perbandingan siswa smp yang tinggal di d
1
PERBANDINGAN SISWA SMP YANG TINGGAL DI DESA DENGAN DI KOTA
DITINJAU DARI POLA ASUH OTORITATIF DAN KEERATAN KELUARGA
INDAH FERBIANI RIYADI
Progam Studi Psikologi, Universitas Brawijaya Malang
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pola asuh otoritatif dan
keeratan keluarga antara siswa SMP yang tinggal di desa dengan siswa SMP yang tinggal di
kota. Variabel X penelitian adalah tempat tinggal dan variabel Y 1 adalah pola asuh otoritatif,
sedangkan Y2 adalah keeratan keluarga. Subjek yang digunakan sebanyak 100 orang yang
terdiri dari 50 siswa SMP Nasional KPS Balikpapan dan 50 siswa SMP 5 Lawe-Lawe,
Kalimantan Timur. Teknik pengambilan sampel purposive sampling.Penelitian menunjukkan
bahwa uji asumsi telah terpenuhi, yaitu pada variabel pola asuh otoritatif dan variabel
keeratan keluarga memiliki data yang terdistribusi normal dan variansi antar kelompoknya
bersifat homogen. Analisis data menggunakan teknik statistik Between-Subjects two-sample
t-test, dengan bantuan program statistik SPSS 20 for Macintosh. Dari hasil analisis data
diperoleh nilai thasil pada variabel pola asuh otoritatif adalah 4,909 dan pada variabel keeratan
keluarga sebesar 2,708 lebih besar dari t tabel1,984. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan
pada pola asuh otoritatif dan keeratan keluarga antara siswa SMP yang tinggal di desa LaweLawe dengan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Selain itu, didapatkan hasil bahwa
jumlah orang tua yang memakai pola asuh otoritatif di kota Balikpapan lebih tinggi
dibandingkan dengan orang tua yang di desa Lawe-Lawe dan keeratan keluarga di desa
Lawe-Lawe lebih erat dibandingkan dengan keluarga di kota Balikpapan.
Kata Kunci:
Pola Asuh Otoritatif, Keeratan Keluarga, Remaja, Desa dan Kota.
2
COMPARISON IN AUTHORITATIVE PARENTING STYLE AND FAMILY
CLOSENESS AMONG JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS WHO LIVES IN THE
VILLAGE AND THE CITY
ABSTRACT
This study aims to determine whether there are differences in authoritative parenting style
and family closeness among junior high school students who live in the village with junior
high school students who live in the city. The variable X is a place where the students live
and study, variables Y1 is an authoritative parenting style, while Y2 is family closeness. The
research subjects are 100 people consisting of 50 junior high school students of National KPS
Balikpapan and 50 junior high school students of SMPN 5 Lawe-Lawe, East Borneo.
Researcher use purposive sampling as our technique sampling .The research shows that the
data in the test are normally distributed whether in variable authoritative parenting style and
variable family closeness and also the inter-group variance is homogeneous. Analysis Data
used statistical techniques that calledBetween-Subjects two-sample t-test with the help of
statistical program SPSS 20 for Macintosh. From analysis, the data showed that t result of
authoritative parenting is 4.909 and for family closeness is 2.708 which is higher than
ttabel1.984. The data suggests that there are differences in authoritative parenting style and
family closeness among junior high school students who live in Lawe-Lawe with Balikpapan,
East Borneo. The Parents who live in Balikpapan use Authoritative parenting style more than
the parents who live in Lawe-Lawe and Family who lives in Lawe-Lawe has the closeness
more than Family who lives in Balikpapan.
Keywords :
Authoritative Parenting Style, Family Closeness, Adolescence, Village and City
3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa (Rejeki,
2007). Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau
kelompok, karena bagi remaja pandangan kawan-kawan terhadap dirinya merupakan hal
yang penting.Beberapa ahli teori menyatakan bahwa budaya kawan-kawan sebaya dapat
mempengaruhi remaja untuk menyepelekan nilai-nilai kendali orang tua terhadap
mereka.Kawan-kawan sebaya dapat memperkenalkan remaja kepada alkohol, minuman
keras, kenakalan, serta bentuk-bentuk lain dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang
dewasa (Santrock, 2007).
Penelitian yang dilakukan di Jakarta (Jatmiko, 2010), terdapat 30 responden yang diteliti
mengenai kenakalan yang pernah mereka lakukan.Responden berusia 13-21 tahun yang
berjumlah 27 untuk responden laki-laki dan tiga untuk responden perempuan.Kenakalan yang
diteliti pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kenakalan biasa meliputi
berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit, berkelahi dengan teman. Kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan meliputi mengendarai kendaraan tanpa SIM,
kebut-kebutan, mencuri, minum minuman keras, selain itu terdapat juga kenakalan khusus
seperti hubungan seks di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan,
pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan. Terdapat lima (16,67%) responden yang
melakukan kenakalan biasa, dua (6,67%) responden yang melakukan kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran kejahatan, dan 23 (76,67%) yang melakukan kenakalan khusus.
