakh meekeh karena memiliki kemiripan dalam
menganalisis data yaitu dalam menganalisis gaya bahasa dan makna serta
membuka wawasan peneliti dalam mengkaji tuturan adat rapanakh meekeh.
Penelitian relevan lainya tentang gaya bahasa pernah juga dilakukan oleh
Kartika Yuliana dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Diksi dan Gaya Bahasa
Pada Lagu Anak-anak ciptaan A.T. Mahmud”. Masalah yang dibahas adalah:
bagaimanakah penggunaan diksi dalam lirik lagu anak-anak ciptaan A.T. Mahmud?
dan bagaimanakah penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu anak-anak ciptaan
A.T. Mahmud? Hasil yang ditemukan penulis dalam skripsi ini yaitu gaya bahasa
yang digunakan dalam menganalisis lirik lagu anak-anak ciptaan A.T. Mahmud.

Penelitian ini memberikan kontribusi bagi peneliti dalam meneliti gaya
bahasa dalam tuturan adat rapanakh meekeh karena memiliki kemiripan dalam
menganalisis data yaitu menganalisis gaya bahasadan makna serta juga membuka

wawasan peneliti dalam mengkaji tuturan adat rapanakh meekeh.
Semua penjelasan di atas merupakan pengkajian stilistika berdasarkan karya
sastra terutama karya sastra tulis. Inilah yang membuat perbedaan antara peneliti –
peneliti terdahulu dengan apa yang diteliti oleh peneliti sekarang, sebab dalam
masalah penelitian di sini peneliti lebih cenderung pada masalah penelitian sasra
lisan daerah yang terdapat di daerah Kisar Kabupaten Maluku Barat Daya yaitu
gaya bahasa dan makna dalam tuturan adat perkawinan rapanakh meekeh
masyarakat Kisar.
2.2.

Konsep
dalam penelitian ini ada beberapa konsep yang dijabarkan antara lain gaya

bahasa, makna, stilistika, tuturan adat, perkawinan adat. Gaya bahasa disini
mencakup ide-ide atau gagasan pola pikir seorang penulis dalam membahasakan
bahasanya. Makna yang dimaksud yaitu menyangkut arti dari tuturan baik itu
secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan stilistika merupakan ilmu
interdispliner yang mempelajari bahasa yang dipergunakan dalam sastra. Tuturan
adalah bahasa yang disampaikan penutur. Perkawinan adat adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita alam membentuk suatu rumah tangga

yang dilaksanaka secara adat. Berikut akan dijelaskan lebih rinci tentang kensepkonsep yang dijabarkan tadi.
2.2.1. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah pengungkapan ide atau gagasan, pikiran-pikiran seorang
penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata frasa, klausa bahkan wacana
untuk menghadapi situasi tertentu (Rahayu, 2005:11). Gaya bahasa adalah susunan
perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati
pengarang (Slamet Mujana dalam Pradopo dalam Sowikromo, 2007:7).
Gaya bahasa merupakan cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa sebagai
bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau
karakteristik atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi (Gorys Keraf, 2004 : 23).
Gaya bahasa menurut Sekawan (2007 : 146) adalah penggunaan kata kiasan
dan perbandingan yang tepat untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan
maksud tertentu. Gaya bahasa berguna untuk menimbulkan keindahan dalam karya
sastra atau dalam berbicara. Setiap orang atau pengarang memiliki cara tersendiri
dalam memilih dan menggunakan gaya bahasa. Gaya bahasa disebut juga majas.
Gaya

bahasa

merupakan

penggunaan

bahasa

secara

khusus

untuk

mendapatkan nilai seni. Hal ini seperti dikemukakan oleh Dick Hartoko dan
Rahmanto (1986 : 137) bahwa gaya bahasa adalah cara yang khas dipakai
seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi). Dikemukakan oleh Slamet
Muljana, bahwa gaya bahasa itu merupakan susunan perkataan yang terjadi karena
perasaan dalam hati pengarang dengan sengaja atau tidak menimbulkan suatu
perasaan tertentu dalam hati pembaca. Selanjutnya, dikatakan bahwa gaya bahasa
itu selalu subjektif dan tidak akan objektif.
Gaya bahasa adalah cara mengekspresikan bahasa dalam prosa ataupun
puisi. Gaya bahasa adalah bagaimana seorang penulis berkata mengenai apa pun

yang dikatakan (Abram, 1981 : 190). Begitu juga yang dikemukakan Harimurti
(1983 : 49-50), salah satu pengertiannya adalah pemanfaatannya atas kekayaan
bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; lebih khusus adalah
pemakaian ragam bahasa tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, dan lebih
luasnya gaya bahasa itu merupakan keseluruan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis
sastra. Dilihat dari segi bahasanya, bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan
bahasa itu. Keraf (2000 : 113) memberi batasan bahwa style atau gaya bahasa
adalah

cara

mengungkapakan

pikiran

melalui

bahasa

secara

khas

yang

memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.
Gaya bahasa dalam arti umum adalah penggunaan bahasa sebagai media
komunikasi secara khusus, yaitu penggunaan bahasa secara beragam dengan
tujuan untuk ekspresivitas, menarik perhatian atau untuk membuka pesona
(Pradopo, 1990 : 139).
Gaya bahasa menurut Tarigan (1986 : 5) adalah bahasa indah yang
dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta
memperbandingkan suatu benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata,
penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi
tertentu (Dale dalam Tarigan, 1986 : 5). Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa
yang khas dan dapat diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang menyimpang
dari penggunaan bahasa sehari-hari atau yang lebih dikenal sebagai bahasa khas
dalam wacana sastra.
2.2.2. Makna

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 619), makna adalah arti;
maksud pembicara atau penulis.
Makna (http://id.wikipedia.org/wiki/Makna) adalah arti atau maksud dan
antara lain dapat merujuk pada hal-hal berikut.
1. Makna (linguistik), makna yang disampaikan melalui bahasa.

