PAPUA SEBAGAI TAPAL BATAS PENYEBARAN ISL

PAPUA SEBAGAI TAPAL BATAS PENYEBARAN ISLAM:

PENYEBARAN DAKWAH DI ‘HUTAN’

DAN MULTIPLISITAS HIRARKI SPATIO-TEMPORAL *

Martin Slama

Tulisan ini mengulas Papua yang merupakan wilayah pertemuan tapal batas dua negara, tempat dilakukannya misi peradaban, bertemunya kapitalisme pemangsa (predatory capitalism) serta konflik kekerasan, dan juga merupakan wilayah yang mana masyarakatnya dicitrakan seperti masih hidup di jaman batu, primitif, kurang beradab, serta berbagai anggapan lainnya yang sering disangkut pautkan kepada mereka. Para ahli antropologi di Indonesia telah menulis berbagai catatan yang sangat beragam dari daerah- daerah tapal batas termasuk teorisasi yang amat penting dari konsep tersebut (misalnya, yang ditulis dalam Li 1999; Rutherford 2003; Tsing 2005). Pada Bab ini, kita akan membahas mengenai keterlibatan pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya dengan memahami Papua tidak hanya sebagai tapal batas dalam arti yang telah dibahas dalam literatur sejauh ini, tetapi juga dengan mengeksplorasi adat kesopanan dari perspektif-perspektif non-Barat. Sedangkan menurut Engseng Ho (2004) dalam sebuah karya semi investigasi „kerajaan melalui mata para diaspora‟ dan mengungkapkan paralelisme sejarah yang menarik antara kerajaan kolonial Eropa di Samudera Hindia dan kekuasaan global Amerika Serikat saat ini, pada bab ini kita akan mengambil perspektif diaspora di tapal batas Papua - Mata diaspora milik Muslim Papua dengan sejarah trans- regional tertentu. Seperti dalam kasus yang dijelaskan oleh Ho (2004), diaspora yang dimaksud dibentuk oleh Muslim keturunan Arab yang berasal dari Hadhramaut, wilayah tenggara Republik Yaman saat ini, yang mana mereka telah menyeberangi perairan Samudera Hindia dan Kepulauan Indonesia sejak jaman Abad Pertengahan (Freitag dan Clarence-Smith 1997; Jonge dan Kaptain 2002; Ho 2006). Didorong oleh pembukaan Terusan Suez dan munculnya pengiriman melalui kapal uap, migrasi mereka ke Indonesia mencapai puncaknya dari pertengahan abad kesembilan belas hingga pertengahan abad ke-

20. Angka migrasi tersebut secara substansial menurun setelah kemerdekaan Indonesia karena adanya kebijakan nasional dan ketidakpastian ekonomi pada periode pasca-kolonial awal. Saat ini, para Hadhrami (penduduk yang berasal dari wilayah Hadhramaut)

Tulisan ini aslinya berjudul “Papua as an Islamic Frontier: Preaching in „the Jungle‟ and the Multiplicity of Spatio-Temporal Hierarchisations ”. Alih bahasa, Ismail Suardi Wekke, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulisan ini aslinya berjudul “Papua as an Islamic Frontier: Preaching in „the Jungle‟ and the Multiplicity of Spatio-Temporal Hierarchisations ”. Alih bahasa, Ismail Suardi Wekke, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Dengan menyelidiki berbagai macam keterlibatan Islam dan kapitalisme di wilayah pinggiran negara- negara Melayu, Joel Kahn (2012: 26) menegaskan bahwa: „(Daerah) itu berada di zona “tapal batas” komersial yang dinamis yang mana saudagar, pedagang, pengusaha, pengrajin dan penjual hasil bumi yang Muslim di satu sisi (merupakan); orang suci, guru agama, dan misionaris yang di sisi lain - telah memainkan peran yang sangat signifikan, aktif dan konstruktif sejak awal era modern. „Para Hadhrami mencontohkan Muslim yang dimaksud oleh Kahn, terutama yang berkaitan dengan peran mereka di Indonesia bagian timur di mana mereka berhasil menjadi „pemain‟ yang gigih dalam memainkan peran pada struktur kekuasaan lokal dari masa kolonial hingga sekarang (Clarence-Smith 1998; Slama 2011). Faktanya, sejak awal keterlibatan diaspora mereka, para Hadhrami tidak hanya memusatkan perhatian mereka di pusat kekuasaan tetapi juga di batas-batas marjinal - dan mereka juga memiliki persepsi serta niat yang jelas berbeda dari orang-orang Barat. Oleh karena itu, kepergian orang-orang Hadhrami ke tanah Papua, seperti yang akan dibahas pada bab ini, menunjukkan kekuatan yang berpengaruh, serta pada saat yang sama, menunjukkan batas-batas pengaruh Barat di daerah tapal batas, dengan demikian hal tersebut juga mengungkapkan berbagai bentuk hierarki spasial- temporal. Dengan demikian, bab ini akan mengeksplorasi Papua sebagai tapal batas Islam berdasarkan perspektif yang berbeda dan, pada saat yang sama, diambil dari konseptualisasi sebelumnya.