Selain itu juga Jatmiko juga meneliti hubungan antara interaksi keluarga dengan tingkat
kenakalan remaja di Jakarta. Mereka yang berhubungan dekat dengan lingkungan
keluarganya berjumlah delapan responden (26,6%), kurang dekat 12 responden (40%), dan
tidak dekat 10 responden (33,4%). Data menunjukkan bahwa bagi keluarga yang kurang dan
tidak dekat hubungannya mempunyai kecenderungan memiliki anak yang melakukan
kenakalan pada tingkat yang lebih berat, yaitu kenakalan khusus.Keadaan tersebut dapat
dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari keluarga yang
interaksinya kurang atau tidak dekat.
Masa remaja adalah masa dimana orang tua tetap memberi pengaruh utama dalam
sebagian besar kehidupan, namun bagi sebagian remaja, teman sebaya dianggap lebih
berperan penting dibandingkan dengan masa kanak-kanak (Wong, 2009).Gaya pengasuhan
orang tua menjadi faktor penting dalam kedekatan hubungan orang tua dengan anak.
Pendekatan tipologi menganggap bahwa gaya pengasuhan yang paling baik adalah yang
4
bersifat otoritatif, yaitu orang tua mengarahkan perilaku secara rasional, dengan memberikan
penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan.
Para remaja menyatakan memiliki kedekatan yang berbeda-beda dengan orang
tua.Kedekatan hubungan anak dengan orang tua juga dapat menunjukkan seberapa erat atau
kuat hubungan keluarga tersebut. Keeratan keluarga di desa dengan di kota berbeda.
Kebanyakan orang tua di daerah perkotaan bekerja di perkantoran sehingga waktu yang
diberikan untuk anaknya lebih sedikit, hubungan antara anggota keluarga satu dengan yang
lainnya tidak erat, sedangkan di pedesaan pada umumnya mata pencaharian mereka adalah
bertani, kebanyakan dari remaja membantu orang tua bertani sehingga remaja lebih banyak
menghabiskan waktu mereka dengan orang tuanya dibandingkan dengan remaja di perkotaan
(Kartika, 2007). Selain itu, di daerah perkotaan yang memiliki ekonomi berkecukupan
biasanya menanamkan pola asuh lebih demokratis (otoritatif), sedangkan pada keluarga di
pedesaan biasanya memakai pola asuh yang bersifat otoritatif dan permisif
(Betsy,
Rustiyarso & Rivaei, 2011). Penulis akan melakukan penelitian mengenai “perbandingan
Pola Asuh Otoritatif dan Keeratan Keluarga Pada Siswa yang Tinggal di Desa dengan di
Kota”.
Hipotesis Penelitian
H1 : Terdapat perbedaan dalam pola asuh otoritatif dan keeratan keluarga pada siswa SMP
yang tinggal di desa dan di kota.
H2 : Keeratan keluarga siswa SMP di desa lebih tinggi dibandingkan dengan di kota
H3 : Pola asuh otoritatif siswa SMP di kota lebih tinggi dibandingkan dengan pola asuh
otoritatif di desa
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, masa ini
diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu masa perubahan, usia
bermasalah dimana individu mencari identitas dan ambang dewasa (Rejeki, 2007). Remaja
merupakan salah satu masa dalam rentang perkembangan kehidupan manusia, seseorang
berada dalam masa transisi. Satu sisi mereka bukan lagi anak-anak, tetapi di sisi lain mereka
juga belum dewasa. Prespektif tentang remaja kini tidak lagi terfokus pada tahapan statis
berdasar rentang usia, namun lebih terorientasi pada proses transisi yang terjadi. Secara
empiris banyak ditemui variasi individual kondisi remaja yang diklasifikasikan dalam usia
kronologis yang sama (Dahesihsari, 1996).
Pola Asuh Otoritatif
5
Menurut Chadler (Rachmad, 2011) pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas
tinggi akan kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak,
serta mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini
memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap
memberi batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupnya.
Pendekatan tipologi menganggap bahwa gaya pengasuhan yang paling baik adalah yang
bersifat otoritatif. Orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional, dengan memberikan
penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan. Orang tua mendorong
anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri, namun di sisi lain, orang tua bersikap
tanggap terhadap kebutuhan dan pandangan anak. Orang tua menghargai anak dan kualitas
kepribadian yang dimilikinya sebagai keunikan pribadi (Lestari, 2012).
