KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN SEBAGAI PILAR UT

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN SEBAGAI PILAR UTAMA POLITIK
MELALUI BERBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL MENUJU
MASYARAKAT MADANI
Oleh
M. ARIEFIANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi saat ini semakin nyata dan menuntut berbagai kesiapan dari
masing-masing pribadi kita sebagai unsur terkecil dari sebuah bangsa
Indonesia. Tuntutan sekaligus tantangan yang sangat besar khususnya
dalam pengembangan mutu Sumber Daya Mansusia (SDM).
Selain
menghadapi globalisasi dan dorongan untuk mengembangkan mutu SDM,
saat ini juga tantangan yang intensif dirasakan dampaknya oleh semua
unsur masyarakat adalah dalam menghadapi krisis ekonomi, yang pada
akhirnya akan berdampak kepada krisis politik, sosial dan bahkan lebih
jauhnya kepada disintegrasi bangsa. Gerakan Reformasi Nasional di awal
milenium serta diperbaharui lagi dengan Gerakan Revolusi Mental telah
merubah kebijaksanaan pembangunan menjadi lebih demokratis, mengakui
persamaan derajat manusia, dan pembangunan yang lebih terdesentralisasi

dalam rangka menuju Masyarakat Madani. Sehubungan dengan pergeseran
pembangunan itu, dampaknya terdapat sejumlah isu serta masalah
pendidikan nasional baik yang bersifat mikro maupun makro. Masalah
kualitas dan relevansi merupakan isu pada level mikro sedangkan masalah
persamaan, desentralisasi dan manajemen serta kepemimpinan pendidikan
merupakan isu pada level makro.
Sudah sejak dari zaman nenek moyangnya, masyarakat Indonesia dikenal
sangat demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
persamaan dan keadilan, toleransi dan penegakan hukum, baik
hukum adat maupun hukum agama. Hal ini menjadi sebuah modal
sangat besar bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya, mempertahankan
karakter positif dari masyarakat Indonesia menjadi perhatian atau prioritas

utama pengelola bangsa untuk mewujudkan masyarakat madani yang
diharapkan. Dalam hubungan ini, pendidikan diyakini merupakan faktor
yang paling berperan bagi upaya mencapai masyarakat madani yang
diharapkan tersebut.
Beberapa kunci yang dipandang dapat memberdayakan masyarakat madani
itu adalah:
1.


Pengembangan manusia seutuhnya, termasuk pengembangan
keterampilan yang mampu cepat beradaptasi dengan perubahan
2.
Pengembangan pendidikan masyarakat yang dapat menumbuhkan
perspektif saling memberdayakan dan membangun rasa saling percaya
diantara individu sampai ke tingkatan masyarakat
3.
Pengembangan pendidikan massal melalui pemberdayaan dan
pemanfaatan media komunikasi massa tradisional, cetak dan elektronik.

Dalam proses perubahan itu, pendidikan harus mampu memberikan
sumbangan optimal bagi transformasi menuju terwujudnya masyarakat
madani. Dalam rangka itu, dan karenanya perumusan filosofi yang lengkap
diperlukan guna menyeimbangkan antara pendidikan di satu sisi, dengan
dinamika perubahan masyarakat di sisi lain. Dalam konteks ini, pendidikan
mempunyai tiga arti yang prosesnya berjalan simultan, yaitu sebagai proses
belajar, sebagai proses ekonomi, dan sebagai proses sosial-budaya.
Sebagai proses belajar, pendidikan harus mampu menghasilkan individu
dan masyarakat religius yang secara personal memiliki integritas dan

kecerdasan. Sebagai proses ekonomi, pendidikan merupakan suatu
investasi yang dalam tingkat tertentu harus memberi keuntungan. Sebagai
proses sosial-budaya, pendidikan merupakan bagian integral dari proses
sosial-budaya yang berlangsung terus tanpa akhir. Karena itu, berkaitan
dengan nilai-nilai dasar pendidikan nasional dapat diidentifikasi sebagai
berikut: nilai agama, kebebasan, nasionalisme, kesesuaian, kebudayaan,
kemerdekaan, kemanusiaan, kekeluargaan, disiplin dan kebanggaan
nasional. Nilai-nilai tersebut harus secara simultan dapat diakomodasi, baik
pada level mikro maupun makro, dan tercermin pada semua aspek dalam

sistem pendidikan nasional: isi, proses, organisasi, lembaga sampai kepada
manajemennya.
Sementara itu, lingkungan global ditandai oleh sistem pasar terbuka yang
didasarkan atas perubahan yang sangat cepat serta penerapan teknologi
komunikasi yang sangat maju. Selain itu, kebutuhan akan sumberdaya
manusia yang berkualitas semakin meningkat sejalan dengan perubahan
lingkungan yang begitu cepat. Pada skala nasional, krisis nasional yang
telah melahirkan reformasi nasional, setidaknya mengandung empat aspek,
yaitu: reformasi ekonomi, politik, hukum, dan sosial-budaya.
Jadi diperlukan paradigma serta arah pengembangan baru dalam sistem

pendidikan nasional. Paradigma baru tersebut, dibandingkan dengan
paradigma lama sebagai berikut (Jalal & Dedi Supriadi, 2001): Paradigma
lama: sentralistik, top-down, orientasi pengembangan parsial; pendidikan
untuk pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan teknologi perakitan,
peran pemerintah sangat dominan, dan lemahnya peran institusi
nonsekolah. Pada paradigma baru, keadaannya sudah bergeser:
desentralistik, bottom-up, orientasi pengembangan holistik pendidikan
untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan
budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran
kreatif, produktif, dan kesadaran hukum.
Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan
pendidikan nasional adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

kesetaraan sektor pendidikan dengan sektor lain
berorientasi rekonstruksi sosial

dalam rangka pemberdayaan bangsa
pemberdayaan infra-struktur sosial
pembentukan kemandiarian dan keberdayaan untuk mencapai
keunggulan
6.
penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan
konsensus dalam kemajemukan
7.
perencanaan terpadu secara horizontal (antar-sektor) dan vertikal
(antar-jenjang)

