PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PERTANIAN PERTANIAN

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PERTANIAN
(disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Politik Hukum)

Oleh:
MEDINA PUTRI AMONITA
110620170001

Dosen:
Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.
Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
BANDUNG
2017

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN MENGENAI PROLEGNAS PERTANIAN DI INDONESIA ... 6
A. Pengertian Program Legislasi Nasional .............................................................. 6
B. Prolegnas dan Kinerja Lembaga Legislatif ....................................................... 10
C. Perkembangan Legislasi Pertanian ................................................................... 12
D. Kebijakan Pertanian Indonesia dipengaruhi Hukum Internasional .................... 14
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 22
A. Kesimpulan...................................................................................................... 22
B. Rekomendasi ................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 24

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia berubah seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan
zaman ini membuat manusia yang hidup bermasyarakat memerlukan hukum
yang bisa menyesuaikan dengan kondisi bermasyarakat saat ini. Hal ini sesuai
dengan perkataan dari Marcus Tullios Cicero mengenai ubi societas ibi ius,
yang artinya di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Teori ini
mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat
hanya bisa dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan
dan dapat berfungsi dengan efektif.
Selain daripada itu, ada hal yang tak kalah penting mengenai hukum yang
berlaku di masyarakat tidak hanya berdiri di satu titik saja. Dengan kata lain
hukum harus bersifat dinamis agar tidak menyebabkan suatu ketidakpastian
hukum atau bahkan kekosongan hukum akibat berubahnya pola hidup dan pola
pikir masyarakat. Hal ini menyebabkan hukum selalu tertatih-tatih mengejar
perubahan zaman. Di Negara-negara hukum, salah satunya di Indonesia,
undang-undang sebagai salah satu jenis produk hukum sering tak mempu
mengikuti laju dan dinamika kehidupan masyarakat. Adanya permasalahan
tersebut menyebabkan pembentukan undang-undang merupakan salah satu
unsur penting dalam rangka membangun hukum nasional. Sementara itu, untuk
menghasilkan undang-undang yang sesuai dengan dinamika masyarakat karena
menyesuaikan dengan era globalisasi yang cenderung kepada kemajuan

1

2


teknologi informasi, pembentukan undang-undang tetap tidak boleh tumpang
tindih dengan undang-undang induknya, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam mewujudkan undang-undang seperti yang disebutkan di atas, maka
pembentukan undang-undang perlu dilakukan secara terencana, terpadu, dan
sistematis. Hal tersebut dapat direalisasikan melalui Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) dengan memperhatikan skala prioritas yang sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat.
Tujuan dari penyusunan Prolegnas ini, antara lain 1:
1. Mempercepat proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
bagian dari pembentukan sistem hukum nasional.
2. Membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dan paket
bidang pembangunan lainnya serta mengaktualisasi hukum sebagai sarana
rekayasa sosial/pembangunan, instrument pencegah/penyelesaian sengketa,
pengatur perilaku anggota masyarakat dan sarana pengintegrasi bangsa
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Mendukung upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, terutama
penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan
hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
4. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama
ini namun tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuha masyarakat; dan

5. Membentuk peraturan perudang-undangan baru sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat.
Prolegnas sebagai instrument perencanaan program pembentukan UndangUndang memasuki babak baru, yaitu setelah adanya Perubahan Undang1

Keputusan DPR RI Nomor 01/DPRRI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program
Legislasi Nasional Tahun 2005-2009, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat, 2005, hlm. 7-8.

3

Undang Dasar 1945, khususnya Perubahan Pertama (1999) 2 dan Perubahan
Kedua (2000)3. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, untuk pertama kalinya
Prolegnas diatur secara tegas, bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur oleh Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program
Legislasi Nasional, khususnya di lingkungan Pemerintah. Adanya perubahan
tersebut menyebabkan rezim kekuasaan memmbentuk Undang-Undang
berpindah ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan mengenai hal
tersebut tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Tidak hanya sampai di situ, sebagai konsekuensi keniscayaan otonomi
daerah yang teradopsi pada tingkat konstitusi (Pasal 18,18A dan 18B UUD
1945), maka daerah juga memiliki peran yang sangat besar dalam proses
pembentukan undang undang ditandai dengan kelahiran Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Oleh karenanya fungsi utama legislasi sebenarnya tidak hanya
pada DPR tetapi juga pada DPD walaupun perannya hanya sebatas mengajukan
dan ikut membahas terhadap sebuah program legislasi yang berkaitan dengan
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan

2

Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945.
Ketentuan baru Pasal 22A UUD 1945, yang berbunyi ”Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.”