2. Makna (nonlinguistik), makna yang disampaikan tidak melalui bahasa verbal atau

tulisan, melainkan misalnya melalui bahasa tubuh atau fenomena alam.
3. Makna leksikal, makna kata secara leksikal tanpa turunan atau interpretasi.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna
adalah suatu maksud yang disampaikan oleh penulis atau pembicara melalui tindak
bahasa, baik bahasa lisan, tulisan maupun melalui bahasa tubuh.
2.2.3. Stilistika
Stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam
karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan
linguistik pada penelitian gaya bahasa (Kridalaksana, 1982 : 157). Dari pengertian
di atas maka dapat diartikan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya (bahasa).
Stilistika menurut Pradopo (1991 : 2) adalah ilmu yang mempelajari gaya
bahasa. Ia juga menambahkan bahwa stilistika adalah ilmu lingustik yang
memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, seringkali, tetapi tidak
ekslusif, memberikan perhatian khusus pada penggunaan bahasa yang paling dasar
dan kompleks dalam kesusastraan.

Stilistika adalah bahasa yang telah diciptakan dan bahkan direkayasa untuk
mewakili ide sastrawan. Stillistika adalah bagian ilmu sastra dan akan menjadi
bagian penting karena melalui metode ini akan terjabarkan ciri-ciri khusus karya
sastra. (Suwardi Endraswara, 2008 : 75). Stilistika adalah penggunaan gaya bahasa
secara khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa tersebut mungkin disengaja dan
mungkin pula timbul serta- merta ketika pengarang mengungkapkan idenya.
2.2.4. Tuturan
Dalam Kamus linguistik (Kridaklasana; 2005 : 221) tuturan adalah wacana
yang menonjolkan serangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu bersama
dengan partisipan dan keadaan tertentu, sedangkan dalam Kamus Bahasa
Indonesia (2005 : 1231), tuturan adalah ucapan, kata dan bicara, maka dapat
dikatakan bahwa tuturan adalah bahasa yang disampaikan penutur untuk tujuan
tertentu dalam menyampaikan serangkaian peristiwa dalam tatanan waktu
tertentu.
2.2.5. Perkawinan Adat
Perkawinan adat adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang dilaksanakan secara adat atau menurut kebudayaan setempat.
Dengan kata lain, perkawinan adat adalah perjanjian perikatan antara pihak laki-laki
dengan pihak perempuan untuk melaksanakan kehidupan sebagai suami-isteri
dalam menjalankan hidup berumah tangga dan melanjutkan keturunan sesuai
dengan ketentuan agama. Jadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
diliputi rasa saling mencintai dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga.

2.3. Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori stilistika yang dipadukan dengan
teori linguistik kebudayaan. Stilistika merupakan bidang ilmu yang menyelidiki bahasa yang
dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan,
sedangkan linguistik kebudayaan merupakan bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara
bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat.
Penelitian stilistika hendaknya sampai pada tingkatan makna gaya bahasa dan sastra.
Makna tersebut ada dua hal yaitu denotasi (makna lugas) dan makna konotasi (kias). Kedua
makna ini akan saling berhubungan satu sama lain. Stilistika kiasan ada dua macam yaitu gaya
retorik dan gaya kiasan, gaya kiasan amat banyak ragamnya, antara lain personifikasi, simile,
sarkasme, dan sebagainya (Suwardi Endraswara, 2008 : 73).
Profesor Bagus, pakar budaya dari Universitas Udayana menggunakan istilah linguistik
kebudayaan sebagai terjemahan dari cultural linguistics. Konsep ini di Indonesia sebenarnya
telah digunakan oleh Alisjahbana (1977) dengan mengikuti gagasan Humboldt, bahwa bahasa
merupakan penjelmaan budaya. Untuk pengertian yang sama, Suharno (1982) menggunakan
istilah linguistik kultural. Linguistik kebudayaan sesungguhnya adalah bidang ilmu
interdisipliner yang mengkaji hubungan kovariatif antara struktur bahasa dengan kebudayaan
suatu masyarakat (lihat Mbete, 2004:18—25).
Sasaran utama penelitian ini adalah pemakaian gaya bahasa dan makna yang terkandung
dalam tuturan rapanakh meekeh. Gaya bahasa yang dimaksud adalah gaya bahasa yang
mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang
digunakan. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa. 2007:14 (Sudjiman dalam Filali).

