ANALISIS RISIKO LINGKUNGAN POLUTAN REMAZ

TUGAS ANALISIS RISIKO LINGKUNGAN
POLUTAN REMAZOL BLACK-B SEBAGAI PEWARNA
INDUSTRI BATIK

Diajukan sebagai Tugas Pengganti Ujian Tengah Semester (UTS)
Oleh:
1 Suci Varista Sury
13513100
2 Indah Suci Ramadhani
13513158
3 Rani Soraya
13513159

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ........................................................................................................................ iii
BAB I KARAKTERISTIK POLUTAN ..............................................................................................1
1.1

Latar Belakang ..........................................................................................................1

1.2

Karakteristik Remazol Black-B ..................................................................................2

1.3

Transportasi dan Transformasi Remazol Black-B di Alam .........................................3

BAB II EFEK POLUTAN TERHADAP LINGKUNGAN .....................................................................6
2.1 Efek Remazol Black B terhadap Kesehatan Manusia ......................................................6
2.2 Populasi yang Rentan Terhadap Remazol Black-B ..........................................................6
BAB III BIOAKUMULASI DAN BIOMAGNIFIKASI POLUTAN ........................................................8
BAB IV BAKU MUTU POLUTAN DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN .........................................10
4.1 Baku Mutu Remazol Black-B di Indonesia ....................................................................10

4.2 Baku Mutu Remazol Black-B di Negara Lain .................................................................10
BAB V ACCEPTABLE DAILY INTAKE (ADI) DAN EFFECTIVE DAILY INTAKE (EDI) ..............................13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................14

i

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR TABEL

iii

BAB I
KARAKTERISTIK POLUTAN
1.1 Latar Belakang
Industri batik merupakan salah satu bidang pengembangan industri dalam negeri
yang telah cukup berkembang. Terlepas dari peranannya sebagai komoditi ekspor
yang diandalkan, industri ini telah menimbulkan masalah yang serius bagi lingkungan

terkait dengan penggunaan zat warna dalam produksi dan turut terbuang bersama air
limbah sisa proses. Industri batik merupakan industri asli milik masyarakat Indonesia
yang kebanyakan masih merupakan industri rumahan dengan memiliki modal kecil
sehingga pemilik industri rumahan kebanyakan tidak sanggup jika harus membuat
pengolahan limbah batik yang memadai untuk mengolah limbah zat warna yang
dihasilkan. Pada beberapa daerah pusat produksi batik telah diupayakan adanya
pengolahan limbah yang dihasilkan secara terpadu untuk mengatasi dan mencegah
perairan yang berwarna dan paramater lingkungan yang lebih baik. Namun jumlah
keluaran limbah jauh lebih besar dibanding kapasitas pengolahan, sehingga masalah
limbah berwarna masih menjadi masalah yang perlu penanganan lanjut. (Widodo,
2009). Kegiatan pewarnaan batik dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:

Gambar 1 Proses Pewarnaan Batik Tulis
(Sumber: http://sentrabatiktulisyogyakarta.com/)
Berdasarkan uraian diatas, untuk melihat risiko yang dihasilkan oleh zat warna
pada pembuangan limbah proses industri batik maka dibutuhkan analisis risiko
melalui karakteristik dari zat warna remazol itu sendiri, terutama yang menjadi fokus
karakterisasi adalah remazol black B. Hal ini dikarenakan industri batik yang berada
di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan batik yang kebanyakan bercorak warna
1


hitam dan putih. Oleh karena hal tersebut, mempelajari karakteristik remazol yang
dianggap dapat menimbulkan masalah serius bagi lingkungan menjadi pilihan
menarik karena di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri cukup banyak industri batik
sehingga dapat diidentifikasi risiko/bahaya sesungguhnya yang dihasilkan oleh zat
warna remazol tersebut.