3

4

undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal
22D UUD 1945). Dengan perubahan tersebut peran DPR lebih kuat bila
dibandingkan konstitusi sebelumnya. Disadari hal ini menjadi keniscayaan
sebagai sebuah penguatan prinsip daulat rakyat ketika DPR menjadi salah satu
representasinya di samping Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kuatnya peran
konstitusional DPR dalam pembangunan hukum, khususnya di bidang materi
hukum, juga telah dinyatakan dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Perubahan lainnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 ayat
(4) dan (5), bahwa Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk dijadikan undang-undang. Dan bila undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.
Adapun proses pembuatan undang-undang sebagai wujud pembangunan

hukum adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan, pengusulan,
pembahasan dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor,
yang dalam sistem demokrasi disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran
kementeriannya) dan legislatif (DPR & DPD).
Dari uraian tersebut di atas, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM memandang perlu untuk melakukan penelitian
mengenai Peran Program Legislatif Nasional dalam Perencanaan Pembentukan
Hukum Pertanian.

5

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan
beberapa masalah, antara lain:
1. Bagaimana Prolegnas mengatur mengenai pertanian?
2. Bagaimana kebijakan pertanian Indonesia dalam hukum internasional?

BAB II
TINJAUAN MENGENAI PROLEGNAS PERTANIAN DI
INDONESIA


A. Pengertian Program Legislasi Nasional
Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah
grand design yang hendak dijadikan oleh DPR, DPD dan Pemerintah sebagai
barometer kinerja mereka dalam fungsi legislasi sekaligus sebagai penopang
negara hukum sesuai UUD 1945. Secara spesifik Prolegnas adalah
implementasi fungsi lembaga legislatif sekaligus menjawab kebutuhan
yuridis/legislasi masyarakat. Sayangnya Prolegnas seperti pekerjaan trial and
error dalam sebuah eksperimen negara hukum yang mesti dikritisi lagi.
Prolegnas secara sempit bisa diartikan sebagai penyusunan suatu daftar
materi perundang-undangan dan harapan (wishlist). Dalam arti luas, Prolegnas
mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi,
pemberdayaan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan pembinaan.
Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UndangUndang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Pengertian ini
menunujukkan

bahwa

prolegnas


merupakan

instrumen

mekanisme

perencanaan hukum, yakni para pembentuk undang-undang (DPR dan
Pemerintah) merencanakan pembangunan materi hukum melalui perundangundangan melalui suatu program yang terencana, terpadu dan tersistematis.
Prolegnas menjadi acuan dalam proses perencanaan penyusunan UndangUndang secara nasional dan memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan hukum secara keseluruhan. Upaya pembangunan sistem hukum

6

7

nasional sendiri mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi
hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis dengan mekanisme
pembentukan hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan
pembangunan dan aspirasi masyarakat. Kedua, penyempurnaan struktur hukum
yang lebih efektif. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat dengan

kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum
nasional yang dicita-citakan.
Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
penyusunan daftar Rancangan Undang-Undang didasarkan atas:
1. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;.
3. perintah Undang-Undang lainnya;
4. sistem perencanaan pembangunan nasional;
5. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
6. rencana pembangunan jangka menengah;
7. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
8. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul
Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya. Materi yang diatur dan keterkaitannya
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya merupakan keterangan
mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
1. latar belakang dan tujuan penyusunan;
2. sasaran yang ingin diwujudkan; dan

3. jangkauan dan arah pengaturan.
Materi yang diatur telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan
dalam Naskah Akademik. Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan

8

tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.
Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal
masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan
dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Penyusunan
dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas
jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dilakukan dengan
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau
masyarakat, sedangkan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum. Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan
Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
1. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam; dan
2. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas
suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan
Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan
Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. Yang dimaksud
dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada
masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang sedang
disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat
memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang-Undang tersebut atau