Sedangkan makna yang dimaksud adalah makna yang timbul dari suasana dan isi tuturan
rapanakh meekeh.
Gaya bahasa mempunyai cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan Harimurti
Kridalaksana (Kamus Linguistik : 1982), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu:
1. Pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis;
2. Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu;
3. Keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Sementara itu, Leech dan Short (1981) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara
menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu.
Sebenarnya, apakah fungsi penggunaan gaya bahasa? Pertama-tama, bila dilihat dari
fungsi bahasa, penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan
lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang
menjadi sasaran) dapat menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat
maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka. Pemakaian gaya bahasa juga dapat
menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan
gagasan yang penuh makna dengan singkat. Seringkali pemakaian gaya bahasa digunakan untuk
penekanan terhadap pesan yang diungkapkan.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.Desain Penelitian
Metode yang dipakai untuk mengetahui gaya bahasa dan makna tuturan adat
rapanakh meekeh adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif
mengurai dalam bentuk kata-kata, baris-perbaris bahkan bait perbait perbait,
sampai keseluruhan isinya. Tujuan metode deskriptif kualitatif adalah untuk
mendeskripsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki (Maser, 1985 : 63 ).
Selanjutnya Bogdan dan Taylor (dalam Iskandar : 12) mendefenisikan metode
deskriptif kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Pendekatan ini dilakukan dan diarahkan pada latar dan individu secara holistik.
Sejalan dengar Kirk dan Miller (1986) mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan terhadap manusia baik dalam kawasannya maupun
dalam peristilahannya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempergunakan
pendekatan

naturalistik

untuk

mencari

dan

menemukan

pengertian

serta

pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar dalam konteks khusus. Kerlinger
(Iskandar : 12) penelitian yang dilakukan bersifat secara rasional, sistematis,
terkontrol, empiris dan kritis terhadap objek sasaran dalam bidang yang diteliti
untuk memperoleh pengetahuan baru.

3.2.Waktu dan Lokasi Penelitian
3.2.1

Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan, terhitung dari disetujuinya proposal ini.

3.2.2

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kisar Kabupaten Maluku Barat Daya.

3.3.Instrumen Penelitian
Selain peneliti sebagai instrumen kunci, peneliti juga menggunakan alat
bantu untuk mendapatkan data dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan.
Sejumlah pertanyaan disiapkan oleh peneliti untuk mewawancarai nara sumber.
Secara

umum,

pertanyaan-pertanyaan

tersebut

berkaitan

dengan

tuturan

perkawinan adat rapanakh meekeh masyarakat Kisar. Daftar pertanyaan yang
disiapkan,

dipergunakan

sebagai

pedoman

bagi

peneliti

dalam

melakukan

wawancara dengan para nara sumber agar pembicaraan dalam wawancara tidak
keluar dari objek atau aspek yang diteliti.
3.4.Jenis dan Sumber Data Penelitian
3.4.1. Jenis Data Penelitian
Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini mencakup dua macam data
yaitu :

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data lisan berupa tuturan rapanakh
meekeh dalam upacara pernikahan adat masyarakat Kisar Kabupaten Maluku Barat
Daya.

2. Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa informasi atau keterangan
tentang latar belakang sosial budaya dan situasional masyarakat Kisar
Kabupaten Maluku Barat Daya.
3.4.2. Sumber Data Penelitian

Sumber data merupakan bagian yang yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan
memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau
informasi yang diperoleh (Sutopo, 2002:49). Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan
yang terdapat dalam rapanakh meekeh dalam upacara pernikahan adat masyarakat Kisar
Kabupaten maluku Barat Daya.
3.5.Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara,
perekaman, simak-catat dan studi dokumentasi (Bungin, 2007: 107-127). Teknik
pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
3.5.1 Pengamatan

Pengamatan bertujuan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh
tentang konteks situasi penuturan rapanakh meekeh, teknik pengamatan yang
diterapkan adalah pengamat terlibat atau berperan serta.
3.5.2 Wawancara
Berdasarkan data hasil pengamatan, penulis melakukan wawancara yang
terbuka dan mendalam dengan informan. Hal ini bertujuan untuk menggali dan
menjaring pengalaman, pengetahuan dan pandangan mereka tentang gaya bahasa
dan makna tuturan adat rapanakh meekeh. Kegiatan wawancara dilakukan secara
berulang selama beberapa kali dari satu informan ke informan lain. Untuk
menunjang

kelancaran

dan

keterarahan

pelaksanaan

wawancara,

penulis

menyiapkan sejumlah pertanyaan tertulis yang berisi beberapa pokok pikiran utama
berkaitan dengan masalah yang ditelaah. Daftar pertanyaan tersebut berfungsi
sebagai pedoman umum, sehingga komunikasi dan interaksi dengan informan
dalam kerangka pemerolehan data tidak membias ke luar lingkup masalah yang
diteliti.
3.5.3 Perekaman
Perekaman data dilakukan dengan menggunakan perangkat media audiovisual berupa digital camera/ handy cam dan alat perekam dengan tujuan untuk
memperoleh gambaran data secara lengkap menyangkut perilaku verbal dan
nonverbal yang ditampilkan dalam penyampaian tuturan rapanakh meekeh dalam
upacara pernikahan masyarakat Kisar Kabupaten Maluku Barat Daya.
3.5.4 Simak Catat

