Proyek Kritik Nalar Arab Al Jabiri Telaa

Proyek Kritik Nalar Arab Al-Jabiri;

Telaah Epistemologi Nalar Arab dan Impikasinya atas Pemikiran Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:

Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi Dosen pengampu : Dr. Alim Roswantoro, M.Ag.

Disusun oleh:

Fahmy Farid Purnama

NIM: 1420510019

KONSENTRASI FILSAFAT ISLAM JURUSAN AGAMA DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015

[Abstraksi]

Hegemoni otoritas turâts telah membelenggu nalar masyarakat Arab pada era kontemporer. Pemahaman keagamaan yang sejatinya adalah hasil kerja budaya, kemudian menubuh sejak era kodifikasi, telah dipahami tidak sebagaimana mestinya. Ada aspek historisitas yang terlupakan. Lain pada itu, kukuhnya tradisi bayâni yang hanya berkutat seputar nash keagamaan, ataupun nalar `irfâni yang hanya berusaha melakukan mitologisasi agama dengan kesadaran irrasionalnya turut memicu stagnasi kebudayaan Arab. Maka, usaha Al-Jabiri melakukan kritik nalar yang menyasar pada aspek epistemologi, semata agar peradaban Arab keluar dari keterpurukannya.

I. Prolog

Keterpurukan bangsa Arab di tengah hegemoni peradaban Barat, baik secara pemikiran, sosial, politik, hingga ekonomi, memantik banyak intelektual Arab untuk meneliti sebab-sebab dan solusi pemecahannya. Pelbagai proyek kebangkitan diwacanakan, namun selalu saja mengalami kebuntuan. Bangsa Arab seolah kebingungan untuk menemukan jalan terbaik agar keluar dari keterpurukan; dengan memutus total tradisi lalu beralih pada paradigma modernisme Barat, ataukah kembali kepada nilai-nilai tradisi bangsa Arab-Islam perdana sebagai paradigma alternatif dan orisinil. Al-Jabiri melihat bahwa pada dasarnya polemik pemikiran Arab kontemporer hanya berkutat pada persoalan pilihan, belum menyentuh prinsip dasarnya.

Kecenderungan dikotomik intelektual Arab dalam upaya keluar dari keterpurukannya ini terejawantahkan ke dalam tiga tipologi dasar. Pertama, sikap modernis (al-`ashrâniyyah) yang menjadikan capaian Barat modern sebagai model paradigma peradaban masa kini dan masa depan. Kedua, sikap tradisionalis (salafiyyah) yang menganggap bahwa capaian peradaban Arab-Islam perdana, sebelum terjadi—sebagaimana diasumsikan mereka—pelbagai penyimpangan dan kemunduran, dianggap sebagai model paling relevan dalam menghadapi modernitas.

Ketiga, sikap ekletis (intiqâiyyah) yang berusaha mencari unsur-unsur terbaik dari paradigma Barat modern dan capaian peradaban Arab-Islam klasik, kemudian memadukan keduanya dalam sebuah paradigma baru.

Menurut Al-Jabiri, kemunculan tiga model paradigma intelektual Arab ini bukan cara pandang ataupun sikap semata. Ketiganya merupakan dampak langsung perseteruan ideologis antara fundamentalisme dengan modernisme, liberalisme dengan sosialisme, hingga regionalisme dengan nasionalisme, yang berusaha

mengukuhkan diri di tengah arus modernitas. 1 Dengan demikian, ia memandang perlunya satu paradigma kebangkitan yang lebih fundamental.

Sebagai salah satu intelektual Arab yang memiliki perhatian atas cita-cita kebangkitan bangsa Arab, Al-Jabiri melihat gagalnya proyek kebangkitan Arab bukan sekedar persoalan pilihan atau usaha pemaduan dua paradigma belaka. Persoalannya justru terletak pada sikap bangsa Arab yang hanya menduplikasi (al-izdiwâjiyyah) peradaban modern pada tataran realitas material semata, seperti ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Maksudnya, sebagaimana bangsa Arab melestarikan tradisinya atas nama orisinilitas identitas suatu bangsa, pengembangan peradabannya hanya sebatas mengadopsi sektor-sektor material peradaban Barat modern saja. Sedangkan pada tataran pemikiran dan spirit modernitas, bangsa Arab masih terkungkung dalam kebingungan, lalu terjebak dalam perseteruan paradigma antara modernis, tradisionalis, dan ekletis. 2

Dipicu oleh kegagalan bangsa Arab dalam proyek kebangkitannya, Al-Jabiri tergugah untuk turut terlibat dalam upaya tersebut. Jika banyak pemikir yang masih larut dalam perseteruan ideologis, penekanan proyek Al-Jabiri justru terletak pada aspek yang lebih mendasar, yaitu kritik nalar (naqd al-`aqli). Baginya usaha kebangkitan Arab harus mendasarkan pada nalar yang ‘terjaga’, nalar yang mampu melakukan evaluasi mendasar terhadap mekanisme, pemahaman, dan cara pandang

1 Muhammad Abed Al-Jabiri, Isykâliyât Al-Fikr Al-`Arabi Al-Mu`âshir, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: Beirut, cet. VI, 2010), hlm. 15-17 1 Muhammad Abed Al-Jabiri, Isykâliyât Al-Fikr Al-`Arabi Al-Mu`âshir, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: Beirut, cet. VI, 2010), hlm. 15-17

Jabiri tengah memasuki tataran yang lebih prinsipil dan fundamental, yaitu kritik atas sejarah formulasi dan struktur epistemologi nalar Arab.

Kritik nalar Arab Al-Jabiri mengambil titik tolak pada turâts (tradisi). Menurutnya, setiap upaya kebangkitan tidak bisa dicerabut dari turâts, karena turâts merupakan unsur kebudayaan yang merawat dan melestarikan identitas suatu bangsa. Dengan memijak pada turâts—bukan dalam pemaknaan sebagai fondasi dasar yang harus dimunculkan kembali sebagaimana adanya dalam kesadaran modern, tapi sebagai landasan dasar dan fokus kajian kritis proyek kebangkitan—kebangkitan suatu peradaban tidak akan mengalami pemenggalan ataupun keterputusan identitas. 4

Untuk itu, proyek kritik nalar Arab Al-Jabiri memfokuskan pada ulasan proses kesejarahan nalar Arab, dengan melakukan analisa formatif (al-tahlîl al-takwîni) dan analisa strukturasi (al-tahlîl al-binyawi) nalar Arab.

