Di Bekas Negeri Penjajah Refleksi atas K

Di Bekas Negeri Penjajah:
Refleksi atas Kajian Sosial tentang Orang Indonesia di Belanda Kontemporer1
Oleh Amin Mudzakkir2

Pendahuluan
Kritik terhadap kondisi ilmu sosial di Indonesia—dan negara-negara Asia Tenggara lainnya—
telah banyak dilakukan para pengamat dengan beragam fokus dan sudut pandang.3 Ignas Kleden
sejak lama mengingatkan adanya dilema antara relevansi intelektual dan sosial.4 Ada topik yang
menarik secara intelektual, tetapi dianggap tidak penting secara sosial, demikian pula sebaliknya.
Dilema ini pernah dicoba untuk diatasi dengan gagasan indigenisasi atau pribumisasi, tetapi
hasilnya tidak memuaskan karena yang terjadi adalah hanyalah pengalihan dari sumber kutipan
satu kepada sumber kutipan lain, seperti menghantam teori modernisasi Parsonian dengan teori
konflik Marxian dan seterusnya, yang sama-sama berbasis pada pengalaman empiris dan refleksi
teoritis dalam masyarakat Barat. Dilema ini cukup pasti berkait dengan diskursus kekuasaan,
dalam hal ini adalah proyek negara-bangsa Indonesia, yang pada masa Orde Baru dimonopoli
sedemikian rupa oleh pandangan ideologis rezim yang berkuasa.5 Warisan pemikiran yang
ditinggalkan Orde Baru ini ternyata masih kukuh bersarang hingga sekarang, menjangkiti
diskursus ilmu- ilmu sosial dari mulai disiplin sosiologi hingga sejarah, meliputi perkara
pemilihan topik riset hingga asosiasi kesarjanaan masing-masing disiplin keilmuan.6
Namun demikian kritik di atas umumnya dialamatkan pada kondisi ilmu sosial yang
substansinya berisi kajian tentang orang Indonesia di Indonesia, baik yang dilakukan oleh kaum

akademisi Indonesia maupun sejawat mereka di negara-negara Barat. Apa yang disebut kajian
Indonesia sebagai bagian dari studi kawasan (area studies) di kampus-kampus terkemuka di
negara-negara Barat pasca-Perang Dunia II seperti di Amerika Serikat, Belanda, dan Australia—
yang melahirkan para ‘Indonesianis’—umumnya adalah kajian tentang orang Indonesia di

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
1

Disampaikan pada Seminar Nasional Refleksi Ilmu Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta, 13 Nopember 2013.
Peneliti PSDR-LIPI (amin.mudzakkir@gmail.com)
3
Misalnya, Nico G. Schulte Nordholt dan Leontine E. Visser, Ilmu Sosial di Asia Tenggara: Dari Partikularisme ke
Universalisme (Jakarta: LP3ES, 1997)
4
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1987)
5
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramdia, 2003)
6
Daniel Dhakidae dan Vedi R. Hadiz (ed.), Social Science and Power in Indonesia (Jakarta/Singapore: Equinox dan
ISEAS, 2005)

2

!"
"

Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sejak awal visi penelitian sosial di Indonesia maupun tentang
Indonesia cenderung hanya mempelajari masyarakat Indonesia di dalam batas-batas negaranya.
Kenyataannya keberadaan orang Indonesia di luar batas-batas negaranya (Indonesian
overseas) hampir tidak pernah menjadi bahan perhatian para ilmuwan ilmu sosial. Akhir-akhir
ini muncul beberapa kajian tentang para pekerja Indonesia di luar negeri, tetapi hal itu awalnya
lebih banyak dipicu oleh bangkitnya kesadaran hak asasi manusia di kalangan para aktivis untuk
keperluan advokasi praktis. Pernah juga ada kajian yang telah menjadi klasik, ditulis oleh
Parsudi Suparlan tentang orang Jawa di Suriname, tetapi jelas orang Jawa dalam kajian tersebut
lebih mengacu pada kelompok etnis yang kurang lebih terpisah dari diskursus keindonesiaan itu
sendiri.7 Hal yang hampir sama bisa dialamatkan kepada kajian tentang orang Maluku dan kaum
Indis di Belanda.8 Dalam perspektif yang hendak dibahas dalam tulisan ini, mereka adalah orang
Maluku dan Indis, bukan orang Indonesia. Meski nantinya akan muncul kerumitan teoritis dan
politis tersendiri mengenai siapa ‘Indonesia’ dan ‘orang Indonesia’ itu, orang Indonesia di luar
negeri adalah subjek terlupakan yang tidak pernah menjadi problematik dalam ilmu sosial di
maupun tentang Indonesia.