Bagaimana batas-batas Indonesia didefinisikan sejauh ini, secara tepat dirangkum oleh Tania Murray Li (2001: 41): „Di Indonesia, daerah-daerah yang berada di pulau-pulau

besar dan pulau-pulau kecil di kepulauan bagian timurlah yang biasanya dicirikan sebagai tapal batas budaya yang beragam yang telah ditorehkan oleh peradaban, agama-agama di

dunia, dan kekuasaan rezim pemerintahan. “Li (1999: 16), yang melakukan penelitian di dataran tinggi Sulawesi Tengah, juga membicarakan tentang „zona tapal batas‟ yang dapat

diakses melalui logging roads (jalan-jalan menuju hutan yang dibuat untuk mengangkut kayu-kayu besar) yang menarik kedatangan pendatang-pendatang baru karena adanya peningkatan kontrol negara atas penduduk dan sumber daya. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan oleh Li menarik kesimpulan yang terdiri dari dua aspek pada daerah tapal batas yang menonjol secara luas: sebagai proyek kolonial (neo) yang bertujuan untuk

„mendorong kembali peradaban di daerah tapal batas‟ serta sebagai „metafora untuk pembangunan nasional dalam arti material dan ideologisnya‟ yang berfokus kepada „ekspansi dan delimitasi spasial„ (Fold dan Hirsch 2009: 95).

Terinspirasi oleh penelitian yang dilakukannya di Kalimantan, Anna Tsing (2005:

28) mencetuskan teori tentang dimensi temporal dan spasial pada daerah tapal batas yang dapat membantu memberikan gambaran yang dimaksud di dalam bab ini - dan juga secara keseluruhan - :

Tapal batas adalah batas ruang dan waktu: suatu zona yang belum - belum dipetakan, belum diatur. Tapal batas merupakan zona yang tidak dipetakan (unmapping): bahkan dalam perencanaannya, suatu tapal batas tidaklah direncanakan. Tapal batas tidak hanya dapat berupa daerah tepian, ia dapat merupakan proyek dalam membuat pengamatan geografis dan temporal. „Frontiers make wildness, entangling visions and vines and violence ‟; keliaran (wildness) yang dimaksud adalah yang bersifat material dan imajinatif. Bentuk keliaran ini maju-mundur seiring berjalannya waktu, membawa bentuk-bentuk kekejaman lama ke kehidupan di era kontemporer. Penetapan tapal batas menggugah kembali fantasi lama (untuk menaklukkan), bahkan ketika mustahil untuk diwujudkan.

Salah satu pemikiran tentang daerah tapal batas yang ditulis oleh McCarthy dan Cramb (2009: 113 –114) adalah berkaitan dengan dugaan „keterbelakangan‟ penduduk yang mendiami daerah tapal batas dibandingkan dengan teknik pertanian modern dalam kasus ekspansi kelapa sawit, di mana Papua adalah area target.

Karena dikaitkan dengan jaman batu (seperti yang telah disebut sebelumnya), Papua menempati tempat khusus di dalam pemikiran (yang dimiliki peneliti-peneliti tersebut) dengan mencontohkan bentuk keterbelakangan paling ekstrim dalam wacana evolusionis atau pembangunan, serta dalam kisah-kisah padang belantara seperti yang terdapat dalam catatan perjalanan yang ditulis oleh orang-orang Barat. Rupert Stasch (2011: 7; lihat juga Stasch dalam buku ini) menaklik wacana terakhir yang secara sensasional menggambarkan Papua sebagai „salah satu daerah padang gurun terbesar terakhir di dunia‟, „salah satu batas terakhir bumi yang terakhir‟ atau sebagai „akhir tapal batas di dunia yang terus menyusut„. Sebagaimana dapat dicermati pada bagian Pengantar buku ini, wacana semacam itu menampilkan hierarki primitivisasi, dan dengan demikian hierarki tapal batas yang menempatkan Papua ke tingkat peradaban dan spatio-temporal terendah.

Tentunya, kisah-kisah Papua yang sangat beresonansi di Indonesia, sangat kontras dengan bagaimana penduduk Papua menyesuaikan diri kepada „peradaban‟ dan membayangkan bagaimana diri mereka berhubungan dengan dunia - serta bagaimana Islam menetapkannya menjadi tapal batas dalam penyebaran dakwah (seperti yang akan kita bahas di bawah). Penelitian yang dilakukan oleh Danilyn Rutherford (2003: 19) tentang dugaan Biak terhadap orang asing yang mengenal „ideologi yang ... mengubah apa yang asing menjadi sumber agensi dan objek hasrat‟. Hal ini terungkap secara khusus dalam mitos yang berkembang ketika terjadi peristiwa Koreri, yang dibaca oleh Rutherford sebagai „utopia: suatu keadaan kesenangan dan kesempurnaan yang dibayangkan‟ (ibid.

25) „membangkitkan batas-batas yang tidak hanya spasial tetapi juga konseptual‟ seperti yang terjadi antara Biak dan Indonesia (ibid. 26). Mitos klimaks dalam kembalinya milenium dari sosok mirip Mesias yang disebut sebagai Manermakeri menunjukkan munculnya kondisi paradisial ketika asing dan konvergen lokal dan daerah tapal batas runtuh (Rutherford 2003: 26). Selanjutnya, peristiwa Koreri juga mengilhami penafsiran ulang terhadap narasi Kristen - dan kisah-kisah Islam (seperti yang akan kita lihat di bawah): „Koreri mengklaim telah memahami signifikansi rahasia Alkitab: yakni itu merupakan render mitos dari Biak. Yesus Kristus benar-benar adalah Manermakeri

