Dinamika Perkembangan Gampong di Aceh

Dinamika Perkembangan Gampong di Aceh
“Tiap desa menjadi dekat oleh persaudaraan
tiap kota menjadi rapat oleh persahabatan
tiap jiwa menjadi akrab oleh persefahaman.”

Siapa yang tidak mengenai Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Provinsi yang
memiliki julukan ‘serambi mekah’ ini menyandang sebagai daerah istimewa yang diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakatnya ini memiliki karakteristik khas sebagai daerah yang menerapkan
syariah islam. Dikeluarkannya Undang-undang Pemerintahan Aceh sebagai manifestasi
diakuinya aceh sebagai daerah khusus dan berhak menyelenggarakan pemerintahan
berdasarkan kekhususan aceh. Melalui UU Pemerintahan Aceh ini juga Aceh ingin
mengembalikan ciri kedaerahan yang selama ini telah tumbuh dan berkembang, hidup dan
dijadikan pedoman oleh orang aceh (Satriani 2007:33).
Ciri khas kedaerahan aceh ini bisa dilihat dari nilai maupun norma yang telah
diimplementasikan dalam bentuk lembaga adat dan sosial sebagai bagian dari interaksi
masyarakat aceh. Manifestasi dari identitas khas Aceh ini bisa dilihat dari keberadaan
kelembagaan yang asli yaitu gampong. Gampong merupakan sebutan untuk desa atau unit
pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan yang ada di Provinsi NAD.
Oleh sebab itu, menjadi penting dalam tulisan ini untuk melihat perkembangan aspek
sosio-politik gampong sebagai unit pemerintahan terkecil yang khas dari dari masa kolonial

hingga reformasi kini. Selain itu tulisan ini juga ingin melihat bagaimana perkembangan
Sistem pemerintahan Gampong dari masa ke masa, serta bagaimana kearifan lokal
pemerintahan gampong dalam pengelolaan sumber daya yang ada didalamnya.
Gampong dan Perjalanan Sosio-Politiknya
Gampong sudah dikenal sejak zaman pemerintahan kerajaan Aceh pada tahun 1514.
Pada saat itu bentuk pemerintahan terendah yang asli lahir dari masyarakat dalam sususan
pemerintahan kerajaan Aceh yakni gampong. Gampong ini muncul pada suatu Qanun
Maeukata Alam Al Arsyi yang menyebutkan bahwa kerajaan Aceh Raya Darussalam tersusun
dari gampong (kampung/kelurahan), mukim (kumpulan gampong-gampong), sagoe (federasi
dari beberapa nanggroe dan kerajaan (Amin 1988 : 42-43). Aceh memiliki konsep kekuasaan
yang dibangun dari dua pilar, yakni agama dan adat. konsep kekuasaan ini diwujudkan
melalui lembaga-lembaga kekuasaan dan sosial dari tingkat pusat (kesultanan) hingga ke
tingkat gampong sebagai unit pemerintahan terkecil (Gayatri 2007:110).

Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan
hunian yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri dari beberapa
jurong, tumpok (kumpulan rumah) atau ujong (ujung gampong) (Arief 2005:11). Penanda
dari wilayah suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat
untuk menandai wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai,
tanah, gunung dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola

pemukiman yang padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat
bangunan rumah berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah
yang terletak di tengah-tengah gampong (Satriani 2007:48).
Karena konsep kekuasaan di Aceh tidak memisakan antara adat dan agama, maka
konsep kekuasaan ini dijabarkan dalam pemerintahan hingga ke tingkat gampong. Gampong
sendiri memiliki struktur pemerintahan yang dinamakan pemerintahan gampong.
Pemerintahan gampong merupakan penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan oleh tiga
pilar pemerintah gampong yaitu