Inilah kancah umum yang dihadapi ketika saya dan tim riset PSDR-LIPI memasuki
wilayah kajian tentang orang Indonesia di Belanda kontemporer.9 Terasa mengherankan bahwa
sejauh itu tidak ditemukan karya yang memadai tentang orang Indonesia di bekas negeri
penjajahnya tersebut. Karya Harry Poeze, yang bisa dikatakan sebagai kajian terlengkap tentang
orang Indonesia di Belanda, membatasi dirinya hingga 1950.10 Sejak periode pasca-Perang
Dunia II hingga sekarang, yang dalam tulisan ini disebut sebagai periode kontemporer, tetap
wilayah akademis yang gulita. Di tengah kegulitaan ini terdapat karya seorang sosiolog
perempuan Amerika, Joan Schutzman Wider, yang menulis disertasi pada 1967 tentang
perempuan Indonesia di Den Haag, Belanda, tetapi studi ini sama sekali tidak menempatkan
perempuan Indonesia di sana dalam diskursus keindonesiaan, melainkan justru dalam perangkap
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
7

Parsudi Suparlan, The Javanese in SurinameEthnicity in an Ethnically Plural Society (Arizona: Arizona State
University Program for Southeast Asian Studies, 1995).
8
Misalnya Aisyah Kotarumalos, Ideas of Home among Moluccans in the Netherlands, tesis S-2, ANU, Canberra;
Gusnelly, Perubahan Identitas Orang Maluku di Belanda, tesis S-2, UI, Depok.
9
Didanai oleh DIPA PSDR-LIPI, proyek riset bertajuk ‘Orang Indonesia di Belanda’ ini berlangsung selama 5 tahun

(2010-2014). Tahun 2010 mengkaji pekerja terampil; Tahun 2011 mempelajari pekerja tidak terampil/tidak
terdokumentasi; Tahun 2012 meneliti pernikahan campur; Tahun 2013 mengkaji eksil politik; dan tahun 2014
meneliti 2014.
10
Harry Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (Jakarta: KPG, 2008).

#"
"

dan bayang-bayang warisan kolonial.11 Beruntung belakangan Yulia Irma Patoppang menulis
sebuah tesis di Universitas Leiden tentang komunitas-komunitas Indonesia di Belanda, 19502000. Komunitas-komunitas yang menjadi bahan kajiannya cukup luas, dari mulai kaum eksil
1986 hingga para perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki Belanda (pernikahan
campuran).
Pertanyaan utama yang membingkai tulisan ini berangkat dari kondisi negatif: mengapa
tidak terdapat kajian tentang orang Indonesia di Belanda kontemporer yang memadai? Dari sini
akan disusun beberapa penjelasan yang bertolak dari ‘state of the art’ ilmu sosial di Indonesia
maupun tentang Indonesia. ‘State of the art’ yang dimaksud di sini adalah kondisi ilmu sosial—
mencakup asumsi, metodologi, hingga pilihan tema penelitian—pada suatu kurun waktu tertentu.
Secara umum tulisan ini hendak berargumen bahwa ilmu sosial pada dasarnya tidak pernah
netral, melainkan selalu disituasikan oleh diskursus kekuasaan yang dominan baik pada tataran

negara-bangsa tertentu maupun dalam konteks global serta interseksi di antara keduanya. Secara
spesifik di bawah akan diuraikan proses domestikasi ilmu sosial di Indonesia yang lahir dari
rahim negara, sambil pada saat yang sama akan diperlihatkan bahwa hal itu ternyata berpapasan
dengan arus utama studi kawasan di pusat-pusat riset Indonesia di luar negeri, termasuk di
Belanda. Selain itu, pada bagian akhir akan didiskusikan apa yang terjadi dengan proses
dekolonisasi dan posisi orang Indonesia di Belanda kontemporer serta bagaimana itu
ditempatkan dalam diskursus akademis.

