pengaruh pola asuh orang tua konsep diri

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kalau dilihat dari fase-fase perkembangan manusia, dari masa bayi, anakanak, pueral (anak baru gede/ABG), pra remaja, remaja awal, remaja akhir adolesensi,
dewasa, dewasa menengah, dewasa lanjut, dan lansia maka masa remaja masa remaja
awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau
yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga
perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973).
Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai
dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku
menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993).
Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan
sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan
norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam
perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi
karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari
nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai
sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan
konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku

yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah
menyimpang. Mappiare (1982) menjelaskan rahwa ada dua titik ekstrim pada diri
remaja yaitu kebahagiaan yang memuncak yang dapat bersifat sesaat, menengah, dan
relatif tetap atau konstan. Di lain pihak ada. permasalahan yang memuncak yang juga
dapat bersifat wajar, permasalahan menengah dengan ditandai bahaya (danger signal),
dan permasalahan taraf kuat serupa perilaku pasif (withdrawal behavior) dan berupa
prilaku agresif (agresive behavior).
Semua perilaku remaja yang terjadi baik yang mengalami permasalahan berat,
sedang dan ringan ataupun yang berperilaku benar, sedang dan paling benar mulia)

1

bersumber pada pikiran, pikiran menentukan kata-kata serta pikiran dan kata-kata akan
menentukan perbuatan/perilaku. Demikianlah secara umum munculnya proses perilaku.
Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidaklah selalu konsisten seperti itu. Ada pula
pikiran yang tidak diwujudkan dalam kata-kata, ada juga pikiran dan kata-kata tidak
diwujudkan dalam perilaku Orang yang berpendidikan dan beragama hendaknya selalu
menguatkan pikiran (daya nalar / wiweka) karena kebenaran konsep pikiran akan
menentukan kebenaran kata- kata, dan kebenaran kata-kata akan menentukan
kebenaran perbuatan. Kalau ketiga hal itu bisa konsisten maka dialah orang utama,

inilah konsep ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : tiga gerak perilaku manusia yang harus
disucikan. Menurut Bhagawan Dwija (2009) ada 10 (sepuluh) larangan Tri Kaya
Parisudha yaitu:
Manacika Parisudha:
1)

Tidak iri kepada milik orang lain (tan adengkya ri drwianing len)

2)

Percaya kepada hukum karma phala (mamituhwa ri hananing karma phala)

3)

Kasih sayang kepada semua mahluk (asih ring sarwa sattwa)

Wacika Parisudha:
4) Jangan

berbicara kasar (ujar apergas)


5) Jangan

berbohong atau membual (tan ujar ahala)

6)

Jangan mempitnah (tan ujar pisuna)

7) tidak

mengingkari janji (satya wacana)

Kayika Parisudha:
8)

Jangan menyakiti semua mahluk (ahimsa)

9)


Jangan mencuri (tan mamandung)

10) Jangan

berzina (tan paradara).

Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan
adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya
karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada, perilaku menyimpang yang
disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk
memahami

bentuk

perilaku

tersebutr

adalah


mengapa

seseorang

melakukan

penyimpangan, padahal ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam
Soerjono Soekanto,1988) mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan

2

hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini
disebabkan karena pada dasamya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk
melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi
kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat
menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun
sangat beragam mulai dari perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti:
kabur dari rumah, membawa senjata tajam r dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada

perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang
melanggar hukum seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas,
pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan
media-media masa.
Hampir setiap hari kasus kenakalan remaja setalu kita temukan di mediamedia massa, dimana sering terjadi di Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan
BAli, salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran yang dilakukan oleh
para pelajar atau remaja. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban
cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga
perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, dalam e-psikologi, 2001). Lebih jauh
dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di
antaranya dilakukan oleh remaja, selain itu di Indonesia diperkirakan bahwa jumlah
prostitusi anak juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa
jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60% dari 71.281 orang.
Unicef Indonesia menyebut angka 30% dari 40-150.000, dan Irwanto menyebut
angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks (Sri Wahyuningsih dalam
Dep.Sos. 2004).
Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor
penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai
figur teladan bagi anaknya. Selain itu suasana keluarga yang mcninbulkan rasa tidak
aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat

memmbuikan bahaya pstkologis bagi tctiap usia terutama

3

pada masa remaja. Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994) orangtua dari remaja
nakal cenderung memiliki aspirasi yang minim mengenai anak-anaknya, menghindari
keterlibatan keluarga dan kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja. Sebaliknya,
suasana keluarga yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan menumbuhkan
kepribadian yang wajar dan begitu pula sebaliknya
Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang
berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai
kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan
disekitarnya (Hurlock, 1973). Selanjutnya Tallent (1978) menambahkan anak yang
mempunyai penyesuaian diri yang baik di sekolah, biasanya memiliki latar belakang
keluarga yang harmonis, menghargai pendapat anak dan hangat. Hal ini disebabkan
karena anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan mempersepsi rumah mereka
sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena semakin sedikit masalah antara
orangtua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya
jika anak mempersepsi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan
terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orangtuanya tersebut

Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi perilaku kenakalan pada remaja
adalah konsep diri yang merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap
keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun

kekurangan diri, hingga

mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan.
Shavelson & Roger (1982) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk dan berkembang
rdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut,
dan tingkah laku dirinya. Bagimana orang lain memperlakukan individu dan apa yang
dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai dirinya
sendiri ( Mussen dkk, 1979). Masa remaja merupakan saat individu mengalami
kesadaran akan dirinya tentang bagaiman pendapat orang lain tentang dirinya
(Rosenberg dalam Demo & Seven- Wi11iams y 1984). Pada masa tersebut kemampuan
kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu
membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan
berusaha pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang tentang dirinya ( Conger,
1977). Oleh karena itu tanggapan dan penilaian orang lain tentang diri individu akan
dapat berpengaruh pada bagaimana individu menilai dirinya sendiri.