9

memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media
elektronik dan/atau media cetak.
Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum

yang

menggambarkan sasaran politik hukum secara mendasar, Prolegnas secara
isi/materi hukum (legal substance) memuat daftar Rancangan Undang-Undang
yang dibentuk selaras dengan tujuan pembangunan nasional yang tidak dapat
dilepaskan dari rumusan pencapaian tujuan negara sebagaimana dimuat dalam
Pembukaan UUD 1945, yaitu guna melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia; mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan
kesejahteraan umum; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam tataran
konkrit, sasaran politik hukum nasional harus mengacu pada Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan prioritas
pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945.
Politik hukum tertinggi terdapat dalam UUD 1945 yang memuat arah
kebijakan hukum yang harus dijalankan sesuai dengan tujuan nasional yang
hendak dicapai dan berdasarkan pada Pancasila yang termaktub dalam
pembukaan UUD 1945. Pancasila merupakan nilai-nilai dasar yang menjadi
rambu-rambu pembangunan hukum nasional, yang melahirkan empat kaidah
penuntun hukum yang harus dipedomani dalam pembangunan hukum. Pertama,
hukum yang dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun
teritori sesuai dengan tujuan nasiobal. Kedua, hukum nasional harus dibangun
secara demokratis dan nomokratis, mengandung partisipasi dan menyerap
aspirasi melalui mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel. Ketiga, hukum
nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial, memperpendek jurang

10

kesenjangan. Keempat, hukum harus menjamin toleransi beragma yang
berkeadaban antar pemeluknya 4.
Pada dasarnya, pengertian politik hukum yang dikemukakan oleh berbagai
ahli hukum tersebut di atas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Perbedaan hanya terdapat pada ruang lingkup atau materi muatan politik
hukum. Bagir Manan berpendapat bahwa ruang lingkup utama politik hukum
terdiri atas: politik pembentukan hukum, politik mengenai isi (asas dan kaidah)
hukum dan politik penegakan hukum. 5 Politik pembentukan hukum mencakup
kebijaksanaan

pembentukan

perundang-undangan;

kebijaksanaan

pembentukan hukum yurisprudensi atau putusan hakim; dan kebijaksanaan
terhadap peraturan tidak tertulis lainnya. 6 Politik mengenai isi hukum adalah
kebijaksaanaan agar asas dan akidah memenuhi unsur filosofis, yuridis, dan
sosiologis; mencerminkan tujuan dan fungsi hukum yang hendak dicapai;
mencerminkan kebijaksanaan dan kehendak untuk mecapai cita-cita berbangsa
dan bernegara di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan Hankam. Politik
penegakan hukum meliputi kebijaksanaan di bidang peradilan; dan
kebijaksanaan di bidang pelayanan hukum. 7

B. Prolegnas dan Kinerja Lembaga Legislatif
Awal 2009, DPR dan pemerintah menyetujui Prolegnas yang memuat
daftar 70 Rancangan Undang-Undang IRUUJ yang akan diselesaikan pada
periode DPR hasil Pemilu 2009. Persetujuan ini menimbulkan persoalan karena
4

Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta:
LPES, 2007, hlm. 48 – 49.
5
Bagir Manan, Politik Perundang-Undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi
Perekonomian, Dalam Course Material, Politik Hukum, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2001, hlm.
6.
6
Ibid.
7
Ibid. hlm. 6-7.

