Agama dan Bisnis Studi Komodifikasi Agam

AGAMA DAN BISNIS
(Studi Komodifikasi Agama dalam Bisnis
Perspektif Yuridis dan Sosiologis di Mojokerto)

PROPOSAL DISERTASI

Penulis:
Imron Rosyadi

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
AGUSTUS 2018
0

AGAMA DAN BISNIS
(Studi Komodifikasi Agama dalam Bisnis
Perspektif Yuridis dan Sosiologis di Mojokerto)
A. Konteks Penelitian
Agama dan bisnis memuat tiga hubungan interaktif. Pertama, agama
dipisahkan dari bisnis. Keduanya bersifat paradoks. Agama diasumsikan
sebagai hal yang sakral, sementara bisnis merupakan kegiatan yang profan.

Karena sifat keduanya berbeda dan cenderung berlawanan, agama perlu
dipisahkan dari bisnis. Pemikiran sekularisme ini meletakkan agama pada di
tempat ibadah, sedangkan kegiatan bisnis berada di luar tempat ibadah. Agama
akan dianggap kotor bila ia dipadukan dengan bisnis. Demikian pula, bisnis
dinilai lambat dan kurang berkembang bila ia diintervensi oleh agama. Bisnis
yang dianggap kotor ini lazim dinyatakan sebagai imoral bussines. 1
Kedua, agama dipadukan dengan bisnis. Asumsinya adalah muatan
bisnis dalam ajaran agama. Secara garis besar, ajaran agama mengandung dua
dimensi, yaitu vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal memuat hubungan
antara manusia dan Tuhannya. Dimensi horisontal mengandung hubungan
antara manusia dan makhluk Tuhan. Kegiatan bisnis diatur oleh agama sebagai
hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Ajaran agama mengenai bisnis bisa berwujud etos yang membangkitkan
semangat pemeluk agama untuk menjalankan bisnis. Dalam studi Khusniati,
Jamaah Tabligh memiliki etos yang tinggi. Padahal, selama ini mereka
1

Alois A. Nugroho, Dari Etika Bisnis ke Etika EkoBisnis (Jakarta: Gramedia, 2001), 59.

1


2

dikesankan sebagai kelompok yang kurang memperhatikan urusan duniawi.
Mereka mampu menggunakan ajaran agama sebagai penggerak motivasi.2
Wujud lainnya adalah etika yang memuat nilai-nilai moral, sehingga kegiatan
bisnis terarah pada kebaikan. Selain etos dan etika, ajaran agama juga
berwujud strategi bisnis. Hal ini dapat tergambar melalui beberapa keputusan
bisnis oleh penyebar ajaran agama. Dalam Islam, tidak sedikit hadis memuat
praktek Rasulullah dalam berbisnis, seperti hadis tentang larangan penimbunan
barang kebutuhan pokok, hadis yang melarang barang tanpa melihat harga
pasar, atau hadis tentang model bagi hasil pertanian. Praktek ini dilakukan
langsung oleh Rasulullah maupun oleh para sahabat dengan persetujuan dari
Rasulullah.
Di sisi lain, paduan agama dan bisnis akan menghasilkan dua nilai
etika. Bisnis bisa terarah pada moral yang terpuji bila ia didampingi oleh
agama. Dalam hal ini, variabel determinan adalah agama. Asumsinya adalah
semakin tinggi nilai keagamaan yang dipraktekkan dalam bisnis, semakin
tinggi pula tingkat keberhasilan bisnis. Demikian ini diistilahkan dengan
pernyataan: good ethics, good bussiness. Ketika nilai-nilai kejujuran sebagai

ajaran agama dipraktekkan dalam bisnis, maka kepercayaan (trust) muncul
dalam diri konsumen. Akhirnya, kejujuran bisnis bisa merubah konsumen
menjadi pembeli (buyer), bahkan pelanggan (customer) atau mitra bisnis

2

Rofiah Khusniati, “Agama dan Bisnis: Studi Etos Kerja Pengusaha di Kalangan Jamaah Tabligh
Kabupaten Ponorogo”, Prosiding Seminar Nasional dan Temu Ilmiah Jaringan Peneliti
(Banyuwangi: IAI Darussalam Blokagung, t.t.). Khusniati juga memaparkan pertemuan agama dan
bisnis pada produktifitas kerja kaum perempuan, Rofiah Khusniati, “Agama dan Produktifitas
Perempuan: Studi Perilaku Bisnis Ibu-Ibu Muslimah Dusun Mayak Kelurahan Tonatan
Ponorogo”, Jurnal Kodifikasia (Vol. 10 No. 1 Tahun 2016), 1-32.

3

(partner). Begitu pula, nilai-nilai keagamaan akan hidup dinamis ketika ia
digerakkan melalui bisnis. Dalam hal ini, variabel determinannya adalah bisnis.
Ajaran agama mengenai filantropi seperti zakat, sedekah, infak, dan wakaf
memerlukan harta yang diperoleh melalui kegiatan bisnis. Oleh karena itu,
asumsinya adalah semakin tinggi tingkat keberhasilan bisnis, semakin besar

pengamalan ajaran agama. Asumsi ini dapat dinyatakan dengan kalimat: good
bussiness, good ethics.3
Ketiga, agama dan bisnis merupakan entitas yang berbeda. Keduanya
tidak dipertentangkan. Keduanya bisa pula bersatu dan bisa pula berpisah.
Masing-masing memiliki tugas dan wilayah yang berbeda dan saling
melengkapi. Bisnis yang peduli dengan moral maupun agama ini dinamakan
amoral business. McKenna menegaskan, amoral bisnis justru mereduksi
kualitas hidup4. Untuk itu, amoral bisnis dianggap sebagai mitos oleh Mawere.5
Seorang pebisnis dapat dipercaya dalam wilayah bisnis, namun ia tidak
dianggap kompeten dalam wilayah agama. Demikian pula, seorang pakar
agama kurang dipercaya dalam membahas masalah bisnis. Akan tetapi, pelaku
bisnis dan pemuka agama dapat bekerja sama maupun berdiskusi. Manajemen
modern membuat spesialisasi tugas untuk depertemen tertentu. Ketika
kebutuhan masyarakat bermuara pada bisnis, maka pebisnis atau pakar bisnis
bisa memasuki peluang tersebut, bukan tokoh agama atau pakar agama.
3

, Ibid., 62-67.
Richard J. McKenna, “Explaining Amoral Decision Making: An External View of a Human
Disaster”, Journal of Business Ethics (Vol.15 tahun 1996), 681-694.