4

Conger ( dalam Monks dkk, 1982) menyatakan bahwa remaja nakal biasanya
mempunyai sifat memberontak, ambivalen terhadap otoritas, mendendam, curiga,
implusif dan menunjukan kontrol batin yang kurang. Sifat — sifat tersebut mendukung
perkembangan konsep diri yang negatif. Bahwa remaja yang didefinisikan sebagai anak
nakal biasanya mempunyai konsep diri lebih negatif dibandingkan dengan anak yang
tidak bermasalah. Dengan demikian remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang
kurang harmonis dan memiliki konsep diri negatif kemungkinan memiliki
kecenderungan yang lebih besar menjadi remaja nakal dibandingkan remaja yang
dibesarkan dalam keluarga harmonis dan memiliki konsep diri positif.
Selain faktor pola asuh orang tua dan konsep diri, faktor Kecerdasan sosial merupakan
salah satu faktor untuk meminimalisir terjadinya perilaku menyimpang dikalangan
remaja. Karena kecerdasan sosial merupakan kemampuan yang mencapai kematangan
pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai
makhluk sosial di dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok
masyarakat. Menurut Buzan, kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri
seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan
orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Suean Robinson Ambron (1981) mengartikan
sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing seseorang ke arah

perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab dan efektif. (Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, hal.123). Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash University: 1994,
menjelaskan bahwa kecerdasan sosial merupakan suatu kemampuan untuk memahami
dan mengelola hubungan manusia. Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat
fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan
dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. (Ubaydillah, diakses
dari http://www.e-psikologi.com). Menurut Amstrong,1994, Komponen penting
membangun kecerdasan sosial (social intelegence) adalah komunikasi dan pendidikan.
Kecerdasan sosial adalah kematangan kesadaran pikiran dan budi pekerti untuk
berperan secara sosial dalam kelompok atau masyarakat. (dr. Rinaldi Nizar, sp. Ank,
diakses dari http://www.infonarkoba.com). Dan Pakar psikologi pendidikan Gadner
(1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan
sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika,

5

bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh
Gadner. (Sumardi, diakses dari http://www.kompas.com). Menurut definisi asli Edward
Thorndike, kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengelola pria

dan wanita, anak laki-laki dan perempuan, untuk bertindak bijaksana dalam hubungan
manusia. Hal ini setara dengan kecerdasan interpersonal, salah satu jenis kecerdasan
yang diidentifikasi dalam Howard Gardner ‘s Teori kecerdasan ganda , dan erat terkait
dengan teori pikiran. Menurut Sean Foleno, kecerdasan sosial adalah kemampuan
seseorang untuk memahami dirinya atau lingkungannya secara optimal dan bereaksi
dengan tepat untuk melakukan sosial sukses. Dari beberapa pengertian di atas, dapat
dipahami bahwa kecerdasan sosial sangatlah penting dalam menunjang kehidupan
bermasyarakat, sukses tidak identik dengan kemampuan IQ, karena sesungguhnya
kecerdasan sosial-lah yang sangat berperan besar dalam kehidupan. Banyak orang yang
IQ nya diatas rata-rata mampu menggapai kesuksesan dengan meningkatkan
kemampuan social intelligence.
Hal yang menyebabkan kecerdasan sosial tumpul dilatarbelakangi oleh proses
pendidikan di keluarga maupun masyarakat mengalami salah arah. Penanaman nilainilai pendidikan di keluarga, acapkali hanya mengejar status dan materi. Orang tua
mengajarkan pada anaknya bahwa keberhasilan seseorang itu ditentukan oleh pangkat
atau kekayaaan yang dimilikinya. Masyarakat juga begitu, mendidik orang semata
mengejar tahta dan harta. Proses ini tampak pada masyarakat yang lebih menghargai
orang dari jabatan dan kekayaan yang digenggamnya. Kondisi ini membuat orang
terobsesi untuk memperoleh kedudukan tinggi dan kekayaan yang berbuncah-buncah
agar terpandang di masyarakat. Untuk mengejar ambisi tersebut orang kadang
menanggalkan etika dan moral, bahwa cara yang ditempuh untuk mewujudkan
impiannya itu bisa menyengsarakan orang lain.
Akibat yang ditimbulkan dari kecerdasan sosial yang tidak terasah pada
individu adalah memberi kontribusi pada perilaku anarkis. Hal ini dikarenakan individu
yang kecerdasan sosialnya rendah tidak akan mampu berbagi dengan orang lain dan
ingin menang sendiri. Kalau dia gagal akan melakukan apa saja, asal tujuannya bisa
tercapai, tak peduli tindakannya merusak lingkungan, dan tidak merasa yang
dikerjakannya menginjak harkat dan martabat kemanusiaan. Sehingga diskripsi

6

kepribadian seperti ini, berpotensi melakukan perilaku anarkis, ketika hasrat pribadinya
tidak tercapai atau sedang menghadapi masalah dengan orang atau kelompok lain.
Betapa pentingnya peranan kecerdasan sosial untuk mencegah perilaku anarkis,
maka perlu dicari solusi untuk mengembangkan kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial
menjadi solusi efektif meredam anarkis, karena orang yang memiliki kecerdasan sosial
tinggi, mempunyai seperangkat keterampilan psikologis untuk memecahkan masalah
dengan santun dan damai.
Dari beberapa pemaparan diatas menyebutkan kenakalan remaja cenderung
terjadi di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di kota Mataram remaja yang
beragama Hindu bisa dikatakan tingkat kenakalan remaja di kategorikan sangat
memprihatinkan, terlihat banyaknya kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja
Hindu sangat beragam. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah,
bolos dari sekolahr dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah
menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti
pencurian, berjudi, pemakaian obat-obatan terlarang. Dan juga banyak