Keeratan Keluarga
Keeratan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan
sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being). Defrain dan Stinnett
(Lestari, 2012) mengindentifikasi enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, sebagai
berikut : (1) memiliki komitmen, (2) terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi, (3)
Terdapat waktu berkumpul bersama, (4) Mengembangkan spiritualitas, (5) Menyelesaikan
konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan efektif, (6) memiliki ritme.
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah
tempat tinggal yang terbagi menjadi desa dan kota, sedangkan variabel dependen (terikat)
adalah pola asuh otoritatif dan keeratan keluarga
Subjek Penelitian
Subjek penelitian terdiri atas 100 orang, dimana 50 siswa SMP di desa Lawe-Lawe dan
50 siswa SMP di kota Balikpapan.
Alat Ukur
1. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif dalam penelitian ini diukur dengan skala yang mengacu pada dimensi
pola asuh otoritatif milik Chadler (Lestari, 2012), yaitu intensitas tinggi akan kasih sayang,
keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak, serta mendorong pada
kemandirian. Skala pola asuh otoritatif terdiri atas 40 aitem penyataan yang nantinya setelah
uji coba akan disaring menjadi 20 aitem pernyataan dengan sistem skor skala Likert (4
pilihan alternatif respon skala). Proses analisis aitem serta uji reliabilitas pada saat uji coba
skala menghasilkan koefisien Cronbach Alphasebesar 0,969 dengan 38 aitem yang lolos
(standra rit > 0,30). Sebanyak 2 aitem yang gugur kemudian dihilangkan dalam skala
6
penelitian yang sebenarnya.Hal tersebut berarti bahwa skala pola asuh otoritatif tergolong
reliabel (standar reliabilitas > 0,60).
2. Keeratan Keluarga
Skala keeratan keluarga dalam penelitian ini menggunakan karakteristik miliki Defrain
dan Stinnet (Lestari, 2012). Skala keeratan keluarga terdiri atas 60 aitem pernyataan yang
nantinya setelah uji coba akan disaring menjadi 30 aitem pernyataan dengan sistem skor skala
Likert (4 pilihan alternatif respon skala). Proses analisis aitem serta uji reliabilitas pada saat
uji coba skala menghasilkan koefisien Cronbach Alphasebesar 0,979 dengan 57 aitem yang
lolos (standar rit > 0,30) dan 3 aitem gugur kemudian dihilangkan dari skala penelitian
sebenarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa skala kecerdasan emosional na reliabel
(standar reliabilitas > 0,60).
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Between-subjects twosample t-test.
HASIL
1. Berdasarkan hasil T-test yang dihasilkan oleh peneliti adalah thasil> ttabel (4,909 > 1,984),
hal ini berarti terdapat perbedaan dalam pola asuh otoritatif antara siswa SMP yang
tinggal di desa dengan di kota.
2. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata orang tua siswa yang tinggal di kota
(63,12) lebih banyak menggunakan pola asuh otoritatif dibandingkan dengan siswa yang
tinggal di desa (55,88).
3. Berdasarkan hasil T-test yang dihasilkan oleh peneliti adalah thasil> ttabel (2,708 > 1,984),
hal ini berarti terdapat perbedaan dalam keeratan keluarga pada siswa yang tinggal di
desa dengan di kota.
4. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata orang tua siswa yang tinggal di desa
(95,70) memiliki hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan siswa yang tinggal di
kota (89,80).
DISKUSI
Pendekatan tipologi yang dipelopori oleh Baumrind menganggap bahwa gaya
pengasuhan yang paling baik adalah yang bersifat otoritatif. Karena pada pola asuh ini orang
tua mengarahkan perilaku anak secara rasional, dengan memberikan penjelasan terhadap
maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan (Lestari, 2012). Penelitian ini mendapatkan
hasil bahwa terdapat perbedaan pola asuh otoritatif pada siswa SMP yang tinggal di desa
dengan di kota dengan nilai nilai Thasil pada pola asuh otoritatif adalah 4,909 dimana nilai
tersebut lebih besar dari pada nilai T tabel dengan jumlah 1,984. Jika nilai Thasil lebih besar
7
daripada nilai Ttabel, maka terdapat perbedaan pada variabel pola asuh otoritatif pada siswa
SMP yang tinggal di desa dengan di kota.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata orang tua yang tinggal di kota lebih
banyak memakai pola asuh otoritatif dibandingkan dengan orang tua yang tinggal di desa
(63.12 > 55.88). Perbedaan ini didukung pula oleh pernyataan Baumrind yang mengatakan
bahwa setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan latar belakang yang sering kali
sangat jauh berbeda.Entah itu latar belakang keluarga lingkungan tempat tinggal atau
pengalaman pribadinya.Perbedaan ini sangat memungkinkan pola asuh yang berbeda
terhadap anak (Hale, 2008). Perbedaan pola asuh otoritatif yang ditanamkan di desa dan di
kota terjadi karena suatu keluarga memiliki latar belakang yang berbeda seperti yang
Baumrind katakan.