5
M. Mawere, “The Business of Business is Business?”: The myth of Amoral Business and
Bbusiness Practices in Zimbabwe, Jounal of Social Development of Africa (Vol. 25. No. 1 Tahun
2010),

4

4

Spesialisasi pekerjaan tidak hanya diterapkan untuk individu,
melainkan pula untuk lembaga. Bisnis yang ditujukan untuk perolehan laba
diwujudkan dalam bentuk lembaga bisnis. Sementara itu, agama dimaksudkan
untuk perolehan pahala, sehingga lembaga agama dinyatakan sebagai lembaga
nirlaba. Lembaga agama akan dianggap tabu bila ia ditargetkan untuk
pencarian laba. Akan tetapi, tidak sedikit lembaga agama mengolah bisnis
untuk pengembangan agama. Model ini dapat dibenarkan bila lembaga agama
tersebut berstatus wakaf. Artinya, laba bisnis tidak dimiliki oleh perorangan,
melainkan untuk kelembagaan. Dalam hal ini, pengelolaan bisnis tetap
diberikan otoritasnya kepada pebisnis, bukan pemuka agama.
Dengan tiga pola di atas, keterlibatan pemuka agama dalam kegiatan

bisnis menarik untuk dikaji. Keterlibatan ini bisa memunculkan komodifikasi
agama. Komodifikasi berasal dari kata komoditas. Barang atau jasa yang
menjadi

obyek

bisnis

dinamakan

komoditas.

Komodifikasi

agama

menggunakan agama sebagai produk atau strategi bisnis. Produk agama yang
dijadikan sebagai komoditas bisnis berasal dari ajaran agama yang menuntut
adanya kegiatan bisnis. Di antara produk agama adalah ibadah umroh yang saat
ini semarak sebagai komoditas bisnis. Komoditas umroh juga tidak terlepas

dari penggunaan agama sebagai strategi bisnis. Dalam strategi bisnis,
segmentasi pasar (segmenting), target pasar (targetting), dan pembentukan citra
usaha (positioning) diimplementasikan oleh pemuka agama. Tentu saja,
pemuka agama bisa memainkan strategi bisnis untuk komoditas yang bukan
merupakan produk agama. Dalam hal ini, pemuka agama menjalankan bisnis

5

sebagaimana seorang pebisnis. Namun, pemuka agama memiliki nilai tambah,
yaitu penggunaan agama sebagai instrumen kepercayaan. Karena agama
menjadi tolok ukur moralitas, konsumen lebih percaya kepada pemuka agama
dibandingkan pebisnis yang tidak memiliki latar belakang agama.
Bisnis yang dijalankan oleh pemuka agama akan menemukan masalah
yang lebih besar ketika bisnis tersebut bermasalah. Masalah bisnis mempunyai
ragam bentuk. Ia tergantung pada akar masalah dan dampaknya. Masalah
bisnis pemuka agama yang sering ditemukan adalah wanprestasi atau inkar
janji. Dampak masalah bisnis yang dijalankan oleh pemuka agama tidak hanya
berakibat pada kerugian finansial, tetapi juga ia bisa meruntuhkan kewibawaan
agama. Kesalahan individu berdampak pada kesalahan lembaga.6 Dengan
demikian, studi masalah bisnis oleh pemuka agama juga menarik untuk

ditelaah dari sisi yuridis maupun sosiologis. Secara yuridis, masalah bisnis bisa
menimbulkan sengketa perdata yang diselesaikan dalam pengadilan tata niaga
maupun arbitrase. Namun, ia juga bisa masuk dalam hukum pidana bila delik
perbuatan yang melawan hukum telah ditemukan. Karena wanprestasi bisnis
berakibat pada kerugian yang ditanggung oleh subyek hukum, delik pidananya
berupa delik aduan. Tanpa adanya pengaduan, pemuka agama tidak bisa dijerat
secara pidana maupun perdata.
Secara sosiologis, kasus wanprestasi bisnis yang melibatkan pemuka
agama berakibat pada dampak yang besar dan luas. Hal ini dipengaruhi oleh
tingkat kepercayaan konsumen kepada pemuka agama. Semakin tinggi tingkat
6

Roger Friedland, “Institution, Practice, and Ontology: Toward Religious Sosiology”, Research in
Sociology of Organization (Vol. 27 tahun 2009), 45-83

6

kepercayaan, semakin luas masyarakat yang menjadi korban, dan semakin
besar jumlah kerugiannya. Agama merupakan strategi yang efektif dalam
menanamkan kepercayaan. Pemuka agama dilihat sebagai sosok yang memiliki

kedalaman ilmu, budi pekerti yang luhur, serta pengaruh yang luas. Dampak ini
menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban. Faktor sosiologis ini
penting untuk digali dari para penegak hukum saat mereka menangani kasus
wanprestasi bisnis yang melibatkan pemuka agama.
Tidak semua kerugian bisnis yang dijalankan pemuka agama
disebabkan oleh wanprestasi. Kegiatan bisnis lebih dipengaruhi oleh situasi
lingkungan bisnis daripada kompetensi pebisnis. Oleh karena itu, banyak
pemuka agama mengalami penurunan bisnis di luar kemampuannya. Namun,
hal ini sulit diterima oleh konsumen. Pemuka agama pun terjerat masalah
hukum karena laporan pengaduan. Dengan demikian, pemilahan kasus penting
untuk dilakukan, agar masalah hukum dapat teridentifikasi. Di samping itu,
kegiatan bisnis yang melibatkan pemuka agama juga dapat dibandingkan.
Tidak sedikit pemuka agama berhasil dalam membangun bisnis dan
mengembangkannya. Telaah keberhasilan bisnis dengan komoditas yang sama
akan membantu untuk melihat akar masalah bisnis yang tidak berhasil. Jadi,
komodifikasi

agama

dalam


bisnis

perlu

diteliti

secara

mendalam,

komprehensif, dan integral.
Kasus-kasus komodifikasi agama dalam bisnis yang melibatkan
pemuka agama banyak terjadi di Mojokerto. Secara kualitiatif, pemuka agama
yang melakukan komodifikasi agama dikenal publik hingga di luar daerah

7

Mojokerto. Secara kuantitatif, kasus komodifikasi agama berulang kali dengan
pemuka agama yang berbeda. Unsur kharisma pemuka agama bagi masyarakat

Mojokerto lebih menonjol. Kharismatik ini dilihat dari pola budaya masyarakat
yang melihat sisi supranatural.
Ada dua kasus komodifikasi agama di Mojokerto yang tersangkut
hukum pidana maupun perdata. Kedua kasus ini melibatkan tokoh yang dikenal
luas oleh masyarakat Mojokerto dan di luar Mojokerto. Kedudukan kedua
tokoh ini juga berada pada tingkat elit dalam organisasi sosial keagamaan.
Jumlah korban dari komodifikasi agama ini juga besar. Demikian juga,
kerugian yang ditimbulkan juga tergolong besar. Di sisi yang lain, beberapa
pemuka agama masih menjalankan bisnis dengan komodifikasi agama.
Kenyataannya, mereka masih berkomitmen dan dipercaya oleh masyarakat.
Kasus-kasus yang sama dan akibat yang berbeda ini menarik untuk diteliti.

B. Fokus Penelitian
Studi komodifikasi agama dalam bisnis dapat ditelaah dari berbagai
sudut pandang. Agar pembahasan tidak melebar, penelitian ini difokuskan pada
sisi perbuatan pemuka agama dalam menjalankan bisnis. Perbuatan ini bisa
muncul karena motif. Selain itu, perbuatan tersebut juga mengandung dampak.
Dari telaah perbuatan pula, unsur komodifikasi agama dapat ditemukan.
Dengan fokus pada perbuatan, penelitian ini menghindari pemikiran
pemuka agama mengenai bisnis. Fokus pada perbuatan terarah bisnis yang
sedang maupun telah dijalankan, bukan bisnis yang masih direncanakan.