ditemukan

remaja-remaja Hindu dengan rentangan usia 16-19 tahun mengalami putus sekolah.
Sehingga dari pemaparan masalah yang ditemukan, peneliti ingin mengetahui
ada/tidaknya pengaruh pola asuh orang tua, konsep diri, dan Kecerdasan Sosial
terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu di kota Mataram.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana deskripsi mengenai Pola Asuh Orang Tua, konsep diri, Kecerdasan
Sosial, dan perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu kota Mataram ?
2. Apakah ada pengaruh yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Orang Tua
terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu kota Mataram ?
3. Apakah ada pengaruh yang positif dan signifikan antara konsep diri terhadap
perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu kota Mataram ?
4. Apakah ada pengaruh yang positif dan signifikan antara Kecerdasan Sosial
terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu kota Mataram ?

7

5. Apakah ada pengaruh yang positif dan signifikan secara simultan antara Pola Asuh
Orang Tua, konsep diri, dan Kecerdasan Sosial terhadap perilaku menyimpang di
kalangan remaja Hindu kota Mataram ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui deskripsi mengenai Pola Asuh Orang Tua, konsep diri,
Kecerdasan Sosial, dan perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindui kota
Mataram.
2. Untuk mengetahui ada/tidak pengaruh yang positif dan signifikan antara Pola
Asuh Orang Tua terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindui kota
Mataram.
3. Untuk mengetahui ada/tidak pengaruh yang positif dan signifikan antara konsep
diri terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu kota Mataram.
4. Untuk mengetahui ada/tidak pengaruh yang positif dan signifikan antara
Kecerdasan Sosial terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu
kota Mataram.
5. Untuk mengetahui ada/tidak pengaruh yang positif dan signifikan secara
simultan antara Pola Asuh Orang Tua, konsep diri, dan Kecerdasan Sosial
terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja Hindu kota Mataram.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi para tokoh/pemuka agama
Hindu termasuk orang tua dalam upaya memberikan pengetahuan yang lebih baik bagi
para remaja atau siswa tentang pemahaman pola asuh, konsep diri dan Kecerdasan
Sosial untuk mengurangi terjadinya perilaku-perilaku yang menyimpang yang terjadi
selama ini.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat berkontribusi positif terhadap kehidupan masyarakat
kota Mataram khususnya para remaja agar berkurangnya adanya perilaku-perilaku yang
menyimpang yang terjadi selama ini.

8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
a. Faktor-faktor yang berpengaruh dengan perilaku-perilaku menyimpang dalam
kehidupan remaja di kota mataram sangat banyak, dalam penelitian ini dibatasi
pada tiga faktor sebagai variabel independen yang diteliti yaitu a) Pola Asuh
Orang Tua, dan b) konsep diri. Dan c) Kecerdasan Sosial.
b. Tempat penelitian di kota Mataram ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.
c. Data penelitian tentang a) Pola Asuh Orang Tua, b) konsep diri, c) Kecerdasan
Sosial, d) perilaku menyimpang melalui penyebaran angket yang dibuat.

9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Suliman ( 2007) Melakuan Penelitian dengan judul “Kenakalan Remaja Sebagai
Perilaku Menyimpang Hubungannya Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga”
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak
seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar kemungkinannya
lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang. Demikian juga dari
keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka kemungkinan besar
anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat.Sebaliknya bagi
keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka kemungkinan anak-anaknya
melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan khusus. Dari analisis statistik
(kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik kesimpulan umum bahwa ada hubungan
negatif antara keberfungsian sosial keluarga dengan kenakalan remaja, artinya bahwa
semakin tinggi keberfungsian social keluarga akan semakin rendah kenakalan yang
dilakukan oleh remaja. Sebaliknya semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga
maka semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya.
Dalam penelitian yang dilakukan Siti Yayun Rahayu (2008) yang berjudul
“Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua(parenting style) Dengan Kesehatan Mental
Remaja di Ciawi Kabupaten Tasikmalaya”. Hasil penelitian menunjukkan secara umum
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara parenting style (pola asuh orangtua)
dengan kesehatan mental remaja, (rs = - 0.127). Namun untuk pola asuh authoritarian
terdapat korelasi negative (rs = - 0.285), artinya makin otoriter orangtua maka makin
rendah tingkat kesehatan mental remaja.
Penelitian yang dilakukan I Wy Gede Hedwinusana(2012) dengan judul
“Kontribusi sikap keagamaan terhadap perilaku menyimpang siswa smp negeri 2
singaraja tahun pelajaran 2012/2013”. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bahwa
terdapat kontribusi yang signifikan antara sikap keagamaan terhadap perilaku
menyimpang siswa dengan nilai koefisien korelasi = 0,536 dengan N = 325, maka

10

didapat rtabel = 0,113 dengan taraf signifikan 5 %. Karena koefisien korelasi > rtabel,
disamping itu pula, nilai Sig. = 0,00 < 0,05, maka Ha diterima. Tanda (-) pada hasil
koefisien korelasi (r), menunjukkan terjadinya hubungan yang negatif antara sikap
keagamaan dengan perilaku menyimpang. Jadi semakin tinggi kualitas sikap keagamaan
seseorang, maka semakin kecil kemungkinan seseorang tersebut melakukan perilakuperilaku yang

menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat, demikian pula sebaliknya.
Penelitian yang dilakukan S. nurcahyani desy widowati (2013) dengan judul
“hubungan antara pola asuh orang tua, motivasi belajar, kedewasaan dan kedisiplinan
siswa dengan prestasi belajar sosiologi siswa kelas xi sma negeri 1 sidoharjo wonogiri”.
Hasil penelitian menunjukkan Ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan prestasi
belajar sosiologi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sidoharjo Wonogiri, yang berarti pola
asuh yang diterapkan oleh orang tua mempunyai peranan yang penting dalam
keberhasilan belajar anak, pola asuh orang tua berkaitan derat dengan cara orang tua
mendidik anak, apakah ia ikut mendorong, merangsang dan membimbing terhadap
aktivitas anaknya atau tidak. (2). Ada hubungan antara motivasi belajar siswa dengan
prestasi belajar sosiologi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sidoharjo Wonogiri, yang
berarti semakin tinggi motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa. Motivasi belajar yang tinggi ditunjukkan dengan memiliki minat
untuk belajar, siswa rajin belajar, siswa berusaha memecahkan masalah dalam belajar,
serta siswa memiliki kreativitas dalam belajar. (3) Ada hubungan antara kedewasaan
siswa dengan prestasi belajar sosiologi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sidoharjo
Wonogiri, yang berarti semakin baik kedewasaan yang dimiliki oleh siswa semakin
tinggi pula prestasi belajar siswa. Kedewasaan siswa yang baik ditandai dengan
kedewasaan mengatasi permasalahan diri, kedewasaan dalam mengelola emosi,
kedewasaan dalam memotivasi diri sendiri, kedewasaan dalam mengenali perilaku
orang lain dan kedewasaan dalam membina hubungan.( 4) Ada hubungan antara
kedisiplinan siswa dengan prestasi belajar sosiologi siswa kelas XI SMA Negeri 1
Sidoharjo Wonogiri, yang berarti semakin baik kedisiplinan yang dimiliki oleh siswa
semakin tinggi pula prestasi belajar siswa. Siswa yang disiplin ditandai dengan ciri-ciri
yaitu patuh dan taat terhadap tata tertib belajar di sekolah, memiliki persiapan dalam
belajar, memiliki perhatianterhadap kegiatan pembelajaran, menyelesaikan tugas pada

11

waktunya serta bersikap disiplin dalam belajar. 5. Hasil analisis dipeorleh kesimpulan
ada hubungan secara bersama-sama antara pola asuh orangtua, motivasi belajar,
kedewasaan dan kedisiplinan dengan prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas XI
SMA Negeri 1 Sidoharjo Wonogi
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Konsep Pengaruh
Dalam Kamus bahasa Indonesia dijelaskan kata pengaruh bererti daya yang ada
atau yang timbul dari sesuatu (orang, benda) yang berkuasa atau yang berkekuatan.
Sedangkan pengaruh menurut Badudu dan Zain (1994 :1031) yaitu pengaruh adalah :
1. Daya yang menyebabkan sesuatu yang terjadi
2. Sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain
3. tunduk atau mengikuti karena kuasa atau kekuatan orang lain
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan
suatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Dengan demikian
yang dimaksud pengaruh dalam penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh antara
pola asuh orang tua, konsep diri, dan kecerdasan Sosial terhadap perilaku menyimpang
di kalangan remaja Hindu di Kota Mataram.
2.2.2 Konsep Pola Asuh Orang Tua
Orang tua secara kodrati adalah pendidik dalam keluarga yang bertugas dan
bertanggung jawab mengasuh anak-anaknya. Orang tua yaitu ibu dan bapak harus dapat
memfungsikan peran secara tepat agar secara langsung dan tidak langsung berpengaruh
positif terhadap perkembangan pribadi dan perilaku anak menuju ke kedewasaan.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama, mempunyai peran penting
dalam pembentukan dan perkembangan anak. Peran ini semakin dirasakan tat kala
keluarga harus menerima pengaruh globalisasi yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah mempercepat berubahnya nilai-nilai sosial
yang membawa dampak positip dan negatip terhadap pertumbuhan bangsa, terutama
kehidupan keluarga. Dampak positipnya adalah bertambahnya kecepatan dan

12

peningkatan tingkat berpikir di dalam berbagai bidang, terutama di bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Konsekuensi logis dari dampak positip ini tidak bisa lepas
dari dampak negatif dimana masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami dan
merencanakan perkembangan yang begitu cepat di berbagai bidang, sehingga terjadi
benturan berbagai kecenderungan dengan nilai-nilai luhur bangsa (Indonesia).
Kesibukan orang tua, baik karena desakan kebutuhan ekonomi, profesi, ataupun hobi
sering menyebabkan kurang adanya kedekatan antara orang tua dengan anak-anak
mereka. Kondisi seperti itu jika tidak disadari lama kelamaan akan menjadi penghalang
terhadap kedekatan hubungan antara orang tua dengan anak mereka yang berarti
terganggulah hubungan saling pengaruh di antara mereka. Sementara diakui bahwa
hubungan yang harmonis antara anak dan orang tua dalam keluarga akan banyak
berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya. Pada hakekatnya orang tua
mempunyai harapan agar anak mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak yang
baik, dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik, tidak mudah terjerumus
dengan perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri maupun orang
lain. Harapan-harapan ini akan lebih mudah terwujud apabila sejak semula orang tua
menyadari akan peranan mereka sebagai orang tua yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan moral anak. Sejalan dengan pendapat tersebut Sally (dalam Gunarsa,
2003:60)

dijelaskan bahwa,

Aspek moral seorang anak merupakan suatu yang

berkembang dan diperkembangkan. Artinya, bagaimana anak itu kelak akan bertingkah
laku sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, semua itu banyak
dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan anak yang ikut memperkembangkan secara
langsung maupun tidak langsung, aspek moral ini. Karena itu faktor lingkungan besar
sekali pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, namun karena lingkungan
pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya adalah orang tuanya, maka peranan
orang tualah yang dirasakan paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan moral
anak.
Pendapat senada dikemukakan oleh Dantes (1989: 96) salah satu faktor penentu
dalam kehidupan keluarga terhadap perkembangan kepribadian anak adalah ikatan
keluarga, sebagai suasana psikologis, yang dirasakan dan berpengaruh terhadap
kecenderungan pada perilaku anggota keluarga, khususnya anak yang sedang tumbuh
dan berkembang. Iklim psikologis yang dimaksudkan dalam uraian di atas adalah

