Draft Proposal Skripsi.docx

  Draft Proposal Skripsi -- Seminar Pemilihan Masalah (Percepatan) Nama : Erika NPM : 0706291243

  

Dilema Pemberian Paten Obat-Obatan pada Perjanjian TRIPs di WTO:

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual vs Kesehatan Publik

1.1. Latar Belakang

  Dewasa ini, berbagai perubahan teknologi dan perubahan ekonomi yang terjadi akibat masifnya globalisasi telah menyebabkan berbagai perubahan dalam relasi dan hubungan antar negara-negara di dunia, terutama dalam hubungan perdagangan internasional. Adanya globalisasi, yang ditandai dengan semakin kaburnya batas-batas teritorial negara, menyebabkan perpindahan barang dan jasa terjadi secara masif dan cepat. Hal ini kemudian menuntut perlu diciptakannya suatu peraturan yang dapat mengatur seluruh perdagangan barang dan jasa tersebut. Dalam menyelesaikan berbagai masalah perdagangan yang mungkin timbul pada negara-negara dunia,

  

World Trade Organization (WTO) hadir sebagai lembaga internasional legal yang memiliki hak

  untuk mengeluarkan peraturan mengenai hubungan dagang antar negara dan menyelesaikan sengketa perdagangan yang mungkin timbul melalui panel Dispute Settlement Mechanism yang dimilikinya. Dari sekian banyak isu perdagangan yang diatur dalam WTO, isu yang cukup menyita perhatian negara berkembang adalah masalah Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property

  

Rights/IPR, HKI dalam bahasa Indonesia). Hubungan antara kepemilikan HKI dan investasi,

  perdagangan internasional, transfer teknologi, inovasi dan pertumbuhan ekonomi terus menjadi isu penting yang kontroversial, terutama bagi negara berkembang. Masalah hak kekayaan intelektual memang telah menjadi masalah pelik yang krusial dalam hubungan perdagangan antar negara dunia. Sebagai aktor global yang berwenang mengatur mengenai perdagangan internasional, WTO sebenarnya telah memiliki kebijakan untuk mengatur masalah hak kekayaan intelektual ini, yaitu melalui perjanjian Trade-Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs), salah satu pilar perjanjian dalam WTO.

  Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sendiri merupakan salah satu pilar perjanjian dalam WTO yang dihasilkan dalam Uruguay Round, bersamaan dengan pembentukan WTO pada 1995, di mana pilar yang lainnya adalah mengenai perdagangan barang dan perdagangan jasa. Pengakuan pada perjanjian TRIPs merupakan keharusan bagi semua negara anggota WTO, dan implementasi perjanjian TRIPs akan diawasi oleh

1 WTO Dispute Setlement Mechanism. Sejalan dengan WTO, perjanjian TRIPs mengakuisisi

  prinsip non-diskriminasi (melalui pemberian status most-favoured nation dan national treatment sama pada seluruh negara anggota) dan transparansi. Sebagai salah satu komponen dalam rejim kekayaan intelektual dunia, TRIPs disebut-sebut merupakan “pemimpin dalam proteksi HAKI kontemporer yang standarnya telah diakui dalam sejumlah perjanjian bilateral, yang pada akhirnya

  

  akan menentukan peraturan HAKI nasional di seluruh dunia”. Perjanjian TRIPs resmi dilaksanakan sejak 1 Januari 1995, di mana implementasi di negara-negara industri maju anggota WTO dimulai sejak Januari 1996, sementara negara berkembang baru mengimplementasikannya empat tahun setelahnya.

  Sejak perjanjian TRIPs resmi dilaksanakan, protes dari negara berkembang terus muncul. Negara berkembang melihat perjanjian TRIPs yang diatur dalam WTO sebagai bentuk proteksionisme teknologi dari negara-negara industri maju yang memanfaatkan posisi negara

  

  berkembang sebagai pasar dari produk buatan merekaPada umumnya, protes ini berkisar pada monopolisasi kekayaan properti yang terus tumbuh pada tangan pihak berkuasa. Monopolisasi ini terutama terjadi pada sektor obat-obatan, di mana pemberian paten pada industri farmasi negara maju menimbulkan kesulitan akses negara berkembang pada obat-obatan tertentu. Kesulitan akses tersebut terjadi karena industri farmasi negara maju pemegang paten kemudian dapat menerapkan restriktif pemberian lisensi dan pengaturan kontrol vertikal melalui outlet-outlet distribusi yang

  

  mencegah terjadinya kompetisi Tidak hanya itu, industri farmasi negara maju juga seringkali melakukan diskriminasi harga pada perusahaan lokal.