Selama pengamatan dan wawancara, peneliti melakukan penyimakkan dan
pencatatan data berupa catatan deskriptif dan catatan reflektif. Catatan deskriptif
adalah catatan yang dibuat pada saat kegiatan pengamatan dan wawancara
berlangsung, berisi rincian tentang yang dilihat, dialami dan disimak. Catatan
reflektif berisi kerangka pikir, ide dan komentar atau kesan peneliti yang dibuat
setelah usai melaksanakan semua kegiatan.
3.5.5 Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi berupa pengumpulan data dalam berbagai media
bertujuan untuk mendapatkan data sekunder yang relevan dengan masalah
penelitian. Data tersebut dipakai sebagai rujukan penelitian lapangan. Jenis
dokumentasi yang dipakai dalam pemerolehan data adalah acuan umum berupa
buku-buku dan acuan khusus berupa hasil penelitian berupa skripsi, monograf,
artikel, makalah dan lain sebagainya.
3.6.Teknik Analisis Data
Dalam teknik analisis data ini, peneliti menggunakan teknik
3.6.1. Transkripsi
Tuturan rapanakh meekeh dalam upacara pernikahan adat masyarakat Kisar
Kabupaten Maluku Barat Daya direkam, disalin dalam bahasa tulis sesuai dengan
bahasa aslinya (Bahasa Kisar) untuk diarsipkan. Pengarsipan ini disertai dengan
identitas infroman yang meliputi (1) nama, (2) umur, (3) jenis kelamin, (4)
pekerjaan, (5) bahasa yang dikuasai dan (6) alamat pada bagian kanan atas. Juga

judul dan jenis sastra lisan pada bagian kiri atas, serta identitas data pada bagian
kanan bawah. Lampiran terlampir.
3.6.2. Terjemahan
Tuturan yang telah diarsipkan dalam bentuk kaset DVD/ VCD diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
3.6.3. Analisis Data
Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis menggunakan teori-teori
yang telah ditentukan peneliti sebelumnya.
3.6.4. Membuat Kesimpulan
Setelah menganalisis data, peneliti akan membuat simpulan akan apa yang
diteliti.
3.7.Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Data yang telah dianalisis akan dideskripsikan dalam bentuk verbal, yaitu dengan katakata, bukan dengan angka. Dengan demikian, metode penyajian hasil analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode informal. Metode penyajian informal adalah perumusan
dengan menggunakan kata-kata (Sudaryanto, 1993: 144).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab IV ini mencakup dua subbab, yaitu (1) hasil penelitian dan (2)
pembahasan hasil penelitian. Subbab pertama (4.1) berisikan pemaparan data hasil
penelitian lapangan yang berkaitan dengan rapanakh meekeh pada masyarakat
Kisar Kabupaten Maluku Barat Daya, sementara subbab kedua (4.2) mencakup tiga
subbab bawahan, yakni (1) bentuk atau struktur dalam tuturan rapanakh meekeh
pada masyarakat Kisar Kabupaten Maluku Barat Daya, (2) gaya bahasa yang
dipakai dalam tuturan rapanakh meekeh dan (3) makna yang terkandung dalam
tuturan rapanakh meekeh pada masyarakat Kisar Kabupaten Maluku Barat Daya.
Pembahasan lebih lanjut ketiga subbab tersebut, masing-masing seperti berikut.

4.1.Hasil Penelitian
4.1.1. Hakekat Rapanakh Meekeh
Bahasa Kisar secarah Ilmiah disebut Bahasa Meher, yang sampai saat ini
masih digunakan oleh masyarakat pendukungnyav untuk berkomunikasi secara
lisan mauppun tulisan. Masyarakat pendukung dan pemakai bahasa Meher ini cukup
banyak. Masyarakat Kisar yang jumlahnya kurang lebih sebanyak 10.000 orang
menggunakan bahasa Meher. Bahasa Meher adalah bagian dari rumpun bahasa
Austronesia, seperti bahasa-bahasa Melayu di Maluku.
Rapanakh

meekeh

secara

harafiah

dapat

diartikan

sebagai

meminta

perempuan atau memanggil pulang kembali yang dilakukan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan. Kata rapanakh meekeh berasal dari dua suku kata yaitu
rapanakh dan meekeh; rapanakh ini sendiri memiliki arti meminta, sedangkan
meekeh memiliki arti perempuan, jadi arti keseluruhan dari rapankh meekeh ini
yaitu meminta perempuan. Rapanakh meekeh ini merupakan bagian terpenting

dalam perkawinan masyarakat Kisar, karena di sinlah pihak laki-laki mengadakan
nikah adat agar perempuan bisa dibawa pulang oleh pihak laki-laki yang akan
menjadi pasangan hidupnya sebagai suami.
Rapankh meekeh dituturkan oleh seorang penutur yang biasanya disebut
orkoto ornana. Orkoto ornana ini adalah seseorang yang dianggap pantas dan
dipercayakan dalam menuturkan rapankh meekeh tersebut. Dalam menentukan
penutur rapankh meekeh ini biasanya diambil dari tetua-tetua adat, dan juga dilihat
garis keturunan yang pantas melakukan rapankh meekeh tersebut, baik itu pria
atau wanita ia bisa menuturkn rapanakh meekeh tersebut. Pada umumnya penutur
rapankh meekeh ini berusia antara 30 sampai 60 tahun. Penutur rapankh meekeh
ini dipercayakan penuh untuk mengutarakan maksud dan tujuan yang disampaikan
dalam pernikahan adat tersebut.
Rapankh meekeh ini sudah ada sejak lama dari turun temurun dalam
masyarakat Kisar. Meski seiring perkembangan jaman dan teknologi, adat tetaplah
adat dan kebudayan tetap harus dilestarikan. Bentuk pelestarian budaya yang
sangat tertanam dalam masyarakat Kisar ini jelas terlihat dalam tuturan-tuturan
adat yang bentuknya tidak pernah berubah yakni masih dalam bahasa adat Meher.
Bahasa adat ini tidak bisa dipergunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Dalam
berkomunikasi, masyarakat juga menggunakan bahasa daerah tapi dalam tingkatan
yang sederhana. Sedangkan dalam bahasa adat masuk dalam tingkatan yang lebih
tinggi yaitu dalam taraf tertentu.
Berdasarkan hasil pengamatan serta wawancara dan simak catat yang
dilakukan oleh peneliti maka tuturan yang diperoleh sebagai berikut.