„(Rutherford 2012: 157–158). Dengan merelokasi tokoh sentral Alkitab ke Papua, keyakinan pada „Yesus dari Papua‟ ini sangat meruntuhkan logika evolusionis dari citra

penduduknya yang digambarkan seperti masih berada di jaman batu. Ternyata Papua menjadi sumber „agama dunia‟ dan bukan ke wilayah dengan keterbelakangan yang patut

dicontoh. Demikian pula, di antara suku Yali yang tinggal di dataran tinggi timur Papua, Eben Kirksey (2012: 8 –10) mencatat sebuah narasi tentang permulaan waktu ketika „orang kulit putih‟ dan „orang kulit hitam‟ hidup bahagia bersama dan semua barang dari generator listrik sampai beras tersedia melimpah ruah di Papua. Tapi, kemudian orang kulit putih menghilang ke dalam lubang di bumi dengan membawa semua barang-barang tersebut. Dengan direbutnya kekuatan asing, hal ini mengungkap adanya kekuatan asing di tanah Papua, atau menunjukkan bahwa Papua sudah menjadi bagian dari dunia modern (seperti dalam kasus Yali), contoh-contoh ini membuktikan bahwa wacana Papua yang sarat akan pertentangan dengan penggambaran Papua sebagai alam liar, defisien, namun sebagai daerah tapal batas yang berkembang (lihat juga Timmer dalam buku ini).

Namun, „jaman batu‟ hanyalah suatu ungkapan dalam repertoar hierarki spatio- temporal Barat. Karena bab ini membicarakan cara-cara Islami dalam melihat daerah- Namun, „jaman batu‟ hanyalah suatu ungkapan dalam repertoar hierarki spatio- temporal Barat. Karena bab ini membicarakan cara-cara Islami dalam melihat daerah-

Tapal Batas Menurut Islam

Pada abad ke-8, Abu Hanifah, yang namanya digunakan untuk meyebut mazhab hukum Hanafi, memperkenalkan istilah Dar al-Islam , „rumah Islam‟ atau „tempat tinggal Islam‟, untuk wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam. Tanah-tanah yang diperintah oleh para pemimpin Muslim juga dikenal sebagai Dar as-Salam atau „rumah perdamaian‟. Menandai tapal batas dunia Islam, Dar as-Salam digunakan untuk mengkarakterisasi wilayah Muslim di pinggiran dunia Islam seperti Daressalam di Afrika Timur atau Brunei Darussalam dan Aceh Darussalam di Asia Tenggara (lihat juga Ahmad 1976). Wilayah yang berbatasan dengan Dar as-Salam disebut Dar al-Harb atau „Wilayah Pera ng‟, „yang pemimpinnya diserukan untuk masuk Islam‟, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Kamus Oxford tentang Islam; dan ketika mereka „menerima Islam (sebagai agamanya), wilayah itu menjadi bagian dar al-Islam , di mana hukum Islam berlaku‟.

Namun, terlepas dari definisi teritorial tapal batas ini, konsep lain yang menonjol dalam pemikiran Islam dalam mengilustrasikan gagasan tentang batasan yang didefinisikan bukan oleh ruang tetapi oleh waktu. Sedangkan perbedaan antara Dar as-Salam dan Dar al-Harb diperkenalkan oleh para cendikiawan ilmu hukum (jurisprudence) di abad pertengahan, kata jahiliyyah – yang secara harfiah berarti „kebodohan‟ - disebutkan dalam Al Qur‟an, dan mengacu pada masyarakat Arab pada jaman sebelum datangnya Islam

sebagai masa penyembahan berhala sebelum mereka mendapat petunjuk. Pada abad ke-20, konsep ini dihidupkan kembali oleh berbagai cendikiawan Muslim, terutama oleh Sayyid Qutb cendikiawan dari Egyptian Muslim Brotherhood (Ikhwanul Muslimin) Mesir, yang melihat kemunculan kembali jahiliyyah di banyak negara Muslim sebagai akibat kurangnya ketaatan terhadap hukum Islam. Pandangan ini memerlukan reinterpretasi konsep yang cukup besar, karena „sebutan itu bukanlah merujuk pada periode tertentu dalam waktu sebelum atau sesudah datangnya Islam, atau merujuk tempat, ras atau negara atau masyarakat tertentu. Jahiliyyah lebih merupakan kondisi di mana dan tempat mana saja di mana Allah tidak dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam pemerintah dan hukum „(Khatab 2006: 3). Perpanjangan konsep ini ke waktu dan tempat lain selain di masa pra- Islam di Arab membuatnya juga relevan untuk wacana Islam kontemporer di Indonesia, seperti yang akan kita bahas. Namun, reinterpretasi abad ke-20 dari konsep tersebut, yang juga akan menjadi lebih jelas melalui ulasan di bawah ini, yang tidak selalu mengarah pada pembubaran hirarki temporal antara tatanan Islam yang tidak Islami dan yang sepenuhnya dilaksanakan.

Sepanjang sejarah Islam, muncul tokoh-tokoh berpengaruh yang menjelajahi batas- batas dunia Islam yang menun juk pada „batas-batas yang selalu berubah dan keropos‟ yang membentuk latar belakang sosial dari konsep hukum, seperti ditekankan Travis Zadeh (2011: 87), yang bersandar pada demarkasi antara „dua dunia, yang dibagi menjadi wilayah damai dan wilayah perang , [yang] berdiri sebagai bayangan cerminan satu sama lain‟. Sebelum para Hadhrami menjadi „pemain utama‟ di Samudera Hindia, adalah Ibn Batutta (1304-1136 atau 1377) yang dalam beberapa tulisan disebutkan melintasi batas-batas „keropos‟ dan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang kemudian juga menjadi jalan yang dilalui para Hadhrami. Ross Dunn (2005: 6 –7) menunjukkan bagaimana batas-batas dunia Islam mempengaruhi rute penjelajah Muslim seperti Ibn Batutta dan penerusnya:

Ibn Batutta ... menghabiskan sebagian besar karirnya dalam batas-batas budaya dari apa yang disebut Dar al-Islam oleh Muslim, atau Abode of Islam. Ungkapan ini mencakup tanah di mana Muslim mendominasi populasi, atau setidaknya di mana raja atau pangeran Muslim berkuasa atas mayoritas non- Muslim dan di mana syari‟at, atau Hukum Suci ditegakkan, Islam mungkin merupakan fondasi tatanan sosial. Dalam arti, peradaban Islam menyebar dari pesisir Atlantik di Afrika Barat ke Asia Tenggara.