13

adanya situasi atau kondisi yang favorable: adanya rasa aman, nyaman, saling
pengertian, harga-menghargai antar anggota keluarga. Kondisi ini diciptakan oleh orang
tua untuk semua anggota keluarga termasuk anggota keluarga lainya. Fung dkk.,
(2003:xv) dinyatakan, setiap orang mendorong dan berharap anak-anak mereka untuk
bisa mencapai dan meraih keberhasilan tidak terlepas orang tua sebagai pendidik yang
pertama dan utama berupaya agar anak-anak mereka tumbuh dan berkembang menuju
pribadi mandiri dan berperilaku sosial yang baik. Hubungan yang positip antara orang
tua dan anak merupakan dasar untuk menjadikan anak berperilaku yang baik. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fung, dkk., (2003 : 17-19) dijelaskan, hubungan orang tua dan
anak yang positip adalah dasar untuk meningkatkan agar anak menjadi baik. Tandatanda sebuah hubungan yang baik: anak akan meminta kepada orang tuanya untuk
selalu berdekatan, anak akan berbagi rasa atas perasaan yang dialaminya dengan orang
tua, anak akan mengatakan sesuatu yang menunjukkan dia tahu bagaimana perasaan
orang tuanya, anak akan membantu orang tuanya tanpa diminta, dan anak ingin
berbicara dengan orang tuanya. Orang tua mencintai anak-anaknya lebih dari anak-anak
mereka mencintai orang tua mereka. Mencintai seorang anak tidaklah cukup untuk
mewujudkan kebahagiaan pada anak. Lebih lanjut dijelaskan oleh Gunarsa (2003:6264) bahwa, ada beberapa sikap orang tua yang perlu mendapat perhatian, guna
perkembangan moral anak adalah: 1). Konsistensi dalam mendidik dan mengajar anak,
2) Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu kala, harus pula
dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu yang lain. Harus ada konsistensi dalam
hal apa anak harus dipuji atau dihukum. Juga antara ayah dan ibu harus ada kesesuaian
dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Tidak adanya
konsistensi, akan mengaburkan pengertian anak akan apa yang baik dan tidak baik
untuk dilakukan. .

Sikap orang tua dalam keluarga. Sikap orang tua dalam keluarga

tercermin dalam; bagaimana sikap ayah terhadap ibu atau sikap ibu terhadap ayah,
bagaiman sikap orang tua terhadap saudara- saudaranya, terhadap pembantu rumah
tangga, terhadap sopir dan lainnya. Semua ini merupakan contoh yang nyata dan dapat
dilihat oleh anak setiap hari. Sikap ini dapat berpengaruh pula terhadap perkembangan
moral anak secara tidak langsung, yaitu melalui proses peniruan. Anak meniru sikap
dari orang-orang yang paling dekat dengan dirinya dan yang ditemuinya setiap hari.
Misalnya: bagaimana orang tua memperlakukan dan menghargai pembantu yang

14

tercermin dalam cara memberi perintah, cara memanggil, sikap waktu menghadapi
mereka, semua sikap dan perlakuan tersebut cenderung ditiru oleh anak. Demikian juga
halnya sulit untuk mengharapkan anak menerapkan nilai moral apabila hampir setiap
hari, anak melihat terjadi pertengkaran di dalam keluarga.
Penghayatan orang tua akan agama yang dianutnya/ Orang tua yang sungguhsungguh menghayati kepercayaannya kepada Tuhan, akan mempengaruhi sikap dan
tingkah laku mereka sehari-hari. Hal ini berpengaruh juga terhadap cara orang tua
mengasuh, memelihara, mengajar dan mendidik anak- anaknya. Ajaran agama dapat
menjadi dasar yang kuat dalam perkembangan moral anak serta keseluruhan
kehidupannya di kemudian hari. Sikap konsekuen dari orang tua dalam mendisiplin
anaknya. Orang tua yang tidak menghendaki anak-anaknya untuk berbohong, bersikap
tidak jujur, harus pula ditunjukkan dalam sikap orang tua dalam kehidupan sehari-hari.
Diupayakan ada aturan-aturan yang berlaku khusus untuk anak-anak, ada juga yang
berlaku bagi seluruh anggota keluarga termasuk orang tua. Dalam hal inilah orang tua
harus menjaga sikapnya agar tetap menjadi panutan bagi si anak. Dari uraian di atas
jelaslah bahwa orang tua berperan besar dalam mengajar, mendidik serta memberi
contoh atu teladan kepada anak-anaknya mengenai tingkah laku apa yang baik, apa
yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, ataupun tingkahlaku yang tidak baik
dan perlu dihindari. Dalam perkembangannya anak perlu dibimbing untuk mengetahui,
mengenal mengerti dan akhirnya dapat menerapkan sendiri dalam kehidupan seharihari. Disiplin merupakan sikap yang berpengaruh terhadap pencapaian suatu tujuan,
oleh karena itu Pola Asuh Orang Tua hendaknya secara dini menanamkan sikap
disiplin. Sikap disiplin atau self-governing merupakan sikap yang membiasakan anak
dapat mengurus dirinya sendiri; taat atau patuh pada aturan atau norma yang berlaku.
Menurut Gunarsa (2003:82-84) dinyatakan bahwa, cara menanamkan disiplin yaitu: (1)
cara otoriter, (2) cara bebas, dan (3) cara demokratis. Pendapat sejenis disampaikan
oleh Hadisubrata (1991:58-59) dinyatakan bahwa secara umum teknik disiplin dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: authoritarian, permisif, dan demokratis.
Authoritarian berarti, orang tua memberikan aturan yang ketat kepada anaknya, dan bila
si anak gagal menaati peraturan tersebut, dia akan mendapat hukuman yang berat.
Namun bila si anak berhasil, maka dia hanya mendapatkan sedikit penghargaan atau
tanpa penghargaan sama sekali. Cara ini juga berarti pengendalian tingkah laku dari