8.
9.
10.

berorientasi peserta didik
pendidikan multi-kultural, dan
pendidikan dengan perspektif global.

Pendidikan dalam arti human investment hendaknya mampu menghasilkan

perancang
perubahan (change
designers) dan
pendorong
perubahan (change pusers) yang berjiwaentrepreneur dan inovator. Dalam
proses
modernisasi
menuju
masyarakat
tekonologi.
Salah
satu
permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, melalui pengembangan
kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui
pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan
sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen
sekolah. Namun demikian berbagai indikator mutu pendidikan belum

menunjukan peningkatan yang berarti.
Dengan demikian perlu adanya solusi yang tepat untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan diantaranya seperti: pemerataan pendidikan,
daya serap dunia kerja, mutu lulusan, akuntabilitas dan pencitraan publik,
khususnya dalam menghadapi tuntutan global dengan merevitalisasi
pendidikan sebagai human investment.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diangkat serta dikaji, yaitu:
1.
Apa makna dari Human Investment?
2.
Bagaimana peran Politik Pendidikan?
3.
Bagaimana Implementasi Kebijakan Pendidikan?
C. Tujuan
Hasil yang ingin dicapai setelah pembuatan Paper ini, adalah:
1.
2.
3.


Mengetahui makna dari Human Investment.
Megetahui peran Politik Pendidikan.
Mengetahui Implementasi Kebijakan Pendidikan.

4.

Menjadi bahan kajian bagi Stakeholders yang mempunyai
Permasalahan yang sama terkait Politik serta Kebijakan tentang
Pendidikan.
BAB II
LANDASAN TEORITIK
A. Konsep Politik Pendidikan
Dale mebedakan antara politik pendidikan dan pendidikan politik dengan
mengemukakan pernyataanya. Menurutnya, pendidikan politik adalah studi
terhadap efektifitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pengelolaan
pendidikan dalam mencapai tujuan yang dibebankan kepada mereka. Dale
kemudian mengemukakan tiga ciri utama studi ini:
1.
mempertanyakan proses pembuatan keputusan
2.

mereduksi politik menjadi administrasi, dan
3.
terfokus pada machinary (perangkat kerja).
Sedangkan politik pendidikan menurut Dale adalah relasi antara produksi
tujuan-tujuan dan bentuk-bentuk pencapainya. Fokusnya ada pada kekuatan
yang menggerakkanmachinary, bagaimana dan dimana machinary tersebut
diarahkan. Konsentrasi kajian politik pendidikan bagi Dale ada pada
peranan negara. Ia yakin dengan melalui studi tentang politik pendidikan
dapat menerangkan pola-pola, kebijakan, dan proses pendidikan dalam
masyarakat secara memadai, disamping memungkinkan kita untuk
mempertanyakan persoalan-persoalan diseputar asumsi, maksud
dan outcome berbagai strategi perubahan pendidikan.
Istilah politik pendidikan merupakan proses pembuatan keputusankeputusan penting dan mendasar dalam bidang pendidikan baik ditingkat
lokal maupun nasional. Definisi ini dikemukakan Kimbroug dengan
meminjam pengertian politik yang disampaikan Kammerer sebagai proses
pembuatan keputusan-keputusan penting yang melibatkan masyarakat luas.
Kimbroug lalu menyatakan bahwa pendidikan publik bersifat politis.
Mereka yang terlibat dalam manajemen pendidikan publik adalah para
politisi, manakala mereka menuntut keputusan, harus melalui proses
politik. Dari pernyataan Kimbrough ini kita dapat menyatakan bahwa

proyek-proyek penting dalam bidang pendidikan terkait dengan konsep
ekonomi, sistem sosial, keuangan, fungsi pemerintah, dan bisinis yang
kesemuanya melahirkan aktivitas politik dan bersifat partisan. Oleh sebab

itu para pimpinan lembaga pendidikan akan berhasil, jika memahami
elemen-elemen penting dari struktur kekuasaan dan menggunakan
pengetahuan ini dalam melaksanakan politik sekolah. Ketidaktahuan atas
proses politik, pimpinan lembaga pendidikan akan mengalami disinformasi
tentang sejauhmana prsedur demokratis terlibat dalam pembuatan
keputusan. Para administrator pendidikan saatnya harus melihat aktoraktor lain dalam sistem pengambilan keputusan. Pada konteks berfikir
seperti inilah wawasan tentang politik pendidikan penting bagi siapapun
yang konsern dengan persoalan pendidikan.
Berdasarkan pemikiran yang telah disampaikan di atas politik pendidikan,
dapat dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan
kebijakan pendidikan. Sifatnya, bisa keras dan bisa lunak. Politik
pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk
mendesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik
pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus
(subtle) lewat strategi taktis. Aksi pemogokan guru, unjuk rasa para guru,
merupakan wujud politik pendidikan yang keras. Dalam aksi itu, para