Penelitian ini didapatkan hasil dari T-Test bahwa terdapat perbedaan pada keeratan
keluarga pada siswa SMP yang tinggal di desa dengan di kota. nilai T hasil pada keeratan
keluarga adalah 2,708 dimana nilai tersebut lebih besar dari pada nilai T tabel dengan jumlah
1,984. Jika nilai Thasil lebih besar daripada nilai Ttabel, maka terdapat perbedaan pada variabel
keeratan keluarga pada siswa SMP yang tinggal di desa dengan di kota. Selain itu, perbedaan
antara siswa SMP yang tinggal di desa dengan yang di kota dapat juga dilihat dengan
menggunakan nilai rata-rata yang berfungsi untuk mengetahui kelompok mana yang lebih
memiliki hubungan keluarga yang erat.
Diperoleh kesimpulan dari hasil analisis data bahwa keeratan keluarga siswa SMP yang
tinggal di desa lebih erat dibandingkan dengan siswa SMP yang tinggal di kota (95,70 >
89,80). Hal ini didukung pula oleh teori yang menyatakan bahwa keluarga tinggal di kota
mempunyai hubungan yang tidak terlalu erat karena mereka jarang berkomunikasi antara satu
dengan yang lainnya, konflik pun jarang terjadi dikarenakan jarangnya komunikasi tersebut.
Anggota keluarga biasanya hanya berbicara dan berdiskusi jika ada suatu hal yang sangat
penting untuk dibicarakan (Arced & Alvarez, 1983). Sedangkan di pedesaan pada umumnya
mata pencaharian mereka adalah bertani, kebanyakan dari remaja membantu orang tua
bertani sehingga remaja lebih banyak menghabiskan waktu mereka dan lebih sering
berkomunikasi dengan orang tuanya dibandingkan remaja di perkotaan sehingga hubungan
mereka lebih erat dibandingkan dengan remaja perkotaan (Sylvia, 2012).
Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari penelitian perbandingan pola asuh
otoritatif pada siswa yang tinggal di desa dengan di kota, maka dapat ditarik kesimpulan
mengenai hasil penelitian sebagai berikut:
8
1. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata orang tua siswa yang tinggal di kota
(63,12) lebih banyak menggunakan pola asuh otoritatif dibandingkan dengan siswa yang
tinggal di desa (55,88).
2. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata siswa yang tinggal di desa (95,70)
memiliki hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan siswa yang tinggal di kota
(89,80).
3. Terdapat perbedaan pola asuh otoritatif dengan nilai sebesar 4,909 dan keeratan keluarga
dengan nilai sebesar 2,708 antara siswa SMP yang tinggal di desa dengan di kota. Nilai
yang didapat lebih besar dibandingkan nilai ttabel dengan nilai 1,984.
DAFTAR PUSTAKA
Betsy D, Rivaei W, Rustiyarso . (2011). Pola Asuh Anak Pada Keluarga Petani Desa Mangat
Baru Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang. Jurnal tidak diterbitkan.Pontianak :
Universitas Tanjungpura
Dahesihsari, R. (1996). Keluarga Sebagai Pondasi Ketahanan Remaja Dalam Menanggulangi
Masalah. Jurnal tidak diterbitkan.Jakarta : Universitas Atmajaya.
Jatmiko,
S.
(2010).
Genk
remaja:
anak
haram
sejarah
ataukah
korban
globalisasi.Yogyakarta : kanisius.
Kartika, A. (2007).Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Penyesuaian Sosial Siswa
SMA Negeri Se-Kota Blitar.Skripsi tidak diterbitkan.Malang : Universitas Negeri
Malang.
Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga : Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Jakarta : Kencana.
Rachmad, R. R. B. (2011).Penerapan Variasi Pola Asuh Orang Tua Tunggal (Single Parent)
Dalam Membiasakan Perilaku Religius Anak di Dusun Kecapangan Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto.Skripsi tidak diterbitkan.Malang :Universitas Islam Negeri
Malang.
Rejeki, S. A. (2007).Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga dengan
Pemahaman Moral pada Remaja.Skripsi tidak diterbitkan.Jakarta : Universitas
Gunadarma.
Santrock. (2007). Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.