Melalui proyek kritik nalarnya, Al-Jabiri berusaha membebaskan kesadaran bangsa Arab dari kungkungan otoritas turâts yang diarasanya terlalu menghegemoni. Banyak yang tidak sadar akan aspek historisitas dan cara kerja struktur nalar Arab yang memproduksi kemudian menubuh kukuh dalam sejarah panjang kebudayaan Arab. Dengan demikian, kritik nalar di sini dimaksudkan untuk membebaskan) nalar Arab dari hegemoni turâts, kemudian memulainya lagi dari realitas budaya Arab- Islam itu sendiri, tanpa harus terbebani dengan perspektif mayoritas/dominan yang telah mengakar sedemikian lama dalam kesadaran bangsa Arab. 5

Karena perhatiannya terhadap turâts inilah, Al-Jabiri termasuk salah satu pemikir post-tradisionalis yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Arab kontemporer. Capaian terbesarnya terletak pada keberhasilan mengurai epistemologi nalar Arab-Islam yang terpetakan ke dalam tiga tipologi

3 Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwîn Al-`Aql Al-`Arabiy, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: Beirut, cet. X, 2009), hlm. 5

4 Muhammad Abed Al-Jabiri, Isykâliyât Al-Fikr Al-`Arabi Al-Mu`âshir, op. cit., hlm. 21 4 Muhammad Abed Al-Jabiri, Isykâliyât Al-Fikr Al-`Arabi Al-Mu`âshir, op. cit., hlm. 21

II. Biografi Singkat Abed Al-Jabiri

a. Sejarah hidup

Dalam sebuah buku autobiografi berjudul Hafriyât fî Al-Dzâkirah min Ba`îd yang penuh permenungan itu, Al-Jabiri menguraikan sejarah diri, menggali kembali ingatan-ingatan kehadiran dan keterlibatan diri dalam dunia, mulai dari masa kecil hingga menjadi seorang intelektual. Karena pada dasarnya manusia merawat citra masa kecil yang mengerak di pedalaman batin diri lewat proses penghadiran kembali ingatan-ingatannya atas perjumpaan awal dengan dunia secara sadar, walaupun tanpa pernah tahu persis kronologi kejadiannya. Sejarah masa kecil cenderung tumpang tindih dan berdedsakan, seolah upaya penghadirannya mendahului bahkan mengatasi konsepsi ruang-waktu. 6 Melalui buku ini, Al-Jabiri berusaha mekonstruksi ulang ingatan-ingatannya, terutama momen-momen hidup yang paling membekas dalam diri dan turut mempengaruhi cara dia memahami dunia.

Pemikir yang bernama lengkap Muhammad Abed Al-Jabiri terlahir di sebuah kota bernama Figuig, Maroko bagian Tenggara, pada tahun 1935 M. Saat itu, Maroko tengah berada kungkungan kolonialisme Prancis. Banyak sejarawan menuturkan bahwa masyarakat Figuig terkenal dengan spirit revolusioner dan mencitrakan dirinya

6 Uraian ingatan-ingatan momen masa kecilnya bisa dilihat: Muhammad Abed Al-Jabiri, Hafriyât fî 6 Uraian ingatan-ingatan momen masa kecilnya bisa dilihat: Muhammad Abed Al-Jabiri, Hafriyât fî

Al-Jabiri merupakan anak tunggal hasil pernikahan Muhammad dan Al- Wazinah. Kedua orang tuanya muncul dari dua tradisi yang berbeda. Dari ayahnya mengalir darah nasionalis-revolusioner pejuang Figuig, sedangkan dari ibunya mengalir darah intelektual. Ibunya merupakan keturunan Seyeed Abd Al-Jabbar Al- Figuig, seorang ulama tersohor yang bahkan beberapa karyanya masih tersimpan di perpustakaan seorang orientalis Prancis bernama Jacques Berque. Tidak banyak yang diingat tentang relasi ayah dan ibunya, karena keduanya bercerai saat Al-Jabiri masih dalam kandungan. Selama kurang lebih tujuh tahun, ia diasuh ibunya yang tinggal bersama kakek dan saudara dari pihak ibu. Atas kesepakatan keluarga, ibunya diminta

untuk tetap menjanda hingga Al-Jabiri berusia tujuh tahun. 7 Pendidikan Al-Jabiri kecil terbentuk secara kultural. Setiap pagi, ia selalu

diajak kakeknya ke tempat belajar tradisional (al-musayyid/al-kuttâb) yang terletak di dekat mesjid samping rumah. Pelbagai ilmu Islam dipelajari di sana dengan menggunakan sistem ’bandongan’ (oral-transmisional) dan hafalan. Saat usianya tepat memasuki tujuh tahun, Al-Jabiri ikut bersama ayah baru yang dinikahi ibunya. Sama seperti sebelumnya, pendidikan yang didapat Al-Jabiri di tempat ayah tirinya juga bersifat kultural, walaupun tidak dalam waktu yang lama mengingat keduanya juga bercerai. 8

Pamannya memasukan Al-Jabiri ke Leykaul, sekolah Prancis yang ada di kotanya. Inilah awal mula ia mendapatkan pendidikan formal yang sangat berbeda dalam sistem belajar-mengajar tradisional yang ia dapatkan sebelumnya. Tidak seperti pendidikan tradisional yang menggunakan bahasa Arab, sekolah Leykaul menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa komunikasi formal. Di sekolah Prancis tersebut Al-Jabiri hanya belajar selama dua tahun, karena memasuki sekolah Prancis bagi sebagian besar penduduk pribumi saat itu berarti keluar dari tradisi dan nilai-

7 Ibid., hlm. 24-26 7 Ibid., hlm. 24-26

tradisional dan perjumpaannya dengan sistem pendidikan modern Prancis inilah kesadaran awal Al-Jabiri terbentuk.

Selepas keluar dari sekolah Prancis, Al-Jabiri melanjutkan studinya di madrasah Al-Nahdlah Al-Muhammadiyah Figuig yang dibuka oleh Al-Hajj Muhammad Faragh. Sekolah ini merupakan salah satu dari beberapa institusi pembebasan (al-madâris al-hurrah) yang didirikan orang-orang salafis-nasionalis Maroko. Institusi ini didirikan sebagai bentuk resistensi terhadap kolonialisme Prancis. Pada tahun 1949 Al-Jabiri menyelesaikan pendidikannya di sekolah ini dan mendapatkan ijazah ibtidâiyyah. 10

Kemudian selama satu tahun (1949-1950), Al-Jabiri mengikuti pendidikan takmîli di sekolah yang sama bersama beberapa temannya. Karena baru dibuka dan belum memiliki tenaga pengajar, pendidikan takmîli diampu langsung oleh Muhammad Faragh dan guru-guru ibtidâiyyah lainnya. Walaupun pendidikan belajar mengajarnya cenderung tidak sistematis, namun bagi Al-Jabiri pendidikan takmîli inilah yang menjadi fondasi dasar intelektualitas dan kehidupan sosial- kebudayaannya. Di sanalah ia mulai banyak bersinggungan dengan pelbagai khazanah turâts Islam secara sadar, dalam suasana yang sarat keakraban. Al-Jabiri mulai menghafal mukhtashar Imam Khalil Al-Farahindi, Alfiyah Ibn Malik, syair- syair Umru Al-Qais, Zahir ibn Abi Salma, dan penyair lainnya. Ia juga banyak menelaah prosa-prosa Arab karangan Ahmad Syauqi, Hafidz Ibrahim, Al-Barudi, Al- Manfaluthi, Mustafa Shadiq Al-Rafi`i, Taha Husain, Jurji Zaidan, dan lainnya. Di sisi lain, periode ini juga merupakan momen awal ketika ia melatih kemampuan

menulisnya. 11

9 Ibid., hlm. 51-53 10 Ibid., hlm. 76-78

Al-Jabiri melanjutkan studinya di Dâr Al-Baidla (Casablanca) yang ia selesaikan pada tahun 1953. Ia menyelesaikan studi magister (S2) pada tahun 1967 di Universitas Muhammad V Rabat-Maroko, dengan judul tesis Al-`Ashabiyah wa Al- Daulah; Ma`âlim Khaldûniyah fî Al-Târikh Al-`Arabi Al-Islâmi. Gelar doktoralnya (S3) ia peroleh di universitas yang sama pada tahun 1970. Al-Jabiri meninggal pada hari Senin, 3 Mei 2010 di usia 75 tahun dengan meninggalkan pelbagai karya yang merefleksikan semangat dan ambisinya terkait proyek kebangkitan peradaban Arab. 12

b. Bibliografi

Al-Jabiri termasuk salah satu garda depan pemikir Arab kontemporer yang cukup produktif. Tulisan-tulisannya banyak tersebar, baik dalam bentuk buku ataupun artikel. Berikut beberapa karya terpenting yang berkaitan dengan proyek kebangkitan Arab:

 Al-`Ashabiyah wa Al-Daulah; Ma`âlim Khaldûniyah fî Al-Târikh Al- `Arabi Al-Islâmi Buku ini merupakan karya pertama Al-Jabiri yang menelaah pelbagai pemikiran sosiologis Ibn Khaldun mengenai sejarah bangsa-bangsa, baik dalam konteks desa (baladiy) ataupun kota (hadlariy).

 Nahnu wa Al-Turâts; Qirâ’ât Mu`âshirah fî Turâtsina Al-Falsafi

Dalam karya ini, Al-Jabiri berusaha menjelaskan cara masyarakat Arab membaca turâts-nya, sekaligus mendedah sejarah Turâts filsafat Islam. Sebagai pengusung ideologi Rusydian, ia mengajukan wacana flsafat Islam, khususnya rasionalisme Ibn Rusyd, sebagai ideologi yang tepat untuk mengawal proyek kebangkitan Arab. Melalui buku ini pula, Al-Jabiri berusaha melacak akar kemunduran filsafat Islam. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Ibn Sina menjadi awal kemunduran Islam, karena mengajarkan filsafat irrasional.

 Takwîn Al-`Aql Al-`Arabi

Buku ini merupakan bagian pertama tetralogi ‘kritik nalar Arab.’ Buku ini merusaha melacak proses historis formasi nalar Arab, dengan menjadikan era kodifikasi sebagai pijakan referensial proses pembentukanya. Baginya, Buku ini merupakan bagian pertama tetralogi ‘kritik nalar Arab.’ Buku ini merusaha melacak proses historis formasi nalar Arab, dengan menjadikan era kodifikasi sebagai pijakan referensial proses pembentukanya. Baginya,

 Bunyat Al-`Aql Al-`Arabi

Buku kedua dari tetralogi ‘kritik nalar Arab’ ini berusaha menguraikan rancang-bangun epistemologi struktur nalar Arab. Dengan menganalisa struktur dan mekanisme nalar bayâni, `irfâni, dan burhâni, ia berusaha membebaskan nalar Arab dari hegemoni otoritas turâts.

 Al-`Aql Al-Siyâsi Al-`Arabi

Buku ketiga dari tetralogi ‘kritik nalar Arab’ ini berusaha mendedah sisi praksis nalar Arab terkait politik. Dalam buku inilah, ia menjelaskan bahwa realitas bangsa Arab penuh pertikaian ideologis dan politis. Hal ini berimbas pada watak ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta relasinya dengan kekuasaan yang berkembang di Arab.

 Al-`Aql Al-Akhlâqi Al-`Arabi

Edisi terakhir dari tetralogi ‘kritik nalar Arab’ ini berusaha mendedah sisi praksis nalar Arab terkait etika, khususnya realitas yang berkembang dalam tradisi mistisisme Arab-Islam.

Adapun beberapa karya Al-Jabiri lainnya adalah:  Madkhal ilâ Al-Qur’â

 Madkhal ilâ Falsafat Al-`Ulûm; Al-`Aqlâniyyah Al-Mu`âshirah wa Tahthawwur Al-Fikr Al-`Ilmi  Tafsîr Al-Qur’ân Al-Wâdlih hasba Asbâb Al-Nuzûl  Adlwâ’ `alâ Musykilat Al-Ta`lîm bi Al-Maghrib  Min Ajli Ru’yah Taqdîmiyyah li ba`dl Musykilâtunâ Al-Fikriyyah wa Al-

Tarbawiyyah  Manâhij Al-Tajrîbi wa Tahthawwur Al-Fikr Al-`Ilmi  Isykâliyat Al-Fikr Al-`Arabi Al-Mu`âshir  Wahdat Al-Maghrib Al-`Arabi  Al-Turâts wa Al-Hadâtsah  Al-Khithâb Al-`Arabi Al-Mu`âshir  Nahwa I`âdat Binâ Qadlâyâ Al-Fikr Al-`Arabi Al-Mu`âshir  Al-Mas’alah Al-Tsaqâfiyyah  Dimuqrâthiyyah wa Huqûq Al-Insân  Masallah Al-Yahûd; Al-`Urûbah wa Al-Islâm wa Al-Gharb  Al-Mutsaqqafûn fî Al-Hadlârah Al-`Arabiyyah  Al-Dîn wa Al-Daulah wa Tathbîq Al-Syarî`ah

 Al-Masyrû`Al-Nahdlawi Al-`Arabi.

III. Kritik Epistemologi Nalar Arab Perspektif Al-Jabiri

a. Signifikasi Turâts dalam Kritik Nalar Arab

Secara umum, kritik Al-Jabiri ditujukan pada nalar Arab-Islam yang menubuh dalam turâts. Tidak seperti pemikir modernis yang memandang bahwa turâts hanyalah warisan peradaban klasik yang harus tetap didudukan dalam kerangka masa lalu dan melakukan pemutusan total dengannya, Al-Jabiri justru kukuh dengan turâts. Baginya, turâts bukan menjadi objek kajian di ruang akademis an sich, atau dipahami sebatas kajian tambahan dalam proyek modernisasi. Turâts justru merupakan akar kesadaran, kebudayaan, dan identitas paling otentik dari peradaban Arab sekaligus yang membedakannya dari peradaban lain.

Turâts harus menjadi titik tolak kritik nalar agar proyek kebangkitan Arab tidak mengalami pemenggalan ataupun keterputusan sejarah. Karena persoalan keterpurukan bangsa Arab sejatinya berkutat pada cara mereka memahami dan memperlakukan turâts-nya yang cenderung bergerak sirkular (al-fahm al-turâtsi li al-

turâts), tidak bergerak ke arah pembaharuan (al-fahm al-hadâtsi li al-turâts). 13 Jika memang turâts memainkan peran signifikan dalam konstruk pemikiran Al-Jabiri,

maka pemaknaan turâts semacam apa dalam diskursus kontemporer menurut Al- Jabiri?

Berbeda dengan pengertian turâts dalam kerangka pemikiran Arab klasik yang lebih menekankan pada aspek materiil berupa harta waris (al-mîrâts) atau paling tidak perhitungan harta waris (al-irtsi), titik tekan kata turâts dalam diskursus Arab kontemporer lebih pada aspek non-materiil suatu peradaban. Turâts dimaknai sebagai warisan pemikiran, filsafat, kebudayaan, pemahaman keagamaan, kesenian hingga kesusastraan Arab klasik. Ada semacam pergeseran muatan makna yang bahkan, bagi Al-Jabiri, tidak memiliki padanan katanya dalam diskursus Barat.