pendidikan mengolah potensi kekuasaan kolektif—mogok—untuk
menghasilkan kekuatan nyata guna memengaruhi tatanan keseharian
masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar). Strategi politik
seperti itu digunakan untuk melawan politik ”lunak” pemerintah terkait
anggaran pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru dan sebagainya.
Sementara upaya yang dilakukan oleh kalangan Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia dengan jalan memberi masukan kepada pemerintah tentang
kebijakan pendidikan merupakan bagian dari strategi politik lunak.
Pencantuman pasal tentang besaran anggaran pendidikan yang harus
dilaksanakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam UUD 1945
merupakan keberhasilan dalam menjalankan strategi lunak para pendidik.
Kalangan pendidik saatnya mencoba menyelami dunia politik. Maksudnya,
masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil
keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi
terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih
leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang
menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan,

sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan
tercela. Paling tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan
kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan
prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan
generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian
ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus
dimaklumi namun ke depan, ia akan punya andil yang sangat besar dalam
membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik.
Inilah yang disebut dengan keberanian kaum pendidik meluruskan arah
pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan
terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu
melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong
pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia
meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistikpatriotik. Inilah alasan belakangan disebut sebagai pendidikan politik.
Fungsi Politik Pendidikan
Paling tidak ada dua pernyataan yang turut mempengaruhi berkembangnya
pemikiran politik pendidikan. Pernyataan pertama dikemukakan oleh David
Easton dalam artikel terkenalnya The Function of Formal Education in a
Political System pada tahun 1957 dan Thomas H. Eliot dengan
artikelnya American Political Science Review ada tahun 1959. easton
mengatakan bahwa institusi pendidikan memainkan fungsi politik penting
dan membuktikan secara singkat sebagai agen sosial politik. Eliot
mendemonstrasikan aspek-aspek politik di tingkat lokal. Ia mengatakan
bahwa suka atau tidak suka, para pengelola sekolah terlibat dalam politik,
karena sekolah-sekolah lokal adalah unit-unit pemerintahan. Eliot
menegaskan bahwa politik mencakup pembuatan keputusan-keputusan
pemerintah, dan upaya atau perjuangan untuk mendapatkan atau
mempertahankan kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan
tersebut. Sekolah-sekolah publik adalah bagian dari pemerintah. Maka dari
itu lembaga ini merupakan entitas politik.
Dari pendekatan yang dikemukakan Eliot dan Easton, kita dapat menyelami
nilai manfaat kajian politik pendidikan. Tugas utama kajian ini
mengungkapkan cara-cara yang digunakan kelompok-kelompok

kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan kondusif
bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan
alokasi dana pemerintah untuk mereka. Dalam kaitan ini, maka studi politik
pendidikan mengungkapkan cara-cara yang ditempuh pemerintah dalam
menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat posisinya dan
menutup peran-peran aktivitas subversif terhadapnya. Contohnya,
bagaimana rezim otoriter memperkuat posisinya dengan ketat mengontrol
pendidikan dan bagaimana semua rezim menggunakan pendidikan
memperkuat sentimen kebangsaan dalam rangka memaksimalkan
kekuasaan negara. Pertanyaanya adalah bagaimana hal itu dilakukan? Tentu
dalam hal dimana institusi pendidikan memiliki ketergantungan terhadap
rejim berkuasa (pemerintah). Sekolah-sekolah dan Perguruan Tingi memiliki
kepentingan yang sangat tinggi pada pemerintah, terutama dalam hal akses
pendanaan, penempatan lulusan dan sebagainya. Sekolah dan Perguruan
Tingi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa input dari pemerintah, dan
dalam konteks itulah maka pemerintah yang dipimpin oleh rezim berkuasa
memiliki ikatan bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan
begitu, pendidikan menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk
mengungkap persaingan kekuasaan baik secara internal maupun eksternal.
Diantara berbagai institusi dan praktek yang secara signifikan
mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik adalah pendidikan.
Melalui pendekatan filosofis, fungsi politik dalam pendidikan mengungkap
jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembagan kurikulum maupun
pengembangan organisasi, dalam rangka menanamkan konsep-konsep
filosofis tentang masyarakat politik yang baik atau tatanan sosial yang baik.
Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian mengajukan
pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan dalam rangka
membangun warga negara yang baik? Kajian tentang hal ini telah banyak
dijawab dalam beberapa karya Reisner (1992), McCully (1959), Talmon
(1952), dan Cobban (1938). Dari mereka para pendidik mendapatkan
pernyataan bahwa sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan
mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang aktif.
Para insan pendidikan telah memusatkan tugas-tugas mereka pada
pengembangan program-program pelatihan kewarganegaraan dengan
mempromosikan kesetiaan kepada gagasan pemerintahan demokrasi.