1.2 Karakteristik Remazol Black-B
Remazol black B merupakan zat warna reaktif yang mengandung gugus kromofor
azo yang banyak digunakan sebagai pewarna hitam pada tekstil. Remazol black B
memiliki rumus molekul C26H21N5Na4O19S6 dan berat molekul 991,8 g/mol. Struktur
molekul remazol black B sendiri dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2 Struktur Molekul Remazol Black-B (C26H21N5Na4O19S6)
(Sumber: https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/9570329)
Salah satu jenis zat warna sintetik yang banyak digunakan dalam industri tekstil
adalah zat warna remazol. Zat warna ini banyak digunakan karena sifatnya yang
mudah larut dalam air dan tidak terdegradasi pada kondisi aerob biasa.
Sebagian besar zat warna sengaja
dibuat

supaya
mempunyai
ketahanan
terhadap pengaruh lingkungan seperti efek pH, suhu dan mikroba. Oleh karena itu,
limbah dari zat warna remazol sangat berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak
dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Sementara itu, lingkungan mempunyai
kemampuan terbatas dalam mendegradasi limbah zat warna. Akibatnya, air menjadi
tercemar (berwarna) dengan kualitas air semakin memburuk dan tidak layak
digunakan. Selain itu, air limbah zat warna juga dapat mengakibatkan beberapa

2

penyakit kulit hingga kanker kulit. Oleh karena itu, limbah zat warna tekstil perlu
diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan (Sulistya, 2013).
Zat warna remazol Black B disintesis untuk tidak mudah rusak oleh perlakuan
kimia maupun perlakuan fotolitik. Untuk itu, jika limbah ini dibuang di perairan
maka dapat mengganggu estetika, meracuni biota air serta dapat menimbulkan bau
busuk di dalam badan air tersebut. Hal ini dikarenakan berkurangnya oksigen yang
dihasilkan selama proses fotosintesis, akibat sinar matahari yang seharusnya
digunakan oleh tanaman air terhalang oleh zat warna tersebut. Di samping itu

perombakan zat warna azo secara aerobik pada dasar perairan menghasilkan senyawa
amina aromatik yang kemungkinan lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo
itu sendiri. Berbagai macam metode alternatif telah dikembangkan dalam rangka
pengolahan limbah zat warna remazol black B antara lain: dekolorisasi dengan jamur
dan tiga isolat jamur, biodegradasi dengan mikroba Bacillus sp dan bakteri mono
culture, dan biodegradasi Remazol Black B dengan jamur kotoran sapi (Ayuni, 2015).

1.3 Transportasi dan Transformasi Remazol Black-B di Alam
Zat warna azo sering digunakan sebagai pewarna pada tekstil, makanan, kertas,
kosmetika, dan industri lain. Salah satu warna azo yang sering digunakan dalam
pewarnaan tekstil adalah remazol black B. Remazol black B merupakan zat warna
reaktif yang mengandung gugus kromofor azo yang banyak digunakan sebagai
pewarna hitam pada tekstil. Pada tugas kali ini remazol black B yang dimaksud
berasal dari industri batik. Zat ini digunakan pada proses pewarnaan dalam industri
batik (Ayuni, 2015).
Menurut Sastrawidana (2010) remazol black B yang digunakan pada proses
pewarnaan industri batik hanyalah 5% sedangkan 95% akan menjadi limbah dan
dibuang ke lingkungan. Remazol black B saat dibuang ke lingkungan khususnya ke
badan air akan berpengaruh terhadap biota. Transportasi remazol black B ke
lingkungan dimulai dari proses produksi industtri batik yaitu pada proses pewarnaan

seperti dijelaskan pada Gambar 3.

3

Persiapan kain
putih

Pengkajian dan
penghilangan
kanji

Pewarnaan
(dyeing)

Pengeringan

Pencelupan

Pencetakan
(printing)


Pencucian
Gambar 3 Skema Proses Pembuatan Batik
(Sumber: modifikasi dari Anaerobic Azo Dye Reduction)
Secara analisis transportasi zat warna remazol black B di lingkungan yaitu
melalui efluen dari proses pewarnaan industri batik yang akan masuk ke badan air.
Berdasarkan karakteristik remazol black B yang tidak mudah rusak oleh perlakuan
kimia maupun perlakuan fotolitik maka jika limbah ini dibuang di perairan dapat
mengganggu estetika, meracuni biota air serta dapat menimbulkan bau busuk di
dalam badan air tersebut. Hal ini dikarenakan berkurangnya oksigen yang dihasilkan
selama proses fotosintesis, akibat sinar matahari yang seharusnya digunakan oleh
tanaman air terhalang oleh zat warna tersebut (Ayuni, 2015).
Sedangkan proses transformasi remazol black-B dapat terjadi karena aktivitas
aerobik di dalam badan air. Hal ini sesuai dengan penelitian Ayuni (2015) bahwa
perombakan zat warna azo/remazol dapat terjadi secara aerobik pada dasar perairan
yang menghasilkan senyawa amina aromatik yang kemungkinan lebih toksik
dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri.

