REVITALISASI PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAERAH

REVITALISASI PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH:

Bukan Dominasi Tetapi Sinergi
Angelina Ika Rahutami

DISAMPAIKAN DALAM
ORASI ILMIAH DIES NATALIS XXVII
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2009

Yang terhormat
Gubernur Jawa Tengah
Rektor dan para Wakil Rektor
Ketua, Anggota Senat dan Guru Besar Universitas Katolik Soegijapranata
Ketua dan Anggota Dewan Penyantun Universitas Katolik Soegijapranata
Ketua dan Pengurus Yayasan Sandjojo
Direktur Pasca Sarjana, Para Dekan Fakultas dan Ketua Lembaga
Segenap Sivitas Akademika
Para Undangan sekalian


Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Marilah kita panjatkan puji
syukur ke hadirat Tuhan atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada kita
untuk dapat bertemu di forum yang terhormat ini. Saya mengucapkan banyak
terima kasih kepada Rektor/Ketua Senat Universitas Katolik Soegijapranata yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengucapkan orasi ilmiah Dies
Natalis XXVII Universitas Katolik Soegijapranata. Dengan kerendahan hati
perkenankanlah saya menyampaikan orasi ilmiah dengan judul:
REVITALISASI PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH:
Bukan Dominasi Tetapi Sinergi

Hadirin yang terhormat,
Dua bulan terakhir ini, masyarakat Indonesia disibukkan dengan beberapa
perdebatan ekonomi. Perdebatan tersebut sebenarnya berbicara mengenai tataran
mainstream pemikiran ekonomi yang kemudian mengabur karena muatan nilai
politiknya menjadi semakin kuat. Meskipun saat ini perbedataan itu telah berakhir,
namun masih segar dalam ingatan istilah ekonomi Neolib dan ekonomi kerakyatan
yang menjadi begitu populer, namun kadang tidak diketahui makna terdalamnya.
Perdebatan antara satu mainstream pemikiran ekonomi dengan mashab yang lain,
perdebatan mengenai sektor mana yang harus lebih dominan dibandingkan sektor
yang lain merupakan hal yang telah terjadi sejak lama.

Dalam

kondisi perekonomian yang tidak dapat diprediksi, global dan

adanya tuntutan melakukan pembangunan dengan konsep inclusive growth dewasa

2

ini, sangatlah tidak bijaksana dan tidak strategis bila kita masih disibukkan dengan
hal-hal yang bersifat dominasi. Menurut saya, pembangunan ekonomi, tidak lagi
harus mengusung peran dominan dari satu pemikiran, satu sektor ekonomi, atau
pun satu pilar ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah satu proses yang sinergis,
proses yang akan menghadirkan keberpihakan pada seluruh potensi dan sumber
daya lokal yang ada.
Hadirin yang saya muliakan,
Globalisasi, Desentralisasi dan Inclusive Growth: Tantangan Baru Pembangunan
Dewasa ini, setidaknya terdapat tiga isu utama yang menarik yaitu globalisasi,
desentralisasi dan inclusive growth. Keduanya merupakan hal yang sangat sulit
dihindari, sehingga mau tidak mau kita harus masuk di dalamnya. Globalisasi
adalah suatu proses dimana sekat antar negara semakin tipis. Perpindahan tenaga

kerja, kapital, barang, jasa dan pengetahuan, berjalan dengan cepat, tanpa ada
hambatan. Apabila globalisasi dilakukan dan disikapi dengan kebijakan yang benar,
pada dasarnya globalisasi akan memberikan manfaat bagi perekonomian dan
kesejahteraan. Terjadinya globalisasi itu sendiri tidak boleh menyisakan berjuta
masalah di bawahnya termasuk kemiskinan. Kemiskinan dapat menghasilkan
ketidakstabilan, penyakit, perusakan sumber daya bersama dan lingkungan hidup.
Permasalahannya adalah, tidak semua negara siap menghadapi arus globalisasi ini.
Belum selesai dengan masalah bagaimana menghadapi globalisasi, hal kedua
yang memerlukan perhatian adalah desentralisais. Saat ini, sebagian besar negara
memilih melakukan desentralisasi sebagai tata kelola kepemerintahan karena
dipandang mampu memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat.
Perubahan ini dengan sendirinya juga mengalihkan atau membagi beban globalisasi
tidak saja berada di pundak pemerintah pusat, namun juga pemerintah Provinsi,
Kabupaten dan Kota. Setiap daerah harus meningkatkan daya saingnya, agar
mampu berkompetisi di tingkat nasional maupun internasional.

Hadirin yang saya hormati,
Isu berikutnya yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan adalah
isu inclusive growth atau pertumbuhan inklusif. Konsep pertumbuhan inklusif
muncul karena adanya kenyataan peningkatan ketidakmerataan pendapatan dan

faktor non-pendapatan. Secara sederhana pertumbuhan inklusif mengacu pada

3

pertumbuhan yang adil dan mengandung unsur kemerataan, keseimbangan dan
keadilan, termasuk pada kriteria yang intangible. Kebijakan pemerintah dewasa ini
tidak boleh hanya menjaga agar pertumbuhan tetap tinggi, namun harus pula
memasukkan unsur keseimbangan dan keadilan dalam pertumbuhan (World Bank,
2006). Karena pertumbuhan inklusif berhubungan dengan pendekatan redistributif,
maka kebijakan yang diambil seharusnya lebih menekankan pada strategi
pengurangan ketidakadilan dan ketidakmerataan secara efektif, dan membuatkan
akses atas kesempatan-kesempatan ekonomi.
Kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan inklusif adalah
koefisien Gini, tingkat melek huruf, dan distribusi barang publik – termasuk
pendidikan, kesehatan, listrik, air, infrastruktur transportasi, keamanan personal dan
lain-lain.

Ketidakseimbangan

berupa


lapangan

kerja

yang

terlalu

sedikit,

pertumbuhan sektor pertanian yang terlalu kecil, kesenjangan antar daerah,
ketertinggalan antar masyarakat merupakan hal-hal yang harus diperhitungkan.
Konsep pertumbuhan inklusif akan membuat pembangunan tersedia dan dapat
diakses oleh banyak pihak terutama kaum miskin, marjinal dan yang terpinggirkan
baik secara sosial maupun geografis. Pertumbuhan inklusif berarti pertumbuhan
yang tidak hanya menciptakan kesempatan, tetapi yang lebih penting lagi, menjamin
akses terhadap sumberdaya dan kesempatan tersebut secara adil.
Pertumbuhan inklusif memiliki dua jangkar strategi. Yang pertama adalah
upaya untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkelajutan agar tercipta

kesempatan kerja yang produktif dan manusiawi, dan yang kedua adalah pelibatan
masyarakat untuk menjamin akses atas kesempatan yang setara (McKinley, 2008).
Dua strategi utama ini dapat dilakukan bila pemerintah mampu mendisain
intervensi secara tepat dalam kondisi tata kelola pemerintahan yang kuat dan baik.
Bila

pertumbuhan

inklusif

dikaitkan

dengan

kecenderungan

tata

kelola


kepemerintahan yang bersifat desentralisasi, maka setiap daerah harus mampu
mendisain intervensi dan kebijakan secara tepat agar daerah tersebut tidak hanya
memiliki daya saing, namun juga memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan, serta menjamin unsur kemerataan dan keadilan bagi masyarakat.
Hadirin yang saya muliakan,
Ekonomi yang Berkeadilan dan Sinergi: Sebuah Jawaban