keuchik, Teuku Imam Maeunasah, dan badan

permusyawaratan gampong yang disebut Tuha Peut (sekumpulan orang yang dituakan karena
memiliki beberapa kelebihan). Tiga lembaga pemerintah gampong ini berfungsi sebagai
penyelenggara pemerintahan gampong. Peranan masing-masing lembaga sudah diatur dimana
keuchik mengurusi masalah pemerintahan, teuku imam maeunasah dalam bidang keagamaan
dan tuha peut sebagai perwakilan masyarakat gampong (Hurgronje, 1996:53).
Keuchik atau father of gampong memiliki kewenangan dalam memelihara ketertiban
dan keamanan dan meningkatkan kesejahteraan bagi daerahnya. Penghasilan keuchik didapat
dari bantuan untuk pernikahan wanita dari gampong dimana keuchik berada dan imbalan jasa
biaya peradilan di tingkat uleebalang Selain itu, wewenang dari teuku imam meunasah atau

mother of gampong sendiri yakni pemangku jabatan dalam bidang agama. Teuku imam
meunasah ini biasanya yang memiliki pengetahuan lebih banyak dan lebih taat beribadah
daripada masyarakatnya. Sumber penghasilan yang didapat meliputi fitrah, zakat, uang akad
nikah, hak teuleukin (pembacaan doa-doa), sisa penghasilan keuchik ketika mengunjungi
uleebalang, dan uang meusara (tanah bengkok milik gampong). Sedangkan Tuha peut
merupakan sesepuh/tetua yang dihormati karena pengalamannya, kearifannya, sopan dan
santun dan berpengetahuan luas tentang adat gampong. Kehadiran dari Tuha Peut ini
diperlukan ketika keuchik dan teugku meunasah berkumpul membahas utusan gampong
(Hurgronje, 1996:54-58). Dalam Qanun No.8 tahun 2004 disebutkan unsur-unsur anggota
dari Tuha Peut yakni ulama-ulama gampong, tokoh masayrakat, pemuka adat, cerdik pandai.

Ketiga lembaga gampong, yakni keuchik, Imam Meunasa dan tuha peut ini
menjalankan kekuasannya secara bersama-sama. Dalam membuat suatu rancangan peraturan
Gampong, Keuchik dapat dibantu oleh perangkat Gampong dalam rangka memperoleh
masukan hal hal yang perlu dibuat peraturan dari lembaga lembaga kemasyarakatan
Gampong, seperti halnya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga tersebut
memberikan masukan kepada aparatur pemerintah berdasarkan aspirasi yang mereka
kumpulkan dari masyarakat. Setelah draf atau rancangan peraturan Gampong yang dibuat
oleh Keuchik tersebut diserahkan kepada Tuha Puet Gampong yang akan melaksanakan rapat
secara musyawarah guna membahas peraturan Gampong tersebut (Muklir et.al, 2012:8).

Dalam perjalanan sejarahnya, gampong memiliki lika-liku yang beragam disetiap
rezim politik yang memerintah di Indonesia. baik pada masa kolonial dan pasca Indonesia
merdeka. Untuk membahas lebih lanjut mengenai masalah ini akan dijabarkan dalam bagian
selanjutnya dari tulisan ini.
1. Masa Kolonial Belanda dan Jepang
Pada masa kolonial belanda, aceh dibagi menjadi dua bagian, yakni 1) daerah indirect
yang terdiri dari leih dari 100 zelfbestuur/landschap, dan 2) daerah direct yang terdiri atas
beberapa puluh daerah adat dan administratif. Untuk daerah zelfbestuur sendiri dipimpin oleh
uleebalang, tentu saja sifat mengalir dari kesetiaan gampong dihentikan (Notosusanto et al
1990: 146).
Pada masa kolonial belanda, gampong banyak mengalami trasformasi sosial dan
pergeseran nilai dan ikatan tradisional antara uleebalang, ulama dan warga gampong. Adanya
praktik tanam paksa membuat ikatan tradisional antara warga gampong dan elit gampong
berubah menjadi ikatan kontrak. Belanda secara efektif menjalankan politik indirect rule
sampai ke unit pemerintahan paling bawah membuat para uleebalang menjadi kaki tangan
belanda dalam mengontrol komoditas pertanian di gampong, sedangkan disisi lain, peranan
ulama bagi gampong disingkirkan (Suhartono 2001 : 44). Tidak behenti sampai disitu, corak
politk indirect rule yang diterapkan oleh pemerintah kolonial belanda membuat
kepemimpinan gampong bercorak patrimonial. Teuku Bachtiar Effendi Polem(1977)
mengatakan bahwa corak patrimonial ini ditandai dari adanya kekerabatan yang tinggi dan

turun temurun dalam penunjukan uleebalang maupun keuchik. Akibat yang ditimbulkan
kemudian yakni kekuasaan terpusat hanya pada segelintir elit saja dan warga gampong
menjadi impoten dalam berdemokrasi ketika menghadapi feodalisme dalam pemerintahan
gampong (Polem 1977:87).