Domestikasi Ilmu Sosial: Perubahan dan Keberlanjutan
Ilmu sosial di Indonesia lahir dari rahim kolonialisme, tetapi itu pun sangat terlambat. Sekolah
ilmu sosial baru dibuka di Indonesia pada tahun 1920-an.12 Berakar pada tradisi kelilmuan yang
berkembang di negeri Belanda pada waktu itu, ilmu sosial awalnya diajarkan kepada calon
pegawai negeri. Dipengaruhi oleh corak yang legalistik, ilmu sosial pada masa Indonesia
kolonial dikembangkan menjadi disipilin yang memberi perhatian sangat besar terhadap
keunikan lokal. Cukup pasti hampir secara keseluruhan cara pandang orang kulit putih Eropa
adalah perspektif yang dominan dalam penelitian, sehingga gambaran tentang masyarakat
pribumi menjadi sungguh eksotis, seolah seperti surga yang hilang. Perilaku dan sifat orang
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
11


Joan Schutzman Wider, Indonesian Women in the Hague
Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, terjemahan
(Bandung: Mizan, 2010), hlm. 2.

12

$"
"

pribumi dipandang sesuatu yang terberi, yang secara alamiah kontras dengan karakter orang
Eropa yang tercerahkan. Eksotisasi ini tidak lahir secara spontan, tetapi berangkat dari hasrat
untuk menjinakkan dan menundukkan. Dari sini domestikasi ilmu sosial Indonesia memulai
prosesnya. 13
Meski demikian, pada periode tersebut muncul J. C. van Leur—yang meninggal secara
tragis di Laut Jawa ketika berperang dengan tentara Jepang dalam kancah Perang Dunia II—
yang mengkritik tajam cara pandang Eurosentris dalam melihat tanah Hindia.14 Dia menyebut
bagaimana para sarjana kolonial menulis sejarah Hindia seperti cara pandang pelancong yang
berdiri di geledak kapal melihat sekitarnya. Dia juga memperlihatkan keterkaitan antara
Indonesia dan dunia bahkan sejak sebelum kolonialisme Belanda datang. Seorang sarjana
kelahiran Inggris yang juga penting disebut di sini adalah J. S. Furnivall.15 Dia menulis buku

yang secara menarik menempatkan Indonesia dalam perspektif komparatif, termasuk satu buku
yang secara khusus memperbandingan Indonesia dan Birma di bawah dua rezim kolonial yang
berbeda. Dua orang ini, agak berlawanan dengan arus utama kesarjanaan pada masanya, mulai
mengingatkan pentingnya aspek struktural dalam memahami Indonesia.
Setelah kemerdekaan, pengaruh tradisi Belanda digantikan oleh ilmu sosial Amerika.
Proses ini dipercepat dengan terusirnya para profesor berkebangsaan Belanda di kampus-kampus
Indonesia selama proses nasionalisasi. Posisi mereka yang kosong segera diisi oleh para ilmuwan
Indonesia yang baru saja mendapatkan pendidikan pascasarjana di berbagai universitas di
Amerika Serikat (AS). Ketika itu beberapa yayasan seperti Ford dan Rockefeller yang berbasis di
AS giat menawarkan beasiswa kepada para ilmuwan atau aktivis di negara-negara Dunia Ketiga
untuk melanjutkan studi di sana. Dengan dukungan keuangan yang berlimpah, juga peran para
ilmuwan diaspora Eropa (umumnya keturunan Yahudi yang pindah ke AS untuk menghindari
keganasan Nazi selama PD II), pusat-pusat pelatihan ilmu sosial di AS tumbuh menjadi center of
exellence yang dihormati. Mencoba keluar dari gaya orientalisme kontinental, universitasuniversitas di AS mengembangkan suatu pendekatan ilmu sosial yang bercorak modernistik,
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
13

Lebih lanjut lihat, Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, terjemahan
(Yogyakarta: LKiS, 2003).
14


Karya utamanya adalah Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History