Teks
“Konohiyala yi in’u ya am’u, koto wali nana wali, Nornoro yi in’u ya
am’u manmorian mana’uana, Nornoro yi in’u orkoto woro’o, Lolu luhu
___nakar ____ nina koto leher nana wawan, Koto woro’o nana
woro’oke’en ida nawinoredi me’e, Wain ida nadinaredi me’e, yi in’u ya
am’u nina koto wali nana wali, Were pinna haul akur, rala pina kain
kawa’alne rala akur kemen I lim’u, Yo odia kopur leu ya amhara nike,
lolo
kala
lehen
kala
wain,
Ma’urakan
ma’udawak
lolo
Lulu____nakar___kepel Nikon su’ur romleher,
Yo me’e hau ida namkau wukuwedi me’e, Pina woro’o nawinakedi me’e
akur woro’o en nadinu’uledi me’e, Pihilala ke’e helala ke’e, yi’in’u ya
am’u koto wali nana wali, Nahinuriyala nawine ‘erala, lolo popono
orerekie nina pinne wanakan, Nina ukur duni’ul, nahinuriyala
nawine’erala yo odi ainu’u pinne kokalele here, Leke yo odi kopur leu
amhara nike, lolo kala lehen kala wain, Rakanala dawa kala lolo luhu
____nakar____nina koto leheren nana wawan, Leke koto himnala here,
nina nananre’ale here, hamarale nedemarne, Paharala rokonihe here,
nina wono pupinala here, laha leuwala here, oreki aile nohoropo aile
male namuli ho’o naiyalaho’o”.

4.1.2. Proses Perkawinan Adat Masyarakat Kisar
Tahapan perkawinan adat masyarakat Kisar
4.1.2.1.Pengumpulan Keluarga
Pengumpulan keluarga turunan pertama (kandung), ini disebut rauk wuku
aman yain, setelah itu turunan berikutnya adik kakak, disebut aman yain rauk wuku
meherom. setelah itu seluruh marga yang ingin meminang. Keluarga mata rumah
(pemberitahuan ke keluarga perempuan untuk persiapan), luhu; setelah luhu
disebut rauk wuku luhu penu, atau koto nana. Kedua keluarga sepakat untuk
menentukan waktu kapan acara peminangan dilangsungkan.
4.1.2.2. Rapanakh Mori Ra’u Wana

Rapanakh mori ra’u wana yang artinya pemberitahuan kepada kedua
keluarga yang hadir bahwa keluarga dari pihak laki-laki telah siap melaksanakan
peminangan. Hal ini disampaikan dalam bahasa adat yang disampaikan orkoto
ornana.
4.1.2.3.Namhoyala Namkauwala Hilili
Namhoyala namkauwala hilili yang artinya meletakan tempat sirih dan
minuman keras (sopi) yang dibawa oleh

pria yang

ingin

meminang

dan

menempatkannya di atas meja. Setelah disimpan, orkoto ornana menyampaikan
maksud bahwa sopi itu diminum bersama dan pinang dimakan bersama. Hal ini
melambangkan kebersamaan dan saling menerima.
4.1.2.4.Mo’oniyana Maekana Rala Ils Wenwhe
Mo’oniyana maekana rala ils wenwhe yang artinya cium penghormatan, di
mana kedua mempelai menyampaikan salam penghormatan dengan mencium
seluruh keluarga yang hadir saat itu, dengan dibimbing oleh sorang ibu yang
dituakan dalam keluarga laki-laki.
4.1.2.5.Rapanakh Rala Nou Naku
Pada tahapan ini, kedua mempelai diberikan nasehat oleh orang tua yang
telah dipersiapkan khusus, orang tua pihak laki-laki yang telah dipersiapkan
menasehati mempelai laki-laki, orang tua yang menasehati mempelai laki-laki
disebut Kakan Allah Nounaku Mooniana, begitu juga dengan mempelai perempuan
dinasehati oleh orang tua yang telah dipercayakan oleh pihak keluarga perempuan,
orang tua ini disebut Aman Narna Nounaku Mooniyana. Setelah proses menasehati

kedua mempelai selesai maka kedua mempelai tersebut wajib mencium seluruh
keluarga besar yang hadir, sebagai bentuk terima kasih. Sementara proses
menasehati tadi berjalan, sopi dijalankan untuk seluruh keluarga besar yang hadir
untuk meminumnya karena ini merupakan minuman persaudaraan. Setelah
semuanya selesai, keluarga dipebolehkan pulang dan mempelai pria sudah bisa
tinggal dengan mempelai wanita di rumah mempelai wanita sampai proses
rapanakh meekeh dilaksanakan.
Jika pihak keluarga laki-laki ingin agar rapanakh meekeh ini dilaksanakan
maka hal itu langsung dibicarakan saat itu juga dan meminta persetujuan keluarga
perempuan kapan akan dilaksanakan rapanakh meekeh. Apabila pihak keluarga
perempuan belum menyetujui akan dilaksanakanya rapanakh meekeh maka
keluarga laki-laki tidak bisa memaksakannya karena keputusan tergantung pada
pihak keluarga perempuan. Terkadang proses rapanakh meekeh ini biasanya
dilaksanakan bertahun-tahun setelah peminangan dan mempelai laki-laki hanya
tinggal di rumah mempelai perempuan sampai rapanakh meekeh dilaksanakan,
meskipun sudah memiliki anak tetapi jika belum melaksanakan rapanakh meekeh,
laki-laki tetap tinggal di rumah perempuan.
Jika keluarga perempuan setuju untuk melakanakan rapanakh meekeh maka
kedua keluarga langsung membicarakan tentang apa yang akan dibawa dan seperti
apa nanti acara yang akan dilaksanakan. Pembicaraan ini disebut popono worooida
man laa mai ida).
4.1.2.6.Mooniyana Norikama Kakan Alla