Dale dan Apple, (1989) melihat fungsi politik pendidikan dari sudut
pandang relasi negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa
sekolah menjadi salah satu objek politik modern dimana kita dapat
menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan hegemoni tertentu
terbangun dan mengalami kehancuran.Perubahan kurikulum disetiap
periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah salah
satu bukti tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.
Berbagai persoalan yang muncul belakangan dalam dunia pendidikan
seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, depat publik tentang isu-isu
pendidikan, terutama alokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD,
otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya membutuhkan
pemahaman superficial tentang konteks politik dimana sekolah
diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang prosesproses yang menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang
pendidikan disemua jenjang administratif. Disinilah fungsi politik
pendidikan menjadi sangat diperlukan.
B. Konsep Kebijakan Pendidikan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah
seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuanketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat
kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal
tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk
lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan
kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.
Berikut adalah definisi kebijakan.
United Nations (1975) :
Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah
tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu
atau suatu rencana(Wahab, 1990).
James E. Anderson (1978) :
perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt :

a standing decision characterized by behavioral consistency and
repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide
by it (Jones, 1997).
1. Kebijakan Negara
Kemudian, mengenai definisi kebijakan Negara; dimana hal itu adalah
sebuah konsep yang berlaku dalam sebuah negara (nation), maka berikut
ini adalah dua definisi tentang kebijakan negara.
W.I Jenkins (1978) :
a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors
concerning the selection of goals and the means of achieving them within a
specified situation where these decisions should, in principle, be within the
power of these actors to achieve(seperangkat keputusan-kepurusan yang
saling berhubungan antar-satu sama lainnya; dibuat oleh para pelaku politik
(politisi) atau kelompok politisi menyangkut pemilihan tujuan dan orientasi
pencapaian tujuan tersebut dalam situasi khusus dimana keputusan itu
berada, secara prinsipil, berada dalam kekuasaan para politisi ini).
Chief J.O Udouji (1981) :
an sanctioned course of action addressed to a particular problem or group
of related problems that effect society at large (sebuah rangkaian
keputusan dalam hal pelaksanaan yang ditujukan untuk sebagian masalah
atau sekelompok masalah-masalah (yang saling berkaitan) dimana seluruh
masalah itu mempengaruhi masyarakat banyak).
2. Kebijakan Pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui
pernyatan-pernyataan berikut ini.
Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan, Educational
policy is judgment, derived from some system of values and some
assesment of situational factors, operating within institutionalized
adecation as a general plan for guiding decision regarding means of
attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah
suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan
situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan

umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan
yang diinginkan bisa dicapai.
Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni
Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok
undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip Administrasi
yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan
Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi. (Research and
Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and
Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II
masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat
parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi
pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan
peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem
administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional
dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi
kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa
kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan
diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa
pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk
menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan
menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai
tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus
dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan
merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
Dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang
dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legalnetral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.
3. Kriteria Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan

Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia
harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan
kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya
pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan
itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan
pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki
konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah
dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu
kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum,
tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat
diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas
pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan
kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang
memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan
kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi
yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat
kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang
sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau
dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa

diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat
memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh
karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek
yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas,
efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak
bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian
faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus
diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak
menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal
pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya;
kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di
atasnya atau disamping dan dibawahnya.
4. Pembuat Kebijakan Pendidikan
Dalam prespektif Halligan, J dan J Power. 1992 dalam buku Political
Management in the Nineties dinyatakan bahwa :
…three principle dimensions of policy process in government, expanding on
the first model. The three dimensions are:
(i) Administrative. Administrators maintain policy. They are primarily
concerned that all regulations are complied with. They strive for
impartiality, continuity, and procedural correctness. Administrators tend to
be conservative, but are generally willing to follow changes in policy once
agreed, as their function is to maintain policy. They strive to assure that any
change does not upset stability.
(ii) Management. Managers launch activities within the frameworks given.
Management focuses on implementing changes, and thus are primarily
concerned with outputs than regulations and procedures.
(iii) Political. The political process within the executive is led by politicians,
the elected head of government and ministers, who often rely on their
senior officials for political guidance. This function is the steering of
change. The political process initiates change, gains endorsement for
change by attending to numerous interest for and against change.

Sehingga, sebagai kesimpulannya, bahwa para pembuat kebijakan itu
adalah; 1)administrator; 2) manajer; 3) politisi yang berada pada posisi
masing-masing sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan mereka dalam
bidang yang mereka tanggungjawabi.
Para administrator itu akan memberikan program-program yang
dirancangnya dari konsep hingga praktis; manajer akan menjabarkan
program-program itu dengan pengembangan yang teknis; dan para politisi
akan merancang gerakan kebijakan yang mampu mewujudkan perubahan
signifikan dalam konteks jangka panjang (long-term) yang mengatur
program-program pada tingkatan struktur politik di daerah tempat
program-program tersebut diselenggarakan.
5. Anatomi Kebijakan Pendidikan Indonesia
Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009 yang
memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis
Pendidikan Nasional 2005-2009 mengacu pada amanat UUD 1945,
amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor
VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah; UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21
Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggara Kementerian/Lembaga,
dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada
pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang
pendidikan baik di tingkat makro (masional); tingkat messo (daerah); dan
tingkat mikro (satuan pendidikan).
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia
(RI) sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk
membuat sebuah kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat
memperngaruhi eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan

memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam
negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang
dipimpin oleh Presiden—eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil
Presiden; jajaran Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan
eksekutif negara—adalah para pembuat kebijakanyang bisa mempengaruhi
dunia pendidikan Indonesia.
Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus
masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI,
dan Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan
Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang
dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan
di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi
masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah
(Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD
dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi
adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masingmasing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil
permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk
membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena
pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Berikut ini adalah ilustrasi berupa bagan tentang anatomi kebijakan
pendidkan nasional berdasarkan kajian terhadap data Renstra Pendidikan
Nasional 2005-2009 dan aspek empirik yang tengah berlangsung saat ini di
Indonesia dengan konsentrasi khusus untuk pengaturan pendidikan dasar
dan menengah (lihat di kiri atas; klik untuk resolusi besar).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Makna Human Investment