13 Muhammad Abed Al-Jabiri, Al-Turâts wa Al-Hadâtsah, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah:

Kata heritage ataupun patrimoine, misalnya, sama sekali tidak bisa mencerminkan secara utuh pemaknaan turâts. Ada jarak kesadaran dalam makna terjemahannya yang dipicu oleh perbedaan muatan emosional dan ideologis antara peradaban Arab dengan peradaban non-Arab. 14 Pada titik inilah, dengan

kekukuhannya bergerak dari kerangka kesadaran bangsa Arab, kesan ambisius dan ideologis proyek kebangkitan Al-Jabiri sudah terasa sejak awal. Bahkan kata turâts sendiri adalah representasi awal spirit kebangkitan nalar Arab yang diusungnya.

Secara umum, turâts dibentuk oleh pelbagai pengalaman komunal masyarakat Arab, lalu menubuh dan mengejawantah dalam setiap prilaku maupun penanda budaya, seperti legenda, pepatah, sindiran, ironi, puisi, bahkan ideologi. Sebagai tempat menyimpan endapan-endapan ingatan kolektif bangsa Arab, turâts menjadi cara khas keberadaan mereka, baik secara sadar ataupun tidak. Dengan penghadiran- penghadiran secara berulang, turâts menjadi momen perjumpaan kesadaran tiap elemen masyarakat yang terikat oleh ingatan kolektif tersebut. Tak ayal, turâts sangat mempengaruhi prilaku dan cara mereka memahami apa yang dimaksud dengan diri, masyarakat, kebudayaan, hingga keyakinan beserta pelbagai proyeksi dan manifestasinya.

Hanya saja, otoritas turâts dianggap sudah terlalu menghegemoni dan menjadi elemen pemikiran dan kebudayaan Arab yang tak tergugat. Di tengah penetrasi moderenisme dan imperialisme Barat, bangsa Arab justru terjerat dalam ingatan- ingatan nostalgik kegemilangan peradaban Islam masa silam. Turâts terlalu kukuh menubuh dalam peradaban Arab kontemporer, sehingga mengaburkan satu kenyataan dasar bahwa selalu ada historisitas dan bias-bias ideologis dalam suatu kebudayaan yang terekam apik dalam turâts.

Pada ruang inilah sejatinya Al-Jabiri melakukan kritik epistemologis terhadap nalar Arab. Melalui proyek kritik nalarnya, Al-Jabiri ingin melakukan pemugaran kesadaran nostalgik bangsa Arab, lalu merubahnya menjadi kesadaran rasional kritis Pada ruang inilah sejatinya Al-Jabiri melakukan kritik epistemologis terhadap nalar Arab. Melalui proyek kritik nalarnya, Al-Jabiri ingin melakukan pemugaran kesadaran nostalgik bangsa Arab, lalu merubahnya menjadi kesadaran rasional kritis

Al-Jabiri melihat ada semacam cara baca dan pemahaman yang salah dalam memahami turâts. Di satu sisi, turâts memang mewakili sejarah panjang kesadaran berkebudayaan umat manusia, sehingga turâts bersifat universal. Namun pada sisi lainnya, di balik sifat menyeluruhnya itu, ada aspek kesejarahan dan lokalitas yang membatasi horizon pemahaman dan artikulasinya. Pada titik inilah, menurut Al- Jabiri, bangsa Arab cenderung tidak sadar terhadap aspek historisitas turâts Arab- Islam. Mereka lupa bahwa selalu ada bias-bias ideologis yang menubuh di dinding- dinding sejarah turâts Arab-Islam. Sehingga tidak ada pemilaan yang jernih antara agama (al-dîn) dan ideologi keagamaan (al-îdyûlujiah al-dîniyah). Dampaknya, turâts telah diposisikan selayaknya agama itu sendiri, sehingga menjadi unsur

kebudayaan yang anti-kritik. 15 Banyak masyarakat Arab kontemporer tidak sadar bahwa konteks sosio-kultur

yang terekam turâts Arab-Islam telah mengalami pergeseran paradigma yang cukup radikal. Fenomena-fenomena sosial yang terekam apik di masa lalu, acap kali tidak ditemukan padanannya secara persis pada masa kini. Salah satu dampak ketidaksadaran ini, bangsa Arab masih sering menarik paksa pertikaian ideologis masa lalu ke dalam kesadaran masa kini, sebagaimana pergesekan yang sering terjadi antara ulama fikih, teologi, tashawuf, ataupun filsafat.

Untuk memugar kesadaran nostalgik semacam ini, Al-Jabiri memandang perlu adanya pembacaan turâts secara kritis dan sadar, kemudian memilih paradigma turâts yang sesuai dengan semangat kekinian, bukan atas dasar relasi ideologi ataupun kekuasaan tertentu. Karena dalam pandangannya, ideologi resmi pada masa kekuasaan tertentu tidak lantas menjadi jaminan kesesuaiannya dengan spirit kemajuan peradaban. 16

15 Ibid., hlm. 37-38

Terkait hal ini, agar turâts bisa kontekstual bagi masanya (mu`âshiran li nafsih) juga bagi masa setelahnya (mu`âshiran li ba`dih), Al-Jabiri memandang pentingnya pemosisian yang tepat antara seorang pembaca dan turâts secara sadar. Sehingga cara baca yang diaplikasikan terhadap turâts bisa bergerak ke arah pembaharuan (al-fahm al-hadâtsi li al-turâts), bukan bergerak sirkular (al-fahm al- turâtsi li al-turâts) atau malah memijak pada turâts yang berkembang di luar kebudayaan Arab.

Al-Jabiri melihat kecenderungan pembacaan turâts yang tengah berkembang dalam upaya kebangkitan nalar Arab bergerak regresif. Ada tiga kecenderungan cara baca turâts yang dipetakannya, yaitu:

 Pertama, cara baca fundamentalisme agama (al-salafiyyah al-dîniyyah). Bagi mereka, capaian masa lalu yang terekam dalam turâts Islam senantiasa kompatibel dengan modernitas. Bagi Al-Jabiri, cara baca turâts semacam bersifat ahistoris (qirâ’ah lâ târikhiyyah).

 Kedua, kecenderungan orientalisme (al-salafiyyah al-istisyrâqiyyah). Menurut Al-Jabiri, cara baca orientalis yang digunakan pemikir Arab liberal telah mencerabut turâts dari akar keterbentukannya, karena sejatinya mereka membaca turâts Arab menggunakan turâts Eropa. Tentu ada keterputusan epistemologis diantara keduanya dan yang akan berdampak pada kongklusi yang dihasilkannya.