8

Perbuatan merupakan obyek kajian hukum, sehingga penelitian ini lebih
mengarah pada aspek hukum. Faktor-faktor sosial yang ditemukan dapat
menjadi penafsir dan penguat pada aspek hukumnya.

C. Rumusan Masalah
Perbuatan bisnis pemuka agama dapat memunculkan beberapa masalah
yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini hanya mnegambil tiga masalah yang
dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah bentuk komodifikasi agama yang dilakukan pemuka agama dalam
kegiatan bisnis?
2. Apakah bentuk delik yang dikenakan pada kasus komodifikasi agama dalam
bisnis?
3. Apakah dampak sosial akibat komodifikasi agama dalam bisnis yang
menjadi pertimbangan bagi para penegak hukum?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk memberikan gambaran yang utuh dan
mendalam atas jawaban dari masalah penelitian. Sesuai dengan rumusan
masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.

Untuk membuat dekripsi dan klasifikasi mengenai bentuk komodifikasi
agama yang dilakukan pemuka agama dalam kegiatan bisnis.

2.

Untuk menggambarkan bentuk delik yang dikenakan pada kasus
komodifikasi agama dalam bisnis.

9

3.

Untuk menggambarkan dampak sosial akibat komodifikasi agama yang
dijadikan pertimbangan bagi para penegak hukum.

E. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini termasuk dalam kategori
multidisipliner. Pada awalnya, persoalan komodifikasi agama merupakan
bagian dari ilmu-ilmu sosial, semacam Sosiologi dan Antropologi. Dalam
penelitian ini, komodifikasi dikembangkan juga dengan teori-teori dalam ilmu
hukum. Karena itu, penilaian atas komodifikasi agama terdiri atas dua
pandangan. Pandangan pertama melihat komodifikasi agama sebagai fakta
sosial yang bukan termasuk kejahatan. Dalam hal ini, komodifikasi agama
ditelaah dan dianalisis dengan teori-teori Sosiologi. Sementara itu, pandangan
kedua mengamati komodifikasi agama sebagai kejahatan, bukan sekedar fakta
sosial. Teori-teori dalam Kriminologi dimanfaatkan untuk menemukan unsur
deliknya. Pengenaan delik dalam komodifikasi agama dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku memerlukan bantuan dari teori-teori Ilmu
Hukum. Dengan demikian, disiplin ilmu yang dikembangkan dalam penelitian
ini adalah Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Kriminologi, dan Ilmu
Hukum.
Karena pemuka agama dijadikan sebagai subyek penelitian, penelitian
ini juga mengembangkan konsep perilaku keagamaan. Dalam studi Islam,
perilaku keagamaan merupakan bentuk kajian keislaman secara kontekstual.

10

Kajian ini melihat praktek keagamaan dari ajaran Islam yang termaktub dalam
bentuk teks. Sifat dari teks al-Qur’an dan teks al-Hadis adalah statis. Tidak ada
perubahan dalam teks, meskipun pemahaman dan penafsirannya dapat
mengalami perubahan. Dari pemahaman atas teks ini, perilaku keagamaan
mengemuka. Tentu saja, faktor lingkungan dan perubahan sosial ikut mewarnai
perilaku keagamaan individu maupun masyarakat. Dalam studi agama, perilaku
keagamaan masyarakat dipengaruhi oleh perilaku keagamaan pemuka
agamanya. Hubungan paternalistik ini tetap berlangsung sepanjang otoritas
tafsir atas teks ajaran agama masih dipegang oleh pemuka agama. Jadi, teoriteori mengenai agen perubahan sosial dikembangkan dalam penelitian ini
untuk sosok pemuka agama.
Secara praktis, hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan hukum atas
problematika komodifikasi agama. Setidaknya, ada tiga lembaga yang bisa
memanfaatkan hasil penelitian ini. Pertama, lembaga keagamaan yang
berkepentingan untuk melindungi umat beragama dari komodifikasi agama
oleh para pemuka agama. Melalui hasil penelitian ini pula, lembaga keagamaan
bisa memperoleh faktor-faktor yang mendorong para pemuka agama untuk
melakukan komodifikasi agama. Harapannya adalah adanya pencegahan lebih
dini oleh lembaga keagamaan atas perilaku para pemuka agama yang menjadi
anggotanya.
Kedua, lembaga bisnis yang berkepentingan dalam mempertahankan
kelangsungan

bisnis.

Kepercayaan

merupakan

faktor

utama

dalam

kelangsungan bisnis. Namun, kepercayaan ini bisa terkikis akibat munculnya

11

perilaku yang tidak jujur. Perilaku komodifikasi agama bisa mengarah pada
perilaku yang tidak jujur. Untuk itu, lembaga bisnis perlu memperoleh
informasi mengenai gejala-gejala komodifikasi agama yang mengarah pada
perilaku yang tidak jujur.
Ketiga, lembaga hukum yang menangani perkara perdata maupun
pidana akibat komodifikasi agama. Kasus ini sangat kompleks. Ia tidak bisa
dianalisis dengan pendekatan logika hukum semata, melainkan keterlibatan
analisis sosial perlu diajukan. Para praktisi hukum akan mendapatkan
gambaran mengenai hal tersebut dari hasil penelitian ini.

F. Kajian Pustaka
Studi tentang komodifikasi agama telah dilakukan oleh banyak peneliti.
Studi ini merupakan paduan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora.
Obyek kajiannya berupa fenomena keagamaan, namun pendekatannya bisa
menggunakan Ilmu Komunikasi, Ilmu Ekonomi, Antropologi, Sosiologi, dan
Ilmu Hukum. Nurhasanah7 dan Fakhruroji8 menelaah Komodifikasi agama
dengan pendekatan Ilmu Komunikasi. Khraim mendalaminya dengan
pendekatan Ilmu Ekonomi.9 Dengan pendekatan Ilmu Ekonomi pula, studi
Muthohar dan Triatmaja justru menempat ulama sebagai veriabel determinan

7

Sulistiani Nurhasanah, “Komodifikasi Agama Islam dalam Iklan Televisi Nasional”, Skripsi
(Yogyakarta: Prodi SKI Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2014)
8
Moh. Fakhruroji, “Komodifikasi Agama Sebagai Masalah Dakwah”, Jurnal Ilmu Dakwah (Vol.
5 No. 16 Tahun 2010), 1-17.
9
Hamza Khraim, “Measuring Religiosity in Consumer Research From an Islamic Perspective”,
Journal of Economis and Administration Sciences (Vol. 26. No. 12010), 52-78.