4

Bila mencermati tiga tantangan pembangunan ekonomi yang saya sampaikan
sebelumnya, maka formulasi dan implementasi strategi pembangunan ekonomi
pada tingkat regional menjadi penting. Target akhir yang berupa pertumbuhan yang
tinggi dan berkelajutan serta jaminan atas akses yang setara, membuat pengelolaan
ekonomi yang hanya bersandar total pada mekanisme pasar, dan dikerjakan oleh
sektor tertentu menjadi tidak memadai. Saya melihat ada dua ide besar yang dapat
digunakan dalam menjawab tantangan-tantangan di atas yaitu ekonomi yang
berkeadilan dan sinergi. Mengapa ekonomi yang berkeadilan? Dan mengapa harus
sinergi?
Ekonomi yang Berkeadilan
Indikator pertumbuhan inklusif berkaitan erat dengan konsep ekonomi

yang berkeadilan. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang akan
menghadirkan keberpihakan pada seluruh potensi dan sumber daya yang ada.
Keberpihakan pada seluruh potensi dan sumber daya mengandung arti bahwa
pembangunan ekonomi akan melibatkan semua pihak, dan memberikan
manfaat kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik bagi semua orang
secara adil. Hal ini sejalan dengan konsep ekonomi yang berkeadilan yang
mengarah pada tujuan akhir berupa peningkatan kesejahteraan bersarma.
Pemikiran-pemikiran ekonomi yang muncul selama ini berupaya
memasukkan unsur keadilan ekonomi dalam pola pemikirannya, meskipun
dengan tataran yang berbeda. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang muncul dari
pemahaman agama pun juga melihat bahwa keadilan ekonomi merupakan hal
yang tidak dapat diabaikan. Nota Pastoral yang dikeluarkan oleh Konferensi
Waligereja Indonesia pada tahun 2006, mengusung semangat Habitus Baru:
Ekonomi yang Berkeadilan, Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi,
merupakan salah satu upaya untuk membawa kehidupan ekonomi yang lebih
manusiawi di Indonesia. Keprihatinan yang dimunculkan adalah masalah
kebijakan yang cenderung tidak mengentaskan warga dari kemiskinan, namun
justru menciptakan ketergantungan yang semakin besar pada sumberdaya yang
bukan merupakan bagian dari kehidupan ekonomi rakyat biasa (KWI, 2006).
Keprihatinan juga muncul atas kenaikan jumlah pengangguran akibat

kemunduran kegiatan di sektor ekonomi riil dan digantikan dengan kegiatan di
sektor keuangan, serta rendahnya tingkat pendidikan.

Bertambahnya

pengangguran ini akan mendorong kenaikan kaum miskin yang dampak jangka

5

panjangnya akan tetap melekat pada kelompok yang paling lemah yaitu anakanak dan perempuan.
Nota pastoral (KWI, 2006) melihat buramnya kondisi sosial ekonomi
yang ditandai dengan kesenjangan yang tajam disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Komersialisasi yang semakin luas, dan penerapan mekanisme pasar 1 di
semua lini kehidupan.
2. Masalah kebijakan publik yang mengalami proses komersialisasi pada
pembuatan dan pelaksanaan berbagai kebijakan publik.
3. Ciri mendua globalisasi yang menyebabkan akses atas kesempatan lebih
ditentukan oleh tingkat daya beli.
Permasalahan-permasalahan tersebut seharusnya memicu munculnya
suatu kesadaran, bahwa menggantung diri secara penuh terhadap kekuatankekuatan eksternal, penerapan konsep pasar yang kebablasn, daen tidak adanya

solidaritas

dan

subsidiaritas

akan

cenderung

memperburuk

kualitas

kesejahteraan. Seharusnya ekonomi ditata dengan semangat kesejahteraan
bersama 2. Apabila konsep dan strategi ekonomi yang lalu dipandang tidak
mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara cepat, maka solusi yang
ditawarkan bukanlah menghilangkan sistem pasar dan menggantinya dengan
mashab pemikiran yang lain (karena ini sama saja memunculkan dominasi
baru). Bukan semacam itu yang harus dilakukan. Yang diperlukan adalah

revitalisasi

strategi

dengan

memasukkan

unsur-unsur

ekonomi

yang

berkeadilan yang selama ini sering dilupakan. Pencapaian kesejahteraan
bersama tidak dapat diserahkan pada proses otomatis mekanisme pasar, namun
butuh sinergi untuk mengintervensinya. Komunitas-komunitas warga perlu
bangkit untuk mengusahakan kesejahteraan mereka sendiri dan didukung oleh
pelaku usaha besar dan pemerintah dengan kebijakannya (KWI, 2006).

Hadirin yang berbahagia,
Sinergi Kebijakan
Seperti

yang

saya

ungkapkan

sebelumnya,

untuk

mencapai

kesejahteraan bersama dibutuhkan adanya sinergi. Sinergi ini tidak hanya
1

Mekanisme pasar bukan sesuatu yang buruk, namun ketika diterapkan tanpa terkecuali
maka akan cenderung menyingkirkan begitu banyak orang.
2
KWI melihat bahwa kembali ke asas bonum publicum (kesejahteraan bersama) merupakan
penutun utama cara bertindak dan berpikir ekonomi.

6

berada pada tataran kebijakan namun juga perlu sinergi pelaku pembangunan.
Sinergi atau koordinasi kebijakan merupakan diskusi yang tidak pernah selesai
dalam dunia akademis. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya baik di
negara maju maupun berkembang, pembuatan kebijakan ekonomi kerap
diwarnai oleh keinginan suatu institusi untuk mendominasi kebijakan dan
strategi. Perdebatan mengenai peran dominan dalam perekonomian dapat
dibedakan menjadi perdebatan sektor mana yang dominan dan perdebatan
pemikiran ekonomi apa yang digunakan untuk menentukan pola dan asumsi
ekonomi.
Perekonomian

dapat

dibedakan

menjadi

beberapa

sektor.

IMF

menggunakan model 4 pilar atau blok ekonomi yaitu blok riil, fiskal, eksternal
dan moneter. Beberapa pemikir ekonomi membuat pembedaan yang lebih
sederhana menjadi sektor fiskal dan sektor moneter. Pada sudut pandang yang
lain, misalnya dalam pembahasan mengenai Public Private Partnership, agen
ekonomi dibedakan menjadi pemerintah, bisnis dan masyarakat. Apa pun
bentuk pembedaannya, isu mengenai siapa yang seharusnya memegang kendali
ekonomi tetap saja bergulir.
Salah satu contoh dominasi kebijakan dapat dilihat pada interaksi antara
otoritas fiskal dan moneter. Sargent dan Wallace (1981) membedakan pola
pelaksanaan kebijakan dengan istilah kebijakan moneter dominan dan kebijakan
fiskal dominan 3. Kebijakan dikatakan kebijakan moneter dominan apabila
otoritas moneter bersifat aktif dalam menentukan stok uang nominal atau suku
bunga nominal, sehingga konsekuensinya adalah otoritas fiskal harus menerima
tujuan kebijakan moneter yang lebih menekankan pada stabilitas harga
(Liviatan, 2003; Thadden, 2004). Di sisi lain, kebijakan fiskal dominan ditandai
dengan kebijakan moneter yang bersifat subordinat terhadap kebijakan fiskal
dan dibebani pembiayaan defisit fiskal melalui pajak inflasi.
Dalam analisis tradisional, koordinasi atau interaksi antara kebijakan
moneter dan fiskal tidak menimbulkan masalah apabila dikontrol oleh pembuat
kebijakan yang sama. Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa otoritas
moneter dan fiskal dengan institusi yang berbeda (Bohn, 2002) jauh lebih banyak