  Permasalahan kemudian semakin meruncing ketika paten diberikan pada produk obat- obatan penyelamat nyawa (life-saving drugs). Pemberian paten pada obat-obatan penyelamat nyawa tersebut dinilai sangat memberatkan negara berkembang. Tingginya harga obat-obatan penyelamat nyawa yang disebabkan karena adanya kepemilikan paten pada akhirnya menyulitkan masyarakat negara berkembang dan miskin untuk memperoleh akses pada obat-obatan tersebut. 1 Hubungan antara pemberian paten pada industri farmasi negara maju dan akibatnya pada kesulitan

  

Ringkasan dan artikel lengkap mengenai perjanjian TRIPs dapat dilihat dalam http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/27-

2 trips_01_e.htm.

  

Thomas Cottier, “The Impact of the TRIPs Agreement on Private Practice and Litigation”, dalam James Cameron dan Karen

3 Campbell (eds.), Dispute Resolution in the WTO. (London: Cameron May, 1998).

  

Carlos M. Correa, Intellectual Property Rights, The WTO and Developing Countries: The TRIPS Agreement and Policy Options.

4 (Penang, Malaysia: Third World Network, 2000), h. 5.

  

Anna Lanoszka, “The Global Politics of Intellectual Property Rights and Pharmaceutical Drug Policies in Developing akses obat-obatan bagi negara berkembang nyata tergambar pada sengketa yang muncul antara pemerintah Afrika Selatan dan 39 industri farmasi terkemuka dunia. Di Afrika Selatan, terdapat lebih dari 200.000 orang penderita HIV/AIDS yang mengalami kesulitan mengakses obat-obatan

  

  dikarenakan tingginya harga obat-obatan tersebutJika dijumlahkan, total harga obat-obatan HIV/ AIDS untuk seorang penderita HIV/AIDS di Afrika Selatan bahkan mencapai US$12.000 per tahunnya, sementara pendapatan nasional rata-rata penduduk Afrika Selatan bahkan tidak

  

  Masalah yang terjadi di Afrika Selatan ini kemudian membuka mata dunia akan masalah akses obat-obatan krusial yang muncul di negara berkembang akibat pemberian paten pada industri-industri farmasi. Kritik mulai muncul seputar apakah perlindungan HKI dapat dijustifikasi bila perlindungan tersebut mengerosi hak absolut seseorang untuk kesehatan. Beberapa pihak juga meragukan apakah pemberian hak paten tersebut dapat menstimulasi terjadinya inovasi seperti yang selama ini digaungkan oleh negara-negara maju pengusul perjanjian TRIPs. Bahkan surat kabar terkemuka seperti The Economist yang pro-perdagangan bebas mengatakan “tough as it is

  

today to get cheap drugs to the poor, it is likely yo get tougher still in the future”, The Economist

  juga mengakui bahwa hak paten yang diberikan malah berpotensi menghancurkan daripada

  

  menstimulasi inovasiLebih lanjut lagi, perusahaan farmasi seringkali tidak tertarik untuk memberikan investasi dan mengembangkan penelitian pada obat-obatan yang bertujuan untuk mengobati penyakit-penyakit di negara berkembang—penyakit tropik seperti malaria, misalnya—

  

  yang relatif tidak memberikan keuntungan bagi merekaPencapaian hak untuk kesehatan bagi setiap negara dunia, karenanya, sepertinya masih sulit dilaksanakan jika sistem pemberian paten tetap seperti sekarang.

1.2. Permasalahan

  Pemberian paten pada industri farmasi yang mengakibatkan kesulitan akses obat-obatan pada masyarakat negara berkembang dinilai tidak sesuai dengan tujuan awal pemberian paten yang diatur dalam Perjanjian TRIPs. Pasal 27 dalam Perjanjian TRIPs, misalnya, mengatakan bahwa, 5 “... eksklusi sebuah paten dapat dilakukan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan atau

  

Tshimanga Kongolo, "Public Interest Versus the Pharmaceutical Industry's Monopoly in South Africa", dalam Journal of World

6 Intellectual Property, No. 4, 2001, h. 609-627. 7 Anna Lanoszka, loc.cit. 8 The Economist, “Who Owns the Knowledge Economy?”, dalam The Economist, edisi 8 April 2000.