12

dalam tingkat konsumsi masyarakat.10 Halimatussa’diyah11, Spickard12 dan
Goulding13 mengkaji komodifikasi dengan pendekatan Sosiologi dan
Antropologi. Penelitian

ini mempelajari komodifikasi agama dengan

pendekatan Sosiologi Hukum dan Ilmu Hukum. Dalam penelusuran beberapa
literatur, pendekatan Ilmu Hukum dalam kajian komodifikasi agama belum
ditemukan.
Secara tematis, studi komodifikasi agama terbagi dalam tiga aspek.
Pertama, komodifikasi agama yang disorot dari sisi pelakunya. Muthohar dan
Triatmaja, Halimatussa’diyah, dan Spickard menekankan aspek pelaku
individu maupun masyarakat. Kedua, komodifikasi agama yang ditelaah dari
sudut perbuatannya. Kajian ini ditelaah oleh Nurhasanah, Fakhruroji, Khraim,
Goulding, Mirantika dan Marbun14, Sinha15, Einstein16, serta beberapa penulis
dalam buku yang diedit oleh Kitiarsa17 maupun Fealy dan White18. Ketiga,

10

Muchsin Muthohar dan Amin Ramadhan Triatmaja, “Pengaruh Endorser Ulama Terhadap
Sikap Dan Minat Beli Konsumen: The Influence of Islamic Preacher Toward The Attitude And
Consumers Purchase Intention”, Jurnal Bisnis dan Ekonomi (Vol. 19, No. 1 tahun 2013)m 8699.
11
Iim Halimatussa’diyah, “The Religious Market in Contemporary Indonesia: A Case Study of
The eden-Salamullah Group”, Jurnal Studia Islamika (Vol. 15 No. 1 Tahun 2008), 101-121.
12
James V. Spickard, “Religion in Consumer Society: Brands, Consumers, and Markets”, Journal
of Contemporary Religion (Vol. 30 No. 1 tahun 2014), 155-157,
13
Christina Goulding, “The Commodification of the Past, Post Modern Pastiche, and the Search
for Authentic Experiences at Contemporary Heritage Attractions”, European Journal of Marketing
(Vol. 34 No. 7 Tahun 2000), 835-853.
14
Noni Mirantika dan Saortua Marbun, “Pengaruh Modernisasi terhadap Perkembangan
Komodifikasi Mukena”, Jurnal Studi Kultural (Vol. I No. 2 Tahun 2016), 116-123.
15
Vineeta Sinha, Religion and Commodification: ‘Merchandizing’ Diasporic Hinduism (New
York: Routledge, 2011).
16
Mara Einstein, Brands of Faith: Marketing Religion in a Commercial Age (New York
Routledge, 2008).
17
Pattana Kittiarsa (ed.), Religious Commodifications in Asia (New York: Routledge, 2008).
18
Greg Fealy dan Sally White (ed), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia
(Singapura: ISEAS, 2008).

13

komodifikasi agama yang terfokus pada sisi media. Ibrahim dan Ali Akhmad19
menyorotinya dengan pendekatan budaya media.
Penelitian ini juga melihat sisi perbuatan komodifikasinya. Namun
demikian, suatu perbuatan tidak bisa dilepaskan dari pelakunya. Perbedaan
penelitian ini yang dibandingkan dengan kajian-kajian terdahulu adalah
perbuatan komodifikasi yang dilihat sebagai perbuatan hukum. Meskipun
perbuatan ini belum dinyatakan sebagai perbuatan yang melawan hukum,
namun ia dianggap sebagai pendorong kuat untuk melakukan perbuatan yang
melawan hukum.
Disertasi

terbaru

mengenai

komodifikasi

agama

ditulis

oleh

Hariyanto.20 Disertasi ini telah diujikan di Program Doktor Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Airlangga Surabaya tahun 2018. Disertasi
ini mendalami komodifikasi agama dengan kasus pelaksanaan umroh di Jawa
Timur dari aspek sosiologis, tepatnya analisis teori Baudrillard. Sementara itu,
penelitian ini idak hanya menyoroti komodifikasi agama dari sisi sosiologis,
melainkan juga dari aspek yuridis. Di samping itu, analisis sosiologis penelitian
ini menggunakan teori strukturasi dari Anthony Giddens. Dengan demikian,
penelitian ini memiliki perbedaan dengan disertasi Hariyanto tersebut.

19

Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, Komunikasi dan Komodifikasi (Jakarta:
Yayaysan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 18.
20
Didik Hariyanto, “Komodifikasi Agama dalam Pelaksanaan Umrah di Jawa Timur: Pemaknaan
Jamaah Terhadap Komodifikasi Umrah di Jawa Timur dalam Perspektif Teori Baudrillard,
Disertasi (Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 2018).

14

G. Konseptualisasi
Komodifikasi berasal dari kata komoditi, yaitu barang atau jasa yang
bisa dijadikan obyek bisnis. Suatu barang atau jasa belum dinyatakan sebagai
komoditas sebelum ia ditawarkan kepada konsumen. Penawaran ini berarti
pemberian nilai atas suatu barang atau jasa. Semula, barang atau jasa tersebut
tidak memiliki nilai. Nilainya tergantung pada kesepakatan antara penawaran
dan permintaan. Ia bisa bernilai tinggi bila permintaannya lebih besar dari
penawarannya. Nilai komoditas pun mengikuti harga pasar. Dengan demikian,
komodifikasi merupakan upaya memasarkan barang atau jasa yang berangkat
dari proses produksi hingga konsumsi. Dengan kalimat yang singkat,
komodifikasi adalah “proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar
(commodification is the process of transforming use values into exchange
values)”21
Agama yang dijadikan sebagai komoditas diproduksi sesuai dengan
selera pasar. Produk agama bisa berwujud barang perlengkapan kegiatan
keagamaan atau jasa bimbingan agama. Dalam sistem produksi, input, proses,
dan output berlaku untuk produk agama. Inputnya berwujud modal bahan baku
(raw-input) maupun peralatan yang digunakan untuk produksi (instrument
input). Prosesnya pun melalui teknik, metode, hingga strategi. Output produk
agama juga menggunakan target hasil, waktu, dan modal. Pendek kata,
komodifikasi agama tidak terlepas dari manajemen bisnis, baik eksplorasi
komponen-komponen manajemen maupun efektifitas dan efesiensi fungsi-

21

Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, Ibid., 18.

15

fungsi manajemen. Keseluruhan pengelolaan manajerial tersebut dikerjakan
oleh pemuka agama. Jadi, komodifikasi agama adalah komersialisasi agama
atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat
diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan.
Komodifikasi agama lahir, karena adanya konsumsi simbol keagamaan
(consumer ritualized symbolic practices). Konsumsi simbol keagamaan ini
mengandung lima faktor pendukung. Pertama, konsumsi simbol keagamaan
menciptakan objek dari agama yang dapat dijual dan dikonsumsi melalui
proses sosial. Ia juga disebarkan dengan jaringan sosial yang ada dalam
masyarakat. Contoh sederhana adalah penjualan buku-buku agama. Kedua,
konsumsi simbol keagamaan menciptakan pembelaan agama pada komunitas
sosial. Kegiatan atau ritual yang telah biasa dilakukan diberikan objektifikasi.
Setelah itu, ia mendapatkan pembelaan seperti sebuah produk. Ketiga,
konsumsi simbol keagamaan menciptakan pertunjukan/tontonan agama.
Keempat, konsumsi simbol keagamaan dijadikan sebagai lahan pencarian
keuntungan dan pencarian ketenangan psikologi. Kelima, konsumsi simbol
keagamaan difungsikan sebagai pengembang layanan yang rasional. Hal ini
dipengaruhi oleh teori moderenisasi seperti Mcdonalization. Praktek atau
kegiatan keagamaan harus diciptakan serasional mungkin, agar ia dapat
diterima oleh masyarakat perkotaan.22
Pemuka agama adalah orang yang diberikan otoritas dalam memahami
dan memahamkan maksud pesan-pesan ajaran agama. Otoritas ini memperoleh
22

Riezqie Hasanah, “Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center”, Skripsi
(Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2010).