3 Dalam

konteks yang sama, Aiyagari-Gertler (1985) membedakan menjadi Rejim Ricardian
dan Non-Ricardian, sedangkan Leeper (1991) menyebutnya dengan kebijakan moneter aktif
(fiskal pasif) dan kebijakan fiskal aktif (moneter pasif)

7

dibandingkan dengan negara yang memiliki otoritas moneter dan fiskal dalam
satu lembaga yang sama 4. Sehingga pengambilan kebijakan di salah satu blok
akan mempengaruhi kinerja blok yang lain. Dewasa ini isu kebijakan tidak lagi
hanya berkutat pada apakah moneter yang dominan atau fiskal yang dominan,
dan lebih beralih pada koordinasi antar kebijakan.
Bagaimana koordinasi kebijakan ini diterapkan pada tingkat daerah?
Tentu saja proporsi koordinasi yang terjadi berbeda dengan penetapan
kebijakan di tingkat nasional. Koordinasi antara sektor fiskal dan sektor eiil
dapat dilakukan dalam bentuk penguatan sektor riil melalui intermediasi
keuangan, dan penstabilan harga. Fungsi intermediasi keuangan dan stabilisasi
harga merupakan fungsi otoritas sektor moneter dalam hal ini Kantor Bank
Indonesia setempat. Selain koordinasi kebijakan lintas sektor, pemerintah
daerah tetap perlu melakukan koordinasi kebijakan lintas institusi. Hal ini
terutama untuk mensinkronkan kebijakan dan rencana kerja yang dibuat oleh
masing-masing SKPD.
Salah satu konsep sinergi kebijakan yang bisa digunakan adalah The
Policy Coherence Cycle (OECD, 2008). Konsep PCC terdiri dari (i) penetapan
dan pembuatan prioritas tujuan, (ii) koordinasi kebijakan dan implementasinya,
dan (iii) pengawasan, analisis dan pelaporan. Ketiga proses ini harus berjalan
secara berkesinambungan agar tujuan kebijakan dapat tercapai dengan optimal.
Koordinasi, koherensi kebijakan dan komitmen diperlukan untuk menjamin
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Tuozzo, 2004)

Penetapan dan prioritas
tujuan:
Blok yang dibangun:
komitmen politik dan
kebijakan

Pengawasan, analisis dan
pelaporan:
Blok yang dibangun: sistem
untuk pengawasan, analisis
dan pelaporan

Koordinasi kebijakan dan
penerapannya:
Blok yang dibangun:
mekanisme koordinasi
kebijakan

Di Indonesia, otoritas fiskal berbeda dengan otoritas moneter. Otoritas fiskal adalah
Departemen Keuangan, sedangkan otoritas moneter adalah Bank Indonesia (BI).

4

8

Sumber: OECD, 2008
Gambar 1. The Policy Coherence Cycle
Hadirin yang saya hormati,
Sinergi Pelaku Pembangunan
Sinergi kebijakan belumlah cukup untuk menjamin implementasi di
tingkat meso dan mikro akan berjalan baik. Maka sinergi antar pelaku
pembangunan sangat dibutuhkan. Keterlibatan masyarakat dan sektor swasta
menjadi hal penting seperti yang disebut dalam konsep Public Private Partnership
(PPP).
Pada dasarnya tidak ada definisi tunggal PPP. PPP secara luas berarti
kesepakatan kerjasama antara pemerintah

dan pihak swasta, dalam bentuk

pembiyaan, pembuatan disain, pengimplementasi dan pengoperasian fasilitas
dan jasa infrastruktur yang biasanya disediakan oleh pemerintah (DEA dan
ADB, 2006). PPP tidak berarti mengurangi tanggungjawab dan akuntabilias
pemerintah. Pemerintah tetap bertanggung jawab menyediakan fasilitas publik
dan jasa yang berkualitas. PPP juga diperlukan karena adanya keterbatasan
sumberdaya dan kapasitas pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah akan
bekerja sama dengan industri atau pelaku usaha besar untuk terlibat dalam
penyediaan fasilitas publik.
Selain industri besar, maka kemitraan ini juga dilakukan dengan UKM,
dengan tujuan yang berbeda. Dalam pengembangan dan penerapan kebijakan
pembangunan, UKM teridentifikasi sebagai mesin pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. United Nations Development Programme menyatakan bahwa
UKM merupakan kunci dalam pengurangan kemiskinan (Dervis, 2005). Usaha
kecil dipandang mampu menawarkan jalan baru bagi pembangunan baik di
negara sedang berkembang maupun negara maju (Onojaefe dan Leaning, 2007).

9

Pola kemitraan antara pemerintah dengan UKM pun berkembang
menjadi beberapa pola (Hunagi, 2007). Perkembangan terakhir dari pola PPP
dalam ekonomi daerah adalah memasukkan unsur universitas dalam sinergi
antara pemerintah dengan UKM. Keterlibatan universitas menjadi bagian
penting dalam mengakselerasi pembangunan.
PPP Klasik

PPP
Komunitas

PPP
Pemerintah
daerah

Pemerintah

UKM Klaster

UKM

Pemerintah

UKM
Pemerintah
daerah
Universitas

Sumber : Hunagi, 2007
Gambar 2. Pola Public Private Partnership

Selama ini universitas kadang terlupakan dalam proses pembangunan.
Keterlibatannya lebih bersifat spontan dan tidak by design. Setidaknya ada dua
hal utama yang bisa disumbangkan oleh universitas dalam pembangunan
daerah. Yang pertama adalah membantu melakukan transfer pengetahuan dan
teknologi, dan yang kedua adalah menyusun disain kebijakan yang melibatkan
asa nalar.
Salah satu bentuk keterlibatan universitas adalah memberikan
asistensi kewirausahaan mengenai pengembangan rencana bisnis dan juga
membuatkan jejaring ke investor yang potensial kepada UKM (Palmintera et. al.,
2005). Universitas juga dapat dijadikan atau pun menjadikan dirinya sebagai
pusat inovasi. Keberadaan pusat inovasi menjadi penting karena masyarakat
dan UKM biasanya mengalami hambatan inovasi. Universitas yang memiliki
budaya kewirausahaan diharapkan dapat menjadi kunci dalam proses transfer
teknologi.

10

Peran universitas yang kedua berkaitan dengan pemodelan asa nalar
(rational expectation). Dalam kondisi ekonomi yang semakin tidak dapat
diprediksi dan volatile, maka asa nalar merupakan hal yang penting. Asa nalar
pada dasarnya merupakan pengembangan dari asa adaptif (adaptive expectation).
Bila asa adaptif lebih banyak menggunakan nilai dari variabel masa lalu, atau
bersifat backward looking, sedangkan asa nalar bersifat forward looking (Holden
et.al 1985). Lalu apa keterkaitan asa adaptif dan asa nalar dalam pembuatan
kebijakan regional?
Selama