15

Karya utama Furnival adalah Nethelands India: A Study of Plural Economy, sementara itu karya komparatifnya
adalah Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India

%"
"

yang kemudian dikenal dengan developmentalisme. Pendekatan ini dikembangkan ke seluruh
dunia, mengikuti perluasan imperium AS pasca-Perang, termasuk ke Indonesia.
Harus diingat bahwa perkembangan ilmu sosial developmentalis pada masa itu
berlangsung para era Perang Dingin. Perseteruan antara blok Barat yang dipimpin oleh AS dan
blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet adalah latar belakang hampir seluruh peristiwa
penting dunia, tidak terkecuali di ranah akademis. Oleh karena itu, pendirian pusat-pusat studi
kawasan (area studies) khususnya di negara-negara Barat pada kurun 1950-an hingga 1980-an
tidak lepas dari kepentingan Perang Dingin tersebut. Persebaran geografis dan kemajemukan
politis negara-negara dikelompokkan dalam ketegori wilayah tertentu mengikuti skema yang

lebih bersifat ‘dari atas’ daripada ‘dari bawah’. Maksudnya, pembagian tersebut lebih mewakili
kepentingan negara-negara adidaya, khususnya AS, dalam rangka mengawasi dinamika yang
berlangsung di wilayah tertentu daripada kebutuhan penduduk lokal itu yang menjadi objek
studi. Dalam hal ini, semangat dan sikap anti-komunisme pada satu sisi dan dorongan untuk
memacu pertimbuhan ekonomi pada sisi lain bertemu membentuk ideologi yang dominan dari
pusat-pusat studi kawasan tersebut.
Pembentukan studi kawasan pada periode Perang Dingin ini meneguhkan apa yang
disebut pembagian kerja akademis secara global yang dasarnya telah terbangun sejak masa
kolonial. Alatas menyebut paling tidak tiga ciri dari pembagian kerja ini, yaitu: (1) pembagian
kerja intelektual empiris dan kerja intelektual teoritis; (2) pembagian antara telaah negara lain
dan telaah negara sendiri; dan (3) pembagian antara studi kasus tunggal dan studi kasus
perbandingan.16 Berdasar skema ini, bisa dimengerti mengapa para ilmuwan Indonesia,
meskipun berkesempatan untuk mengambil studi di luar negeri, tetap memfokuskan diri pada
telaah aspek empiris masyarakat Indonesia di dalam batas-batas negaranya. Aspek-aspek teoritis
dan komparatif adalah wilayah yang dipegang oleh para sejawat dan mentor mereka di negaranegara Barat. Pembagian kerja akademis ini merupakan cerminan dari pembagian kerja dalam
tata ekonomi politik internasional, di mana negara-negara pusat tetap mempertahankan
dominasinya terhadap negara-negara pinggiran.
‘State of the art’ ilmu sosial di Indonesia dan tentang Indonesia persis mencapai formasi
kematangannya pada era Perang Dingin tersebut. Pada tataran domestik, pencapaian tersebut
disesuaikan sedemikian rupa dengan politik pengetahuan rezim yang berkuasa. Selama masa

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
16

Alatas (2010: 64)

&"
"

Orde Baru, penelitian ilmu sosial secara umum diorientasikan untuk menemukan tetapi juga
sekaligus menciptakan manusia Indonesia yang siap mengisi pembangunan. Subjek yang tidak
penting dan apalagi mengancam pembangunan diabaikan dan bahkan disingkirkan. Contoh
paling jelas mengenai ini adalah komunisme. Selama Orde Baru, narasi tentang komunisme
dihilangkan sama sekali, kecuali versi yang disetujui oleh pemerintah. Begitu pula dengan orang
Indonesia di luar batas-batas negaranya (Indonesian overseas). Mereka dianggap bukan subjek
yang bernilai bagi pembangunan. Identitas formal kewarganegaraan yang mereka sandang sering
tidak membantu sama sekali posisi mereka di mata pemerintah Indonesia. Oleh karena itu,
sorotan akademis terhadap para pekerja Indonesia di luar negeri sangat kurang, apalagi terhadap
eksil politik yang berdiaspora di berbagai negara pasca-peristiwa 1965.