 Ketiga, kecenderungan marxisme (al-salafiyya al-yasâriyyah al-marxiziyyah). Kecenderungan Marxisme yang berkembang di kalangan pemikir kiri Arab mengambil dua paradigma dasar, yaitu revolusi dan rekonstruksi turâts. Hanya saja mereka bukan melakukan penerapan (tathbîq) metode dialektika materialisme dalam membaca turâts, tapi sebatas menerapkan (muthabbaq)  Ketiga, kecenderungan marxisme (al-salafiyya al-yasâriyyah al-marxiziyyah). Kecenderungan Marxisme yang berkembang di kalangan pemikir kiri Arab mengambil dua paradigma dasar, yaitu revolusi dan rekonstruksi turâts. Hanya saja mereka bukan melakukan penerapan (tathbîq) metode dialektika materialisme dalam membaca turâts, tapi sebatas menerapkan (muthabbaq)

Al-Jabiri sendiri menawarkan dua strategi pembacaan, yaitu pembacaan secara berjarak atau penjarakan (al-fashl) dan pembacaan secara dekat atau relasional (al-washl). Dalam strategi pertama (al-fashl), seorang pembaca harus menjaga jarak dengan pelbagai problematika yang terkandung dalam turâts, baik pada tataran epistemologis maupun muatan-muatan ideologisnya. Sehingga pembaca tidak malah terjerumus dalam pertikaian ideologis masa lalu kemudian dihadirkan dalam kesadaran masa kini saat bergumul dengan turâts. Adapun strategi kedua (al-washl) menekankan pada upaya objektifivasi dan rasionalisasi turâts. Bagi Al-Jabiri, kedua

metode ini sangatlah penting dalam upaya kontekstualisasi turâts. 18 Dari uraian di atas, sejatinya persoalan paling mendasar atas keterpurukan

bangsa Arab berkaitan dengan sikap dan pembacaan mereka atas turâts. Melalui penelusuran ulang sejarah formasi nalar Arab yang memijak pada era kodifikasi, Al- Jabiri memulai proyek kritisnya dengan memetakan sejarah pembentukan epistemologi nalar Arab (bayâni, `irfâni, dan burhâni). Baginya, terdapat pertautan yang cukup erat antara muatan epistemologis dan selubung ideologis-politis yang menubuh dalam turâts Arab-Islam pada tingkat formatifnya. Pada tahapan selanjutnya, Al-Jabiri menguraikan struktur epistemologi nalar Arab, beserta mekanisme, pemahaman dan pertautannya satu sama lain. Hal ini dilakukan Al-Jabiri sebagai upaya menempatkan turâts dalam kerangka kesejarahan dengan segala keterbatasan dan relativitasnya, sekaligus membatasi hegemoni otoritas turâts dan memulihkan nilai historisitasnya.

b. Formasi Nalar Arab

17 Selengkapnya lihat: Muhammad Abed Al-Jabiri, Nahnu wa Al-Turâts, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: Beirut, cet. I, 2006), hlm. 16-20

Pembentukan kebudayaan dan tradisi suatu peradaban selalu berpijak pada paradigma yang merefleksikan aspek intelektualnya. Jika bangsa Yunani dikenal dengan peradaban rasional, ataupun Eropa modern dengan peradaban ilmu, maka Arab-Islam identik dengan peradaban Teks (hadlârah an-nash). Pada aspek inilah kajian epistemologi menjadi penting dalam dalam upaya mendedah identitas dan mekanisme nalar sebuah peradaban. 19

Dalam kebudayaan peradaban Arab-Islam sendiri, Al-Qur’an menjadi poros paradigmatik sekaligus sumber doktrinal yang mengukuhkan Tuhan sebagai pusat segala metafisika kehadiran dan pelbagai relasinya dengan realitas empiris. Setiap aktifitas pengetahuan selalu memijak pada Al-Qur’an terlebih dahulu, karena di dalamnya terkandung wacana keagamaan (al-khithâb ad-dîniy), baik dalam konteks teologi (ulûhiyyat), ekskatologi (ma`âd), propetik (nubuwwah), hingga manusia (insâniyât). Dengan demikian, risalah Muhammad SAW. dalam proses pembudayaan sosio-kultur masyarakat Arab-Islam bukan hanya berkisar pada aspek iman belaka. Agama juga bersifat visioner yang terlacak melalui muatan-muatan kognitif (cognitive contents) dan tata nilai (ethical contents) yang disajikan dalam Al- Qur’an. 20

Sebagai peradaban Teks, pada mulanya aktivitas intelektual masyarakat Arab- Islam sebatas usaha menguraikan Al-Qur’an lewat penafsiran. Namun persinggungan kebudayaan Arab-Islam perdana dengan tradisi besar lainnya, terutama capaian kebudayaan Yunani dan Persia menjadikan interpretasi Al-Qur’an berkembang

19 Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-mula, susunan, metode-metode, dan sahnya pengetahuan. lihat: Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Indonesia oleh Soejono

Soemargono, (Tiara Wacana: Yogyakarta, cet. VII, 1996), hlm. 76 20 “Muhammad saw. telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah,

seadnainya aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Pernyataan Abdul Quddus (seorang sufi dari Ganggah) ini mengandung perspektif sekaligus konsekuensi yang terbilang sangat tajam. Ada semacam dualisme yang hendak dimunculkan terkait perbedaan psikologis antara kesadaran profetik/kenabian (prophetic consciousness) dengan kesadaran mistik (mystic consciousness). Kembalinya seorang nabi mengandung nilai lebih bagi tatanan sosial dan kebudayaan manusia. Ia menyisipkan diri dalam ruang-waktu untuk menjaga laku sejarah manusia, sekaligus menciptakan satu dunia ideal yang baru. Kembalinya Nabi SAW. ke bumi selalu memberi arti kreatif bagi manusia dan kemanusiaan. Lihat: Muhammad Iqbal, Tajdîd Al-Tafkîr Al-Dîniy fî Al-Islâm, alih seadnainya aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Pernyataan Abdul Quddus (seorang sufi dari Ganggah) ini mengandung perspektif sekaligus konsekuensi yang terbilang sangat tajam. Ada semacam dualisme yang hendak dimunculkan terkait perbedaan psikologis antara kesadaran profetik/kenabian (prophetic consciousness) dengan kesadaran mistik (mystic consciousness). Kembalinya seorang nabi mengandung nilai lebih bagi tatanan sosial dan kebudayaan manusia. Ia menyisipkan diri dalam ruang-waktu untuk menjaga laku sejarah manusia, sekaligus menciptakan satu dunia ideal yang baru. Kembalinya Nabi SAW. ke bumi selalu memberi arti kreatif bagi manusia dan kemanusiaan. Lihat: Muhammad Iqbal, Tajdîd Al-Tafkîr Al-Dîniy fî Al-Islâm, alih

Dalam perkembangannya, ketiga epistemologi Arab-Islam ini tidak mengalami perkembangan signifikan. Sehingga pemikiran Arab cenderung berkutat pada aktifitas pengulangan, peringkasan, penjelasan (syarh) hasil capaian peradaban klasik. Dampaknya, bangsa Arab masih terjebak dalam konflik ideologis, bahkan semenjak era kodifikasi. Bagi Al-Jabiri, keterpurukan bangsa Arab ini dipicu pemilihan epistemologi yang salah. Maka kritik epistemologi nalar Arab merupakan langkah awal paling penting dalam upaya kebangkitan.