15

luar berupa hukuman, terutama hukuman fisik. Teknik permisif, teknik ini membiarkan
si anak bertindak seturut dengan keinginannya. Orang tua tidak banyak mencampuri
perilaku anak, dan tidak banyak memberikan bimbingan agar si anak berperilaku sesuai
dengan norma sosial. Anak mengambil keputusan sendiri dan bertindak atas keputusan
yang diambilnya. Terakhir adalah teknik demokratis, menggunakan penjelasan, diskusi
dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa dia diharapkan untuk
bertindak dalam cara tertentu. Teknik ini menggunakan aspek edukatif disiplin,
bukannya aspek hukumannya. Teknik disiplin demokratis berusaha mengembangkan
pengendalian dari dalam diri anak atau menjadikan si anak memiliki disiplin diri.
Berdasarkan uraian di atas penulis hanyalah bemaksud untuk memperoleh pengetahuan
yang lebih mendalam tentang beberapa cara atau teori mendidik anak dalam keluarga,
namun dalam penelitian ini pola asuh orang tua dalam keluarga tidak dilihat dari ketiga
hal tersebut secara terpisah, melainkan mengkombinasikannya menjadi suatu model
proses pendidikan dalam keluarga. Dengan kata lain pola penerapan pendidikan dalam
keluarga diharapkan mengacu pada realita atau kondisi praktis. Selanjutnya Hakim
(2002:122-134) dinyatakan, pola pendidikan keluarga yang bisa diterapkan sebagai
berikut: (1) menerapkan pola pendidikan yang demokratis, (2) melatih anak untuk
berani berbicara tentang banyak hal, (3) menumbuhkan sikap mandiri pada anak, (4)
memperluas lingkungan pergaulan anak, (5) jangan terlalu sering memberikan
kemudahan kepada anak, (6) hindarkan sikap terlalu melindungi anak, (7) tumbuhkan
harga diri anak, (8) tumbuhkan sikap bertanggung jawab pada anak, (9) setiap
permintaan anak jangan selalu dituruti, (10) berikan anak penghargaan jika berbuat
baik, (11) berikan anak hukuman jika berbuat salah, (12) kembangkan kelebihankelebihan yang dimiliki anak, (13) anjurkan anak agar mengikuti kegiatan kelompok di
lingkungan rumah, (14) kembangkan hobi anak yang positip, (15) berikan pendidikan
agama sejak dini. Di atas telah dijelaskan bahwa mendidik anak membutuhkan "seni"
dan keterampilan. Seni dimaksudkan adalah bagaimana metode atau pendekatan yang
diterapkan dalam mendidik agar tejadi proses yang harmonis dan saling menyenangkan.
Sehubungan dengan hal ini Elias (2002: 34-35) dijelaskan bahwa, Mengasuh anak
dengan Emotional Quotient (EQ) adalah paradigma baru dalam mendidik anak dan
merupakan pendekatan keayahbundaan yang sangat realistis dan praktis. Sebagian
besar mengasuh anak dengan EQ bertujuan menghilangkan ketegangan dan

16

menghadirkan keceriaan dalam keluarga terutama antara orang tua dengan anak.
...menjadi orang tua berarti memegang kepemimpinan dalam rumah tangga, membantu
anak-anak tumbuh dengan kecerdasan Emosi. Ada lima perinsip mengasuh anak
dengan EQ: (1) sadari perasaan sendiri dan perasaan orang lain, (2) tunjukkan empati
dan pahami cara pandang orang lain, (3) atur dan atasi dengan positip gejolak
emosional dan perilaku, (4) berorientasi pada tujuan dan rencana positip, (5) gunakan
kecakapan sosial positip dalam membina hubungan
Pola Asuh Orang Tua pada dasarnya merupakan model atau cara orang tua memberikan
pendidikan kepada anak-anaknya di dalam keluarga. Cara yang dilakukan oleh setiap
orang tua tentu berbeda-beda. Ada yang memberi peluang yang banyak kepada anaknya
untuk berinteraksi dengan sesama teman ada pula yang memberikan batasan-batasan
tertentu. Setiap orang memiliki kebajikan kehidupan tertinggi, yang terletak dalam
keberanian untuk menghidupi kehidupan itu sendiri, suatu perjuangan pada setiap
kesempatan untuk menggunakan dan mewujudkan kapasitas yang ada padanya dan
menjalani kehidupan tersebut sendiri dan bersama orang lain. Semiawan (2002:9)
disebutkan bahwa, memang pada hakekatnya si manusia hanyalah bermakna karena
adanya manusia yang lain.
Keluarga atau orang tua harus melaksanakan fungsinya sebagai berikut: (1)
mengupayakan suasana tempat tinggal anggota keluarga sebaik mungkin, (2)
mentransfer nilai-nilai kehidupan dari generasi ke generasi berikutnya, (3) pengaturan
atau pembentukan perilaku, moral dan sikap sosial melalui penanaman disiplin melalui
pemberian pendidikan, (4) membantu anak dalam menemukan identitas diri, (5) sebagai
pusat pemanfaatan waktu luang untuk mencapai tujuan, (6) pemberi rasa cinta, kasih
sayang dan kepuasan emosional, dan (7) membantu membangun cara berpikir tentang
dunia kehidupan, memandang manusia dan alam semesta.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa, pola asuh orang tua
adalah suatu cara atau model yang diterapkan oleh orang tua dalam memberikan
pendidikan, bimbingan, tauladan kepada anak mereka dan anggota keluarga lainnya.
Model atau cara tersebut diterapkan dalam bentuk interaksi personal yang sering
disebut"human relatiori\ Adapaun aspek-aspek pola asuh yang diperhitungkan oleh orang
tua adalah sebagai berikut: (1) konsisten dalam mendidik dan mengajar anak, (2) sikap
orang tua dalam keluarga (menciptakan keharmonisan hubungan anggota keluarga), (3)