PERBANDINGAN SISWA SMP YANG TINGGAL DI DESA DENGAN DI KOTA
DITINJAU DARI POLA ASUH OTORITATIF DAN KEERATAN KELUARGA
INDAH FERBIANI RIYADI
Progam Studi Psikologi, Universitas Brawijaya Malang
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pola asuh otoritatif dan
keeratan keluarga antara siswa SMP yang tinggal di desa dengan siswa SMP yang tinggal di
kota. Variabel X penelitian adalah tempat tinggal dan variabel Y 1 adalah pola asuh otoritatif,
sedangkan Y2 adalah keeratan keluarga. Subjek yang digunakan sebanyak 100 orang yang
terdiri dari 50 siswa SMP Nasional KPS Balikpapan dan 50 siswa SMP 5 Lawe-Lawe,
Kalimantan Timur. Teknik pengambilan sampel purposive sampling.Penelitian menunjukkan
bahwa uji asumsi telah terpenuhi, yaitu pada variabel pola asuh otoritatif dan variabel
keeratan keluarga memiliki data yang terdistribusi normal dan variansi antar kelompoknya
bersifat homogen. Analisis data menggunakan teknik statistik Between-Subjects two-sample
t-test, dengan bantuan program statistik SPSS 20 for Macintosh. Dari hasil analisis data
diperoleh nilai thasil pada variabel pola asuh otoritatif adalah 4,909 dan pada variabel keeratan
keluarga sebesar 2,708 lebih besar dari t tabel1,984. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan
pada pola asuh otoritatif dan keeratan keluarga antara siswa SMP yang tinggal di desa LaweLawe dengan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Selain itu, didapatkan hasil bahwa
jumlah orang tua yang memakai pola asuh otoritatif di kota Balikpapan lebih tinggi
dibandingkan dengan orang tua yang di desa Lawe-Lawe dan keeratan keluarga di desa
Lawe-Lawe lebih erat dibandingkan dengan keluarga di kota Balikpapan.
Kata Kunci:
Pola Asuh Otoritatif, Keeratan Keluarga, Remaja, Desa dan Kota.
2
COMPARISON IN AUTHORITATIVE PARENTING STYLE AND FAMILY
CLOSENESS AMONG JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS WHO LIVES IN THE
VILLAGE AND THE CITY
ABSTRACT
This study aims to determine whether there are differences in authoritative parenting style
and family closeness among junior high school students who live in the village with junior
high school students who live in the city. The variable X is a place where the students live
and study, variables Y1 is an authoritative parenting style, while Y2 is family closeness. The
research subjects are 100 people consisting of 50 junior high school students of National KPS
Balikpapan and 50 junior high school students of SMPN 5 Lawe-Lawe, East Borneo.
Researcher use purposive sampling as our technique sampling .The research shows that the
data in the test are normally distributed whether in variable authoritative parenting style and
variable family closeness and also the inter-group variance is homogeneous. Analysis Data
used statistical techniques that calledBetween-Subjects two-sample t-test with the help of
statistical program SPSS 20 for Macintosh. From analysis, the data showed that t result of
authoritative parenting is 4.909 and for family closeness is 2.708 which is higher than
ttabel1.984. The data suggests that there are differences in authoritative parenting style and
family closeness among junior high school students who live in Lawe-Lawe with Balikpapan,
East Borneo. The Parents who live in Balikpapan use Authoritative parenting style more than
the parents who live in Lawe-Lawe and Family who lives in Lawe-Lawe has the closeness
more than Family who lives in Balikpapan.
Keywords :
Authoritative Parenting Style, Family Closeness, Adolescence, Village and City
3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa (Rejeki,
2007). Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau
kelompok, karena bagi remaja pandangan kawan-kawan terhadap dirinya merupakan hal
yang penting.Beberapa ahli teori menyatakan bahwa budaya kawan-kawan sebaya dapat
mempengaruhi remaja untuk menyepelekan nilai-nilai kendali orang tua terhadap
mereka.Kawan-kawan sebaya dapat memperkenalkan remaja kepada alkohol, minuman
keras, kenakalan, serta bentuk-bentuk lain dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang
dewasa (Santrock, 2007).
Penelitian yang dilakukan di Jakarta (Jatmiko, 2010), terdapat 30 responden yang diteliti
mengenai kenakalan yang pernah mereka lakukan.Responden berusia 13-21 tahun yang
berjumlah 27 untuk responden laki-laki dan tiga untuk responden perempuan.Kenakalan yang
diteliti pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kenakalan biasa meliputi
berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit, berkelahi dengan teman. Kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan meliputi mengendarai kendaraan tanpa SIM,
kebut-kebutan, mencuri, minum minuman keras, selain itu terdapat juga kenakalan khusus
seperti hubungan seks di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan,
pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan. Terdapat lima (16,67%) responden yang
melakukan kenakalan biasa, dua (6,67%) responden yang melakukan kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran kejahatan, dan 23 (76,67%) yang melakukan kenakalan khusus.