Namun, Dunn (ibid.) juga menyebutkan orang-orang Muslim yang membentuk komunitas di luar zona benua Islam: „Selain itu, komunitas penting minoritas Muslim Namun, Dunn (ibid.) juga menyebutkan orang-orang Muslim yang membentuk komunitas di luar zona benua Islam: „Selain itu, komunitas penting minoritas Muslim

Sebagaimana Ibn Batutta, para Hadhrami juga menulis catatan perjalanan mereka yang terdiri dari rencana perjalanan dan eksplorasi tapal batas (Alatas 2005). Ho (2006: 55) telah menganalisis catatan-catatan tersebut dengan berfokus pada peran sentral di wilayah yang mereka tempati dalam pembentukan diaspora Hadhrami:

Rencana perjalanan yang sangat menonjol sebagai elemen genre dasar dalam akun ini menciptakan efek yang melampaui ambisi rekonstruksi sejarah positivis. Dalam menceritakan perjalanan berbagai tokoh, mereka (para Hadhrami) menciptakan sebuah wacana batas-batas yang akhirnya mengubah lanskap. Efek diskursif ... adalah untuk mengubah tempat dari tujuan menjadi tempat asal.

Jadi, ketika para Hadhrami „membuka lahan di daerah tapal batas‟ (ibid.) Mereka mengubah wilayah tersebut dengan menetap dan membangun manifestasi konkret Islam seperti masjid dan kuburan. Dan mereka lebih suka melakukannya di tengah populasi yang mereka anggap belum atau belum cukup memeluk Islam. Hal ini membawa kita pada perbedaan penting lainnya antara konsep Barat dan Islam tentang tapal batas, seperti yang diungkapkan oleh Ho (ibid.):

Tidak seperti ide yang dicetuskan Amerika pada abad 19 tentang Takdir Manifes, batas-batas pada pandangan wacana mobilitas Hadhrami sayyid 3 bukan mendatangi

wilayah tanpa penghuni tetapi mendatangi wilayah yang penuh dengan penduduk. Pendatang baru seperti para sayyid menemukan tempat bagi diri mereka sendiri - sebagai pendidik - di tanah yang sudah dipenuhi penduduk tersebut. Motif ini telah menjadi motif konstan bagi seluruh diaspora Hadhrami di sekitar Samudera Hindia, dimulai dengan Hadramaut sendiri pada masa-masa awal terdahulu.

Dengan bepergian bersama dan kadang-kadang melampaui batas-batas Dar al-Islam, para Hadhrami tidak mencari tanah (untuk berdiam) tetapi untuk mencari orang-orang (untuk berdakwah). Selain itu, pendekatan mereka menunjukkan bahwa mereka Dengan bepergian bersama dan kadang-kadang melampaui batas-batas Dar al-Islam, para Hadhrami tidak mencari tanah (untuk berdiam) tetapi untuk mencari orang-orang (untuk berdakwah). Selain itu, pendekatan mereka menunjukkan bahwa mereka

wilayah tersebut juga terdapat wanita, yang berpotensial untuk mereka nikahi. Ketiga, faktor-faktor perdagangan, proselitisasi, dan pernikahan dapat juga dilihat dalam peran Hadhrami dalam melakukan Islamisasi di sebagian wilayah Papua, paragraf di bawah ini

akan berfokus pada pertanyaan, “Bagaimana Papua menjadi tapal batas Islam?.”

Papua Sebagai Tapal Batas Islam

Kontak pertama yang terjalin antara orang Papua dan pedagang Muslim terjadi pada abad ke-15 atau bahkan lebih awal, meskipun sulit untuk dipastikan karena kurangnya bukti sejarah. Namun, jelas bahwa pada abad ke-17 dua wilayah di Indonesia bagian timur menjadi penting untuk penyebaran Islam ke bagian pesisir Papua, yaitu Maluku utara dengan empat kesultanannya (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo), dari empat kesultanan tersebut Tidore memiliki peran paling signifikan berkaitan dengan penyebaran Islam di Papua, dan Seram bagian timur dan kepulauan Geser-Gorom dari tempat para pedagang Muslim mengembangkan hubungan ekonomi eksklusif dengan orang Papua dari Kepala Burung dan Bomberai semenanjung. Kesultanan Tidore mencontohkan pola tapal batas Dar as-Salam dan Dar al-Harb penguasa Islam yang membangun hubungan dengan tetangga non-Islam mereka yang akhirnya menghasilkan konversi (the conversion of the latter ). Pada abad ke-17, ketertarikan Tidore kepada Papua semakin meningkat ketika Dutch East India Company (VOC) mengambil alih perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan. Sebagai semacam kompensasi, Tidore „diberikan hak eksklusif untuk berdagang dengan “Kepulauan Papua‟” (Warnk 2010: 114). Ini adalah tributary trade

untuk hasil alam dan budak, yang menegaskan otoritas Tidore di perairan timur Halmahera dan sepanjang pantai Semenanjung Kepala Burung. Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh Holger Warnk (ibid. 129), „pada pertengahan abad ke-17 para pemimpin pertama di Kepulauan Raja Ampat mungkin telah masuk Islam ‟, dan, narasumber dari Belanda untuk hasil alam dan budak, yang menegaskan otoritas Tidore di perairan timur Halmahera dan sepanjang pantai Semenanjung Kepala Burung. Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh Holger Warnk (ibid. 129), „pada pertengahan abad ke-17 para pemimpin pertama di Kepulauan Raja Ampat mungkin telah masuk Islam ‟, dan, narasumber dari Belanda