Proyek kritik nalar Arab Al-Jabiri berpijak pada tiga asumsi dasar, yaitu terkait: (1) Nalar dan proyeksi kebudayaan Arab. (2) Era kultural bangsa Arab sebagai proyeksi nalar tak sadar dan akar kemandegan peradaban. (3) Era kodifikasi sebagai frame referensial kritik nalar Arab.

b-i. Nalar dan Proyeksi Kebudayaan Arab

Untuk menganalisa proses keterbentukan nalar Arab dan proyeksi kebudayaannya, Al-Jabiri terlebih dahulu menjernihkan pengertian kata al-`aql. 21 Ia

sengaja menggunakan kata al-`aql (nalar), bukan al-fikr (pemikiran), sebagai strategi awal untuk menghindari kesalahpahaman mendasar yang malah akan melencengkan dari maksud proyek kritisnya. Menurutnya, penggunaan kata al-fikr yang berkembang cenderung hanya mengacu pada muatan atau isi suatu pandangan tertentu, baik dalam konteks pandangan ideal-moral, doktrin sektarian/madzhab, hasrat sosial-politik,

ataupun muatan lainnya. 22

21 Dalam hal ini, proyek Al-Jabiri berbeda dengan Arkoun. Dalam analisa Ali Harb, Arkoun cenderung membincang identitas Islam secara umum karena ia melihat postulat awal yang digunakannya terkait

keislaman. Tak ayal, proyek kritiknya adalah ‘Kritik Nalar Islam’ (Naqd Al-`Aql Al-Islâmi). Sedangkan postuat awal Al-Jabiri lebih didorong oleh spirit nasionalisme bangsa Arab. Sehingga proyek kritiknya adalah ‘Kritik Nalar Islam’ (Naqd Al-`Aql Al-`Arabi). Selengkapnya lihat: Ali Harb, Naqd Al-Nash, (Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-`Arabi: Beirut-Libanon, 2005), hlm. 115-116

Bagi Al-Jabiri, jika pengertian kata al-fikr hanya dimaknai sebatas muatan pemikiran, maka al-fikr sama sekali tidak berbeda dengan ‘ideologi.’ Sedangkan pengertian dasar kata al-fikr bukan hanya tertuju pada muatan pemikiran (majmû` al- afkâr dzâtuha) an sich, namun juga pada perangkat yang memproduksi pemikiran (‘adât li intâj al-afkâr). Sederhananya, kata al-fikr memuat dua aspek mendasar, yaitu ideologi (produk dari model berfikir yang dibentuk oleh realitas khasnya) dan epistemologi (pandangan dan teori kebenaran yang mencerminkan realitas suatu peradaban semata). 23 Dengan demikian, batasan awal dari kata al-`aql sejatinya

adalah makna al-fikr ditinjau dari dua aspeknya tersebut. Namun mengingat fokus kritik Al-Jabiri tertuju pada kritik epistemologi, maka pengertian al-`aql lebih pada perangkat berfikir bukan produk pemikiran.

Untuk mendukung analisanya, Al-Jabiri meminjam konsep Andre Lalande yang membagi al-`aql menjadi dua macam. Pertama, ‘nalar pembentuk’ (la raison constituante/al-`aql al-mukawwin aw al-fâ`il), yaitu kapasitas kognitif atau bakat intelektual (al-malakah) manusia yang mampu mencari dan menemukan prinsip- prinsip umum dan niscaya atas hubungan segala sesuatu. Dalam pengertian lain, ‘nalar pembentuk’ atau ‘akal murni’ merupakan aktifitas intelektual manusia yang mampu mengkaji, menelaah, dan merumuskan pelbagai konsep dan prinsip dasar segala sesuatu. Kedua, ‘nalar terbentuk’ (la raison constituée/al-`aql al-mukawwan aw al-sâid), yaitu kumpulan prinsip dan kaidah dasar yang dijadikan pijakan awal setiap proses berfikir dan berargumentasi, atau semacam ‘akal budaya’ yang berkerja

dalam kerangka epistemologis untuk memperoleh suatu pengetahuan. 24 Adapun yang dimaksudkan Al-Jabiri dengan ‘nalar Arab’ adalah ‘nalar

terbentuk’ (al-`aql al-mukawwan). Karena pada prinsipnya, ‘nalar pembentuk’—atau dalam istilah lain sebagai al-quwwah al-nâtiqah—lebih sebagai pembeda antara manusia dan binatang secara umum. Sedangkan ‘nalar terbentuk’ selalu berbeda pada setiap masa, bahkan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Dalam

23 Ibid., 12-14 23 Ibid., 12-14

menisbatkan pengertian la raison constituante dan la raison constituée kepada Lalande, ataupun pelbagai kerancuan-kerancuan konsepsinya, 26 proyek kritik nalar

Arab Al-Jabiri selalu bermula dari pemahaman tersebut. Sebagai kumpulan kaidah dasar yang dijadikan pijakan awal proses berfikir, nalar Arab tentunya memiliki pengertian dan mekanisme yang khas. Untuk mengurai kekhasan ini, Al-Jabiri melakukan analisa perbandingan dengan kebudayaan Yunani dan Eropa modern. Walaupun terdapat peradaban besar lain, seperti Mesir, India, Babilonia, maupun Cina, yang bisa dijadikan analisa pembanding, namun peradaban- peradaban tersebut cenderung memijak pada mitos ataupun sihir. Hal ini tentu bertolak belakang dengan spirit rasional Rusydian yang memang diusung Al-Jabiri sejak awal.

Menurut Al-Jabiri, kenyataan sejarah menegaskan bahwa hanya peradaban Arab-Islam, Yunani klasik, dan Eropa modern yang memiliki kapasitas berfikir teoritis dan rasional dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah dan filosofis. Ketiga peradaban tersebut tidak hanya memiliki kemampuan untuk memproduksi ilmu menggunakan kemampuan akalnya (al-tafkîr bi al-`aql), tapi juga mampu menghasilkan teori-teori epistemologi pengetahuan, atau diistilahkan dengan berfikir tentang akal (al-tafkîr fî al-`aql). 27

Tidak seperti pengertian al-`aql di Yunani dan Eropa modern yang berfungsi untuk menyingkap sebab-sebab segala sesuatu sebagai pengetahuan, pemaknaan al- `aql dalam kebudayaan Arab lebih menekankan pada muatan praksisnya. Dalam arti, al-`aql berkelindan erat dengan tata nilai dan akhlak/etika suatu pengetahuan.

25 Ibid., hlm. 16 26 Menurut Tharabishi, Lalande tidak pernah memberikan pengertian seperti diartikan Al-Jabiri. Makna

la rasison constituante dan la raison constituée yang diungkapkan Al-Jabiri justru ditemukan dari pengertian Paul Foulquié. Walaupun demikian, penerjemahannya menurut Tharabishi sangat rancu dan problematis. Kritik ini selengkapnya lihat: George Tharabisi, Naqd Naqd Al-`Aql Al-`Arabi; Nadzriyyat Al-`Aql, (Dar Al-Saqi: London, cet. I, 1996), hlm. 14

Konsekuensinya, Titik tolak epistemologi Arab-Islam sangat jauh berbeda dengan peradaban Yunani dan Eropa modern. Dalam kebudayaan Yunani dan Eropa modern, akhlak berpijak pada pengetahuan (ta’sîs al-akhlâq `ala al-ma`rifah). Sedangkan dalam kebudayaan Arab, pengetahuan justru dikonstruksi berdasarkan akhlak (ta’sîs al-ma`rifah `ala al-akhlâq). Sehingga aspek baik dan benar selalu menjadi pertimbangan pertama dan utama, bukan upaya menyingkap pelbagai sebab dan pertautan fenomena alam semesta secara objektif dan ilmiah. 28