ini

terdapat

kecenderungan

SKPD

menyusun

rencana

pembangunan didasarkan pada asa adaptif yaitu dengan menggunakan
informasi historis yang dimiliki. Penggunaan asa adaptif dalam proses
perencanaan biasanya karena keterbatasan data dan pengetahuan. Hal ini
menyebabkan kesalahan di masa lalu akan terus berulang. Paradigma ini
seharusnya diubah. Penyusunan rencana pembangunan adalah sesuatu yang
perlu dilakukan oleh tim ahli dan tidak disusun dalam jangka waktu yang
sempit. Penyusunan rencana pembangunan membutuhkan pemodelan yang
melibatkan unsur asa nalar. Asa nalar dibentuk dengan menggunakan berbagai
informasi yang tersedia untuk meningkatkan akurasi prediksi. Bila dalam asa
nalar terjadi kesalahan yang sistematik, maka akan diatasi dengan belajar dari
kesalahan yang telah dilakukan. Di sinilah universitas dapat mengambil peran
untuk mentransfer pengetahuan mengenai pembentukan asa nalar dan
menerapkannya dalam model perencanaan pembangunan regional.
Hadirin yang saya hormati,
Jawa Tengah: Menjawab Tantangan melalui Sinergi
Setelah

kita

melihat

berbagai

konsep

pembangunan

daerah,

maka

sekaranglah saatnya kita melihat permasalahan yang terjadi di Jawa Tengah.
Identifikasi awal perlu dilakukan untuk menentukan sinergi yang tepat baik dari
sisi kebijakan maupun pelaku. Struktur perekonomian Jawa Tengah pada dasarnya
didominasi oleh tiga sektor utama yaitu pertanian, industri pengolahan dan
perdagangan, hotel dan restauran (PHR). Ketiga sektor ini dalam 2 tahun terakhir
memiliki pertumbuhan yang jauh lebih baik dibandingkan sektor-sektor lain dan
juga memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang baik. Pada kuartal
terakhir 2007, industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar 3,34 % terhadap

11

pertumbuhan ekonomi, sedangkan PHR sebesar 1,31%. Pada awal kuartal I tahun
2008, komposisi ini tidak banyak berubah. Namun ketika krisis finansial global
melanda maka industri pengolaha meruapak sektor yang paling terpukul. Beberapa
perusahaan terutama yang berorientasi ekspor mengalami kondisi yang buruk.
Kejadian ini menyebabkan kontribusi industri pengolahan semakin menurun.
Sebaliknya sektor pertanian, pada masa krisis justru menunjukakn pertumbuhan
yang baik, dan memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan. Angka
perkiraan pada kuartal IV-2008 dan kuartal I-2009 kontribusi sektor pertanian
terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 2,16% dan 2,06%.
Tabel 1. Kontribusi Terhadap Pertumbuhan PDRB Riil
(Dalam %)
Lapangan usaha

I-07

II-07

III-07

IV-07

I-08

II-08

III-08

IV-08*

I-09**

Pertanian

2,05

Pertambangan dan penggalian

0,09

1,59

0,30

-1,64

-0,78

1,25

1,42

2,16

2,06

0,10

0,07

0,03

0,02

0,02

0,06

0,06

Industri pengolahan

0,07

0,64

1,33

1,81

3,34

2,91

1,59

2,04

-0,80

-0,76

Listrik, gas dan air bersih

0,01

0,06

0,08

0,07

0,04

0,04

0,04

0,03

0,02

Bangunan

0,43

0,4

0,45

0,33

0,3

0,33

0,35

0,51

0,42

Perdagangan, hotel dan restauran

1,33

1,32

1,56

1,31

1,15

1,21

1,05

0,93

0,96

Pengangkutan dan komunikasi

0,40

0,43

0,34

0,42

0,35

0,33

0,48

0,35

0,36

Keuangan, persewaan dan jasa

0,07

0,18

0,28

0,44

0,40

0,30

0,25

0,19

0,38

Jasa-jasa

0,36

0,43

0,74

1,23

1,10

0,89

0,69

0,50

0,77

Sumber: Kajian Ekonomi Regional, Kantor Bank Indonesia Semarang
Keterangan : * angka sementara, ** angka sangat sementara proyeksi KBI semarang
Komposisi sektoral yang relatif stabil ini menunjukkan bahwa program dan
kebijakan pemerintah Jawa Tengah sebaiknya ditujukan pada pengembangan ketiga
sektor ini. Fokus kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah Jawa Tengah dengan
slogan Bali Ndesa Mbangun Desa, sedikit banyak mencerminkan bahwa sektor
pertanian akan menjadi fokus pengembangan perekonomian Jawa Tengah.
Strategi kebijakan ini akan berjalan dengan baik bila ada sinergi. Sinergi yang
terjadi antara kebijakan moneter dan fiskal pada tingat regional memang tidak
seperti koordinasi yang terjadi pada pemerintah pusat. Hal ini disebabkan karena
keputusan kebijakan beberapa instrumen moneter tidak mungkin diambil pada
tingkat regional (Kantor Bank Indonesia). Namun demikian, dengan melihat
struktur ekonomi dan juga inflasi, Kantor Bank Indonesia dan pemerintah Provinsi
Jawa Tengah

tetap dapat melakukan beberapa sinergi. Koordinasi yang dapat

dilakukan adalah dukungan terhadap pergerakan sektor riil.
Tabel 2. Pertumbuhan PDRB Jateng Menurut Jenis Penggunaan
(Yoy, %)

12

Penggunaan
Konsumsi rumah tangga

Makanan

Non makanan
Konsumsi pemerintah
PMTB
Ekspor
Impor
PDRB

I-07

II-07

III-07

IV-07

I-08

II-08

III-08

4,53
1,91
8,54
6,69
5,86
2,59
0,65
5,37

5,05
2,31
9,25
8,84
5,71
1,03
-6,53
5,86

5,63
3,28
9,18
13,48
5,56
6,26
16,75
5,63

5,29
2,92
8,74
19,83
5,56
22,25
13,31
5,51

5,13
2,37
9,11
14,71
6,18
2,6
16,06
5,49

5,11
2,37
9,02
9,32
6,14
-5,75
-6,28
5,96

6,51
2,97
11,54
8,88
7,16
1,52
-12,51
6,39

IV-08*
4,95
2,77
7,96
8,23
7,24
2,31
13,03
3,94

I-09**
4,92
2,31
8,44
7,86
5,34
-8,81
-10,96
4,29

Sumber: Kajian Ekonomi Regional, Kantor Bank Indonesia Semarang
Keterangan : * angka sementara, ** angka sangat sementara proyeksi KBI semarang
Mengapa

sektor

moneter

perlu

berkoordinasi

untuk

mendorong

pertumbuhan sektor riil? Bila diamati data jenis penggunaan PDRB riil di Jawa
Tengah, maka terlihat dengan jelas bahwa konsumsi pemerintah memiliki
pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan konsumsi rumah tangga, investasi,
ekspor dan impor. Pengeluaran pemerintah terutama untuk pembangunan
memanglah hal yang baik, namun perekonomian akan menjadi rapuh bila hanya
tergantung pada peran pemerintah. Dalam pembangunan dibutuhkan kombinasi
antara pengeluaran pemerintah dan investasi, agar sektor riil dapat berjalan dengan
baik. Krisis finansial rupanya turut menyurutkan nilai investasi yang masuk ke Jawa
Tengah. Dalam kondisi ini untuk menggerakkan sektor riil, maka perlu peran
perbankan lebih banyak.
Peran perbankan yang terbesar dalam menggerakkan sektor riil adalah
intermediasi keuangan kepada investor dan menjaga stabilitas harga. Tantangan
yang dihadapi dalam intermediasi keuangan ada dua yaitu pemberian kredit
sektoral dan kredit untuk UKM. Data penyaluran kredit modal kerja per sektor
ekonomi menunjukkan peningkatan dari kuartal IV-2007 sampai ke kuartal I-2009.
Permasalahannya terletak pada sektor yang paling banyak memanfaatkan kredit
modal kerja. Terlihat bahwa PHR merupakan sektor yang paling banyak mendapat
kredit (kuartal I-2009 mencapai Rp 21.388 milyar). Sektor lain adalah sektor industri
pengolahan sebesar Rp13.736 milyar pada kuartal I-2009. Sektor pertanian yang akan
menjadi fokus strategi Jawa Tengah nampaknya justru belum memiliki proporsi
kredit modal kerja yang memadai, bahkan pada kuartal I-2009 mengalami
penurunan sebesar -1,19%. Hal ini tentunya membutuhkan perhatian dan koordinasi
antara pemerintah provinsi Jawa Tengah dan Kantor Bank Indonesia Semarang,
agar penyaluran kredit bisa berada dalam skema yang sesuai dengan fokus
pemerintah.