17

penghayatan orang tua terhadap agama yang dianutnya, (4) sikap konsekuen dari orang
tua dalam mendisiplin anak.
2.2.3. Konsep Diri (Self Concepi)
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya sendiri.
Persepsi tentang diri ini dapat berupa psikologi, sosial, dan fisis. Konsep diri bukan
hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian tentang diri sendiri. Jadi
konsep diri meliputi apa yang orang pikirkan dan apa yang orang rasakan tentang
dirinya.
Dimana konsep diri ini tergantung pada tiga sistem mental yang berpengaruh
yakni: id, ego, dan superego. Sesuai dengan teori ini, sumber pokok perilaku manusia
adalah libido seksualis (dorongan untuk memuaskan nafsu) yang dilakukan oleh unsur
"id", sedangkan di masyarakat menganut norma (ego). Dengan demikian individu
mengalami dua dunia yang bertentangan, disatu pihak ingin memuaskan instingnya
(bersifat biologis), dilain pihak dibatasi oleh norma masyarakat. Banyak tuntutan
insting yang terhalang oleh norma masyarakat. Untuk mengatasi konflik ini, individu
harus menyesuaikan diri dengan menekan dorongan (energy) yang tidak dibenarkan
oleh masyarakat, kemudian menyalurkan melalui kaedah-kaedah yang berlaku dalam
masyarakat itu (superego).
Konsep diri individu nampak secara jelas bagaimana ketiga unsur mental (id,
ego, superego) terbentuk dalam setiap individu. "The relationships that exist among the basic
id, the more socialized ego, and the 'restraining' superego constitute the elements of personality
structure" (Crow & Crow, 1962:349). Disini dijelaskan hubungan antara id, ego, dan
superego merupakan elemen struktur kepribadian. Dengan demikian konsep diri
dijelaskan oleh Nelson, et al, (1982:21) dinyatakan, "the self-concept is a person's
perception of himself which does not always correspond with his own experiencing or organismic
self". Konsep diri adalah persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri yang tidak selalu
berhubungan dengan pengalaman diri atau tidak berhubungan dengan diri secara
organik.
Maka dari itu, konsep diri mengandung aspek kesadaran diri sebagai mahluk
hidup, dalam hal ini sebagai manusia (human being), kedua, mengandung aspek
kebermanfaatan diri artinya "diri" seseorang diperlukan oleh lingkungan sekitarnya.

18

Wahyurini dkk. (2002:1) dijelaskan bahwa, dalam konsep diri terdapat beberapa unsur
antara lain:
1) Penilaian diri merupakan pandangan diri sendiri terhadap:
a. Pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri. Bagaimana
seseorang mengetahui dan mengendalikan dorongan, kebutuhan dan perasaanperasaan dalam diri sendiri.
b. Suasana hati yang sedang dihayati seperti bahagia, sedih atau cemas. Keadaan
ini akan mempengaruhi konsep diri seseorang positip ataukah negatip.
c. Bayangan subyektif terhadap kondisi tubuh diri sendiri. Konsep diri yang positip
akan dimiliki kalau seseorang merasa puas (menerima) keadaan fisiknya sendiri.
Sebaliknya, kalau seseorang merasa tidak puas dan menilai buruk keadaan
fisiknya, maka konsep dirinya juga negatip atau memiliki perasaan rendah diri.
2) Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana seseorang menerima
penilaian lingkungan sosial pada diri sendiri. Penilaian sosial terhadap diri sendiri
yang cerdas, supel akan mampu meningkatkan konsep diri dan kepercayaan diri
sendiri.
3) Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self-image atau citra
diri, yaitu merupakan gambaran:
a) Siapa saya, yaitu bagaimana seseorang menilai keadaan pribadi seperti tingkat
kecerdasan, status sosial ekonomi keluarga atau peran lingkungan sosial.
b) Saya ingin jadi apa, seseorang memiliki harapan-harapan dan cita-cita idial yang
ingin dicapai yang cenderung tidak realistis. Bayang-bayang seseorang
mengenai ingin menjadi apa nantinya, tanpa disadari sangat dipengaruhi oleh
tokoh- tokoh idial yang menjadi idola, baik itu ada di lingkungan individu atau
tokoh fantasi dari individu.
c) Bagaimana orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan
keberartian diri seseorang bagi lingkungan sosial maupun bagi diri sendiri.
Sejalan dengan perkembangan manusia, maka konsep diripun berkembang
sesuai dengan perkembangan anak secara fisik dan psikhis. Pengalaman seseorang
berinteraksi dengan lingkungan dapat memberi kontribusi terhadap konsep diri.
Berkaitan dengan pengaruh-pengaruh orang lain terhadap pembentukan atau
perkembangan konsep diri, maka akan terbentuk konsep diri yang positip dan negatip.