  

  tumbuhan, atau kesehatan, atau menghindari bahaya tertentu bagi lingkungan”Selain itu, Pasal 8 menyebutkan bahwa negara anggota WTO wajib “... melakukan upaya untuk melindungi kesehatan publik dan nutrisi, dan mempromosikan kepentingan publik pada sektor-sektor vital

  

  bagi pembangunan teknologi dan sosial-ekonomi Kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa seharusnya kejadian sulitnya akses negara berkembang pada obat-obatan penyelamat nyawa tidak terjadi, sebab kesehatan publik dan perlindungan pada kehidupan manusia merupakan hal yang lebih krusial dibanding perlindungan pada HKI untuk memperkaya pihak-pihak tertentu. Berangkat dari kasus tersebut, penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan:

  

Mengapa pemberian paten pada industri farmasi yang diatur dalam Perjanjian TRIPs di

WTO tidak berhasil mewujudkan kesehatan publik di negara berkembang?

1.3. Kerangka Pemikiran

1.3.1. Definisi Konseptual: Konsep Rejim Internasional

  Konsep rejim internasional merupakan salah satu konsep dalam teori neoliberal institusionalisme, yang pertama kali dipopulerkan oleh Robert O. Keohane. Neoliberal institusionalisme sendiri merupakan sintesis dari neoliberalisme dan neorealisme yang berangkat dari tiga prinsip utama. Pertama, negara adalah sebuah aktor yang bersifat rasional dan egois, sehingga negara kemudian akan melakukan kerja sama dalam rangka mencapai keuntungan absolutnya, dan atas dasar rasionalitas ini pun kerja sama tetap dapat berjalan. Kedua, dunia bukanlah seperti yang dipercaya oleh kaum liberalis yang dipenuhi oleh suasana harmoni maupun kerja sama, melainkan sebuah pertentangan tiada akhir. Hal inilah yang kemudian dipercaya kemudian melahirkan sebuah kerja sama itu sendiri, karena tanpa adanya konflik maka kerja sama tidak akan lahir pula. Ketiga, Keohane kemudian mengekslusikan aktor non-negara dan

  

  Dengan meminjam prinsip rasionalitas dari kaum realis, Keohane membuktikan bahwa kerja sama tidak terjadi secara spontan melainkan merupakan sebuah konstruksi untuk memaksimalkan kepentingan jangka panjang negara anggotanya. Pemikiran Keohane akan kerja 9 sama tersebut kemudian disintesiskan dalam konsep rejim internasional. Tiga prinsip dasar dalam

  

Lihat Agreement On Trade-Related Intellectual Property Rights, dapat diakses secara online melalui http://

10 www.wto.org/english/docs_e/ legal_e/ursum_e.htm#Agreement.

  Ibid. konsep rejim internasional tersebut adalah: 1) rejim bersifat otonom absolut dari sistem anarki dan distribusi kekuatan, dan otonom relatif dari negara; 2) kerja sama adalah hal yang fundamental dalam maksimalisasi kepentingan jangka panjang; dan 3) pendefinisian sistem anarki dalam konteks distribusi informasi yang tidak sempurna. Keohane percaya bahwa negara dapat secara sukarela bekerja sama di dalam sebuah institusi karena mereka percaya akan keuntungan jangka panjang yang akan didapatkannya melalui rezim tersebut. Rezim bahkan kemudian dipercaya dapat membuat negara-negara bersama-sama menyelesaikan collective action problem dalam suatu

  