Makna pendidikan sebagai human investment yaitu bahwa pendidikan
merupakan investasi jangka panjang, dalam arti bahwa pendidikan dapat
dinikmati hasilnya setelah orang yang mengenyam pendidikan tersebut
dapat merasakan manfaat dari pendidikannya itu. Sedangkan bila
diperhatikan dari nilai-nilai equity (keadilan) danequality (pemerataan),
maka makna pendidikan berarti memiliki nilai investasi yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Yang
dimaksud equityadalah keadilan (fairness) yaitu menempatkan sesuatu
pada tempatnya dan memberlakukan peserta didik secara manusiawi dalam
mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Investasi
pendidikan yang berkeadilan selalu mengutamakan pemberlakuan sumbersumber pendidikan bagi semua kalangan baik miskin maupun kaya
perlakuannya harus sama. Sedangkan equality adalah persamaan hak atau
pemerataan, artinya bahwa setiap peserta didik dapat merasakan dan
menikmati proses pendidikan yang berkualitas dengan tidak membedabedakan suku, ras, warna kulit dan agama. Equality memberikan
kesempatan yang sama bagi semua anak usia sekolah.
Nilai pengembalian (rate of return) adalah pendekatan yang paling sering
digunakan dalam penelitian investasi pendidikan. Beberapa aspek dari efek
pendidikan adalah pendapatan, produktivitas dan perubahan efek-efek
ekonomi dari pendidikan. Bahkan Becker (1979) memberi taksiran yang
sesuai dengan kemampuan (para lulusan) dibagi menjadi tiga kelompok
dengan prosentase sekitar 18, 16, dan 20 prosen, bahwa kemampuan
lulusan SD dan Sekolah Lanjutan sangat berbeda: rata-rata IQ lulusan
sekolah menengah lebih tinggi 30 persen, dengan keyakinan yang
didasarkan bahwa kemajuan ekonomi yang direfleksikan dalam
kesejahteraan yang cenderung semakin tinggi seiring dengan meningkatnya
investasi pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia.
Investasi pendidikan akan memperoleh peningkatan skuer dalam suplay
bagi SDM yang berkualitas ditentukan oleh semakin tingginya tingkat
pendidikan. Sedangkan sumber daya manusia yang berkualitas dibutuhkan
pendidikan yang berkualitas dengan tenaga pendidik yang berkualitas pula.
Tenaga Kependidikan merupakan komponen yang diterminan dalam
penyelenggaraan pemberdayaan SDM dan menempati posisi kunci dalam
Sistem Pendidikan nasional (PP No. 38, 1992). Dampak kualitas kemampuan

professional dan kinerjanya bukan hanya akan berkontribusi terhadap
kualitas lulusan yang dihasilkannya (output) melainkan juga akan berlanjut
pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan tersebut (outcomes) dalam
pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya
terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa, serta
umat manusia pada umumnya.
Banyak studi dan hasil penelitian yang menunjukkan sentralnya kedudukan
tenaga kependidikan, khususnya tenaga pendidik dalam setiap lembaga
pendidikan, misalnya yang dikemukakan oleh Castetter, (1981:316),
bahwa: “staff development is closely related to institusional
change”, sehingga pengembangan pendidikan secara kualitatif erat
berkaitan dengan mutu tenaga pendidiknya.
Di pihak lain, fungsi manajemen pendidikan adalah merancang,
melaksanakan dan mengevaluasi hasil-hasil belajar serta hasil pendidikan
secara keseluruhan. Hal ini terutama berkaitan dengan perencanaan tenaga
kependidikan, karena ia merupakan langkah awal untuk memperoleh mutu
tenaga kependidikan yang baik, dan mutu yang baik merupakan salah satu
faktor penentu keberhasilan belajar, sedangkan perencanaan adalah salah
satu fungsi manajemen yang utama. Maka manajemen pendidikan yang baik
akan mampu menata situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan, jadi
menguntungkan. Sebaliknya, manajemen yang buruk menjadikan kondisi
dan potensi yang baik, menjadi buruk (Uwes, 1999).
Pengelolaan tenaga kependidikan merupakan bagian dari human resources
development. Banyak istilah lain, seperti: personal management, personnel
administration, human resources administration, yang merupakan salah
satu substansi dari administrasi atau manajemen pendidikan. Bahwa posisi
dan peran sumberdaya manusia dalam proses pendidikan sangat penting,
karena produktifitas pendidikan akan sangat tergantung pada kontribusi
yang diberikan sumberdaya manusia melalui pelaksanaan fungsi dan
aktifitasnya.
Pengelolaan SDM pada dasarnya merupakan deskripsi dari administrasi
atau manajemen pendidikan dengan mengidentifikasi fungsi-fungsinya ke
dalam suatu rangkaian proses administrasi atau manajemen pendidikan
yang saling berkaitan guna mengarahkan perilaku anggota kepada tujuantujuan individu maupun organisasi. Morphet dan kawan-kawan (1982)