13

25,000.00

20,000.00

19,580.00

Rp Milyar

17,186.00

20,413.00

12,889.00
8,439.00

21,388.00

13,749.00

13,736.00

17,765.00

15,000.00

10,000.00

21,230.00

9,499.00

10,750.00

5,000.00

0.00

2,002.00
1,969.00
1,952.00
1,864.00
78.00
44.00
31.00
41.00
IV-07
I-08
II-08
III-08
IV-08
pertanian

pertambangan

industri

listrik, gas dan air

konstruksi

PHR

pengangkutan

jasa dunia usaha

jasa sosial masyarakat

lainnya

2,032.00
81.00
I-09

Sumber: LBU Bank Indonesia
Gambar 3. Penyaluran Kredit Modal Kerja per Sektor Ekonomi
(Rp Milyar)
Peran berikutnya yang dapat diambil dalam bentuk koordinasi antara sektor
moneter dan fiskal adalah stabilisasi harga. Inflasi di Jawa Tengah bergerak cukup
fluktuatif terutama pada masa dimana terdapat shock ekonomi baik berupa kenaikan
harga minyak maupun kondisi krisis. Inflasi year on year

tertinggi terjadi pada

kuartal IV-2005 sebesar 15,13%. Melalui kebijakan yang tepat inflasi ini pada ditekan
sehingga pada awal 2007 mengalami penurunan sehingga inflasi sebesar 6,72%.
Harga kembali mengalami kenaikan pada periode-periode berikutnya akibat imbas
dari adanya krisis finansial global. Pada kuartal III-2008 inflasi mencapai 10,21%
namun berhasil ditekan sehingga pada kuartal I-2009 turun menjadi 6,94%.

14

16.00
15.13
14.32

14.00

13.25
12.00
10.21

%

10.00
8.50

8.00

6.98
6.00

6.00

9.01

8.96
6.44

6.94

6.72
5.73
5.08

4.00
3.96
2.00

2009.1

2008.3

2008.1

2007.3

2007.1

2006.3

2006.1

2005.3

2005.1

2004.3

2004.1

2003.3

2003.1

0.00

Sumber: Kantor Bank Indonesia Semarang
Gambar 4. Inflasi Jawa Tengah (year on year, dalam %)
Tantangan pengendalian harga tidak hanya berhenti pada stabilitas harga
saja. Secara teoritis inflasi dapat dibedakan menjadi demand side inflation dan supply
side inflation. Kebijakan moneter lebih leluasa menstabilkan harga bila inflasi berasal
dari sisi permintaan. Masalahnya akan menjadi sulit bila inflasi lebih banyak berasal
dari sisi penawaran, karena sisi penawaran lebih banyak terkait dengan sektor riil
dibandingkan dengan sektor moneter. Bila diperhatikan lebih lanjut berdasarkan
sumber inflasi, maka terlihat bahwa kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan
bakar merupakan penyumbang inflasi terbesar. Kelompok kedua dan ketiga yang
menyumbang terjadinya inflasi terbesar adalah makanan jadi dan bahan makanan.
Kelompok-kelompok ini merupakan inflasi yang berasal diluar core inflation yang
dapat dikelola oleh otoritas moneter. Berdasarkan fenomena ini, maka koordinasi
antara pemerintah dan Kantor Bank Indonesia Semarang menjadi sangat penting 5.
Apalagi dewasa ini masyarakat mulai memiliki informasi yang lengkap yang
memungkinkan terbentuknya asa nalar, yang akan mempengaruhi pembentukan
inflasi itu sendiri.
Tabel 3. Inflasi Berdasarkan Kelompok Barang
(Year On Year, Dalam %)
Jenis

II-08

III-08

IV-08

I-09

II-09*

Langkah bagus yang dilakukan oleh KBI Semarang adalah adanya koordinasi tindakan
ketika mengumumkan tingkat inflasi di Jawa Tengah per periode.

5

15

Umum
Bahan makanan
Makanan jadi, minuman, rokok
tembakau
Perumahan, air, listrik, gas, bahan
bakar
Sandang
Kesehatan
Pendidikan, rekreasi, olahraga
Transpor, komunikasi, jasa keuangan

9,01
17,33

10,21
16,71

9,55
12,91

6,94
7,76

5,0-6,0
8,0-9,0

9,74

13,17

12,90

9,22

9,0-10,0

9,73
9,13
6,40
8,54
11,2

12,77
8,78
6,13
4,44
11,92

13,46
7,06
7,68
4,93
7,14

12,17
7,08
6,97
4,99
1,92

11-0,12,0
7,0-8,0
6,0-7,0
5,0-6,0
1,0-2,0

Sumber: BPS data diolah, dan KBI semarang
Keterangan : * angka sementara
Hadirin yang saya muliakan,
Seperti dikemukakan dalam catatan mengenai pertubumbuhan inklusif,
globalisasi dan pembangunan tidak boleh menyisakan masalah bagi kaum miskin
dan marjinal. Kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah yang lekat dalam
pembangunan. Pemerintah provinsi Jawa Tengah telah berusaha dengan berbagai
strategi untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Jawa Tengah. Bila
dilihat secara data, kemiskinan dari tahun 2003 sampai dengan 2006 memanglah
mengalami penurunan. Bila pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin adalah
6.980.000 orang maka pada tahun 2007 “tinggal” 6.627.200 orang. Yang menjadi
masalah apakah penurunan ini cukup signifikan dalam 4 tahun? Tentunya perlu
upaya yang lebih besar agar penurunan bisa lebih besar dari 4,69%.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Miskin dan Pengangguran di Jawa Tengah
2003-2007

Tahun
2003
2004
2005

Penduduk Miskin
Prosentase
Jumlah
(%)
6.980.000
21,78
6.843.800
21,11
6.533.500
20,49

Penganggur
Prosentase
Jumlah
(%)
912.513
5,66
1.299.220
7,72
1.446.404
8,51

2006

7.100.600

22,19

1.356.909

8,20

2007

6.667.200

20,43

1.360.219

7,77

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah
Hal yang berkebalikan terjadi dengan pengangguran. Dari data terlibat
bahwa pengangguran masih relatif tinggi di Jawa Tengah, dan memiliki
kecenderungan bertambah. Apakah krisis ekonomi dapat dijadikan satu-satunya
alasan untuk membenarkan naiknya pengangguran? Rasanya tidak. Krisis memang
akan mendorong penutupan berbagai industri, namun semangat yang seharusnya
lebih dipahami adalah lapangan pekerjaan tidak dapat digantungkan hanya pada