11

seringkali tidak dilibatkannya DPD dalam penyusunan RUU tersebut.8
Bersamaan dengan itu, dalam kenyataannya kinerja DPR periode 2009-201,4
[tahun pertama), khusus dalam bidang legislasi sangat buruk dan
mengecewakan. Indikasi ini seperti dicatat oleh Djayadi Hanan dan pernah pula
diulas oleh Firdaus Arifin 9 paling tidak disebabkan oleh empat persoalan yaitu:
pertama, dibatalkannya sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang oleh
Mahkamah Konstitusi (MKJ sepanjang tahun 2006 hingga 2009 lalu. Hal ini
mengindikasikan ada ketidakberesan dalam proses pembuatan UIJ (law making
process) yang dilakukan DPR selama ini. Selain itu, tidak sedikit UU yang
dihasilkan DPR tumpang tindih dengan UU lainnya. Sebagai contoh fungsi
pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial (I{Y) yang diatur dalam UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, selain bertentangan dengan UUD 1945,
juga tak sejalan dengan fungsi pengawasan yang diatur dalam UU No.5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung (MA). Akibatnya dalam praktik pun kedua
lembaga ini sempat bersitegang dengan klaim masing-masing yang intinya
merasa lembaga merekalah yang paling berhak mengawasi para hakim di
Indonesia.
Realitas buruknya kinerja DPR daiam bidang legislasi memberikan
pelajaran sangat berharga kepada kita. Ternyata, dengan menguatnya peran dan
fungsi legislasi DPR, tidak serta merta mampu mengubah kualitas kinerja DPR
menjadi lembaga pembuat (legislator) UU yang lebih baik. Seperti kita ketahui,
pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan ekstrem terhadap fungsi
legislasi DPR. Jika sebelum amandemen UUD 1945, DPR berdasarkan
rumusan pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) hanya mempunyai fungsi
legislasi semu dalam proses pembentukan UU. Namun, pasca amandemen
pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
8
9

Berdasarkan pengalaman Prolegnas Periode 2004-2009.
Republika, 5 Januari 2010 dan Majalah Konstitusi April –Mei 2007.

12

ayat (1) mengalami perubahan yang sangat signifikan sehingga berimplikasi
pada menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan
pembuatan UU (Primaire wetgever) bahkan terkesan legislative heavy.10 Selain
kedua pasal tersebut, dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan
Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.
C. Perkembangan Legislasi Pertanian
Masyarakat petani Indonesia sebenarnya sudah mengalami revolusi
pertanian (intensifikasi dan modernisasi pola pertanian dalam skala nasional).
Industrialisasi pertanian diyakini akan mendorong tata kelola pertanian dengan
lebih baik. Industrialisasi juga berarti ditingkatkannya produktivitas komiditi
pertanian. Untuk itu pemerintah harus mendorong modernisasi produksi
pertanian dan dengan itu mengembangkan minat swasta untuk masuk ke dalam
sector pertanian. Dengan cara ini, meningkatkan produktivitas pangan dalam
negeri melalui modernisasi dan industrialisasi bidang pertanian – diharapkan
produk pertanian Indonesia dapat bersaing dengan produk pertanian dari luar
baik di pasar dalam negeri maupun di luar negeri.
Sebagaimana dinyatakan oleh OECD, perindustrian akan menjadikan era
penentu bagi kemajuan pertanian Indonesia (OECD Review of Agriculture,
2012). Bantuan pemerintah berupa subsidi pada sector pertanian akan
digantikan oleh swastanisasi (masuknya modal privat). Di samping itu
ditengarai bahwa penguasaan dan pemilikan tanah (dalam skala luas)
nampaknya akan lebih mudah dipertahankan jika dilakukan oleh pihak swasta
baik sebagai pemilik atau sebagai penyewa lahan pertanian. Mereka juga yang
akan memiliki insentif lebih besar untuk mengembangkan pola pengelolaan
yang lebih baik dan berkelanjutan. Petani (terutama mereka yang tidak memiliki

10

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LPES, 2001, hlm. 3.