4


Proses transportasi remazol black-B dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini:

Industri Batik (Proses
Pewarnaan)

Dibuang

Badan Air

Biota Air (Tumbuhan
dan Ikan)

Manusia

Gambar 4 Skema Transportasi Remazol Black B ke Lingkungan
(Sumber: modifikasi dari Anaerobic Azo Dye Reduction)
Berdasarkan hal tersebut jika limbah remazol masuk ke lingkungan maka
manusia, biota air dan kondisi lingkungan sekitar dapat terpapar oleh bahaya dari zat
warna tersebut. Ketika remazol black b dibuang ke badan air sedangkan badan air
tersebut digunakan oleh manusia untuk konsumsi sehari-hari seperti mandi, masak air

dan hal berhubungan dengan rumah tangga lainnya maka akan dapat menimbulkan
akumulasi zat warna remazol black tersebut di dalam tubuh manusia. Selain itu
paparan pada badan air yang paling besar akan menimbulkan dampak bagi ekosistem
yang ada di dalamnya (Ayuni, 2015).

5

BAB II
EFEK POLUTAN TERHADAP LINGKUNGAN
Berdasarkan pembahasan proses transportasi remazol black-B ke lingkungan
hingga ke pajanan nya yang telah dijelaskan pada Bab 3 Gambar 4, dapat dianalisis
bahwa efek polutan tersebut akan mengenai 2 pajanan yaitu biota air dan manusia.
Sedangkan efek remazol terhadap lingkungan berdasarkan karakteristik remazol
black B yang tidak mudah rusak oleh perlakuan kimia maupun perlakuan fotolitik
maka jika limbah ini dibuang di perairan dapat mengganggu estetika, meracuni biota
air serta dapat menimbulkan bau busuk di dalam badan air tersebut. Hal ini
dikarenakan berkurangnya oksigen yang dihasilkan selama proses fotosintesis, akibat
sinar matahari yang seharusnya digunakan oleh tanaman air terhalang oleh zat warna
tersebut (Ayuni, 2015).
2.1 Efek Remazol Black B terhadap Kesehatan Manusia

Remazol black-B yang memiliki sifat mudah larut dalam air dan tidak
terdegradasi pada kondisi aerob biasa, mempunyai ketahanan terhadap pengaruh
lingkungan seperti efek pH, suhu dan mikroba. Oleh karena itu, limbah dari zat warna
remazol sangat berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak dilakukan pengolahan
terlebih dahulu. Sementara itu, lingkungan mempunyai kemampuan terbatas dalam
mendegradasi limbah zat warna. Akibatnya, air menjadi tercemar (berwarna) dengan
kualitas air semakin memburuk dan tidak layak digunakan. Selain itu, air limbah zat
warna juga dapat mengakibatkan beberapa penyakit kulit hingga kanker kulit. Kanker
kulit yang terjadi terhadap pajanan akibat proses adsorpsi bahan remazol black-B
kedalam kulit manusia yang mengalami akumulasi menahun (Sulistya, 2013).

2.2 Populasi yang Rentan Terhadap Remazol Black-B
Menurut Purnawan (2011) berdasarkan analisis pada transportasi remazol blackB jika limbah remazol masuk ke lingkungan maka manusia, biota air dan kondisi
lingkungan sekitar dapat terpapar oleh bahaya dari zat warna tersebut. Ketika remazol
black b dibuang ke badan air sedangkan badan air tersebut digunakan oleh manusia
untuk konsumsi sehari-hari seperti mandi, masak air dan hal berhubungan dengan
rumah tangga lainnya maka akan dapat menimbulkan akumulasi zat warna remazol
black tersebut di dalam tubuh manusia. Selain itu paparan pada badan air yang paling
besar akan menimbulkan dampak bagi ekosistem yang ada di dalamnya.