mengidentifikasi fungsi-fungsi tersebut ke dalam proses: “human resources
planning, compensation, recruitment, selection, induction, appraisal,
development, maintaining and improving performance, security, union
relation, and information.”Sementara Randall (1987: 29) mengidentifikasi
fungsi-fungsi tersebut sebagai meliputi:“planning, staffing, appraising,
compensation, and training.”
Ciri utama Masyarakat Indonesia adalah masyarakat demokratis yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan dan keadilan,
toleransi dan penegakan hukum (Fadjar, 2001). Dalam rangka itu,
pemberdayaan individu dan masyarakat mutlak diperlukan, sebab suatu
masyarakat madani membutuhkan motivasi dan kemampuan yang kuat,
disertai partisipasi nyata dari masyarakat. Dalam hubungan ini, pendidikan
diyakini merupakan faktor yang paling berperan bagi upaya pemberdayaan
individu dan masyarakat itu.
B. Peran Politik Pendidikan
3.1. Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan adalah “Leadership is an attempt at influencing the
activities followers through the communication process toward the
attainment of some goals” Gibson et.al(1985). Kepemimpinan visioner
adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk member arti pada kerja
dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota lembaga
organisasi dengan cara memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha
yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas (Diana Kartanegara, 2003).
Dalam kepemimpinan visioner, visi menjadi bagian penting dalam
membangun organisasi, kepemimpinan yang efektif, mempunyai rencana
yang matang dan berorientasi penuh pada hasil, mengadopsi visi-visi baru
yang menantang dalam menetapkan arah baru organisasi yang lebih baik.
Dalam kepemimpinan visioner, pemimpin adalah juru bicara visi, pemimpin
adalah agen perubahan bagi visi, dan pemimpin sebagai pelatih bagi visi.
Kepemimpinan visioner = Tujuan bersama + orang-orang yang
diberdayakan + perubahan organisasional yang tepat + pemikiran strategis.
Tidak semua tujuan dapat disebut visi, karena visi adalah tujuan yang
memiliki persyaratan tertentu. visi hendaknya dapat menjadi acuan
pemimpin dan para pengikutnya kearah tertentu untuk masa mendatang

dan dapat memberikan motivasi dalam melakukan perubahan. Lebih lanjut
Wirawan (2002: 118) mengemukakan bahwa visi adalah apa yang
diimpikan, keadaan masyarakat yang diciptakan, apa yang ingin dicapai
oleh pemimpin dan pengikutnya dimasa yang akan datang. Sementara
Bennis dan Nanus (1985: 80) menerapkan visi sebagai “mental image of
possible and desirable future state of the organization; a vision always
refers to a future state a condition that does not presently exist and never
existed before. Wish a vision, the leader provides the all important bridge
from the present to the future of the organization”.
Visi bukan hanya untuk kepentingan pemimpin melainkan juga para
pengikutnya, oleh karena itu dalam menciptakan visi seorang pemimpin
dapat melakukannya dengan berbagai cara, misalnya dengan melakukan
penelitian sejarah perkembangan masyarakat atau mungkin melakukan
dialog dengan berbagai pihak terkait.
Senge (1995) menjelaskan bahwa pemimpin memiliki kedudukan dan peran
kritikal, karena ia sebagai desiner, guru dan sekaligus sebagai pramugara.
Oleh karena itu, pemimpin berkewajiban memiliki sifat visioner terhadap
masa depan sehingga kepemimpinan yang akan ia tampilkan bersifat
visioner pula. Kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang mampu
melihat masa depan dan berbeda dengan kepemimpinan modern. Konsep
kepemimpinan menurut Burt dan Nanus (2000) mengandung kemampuankemampuan pemimpin sebagai penentu arah, agen perubahan, juru bicara
dan pelatih.
Pertama, pemimpin sebagai penentu arah. Disaat organisasi sedang
mengalami kebingungan menghadapi beragam perubahan dan struktur
baru, pemimpin visioner tampil sebagai pelopor penentu arah yang akan
dituju melalui pikiran-pikiran yang cerdas dan mengarahkan perilakuperilaku bergerak menuju arah yang dikehendaki.
Kedua, pemimpin sebagai agen perubahan. Pemimpin visioner bertanggung
jawab untuk merangsang perubahan lingkungan internal, ia tidak nyaman
dengan situasi organisasi yang statis dan status quo, ia memimpikan
kesuksesan organisasi melalui gagasan-gagasan baru yang memicu kinerja
dan menerima tantangan dengan menerjemahkannya kedalam agenda kerja
yang jelas dan rasional.