Al-Jabiri menarik satu kesimpulan mendasar bahwa al-`aql dalam kebudayaan Arab bersifat normatif (al-nadzrah al-mi`yâriyyah), karena cenderung memahami sesuatu dari sudut pandang nilai terlebih dahulu. 29 Sehingga konsepsi al-`aql dalam

peradaban Arab menjadi sangat emosional-subjektif, bukan rasional-objektif sebagaimana dipahami dalam kebudayaan Yunani dan Eropa modern. 30

b-ii. Era Kultural sebagai Proyeksi Nalar Tak Sadar

Langkah kedua Al-Jabiri terkait proyek kritik epistemologi nalar Arab adalah upayanya menganalisa era kultural bangsa Arab. Hal ini penting dilakukan untuk menjernihkan mekanisme dan perkembangan rancang-bangun epistemologi masyarakat Arab dalam memperoleh pengetahuan pada era kulturalnya. Al-Jabiri sendiri membatasi pengertian epistem (al-nidzâm al-ma`rifi) sebagai kumpulan pemahaman, prinsip dasar, dan mekanisme untuk memperoleh suatu pengetahuan dalam rentang masa tertentu yang memijak pada struktur bawah sadarnya. Sederhananya, epistemologi suatu kebudayaan tertentu tidak lain merupakan ‘struktur

28 Ibid.,hlm. 30 29 Dalam kamus Lisân Al-`Arab, Ibn Mandzur menjelaskan bahwa al-`aql memiliki makna al-hajr

(penghalang) dan al-nahy (larangan). Orang yang berakal (al-`âqil) berarti orang yang mampu berfikir secara menyeluruh atas suatu perkara. Dimaknai pula sebagai orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Dari sini, makna al-`aql lebih berkaitan dengan prilaku dan tata nilai, bukan aspek epistemologi. Lain pada itu, Al-Qur`an juga tidak pernah meenggunakan kata al-`aql dalam bentuk kata benda, namun menggunakan bentuk kata kerja yang mengekspresikan tata nilai, sebagaimana dalam surat Al-Anfal: 36. Lihat: Ibid., hlm. 30. Lihat juga: Abu Al-Fadl ibn Mandzur, Lisân Al-`Arab, vol. XI, (Dar Sader: Beirut-Libanon, tt.), hlm. 458 (penghalang) dan al-nahy (larangan). Orang yang berakal (al-`âqil) berarti orang yang mampu berfikir secara menyeluruh atas suatu perkara. Dimaknai pula sebagai orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Dari sini, makna al-`aql lebih berkaitan dengan prilaku dan tata nilai, bukan aspek epistemologi. Lain pada itu, Al-Qur`an juga tidak pernah meenggunakan kata al-`aql dalam bentuk kata benda, namun menggunakan bentuk kata kerja yang mengekspresikan tata nilai, sebagaimana dalam surat Al-Anfal: 36. Lihat: Ibid., hlm. 30. Lihat juga: Abu Al-Fadl ibn Mandzur, Lisân Al-`Arab, vol. XI, (Dar Sader: Beirut-Libanon, tt.), hlm. 458

Menurut Al-Jabiri, yang tersisa dari peradaban Arab hanyalah elemen-elemen tetap dalam kebudayaan. Sedangkan apa yang diajarkan oleh kebudayaan (sebagai sesuatu senantiasa mengalami dan menerima perubahan) tengah mengalami ‘pelupaan’ secara tidak sadar. Bangsa Arab tidak sada bahwa banyak hal yang tidak berubah dalam kebudayaan Arab yang kemudian menjadi dasar bagi struktur nalar Arab hingga sekarang. Padahal hal tersebut merupakan aspek kebudayaan yang mengalami dan menerima perubahan. 31 Tak ayal konstruksi nalar Arab terjebak dalam stagnasi yang dipicu oleh ‘pelupaan’ tak sadar tadi. Kondisi ini mengandaikan adanya geliat era kultural nalar Arab di masa kontemporer. Elemen kebudayaan yang sejatinya menerima perubahan justru telah menjadi sesuatu yang permanen, kemudian menghegemoni bangsa Arab secara kuat dan—seolah—tak tergugat.

Dalam menganalisa struktur nalar Arab pada era kultural, Al-Jabiri meminjam konsep psikologi struktural Piaget tentang ‘ketidaksadaran kognitif’ (l’inconsien cognitif/al-lâ syu`ûr al-ma`rifi). Terispirasi oleh pengertian istilah ‘bawah sadar’ Freud, Piaget melihat adanya kemungkinan sekaligus legitimasi penggunaan istilah ‘ketidaksadaran kognitif’ dalam menunjukan sejumlah aktifitas kognitif yang samar dan tersembunyi, namun berperan dalam menuntun proses mengetahui seseorang. Seperti ekspresi-ekspresi yang didorong oleh rasa cinta, ia tidak tahu (di luar batas sadar) alasan ataupun mekanisme yang mengarahkan tidakan tersebut. Dengan demikian, ‘ketidaksadaran kognitif’ Arab adalah sejumlah pemahaman, perspektif, Dalam menganalisa struktur nalar Arab pada era kultural, Al-Jabiri meminjam konsep psikologi struktural Piaget tentang ‘ketidaksadaran kognitif’ (l’inconsien cognitif/al-lâ syu`ûr al-ma`rifi). Terispirasi oleh pengertian istilah ‘bawah sadar’ Freud, Piaget melihat adanya kemungkinan sekaligus legitimasi penggunaan istilah ‘ketidaksadaran kognitif’ dalam menunjukan sejumlah aktifitas kognitif yang samar dan tersembunyi, namun berperan dalam menuntun proses mengetahui seseorang. Seperti ekspresi-ekspresi yang didorong oleh rasa cinta, ia tidak tahu (di luar batas sadar) alasan ataupun mekanisme yang mengarahkan tidakan tersebut. Dengan demikian, ‘ketidaksadaran kognitif’ Arab adalah sejumlah pemahaman, perspektif,

Menurut Al-Jabri, era kultural telah merepresentasikan era ‘ketidaksadaran kognitif’ masyarakat Arab; semacam era yang masih kabur, silih tumpang-tindih, bergelombang, dan bergerak memutar. Era kultural nalar Arab sama sekali tidak mencerminkan satu konstruk epistemologi yang jelas, baik sebagai epistemologi yang ‘integratif’ ataupun yang ‘terpengal-penggal.’ Pelbagai pemikiran pada fase kultural bisa jadi silih mendahului, berdampingan, atau bahkan tertinggal. Tak ayal, era kultural nalar Arab cenderung bergerak statis (harakat i`timâd), bukan dinamis (harakah naqlah), karena senantiasa terjerat dalam sejumlah aktifitas kognitif yang

sebenarnya telah mengalami ‘pelupaan’ tadi. 33 Bagi Al-Jabiri, apa yang terlupakan bangsa Arab tidaklah sepenuhnya lenyap,

namun tetap mengendap dalam ‘ketidaksadaran kognitif,’ kemudian membatasi cara pandang mereka. Maka tidak jarang masa lalu bersaing ketat dengan masa sekarang, hingga pada titik tertentu citra masa lalu dipahami seolah merupakan realitas kekinian. Untuk itu, perlu adanya pemugaran kesadaran atas sikap bangsa Arab terhadap masa lalunya, semata agar peradaban Arab tidak terjebak dalam gerak statis. Al-Jabiri sendiri menjadikan era kodifikasi (`ashr al-tadwîn) sebagai titik tolak dan frame referensial proyek kritik nalar Arab. Karena baginya era kodifikasi merupakan acuan awal seluruh proyeksi kebudayaan peradaban Arab.

b-iii. Era Kodifikasi sebagai Frame Referensial

Frame referensial (al-ithâr al-marji`iy) memiliki posisi yang sangat signifikan dalam menguraikan seluruh proses konstruksi nalar Arab-Islam serta pelbagai proyeksi kebudayaannya. Frame referensial berfungsi sebagai gambaran awal sekaligus paradigma dasar yang membatasi pemahaman manusia ketika berhubungan dengan alam, manusia, masyarakat, sejarah, dan pelbagai unsur kebudayaan lainnya.