16

pemerintah. Budaya kewirausahaanlah yang seharusnya dipacu untuk mengatasi
masalah ini. Dan untuk menciptakan budaya kewirausahaan tentulah dibutuhkan
sinergi antara pemerintah, pihak swasta, masyarakat serta universitas. Sinergi inilah
yang diharapkan akan mengakselerasi tercapainya kehidupan yang lebih sejahtera,
baik, dan manusiawi.
Ukuran yang lain yang perlu diperhatikan adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), Indeks Pemberdayaan Gender
(IDG), Indeks Gini (IG) dan Indeks Williamson (IW). Menurut saya, indeks-indeks
ini mengukur kualitas pembangunan secara komprehensif. IPM yang diwakili oleh
angka melek huruf dan pengeluaran riil per kapita, dari tahun 2003 sampai 2007
menunjukkan perbaikan. Masyarakat Jawa Tengah yang masih buta huruf sebanyak
7,7%. Sedangkan pengeluaran per kapita mengalami kenaikan dari Rp 618.700
perbulan menjadi Rp 622.800. Meskipun pengeluaran per kapita ini mengalami
kenaikan, hal yang harus dicermati berikutnya adalah Upah Minimum Regional
Jawa Tengah. Bila selisih antara pengeluaran riil per kapita dengan UMR sedikit, hal
ini tetap menjadi masalah, karena tidak setiap orang bekerja, sehingga UMR tidak
hanya digunakan untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Tabel 5. Capaian IPM IPG, IDG, IG dan IW di Jawa Tengah
2003-2007

2003

Ang
ka
Mele
k
Huru
f
(%)
NA

2004

Tah
un

Pengelua
ran
Riil/Kapit
a (Rp)

Indeks Pembangunan
Gender (IPG)

Indeks
Pemberday
aan Gender
(IDG)

Inde
ks
Gini
(IG)

Indeks
Williams
on
(IW)

NA

58,9

56,2

0.25

0.70

86,7

618.700

59,8

56,5

0.25

0.72

2005

87,4

621.400

60,8

56,9

0.28

0.75

2006

88,2

621.700

63,7

59,3

0.27

0.73

2007

92,3

622.800

64,3

59,7

0.25

0.74

Sumber: Badan Pusat Stastistik
Keterangan : NA = not available
Masalah pengeluaran riil per kapita sebenarnya juga menunjukkan daya beli
masyarakat. Namun indikator daya beli saja sebenarnya tidak cukup. Kita masih
harus menengok lebih lanjut data mengenai Indeks Gini dan Indeks Williamson.
Indeks Gini yang semakin besar (mendekati 1) menunjukkan distribusi pendapatan
yang terjadi semakin tidak merata. Tahun 2003 Indeks Gini sebesar 0,25 dan

17

meningkat menjadi 0,28 pada tahun 2005, namun turun lagi menjadi 0,25 pada tahun
2007. Rasio IG Jawa Tengah termasuk kategori ketimpangan yang rendah, sehingga
dapat dikatakan bahwa distribusi pendapatan di Jawa Tengah relatif merata. Ukuran
ketimpangan yang lain adalah menggunakan Indeks Williamson (IW). IW mengukur
disparitas pembangunan akibat perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia
serta infrastruktur. Jika IW mendekati nol maka tingkat pemerataan di Jawa Tengah
baik, atau tidak terdapat ketimpangan antar kabupaten/kota. Angka IW di Jawa
Tengah berkisar pada nilai 0,7 menunjukkan bahwa Jawa Tengah mengalami
disparitas pendapatan antar kabupaten/kota yang tinggi. Hal ini tentunya
merupakan “PR” penting bagi pemerintah.
Tolok ukur lain dari pertumbuhan inklusif adalah adanya kesetaraan dan
keadilan, termasuk dalam hal gender. IPG berkaitan ketidaksetaraan antara
perempuan dan laki-laki dalam hal kesehatan, kemungkinan hidup, pengetahuan
dan standar hidup yang memadai. Sedangkan IDG ketidaksetaraan kesempatan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal partisipasi politik, pembuatan keputusan,
partisipasi dan pembuatan keputusan ekonomi. Nilai IPG tahun 2007 sebesar 64,3
dan IDG 59,7, serta indeksnya yang naik dari tahun-tahun sebelumnya menunjukkan
bahwa partisipasi perempuan dan kesempatan perempuan dalam pembangunan
membaik, meskipun masih tidak setara dengan laki-laki.

Hadirin yang saya muliakan,
Berdasar struktur ekonomi dan kondisi kualitas hidup Jawa Tengah maka
sinergi dan kebijakan ekonomi yang berkeadilan merupakan jalan keluar dan
akselerator menuju kehidupan yang lebih berkualitas. Ketidakseimbangan di
lapangan kerja, kemiskinan yang belum terselesaikan, kurangnya perhatian ke sektor
pertanian, kesenjangan yang belum menjadi lebih baik merupakan hal-hal yang
harus diperhitungkan. Bentuk sinergi dan kebijakan ekonomi yang berkeadilan yang
seperti apa yang dapat direvitalisasi di Jawa Tengah.
Sebagi penutup, saya ingin mengajukan beberapa hal yang perlu
direvitalisasi sebagai berikut:
1. Penyusunan rencana kegiatan, baik RPJM, maupun rencana jangka pendek
secara

lebih

komprehensif.

Pelibatan

seluruh

stakeholders

termasuk

Universitas perlu dilakukan secara berkesinambungan, terutama untuk
mengurangi kecenderungan melakukan perencanan dengan konsep business

18

as

usual.

Penggunaan

informasi

yang

lengkap

dan

kemampuan

menggunakan asa nalar menjadi sangat penting. Sesuai dengan mekanisme
pasar, maka kemampuan suatu daerah untuk berkompetisi di pasar global
menjadi sangat penting.
2. Pengoptimalan sumberdaya lokal. Rencana pembangunan bukan merupakan
suatu proses “latah” namun harus didasarkan pada core-comptence agar
terdeferensiasi dari daerah lain. Core-competence ini harus didasarkan pada
potensi lokal yang dimiliki oleh Jawa Tengah.
3. Penguatan sektor keuangan. Kebutuhan investasi dan ketidakmampuan
mengakses dana merupakan isu penting. Selain perbankan yang akan
bergerak untuk masalah intermediasi keuangan, maka sinergi PPP dapat pula
digunakan,

karena

merupakan

skema

alternatif

dan

efektif

untuk

memobilisasi sumber keuangan tambahan dan merupakan keuntungan dari
efisiensi sektor swasta (European Commission, 2003). Salah satu bentuk yang
dapat digagas adalah Private Finance Initiative (PFI) untuk menggabungkan
usaha dan melakukan pencarian dana dari luar sistem untuk membantu
UKM yang membutuhkan.
4. Pembuatan Regional Innovation System (RIS). RIS bertujuan untuk mendukung
penciptaan atau penguatan sistem inovasi sistem untuk meningkatkan daya
saing daerah. Inovasi harus dipahami tidak hanya terbatas hanya teknologi,
tapi juga mencakup seluruh sistem ekonomi regional yang relevan seperti
edukasi dan pelatihan, pemasaran dan juga pembuatan kebijakan.
Pembuatan RIS akan banyak melibatkan universitas dan sektor swasta
didalamnya. Hal yang perlu diperhatikan dalam RIS yang (i) terintegrasi dan
multidisiplin, (ii) berorientasi pada kegiatan, (iii) membangun jejaring antar
daerah dan benchmarking atas kebijakan dan metode, (iv) strategi bersifat
dinamik dan selalu melalukan evaluasi.
5. Revitalisasi pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan merupakan kunci
untuk meningkatkan keadilan dalam memperoleh kesempatan (World Bank,
2006). Pemberdayaan ini jauh lebih baik dibandingkan jaring pengaman
sosial yang sudah dibuat oleh pemerintah.