Kondisi gampong makin diperparah dengan masuknya penjajahan Jepang (19421945) di Indonesia. Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang,gampong
di Aceh juga mengalami hal seperti demikian. Menurut Irine Hiraswari Gayatri (2007)
jepang menerapkan politik keseimbangan dengan mengakomodir uleebalang dan ulama
untuk membantu jepang dalam melawan sekutu di perang Asia Raya. Sementara itu, warga
gampong mengalami kesengsaraan ekonomi dengan menjadi tenaga paksa untuk kepentingan
militer dan ekonomi jepang. contoh di Gayo misalnya terjadi pemiskinan rakyat menyusul
pembangunan jalan dari daerah Takengon ke Blangkejeren dengan kerja paksa (Gayatri
2007:113).
2. Pasca Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, salah satu agenda yang dipersiapkan
bagi daerah-daerah di Indonesia yakni mengenai otonomi daerah. Desa diakui sebagai
komunitas rakyat yang otonom dengan diakuinya hak – hak istimewa. Entitas otonom itu
seperti Zelfbestuurlandschappen dan Volksgemeenschappen merujuk pada istilah Gampong di
Aceh. hak otonomi diberikan negara di tingkat paling bawah sampai ke desa bukan kelurahan

sebagai kesatuan masyarakat untuk mengatur rumah tangganya sendiri. UU 22 tahun 1948
menyebutkan bahwa Desa sebagai daerah yang memiliki bentuk dan wewenang yang otonom
untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya sendiri.
Meskipun otonomi dan diakuinya hak-hak istimewa bagi unit pemerintahan terkecil
sudah diakui oleh pemerintah pusat. namun pada masa revolusi (1945-1950) terjadi
kemerosotan terhadap komoditi pertanian yang berimbas pada stagnansi ekonomi gampong.
Gampong yang pada awalnya merupakan tanah tempat bercocok tanam yang didiami oleh
sekelompok manusia kini semakin ditinggalkan karena memudarnya ikatan social dan ikatan
territorial. Melemahnya otoritas pranata pemerintahan gampong seperti uleebalang, keuchik,
dan ulama tidak sekuat pada masa lampau karena adanya trasnformasi sosial dari pola
kehidupan agraris ke pola semi-urban mengakibatkan reduksi identitas cultural warga
gampong (Gayatri 2007:114).
Pada masa orde baru berkuasa (1966-`1998) dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Isi dari Undang-Undang ini lebih
bernuansa sentralistik. Melalui UU no. 5 tahun 1974 pemerintah Orde Baru menerapkan
sistem sentralistis dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah mulai dari provinsi sampai
ke desa. Pemerintah daerah dijadikan instrumen pemerintah pusat agar bisa melaksanakan

semua kebijakan pusat secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak
memperkuat daerah otonom, tapi memperkuat wilayah administrasi (Nurcholis 2011: 217).

Bisa dilihat bahwa orde baru secara sistematis melakukan penghancuran terhadap
eksistensi gampong di aceh. Berbekal UU No 5 tahun 1979 yang berisi tentang
penyeragaman satuan unit pemerintahan terkecil sebagai desa ini, orde baru juga menaruh
elit-elit baru untuk menguasai pemerintahan daerah Aceh dalam rangka mengontrol gampong
melalui teknokrat lokal, birokrasi militer dan ulama yang telah dikooptasi melalui MUI
(Gayatri 2007:114).
Dampak lain yang timbul akibat diterapkannya UU 5/1979 ini dirasakan pada struktur
lembaga gampong dimana jabatan Teungku Imam Muenesah dihilangkan dari kelembagaan
formal menjadi informal. Para keuchik atau pimpinan gampong tidak lebih dari kepanjangan
tangan birokrasi di atasnya, yang tunduk dengan skema pembangunan, tanpa dapat
melakukan inisiatif untuk membangun gampong. Tidak berhenti sampai disitu, fungsi
lembaga perwakilan gampong atau tuha peut diganti dengan Lembaga Musyawarah Desa
(LMD). Namun bisa dipastikan bahwa peranan LMD dalam rezim orde baru sangat impoten
tidak bisa memenuhi representasi masyarakat karena diketuai oleh kepala desa –sebagai
kepanjangan tangan pemerintah- secara bersamaan. Selain itu, gampong juga semakin
tertekan oleh pembangunan yang dilakukan oleh rezim orde baru. studi yang dilakukan oleh
Irine Hiraswari Gayatri (2007) mengatakan adanya perluasan wilayah HPH, HTI, dan
pembuatan kawasan industri. Tanah warga dibeli dengan harga 350 rupiah per meter persegi
sebagai tempat markas militer. Ureueng gampong makin miskin, tertinggal, dan terjepit oleh
konflik di sebagian besar wilayah Aceh yang pada saat itu Gerakan Aceh Merdeka semakin