32 Ibid., hlm. 40

Al-Jabiri sendiri menjadikan era kodifikasi yang dimulai sekitar pertengahan Abad ke-2 (akhir Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah) sebagai al-ithâr al- marji`iy struktur nalar Arab.

Era kodifikasi sangatlah penting dalam proyek kritik nalar Arab, karena menurut Al-Jabiri seluruh gambaran tentang era jahiliah, era Islam, dan sebagian besar era Dinasti Umayyah tertenun rapi pada era kodifikasi. Tidak hanya itu, gambaran tersebut membentang hingga masa setelahnya, kemudian membentuk

realitas pemikiran dan kebudayaan peradaban Arab secara umum. 34 Dalam arti lain, implikasi era kodifikasi tidak hanya membentuk gambaran masa lalu, namun

sekaligus manjadi acuan dan titik tolak proyeksi masa kini dan masa depan. Pada dasarnya kodifikasi tidak mengandung pemaknaan produksi ilmu. Kodifikasi hanyalah sebatas proses pemungutan (al-iltiqhât) penghimpunan (al- jam`u) dan sistematisasi (al-tabwîb) atas warisan pengetahuan yang telah ada dan berkembang sebelumnya. Hanya saja, proses tersebut pasti melibatkan penalaran (ra’yu) untuk menyeleksi, mengeliminasi, mengkoreksi, hingga menentukan batas awal dan akhir suatu pengetahuan. Dengan demikian, proses kodifikasi sejatinya bukan sebatas upaya memelihara warisan kultural kebudayaan Arab-Islam, namun sekaligus proses rekonstruksi dan kulturisasi (proses pembentukan dan pengukuhan tradisi) warisan kebudayaan Arab yang dijadikan frame referensial ketika memahami alam, manusia, masyarakat, sejarah, dan unsur kebudayaan lainnya. 35 Pada titik inilah era kodifikasi menjadi awal terbentuknya la raison constituée dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam.

Al-Jabiri mencontohkan proses terbentuknya la raison constituée ini dalam ilmu hadits. Mengutip satu ungkapan:

‘Ketika kami mengatakan bahwa sebuah hadits itu sahih secara pasti, maksudnya adalah hadits tersebut sahih sesuai syarat-syarat

34 Ibid., hlm. 62 34 Ibid., hlm. 62

Dari ungkapan ini Al-Jabiri menarik satu kesimpulan bahwa, ulama hadits telah membangun sebuah struktur epistemologis yang menjadi cara pandangnya terhadap kesahihan suatu hadits. Cara pandang ini juga diterapkan dalam diskursus lainnya, seperti tafsir, fikih, linguistik, hingga sejarah, saat terjadi gerakan kodifikasi ilmu pengetahuan dalam peradaban Arab-Islam. 36 Hal ini sekaligus menegaskan adanya perbedaan struktur epistemologi nalar Arab. Oleh Al-Jabiri, nalar Arab ini dipetakan ke dalam tiga tipologi dasar: bayâni, `irfâni, dan burhâni.

c. Struktur Epistemologi Nalar Arab c-i.

Epistemologi Nalar Bayâni (Eksplikasi)

Dalam memaparkan epistemologi nalar bayâni, Al-Jabiri memulai dari beberapa definisi etimologis yang ada dalam kamus Lisân Al-`Arab karya Ibn Mandzur (w. 711 H.). Baginya, Ibn Mandzur yang hidup pada abad ke-7 telah berhasil mengumpulkan pelbagai makna yang muncul dari unsur bâ’-yâ-nâ sejak era kodifikasi. Orisinalitasnya juga bisa dipertanggungjawabkan karena caranya melegitimasa suatu makna merujuk pada syair jâhiliy, hadits, hingga Al-Qur’an. Dengan demikian, kamus Lisân Al-`Arab—ataupun kamus klasik lainnya—sangat otoritatif untuk menganalisa la raison constituée nalar Arab. 37

Secara etimologi, bayâni yang tersusun dari unsur kata bâ’-yâ-nâ memiliki banyak pengertian. Namun pengertian yang berkaitan langsung dengan objek kajian Al-Jabiri adalah makna al-fashl/infishâl (pemisahan/keterpisahan) dan al-dzuhûr/al-

36 Ibid., hlm. 64 37 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyat Al-`Aql Al-`Arabi, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: 36 Ibid., hlm. 64 37 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyat Al-`Aql Al-`Arabi, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah:

bermakna ‘keterpisahan dan kejelasan.’ Adapun pengertian bayâni secara terminologi memuat dua pengertian. Pertama sebagai kaidah-kaidah penafsiran suatu wacana.

Kedua sebagai syarat-syarat pemunculan (produksi) wacana. 39 Mengacu pada pengertian di atas, epistemologi bayâni Arab-Islam mencakup

pelbagai disiplin ilmu yang berkelindan erat dengan semantika Arab-Islam, yaitu ilmu gramatika (nahwu-sharrf), retorika (balâghah), tafsir, hadits, fikih, dan kalâm. Sehingga mekanisme nalar bayâni tidak pernah keluar dari wacana kebahasaan, khususnya pelbagai kandungan wacana yang menubuh dalam teks keagamaan. Bahasa menjadi elemen dasar nalar bayâni, karena bahasa—sebagaimana Al-Jabiri mengutip pemaknaan Herder—bukan sebatas sarana berfikir namun juga ruang terbentuknya suatu pemikiran. Artinya, cara manusia berfikir selalu seperti cara mereka berbicara, karena bahasa yang membatasi kemampuan komunikasi manusia

adalah juga yang membatasi kemampuan berfikirnya. 40 Sebelum era kodifikasi, perhatian bangsa Arab atas tafsiran suatu kalimat

ataupun ungkapan sudah menggeliat sejak awal peradaban Arab-Islam; yaitu masa Nabi SAW. hingga masa kekhalifahan. Dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber doktrinal Islam paling otoritatif dan pusat seluruh wacana keagamaan, peradaban Arab-Islam perdana ini sangat berkait erat dengan bagaimana umat muslim memahami pelbagai kandungan makna wicara Tuhan dalam Al-Qur’an. Hanya saja aktifitas interpretasi ini hanya bersifat kultural. Interpretasi baru benar-benar menjadi cara memproduksi suatu wacana keagamaan setelah terjadinya peristiwa arbitrase (al- tahkîm) yang telah memicu kemunculan pelbagai sikap politik dan sekte-sekte keagamaan.