Ketiga, pemimpin sebagai juru bicara. Pemimpin visioner tidak saja memilii
kemampuan meyakinkan orang dalam kelompok internal, tetapi juga
kemampuan memperluas aksesibilitas pada lingkungan ekternal untuk
memperkenalkan dan mensosialisasikan keunggulan visi organisasi.
Pemimpin visioner adalah seorang negosiator utama dan ulung dalam
hubungan dengan organisasi lain atau hierarki yang lebih tinggi.
Keempat, pemimpin sebagai pelatih. Pemimpin visioner adalah pemberi
teladan, pemberi semangat, pembangun rasa percaya diri, dan pemberi
penghargaan atas keberhasilan orang lain, ia mampu mengkomunikasikan,
mensosialisasikan, dan bekerjasama dengan orang-orang untuk
membangun, mempertahankan, dan mengembangkan visinya.
Perbedaan utama anatara pemimpin dan manajer terletak pada visinya.
Kalau seorang pemimpin selalu mempunyai visi, sedangkan seorang
manajer tidak selalu mempunyai visi. Yang dimaksud dengan visi adalah apa
yang diimpikan
Thomas Sowell (1987:14) menjelaskan pengertian konsep visi sebagai
berikut: “Visi has beeb described as a pre-analitic cognitive act. It is what
we sense or feel before we have constructed any systematic reasoning that
could be called theory much less deduced any specific consequences as
hypotheses to be tested agains evidence. A vision s our sense of how the
wordl works.”
Sowell menyamakan vsi dengan teori dan hipotesis dalam peneltian yang
pelu diuji terhadap bukti yang harus diciptakan oleh pemimpin dan para
pengikutnya di masa mendatang. Sedangkan Gregory G Dess dan Alex
Miller (1993:24) menyatakan mengenai visi sebagai berikut: ….. a Vison
refers to the goals that are broadest, most general, and all-inclusive. A
vision describes aspiration of the future, without specifying the mean
necessary to achieve those desired ends.”
Pada dasarnya visi merupakan tujuan yang ingin dicapai atau suatu fokus
pikiran yang akan dicapai oleh pemimpin dan pengikutnya. Akan tetapi
tidak semua tujuan dapat disebut visi. Menurut Wirawan (2002:96-97)
Bahwa sebuah tujuan dapat disebut visi, jika memenuhi salah satu syarat
sebagai berikut:

Visi merupakan sebuah abstraksi dari sebuah keadaan yang dicita-citakan,
yang ingin dicapai dimasa yang akan datang. Karena merupakan sebuah
hasil dari abstraksi. Visi lebih bersifat abstrak dan kurang konkrit. Visi
hanya mengandung pengertian umum akan tetapi bukan pengertian rinci
yang menggunakan angka-angka kuantitatif. Misalnya, Visi bangsa
Indonesia yang dicita-citakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, yaitu
kita harus merdeka karena kemerdekaan merupakan jembatan emas
menuju masyarakat yang adil dan makmur. Demikian juga visi Mahatma
Gadhi: pesannya memegang teguh kebenaran (Satyagraha) tanpa
kekereasan (Ahimsa).
Visi relative tetap berada di benak seorang pemimpin dan pengikut untuk
waktu yang panjang. Bukan berarti visi tidak dapat berubah. Visi pada
umumnya berubah jika terjadi perubahan lingkungan internal dan
lingkungan eksternal masyarakat maupun organisasi. Misalnya, visi suatu
perusahaan biasanya ditinjau 5-20 tahun. Visi pendidikan ditinjau setiap 5
tahun sekali. Visi dilukiskan dengan kata-kata atau kalimat filosofis dan
menggunakan kalimat pendek tetapi mengandung pengertian yang luas
serta dapat diberi isi yang berbeda dari waktu ke waktu. Visi memberikan
aspirasi dan motivasi kepada pemimpin dan pengikutnya.
3.2. Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan Transformasional merupakan model kepemimpinan bagi
seorang pemimpin yang cenderung untuk memberikan motivasi kepada
bawahan untuk bekerja lebih baik serta menitikberatkan kepada perilaku
utnuk membantu trasformasi antara individu dengan organsiasi. Gaya
kepemimpinan transformasinal, meliputi:
1.
Charisma/ Idealized influence
2.
Inspirational Motivation
3.
Intelectual Stimulation
4.
Individualized Consideration
Kepemimpinan transformational muncul dilatarbelakangi oleh pola pikir ahli
manajemen yang sudahberwawasan cukup baik dalam mengidentifikasi
konsep manajemen mutakhir. Burn (1978) menjelaskan bahwa
kepemimpinan transformational sebagai suatu proses yang pada dasarnya

“para pemimpin dan pengikut saling meneikan diri ketingkat moralitas dan
motivasi yang lebih t inggi”. Pemimpin transformational memiliki visi yang
jelas, memiliki gambaran holistic yang jelas tentang bagaimana organisasi
dimasa depan ketika semua tujuan dan sasarnnya telah tercapai.
Kepemimpinan Transformational dapat dipandang secara makro dan mikro.
Jika dipandang secara mikro kepemimpinan transformational merupakan
proses saling mempengaruhi antar individu, sementara secara makro
merupakan proses memobilisasi kekuatan untuk mengubah sistem social
dan kelembagaan.
Kepemimpinan transformational dikemukakan untuk menjawab tantangan
zaman yang penuh dengan perubahan. Zaman yang dihadapi saat ini bukan
zaman ketika manusia menerima segala apa yang menimpanya, tetapi
zaman dimana manusia dapat mengkritik dan meminta yang layak dari apa
yang diberikannya secaea kemanusiaan. Bahkan dalam terminologinya
motivasi maslow, manusia di era ini adalah manusia yang memiliki
keinginan mengaktualisasi dirinya. Yang berimplikasi pada bentuk
pelayanan dan penghargaan terhadap manusia itu sendiri. Kepemimpinan
transformational tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan
diri, tetapi menumbuhkan kesadaran pad pemimpin untuk berbuat yang
terbaik sesuai dengan kajian perkembangan manajemen dan kepemimpinan
yang memandang manusia, kinerja, dan perumbuhan organsiasi adalah sisi
yang paling mempengaruhi. Menurut Burn (1978) menjelaskan
kepemimpinan transformational sebagai suatu proses yang pada dasarnya
“para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ketingkat moralitas dan
motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin adalah orang yang sadar akan
prinsip perkembangan organisasi dan kinerja manusia sehingga berupaya
mengembangkan segi kepemimpinannya secara utuh melalui pemotivasian
terhadap staf dan kemanusiaan bukan didasarkan atas emosi seperti
misalnya keserakahan, kecemburuan atau kebencian.
Pemimpin transformational adalah pemimpin yang memiliki wawasan jauh
kedepan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organsiasi bukan
untuk saat ini tetapi di masa mendatan. Oleh karena itu, pemimpin
transformational adalah pemimpin yang dapat dikatakansebagai pemimpin
yang visioner. William B. Catetter (1996), mengaitkan administrasi