16

legitimasi dari teks keagamaan. Status pemuka agama ini diberikan oleh
masyarakat sesuai dengan peranannya. Semakin besar peranannya, semakin
tinggi tingkat statusnya. Dalam stratifikasi sosial, pemuka agama menduduki
kelas atas. Ia juga menjadi pemimpin non formal bagi masyarakatnya, karena
pemikirannya dijadikan rujukan referensi dan perilakunya dijadikan teladan.
Dalam perubahan sosial, pemuka agama berperan sebagai agen perubahan. Ia
mentransformasikan

nilai-nilai

dalam

masyarakat

sekaligus

menginternalisasikannya. Oleh karena itu, pemuka agama yang memperoleh
legitimasi dari teks keagamaan dan otoritas dari masyarakat sangat tidak terpuji
bila ia membuat agama sebagai produk yang dipasarkan. Nilai pasar terlalu
kecil bagi agama. Hal ini berarti, bahwa pemuka agama yang melakukan
komodifikasi agama memperkecil dan merendahkan nilai agama.
Perbuatan komodifikasi agama termasuk perilaku yang tercela. Namun,
keburukan moral dari komodifikasi agama sulit untuk diamati, karena ia
memerlukan motif dari pelakunya. Sementara itu, pihak sasaran juga belum
bisa dinyatakan sebagai korban. Ia bisa diuntungkan dengan komodifikasi
agama. Ia baru dinyatakan sebagai korban, setelah ia mengadukan perkaranya
kepada penegak hukum. Untuk itu, komodifikasi agama dapat dianalisa secara
yuridis bila motif dan pengaduan korban ditemukan. Namun demikian,
pemidanaan kasus komodifikasi agama dapat juga dihentikan oleh penegak
hukum, karena adanya alasan sosiologis tertentu, seperti perdamaian di antara
kedua belah pihak.

17

Subyek komodifikasi agama yang bisa dijerat oleh hukum adalah
pelaku

yang

melakukan

kejahatan

pidana

maupun

perdata

dengan

memanfaatkan simbol agama untuk meraih keuntungan finansial. Jika
seseorang menggunakan simbol agama untuk melakukan kejahatan yang tidak
terkait dengan perolehan keuntungan finansial, maka ia bukan termasuk subyek
komodifikasi agama. Perbuatan pencurian dan korupsi bukan termasuk
komodifikasi agama, meskipun subyeknya adalah orang yang menggunakan
simbol agama. Perbuatan ini murni merupakan kejahatan, bukan perbuatan
bisnis. Demikian pula, kebangkrutan bisnis juga bukan termasuk komodifikasi
agama, meksipun ia dilaporkan secara perdata maupun pidana, selama simbol
agama tidak dijadikan sebagai komoditas. Dengan demikian, komodifikasi
agama bukan termasuk perbuatan melawan hukum baik formil (kepastian
hukum) maupun materiil (nilai keadilan). Tidak ada klausul tersirat maupun
tersurat mengenai komodifikasi agama dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hukum Islam pun tidak melarang pemuka agama untuk
menjalankan bisnis. Akan tetapi, perbuatan bisnis yang melawan hukum akan
berdampak lebih besar bila ia diiringi oleh komodifikasi agama. Karena itu,
posisi komodifikasi agama dalam delik pidana maupun perdata penting
ditelaah secara lebih dalam.
Perbuatan yang melawan hukum selalu disertai oleh motif dan dampak.
Keduanya sulit terukur, sehingga keduanya selalu diperdebatkan dan diabaikan.
Motif memiliki keterkaitan dengan kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).

18

Masing-masing memiliki corak tersendiri.23 Kedua hal ini terumuskan dalam
beberapa klausul peraturan perundang-undangan. Sekalipun komodifikasi
agama bukan termasuk delik, namun ia tidak bisa diabaikan, ia bagian dari
motif dan kehendak. Selain itu, dampaknya lebih besar dibanding kasus serupa
yang lain.

H. Paradigma Penelitian
Deskripsi konsep di atas memudahkan pembuatan paradigma
penelitian. Dalam penelitian ini, paradigma yang digunakan adalah perilaku
sosial yang dibangun oleh B.F. Skinner, karena delik komodifikasi agama
memerlukan motif. Motif merupakan suatu dorongan untuk memberikan
respon atas stimulus yang ditawarkan. Penggalian motif dari pemuka agama
memerlukan dasar teoritis. Dalam hal ini, teori pertukaran sosial (exchange
theory) lebih tepat, karena komodifikasi agama merupakan tindakan pertukaran
antara komoditas agama dengan kepuasan yang diharapkan. Motif termasuk
salah satu dari unsur teori pertukaran. Unsur-unsur yang lain adalah satuan
analisis, faedah atau keuntungan, serta pengesahan sosial.24
Ketika pertukaran sosial ini diarahkan ke pertukaran ekonomi atau
bisnis, maka ia bisa berpola redistribusi atau resiprositas. Redistribusi adalah
“perpindahan barang atau jasa dari pihak yang secara politis berada pada posisi
bawah kepada pihak yang berada pada posisi atas selaku pemegang otoritas

23

Teguh Prasetya, Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 95-115.
I.B. Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan
Perilaku Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2015), 174-176.

24

19

ekonomi dan politik”.25 Redistribusi mensyaratkan hubungan yang asimetris.
Jika hubungannya bersifat simetris, maka pertukaran timbal baliknya
dinamakan resiprositas. Dalam melakukan komodifikasi agama, para pemuka
agama bisa melakukan pertukaran ekonomi dengan jamaah yang berada dalam
bimbingannya atau dengan orang lain yang bukan bagian dari jamaahnya.
Selain motif, komodifikasi agama juga mempertautkan individu dengan
struktur. Artinya, orang yang melakukan komodifikasi agama (agency)
berinteraksi dengan struktur. Pola interaksi ini bersifat dualitas, yakni produksi
dan reproduksi. Pelaku adalah hasil dari struktur sekaligus media pembentukan
struktur yang baru. Struktur itu dimaksudkan sebagai aturan-aturan regulatif
maupun konstitutif serta sumber-sumber alokatif maupun otoritatif.26 Dengan
demikian, tinjauan yuridis atas komodifikasi agama didasarkan pada teori
strukturasi Anthony Giddens.
Setelah motif ditemukan, langkah berikutnya adalah pendalaman pada
dampak sosial. Analisa dampak ini menggunakan pohon masalah. Setelah
pertimbangan sebab dan akibat, keputusan pun bisa diambil. Pertimbangan
pada pencegahan kerugian yang diderita oleh banyak orang dapat dijelaskan
melalui teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Semula, teori ini
memandang etika dari sisi nilai kemanfaatan suatu perbuatan. Semakin besar
nilai manfaatnya dan semakin banyak orang yang menikmatinya, maka
semakin terpuji perbuatannya (the greatest happiness of the greatest number).
Untuk analisa dampak atau akibat dari komodifikasi agama, teori
25

Sjafri Sairin, Pujo Semedi, dan Bambang Hudayana, Pengantar Antropologi Ekonomi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 70.
26
Ibid. 294-295.