6

Berdasarkan hal diatas maka dapat disimpulkan populasi yang rentan terhadap
polutan remazol black-B secara jangka pendek adalah biota air dan secara jangka
panjang adalah manusia.

7

BAB III
BIOAKUMULASI DAN BIOMAGNIFIKASI POLUTAN
Remazol Black B merupakan senyawa reaktif yang bersifat karsinogenik dan
toksik. Zat warna reaktif azo banyak digunakan dalam industri pencelupan tekstil
karena zat warna ini dapat terikat kuat pada kain dan tidak mudah luntur. Zat warna
reaktif azo disintesis untuk tidak mudah rusak oleh perlakuan kimia mapun perlakuan
potolitik. Untuk itu, bila terbuang ke perairan dapat bertahan dalam jangka waktu
yang cukup lama dan mengalami akumulasi sampai pada tingkat konsentrasi tertentu
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap daya dukung lingkungan. Sedangkan
untuk biomagnifikasi tidak terjadi pada polutan ini (Nugroho, 2014).
Kemampuan S. cerevisiae dalam bioakumulasi pewarna azo reaktif yang
dipilih bervariasi sampai batas yang signifikan. Tingkat akumulasi zat warna
tergantung pada pewarna, pH awal dan konsentrasi zat warna awal. Biomassa ragi
bisa memberikan bioakumulasi yang efektif untuk menghilangkan semua pewarna
pada pH 3.0. Secara umum peningkatan pewarna konsentrasi hingga 400 mg/l dalam
medium pertumbuhan menghambat pertumbuhan ragi
dan menyebabkan
periode
lag
yang
panjang. Pertumbuhan penghambatan sangat berat pada
konsentrasi yang lebih tinggi dari Remazol Red RB dan Remazol Biru, pada
tingkat lebih rendah untuk Remazol Hitam B. Peningkatan periode lag dengan
meningkatnya tingkat dye di media menunjukkan bahwa akumulasi pewarna terutama
tergantung pada aktivitas metabolik. Penyerapan zat warna tertentu meningkat
dengan meningkatnya konsentrasi pewarna hingga 410,0 mg/l untuk Remazol Hitam
B, 380,1 mg/l untuk Remazol Biru dan 219,1 mg/l untuk Remazol Red RB.
Persentase penyisihan warna pada semua konsentrasi berdasarkan studi lebih tinggi
dari 62% untuk pewarna Remazol Hitam B. Pola grafik hampir sama untuk
konsentrasi pewarna rendah dan moderat dan menunjukkan bahwa proses
bioakumulasi sejajar dengan pertumbuhan ragi. Dye penghapusan oleh ragi secara
fisik biosorpsi dari cara dye non-spesifik untuk perifer sel diikuti oleh akumulasi
tertentu ke dalam sel. Grafik hasil bioakumulasi dengan perlakuan seperti diatas dapat
dilihat pada Gambar 5 di bawah ini: (Aksu, 2003).

8

Gambar 5 Pengaruh Bioakumulasi Konsentrasi Zat Warna Awal Remazol Black B
Pada Pertumbuhan S. Cerevisiae
(Sumber: Reactive Dye Bioaccumulation by Saccharomyces Cereviase)

9

BAB IV
BAKU MUTU POLUTAN DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN
4.1 Baku Mutu Remazol Black-B di Indonesia
Standar polutan remazol black b yang boleh masuk ke lingkungan didalam
KepMen-LH No 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah, tidak dijelaskan
secara spesifik jumlah dan konsentrasi remazol black b yang diperbolehkan masuk ke
lingkungan. Dalam peraturan tersebut untuk industri tekstil, polutan yang diberi
standar hanyalah polutan seperti tabel berikut:
Tabel 4.1 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Indusri Tekstil
Beban
Kadar Paling
Pencemaran
Parameter
Tinggi (mg/L)
Paling Tinggi
(kg/ton)
60
6
BOD5
150
15
COD
50
5
TSS
0.5
0.05
Fenol Total
1.0
0.1
Krom Total (Cr)
8.0
0.8
Amonia Total (NH3-N)
0.3
0.03
Sulfida (sebagai S)
3.0
0.3
Minyak dan Lemak
pH
6,0 - 9,0
Debit Limbah Paling
Tinggi
100 m3/ton produk tekstil
(Sumber: Permen-LH no 5 tahun 2014)
Remazol black b yang boleh dibuang ke lingkungan berdasarkan standar dari
debit limbah yang paling tinggi yang diperbolehkan pada peraturan diatas. Hal ini
dikarenakan, remazol black b yang tercampur akan berkolerasi dengan debit limbah
yang dihasilkan.
4.2 Baku Mutu Remazol Black-B di Negara Lain
Zat warna reaktif azo menurut kriteria Uni Eopa untuk bahan berbahaya adalah
tergolong rendah. Standar polutan remazol di Amerika dan Canada dapat dilihat pada
tabel 4.2.