Hubungan antara Tidore dan Raja Ampat ini menjadi sangat menonjol selama terjadi pemberontakan Pangeran Nuku pada akhir abad ke-18, ketika Pangeran Nuku memberontak melawan Belanda dan kebijakan mereka untuk menurunkan Tidore ke status budak (status of vassalage). Dia memobilisasi pasukan dari Raja Ampat, Seram dan Halmahera, dan secara diplomatis mendekati Inggris. Dalam perjalanan konflik, seperti yang diungkapkan Muridan Widjojo (2009: 57), Nuku diproklamasikan sebagai „Sultan Papua dan Seram‟ dan menyebut dirinya „Raja Papua‟ dalam sebuah surat yang dikirim kepada Belanda. Dari strategi mengubah hubungan tributary trade menjadi dukungan politik dan kekuatan simbolik, Widjojo (2009: 215) menarik sejarah paralel yang menarik: „Selama berabad-abad, ritual lokal dan hubungan ekonomi mengikat Maluku ke Papua. Ironi dari apa yang dilakukan oleh Nuku sejauh ini belum ada yang berhasil menunjukkan bahwa, berkat koneksi yang dijalin Papua ini, ia mampu mengalahkan Belanda dalam permainan mereka sendiri [memainkan kekuasaan melawan satu sama lain]. Dia melakukannya dengan terampil memanfaatkan bahasa Inggris seperti ketika Pemerintah Soekarno memanfaatkan Amerika Serikat pada tahun 1962 dan Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tahun 1963.”

Di zona tapal batas Seram timur dan Geser-Gorom, perdagangan dengan orang Papua dari daerah Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai, di mana konversi ke Islam tercatat terjadi pada pertengahan abad ke-17 (Warnk 2010: 115), tidak dijiwai dengan otoritas seperti pada masa sultan. „Orang-orang Seram lebih mementingkan akses perdagangan daripada kekuatan simbolis ... mereka lebih memilih berdagang daripada dis erbu‟, sebagaiman Roy Ellen (2003: 122) menekankan dalam studi iluminasi tentang jaringan perdagangan mereka, yang didasarkan pada sebuah institusi yang disebut sosolot: „teluk dan jangkar di mana satu pemerintahan mempertahankan monopoli yang diakui dalam perdagangan‟ (ibid. 126). Pemerintahan Seram Timur dan Geser-Gorom memiliki akses eksklusif ke domain perdagangan tertentu yang menjadi semakin Islami karena hubungan-hubungan yang dipupuk lebih lanjut oleh perkawinan antarbangsa. Sedangkan masjid pertama di wilayah ini dikonfirmasi merupakan bangunan dari tahun 1870-an (Warnk 2010: 125), pada tahun 1820-an sebuah ekspedisi Belanda mencatat bahwa Muslim di wilayah tersebut „tidak memiliki masjid atau rumah doa dan tidak puasa, mereka mampu membaca yang sura pertama, mengubur orang-orang yang telah wafat di Di zona tapal batas Seram timur dan Geser-Gorom, perdagangan dengan orang Papua dari daerah Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai, di mana konversi ke Islam tercatat terjadi pada pertengahan abad ke-17 (Warnk 2010: 115), tidak dijiwai dengan otoritas seperti pada masa sultan. „Orang-orang Seram lebih mementingkan akses perdagangan daripada kekuatan simbolis ... mereka lebih memilih berdagang daripada dis erbu‟, sebagaiman Roy Ellen (2003: 122) menekankan dalam studi iluminasi tentang jaringan perdagangan mereka, yang didasarkan pada sebuah institusi yang disebut sosolot: „teluk dan jangkar di mana satu pemerintahan mempertahankan monopoli yang diakui dalam perdagangan‟ (ibid. 126). Pemerintahan Seram Timur dan Geser-Gorom memiliki akses eksklusif ke domain perdagangan tertentu yang menjadi semakin Islami karena hubungan-hubungan yang dipupuk lebih lanjut oleh perkawinan antarbangsa. Sedangkan masjid pertama di wilayah ini dikonfirmasi merupakan bangunan dari tahun 1870-an (Warnk 2010: 125), pada tahun 1820-an sebuah ekspedisi Belanda mencatat bahwa Muslim di wilayah tersebut „tidak memiliki masjid atau rumah doa dan tidak puasa, mereka mampu membaca yang sura pertama, mengubur orang-orang yang telah wafat di