Selain itu juga Jatmiko juga meneliti hubungan antara interaksi keluarga dengan tingkat
kenakalan remaja di Jakarta. Mereka yang berhubungan dekat dengan lingkungan
keluarganya berjumlah delapan responden (26,6%), kurang dekat 12 responden (40%), dan
tidak dekat 10 responden (33,4%). Data menunjukkan bahwa bagi keluarga yang kurang dan
tidak dekat hubungannya mempunyai kecenderungan memiliki anak yang melakukan
kenakalan pada tingkat yang lebih berat, yaitu kenakalan khusus.Keadaan tersebut dapat
dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari keluarga yang
interaksinya kurang atau tidak dekat.
Masa remaja adalah masa dimana orang tua tetap memberi pengaruh utama dalam
sebagian besar kehidupan, namun bagi sebagian remaja, teman sebaya dianggap lebih
berperan penting dibandingkan dengan masa kanak-kanak (Wong, 2009).Gaya pengasuhan
orang tua menjadi faktor penting dalam kedekatan hubungan orang tua dengan anak.
Pendekatan tipologi menganggap bahwa gaya pengasuhan yang paling baik adalah yang
4
bersifat otoritatif, yaitu orang tua mengarahkan perilaku secara rasional, dengan memberikan
penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan.
Para remaja menyatakan memiliki kedekatan yang berbeda-beda dengan orang
tua.Kedekatan hubungan anak dengan orang tua juga dapat menunjukkan seberapa erat atau
kuat hubungan keluarga tersebut. Keeratan keluarga di desa dengan di kota berbeda.
Kebanyakan orang tua di daerah perkotaan bekerja di perkantoran sehingga waktu yang
diberikan untuk anaknya lebih sedikit, hubungan antara anggota keluarga satu dengan yang
lainnya tidak erat, sedangkan di pedesaan pada umumnya mata pencaharian mereka adalah
bertani, kebanyakan dari remaja membantu orang tua bertani sehingga remaja lebih banyak
menghabiskan waktu mereka dengan orang tuanya dibandingkan dengan remaja di perkotaan
(Kartika, 2007). Selain itu, di daerah perkotaan yang memiliki ekonomi berkecukupan
biasanya menanamkan pola asuh lebih demokratis (otoritatif), sedangkan pada keluarga di
pedesaan biasanya memakai pola asuh yang bersifat otoritatif dan permisif
(Betsy,
Rustiyarso & Rivaei, 2011). Penulis akan melakukan penelitian mengenai “perbandingan
Pola Asuh Otoritatif dan Keeratan Keluarga Pada Siswa yang Tinggal di Desa dengan di
Kota”.
Hipotesis Penelitian
H1 : Terdapat perbedaan dalam pola asuh otoritatif dan keeratan keluarga pada siswa SMP
yang tinggal di desa dan di kota.
H2 : Keeratan keluarga siswa SMP di desa lebih tinggi dibandingkan dengan di kota
H3 : Pola asuh otoritatif siswa SMP di kota lebih tinggi dibandingkan dengan pola asuh
otoritatif di desa
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, masa ini
diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu masa perubahan, usia
bermasalah dimana individu mencari identitas dan ambang dewasa (Rejeki, 2007). Remaja
merupakan salah satu masa dalam rentang perkembangan kehidupan manusia, seseorang
berada dalam masa transisi. Satu sisi mereka bukan lagi anak-anak, tetapi di sisi lain mereka
juga belum dewasa. Prespektif tentang remaja kini tidak lagi terfokus pada tahapan statis
berdasar rentang usia, namun lebih terorientasi pada proses transisi yang terjadi. Secara
empiris banyak ditemui variasi individual kondisi remaja yang diklasifikasikan dalam usia
kronologis yang sama (Dahesihsari, 1996).
Pola Asuh Otoritatif
5
Menurut Chadler (Rachmad, 2011) pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas
tinggi akan kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak,
serta mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini
memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap
memberi batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupnya.
Pendekatan tipologi menganggap bahwa gaya pengasuhan yang paling baik adalah yang
bersifat otoritatif. Orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional, dengan memberikan
penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan. Orang tua mendorong
anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri, namun di sisi lain, orang tua bersikap
tanggap terhadap kebutuhan dan pandangan anak. Orang tua menghargai anak dan kualitas
kepribadian yang dimilikinya sebagai keunikan pribadi (Lestari, 2012).