Setelah proses di atas, pihak keluarga laki-laki pulang dan menghimpun
seluruh keluarga dalam satu marga dan menyampaikan hasil pembicaraan dengan
keluarga perempuan, yang mana rapanakh meekeh atau nikah adat ini akan
dilaksanakan seperti apa dan hal-hal apa yang harus dipersiapkan, setelah itu dari
marga sampaikan hal ini ke mata rumah dan disampaikan ke seluruh keluarga
besar.
4.1.2.7.Nelu lere
Kedua keluarga kumpul antara keluarga utusan laki-laki dan keluarga
perempuan

untuk

membicarakan

waktu

dan

tempat

akan

dilaksanakanya

pernikahan adat tersebut.
4.1.2.8.Kunukunohi Man Laa in Ama
Orokoto ornana sampaikan kepada keluarga dari ibu pengantin laki-laki yang
ingin menikah. Keluarga ibu ini disebut in ama bahwa anak mereka ingin
melaksanakan nikah adat, di sini in ama wajib membawakan sopi, beras dan kain
tenun untuk dibawakan pada acara nikah adat nanti. Hal ini merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh in ama tanpa harus diberitahukan atau
diingatkan kembali oleh orkoto ornana.
4.1.2.9.Man Hoo Lan Konohiyala in Ama
Pada proses ini bukan orkoto ornana yang berperan tetapi si pengantin pria
yang berperan di mana ia pergi ke keluarga dari ibunya (In ama) untuk
menyampaikan bahwa ia akan melaksanakan pernikahan adat, ini merupakan

pemberitahuan secara adat dan merupakan salah satu proses yang harus
dilaksanakan.
4.2. Pembahasan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai gaya bahasa dan makna yang
tercantum dalam tuturan adat rapanakh meekeh. Gaya bahasa yang terdapat
dalam rapanakh meekeh yaitu gaya bahasa personifikasi, tautologi, metafora,
simbolik, asindeton. Sedangkan makna yang terdapat dalam tuturan rapanakh
meekeh yakni makna sosial, makna penghormatan terhadap orangtua, estetika, dan
etika. Berikut ini akan dibahas lebih rinci tentang makna dan gaya bahasa yang
terdapat dalam rapanakh meekeh.
4.2.1. Gaya Bahasa Dalam Tuturan Rapanakh Meekeh
Gaya bahasa merupakan pengungkapan kata kiasan dan perbandingan yang
tetap untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan maksud tertentu. Gaya
bahasa yang terdapat dalam tuturan rapanakh meekeh adalah sebagai berkut.
4.2.1.1 Gaya Bahasa Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang mengumpamakan benda mati
dapat berbuat seolah-olah seperti makhluk hidup. Hal tersebut dapat dilihat dalam
tuturan sebagai berikut :
Koto woro’o nana woro’o ke’en ida nawinoredi me’e, Wain ida
‘Negeri dua negeri dua tongkat satu tertidur sudah penggayung satu
nadinaredi me’e,

tersusun sudah/telah.’
Kedua keluarga besar, sebuah kesepakatan yang diambil bersama-sama untuk
dijalankan.
nina won pupinala here,
‘punya sarang tutup sudah.’
biarlah rumah itu menjaga dan melindungi dia.
laha leuwala here,
‘gelagar tempat tidur menopang sudah’
segala berkat yang ada dapat menopang hidupnya
Ketiga tuturan di atas menggunakan gaya bahasa personifikasi, hal ini dilihat
pada ‘ke’en’ tongkat yang seolah hidup dan telah tertidur, begitu pula dengan
‘wain’ penggayung yang telah berhenti dan juga ‘won’ rumah (sarang) serta laha
‘tempat tidur’. Tongkat, penggayung dan rumah serta tempat tidur bukan
merupakan benda hidup, akan tetapi dalam tuturan di atas, ketiga benda tersebut
seolah-olah bisa melakukan hal-hal yang dilakukan oleh manusia.
4.2.1.2 Gaya Bahasa Tautologi
Gaya bahasa yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya
supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
Hal tersebut dapat dilihat dalam tuturan sebagai berikut.
Konohiyala yi in’u ya am’u, koto wali nana wali,
‘Permisi ibu saya bapa saya negeri sebelah negeri sebelah.’
Permisi saya sampaikan kepada bapak ibu keluarga besar perempuan.