20

utilitarianisme dibalik dengan konsep kerusakan atau penderitaan. Semakin
besar kerusakan dan ditimbulkan oleh suatu perbuatan dan semakin banyak
orang yang menderita, maka semakin buruk perbuatan tersebut. Utilitarianisme
demikian ini dinamakan konsekuensialisme.27 Adagium utilitarianisme ini
memuat tiga komponen dampak, yaitu jumlah korban, kerugian material, dan
kerugian non material. Dalam konteks hukum, teori utilitarianisme terwujud
dalam hedonistic utilitarianism yang mengajarkan, “Pemidanaan hanya bisa
diterima, apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang
lebih besar”.28 Dengan demikian, ketiga teori di atas bisa digambarkan dengan
bagan sebagai berikut.

Gambar 1. Theoretical Framework
Komponen-komponen yang diambil dari teori-teori di atas merupakan
data utama. Data ini diperdalam dan dikembangkan di lapangan, sehingga laju
penelitian ini tetap terarah pada masalah penelitian. Teori pertukaran menjadi
27

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 66-67.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar Filsafat Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2012),
61.

28

21

dasar untuk menemukan bentuk komodifikasi agama yang dirumuskan dalam
masalah pertama. Teori strukturasi dijadikan pedoman untuk mencari unsur
delik perbuatan yang melawan hukum, sebagaimana dalam rumusan masalah
kedua. Teori ini relevan, karena ia menghadapkan pelaku (agency) pada norma
hukum (struktur). Demikian pula, teori utilitarianisme juga dinilai tepat untuk
menjadi dasar dalam menggali data tentang dampak sosial, sebagaimana
rumusan masalah ketiga.

I. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
terfokus pada interaksi sosial di tingkat mikro. Ia mencari data-data verbal,
simbol, proses relasi sosial, dan memberikan makna. Data-data mengenai
komodifikasi agama yang terkait dengan bisnis bersifat kualitatif.
Komodifikasi agama dimulai dari interaksi sosial hingga mewujudkan
relasi sosial. Relasi ini dibangun dengan motif bisnis. Motif ini sulit diukur,
sehingga ia lebih tepat ditemukan dengan pendekatan kualitatif. Dengan
demikian, pendekatan kualitatif relevan dengan obyek penelitian ini.

2. Jenis Penelitian
Di antara jenis-jenis penelitian dengan pendekatan kualitatif,
penelitian ini mengambil jenis grounded research. Penelitian jenis ini
berupaya untuk menemukan teori yang bisa digunakan untuk situasi yang

22

berbeda. Penelitian jenis ini berupaya untuk menemukan teori yang bisa
digunakan untuk situasi yang berbeda. Glaser dan Strauss merumuskan
empat karakter teori yang ditemukan melalui grounded research. Pertama,
teori itu harus sangat cocok dengan area substantif yang akan digunakan.
Kedua, teori harus mudah dimengerti oleh orang awam yang bersangkutan
dengan areanya. Ketiga, teori harus cukup berlaku umum untuk banyak
situasi sehari-hari yang beragam dalam area substantif, bukan hanya jenis
situasi tertentu. Keempat, teori harus memungkinkan bagi para pengguna
parsial untuk mengontrol struktur dan proses situasi sehari-hari saat mereka
berubah

sepanjang

waktu.29

Jadi,

penelitian

graounded

research

menemukan teori yang cocok, bisa dipahami, bisa digeneralisasi, serta bisa
menjadi kontrol.

3. Data Penelitian
Data penelitian ini terbagi dalam tiga bentuk. Pertama, data tentang
pelaku komodifikasi agama yang kebanyakan merupakan para pemuka
agama. Kedua, data tentang perbuatan komodifikasi agama yang disorot
melalui norma hukum agama dan norma legal. Ketiga, data mengenai
dampak dari komodifikasi agama, baik secara psikologis, sosiologis,
politis, maupun ekonomis. Data mengenai pemuka agama dan perbuatan
komodifikasinya merupakan data primer, karena data-data ini digali
langsung dari sumbernya. Sementara itu, data tentang dampak dari
29

Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss, The Discovery of Grounded Research: Strategies for
Qualitative Research (New Jersey: Aldine Transaction, 2006), 237.

23

komodifikasi merupakan data sekunder yang telah diolah dari sumber
primer.
Data pelaku komodifikasi agama terkait dengan jati diri dan tatanan
sosial yang melingkupinya, antara lain: obsesi, emosi, motivasi, naluri,
kompetensi, edukasi, eksistensi dan posisi, citra diri, reputasi, prestasi dan
prestise, pekerjaan dan jabatan, kekayaan, keluarga, status dan peranannya,
keinginan

dan

kebutuhannya,

relasi

dan

mitranya,

modal

dan

keuntungannya, harapan dan kepuasan, pengetahuan dan pengalaman,
kepemimpinan dan kepengikutan, serta penghargaan dan ujiannya. Data
perbuatan komodifikasi berkenaan dengan hal-hal berikut ini, yaitu
investasi, produksi, pengemasan, penentuan harga, promosi, segmentasi,
penentuan lokasi, distribusi, penentuan strategi, mobilisasi, jalinan relasi,
komunikasi, transparansi, kalkulasi, pelayanan, dan pertahanan pelanggan.
Data dampak dari komodifikasi agama dapat diuraikan sebagai berikut,
yaitu skala dampak, sifat dampak, dampak personal, dampak institusional,
dampak relasional, dampak finansial, dampak kultural, dampak moral, dan
dampak material.

4. Sumber Data
Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini terbagi
dalam dua macam, yaitu pelaku komodifikasi agama dan penegak hukum
kasus yang terkait dengan komodifikasi agama. Informan pelaku
komodifikasi agama juga terbagi dalam tiga macam. Pertama, pelaku

24

komodifikasi agama yang tersangkut kasus delik pidana maupun perdata.
Dari informan ini, data-data proses komodifikasi lebih lengkap, karena ia
mengalami masa kesuksesan, keruntuhan, hingga pemidanaan. Kedua,
informan pelaku komodifikasi agama yang tidak tersangkut hukum, tetapi
ia tercela secara moral. Sanksi sosial ini dijatuhkan oleh masyarakat, baik
sebagai korban maupun bukan korban. Ketiga, informan pelaku
komodifikasi agama yang berhasil mengolah bisnis secara komitmen,
meskipun ia menjadikan simbol-simbol agama sebagai komoditas sekaligus
strategi bisnis. Sementara itu, informan penegak hukum ditujukan untuk
data-data yuridis yang terkait komodifikasi agama. Penegak hukum ini
adalah polisi, jaksa, dan hakim.

5. Teknik Pengumpulan Data
Data-data di atas dikumpulkan dari sumbernya dengan tiga teknik
pengumpulan data. Pertama, wawancara terstruktur dan mendalam, yakni
upaya pendalaman data dengan diskusi sesuai dengan pertanyaan yang
telah disiapkan. Wawancara ini dilakukan secara berulangkali. Hasil
wawancara pun dikonfirmasi untuk memperoleh validitas data. Kedua,
pengamatan non partisipan, yakni upaya melihat situasi dan kondisi secara
seksama dan penuh teliti tanpa terlibat dalam kegiatan. Pengamatan ini
dilakukan secara berulangkali untuk mendapatkan konsistensi dan
perubahan data. Ketiga, dokumentasi, yakni upaya memotret data-data

25

tertulis sekaligus meminta penjelasan atas makna data tertulis tersebut.
Sumber data dokumentasi beserta keterangan waktu juga ditanyakan.