  Keohane setuju dengan pemahaman bahwa pada dasarnya sistem anarki akan membuat negara merasa tidak yakin dalam memberikan komitmennya. Namun hal ini terjadi bukanlah karena terjadi sebuah distribusi kekuatan yang tidak merata, melainkan karena ketidaksempurnaan distribusi informasi itu sendiri, masing-masing negara tidak mengetahui intensi yang dimiliki negara lain. Di sinilah kehadiran rejim dinternasional diperlukan, agar informasi dapat didistribusikan secara merata dalam rejim, untuk mencegah terjadinya defection dan cheating. Pada titik inilah kemudian transaction cost of agreements dapat diminimalisir sedemikian rupa, karena penyebaran informasi yang merata ini akan dapat mereduksi kebutuhan suatu negara untuk memonitor ketaatan negara lain dalam sebuah kerja sama. Kepercayaan dan kerja sama-lah yang

  

1.3.2. Model Organisasi Internasional dalam Teori Perubahan Rejim

  Penelitian ini akan menggunakan Model Organisasi Internasional pada teori perubahan rejim yang disampaikan Roberth O. Keohane dan Joseph S. Nye pada bukunya yang berujudul

  

Power and Interdependence. Salah satu cara untuk menjelaskan struktur politik dunia adalah

  melalui organisasi internasional yang menggambarkan relasi intergovernmental dan

  

transgovernmental pada negara-negara dunia. Terminologi organisasi internasional ini digunakan

  untuk menggambarkan jaringan, norma, dan institusi yang bersifat multilevel. Dalam Model Organisasi Internasional, kehadiran jaringan, norma, dan institusi merupakan faktor independen yang penting untuk menjelaskan perubahan rejim. Organisasi internasional memiliki cakupan yang 12 lebih luas dibanding rejim internasional, sebab di dalamnya terdapat jaringan elit dan institusi Ibid., h. 96 dan 98. formal. Menurut Model Organisasi Internasional, ketika suatu jaringan, norma, dan institusi telah

  

  dibangun, akan sulit untuk menghilangkan atau merubah organisasi tersebut secara drastis. Hal ini dikarenakan, biaya untuk menghilangkan atau merubah suatu organisasi secara drastis akan sangat tinggi, sehingga rejim akan tetap bertahan walaupun bila kebijakan yang dihasilkannya

  

  tidak sesuai dengan keinginan negara pemilik kapabilitas superiorPemikiran ini bertentangan dengan Model Struktural yang mengatakan perubahan rejim akan selalu terjadi apabila terjadi perubahan power di dalamnya, di mana perubahan yang terjadi dapat bersifat drastis atau malah berupa pembentukan rejim yang benar-benar berbeda. Dalam Model Organisasi Internasional, sangat sulit bahkan bagi negara yang memiliki kapabilitas superior--baik secara keseluruhan ataupun secara isu--untuk mengusahakan keinginannya bila keinginan tersebut berbenturan dengan pola tingkah laku dalam jaringan dan institusi yang telah ada.

  Kapabilitas superior sendiri dipahami sebagai kondisi kepemilikan power dari negara- negara anggota dalam suatu organisasi internasional. Kapabilitas superior ini dapat dibagi menjadi

  

  dua, kapabilitas superior keseluruhan dan kapabilitas superior sesuai isKapabilitas superior secara keseluruhan mengacu pada kepemilikan power berupa kekuatan militer dan/atau ekonomi yang dominan hampir di seluruh bentuk organisasi internasional, misalnya Amerika Serikat yang dominan di hampir seluruh organisasi internasional yang diikutinya. Sementara, kapabilitas superior sesuai isu mengacu pada kepemilikan power yang hanya dominan di beberapa jenis organisasi internasional seperti misalnya pada Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), kapabilitas superior dimiliki oleh negara-negara Arab selaku pemasok minyak terbesar di dunia.

  Pada Model Organisasi Internasional, rejim dibentuk dan dijalankan sesuai dengan distribusi kapabilitas superior, akan tetapi jaringan, norma dan institusi yang relevan akan mempengaruhi kemampuan aktor untuk menggunakan kapabilitas superior yang dimilikinya. Seiring berjalannya waktu, kapabilitas superior negara (atau yang dalam model ini disebut dengan istilah underlying capabilities of states) akan menjadi variabel yang kurang tepat dalam

   14 menentukan karakteristik rejim internasionalKebijakan yang dihasilkan pun akan disesuaikan 15 Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye, Power and Interdependence, (New York: Longman, 2001), h. 47. 16 Ibid, h. 51.