Pihilala ke’e hehellala ke’e, yi’in’u ya am’u koto wali nana wali,
‘Permisi tolong minta maaf tolong , ibu saya bapa saya negeri sebelah kampong
sebelah.’
Dengan segala kerendahan hati kami mau sampaikan kembali bapa dan mama dari
keluarga besar perempuan, juru bicara.
Tuturan di atas menggunakan gaya bahasa tautologi, hal ini dapat di lihat
pada tuturan yang menyatakan hal dua kali padahal maknanya sama tetapi harus
diulang agar arti dari tuturan tersebut lebih dipahami. Kata ‘yi’ dan ‘ya’ saya dan
‘wali’ negeri pada kutipan konohiyala yi in’u ya am’u, koto wali nana wali
merupakan pengulangan yang bertujuan untuk mempertegas pernyataan dan
makna dari tuturan yang disampaikan.
4.2.1.3 Gaya Bahasa Metafora
Gaya bahasa metafora adalah pengungkapan berupa perbandingan analogis
dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll. Dengan kata lain, gaya
bahasa metafora merupakan gaya bahasa perbandingan langsung terhadap
sesuatu. Gaya bahasa metafora dapat dilihat pada kutipan berikut.
Were pinna haul akur,
‘Buka kain tenun buka (ikatan) ikatan (natok).’
Membuka hati untuk menerima dengan baik.
Gaya bahasa metafora dalam kutipan di atas ditunjukkan dalam pernyataan
langsung were pinna haul akur ‘buka kain tenun buka (ikatan) ikatan (natok)’,
membuka hati untuk menerima dengan baik, mengarah pada perbandingan antara
kesediaan dari para orang tua perempuan untuk menerima pinangan dari pihak

keluarga laki-laki dengan hati terbuka. Hal ini dipertegas dengan pernyataan were
pinna ‘buka kain tenun’.
4.2.1.4 Gaya Bahasa Simbolik
Gaya bahasa simbolik adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan
menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
hamarale nedemarne, Paharala rokonihe here,
‘injak pohon tangga, pegang anak tangga sudah.’
berpijak pada kekuatan kebesaran keluarga, menaati norma tata tertib kebudayaan
yang berlaku.
Gaya bahasa simbolik dalam kutipan di atas ditunujukkan dalam kata
nedemarne ‘pohon tangga’ yang menggambarkan kekuatan dan kebesaran
keluarga, dan rokonihe ‘anak tangga’ yang mengarah pada nilai-nilai dan norma
budaya yang terdapat dalam masyarakat Kisar.
4.2.1.5 Gaya Bahasa Asindenton
Gaya bahasa asindenton adalah gaya bahasa yang mengungkapkan suatu
kalimat atau wacana tanpa kata penghubung. Gaya bahasa asindenton dapat
ditampilkan dalam kutipan berikut.
Yo odia kopur leu ya amhara nike, lolo kala lehen kala wain,
‘Saya bawa turun tempat tidur saya keluar pintu, lewat jalan sempit jalan
penggayung.’
Saya membawa petuah untuk menjalankan kehidupan sehari-hari Dalam kisah
perjalanan hidup yang penuh tantangan.

Pernyataan

dalam

kutipan

di

atas

berbentuk

sebuah

kalimat

yang

membentuk wacana. Namun, wacana yang dibangun tidak menggunakan kata
penghubung.

Makna Tuturan dalam Rapanakh Meekeh
Makna merupkan suatu maksud yang disampaikan oleh penulis atau
pembicara melalui tindak bahasa, baik secara lisan, tulisan maupun melalui bahasa
tubuh. Masalah kedua yang dibahas dalam penelitian ini yaitu makna yang
terkandung dalam rapanakh meekeh. Berikut akan dipaparkan tentang makna apa
saja yang terkandung dalam tuturan adat rapanakh meekeh.
4.2.2.1

Makna sosial

Makna sosial disebut juga makna sosiologis, yakni makna yang mengacu
pada hubungan antara sesama manusia dalam berinteraksi uuntuk membangun
relasi yang baik dengan sesama demi menciptakan kehidupan yang harmonis.
Setiap manusia pasti saling membutuhkan satu sama lain. Makna sosial dalam
tuturan rapanakh meekeh terlihat dalam kutipan berikut.
Lolu luhu Mesiapi nakar waku puki nina koto lehern nana wawan,
‘Lewat dusun Mesiapi, rumah batu putih, mempunyai negeri di bawah negeri atas’
Dan semua keluarga yang sementara rapat di mata rumah batu putih
Koto woro’o nana woro’o ke’en ida nawinoredi me’e, Wain ida nadinaredi me’e,
‘Negeri dua negeri dua tongkat satu tertidur sudah penggayung satu tersusun
sudah/telah
‘sebuah kesepakatan telah diambil bersama-sama Kedua keluarga besar untuk
dijalankan,
Unsur sosial yang terdapat dalam kutipan di atas adalah luhu Mesiapi nakar
waku puki ‘dusun Mesiapi rumah batuputih’ yang mengarah pada unsur deskriptif,
sedangkan pada kutipan Koto woro’o nana woro’o ke’en ida nawinoredi ‘negeri dua

negeri dua tongkat satu tertidur’ yang menggambarkan adanya kesepakatan antara
pihak laki-laki dengan pihak perempuan dalam menjalin hubungan melalui anakanak mereka yang disatukan dengan pernikahan adat.
4.2.2.2 Makna Penghormatan terhadap Orang Tua
Dalam tuturan rapanakh meekeh, peran orang tua menjadi kunci dari
kelancaran pelaksanaan acaranya. Orang tua memiliki peran yang sangat penting
dalam

menjaga

dan

membesarkan

anak-anak

mereka.