6. Teknik Analisa Data
Karena penelitian ini merupakan grounded reseacrh, maka teknik
analisa datanya terfokus pada pengkodean. Budiasih menulis,
“Ada beberapa cara untuk melakukan pengkodean, yaitu: 1)
pengkodean terbuka, 2) pengkodean terporos, dan 3) pengkodean
terpilih. Pengkodean terbuka terdiri atas beberapa langkah, yaitu: a)
melakukan pelabelan fenomena, yaitu pemberian nama terhadap
benda dan kejadian yang diperoleh melalui pengamatan atau
wawancara; b) menemukan dan pemberian nama katagori
menggunakan istilah yang dipakai oleh subjek yang diteliti; dan c)
menyusun katagori berdasarkan pada sifat dan ukurannya. Sifat
katagori berdasarkan pada karakteristik atau atribut suatu katagori,
sedangkan ukuran katagori berarti posisi dari sifat katogori tersebut.
Pengkodean terporos merupakan sekumpulan prosedur penempatan
data kembali dengan cara-cara baru dengan membuat hubungan
antar katagori. Sedangkan pengkodean terpilih dilakukan dengan
beberapa tahapan yaitu: a) mengulang kembali susunan data ke
dalam pokok pikiran, b) mengidentifikasi data dengan menuliskan
inti dari data yang ada, c) menyimpulkan dan memberikan kode
pada katagori inti yang merupakan inti masalah yang mencakup

26

semua data atau fenomena yang ada; dan d) menentukan pilihan
kategori inti yang merupakan penemuan tema pokok dari riset
tersebut”.30

Hasil pengkodean di atas diberi makna. Peneliti mendiskusi datadata yang telah diberi kode di lapangan hingga ia benar-benar
memahaminya. Diskusi juga dilakukan dengan perbandingan hasil
penelitian maupun konsep-konsep yang serupa. Hasil pemahaman ini untuk
menemukan teori yang spesifik, bukan teori yang dihasilkan dari
generalisasi. Tahapan terakhir adalah penyusunan bangunan teori secara
naratif.

J. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan, penelitian ini terbagi dalam tujuh bab. Masingmasing bab tersusun secara sistematis. Mula-mula, penelitian ini mengajukan
masalah penelitian. Dari masalah ini, paradigma dan pondasi teori diajukan.
Berangkat dari teori ini, metode pengumpulan data hingga analisisnya bisa
ditemukan. Akhirnya, hasil penelitian sekaligus analisis datanya dikemukakan
dalam tiga bab berikutnya. Sebelum penutup, penelitian ini mengemukakan
bab tersendiri untuk mempertajam teori yang ditemukan.
Dalam bab pendahuluan, fokus pada perbuatan komodifikasi agama
ditonjolkan. Fokus ini menjadi titik sentral kajian yang melacak studi-studi
30

I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, “Metode Grounded Theory dalam Riset Kualitatif”, Jurnal
Ilmiah Akuntansi dan Bisnis (Vol. 9 No. 1 Tahun 2014), 19-26.

27

terdahulu untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini. Dari fokus ini pula,
tiga masalah penelitian dapat dimunculkan. Tiga masalah ini tidak muncul
begitu saja, namun ia memiliki latar belakang mengenai alasan pentingnya
memunculkan masalah tersebut. Dari masalah pula, tujuan penelitian ini dapat
dirumuskan. Dengan demikian, bab pertama ini merupakan pengantar singkat
tentang kandungan penelitian ini secara global.
Bab selanjutnya adalah penjelasan tentang paradigma perilaku sosial
yang dijadikan pijakan bagi teori pertukaran, strukturasi, dan utilitarianisme.
Ketiga teori ini dijelaskan hingga konsep bangunan masalah penelitian dapat
tergambarkan dengan baik. Bangunan ini diperlukan untuk pencarian dan
pengembangan data penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, teori merupakan
jembatan antara masalah dan data. Koherensi data dengan masalah tergantung
pada teori yang dibangun.
Data penelitian dianggap penting, karena ia merupakan jawaban atas
suatu masalah yang telah dirumuskan. Gambaran tentang data ini dikemukakan
dalam bab ketiga. Bab ini membingkai metode penelitian, yakni suatu cara
penentuan, perolehan, pengolahan, dan analisa data. Selain itu, bab ini juga
menjelaskan jenis dan pendekatan penelitian ini, agar arah dan bentuk
penelitian ini dapat dipahami. Pengenalan model penelitian sebelum diskripsi
datanya dimaksudkan, agar data mengikuti bentuk dan arah penelitiannya.
Data-data di lapangan digali dan diklasifikasikan berdasarkan rumusan
masalahnya. Karena penelitian ini memiliki tiga rumusan masalah, maka datadata diklasifikasikan dalam tiga bentuk. Pertama, data tentang bentuk

28

komodifikasi agama. Penggalian data ini lebih banyak pada para pemuka
agama. Hasilnya dianalisis secara langsung, bahkan temuan lapangan
diupayakan untuk muncul. Tentu saja, kemunculannya telah melalui dialog
yang panjang antara teori dan lapangan.
Kedua, data tentang delik yang terkait dengan komodifikasi agama
digali, ditemukan, diolah, dan dianalisis. Sumber data ini banyak diperoleh dari
lembaga penegak hukum. Karena itu, bab ini dipersempit pada perbuatan yang
melawan hukum. Artinya, perbuatan komodifikasi agama yang tidak terkait
dengan delik diabaikan. Pendalaman data ini dikemukakan dalam bab
tersendiri.
Ketiga, data mengenai dampak delik yang terkait dengan perbuatan
komodifikasi agama digali dari berbagai sumber: pelaku, penegak hukum, dan
korban. Data ini menggambarkan bentuk perbuatan komodifikasi agama yang
sesungguhnya, karena implikasi suatu perbuatan bisa menunjukkan hakekat
perbuatan tersebut. Selain itu, dampak suatu perbuatan dikonfirmasikan dengan
sanksi hukum yang diterima oleh terpidana. Keterkaitannya menjadi benang
merah dalam bab ini.
Penelitian ini berusaha untuk menggali temuan yang menarik.
Setidaknya, temuan ini menjadi postulat yang menerima pengujian kembali.
Konfirmasi teori dan data menjadi pembahasan dalam bab ini. Akhirnya, bab
ini membuat beberapa preposisi yang dijadikan wacana dialog akademik masa
depan.