10

Tabel 4.2 Standar polutan remazol di Amerika dan Canada

source

US - California
Permissible
Exposure
Limits for
Chemical
Contaminants

Material

C.I. Reactive
Black 5
(Particulates
not otherwise
regulated
Respirable
fraction)

US - Tennessee
Occupational
Exposure
Limits-Limits
for Air
Contaminants

C.I. Reactive
Black 5
(Particulates
not otherwise
regulated
Respirable
fraction)

US - Wyoming
Toxic and
Hazardous
Subtances
Table Z1
Limits for Air
Contaminants

C.I. Reactive
Black 5
(Particulates
not otherwise
regulated
(PNOR)(f)Respirable
fraction)

US - Michigan
Exposure
Limits for Air
Contaminants

C.I. Reactive
Black 5
(Particulates
not otherwise
regulated
Respirable
dust)

TW
A
ppm

TWA
mg/m³

STE
L
ppm

STE
L
mg/


Peak
ppm

Peak
mg/m³

TWA
F/CC

5

Notes

(n)

5

5

5

11

Canada Prince Edward
Island
Occupational
Exposure
Limits

C.I. Reactive
Black 5
(Particulates
Insoluble or
Poorly
Soluble)
[NOS]
Inhalable
Particles

See
Appendix
B current
TLV/BEI
Book

10

(Sumber: MSDS Reactive Black 5)
Menurut penelitian Abidin (2012) Pada studi produk remazol black B yang
bernama Hoechst, melakukan studi inhalasi menengah durasi pada tikus, yang disebut
sebagai Hoechst (1984c) dalam profil yang bisa digunakan untuk menurunkan
perantara-durasi inhalasi BMR untuk endosulfan. Resensi menyatakan bahwa
konsentrasi 0,002 mg/L (2 mg / m3) endosulfan berdasarkan studi LOAEL
dengan indikator kekurusan, kulit pucat, squatting position and high-legged
position, penurunan bobot badan dan konsumsi pangan, peningkatan konsumsi air,
dan perubahan parameter klinis. Sedangkan berdasarkan studi NOAEL standarnya
adalah 0,001 mg/L (1 mg / m3).
The Hoechst (1984c) studi yang merupakan satu-satunya studi inhalasi
menengah berdasarkan ulasan ATSDR untuk studi Hoechst (1984c) disimpulkan
bahwa tidak ada efek samping yang signifikan bahkan pada konsentrasi tertinggi
endosulfan diuji (0,002 mg/L). Karena LOAEL tidak teridentifikasi, sesuai dengan
kebijakan ATSDR ini, penelitian ini tidak sesuai untuk BMR derivasi. Kekurusan,
kulit pucat, squatting position and high-legged position terjadi dalam satu tikus jantan
(dari 15) terkena 0,002 mg/L. Tikus jantan dalam kelompok paparan ini menunjukkan
penurunan berat badan pada hari 20 penelitian dan berat badan mereka lebih rendah
dibandingkan kelompok lain sampai akhir penelitian (29 hari setelah periode paparan
21 hari), tetapi perbedaan itu tidak signifikan secara statistik. Konsumsi makanan
nyata berkurang pada hari 20 pada tikus jantan dari 0,002 mg/L kelompok. Beberapa
parameter hematologi dan kimia klinis menunjukkan hasil yang berbeda secara
signifikan dari control. Namun, mereka berada dalam kisaran normal untuk strain
tikus yang digunakan dan dalam banyak kasus konsentrasi tidak terkait dengan
paparan. Berat organ tidak signifikan dipengaruhi oleh paparan endosulfan, gross and
microscopic evaluation dari jaringan dan organ tidak menunjukkan perubahan
paparan terkait. Berdasarkan studi NOAEL hasil percobaan ini, ATSDR yang
dianggap konsentrasi tertinggi sesuai uji,adalah 0,002 mg/L. (Abidin, 2012)