Kesultanan Tidore juga mempertahankan hubungan tributary trade di sepanjang pantai utara Papua, terutama dengan orang Papua dari daerah Kepala Burung utara, Biak- Numfor dan Teluk Cenderawasih. Ketika para pelaut Biak memberi penghormatan kepada sultan di istananya, seperti yang telah tunjukkan oleh Rutherford (2003: 17), mereka „mengklaim bahwa mereka menyerap barak, versi Biak yang bersumber dari kata bahasa Arab untuk kekuatan gaib yang merasuki sultan dan sekitarnya.„ Kita hampir tidak bisa mengatakan sampai sejauh mana hubungan ini menyebabkan orang-orang Papua memeluk agama Islam, karena saat ini hampir seluruh penduduk Papua memeluk agama Kristen. Tetapi, paling tidak beberapa pemimpin telah bertobat. Menurut Warnk (2010: 122), ada bukti di Dorey Bay, dekat dengan tempat Manokwari sekarang berada, yang menyatakan adanya Muslim Papua sebelum tahun 1850. Ironisnya, ketika misionaris Jerman Ottow dan Geissler mengadakan layanan Kristen pertama mereka di Dore pada tahun 1855 di Bahasa Melayu, acara tersebut „dihadiri oleh beberapa kepala Muslim lokal yang berbicara bahasa Melayu dengan cukup baik‟ (ibid. 124). Jadi apa yang hari ini dirayakan sebagai kedatangan agama Kristen ke Papua, juga tercermin dalam pengadopsian nama “kota injil” (gospel city) oleh Manokwari di Indonesia pasca-Soeharto, bukanlah datan g ke “tanah kosong” monoteis , tetapi lebih ke tapal batas Islam di mana visi Papua dan Islam telah bertemu sebelumnya. Pertemuan religius sebelumnya ini mungkin juga telah berkontribusi pada fakta bahwa upaya Ottow dan Geissler tidak banyak berhasil, dan „tidak sampai setelah tahun 1900 bahwa beralihnya massa ke agama Kristen terjadi di Teluk Cendrawasih dan wilayah Biak‟ (ibid.). Ini juga merupakan waktu ketika agama Kristen diperkenalkan di Raja Ampat serta di daerah Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai, dua wilayah utama di mana Islam telah mendapatkan pijakan di antara orang Papua. Untuk yang terakhir, Ellen (2003: 144) menegaskan bahwa dengan „pendirian pos Belanda di Fak-fak pada tahun 1898, pengaruh pedagang Seram Laut dan Islam menurun, dan bahwa „misi Kristen dan Cina tumbuh‟. Namun, perdagangan antara orang-orang Seram dan Papua berlanjut dan hanya menurun secara substansial setelah kemerdekaan Indonesia Kesultanan Tidore juga mempertahankan hubungan tributary trade di sepanjang pantai utara Papua, terutama dengan orang Papua dari daerah Kepala Burung utara, Biak- Numfor dan Teluk Cenderawasih. Ketika para pelaut Biak memberi penghormatan kepada sultan di istananya, seperti yang telah tunjukkan oleh Rutherford (2003: 17), mereka „mengklaim bahwa mereka menyerap barak, versi Biak yang bersumber dari kata bahasa Arab untuk kekuatan gaib yang merasuki sultan dan sekitarnya.„ Kita hampir tidak bisa mengatakan sampai sejauh mana hubungan ini menyebabkan orang-orang Papua memeluk agama Islam, karena saat ini hampir seluruh penduduk Papua memeluk agama Kristen. Tetapi, paling tidak beberapa pemimpin telah bertobat. Menurut Warnk (2010: 122), ada bukti di Dorey Bay, dekat dengan tempat Manokwari sekarang berada, yang menyatakan adanya Muslim Papua sebelum tahun 1850. Ironisnya, ketika misionaris Jerman Ottow dan Geissler mengadakan layanan Kristen pertama mereka di Dore pada tahun 1855 di Bahasa Melayu, acara tersebut „dihadiri oleh beberapa kepala Muslim lokal yang berbicara bahasa Melayu dengan cukup baik‟ (ibid. 124). Jadi apa yang hari ini dirayakan sebagai kedatangan agama Kristen ke Papua, juga tercermin dalam pengadopsian nama “kota injil” (gospel city) oleh Manokwari di Indonesia pasca-Soeharto, bukanlah datan g ke “tanah kosong” monoteis , tetapi lebih ke tapal batas Islam di mana visi Papua dan Islam telah bertemu sebelumnya. Pertemuan religius sebelumnya ini mungkin juga telah berkontribusi pada fakta bahwa upaya Ottow dan Geissler tidak banyak berhasil, dan „tidak sampai setelah tahun 1900 bahwa beralihnya massa ke agama Kristen terjadi di Teluk Cendrawasih dan wilayah Biak‟ (ibid.). Ini juga merupakan waktu ketika agama Kristen diperkenalkan di Raja Ampat serta di daerah Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai, dua wilayah utama di mana Islam telah mendapatkan pijakan di antara orang Papua. Untuk yang terakhir, Ellen (2003: 144) menegaskan bahwa dengan „pendirian pos Belanda di Fak-fak pada tahun 1898, pengaruh pedagang Seram Laut dan Islam menurun, dan bahwa „misi Kristen dan Cina tumbuh‟. Namun, perdagangan antara orang-orang Seram dan Papua berlanjut dan hanya menurun secara substansial setelah kemerdekaan Indonesia