memperkuat eksistensinya.
Setelah Rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, sistem pemerintahan sentralistik
mulai tergantikan posisinya oleh sistem pemerintahan desentralistik. gelombang arus
demokratisasi yang semakin populer dan menjadi pilihan negara-negara dalam sistem
pemerintahannya khususnya di negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Terlebih lagi
saat itu keadaan di Indonesia sangat mendukung, karena runtuhnya rezim Orde Baru.
Masyarakat khususnya yang di daerah-daerah, yang selama ini merasa terbelenggu karena
sistem pemerintahan orde baru, kemudian menyambut baik glombang demokratisasi di
Indonesia. Menyambut

proses demokratisasi di Indonesia, pemerintah kemudian

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. UndangUndang ini mengakui Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak asal-

usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu Desa bisa disebut dengan nama lain atau sesuai
dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Pada masa reformasi ini pula momentum bagi gampong untuk merevitalisasi diri.
Dikeluarkannya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi NAD yang
ditindaklanjuti dengan Qanun No 5/2003 tentang gampong dalam membuka ruang guna
kembali lagi ke adat dan agama islam. Sudah banyak gampong-gampong yang kembali lagi

untuk membangun kembali seperti bentuk dahulu sebagai self-governing community di unit
pemerintahan terkecil di Aceh.
Akan tetapi terdapat problematika dimana penghargaan bagi adat dan pranata
gampong sudah mulai memudar. Ditambah lagi dengan melemahnya sumber daya manusia di
gampong yang membuat kesulitan bagi gampong untuk proses ‘kembali’ ke gampong. Studi
yang dilakukan oleh Irine Hiraswari Gayatri (2007) di Gampong Meria Kabupaten Aceh
Utara menunjukan bahwa kembalinya desa-desa yang dahulu dibentuk oleh rezim orde baru
mengalami perubahan menjadi gampong kembali. Akan tetapi muncul paradoks didalamnya
dimana dalam praktiknya, gampong masih menjalankan praktik desa buatan orde baru. selain
itu, pemerintahan gampong di Gampong Meria juga menunjukan bahwa keberadaan
perangkat gampong kini juga telah tereduksi sekedar alat pemerintahan formal yang tugasnya
mengurusi pembuatan atau penggantian KTP, jual beli tanah, dan lainnya. Sedangkan tugas
sosial yang seharusnya mereka emban, telah diambil alih oleh masyarakat (Gayatri
2007:115).

Pengelolaan Sumber Daya Alam Gampong
Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki desa dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat ialah tanah dan seluruh isinya yang berada di wilayahnya. Begitu
pula dengan gampong juga memiliki sumberdaya alam serupa pula. Adanya tanah-tanah
ulayat miliki gampong seperti persawahan, perkebunan, hutan, dan hasil tambang banyak

tersebar di berbagai gampong di Aceh. Orang Aceh cenderung tidak menggunakan istilah hak
ulayat yang umum dipakai di seluruh pelosok Indonesia . Tetapi, pada prakteknya, hak
bersama atas tanah di Aceh adalah serupa dengan hak ulayat. Penentuan untuk izin
pemakaian tanah ini biasanya diputuskan oleh keuchik.
Pada masa rezim orde baru dengan gaya sentralistis dan cita-cita pembangunannya,
gampong atau desa dijadikan sebagai objek program pembangunan. Gampong hanya