  

Penjelasan mengenai kapabilitas superior secara keseluruhan dan kapabilitas superior secara isu dapat dilihat dalam Ibid, h. 36-45. dengan kapabilitas dependen organisasi (organizationally dependent capabilities), seperti kekuatan

  voting, kemampuan untuk membentuk aliansi, dan kontrol jaringan elit; yang ditentukan oleh

  norma, jaringan, dan institusi dalam organisasi internasional. Pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, resolusi yang dihasilkan tidak hanya ditentukan oleh negara yang paling berkuasa karena adanya sistem satu-negara-satu-suara yang digunakan. Perubahan rejim, karenanya, tidak hanya ditentukan oleh perubahan kapabilitas superior negara-negara anggotanya. Lebih lanjut lagi, perubahan yang dihasilkan pada akhirnya akan mempengaruhi jaringan, norma, dan institusi dari rejim itu sendiri.

   Other Organization (Effect on regime)

  Outcomes

  Underlying capabilities (issue or overall)

  Bargaining Existing norms and networks Organizationally dependent capabilities

  (in complex interdependence mode) Diagram di atas menjelaskan mengenai Model Organisasi Internasional tentang

  Perubahan Rejim yang disampaikan oleh Keohane. Dalam diagram tersebut, dapat dilihat norma dan jaringan yang ada, bersama dengan kapabilitas superior negara anggota (underlying

  capabilities) akan mempengaruhi kapabilitas dependen organisasi, yang pada akhirnya akan

  menentukan kebijakan yang dihasilkan (outcome). Garis putus-putus yang menghubungkan organisasi lain dengan norma dan jaringan yang telah ada menggambarkan adanya kemungkinan perubahan dari sisi eksternal rejim; jaringan, norma dan institusi lain dapat berperan dalam konfigurasi organisasi, dan karenanya dapat mempengaruhi cara kerja rejim. Diagram tersebut juga menunjukkan pentingnya proses politik dalam organisasi internasional yang meliputi strategi aktor, untuk mempengaruhi perubahan dalam suatu rejim internasional. Lebih lanjut lagi, Keohane mengatakan bahwa pada awal pembentukan suatu organisasi internasional, variabel kapabilitas superior sangat menentukan arah rejim. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlangsung secara terus- menerus karena lambat-laun, norma dan jaringan yang telah ada akan mengambil fungsi untuk menentukan jalannya rejim tersebut.

1.4. Metodologi Penelitian

1.4.1. Metode Penelitian

  Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kuantitatif, yang dilakukan dalam prosedur di mana indikator yang akan digunakan telah secara sistematis ditetapkan sebelum pengumpulan data. Penelitian ini pada dasarnya akan mengetes hipotesis yang didasarkan pada konsep. Dengan demikian, alur berpikir yang dipergunakan adalah alur berpikir deduksi, yang berjalan sebagai berikut:

  

  Model Organisasi Internasional dalam Teori Perubahan Rejim dan konsep rejim internasional dalam penelitian ini berfungsi sebagai “alat” untuk memahami fenomena yang hendak diteliti. Kesimpulan atau jawaban atas penelitian ini akan diupayakan sebagai refleksi dari

  

  pemahaman konsep yang dipergunakanAkan tetapi, pengukuran yang akan digunakan dalam penelitian ini bukanlah dengan angka-angka, melainkan lebih mengacu pada keakuratan deskripsi

  

  setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnyaDengan demikian, penelitian ini tidak akan menempuh metode statistika dan matematika.

  Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan metode studi dokumentasi dan literatur untuk mengumpulkan informasi dalam materi-materi tertulis. Dokumen dalam hal ini mengacu pada teks atau apa saja yang tertulis, tampak secara visual atau diucapkan

   19 melalui medium komunikasiStudi dokumen primer diperoleh dari sumber-sumber resmi WTO,

Dr. Prasetya Irawan, M.Sc, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Depok: Departemen Ilmu

20 Administrasi, FISIP UI, 2006), h. 98. 21 Ibid, h. 94- 95. 22 Ibid, h. 101.

  

Lawrence Neuman, Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches, (Boston: Pearson antara lain dari dokumen resmi Perjanjian TRIPs yang dapat diakses melalui website resmi WTO. Sementara data-data dokumen sekunder bersumber pada buku, jurnal, atau hasil penelitian dari sumber yang valid, yang berhubungan dengan topik penelitian. Teknik studi dokumentasi ini digunakan dalam penelitian karena sifatnya yang membantu penelitian “at a distance” (pelaku- pelaku dalam Perjanjian TRIPs secara geografis tidak terjangkau oleh peneliti) sehingga teknik ini