Berkenaan dengan Hadhrami Arab, seperti yang dikemukakan William Clarence- Smith (1998: 43), para Hadhrami tersebut memiliki peran sangat kuat dalam perdagangan di Maluku pada kuartal ketiga abad kesembilan belas, pada saat para pesaing Cina maupun Eropa tidak menunjukkan minat yang besar pada kekaisaran Belanda yang berada nan jauh di sana „(lihat juga Spyer 2000: 12). Kehadiran mereka dapat dipahami sebagai konsekuensi dari peningkatan keseluruhan migrasi Hadhrami ke Asia Tenggara yang didorong oleh pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan pengenalan pengiriman melalui kapal uap di Samudera Hindia. Beberapa dari mereka pindah dari Maluku ke Papua. Pada pergantian era dari abad ke-19 ke abad ke-20, dipastikan bahwa pedagang Arab berada di Kaimana, Fakfak dan Kokas (Ellen 2003: 143). Serupa dengan orang-orang dari Seram, mereka terkadang menikahi orang Papua (Warnk 2010: 127). Dengan nama famili Alkatiri dan Alhamid sebagai nama keluarga terkemuka mereka, para Hadhrami memang memiliki basis kuat di kalangan umat Islam di Seram timur dan Geser-Gorom (Ellen 1996, 2003: 253-54). Pengaruh mereka dapat dirasakan sampai hari ini, terutama di bidang agama, karena „di daerah Geser-Gorom kami menemukan bahwa keluarga keturunan Arab sering bertindak sebagai imam, bahkan jika mayoritas penduduknya bukanlah keturunan Arab‟ (Ellen 2003 : 265). Salah satu lawan bicara Hadhrami dari Ellen di Tual yang hidup lama di Geser dengan bangga menyatakan pada tahun 1980-an bahwa kakeknya adalah orang pert ama yang mengubah orang Papua menjadi Islam „(ibid. 238).

Hampir 30 tahun setelah Ellen melakukan penelitian, narasi-narasi dalam catatan tersebut masih tertanam kuat dalam kisah-kisah keluarga Hadhrami di wilayah tersebut.

Pak 5 Umar, yang berusia lima puluhan, lahir dan besar di Seram dan tinggal di Ambon di mana ia memberi tahu saya tentang kakeknya yang berasal dari Hadhramaut yang pergi ke

Hindia Belanda. Setelah tinggal di Surabaya, kakeknya pergi ke Sulawesi Selatan, kemudian ke Ambon dan akhirnya ke Fakfak, menikahi anak perempuan pemimpin lokal (anak raja). Secara khusus, berkaitan dengan Fakfak, ia menjelaskan bahwa leluhurnya berkontribusi pada penyebaran Islam karena „mereka menikahi putri-putri kepala suku yang belum memeluk agama islam; sebagai akibatnya, perlahan tapi pasti mereka menjadi Muslim dan rakyat mereka mengikuti mereka. Ini adalah cara yang bagus untuk

menyebarkan Islam pada waktu itu!„ 6 Adalah ayah Pak Umar yang menikahi seorang putri dari seorang kepala suku di Seram. Sebagai keturunan Arab, Pak Umar menekankan menyebarkan Islam pada waktu itu!„ 6 Adalah ayah Pak Umar yang menikahi seorang putri dari seorang kepala suku di Seram. Sebagai keturunan Arab, Pak Umar menekankan

Belanda yang membawa istri mereka dengan mereka, kami orang Arab tidak.„ 7 Di sini, kami melihat bagaimana para Hadhrami menjadi sangat terintegrasi ke dalam

masyarakat lokal di wilayah Maluku-Papua tanpa meninggalkan identitas Arab mereka, yang disorot melalui peran mereka dalam mengubah orang Papua menjadi Islam. Dalam kisah-kisah ini, Papua tampil sebagai tapal batas dalam arti bahwa Papua sedang dalam proses untuk menjadi, atau telah menjadi, bagian dari Dar al-Islam, berkat upaya para Muslim yang teladan, dengan status Hadhrami yang mereka klaim sendiri. Berbeda dengan pemahaman Barat tentang tapal batas yang didasarkan pada wacana evolusionis atau pengembangan, dalam kisah-kisah ini, hierarki spatio-temporal tidak begitu terasa. Ketika penguasa Muslim akhirnya diikuti oleh orang-orang mereka, pemerintahan mereka akan menjadi bagian dari Dar al-Islam dan dengan begitu „jaman penyembahan berhala‟ akan segera berakhir, terlepas dari bagaimana Papua dipersepsikan dari luar. Saya ingin melanjutkan dengan contoh-contoh persepsi luar seperti itu, karena tersebar luas di kalangan Muslim di Indonesia yang berada di sebelah barat zona kontak dekat dan pencampuran Maluku, pulau-pulau Raja Ampat, dan Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai. Analisis wacana mereka akan mengungkapkan bagaimana status tapal batas Papua dalam negara-bangsa Indonesia yang diinformasikan oleh pandangan Islam dan juga bagaimana gagasan Islam tentang tapal batas dapat terjalin dengan ide-ide evolusionis atau pengembangan. Seperti yang akan kita bahas, seseorang tidak harus pergi terlalu jauh ke barat untuk memahami wacana semacam itu.

‘Sejauh Papua’ - Tapal Batas Al-Khairaat dan Cahaya Kenabian

Ketika saya melakukan penelitian tentang organisasi Islam terbesar di Indonesia timur, yang disebut Al-Khairaat, yang tumbuh sangat kuat di wilayah Sulawesi tengah dan utara dan sampai batas tertentu, juga di Maluku utara, kata „Papua‟ sering saya sebut di

dalam percakapan saya, yaitu ketika lawan bicara saya mengacu pada mobilitas yang tinggi dari ayah pendiri organisasi. Al-Khairaat didirikan di Palu, Sulawesi Tengah, oleh Sayyid Idrus Al-Jufri, yang lahir di Hadhramaut. Pada tahun 1925, pada usia 36, ia bermigrasi ke Hindia Belanda pada saat itu. Setelah pindah dari satu tempat ke tempat lain di sepanjang jaringan diaspora Hadhrami di Jawa dan Indonesia bagian timur, pada tahun 1930 ia dalam percakapan saya, yaitu ketika lawan bicara saya mengacu pada mobilitas yang tinggi dari ayah pendiri organisasi. Al-Khairaat didirikan di Palu, Sulawesi Tengah, oleh Sayyid Idrus Al-Jufri, yang lahir di Hadhramaut. Pada tahun 1925, pada usia 36, ia bermigrasi ke Hindia Belanda pada saat itu. Setelah pindah dari satu tempat ke tempat lain di sepanjang jaringan diaspora Hadhrami di Jawa dan Indonesia bagian timur, pada tahun 1930 ia