pendidikan dengan mengembangkan struktur social yaitu “educational
administration is a social process that place within the context of social
system”.
Berdasarkan uraian diatas, menurut Nurdin disimpulkan bahwa fungsi
adminstrasi pendidikan merupakan alat untuk mengalokasikan dan
menintegrasikan peranan maupun fasilitas guna tercapainya tujuan sistem
pendidikan. sedangkan secara operasional, merupakan proses mengatur
hubungan manusia dengan manusia yang ada dalam sistem pendidikan
tersebut. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan demikianlah
pentingnya kedudukan administrasi pendidikan sehubungan dengan
pengelolaan pendidikan perguruan tinggi. Inilah sekelumit kapasitas
kepemimpinan yang dielaborasikan melalui pendekatan dan tindakan kedua
gaya dan model sangat berperan dengan cara menampilkan keunggulan
bertindak sesuai dengan kaidah “visionary leadership” dan
“Transformational leadership” yang diwujudkan melalui fungsi dosen
sebagai tenaga akademik di suatu perguruan tinggi.
C. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sangat menarik untuk
diperbincangkan terutama setelah muncul berbagai kontroversi yang
menyertai kemunculan undang-undang tersebut. BHP adalah badan hukum
bagi penyelenggaraan dan atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba,
dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan
pendidikan. Undang-undang BHP telah memberikan otonomi dan
kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan formal terutama
dalam penerapan manajemen berbasis sekolah sebagai embrio dari otonomi
pendidikan.
Dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, BHP berpedoman pada
prinsip-prinsip otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu,
layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta
partisipasi atas tanggung jawab Negara. Dengan prinsip ini,
pengelolaansistem pendidikan formal di Indonesia ke depan diharapkan
makin tertata dengan baik, makin professional, dan mampu membuat satu

system pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan
mutu, akuntabilitas, dan daya saing.
Adapun beragam isu persoalan yang masih melekat dalam Undang-undang
BHP pada masa kini adalah:
1.
2.

konsep otonomi perguruan tinggi dan komersialisasi perguruan tinggi
eksistensi yayasan dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi dari
unsur masyarakat
3.
tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi
4.
kelayakan implementasi BHP-Milik Negara atas seluruh satuan
pendidikan formal
5.
kontroversi audit keuangan dan pelaporan BHP
6.
keterlibatan Notaris sebagai legislator akta BHP bersama Mendiknas
7.
ekses Miss-leading BHP berpotensi mengeksploitasi dana masyarakat
8.
eksistensi model administrasi dan pola manajerial lembaga
pendidikan BHP
9.
ekses-utang-piutang biaya penyelenggaraan BHP
10. eksistensi dan sustainabilitas jaminan pendidikan formal yang bermutu
dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi
11. kesipan sumber daya kependidikan menjelang pemberlakuan BHP
12. kewajiban pendidikan tinggi terhadap Negara dan masyarakat.
3.1 Isu Komersialisme Pendidikan.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasioanl (Sisdiknas) menegaskan
bahwa BHP berprinsip Nirlaba yang berarti semua sisa lebih dari kegiatan
yang dilakukan lembaga BHP, harus dikembalikan untuk kepentingan
pengelolaan satuan pendidikan didalam lembaga BHP. Dari prinsip ini, maka
sebenarnya konsep komersialisasi pendidikan tidak ada. Prinsip nirlaba
yang menjadi roh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, diharapkan
bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia
pendidikan. Hal ini dikarenakan prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan
pendidikan, menekankan kegiatan pendidikan yang tujuan utamanya tidak

mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan
kapasitas dan atau mutu layanan pendidikan.
3.2 Mengapa Isu tersebut muncul?
Isu komersialisme pendidikan muncul karena BHP dengan berprinsip
nirlaba para mahasiswa dan aktivis pendidikan lainnya menganggap akan
menjadi masalah dalam proses implementasinya. Dengan digulirkannya
konsep BHP pada lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah
terutama perguruan tinggi, dikuatirkan akan menjadi ladang komersialisasi
pendidikan. yaitu dengan tidak memanfaatkan dan menggunakan sisa
anggaran kegiatan operasional satuan pendidikan untuk memperbaiki
pelayanan dan mutu pendidikan melainkan dikuatirkan malah masuk pada
pundi-pundi keuangan pribadi belaka.
Alasan lain isu komersialisme muncul, karena dengan adanya BHP
dikuatirkan penyelenggara PTN, akan menggunakan dalih otonomi demi
menaikan biaya pendidikan dengan alasan untuk pengembangan kampus,
menaikan kesejahteraan