  

1.4.2. Operasionalisasi Konsep

  Dengan menggunakan Model Organisasi Internasional pada Teori Perubahan Rejim yang disampaikan Keohane dan Nye, terdapat satu variabel dependen dan tiga variabel independen. Variabel dependen tersebut adalah outcomes/kebijakan yang dihasilkan dalam organisasi internasional, dalam hal ini kebijakan yang dihasilkan akan menjadi tidak berimbang karena dipengaruhi berbagai variabel independen yang ada. Sementara variabel independen pada model tersebut adalah peran organisasi lain, norma dan jaringan yang telah ada, serta kapabilitas superior negara anggotanya. Pada variabel peran organisasi lain, penelitian ini akan melihat pada indikator kuat/lemahnya desakan/peran dari organisasi di luar WTO untuk mempengaruhi Perjanjian TRIPs. Sementara pada variabel norma dan jaringan yang telah ada, penelitian akan melihat indikator ada/ tidaknya peraturan pada Perjanjian TRIPs yang berhubungan dengan isu kesehatan publik dan kesulitan akses obat-obatan di masyarakat negara berkembang. Indikator ini digunakan dengan berangkat pada pemikiran bahwa pemahaman pasal-pasal dalam Perjanjian TRIPs harus dilakukan secara holistik dengan tetap memperhatikan kesinambungannya dengan pasal-pasal lainnya. Pada variabel independen ketiga, kapabilitas superior negara anggota, penelitian akan menggunakan kapabilitas superior sesuai isu. Mengingat isu yang dibicarakan adalah tentang paten obat-obatan, maka indikator untuk variabel ini adalah banyak/sedikitnya kepemilikan paten obat-obatan pada negara anggota. Kepemilikan paten yang semakin banyak menandakan negara tersebut memiliki kepentingan dan power yang besar dalam negosiasi di Perjanjian TRIPs. Berdasarkan variabel dan indikator tersebut, dapat dihasilkan bagan seperti di bawah ini.

  Variabel Dependen Variabel Kategor Indikator

  Independen i

  Peran Kuat Desakan/peran organisasi di luar WTO Lemah

  Organisasi lain untuk mempengaruhi Perjanjian TRIPs Ada Peraturan-peraturan dan pasal-pasal dalam

  Norma dan Perjanjian TRIPs yang berhubungan dengan

  Outcome/kebijakan

  jaringan yang Tidak isu kesehatan publik dan kesulitan akses yang dihasilkan telah ada ada obat-obatan di negara berkembang

  Kapabilitas Banyak

  Kepemilikan paten obat-obatan pada negara superior negara anggota

  Sedikit anggota

  1.4.3. Model Analisa Sederhana

  Peran organisasi lain di luar WTO sehubungan dengan dilema pemberian paten

  Kebijakan yang dihasilkan dalam Perjanjian TRIPs yang

  Norma dan jaringan yang telah ada

  bersifat tidak berimbang

  dalam Perjanjian TRIPs Kapabilitas superior negara-negara anggota WTO

  1.4.4. Asumsi dan Hipotesa Penelitian

  Penelitian ini akan menggunakan asumsi realisme klasik yang juga digunakan dalam memahami konsep rejim internasional. Realisme klasik mengatakan bahwa negara adalah aktor yang uniter dan rasional. Pendekatan state-centric yang akan digunakan dalam penelitian ini berangkat pada pemikiran bahwa negara adalah aktor yang terpenting dalam politik dunia, dan bahwa sebagai aktor yang rasional, negara akan berupaya mencapai kepentingan maksimal melalui

  

  cara-cara yang tersediaBerangkat dari asumsi dan kerangka teori yang disampaikan sebelumnya, penelitian ini akan memfokuskan pada negosiasi yang dilakukan negara dalam 24 organisasi internasional. Penelitian ini tidak akan membahas mengenai peran dari NGO

  

Disampaikan oleh Robert O. Keohane dalam tulisannya yang berjudul “Theory of World Politics: Structural

Realism and Beyond”, dalam Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, internasional ataupun perusahaan multinasional dalam negosiasi di organisasi internasional. Akan tetapi, peran perusahaan multinasional dan NGO internasional yang akan ikut mempengaruhi membentuk tingkah laku negara pada rejim internasional akan tetap dibicarakan.