Pemberdayaan tidak hanya

berusaha memproteksi masyarakat dari pasar tetapi lebih merupakan
kebijakan dan aktivitas sektor publik yang memberikan fasilitas bagi

19

masyarakat untuk dapat sukses di pasar. Untuk memberdayakan masyarakat
pastilah dibutuhkan sinergi antara pemerintah, swasta dan universitas.
6. Revitalisasi kesempatan kerja untuk kaum miskin. Dengan menggunakan
konsep ekonomi yang berkeadilan, maka kaum miskin dan marjinal pun
harus memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan. Strategi appropriate
technology dan

empowerment

saja tidaklah cukup. Mengapa demikian?

Strategi teknologi sederhana cenderung menciptakan kondisi

small is

beautiful yang pada akhirnya tidak mampu mengatasi masalah secara
berkelanjutan, sedangkan empowerment kadang juga tidak berhasil karena
lebih didasarkan pada sumberdaya pribadi yang partisipatif dan melalui
proses pembelajaran yang mungkin membutuhkan waktu lama. Jadi
solusinya jangan hanya memberikan teknologi sederhana yang tidak disertai
dengan kemungkinan pengembangannya, dan jangan membiarkan kaum
miskin tersebut memberdayakan dirinya sendiri tanpa pendampingan.
Kembali dalam hal ini sinergi dibutuhkan.
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa revitalisasi pembangunan di Jawa
Tengah merupakan tanggung jawab kita bersama, merupakan sinergi dari seluruh
pihak, dan menggunakan konsep ekonomi yang berkeadilan.
Demikian orasi ilmiah yang dapat saya sampaikan dalam Dies Natalis Ke- 27
Universitas Katolik Soegijapranata. Semoga catatan ilmiah sederhana ini, dapat
mengisi ceruk pemahaman dan pengetahuan, serta memberikan semangat untuk
senantiasa bersedia berkontribusi bagi pembangunan Jawa Tengah. Atas perhatian
dan kesabaran Ibu, Bapak dan Saudara sekalian, saya ucapkan terimakasih.

20

Bibliography

_________ (2003), Guidelines For Successful Public – Private – Partnerships, European
Commission Directorate-General Regional Policy, January 2003, P1-102
_________ (2006), Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan, Keadilan bagi Semua:
Pendekatan Sosio-Ekonomi, Konferensi Waligereja Indonesia
__________, Badan Pusat Statistik
__________ (2008), Policy Coherence for Development–Lessons Learned, OECD
Policy Brief.
___________, Kebijakan Ekonomi Regional, Bank Indonesia
__________ (2006), Inclusive Growth and Service delivery: Building on India’s
Success, Development Policy Review Report No. 34580-IN, World Bank, May 29: 1215
___________(2006), Facilitating Public–Private Partnership for Accelerated
Infrastructure Development in India, Department of Economic Affairs (DEA)
Ministry of Finance, Government of India and Asian Development Bank (ADB)
Workshop Report, December
Aiyagari, S. Rao, dan Mark Gertler (1985), “The Backing of Government Bonds and
Monetarism,” Journal of Monetary Economics 16: 19–44, July
Dorward, Andrew, Jonathan Kydd, Jamie Morrison and Colin Poulton (2005),
“Institutions, Markets and Economic Co-ordination: Linking Development
Policy to Theory and Praxis”, Development and Change 36(1): 1–25
Holden, K., D.A.Peel, dan J.L.Thompsons (1985), Expectations: Theory and Evidence,
St.Matin’s Press, New York.
Hunagi (2007), Public-Private Partnerships for Spatial Data Infrastructures in the context
of E-Government, December
Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria Under ‘Active’ And ‘Passive’ Monetary And Fiscal
Policies”, Journal Of Monetary Economics, 27: 129-147
Liviatan, Nissan (2003), “Fiscal Dominance and Monetary Dominance in the Israeli
Monetary Experience”, Bank of Israel Discussion Paper, 17, November.
McKinley, Terry (2008),
“How Inclusive is ‘Inclusive Growth’?” Centre for
Development Policy and Research, SOAS development viewpoint, No. 6 , June
Onojaefe, Darlington, and Marcus Leaning (2007), “Issues in Informing Science And
Information Technology Volume 4, 2007 , The Importance of Partnerships: The
Relationship Between Small Businesses, ICT and Local Communities”, OECD,
Policy Brief December 29008
Palmintera, Diane, Robert Hodgson, Louis Tornatzky, Consultant and Echo
XiaoXiang Lin (2005), Accelerating Economic Development Through
University Technology Transfer, Working Paper
Thadden, Leopold von (2004), “Active monetary policy, passive fiscal policy and the
value of public debt: Some further monetarist arithmetic”,
Journal of
Macroeconomics 26:223–251.
Tuozzo, María Fernanda (2004), “Perspectives on Cross-Scale Policy Coordination
and Policy Integration in Asia Moving Towards Regional Models of
Sustainable Development Governance?”, UNU-IAS Working Paper No. 127
December :1-34

21

Curriculum Vitae
Nama
Tempat/tanggal lahir
Alamat
Pekerjaan
Alamat Kantor
Telepon/email
Bidang keahlian

: Angelina Ika Rahutami
: Jogjakarta / 22 Februari 1968
: Jl. Mawar II/10 Taman Bukit Hijau, Semarang 50222
: Dosen Fakultas Ekonomi,
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
: Jl. Pawiyatan Luhur IV No.1. Bendan Dhuwur, Semarang
: +628156511363 / a_rahutami@yahoo.com
: Ekonomi makro, Ekonomi Moneter dan Perdagangan Internasional

PENDIDIKAN
• 2003 – 2007, Program Doktoral, Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Konsentrasi
Ekonomi Moneter dan Internasional
• 1993 – 1995, Magister Sain Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
• 1986 – 1991, S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

PENELITIAN (7 tahun terakhir)
1. 2009, “Penerapan Media Informasi Pemasaran Daerah Terhadap Keputusan Berinvestasi :
Studi Eksperimental Iklan Pemasaran Daerah”, Hibah Bersaing, Dikti, (on going
research), Ketua
2. 2008-2009, “The Trend of Trade, Foreign Direct Investment and Monetary Flows in East
Asia, and its Policy Implications” Center of Asia Pacifics Studies, Gadjah Mada
University, funding by Japan, research For The Asean+3 Research Group, Anggota tim
ahli
3. 2008, “Impact Of Foreign Investment Incentives On The Environment: A Case Study Of
The Chemical Industry In Indonesia”, Penelitian CAPS UGM funding by Trade
Knowledge Network – Southeast Asia, Anggota tim ahli
4. 2008, “APEC Individual Action Plan Peer Review for Singapore”, Penelitian kerjasama
CAPS UGM – APEC, Anggota tim ahli
5. 2008, “Survey Efektivitas Bantuan Langsung Tunai Di Kota Semarang”, penelitian Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Manajemen dan Bank Indonesia Semarang, Ketua
6. 2007, “Interaksi Sektor Moneter Dan Fiskal Di Indonesia Tahun 1980.1-2006.4:
Pendekatan Sistem Ekonomi Simultan”, Disertasi (tidak dipublikasikan)
7. 2007, “ Analisis Potensi Ekonomi Regional dan Potensi Ekonomi Regional”, Penelitian
CAPS UGM – Astra Company, Anggota
8. 2006, “Aspek Persaingan Usaha terhadap Kerjasama AANZ-FTA”, Penelitian kerjasama
KPPU and CAPS UGM, Anggota
9. 2006, “Dampak kebijakan Moneter terhadap Interaksi Pasar Barang dan Pasar uang di
Indonesia”, Penelitian kerjasama Bank Indonesia dengan PSEKP UGM
10. 2006, “Pelayanan Birokrasi Perizinan Usaha di Kabupaten Bantul”, KPPOD
11. 2003, Perkembangan Teknologi Industri Manufaktur Indonesia : Keberadaan Penanaman
Modal Asing Dan Fenomena Pollution Havens
12. 2002, “Kajian Tingkat Investasi di Kabupaten Kendal”, Penelitian Kerjasama P3M Unika
Soegijapranata dengan KPPOD dan The Asia Foundation
13. 2002, “Survey Kebutuhan Pecahan dan Jenis Uang Rupiah”, Penelitian kerjasama P3M
Unika Soegijapranata dengan BI Semarang
Kedudukan: Anggota tim ahli
Diskripsi tugas: Pembuatan proposal, Survey lapangan, mengumpulkan dan
menganalisis data, menyusun laporan, dan presentasi laporan
14. 2002, Studi Identifikasi Kinerja Dan Perilaku Kewirausahaan Industri Kecil Menengah di Kabupaten
Wonogiri, P3M Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata

22

PUBLIKASI (7 tahun terakhir)
1. 2008, “Menjaga Volatilitas Nilai Tukar: Faktor Pendukung Pengembangan Bisnis Di
Asean”, Jurnal Kinerja, Universitas Atmajaya, Yogyakarta
2. 2008, “Komunikasi Bank Indonesia : Tantangan Di Masa Kerentanan Ekonomi”, Juara
harapan Lomba Efektivitas Komunikasi BI, Bank Indonesia
3. 2008, “Jeda Struktural dalam Suku Bunga Dan Kurs : Pengaruhnya Terhadap New
Keynesian Phillips Curve Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, UKSW
4. 2008, “Pemampuan Knowledge Management Dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Mikro,
Kecil Dan Menengah”, Finalis Lomba Immovation Bank Indonesia (bersama Kuntari
Erimurti)
5. 2007, “Exchange Rate Volatilty and Indonesia-Japan Trade Balance Performance”, Journal
Of International Cooperation Studies, Vol.15, No.2, November (Penulis 1. Insukindro)
6. 2007, “Inflation Targeting: Mengapa Diperlukan dan Bagaimana Supaya Dapat Bekerja
dengan Lebih Baik”, Buletin Ekonomi, Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Ekonomi
Pembangunan Vol 5. No.2, Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta
7. 2006, “Dampak Volatilitas Nilai tukar terhadap Perdagangan Indonesia (Pendekatan
ARDL-ECM)”, Jurnal Ekonomi Indonesia No. 2 Desember 2006, (Bersama Sri Yani K)
8. 2005, ” Analisis Permintaan Bahan Pangan Hewani: Pendekatan Error Correction Linear
Approximation Almost Ideal Demand System”, Jurnal Media Ekonomi, Universitas
Trisakti
9. 2002, “Analisis Pengaruh Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Efisiensi Ekonomi
Indonesia (1980.1-1999.4)”, Jurnal Kompak, STIE Yogyakarta, September
10. 2002, “Pengaruh Penanaman Modal Asing Terhadap Arus Perdagangan Indonesia”
dalam buku: Kinerja Perdagangan Luar Negeri Indonesia Pada Masa Krisis : Suatu Kajian
Empiris, Komite Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti
11. 2002, “Sektor Unggulan di Jawa Tengah dan Permasalahannya”, Jurnal Manajemen, Unika
Soegijapranata, Semarang
12. 2002, “Public Private Partnership : Suatu Solusi Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang
Berbasis Kompetens, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Dian Ekonomi, Vol 8 No.1, UKSW,
Salatiga

PRESENTING PAPER (7 tahun terakhir)
1. 2008, JAWA TENGAH YANG SINERGIS: TANTANGAN EKONOMI 2009, Seminar
Prospek Ekonomi Jawa Tengah Tahun 2009, 17 Desember 2008, KBI Semarang
2. 2008, Pembelajaran dari Krisis Finansial: Sudut Pandang Teori dan Kebijakan, Diskusi
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Jawa Tengah 12 November
2008, FE Unika Soegijapranata
3. 2008, “Tantangan baru Jawa Tengah Pasca Kenaikan harga BBM”, DIskusi Terbuka
Forum Doktor Unika Soegijapranata, 29 Mei 2008
4. 2008, “Tantangan Baru Pasca Krisis Ekonomi”, Seminar Satu Dekade Pasca Krisis
Ekonomi Indonesia, Badai Pasti Berlalu, Universitas Surabaya, 7 Mei 2008
5. 2008, “Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan: tidak sekedar Pro poor,
Pro Job dan Pro growth” Diskusi Internal Kompas Jawa Tengah DIY, 23 Januari 2008
6. 2007, “Menjaga Volatilitas Nilai Tukar: Faktor Pendukung Pengembangan Bisnis di
ASEAN”, 1st National Conference Faculty of Economics “Towards A New Indonesia
Business Architecture, Unika Widya Mandala Surabaya, Surabaya, 4 September 2007
7. 2006, “Perekonomian Indonesia: overview 2006 dan Ekspektasi 2007”, Seminar Ekonomi
Manajemen Mengantisipasi 2007 PT. Indonesia Steel Tube Work Ltd, 23 Desember ,
Semarang
8. 2006, “ Jeda Struktural dalam Suku Bunga Dan Kurs : Pengaruhnya Terhadap New
Keynesian Phillips Curve Di Indonesia”, 7 desember , Seminar Akademik Tahunan
Ekonomi III, UI-PPSK-BI, Jakarta
9. 2004, Desember, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, UI-ISEI, Jakarta, “Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia dan Penerapan Inflation Targeting”.

23

10. 2003, Februari, Simposium Nasional Hasil Penelitian APTIK, Universitas Atmajaya, Yogyakarta,
“Perkembangan Teknologi Industri Manufaktur Indonesia : Keberadaan Penanaman
Modal Asing Dan Fenomena Pollution Havens” (Pemakalah terbaik)
11. 2002, September, Simposium Nasional, Dies Natalis UAJY, “Analisis Faktor Keunggulan,
Intensitas Perdagangan Dan Variabel Makro Terhadap Kinerja Ekspor Indonesia”,
(Pemakalah Terbaik)
BUKU (7 tahun terakhir)
1. 2008, Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia, Badai Pasti Berlalu?, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, anggota penulis
2. 2002, “Kemiskinan, Belenggu Struktural yang Tak Terpecahkan,” , dalam buku,
Mengurai Belitan Krisis, Renungan Dari Bendan Dhuwur, penerbit Kanisius Yogyakarta,
anggota penulis

24

Dokumen yang terkait

ANALISIS ELASTISITAS TRANSMISI HARGA IKAN LEMURU DI DAERAH PENANGKAPAN IKAN KECAMATAN MUNCAR KABUPATEN BANYUWANGI

23 357 18

ANALISIS KONSENTRASI GEOGRAFIS SEKTOR EKONOMI DI KABUPATEN SITUBONDO

8 229 19

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI EKS KARESIDENAN BESUKI TAHUN 2004-2012

13 284 6

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

KEBIJAKAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BAPEDALDA) KOTA JAMBI DALAM UPAYA PENERTIBAN PEMBUANGAN LIMBAH PABRIK KARET

110 657 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18