Adapun

makna

penghormatan terhadap orang tua dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Konohiyala yi in’u ya am’u, koto wali nana wali
‘Permisi ibu saya bapa saya negeri sebelah negeri sebelah’
Permisi saya sampaikan kepada bapak ibu keluarga besar perempuan
Nornoro yi in’u ya am’u manmoriana mana’uana
‘Bersama ibu saya bapa saya yang melahirkkan yang merawat’
Dan dengan bapa ibu kandung yang merawat dan membesarkan
Nornoro yi in’u orkoto woro’o, Ornana woro’o
‘Bersama ibu saya tuan negeri dua tuan marga dua’
Dan kedua keluarga besar yang hadir
Man hophopun man peppepen
‘Yang berunding yang kelilingi’
Yang sedang berunding bersama-sama
Kutipan di atas dengan jelas menggambarkan bagaimana keluarga dihormati
sebagai dasar dari munculnya kehidupan seorang anak. Apalagi dalam acara

peminangan, seorang anak perempuan harus direlakan keluarganya untuk memilih
jalannya sendiri, yakni hidup berkeluarga dengan laki-laki yang dicintainya. Untuk
itulah, hal yang pertama kali dilakukan oleh juru bicara dalam rapanakh meekeh
adalah menyapa orang tua dan keluarga besar dari pihak perempuan sebagai
pernyataan taksim.
4.2.2.3 Makna Estetika
Makna estetika mengarah pada daya imajinasi seseorang dalam memilih
kata-kata, dimana suatu keindahan itu terbentuk dan bagaimana seseorang bisa
merasakanya dalam bertutur. Makna estetika dalam tuturan adat selalu muncul, hal
ini dibuktikan dengan tata pemilihan kata-kata yang tidak biasa dipakai dalam
komunikasi sehari-hari. Makna estetika dalam tuturan rapanakh meekeh terlihat
dalam kutipan berikut.
Were pinna haul akur,
‘Buka kain tenun buka(ikatan) ikatan(natok)’
Yang telah Membuka hati untuk menerima dengan baik
rala pina kain kawa’ane rala akur kemen I lim’u,
‘ambil tenunan gantung bahu ambil ikatan letakan saya tanganku’
memberi tanggung jawab kepad saya untuk dilakukan dengan baik
Yo odia kopur leu ya amhara nike, lolo kala lehen kala wain,
‘Saya bawa turun tempat tidur saya keluar pintu, lewat jalan sempit jalan
penggayung’
Untuk membawa petuah dalam menjalankan kehidupan sehari-hari Dalam kisah
perjalanan hidup yang penuh tantangan

Unsur estetika dalam kutipan di atas sangat jelas terlihat, yaitu pada pina
kain kawa’ane ‘tenunan gantung bahu’ yang mengandung arti memegang
tanggung jawab. Selain itu, kutipan berikut, yakni yo odia kopur leu ya amhara nike,
lolo kala lehen kala wain, ‘saya bawa turun tempat tidur saya keluar pintu, lewat
jalan sempit jalan penggayung’ mengacu pada bentuk penghormatan terhadap
petuah-petuah yang diberikan kepada kedua pasangan untuk sabar dalam
menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi dalam hidup berumah tangga
nantinya.
4.2.2.4 Makna Etika
Makna etika berkaitan dengan nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Makna etika mengarah pada sikap dan tindakan manusia dalam mengikuti
pelaksanaan upacara atau ritual adat. Makna etika terdapat dalam rapanakh
meekeh terlihat pada saat penutur dari pihak laki-laki sampai pada rumah
mempelai perempuan, dia harus meminta ijin kepada keluarga yang hadir untuk
meletakan barang bawaanya diatas meja berupa tempat sirih, topi dan pedang
yang dibawanya, hal ini juga berlaku pada pengantin laki-laki bilamana ia diijinkan
untuk

menurunkan

beban

yan

iya

bawa

barulah

dia

dipersilahkan

untuk

meletakanya diatas meja, dan juga si mempelai pria tidak diisinkan duduk sebelu
menjawab beberapa pertanyaan. sedang mengutarakan tuturan, dia harus dalam
posisi berdiri dan selama penuturnya melaksanakan rapanakh meekeh, kedua
keluarga besar harus pada sikap ang tenang, dan tidak mengoceh.
Dari beberapa contoh yang dilihat maka makna etika yang terkandung
sangatlah tinggi, karena disini mereka diajarkan untuk bersopan santun dan
menghargai orang lain.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya maka

penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Masyarakat Kisar memiliki kebudayaan yang sangat kaya akan unsur – unsur nilai
seni yang mencakup nilai sastra yang tinggi. Hal ini telihat dari salah satu
upacara pernikahan adat masyarakat Kisar yang disebut rapanakh meekeh.
Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai tuturan
dalam rapanakh meekeh, terutama berkaitan dengan gaya bahasa dan makna
yang terkandung dalam tuturan tersebut.
2. Rapanakh meekeh merupakan tuturan atau petuah-petuah yang memiliki fungsi
dan peran tersendiri bagi masyarakat Kisar, khususnya bagi pasangan yang
hendak melaksanakan upacara pernikahan.
3. Penelitian ini ditinjau dari segi stilistika yang meliputi konsep-konsep tentang
pilihan leksikal seperti penggunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai
ungkapan dan majas (Nurgiantoro dalam sarjianto, 2004:8).
4. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori stilistika yang
dipadukan dengan teori linguistik kebudayaan. Stilistika merupakan bidang ilmu
yang

menyelidiki

bahasa

yang

dipergunakan

dalam

karya

sastra;

ilmu

interdisipliner

antara

linguistik

dan

kesusastraan,

sedangkan

linguistik

kebudayaan merupakan bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara baha