12

BAB V
ACCEPTABLE DAILY INTAKE (ADI) DAN EFFECTIVE DAILY INTA
KE (EDI)
ADI (Acceptable Daily Intake) adalah angka penduga asupan harian bahan kimia
yang dapat diterima dalam makanan sepanjang hidup manusia tanpa menimbulkan
resiko kesehatan yang bermakna (Permentan Nomor 24 tahun 2011). Sedangkan EDI
(Estimate Daily Intake) adalah jumlah rata-rata zat/bahan kimia yang dikonsumsi
tubuh pada setiap harinya (International Food Standards,2014).
Berdasarkan Departemen Kesehatan, TMDI dihitung dengan rumus seperti di
bawah ini:

�=

��
� � �
� �− � ��
� ��� � �
� ��
� � �� � � ��� � �

� ��
� ��� �

�� � =

� �

*TMDI = jumlah maksimum suatu zat 0dalam milligram per kilogram berat
badan yang dapat dikonsumsi dalam sehari tanpa menimbulkan efek merugikan
terhadap kesehatan.
Untuk polutan remazol black b tidak dapat ditentukan jumlah maksimal asupan
harian bahan kimia yang dapat diterima (ADI) dan jumlah rata-rata zat/bahan kimia
yang dikonsumsi tubuh pada setiap harinya (EDI) karena tidak ditemukannya bahan
kimia remazol yang terdapat dimakanan. Untuk remazol black b parameter yang
ditemukan hanya pada perairan.

13

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H. (2012). Desposition of Peer Review Comments for Endosulfan. United
State: SRC Inc Chemical, Biological, and Environmental Center.Aksu, Z.
(2003). Reactive Dye Bioaccumulation by Saccharomyces Cerevisiae. Process
Biochemistry, Volume 38 No. 1437-1444.
Ayuni, N. P. (2015). Kajian Transpor Zat Warna Azo Jenis Remazol Black B
Menggunakan Membran Kitosan. Jurnal Lingkungan Tropis , Volume 9 No.
1.
Https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/9570329
Http://sentrabatiktulisyogyakarta.com/

International Food Standard (2014)
Material Safety Data Sheet Reactive Black 5
Nugroho, D., Susatyo, E. B., & Prasetya, A. (2014). Sintetis Membran Kitosan-PVA
Terikat Silang untuk Menurunkan Kadar Zat Warna Remazol Black.
Indonesian Journal of Chemical Science , Vol. III No. 1.
Purnawan, C., Patiha, & A.A, Q. (2011). Fotodegradasi Zat Warna Remazol Black-B
Fg dengan Fotokatalis Komposit TiO2/SiO2. Jurnal Ekosains, Vol. III No. 1.
Permentan No 24 Tahun 2011
Sastrawidana, D. K., Lay, B. W., Fauzi, A. M., & Santosa, D. A. (2010). Pengolahan
Limbah Tekstil Sistem Kombinasi Anaerobik-Aaerobik Menggunakan
Biofilm Bakteri Konsorsium dari Lumpur Limbah Tekstil. Ecotrhopic,
Volume 2, 55-60.
Sulistya, R. (2013). Elektrodekolorisasi Zat Warna Remazol Violet 5r Menggunakan
Elektroda Grafit. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Widodo, D. S. (2009). Elektroremediasi Perairan Tercemar: Lektrodekolorisasi
Larutan Remazol Black B Dengan Elektroda Timbal Dioksida/Karbon Dan
Analisis Larutan Sisa Dekolorisasi. Jurnal Teknik Kimia Universitas
Diponegoro, Volume 12 No 1.
Zee, V. d. (2002). Anaerobic Azo Dye Reduction. Netherlands: Wegeningen
University.

14