13

tanah) dapat bekerja sebagai buruh di sector ini dengan jaminan masa kerja
yang lebih panjang. Alasannya ialah karena usaha pertanian skala besar ini akan
lebih mampu menjamin tersedianya pekerjaan dalam jangka panjang, satu dan
lain karena lebih mampu bertahan terhadap fluktuasi pasar (harga) dan menjaga
keberlanjutan usaha. Selain itu,bagi pertanian skala kecil, mengikuti kebijakan
pertanian plasma juga merupakan alternative. Hasil usaha dapat dijual ke salah
satu tempat penampungan, misalnya koperasi yang khusus menerima hasil
pertanian.
Pada lain pihak, modernisasi dan industrialisasi sector pertanian yang
cenderung focus pada kecepatan penyediaan kebutuhan pangan dicermati
melemahkan kebijakan diversifikasi pangan yang digagas pemerintah.
Sebagaimana diungkap Hardinsyah, lebih dari 30 tahun program diversifikasi
pangan nasional tidak pernah berhasil karena masih mengandalkan pola
diversifikasi konvensional (Kompas,14 November 2013). Selama ini
pemerintah berusaha memberikan penyuluhan bagi pentingnya diversifikasi
pangan dalam rangka meningkatkan kecukupan pangan. Masyarakat diminta
untuk beralih dari konsumsi beras ke jenis tanaman pangan lain seperti jagung,
sagu, ataupun ubi. Namun tampaknya, industrialisasi pertanian yang
mementingkan kuantitas dan mutu justru tidak dapat memenuhi kebutuhan akan
keragaman pola konsumsi. Maka dalam kenyataan konsumen cenderung
dipaparkan pada pesan untuk meninggalkan pangan tradisional dan
mengkonsumsi bahan-bahan pangan yang seragam (misalnya gandum yang
ditemukan dalam produk-produk mie instan).
Sebaliknya juga dapat dikatakan bahwa dalam dunia modern, pilihan untuk
mengkonsumsi jenis makanan tertentu berada di tangan konsumen. Maka
diversifikasi efektif adalah memenuhi keinginan konsumen yang ditengarai
pasti tersegmentasi. Untuk memenuhi selera konsumen, ada 4 aspek yang harus

14

dipenuhi, aspek kepraktisan, selera, keamanan dan nilai gizi, dan
keterjangkauan. Dari sinilah dapat dilihat bahwa dengan tuntutan yang semakin
mendesak, pemenuhan pangan harus memenuhi syarat praktis, dan terjangkau
baik secara akses fisik maupun kemampuan beli masyarakat. Kenyataan di atas
juga menunjukkan bahwa pola produksi pertanian dengan cara tradisional (dan
yang berlandaskan konsep kedaulatan pangan) hanya akan menghambat
pemenuhan pangan yang cepat berdasarkan tuntutan masyarakat (modern).
Mempertahankan pola pengelolaan pertanian tradisional bisa jadi justru
menghambat upaya pemenuhan pasokan pangan masyarakat urban modern di
Indonesia.
Sebenarnya di tahun 2017 ini Prolegnas Pertanian telah diatur dan
dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
68/Kpts/HK.110/2/2017 tentang Program Legislasi Pertanian Tahun 2017.
Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa terdapat 65 buah Rancangan UU
Pertanian yang dikategorikan ke dalam kategori Prioritas tahun 2017. (terlampir
dalam lampiran I)
D. Kebijakan Pertanian Indonesia dipengaruhi Hukum Internasional
Satu hal yang perlu disadari ialah bahwa kebijakan WTO di bidang
pertanian, Agreement on Agriculture sifatnya mengikat negara anggota, dan
diambil sebagai Single Undertaking. AoA ini dipandang sebagai suatu sarana
dalam terwujudnya perdagangan sebagai pendukung bagi mudahnya akses
dalam pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Tiga hal yang menjadi focus
perjanjian tersebut, yaitu pencabutan subsidi, kebijakan penurunan subsidi
ekspor dan penurunan tarif impor. Ketiga hal tersebut merupakan satu paket
ihtiar (single undertaking) yang wajib dijalankan negara anggota WTO yang
digagas untuk menghilangkan distorsi pasar akibat campur tangan negara.

15

Pencabutan subsidi selama ini dipandang sebagai kebijakan yang tidak
menguntungkan pengusaha lokal yang memiliki keterbatasan dalam
penyediaan modal kerja. Padahal bagaimanapun juga peranan subsidi
pemerintah sangat dibutuhkan dalam suksesnya mendongkrak produktivitas
sector pertanian domestic. Namun dengan munculnya mekanisme perdagangan
bebas internasional yang dikembangkan WTO, pemberian subsidi dinilai tidak
adil karena menyebabkan distorsi pasar.
Ide Ketahanan pangan dan Kedaulatan Pangan dalam kebijakan dan hukum
nasional Indonesia. Di dalam Undang-Undang 18/2012, kedaulatan pangan
diartikan sebagai “hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai
dengan potensi sumber daya lokal.” Artinya pemenuhan kebutuhan pangan
haruslah berasal dari hasil bumi penduduk lokal. Jika sasarannya demikian
maka kebutuhan pangan tidak diperkenankan dari luar. Tampaknya diharapkan
bahwa produsen lokal dapat menguasai penuh pasar domestik dan dengan itu
kesejahteraan petani domestik akan terjamin. Untuk menjadi satu-satunya
produsen yang menghasilkan pangan, strategi yang digunakan adalah
menghentikan atau melarang produsen asing masuk ke dalam sector produksi
pertanian dan sekaligus produk pangan luar negeri dilarang masuk ke pasar
domestic. Artinya kesempatan bagi investor asing dan masuknya pangan impor
dari negara lain ditutup. Padahal justru mekanisme pasar dan keterbukaan pasar
domestic menjadi andalah konsep ketahanan pangan. Di Indonesia anehnya
kedua konsep tersebut - yang sebenarnya saling bertolakbelakang - disebutkan
bersamaan di dalam UU 18/2012. Keduanya digunakan sebagai rujukan
kebijakan dan pengembangan hukum pertanian Indonesia. Ketentuan Pasal 6
menyatakan bahwa perencanaan pangan dilakukan untuk merancang
penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan

16

ketahanan pangan. Bunyi ketentuan ini menunjukkan sebenarnya ketidaksiapan
pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Perlu pula diperhatikan
bahwa ketika kita mengadopsi gagasan kedaulatan pangan, hal ini seharusnya
menutup kemungkinan bagi penerimaan ide ketahanan pangan. Lebih lanjut
dalam pasal 11 disebutkan bahwa Rencana Pangan nasional membuka peluang
bagi impor pangan. Hal ini ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 36 (1)
yang menetapkan pembatasan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan
apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat
diproduksi di dalam negeri.
Ditambahkan kembali dalam ayat (2) bahwa impor pangan pokok hanya
dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan
nasional tidak mencukupi. Singkat kata, pintu impor hanya boleh dilakukan
apabila dalam negeri tidak mampu memproduksi. Namun juga ternyata bahwa
impor tidak tertutup bagi produk pangan yang tidak dapat dihasilkan oleh dalam
negeri. Namun bukankah sudah jelas bahwa kita sejak 1985 (ketika Indonesia
mendapat penghargaan dari FAO karena berhasil mencapai swasembada
(pengadaan) beras), kemudian menjadi Negara pengimpor beras, justru karena
produksi dalam negeri tidak lagi mencukupi kebutuhan pangan?
Hal serupa bahkan juga terjadi untuk produk pangan lainnya seperti gula
maupun daging sapi. Produksi gula maupun daging sapi dalam negeri tidak
dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Untuk wilayah sumatera dan riau
bahkan produksi gula yang terkonsentrasi di jawa tidak dapat mencapainya.
Alhasil kedua wilayah tersebut seringkali terpaksa membuka keran impor untuk
produk gula. Lagipula seketika keran impor dibuka, konsumen tidak dapat
dipaksa untuk memprioritaskan produk dalam negeri dan pilihan konsumen
terhadap produk luar semakin terbuka. Hal ini justru mengancam
“kemandirian” atau kedaulatan pangan. Apalagi sejatinya kedaulatan pangan

17

sebagaimana telah diindikasikan di atas harus dimaknai sebagai kemampuan
para produsen produk pertanian (petani dalam skala industri maupun
nonindustri) untuk turut menentukan pembuatan kebijakan pertanian. Konsep
kedaulatan pangan sebab itu dapat dikatakan berangkat dari pemahaman bahwa
adalah para pelaku pertanian yang merupakan pihak yang paling mengerti
kendala yang dihadapi dilapangan dan paling mampu mencari solusi terbaik
untuk masalah-masalah yang muncul. Kebijakan pemerintah Indonesia karena
itu seharusnya berpihak pada petani dan pertanian. Dalam kenyataan justru ini
yang tidak terjadi.
Pada saat sama harus dikatakan bahwa penulis tidak hendak menolak
pemberlakuan konsep kedaulatan pangan sebagai dasar pengembangan
kebijakan pangan atau pertanian Indonesia. Kedaulatan pangan bukan tidak
mungkin diraih. Namun pertanyaan besarnya adalah dapatkah kedaulatan atau
kemandirian pangan diwujudkan dalam situasi yang sama sekali tidak
mendukung berkembangnya pertanian Indonesia. Berapa beban anggaran
dalam bentuk subsidi kepada petani yang dapat dan sanggup ditenggang
negara? Kemudian jika produksi pangan nasional berhasil ditingkatkan dan
muncul surplus yang dapat dijual ke pasar internasional, apakah negara-negara
lain yang menjadi tempat dijualnya komoditi pangan ekspor tidak akan bereaksi
dengan menjatuhkan bea tambahan atau bahkan melakukan embargo?
Mengingat situasi ini, termasuk kebijakan pemerintah yang tidak memihak
petani dan pertanian, tampaknya pembuat undang-undang masih memandang
konsep ketahanan pangan sebagai solusi. Konsep ini justru tidak memihak
petani namun lebih mementingkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan
bagi masyarakat. Kenyataan ini berarti pula bahwa sebenarnya pembuat
undang-undang tetap hendak mempertahankan gagasan ketahanan pangan
sebagai landasan pembuatan kebijakan di bidang pangan. Konsekuensi dari itu