Problematik Dekolonisasi dan Posisi Orang Indonesia di Belanda

Dekolonisasi merujuk pada pengertian praktis dan sekaligus diskursif. Pada tataran praktis
dekolonisasi berarti proses penentuan nasib sendiri dari kekuasaan kolonial menuju kekuasaan
negara-bangsa baru yang merdeka. Dalam sejarah proses ini berlangsung khususnya di negaranegara Asia dan Afrika sejak berakhirnya Perang Dunia II. Kekuasaan negara-negara Eropa, dan
juga Jepang, berakhir, lalu digantikan oleh pemerintahan nasional kaum pribumi. Tidak jarang
proses ini mengambil bentuk pertentangan fisik yang keras dan berdarah. Akan tetapi dalam
kenyataannya pihak yang terlibat dalam proses itu mencakup tidak hanya antara bekas penguasa
kolonial dan penguasa baru poskolonial, tetapi juga di antara penduduk negara poskolonial itu
sendiri. Oleh karena itu, dekolonisasi merupakan proses yang sulit dan berdiri di antara tegangan
konflik dan integrasi.
Pada tataran diskursif dekoloniasi berarti proses pemerdekaan dari pengaruh diskursus
pengetahuan kolonial menuju pengetahuan yang berbasis kepentingan rakyat poskolonial. Proses
ini seringkali mengambil bentuk sikap anti-kolonial yang keras. Ilmu sosial yang lahir dari
kepentingan kolonialisme yang Barat-sentris ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan karakter
dan perkembangan masyarakat yang baru merdeka. Lebih lanjut pandangan ini kemudian
menciptakan metodologi yang berupaya untuk menyuarakan diskursus alternatif yang khas. Di
beberapa negara bekas kolonial seperti di India, dekoloniasi metodologi ilmu sosial Barat ini
berkolaborasi dengan Marxisme atau neo-Marxisme menghasilkan kelompok studi ‘subaltern’.17
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
17

Vinayak Chaturvedi (ed.), Mapping Subaltern Studies and the Postcolonial (London/New York: Verso, 2000)

'"
"

Di Indonesia, para sejarawan pada 1957 berkumpul untuk merumuskan historiografi yang
‘Indonesia-sentris’. Mereka berpandangan bahwa warisan pengetahuan kolonial harus dibongkar
dan diganti oleh suatu corak pengetahuan di mana orang Indonesia menjadi pusat dalam pusaran
sejarahnya sendiri.18
Akan tetapi, dekolonisasi bukan rangkaian peristiwa sejarah yang linier. Dalam
kenyataannya ia sering memakan anak kandungnya sendiri. Apa yang dimaksud dengan
pengetahuan yang berpusat pada peran anak bangsa sendiri seperti dalam contoh Indonesiasentrisme di kalangan sejarawan Indonesia dalam kenyataanya tidak bisa meninggalkan
sepenuhnya diskursus yang diwariskan oleh penguasa sebelumnya. Bambang Purwanto
mengkritik bahwa historiografi Indonesia-sentris tak lebih dari sekadar penggantian peran
belaka, tetapi dengan pola dan struktur narasi sejarah yang tetap sama.19 Kondisi ini memang
sulit dihindari karena posisi negara-negara bekas jajahan yang baru merdeka tersebut dalam
banyak hal tetap tergantung pada infrastruktur pengetahuan yang berpusat di negara-negara maju
yang seringkali adalah bekas negara penjajah mereka. Dalam situasi ketergantungan ini
dekolonisasi tidak jarang menjadi retorika belaka.
Selain itu, sering dilupakan bahwa dekolonisasi tidak hanya terjadi di bekas negeri
jajahan, tetapi juga di bekas negeri penjajah.20 Di Belanda proses ini terjadi oleh karena adanya
migrasi internasional yang massif pasca-Perang yang berasal baik dari gelombang repatriasi
politik maupun migrasi tenaga kerja. Repatriasi politik adalah proses pemulangan orang Belanda
ke negara asalnya karena proses nasionalisasi di bekas negeri jajahan dan penduduk pribumi
yang menjadi bagian dari sistem negara kolonial. Kalangan pertama ini sering disebut sebagai
kaum imigran poskolonial. Sementara itu, migrasi tenaga kerja terjadi seiring dengan
perkembangan ekonomi dan perbaikan infrastruktur industri di Eropa Barat pasca-Perang yang
berlangsung cepat. Untuk itu dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak yang ternyata tidak
bisa dipenuhi oleh ketersediaan sumber daya manusia dalam negeri, maka sejak 1950
didatangkanlah para pekerja tamu dari Turki, Maroko, dan beberapa negara Eropa Selatan yang
saat itu masih miskin.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
18