menerima dan menjalankan program yang telah ditentukan dari institusi supra-desa. Padahal
gampong memiliki sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan. Alih-alih untuk kepentingan pembangunan, hak ulayat gampong yang dimiliki
sacara turun-temurun secara sistematis dirampas. Kedaulatan negara ditegakkan secara
represif dengan mengabaikan kedaulatan rakyat, khususnya kedaulatan masyarakat adat.
Menurut Sutoro Eko (2007) berbagai kebijakan (seperti UU Kehutanan, UU pertambangan,
UU Penataan Ruang) diimplementasikan secara sepihak dengan menetapkan alokasi dan
pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di wilayah adat dibawah kontrol
pemerintah. akibat yang ditimbulkan kemudian, gampong yang pada awalnya memiliki
sumber daya alam menjadi tidak memiliki apapun. Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi
instrument utama bagi pemerintah dalam mengambil alih sumber ekonomi yang dikuasai
masyarakat gampong dan pengusahaannya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta
yang menjadi kroni orde baru (Eko:2007).

Setelah rezim orde baru runtuh, dengan diterapkannya pelaksanaan otonomi khusus
bagi Provinsi Aceh, maka perlu pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang dimiliki oleh masing-masing gampong untuk mendapat hak kelolanya
sendiri. masyarakat gampong memberdayakan dirinya dengan memaksimalkan potensi yang
ada termasuk dalam hal bangunan meunasah beserta tanah, tanoh meusara, harta wakaf,
zakat dan prinsip tolong menolong sebagai potensi ekonomi daerah mereka. Kehadiran
seorang keuchik memiliki peran yang vital dalam memajukan perekonomian masyarakat
gampong. Misalnya saja dalam memajukan perekonomian masyarakat dan memelihara
kelestarian lingkungan hidup yang dimiliki gampong –termasuk didalamnya pemanfaatan
sumber daya alam- sangat dibutuhkan. Misalnya saja keuchik berperan dalam mengucurkan
dana peumakmue gampong sebesar Rp 150 juta per gampong. Dana ini merupakan gabungan
dana yang berasal dari pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten kota untuk
pembangunan gampong (Ismail [eds.] 2010:61).
Penutup
Dinamika perkembangan gampong dari masa ke masa sebagai unit pemerintahan
terendah khas DI Aceh memperlihatkan perbedaan yang cukup kontras terutama sebagai
implikasi dari perkembangan proses politik di tingkat nasional dan lokal.gambaran historis
gampong memperlihatkan bahwa kelembagaan gampong yang memiliki karakter
komunalisme diwarnai oleh kepentingan dari beberapa rezim yang telah dilaluinya. Corak
pemerintahan suatu negara ternyata tidak hanya berdampak pada sistem pemerintahan di

daerah saja, melainkan juga berpengaruh pada cara pengelolaan sumber daya yang ada.
Pemerintahan dan pengelolaan sumber daya yang ada di gampong ini adalah contoh kecil
dari dampak yang ditimbulkan dari pelbagai jenis sistem pemerintahan yang dianut
Indonesia, mulai dari Sentralistik dan desentralistik.
Pemerintahan yang sentralistik seperti pada rezim orde baru membuat gampong
merasa tak berdaya dalam mempertahankan identitas asli mereka yang telah diberangus oleh
rezim pada saat itu. dan sumberdaya alam yang dimiliki gampong pun ikut dikontrol oleh
rezim. sedangkan pada pemerintahan yang desetralistik, gampong sudah diberikan otonomi
dalam menyelenggarakan kehidupan daerahnya sendiri. Hal ini menjadi momentum untuk
membangkitkan eksistensi adat-istiadat dan kearifan lokal yang dimiliki oleh gampong dalam
hal pemerintahan maupun dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Pemerintah harus
berusaha untuk membantu daerah dengan memberikan mereka ruang untuk dapat mengatur
pemerintahan atau urusannya sendiri yang didasarkan hukum adat atau nilai-nilai yang dianut
oleh daerah di Indonesia yang notabenenya memiliki cirri khas masing-masing seperti
Gampong yang ada di Aceh.