18

ialah tetap dibukanya pintu impor pangan untuk dijual bebas dan bersaing
dengan produk pangan local di pasar domestic.
Lagipula Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan terikat
secara hukum oleh kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam AoA.
Keduanya memuat aturan-aturan tentang penciptaan dan penjagaan kelancaran
perdagangan internasional. Dari sudut pandang ini, mempertahankan konsep
kedaulatan pangan akan memunculkan risiko terkena imbasan berupa reaksi
negative dari negara-negara mitra dagang Indonesia. Peluang yang ada bilapun
hendak melindungi petani kecil dan/atau produksi pangan nasional adalah
melalui pemberian subsidi terbatas.
E. Program Legislasi Nasional dalam Perspektif Hukum Politik
Menurut Mahfud MD, politik hukum adalah “legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam
rangka mencapai tujuan negara”. Dengan demikian, politik hukum merupakan
pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang
kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang
tercantum di dalam Pembukaan UUD 194511.
Mochtar

Kusumaatmadja,

mengatakan

“politik

dan

hukum

itu

interdeterminan”, sebab “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum
tanpa politik itu lumpuh”. Bahwa “hukum merupakan produk politik”. Sebagai
fakta sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti UU yang merupakan produk

11

1

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm.

19

politik, tetapi juga bisa mencakup hukum dalam arti-arti yang lain, termasuk
konstitusi atau Undang-Undang Dasar.12
Pola pikir, sikap dan perilaku para elit itu sedikitnya akan memberi warna
dominan terhadap produk-produk hukum yang dibentuknya. Karena itu untuk
mewujudkan wibawa hukum dan terpeliharanya kedaulatan hukum, maka para
pembentuk hukum dituntut untuk memenuhi beberapa syarat, yaitu : 13
1.

Bahwa

pembentuk

hukum

harus

memiliki

kemampuan

intelektualitas (intellectual ability);
2.

Bahwa pembentuk hukum harus memiliki sikap integritas (integrity);

3. Bahwa pembentuk hukum harus memiliki pandangan jauh ke depan
tentang kehidupan sosial dan masalah-masalah hukum (social judicial
outlook).
Menurut Abdul Wahab, mengatakan bahwa : Implementasi kebijakan
adalah Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan
lazimnya, keputusan tersebut mengindentifikasi masalah yang diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan / sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara
untuk menstrukturkan / mengatur proses implementasinya 14. Kemudian
menurut George C. Edward mengemukakan beberapa 4 (empat) variabel yang
mempengaruhi implementasi kebijakan yakni komunikasi, sumberdaya,
disposisi, dan struktur birokrasi. 15

12

Ibid., hlm. 6.
Sumarno dan T. Subarsyah, Dinamika Politik Hukum Indonesia, Bandung: Pasundan Law
Faculty Alumnus Press, 1999, hlm. 21.
14
Arifin Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi penyelenggara Pemerintah Daerah, Bandung:
Alfabeta, 2014, hlm. 55
15
Deddy Mulyadi, Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, Bandung: Alfabeta, 2014, hlm.
68
13

20

Selain itu Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan penyelenggaraan Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan,
penerapan, dan penegakan hukum. 16 Kemudian Teuku Mohammad Radhie
memberikan definisi politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai
arah perkembangan hukum yang dibangun. 17
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo 18, politik hukum adalah aktivitas
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial
dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya mliputi
jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar, yaitu:
1.

Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;

2.

Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai
dalam mencapai tujuan tersebut;

3.

Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu
diubah;

4.

Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemelihian tujuan serta caracara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.

Dari beberapa pandangan para ahli mengenai definisi politik hukum,
dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum adalah kebijakan Negara untuk
memilih menggunakan metode, tujuan, dan arah yang ditetapkan untuk
pembentukan, penerapan dan penegakan hukum sebagai suatu pernyataan

Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan”, dalam
majalah Forum Kedadilan, No. 29, April 1991, hlm. 65.
17
Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional”, dalam majalah Prisma, No.6 Tahun II, Desember 1973, hlm. 3.
18
Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, Cet. Ke-2, hlm. 352.
16

21

kehendak penguasa Negara untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum
tertentu di masyarakat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UndangUndang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Pengertian ini
menunujukkan

bahwa

prolegnas

merupakan

instrumen

mekanisme

perencanaan hukum, yakni para pembentuk undang-undang (DPR dan
Pemerintah) merencanakan pembangunan materi hukum melalui perundangundangan melalui suatu program yang terencana, terpadu dan tersistematis.
Prolegnas menjadi acuan dalam proses perencanaan penyusunan UndangUndang secara nasional dan memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan hukum secara keseluruhan.
Masyarakat petani Indonesia sebenarnya sudah mengalami revolusi
pertanian (intensifikasi dan modernisasi pola pertanian dalam skala nasional).
Industrialisasi pertanian diyakini akan mendorong tata kelola pertanian dengan
lebih baik. Industrialisasi juga berarti ditingkatkannya produktivitas komiditi
pertanian. Untuk itu pemerintah harus mendorong modernisasi produksi
pertanian dan dengan itu mengembangkan minat swasta untuk masuk ke dalam
sector pertanian.
Di tahun 2017 ini Prolegnas Pertanian telah diatur dan dituangkan ke dalam
Keputusan

Menteri

Pertanian

Republik

Indonesia

Nomor

68/Kpts/HK.110/2/2017 tentang Program Legislasi Pertanian Tahun 2017.

22

23

Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa terdapat 65 buah Rancangan UU
Pertanian yang dikategorikan ke dalam kategori Prioritas tahun 2017.

B. Rekomendasi
Para pembentuk hukum dituntut untuk memenuhi beberapa syarat, yaitu
bahwa pembentuk hukum harus memiliki kemampuan intelektualitas,
pembentuk hukum harus memiliki sikap integritas (integrity), pembentuk
hukum harus memiliki pandangan jauh ke depan tentang kehidupan sosial dan
masalah-masalah hukum (social judicial outlook). Oleh karena itu, dalam
rangka berpartisipasi terhadap proses terbentuknya Undang-Undang Pertanian,
hendaknya masing-masing elemen pemerintahan tidak berfikir sektoral
utamakan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa dan Negara.

24

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arifin Tahir. Kebijakan Publik dan Transparansi penyelenggara Pemerintah
Daerah. Bandung: Alfabeta. 2014.
Bagir Manan. Politik Perundang-Undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian. Dalam Course Material, Politik Hukum. Bandung:
Universitas Padjadjaran. 2001.
Deddy Mulyadi. Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik. Bandung:
Alfabeta. 2014.
Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: LPES. 2007.
________________. Politik Hukum di Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali
Pers. 2009.
________________. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LPES. 2001.
Satjipto Rahardjo. llmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cet. Ke-2. 1991.
Sumarno dan T. Subarsyah. Dinamika Politik Hukum Indonesia. Bandung:
Pasundan Law Faculty Alumnus Press. 1999.
Majalah dan Jurnal:
Republika. 5 Januari 2010 dan Majalah Konstitusi April –Mei 2007.
Padmo Wahjono. Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundangundangan”. dalam majalah Forum Kedadilan. No. 29. April 1991.

25

Teuku Mohammad Radhie. “Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional”. dalam majalah Prisma. No.6 Tahun II. Desember 1973.
Peraturan Perundang-undangan:
Keputusan DPR RI Nomor 01/DPRRI/III/2004-2005 tentang Persetujuan
Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Dewan Perwakilan
Rakyat. 2005.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.