Lihat perdebatan tentang ini dalam Soedjatmoko et. all (ed.) , Historiografi Indonesia: Suatu Pengantar (Jakarta:
Gramedia, 1995)
19
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris? (Yogyakarta: Ombak, 2007)
20
Ulbe Bosma (ed.), Post-colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2010); Geert Oostinde, Postcolonial Netherlands: Sixty-five Years of Forgetting, Commemorating,
Silencing (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010)

("
"

Selama proses dekolonisasi, perhatian para ilmuwan sosial dan pembuat kebijakan di
Belanda terfokus pada pertanyaan tentang bagaimana mengintegrasikan kaum imigran ke dalam
tata kehidupan masyarakat setempat. Di mata pemerintah Belanda, terdapat perbedaan yang
cukup mencolok antara imigran poskolonial dan imigran kerja. Oleh karena kesamaan status
kewarganegaraan dan identitas keagamaan dengan penduduk lokal, imigran poskolonial relatif
mudah diintegrasikan. Hal yang sebaliknya berlaku untuk para imigran kerja. Selain secara legal
adalah orang asing, secara keagamaan mereka umumnya adalah Muslim. Pada awalnya isu Islam
tidak muncul dalama diskusi publik, tetapi belakangan isu ini justru seolah menjadi pusat yang
menetukan diskursus migrasi dan kewarganegaraan. Ini tidak hanya terjadi di Belanda, tetapi
juga di negara-negara Barat lainnya yang menjadi tempat tujuan para imigran.

Tabel 1. Kaum imigran di Belanda, 1960-2008

Jumlah populasi

1960

1970

1980

1990

2000

2008

11,4 juta

13 juta

14,1 juta

14,9 juta

15,90 juta

16,4 juta

%*%+#**"

%*$+,**"

%&)+***"

203,000

204,000

!%*+***

!$)+,**

!(,+***

#'&+***

#)*+***

Belanda
INDIS
Total
Generasi pertama
Generasi kedua

%#+$%,

MALUKU
#&+,**

Total

$&+#**

Generasi pertama

-./0123"!*+***

Generasi

$#+$%,

kedua
!&(+*,!

#$#+(('

$*#+&!%

$$&+(,,

Generasi pertama

!#'+!*(

!&)+((#

!)$+#%,

!)&+#)%

Generasi kedua

$*+,(%

(%+**%

!!,+#'&

!&*+&!&

%*+(#'

('+&&#

!*(+!,(

!$!+)%!

Generasi pertama

#,+&!&

&%+))!

',+#''

()+,')

Generasi

!!+#!!

#!+'(!

$(+,$!

&#+)($

',+%'%

!'$+%&)

#'#+##!

$$&+!#(

Generasi pertama

&(+&*#

!!#+&'#

!&#+&%*

!'(+*'$

Generasi kedua

!!+,'#

&*+),'

!*,+')!

!')+*'%

!!#+((%

#*$+'%(

$*)+),*

$(#+(!%

SURINAME

12,900

#)+,)&

Total

ANTILEN

mencapai 2,500

!$+'$*

Total

kedua
MAROKO

Sekitar 100

!(+%**

Total

TURKI

Sekitar 100

#$+'**

)"
"

Total
Generasi pertama

,#+&')

!$)+*),

!((+(&%

!,%+&&'

Generasi kedua

#*+#*'

'&+&&)

!$!+!$'

!()+!&)