19

Menurut Brooks dan Emmert, 1976 (dalam Rakhmat, 2003:105) disebutkan, ada 5
tanda orang yang memiliki konsep diri negative. Pertama, ia peka pada kritik. Orang ini
sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atu naik pitam. Bagi
orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.
Dalam komunikasi orang yang mempunyai konsep diri negatip cenderung menghindari
dialog yang terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai
justifikasi atau logika yang keliru. Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatip,
responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari
pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasnya pada waktu menerima pujian. Buat
orang-orang seperti ini, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya
menjadi pusat perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian,
merekapun bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela atau
meremehkan apapun atau siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup
mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Inilah sifat
yang ketiga, sikap hiperkritis. Keempat, orang yang konsep dirinya negatip, cenderung
merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, karena itulah ia
bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan
dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan
menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Kelima, orang
yang konsep dirinya negatip, bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap
dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia
menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikannya. Sebaliknya
konsep diri positip ditandai dengan lima hal sebagai berikut: yakin akan kemampuannya
mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu,
menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku
yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat, dan mampu memperbaiki dirinya karena ia
sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan
berusaha mengubahnya.
Selanjutnya Hamachek (dalam Rakhmat,2003:106) disebutkan bahwa, sebelas
karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positip:
1)

Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.

20

Tetapi, dia merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu
2)

bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan dia salah.
Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah
yang berlebih-lebihan, menyesali tindakannya jika orang lain tidak

3)

menyetujui tindakannya.
Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang
akan teijadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang

4)

sedang teijadi waktu sekarang.
Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan,

5)

bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah,
walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang

6)

keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.
Ia sanggup menerima dirinya sebagaai orang yang penting dan bernilai bagai

7)

orang lain paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima

8)
9)

penghargaan tanpa merasa bersalah.
Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai
dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai
bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam

10)

pula.
Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang
meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau

11)

sekedar mengisi waktu.
Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yanag telah
diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenangsenang dengan mengorbankan orang lain.

Memperhatikan hal di atas konsep diri penting untuk setiap individu karena
konsep diri dapat menuntun perilaku untuk lebih adaptif dengan lingkungan, agar dapat
melaksanakan fungsi sosial dalam hidup bermasyarakat dengan baik.


Faktor yang berpengaruh pada perubahan konsep diri anak yaitu:
1) Konsep diri meningkat secara signifikan bersamaan dengan waktu. Artinya

"even or moment" dapat berpengaruh terhadap konsep diri. 2) Konsep diri ideal (selfideal) kecocokan diri (self congruences) kaum wanita secara umum lebih baik dari kaum

21

laki-laki. Ini menunjukkan jenis kelamin berpengaruh terhadap konsep diri. 3) Siswa
kelas 6 dimana guru berpartisipasi melengkapi program bila anak menunjukkan konsep
diri, kecocokan / kesesuaian diri lebih baik dari pada siswa kelas 4 dimana guru tidak
pernah berpartisipasi terhadap program anak. Tingkat kelas dan pendidikan berpengaruh
terhadap konsep diri. 4) Sedikit ada hubungan perubahan konsep diri ideal. Konsep
keharmonisan diri (a) berubah dalam prestasi belajar sekolah dan (b) berubah di dalam
penerimaan oleh kelompok mereka.
Peneliti lain yaitu Gading (1990: iii) meneliti tentang Hubungan antara Sikap
Orang Tua terhadap Remaja dan Prestasi Belajar dengan Konsep Diri Remaja. Adapun
hasil penelitiannya : (1) secara bersama-sama sikap orang tua terhadap remaja dan
prestasi belajar mempunyai hubungan yang positip dan signifikan dengan konsep diri
remaja. Semakin menerima sikap orang tua terhadap remaja, dan semakin tinggi
prestasi belajar yang telah dicapai remaja, akan semakin tinggi konsep diri remaja.
Sebaliknya semakin menolak sikap orang tua terhadap remaja, dan semakin rendah
prestasi belajar yang telah dicapai remaja di sekolah, akan semakin rendah konsep diri
remaja. (2) Ada perbedaan konsep diri yang signifikan antara remaja pria dengan
remaja wanita. Remaja pria memiliki konsep diri lebih tinggi dari pada wanita. (3) Ada
hubungan yang positip dan signifikan antara sikap orang tua terhadap remaja dengan
konsep diri remaja. Semakin menerima sikap orang tua, maka semakin tinggi konsep
diri remaja. Sebaliknya semakin menolak sikap orang tua, akan semakin rendah konsep
diri remaja. (4) Ada hubungan yang positip dan signifikan antara prestasi belajar dengan
konsep diri remaja. Semakin tinggi prestasi belajar yang telah dicapai remaja siswa
sekolah, akan semakin tinggi konsep dirinya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa, konsep diri adalah
pandangan atau persepsi tentang diri sendiri yang bersifat kompleks dan berkaitan
dengan perilaku atau aktivitas sosial lainnya. Adapun indikatornya meliputi: (1)
pandangan yang berkaitan dengan kemampuan diri sendiri (yakin terhadap kemampuan
diri sendiri), (2) pandangan terhadap orang lain, (3) pandangan terhadap nilai dan
perinsip, (4) berhubungan dengan pujian dan kritik, (5) berhubungan dengan
pemanfaatkan waktu. Konsep diri yang positip merupakan suatu energi yang bersifat
inner power dan berpengaruh terhadap perilaku sosial individu yang bersangkutan.

22

Masing-masing indikator tersebut di atas dapat dijabarkan deskriptor atau sub-indikator
sebagai berikut:
Pandangan yang berkaitan dengan kemampuan diri sendiri (yakin terhadap

1)

kemampuan diri sendiri); mampu menempatkan diri, mengenal diri sendiri, "yakin akan
kemampuannya mengatasi masalah, cenderung menolak usaha orang lain untuk
mendominasinya, kemampuan mempersepsi pengalaman, kemampuan menerima dan
memproduk atau memperoses pengalaman, kemampuan dalam mengganti atau
2)

memperbaiki pengalaman (proses sublimasi).
Pandangan terhadap orang lain; merasa setara dengan orang lain, mengenal pandangan
orang lain, mempunyai ikatan emosional