  Berdasarkan operasionalisasi konsep dari Model Organisasi Internasional tentang Teori Perubahan Rejim sebelumnya, penelitian ini memiliki hipotesa yang akan dibuktikan sebagai berikut:

  1. Kebijakan yang dihasilkan dalam Perjanjian TRIPs tidak berhasil mewujudkan kesehatan publik di negara berkembang karena lemahnya peran organisasi lain di luar WTO yang mengupayakan terwujudnya kesehatan publik di negara berkembang.

  2. Kebijakan yang dihasilkan dalam Perjanjian TRIPs tidak berhasil mewujudkan kesehatan publik di negara berkembang karena tidak adanya norma dan jaringan dalam Perjanjian TRIPs yang memfasilitasi terwujudnya kesehatan publik di negara berkembang.

  3. Kebijakan yang dihasilkan dalam Perjanjian TRIPs tidak berhasil mewujudkan kesehatan publik di negara berkembang karena banyaknya peran negara anggota dengan kapabilitas superior yang tidak menginginkan hal tersebut dan mengendalikan proses pembuatan kebijakan.

1.5. Rencana Pembabakan Skripsi

  Penelitian dengan permasalahan dan model analisa di atas akan disusun ke dalam lima bab. Bab I adalah bagian pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, pertanyaan permasalahan, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II akan menjelaskan mengenai Perjanjian TRIPs dan implementasi pemberian paten dalam Perjanjian TRIPs pada sektor kesehatan di berbagai negara. Pada bagian inilah, permasalahan kesulitan akses obat-obatan di berbagai negara berkembang akan mulai dibahas. Selanjutnya, Bab III akan menjelaskan variabel dependen dalam penelitian, yaitu kebijakan tidak berimbang yang dihasilkan dalam Perjanjian TRIPs sehubungan dengan pemberian paten pada industri farmasi dan isu kesehatan publik. Kebijakan tidak berimbang inilah yang pada akhirnya berdampak pada munculnya masalah kesulitan akses obat-obatan (yang akhirnya menghambat perwujudan kesehatan publik) di negara berkembang. Bab IV kemudian akan berisi analisa variabel-variabel independen dalam penelitian dan bagaimana variabel tersebut mempengaruhi negosiasi yang berjalan dalam WTO. Variabel-variabel independen inilah yang pada akhirnya berperan dalam menghasilkan kebijakan tidak berimbang yang dijelaskan pada Bab

  III. Penelitian ditutup dengan Bab IV, yang berisi kesimpulan dari penelitian sekaligus rekomendasi atau usulan untuk penelitian berikutnya.

1.6. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab dari ketidakberhasilan perwujudan kesehatan publik di negara berkembang sehubungan dengan pemberian paten pada industri farmasi yang diatur dalam Perjanjian TRIPs di WTO. Perdebatan antara masalah kesehatan publik dan pemberian paten sudah menjadi isu yang ramai dibicarakan sejak tahun 1990-an. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan mampu memaparkan penyebab ketidakberhasilan perwujudan kesehatan publik di negara berkembang, terutama dari segi negosiasi dalam WTO yang melibatkan banyak negara anggota dan berbagai organisasi internasional, agar di kemudian hari permasalahan serupa tidak muncul kembali.

  Adapun signifikansi dari penelitian ini adalah untuk memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai dilema pemberian paten, di mana literatur yang ada kebanyakan belum atau sangat jarang menyorot tentang kebijakan-kebijakan dalam Perjanjian TRIPs dan faktor politik yang menyertainya. Analisa tentang faktor politik yang berpengaruh dalam menghasilkan kebijakan dalam WTO ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritik pada perkembangan studi Hubungan Internasional, khusunya pada kajian mata kuliah Organisasi Internasional ketika membicarakan mengenai WTO sebagai organisasi ekonomi internasional, serta pada kajian mata kuliah Perdagangan Internasional ketika membicarakan mengenai peran faktor politik dalam perdagangan internasional.