Sumber: Geert Oostinde, 2010: 31

Data di atas memperlihatkan kelompok-kelompok imigran berdasarkan latar belakang
etnis di Belanda kontemporer. Lebih dari sekadar angka-angka, kategori etnis tersebut juga
merefleksikan strata prioritas pemerintah Belanda dan kalangan akademisinya. Berbagai proyek
riset ilmu sosial dilakukan untuk memetakan kaum imigran dan merekomendasikan cara untuk
mengintegrasikan mereka ke dalam tata kehidupan masyarakat Belanda. Pada awalnya
pemerintah berpikir para pekerja tamu yang berasal dari Maroko dan Turki akan pulang ke
negara asalnya setelah habis kontrak kerja, tetapi pikiran tersebut melesat, sebab mereka ternyata
justru mengundang sanak keluarganya untuk bergabung di Belanda. Selain menujukkan
perencanaan yang kurang matang, reunifikasi keluarga para pekerja tamu menunjukkan
ketidaksiapan Belanda menjadi negara imigran pada awalnya. Memang kenyataannya baru pada
tahun 1980-an Belanda menyebut dirinya sebagai negara imigran. Sejak itu kaum imigran
dipertimbangkan secara lebih serius untuk menjadi warga negara seperti penduduk asli setempat.
Posisi orang Indonesia, jika mengikuti data di atas, tidak terlihat sama sekali. Mereka
hampir tidak menjadi isu dalam perdebatan tentang imigrasi dan kewarganegaraan di Belanda.
Dalam kategori yang disusun oleh Centraal Bureau voor de Statistiek (CBS) Belanda, ‘orang
Indonesia’ disebut sebagai autochtoon—beroposisi dengan allochtoon (berasal dari negara
lain)—yang berarti berasal dari dalam negeri.21 Mereka mempunyai status yang sama persis
dengan penduduk asli setempat. Akan tetapi, istilah ‘orang Indonesia’ dalam kategori CBS
tersebut ternyata merujuk pada imigran Indis yang berasal dari Indonesia, bukan orang
berkewarganegaraan Indonesia yang secara legal tetap dipandang sebagai orang asing seperti
imigran dari negara lain. Kelompok Indis memang menempati posisi unik dalam tata kebudayaan
Belanda kontemporer. Dengan membawa kenangan lama di tanah Hindia yang telah hilang,
kaum Indis hingga sekarang aktif menegaskan identitas kultural mereka dalam berbagai arena
pertunjukan, seperti festival Tongtong yang sangat populer itu. Belakangan beberapa riset sosial
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
21

Dvora Yanow dan Marleen van der Haar, “Race by another name? Categories, counting, and the state– the case of
Netherlands integration policy discourse”, http://www.gwu.edu/~igis/assets/docs/Yanow_Paper.pdf - diakses pada
30 September 2013.

,"
"

dilakukan untuk menggali lebih dalam narasi kehidupan mereka yang dianggap hilang pascaPerang.22 Kenangan manis orang Belanda terhadap imperium masa lalu mereka di tanah Hindia
tumpah ruah dan berakhir pada kelompok Indis ini.
Dengan demikian, warga negara Indonesia di Belanda adalah kelompok yang sangat kecil
baik secara jumlah maupun pengaruh. Berdasarkan informasi dari KBRI di Den Haag, jumlahnya
kurang lebih 17 ribu orang.23 Pengaruhnya juga relatif terbatas. Kesan low profile sering
dialamatkan kepada mereka. Ini bahkan berlaku bagi para pekerja Indonesia yang berstatus
ilegal. Dibandingkan dengan para pekerja ilegal yang berasal dari negara lainnya, mereka hampir
tidak menjadi isu.24 Ikatan mereka dengan sesama orang Indonesia memang kuat, tetapi sangat
terbuka terhadap kemungkinan berintegrasi dengan penduduk setempat. Ini diperlihatkan oleh
praktik pernikahan campur yang banyak dilakukan oleh perempuan Indonesia dan laki-laki
Belanda. Berbeda dengan, misalnya, imigran dari Turki dan Maroko yang umumnya menikah di
kalangan mereka sendiri, orang Indonesia hampir tidak mempunyai batasan kultural sama sekali
mengenai hal ini. Kadang isu agama muncul sebagai problematik, tetapi biasanya bisa
diselesaikan dengan jalan yang relatif mudah. Meski beragama Islam, corak keagamaan orang
Indonesia dinilai lebih longgal daripada corak keagamaan para imigran Muslim dari negara
lain.25 Faktor Islam akhir-akhir ini sangat krusial dalam diskurus kebijakan migrasi dan
kewarganegaraan, termasuk dalam opini publik berkait dengan isu terorisme pasca peristiwa 11
September 2001. 26