Keeratan Keluarga
Keeratan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan
sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being). Defrain dan Stinnett
(Lestari, 2012) mengindentifikasi enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, sebagai
berikut : (1) memiliki komitmen, (2) terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi, (3)
Terdapat waktu berkumpul bersama, (4) Mengembangkan spiritualitas, (5) Menyelesaikan
konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan efektif, (6) memiliki ritme.
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah
tempat tinggal yang terbagi menjadi desa dan kota, sedangkan variabel dependen (terikat)
adalah pola asuh otoritatif dan keeratan keluarga
Subjek Penelitian
Subjek penelitian terdiri atas 100 orang, dimana 50 siswa SMP di desa Lawe-Lawe dan
50 siswa SMP di kota Balikpapan.
Alat Ukur
1. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif dalam penelitian ini diukur dengan skala yang mengacu pada dimensi
pola asuh otoritatif milik Chadler (Lestari, 2012), yaitu intensitas tinggi akan kasih sayang,
keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak, serta mendorong pada
kemandirian. Skala pola asuh otoritatif terdiri atas 40 aitem penyataan yang nantinya setelah
uji coba akan disaring menjadi 20 aitem pernyataan dengan sistem skor skala Likert (4
pilihan alternatif respon skala). Proses analisis aitem serta uji reliabilitas pada saat uji coba
skala menghasilkan koefisien Cronbach Alphasebesar 0,969 dengan 38 aitem yang lolos
(standra rit > 0,30). Sebanyak 2 aitem yang gugur kemudian dihilangkan dalam skala
6
penelitian yang sebenarnya.Hal tersebut berarti bahwa skala pola asuh otoritatif tergolong
reliabel (standar reliabilitas > 0,60).
2. Keeratan Keluarga
Skala keeratan keluarga dalam penelitian ini menggunakan karakteristik miliki Defrain
dan Stinnet (Lestari, 2012). Skala keeratan keluarga terdiri atas 60 aitem pernyataan yang
nantinya setelah uji coba akan disaring menjadi 30 aitem pernyataan dengan sistem skor skala
Likert (4 pilihan alternatif respon skala). Proses analisis aitem serta uji reliabilitas pada saat
uji coba skala menghasilkan koefisien Cronbach Alphasebesar 0,979 dengan 57 aitem yang
lolos (standar rit > 0,30) dan 3 aitem gugur kemudian dihilangkan dari skala penelitian
sebenarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa skala kecerdasan emosional na reliabel
(standar reliabilitas > 0,60).
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Between-subjects twosample t-test.
HASIL
1. Berdasarkan hasil T-test yang dihasilkan oleh peneliti adalah thasil> ttabel (4,909 > 1,984),
hal ini berarti terdapat perbedaan dalam pola asuh otoritatif antara siswa SMP yang
tinggal di desa dengan di kota.
2. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata orang tua siswa yang tinggal di kota
(63,12) lebih banyak menggunakan pola asuh otoritatif dibandingkan dengan siswa yang
tinggal di desa (55,88).
3. Berdasarkan hasil T-test yang dihasilkan oleh peneliti adalah thasil> ttabel (2,708 > 1,984),
hal ini berarti terdapat perbedaan dalam keeratan keluarga pada siswa yang tinggal di
desa dengan di kota.
4. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata orang tua siswa yang tinggal di desa
(95,70) memiliki hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan siswa yang tinggal di
kota (89,80).
DISKUSI
Pendekatan tipologi yang dipelopori oleh Baumrind menganggap bahwa gaya
pengasuhan yang paling baik adalah yang bersifat otoritatif. Karena pada pola asuh ini orang
tua mengarahkan perilaku anak secara rasional, dengan memberikan penjelasan terhadap
maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan (Lestari, 2012). Penelitian ini mendapatkan
hasil bahwa terdapat perbedaan pola asuh otoritatif pada siswa SMP yang tinggal di desa
dengan di kota dengan nilai nilai Thasil pada pola asuh otoritatif adalah 4,909 dimana nilai
tersebut lebih besar dari pada nilai T tabel dengan jumlah 1,984. Jika nilai Thasil lebih besar
7
daripada nilai Ttabel, maka terdapat perbedaan pada variabel pola asuh otoritatif pada siswa
SMP yang tinggal di desa dengan di kota.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata orang tua yang tinggal di kota lebih
banyak memakai pola asuh otoritatif dibandingkan dengan orang tua yang tinggal di desa
(63.12 > 55.88). Perbedaan ini didukung pula oleh pernyataan Baumrind yang mengatakan
bahwa setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan latar belakang yang sering kali
sangat jauh berbeda.Entah itu latar belakang keluarga lingkungan tempat tinggal atau
pengalaman pribadinya.Perbedaan ini sangat memungkinkan pola asuh yang berbeda
terhadap anak (Hale, 2008). Perbedaan pola asuh otoritatif yang ditanamkan di desa dan di
kota terjadi karena suatu keluarga memiliki latar belakang yang berbeda seperti yang
Baumrind katakan.