29

Penelitian ini pun diakhiri dengan bab penutup. Bab ini berisi jawaban
singkat atas rumusan masalah yang dikemukakan dalam bab pertama. Karena
rumusan masalahnya ada tiga macam, maka jawabannya juga tiga macam.
Selain itu, bab ini juga memuat rekomendasi sesuai dengan signifikansi
penelitian. Dalam hal ini, rekomendasi mengandung dua arah, yaitu
rekomendasi praktis dan rekomendasi teoritis.
K. Bibliografi
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Budiasih, I Gusti Ayu Nyoman. “Metode Grounded Theory dalam Riset
Kualitatif”. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis. Vol. 9 No. 1 Tahun
2014.
Einstein, Mara. Brands of Faith: Marketing Religion in a Commercial Age.
New York Routledge, 2008.
Fakhruroji, Moh. “Komodifikasi Agama Sebagai Masalah Dakwah”. Jurnal
Ilmu Dakwah. Vol. 5 No. 16 Tahun 2010.
Fealy, Greg dan Sally White (ed). Expressing Islam: Religious Life and
Politics in Indonesia. Singapura: ISEAS, 2008.
Friedland, Roger “Institution, Practice, and Ontology: Toward Religious
Sosiology”, Research in Sociology of Organization. Vol. 27 tahun
2009.
Glaser, Barney G. dan Anselm L. Strauss. The Discovery of Grounded
Research: Strategies for Qualitative Research. New Jersey: Aldine
Transaction, 2006.
Goulding, Christina. “The Commodification of the Past, Post Modern Pastiche,
and the Search for Authentic Experiences at Contemporary Heritage
Attractions”. European Journal of Marketing. Vol. 34 No. 7 Tahun
2000.
Halimatussa’diyah, Iim. “The Religious Market in Contemporary Indonesia: A
Case Study of The eden-Salamullah Group”. Jurnal Studia Islamika
.Vol. 15 No. 1 Tahun 2008.
Hariyanto, Didik. “Komodifikasi Agama dalam Pelaksanaan Umrah di Jawa
Timur: Pemaknaan Jamaah Terhadap Komodifikasi Umrah di Jawa
Timur dalam Perspektif Teori Baudrillard, Disertasi. Surabaya:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 2018.

30

Hasanah, Riezqie. “Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership
Center”. Skripsi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2010.
Ibrahim, Idi Subandy dan Bachruddin Ali Akhmad. Komunikasi dan
Komodifikasi. Jakarta: Yayaysan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Khraim, Hamza. “Measuring Religiosity in Consumer Research From an
Islamic Perspective”. Journal of Economis and Administration Sciences
.Vol. 26. No. 12010.
Khusniati, Rofiah “Agama dan Bisnis: Studi Etos Kerja Pengusaha di
Kalangan Jamaah Tabligh Kabupaten Ponorogo”, Prosiding Seminar
Nasional dan Temu Ilmiah Jaringan Peneliti (Banyuwangi: IAI
Darussalam Blokagung, t.t.
-----------------------. “Agama dan Produktifitas Perempuan: Studi Perilaku
Bisnis Ibu-Ibu Muslimah Dusun Mayak Kelurahan Tonatan Ponorogo”.
Jurnal Kodifikasia. Vol. 10 No. 1 Tahun 2016.
Kittiarsa, Pattana (ed.). Religious Commodifications in Asia. New York:
Routledge, 2008.
Mawere, M. “The Business of Business is Business?”: The myth of Amoral
Business and Bbusiness Practices in Zimbabwe, Jounal of Social
Development of Africa. Vol. 25. No. 1 Tahun 2010.
McKenna, Richard J. “Explaining Amoral Decision Making: An External View
of a Human Disaster”. Journal of Business Ethics. Vol.15 tahun 1996.
Mirantika, Noni dan Saortua Marbun. “Pengaruh Modernisasi terhadap
Perkembangan Komodifikasi Mukena”. Jurnal Studi Kultural .Vol. I
No. 2 Tahun 2016.
Muthohar, Muchsin dan Amin Ramadhan Triatmaja. “Pengaruh Endorser
Ulama Terhadap Sikap Dan Minat Beli Konsumen: The Influence of
Islamic Preacher Toward The Attitude And Consumers Purchase
Intention”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi .Vol. 19, No. 1 tahun 2013.
Nugroho, Alois A. Dari Etika Bisnis ke Etika EkoBisnis. Jakarta: Gramedia,
2001.
Nurhasanah, Sulistiani. “Komodifikasi Agama Islam dalam Iklan Televisi
Nasional”. Skripsi. Yogyakarta: Prodi SKI Fakultas Adab dan Ilmu
Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2014.
Prasetya, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. Pengatar Filsafat Hukum. Bandung:
Mandar Maju, 2012.
Sairin, Sjafri Pujo Semedi, dan Bambang Hudayana. Pengantar Antropologi
Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

31

Sinha, Vineeta. Religion and Commodification: ‘Merchandizing’ Diasporic
Hinduism. New York: Routledge, 2011.
Spickard, James V. “Religion in Consumer Society: Brands, Consumers, and
Markets”. Journal of Contemporary Religion .Vol. 30 No. 1 tahun
2014.
Wirawan, I.B. Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi
Sosial, dan Perilaku Sosial. Jakarta: Prenada Media, 2015.

32

RIWAYAT HIDUP
Drs. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H. dilahirkan pada hari Selasa
tanggal 10 Maret 1969 di Dusun Glonggongan Desa Sumbertebu
Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto dari pasangan suamiistri, H. Ahmad Subhan (alm.) dan Hj. Siti Masyitoh. Anak pertama
dari lima saudara ini menempuh pendidikan dasarnya di kampung
kelahirannya, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Hidayatul Mubtadiin
Dusun Glonggongan dan lulus pada tahun 1982. Setelah itu, ia
melanjutkan pendidikannya di SMP dan lulus pada tahun 1985.
Selama sekolah di MI dan SMP ini, suami dari seorang istri Hj.
Malikha Rosyadi ini mengaji sebagai santri di pondok pesantren
Sirojut Tholibin yang diasuh oleh KH. Mahfud Zaini. Selama tiga tahun berikutnya
(1985-1988), ayah dari empat anak ini belajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Mojosari sekaligus mengaji di pondok pesantren Darul Hikmah Sawahan Mojosari yang
diasuh oleh KH. A. Qusyairi Mansyur (alm.). Setelah itu, ia merantau ke Surabaya untuk
mengikuti kursus Bahasa Arab di Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) Masjid
Agung Sunan Ampel Surabaya pada tahun 1988-1989. Selama itu pula, ia mengajar ngaji
secara privat dari rumah ke rumah, bahkan ia pernah mengajar di keluarga besar Bapak
Warsito Rasman, Wakil Gubernur Jawa Timur saat itu.
Pada tahun 1989, Cak Imron –demikian ia dipanggil- mendaftarkan kuliah di
Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya. (1989-1993). Ia pernah mendapatkan
beasiswa Supersemar,sehingga ia menjadi anggota Keluarga Mahasiswa Alumni Penerima
Beasiswa Supersemar (KMA-PBS). Selama kuliah, ia aktif di kegiatan organisasi intra
dan ekstra kampus, disamping ia aktif memberikan ceramah agama di beberapa daerah
Surabaya. Setelah ia lulus sebagai sarjana, Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si dan Prof. DR. H.
Moh. Ali Aziz, M.Ag memberikan kepercayaan kepadanya sebagai asisten dosen di
almamaternya. Selama dipercaya oleh Prof. Nur Syam, ia melakukan penelitian tentang
“Kehidupan Penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Jawa Timur yang berpusat
di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang”.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52