Penutup
Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia terutama lewat Dino Patti Djalal (Duta Besar RI untuk AS)
aktif mengkampanyekan ‘diaspora Indonesia’.27 Berbagai kongres, seminar, dan kegiatan lain
diselenggarakan demi menegaskan pentingnya hal itu. Akan tetapi, sejauh ini belum terlalu jelas
apa yang dimaksud dengan istilah itu. Laman “what is Indonesian Diaspora Network” di situs
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
22

Misalnya, Joost Cote dan Loes Westerbeek (ed.), Recalling the Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas
Poskolonial (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004)
23
Amin Mudzakkir, “Pekerja Indonesia di Belanda: Studi Kasus Pekerja Tidak Terampil dan Tidak
Tedokumeentasi”, Jurnal Kajian Wilyah, Vol. 3, No. 1, 2012.
24
Amin Mudzakkir, “Pekerja Indonesia di Belanda”, Ibid.
25
Amin Mudzakkir, “Marriage Migration: Indonesian's Women Experience in The Netherlands”, Laporan Riset
PSDR-LIPI, 2013, dalam proses penerbitan.
26
Martin van Bruinessen, “The Emergence of Islamophobia in the Netherlands”, ICIP dan Kedutaan Finlandia,
Jakarta, 22-23 November 2006.
27
http://www.diasporaindonesia.org/ --diakses 30 September 2013

!*"
"

resmi mereka dibiarkan kosong tanpa penjelasan, bahkan apa yang dimaksud dengan ‘diaspora’
itu sendiri tidak diberi keterangan. Dari sini sulit menghindari kesan kalau kegiatan ini hanyalah
seremonial belaka, tidak mengajukan—dan apalagi memperjuangkan—pentingnya posisi
Indonesia di luar negeri. Jika pun dianggap penting, itu kemungkinan besar diletakkan dalam
kerangka pembangunan dan konsepsi manusia Indonesia seperti dicanangkan oleh pemerintah
Orde Baru. Belum terlihat ada perubahan mendasar dalam cara melihat keberadaan orang
Indonesia di luar negeri, meskipun rezim telah berganti. Domestikasi ilmu sosial di Indonesia
dan tentang Indonesia masih bekerja.
Di sisi lain mengharapkan para ilmuwan sosial asing, termasuk Belanda, untuk mengkaji
keberadaan orang Indonesia di Belanda khususnya dan di luar negeri umumnya akan membentur
masalah relevansi yang inheren dalan diskursus ilmu sosial. Pertanyaan tentang relevansi ini
mengeksplisitkan hubungan antara ilmu sosial dan kekuasaan yang tidak terhindarkan.
Pemerintah negara mana pun akan memberi perhatian dan mengucurkan anggaran bagi
penelitian yang dipandang relevan bagi pembangunan negara-bangsa mereka masing-masing.
Persoalan subjektifitas ini terus berlanjut setelah era kolonial dan Perang Dingin berakhir.
Dekolonisasi oleh karena itu lebih merujuk pada proses yang terus menerus daripada periode
sejarah yang telah lewat. Dalam kenyataannya struktur yang menopang globalisasi sekarang ini,
dalam apa ilmu-ilmu sosial menempatkan diri, tetap berpijak pada kepentingan yang partikular.

!!"
"

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Upaya mengurangi kecemasan belajar matematika siswa dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya: sebuah studi penelitian tindakan di SMP Negeri 21 Tangerang

26 227 88

Pengaruh mutu mengajar guru terhadap prestasi belajar siswa bidang ekonomi di SMA Negeri 14 Tangerang

15 165 84

Pengaruh Atribut Produk dan Kepercayaan Konsumen Terhadap Niat Beli Konsumen Asuransi Syariah PT.Asuransi Takaful Umum Di Kota Cilegon

6 98 0