Penelitian ini didapatkan hasil dari T-Test bahwa terdapat perbedaan pada keeratan
keluarga pada siswa SMP yang tinggal di desa dengan di kota. nilai T hasil pada keeratan
keluarga adalah 2,708 dimana nilai tersebut lebih besar dari pada nilai T tabel dengan jumlah
1,984. Jika nilai Thasil lebih besar daripada nilai Ttabel, maka terdapat perbedaan pada variabel
keeratan keluarga pada siswa SMP yang tinggal di desa dengan di kota. Selain itu, perbedaan
antara siswa SMP yang tinggal di desa dengan yang di kota dapat juga dilihat dengan
menggunakan nilai rata-rata yang berfungsi untuk mengetahui kelompok mana yang lebih
memiliki hubungan keluarga yang erat.
Diperoleh kesimpulan dari hasil analisis data bahwa keeratan keluarga siswa SMP yang
tinggal di desa lebih erat dibandingkan dengan siswa SMP yang tinggal di kota (95,70 >
89,80). Hal ini didukung pula oleh teori yang menyatakan bahwa keluarga tinggal di kota
mempunyai hubungan yang tidak terlalu erat karena mereka jarang berkomunikasi antara satu
dengan yang lainnya, konflik pun jarang terjadi dikarenakan jarangnya komunikasi tersebut.
Anggota keluarga biasanya hanya berbicara dan berdiskusi jika ada suatu hal yang sangat
penting untuk dibicarakan (Arced & Alvarez, 1983). Sedangkan di pedesaan pada umumnya
mata pencaharian mereka adalah bertani, kebanyakan dari remaja membantu orang tua
bertani sehingga remaja lebih banyak menghabiskan waktu mereka dan lebih sering
berkomunikasi dengan orang tuanya dibandingkan remaja di perkotaan sehingga hubungan
mereka lebih erat dibandingkan dengan remaja perkotaan (Sylvia, 2012).
Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari penelitian perbandingan pola asuh
otoritatif pada siswa yang tinggal di desa dengan di kota, maka dapat ditarik kesimpulan
mengenai hasil penelitian sebagai berikut:
8
1. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata orang tua siswa yang tinggal di kota
(63,12) lebih banyak menggunakan pola asuh otoritatif dibandingkan dengan siswa yang
tinggal di desa (55,88).
2. Dari uji hipotesis, dapat diketahui bahwa rata-rata siswa yang tinggal di desa (95,70)
memiliki hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan siswa yang tinggal di kota
(89,80).
3. Terdapat perbedaan pola asuh otoritatif dengan nilai sebesar 4,909 dan keeratan keluarga
dengan nilai sebesar 2,708 antara siswa SMP yang tinggal di desa dengan di kota. Nilai
yang didapat lebih besar dibandingkan nilai ttabel dengan nilai 1,984.
DAFTAR PUSTAKA
Betsy D, Rivaei W, Rustiyarso . (2011). Pola Asuh Anak Pada Keluarga Petani Desa Mangat
Baru Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang. Jurnal tidak diterbitkan.Pontianak :
Universitas Tanjungpura
Dahesihsari, R. (1996). Keluarga Sebagai Pondasi Ketahanan Remaja Dalam Menanggulangi
Masalah. Jurnal tidak diterbitkan.Jakarta : Universitas Atmajaya.
Jatmiko,
S.
(2010).
Genk
remaja:
anak
haram
sejarah
ataukah
korban
globalisasi.Yogyakarta : kanisius.
Kartika, A. (2007).Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Penyesuaian Sosial Siswa
SMA Negeri Se-Kota Blitar.Skripsi tidak diterbitkan.Malang : Universitas Negeri
Malang.
Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga : Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Jakarta : Kencana.
Rachmad, R. R. B. (2011).Penerapan Variasi Pola Asuh Orang Tua Tunggal (Single Parent)
Dalam Membiasakan Perilaku Religius Anak di Dusun Kecapangan Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto.Skripsi tidak diterbitkan.Malang :Universitas Islam Negeri
Malang.
Rejeki, S. A. (2007).Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga dengan
Pemahaman Moral pada Remaja.Skripsi tidak diterbitkan.Jakarta : Universitas
Gunadarma.
Santrock. (2007). Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.