Di antara anggota Al-Khairaat, perjalanan Sayyid Idrus dianggap legendaris. Saya diberitahu bahwa Sayyid Idrus menjelajahi desa-desa yang sangat terpencil sehingga tidak ada anggota Al-Khairaat yang pernah mengunjungi mereka lagi. Dalam catatan yang ditulisnya tersebut kata Papua sering disebutkan. Dalam rangka untuk menekankan prestasi dari Sayyid Idrus Al-Khairaat anggota senang menggunakan frase bahwa Sayyid Idrus telah pergi „sejauh Papua‟ (sampai di Papua) atau „sejauh Irian‟ (nama terdahulu Papua yang disebutkan sampai akhir pemerintahan Soeharto). Mereka juga ingin menunjukkan bahwa Al-Khairaat saat ini memiliki dua cabang di Papua, yang pertama berada di dekat Jayapura dan yang lainnya berada dekat dengan Manokwari.

Dalam percakapan saya dengan orang-orang Muslim yang aktif di Al-Khairaat, kami membahas mengapa Sayyid Idrus mendirikan organisasinya di wilayah Indonesia timur

yang terpencil ini. Adalah Ibu 8 Achmisah, wakil ketua divisi wanita Al-Khairaat, Wanita Islam Al-Khairaat, yang menjelaskan bahwa sebelum kedatangan Sayyid Idrus orang-

orang di Palu „tidak memiliki agama‟ (tidak punya agama). Temannya, juga merupakan anggota aktif dari Wanita Islam Al- Khairaat, menambahkan bahwa saat itu „masih merupakan jaman jahiliyyah ‟. “Ya, memang,” ibu wakil ketua melanjutkan, “Yah, sudah ada Islam, tetapi tidak ada penerapan syariah. Orang-orang mabuk, mereka berjudi. Tapi kemudian Sayyid Idrus menetap [di Palu] .... Puji Tuhan! Dari sana ia melebarkan

sayapnya sejauh Irian, sejauh Ternate, Ambon, dan Sulawesi Utara‟. 9 Catatan-catatan yang dibuat oleh anggota Al-Khairaat menggambarkan upaya Sayyid

Idrus dan organisasinya sebagai upaya untuk mendorong kembali tapal batas dalam ruang dan waktu. Cara-cara beradab yang sangat mobile dan pembukaan sekolah-sekolah Islam di daerah-daerah terpencil bertujuan untuk memasukkan wilayah-wilayah baru, Indonesia Idrus dan organisasinya sebagai upaya untuk mendorong kembali tapal batas dalam ruang dan waktu. Cara-cara beradab yang sangat mobile dan pembukaan sekolah-sekolah Islam di daerah-daerah terpencil bertujuan untuk memasukkan wilayah-wilayah baru, Indonesia

Namun, mirip dengan Maluku, di Sulawesi seseorang juga dapat menemukan pembahasan yang menyoroti pernikahan sebagai cara yang sah untuk membuat tapal batas Papua lebih Islami. Salah satu teman bicara saya, Pak Husein, juga seorang sayyid dan anggota aktif Al-Khairaat, mengingat seorang kerabat jauh yang bermigrasi ke Papua. Dia memberi tahu saya bahwa Nabi Muhammad sendiri menikahi seorang wanita berkulit gelap, seorang janda kaya dan berusia 60 tahun yang memiliki pengaruh yang tinggi, dengan motif bahwa orang-orang akan mengikutinya menjadi Muslim, yang akhirnya mereka lakukan. Dia lebih lanjut menun jukkan: “Sama seperti Nabi kita menyukai orang- orang Irian agar mereka dapat menjadi Muslim lebih cepat.” 10 Dan dia mengingatkan saya: “Nabi berkata bahwa di manapun keturunannya akan hidup, insya Allah, akan ada cahaya. Itu artinya kita tidak perlu khawatir meski berada di hutan Irian. Selama kita

berperilaku dengan benar, insya Allah akan ada jalan.„ 11 Dengan menggunakan konsep Sufi tentang „terang Nabi‟ yang dikatakan diwariskan dari generasi ke generasi di antara

keturunannya, Hadhrami dapat, dalam hal ini lihat, bahkan menerangi apa yang dibayangkan sebagai hutan gelap Papua. Menyetarakan Papua dengan hutan dan kegelapan, termasuk kulit gelap, mengacu pada jahiliyyah di Arab pra-Islam yang telah diterangi oleh Nabi dan, ketika dipindahkan ke waktu dan tempat lain, dapat memiliki efek yang serupa. Hutan gelap dan kulit gelap juga membangkitkan konsep-konsep evolusionis Barat di mana rimba berdiri untuk hutan belantara, di mana hanya orang-orang dari tingkat perkembangan manusia terendah yang hidup, seperti orang-orang Papua yang tampak

nyata. 12 Namun, tujuan utama dari para Hadhrami dari Indonesia bagian timur bukan untuk memajukan standar hidup orang Papua dengan cara mengenalkan perkembangan, tetapi

untuk menikahi mereka dan mengajari mereka perilaku yang tepat sesuai dengan hukum Islam. Di Papua, mengatasi jahiliyah dengan demikian berarti mengatasi kegelapan hutan melalui pancaran kenabian. Meskipun mereka mengakar kuat dalam teologi Islam, kisah- kisah ini menunjukkan setidaknya sebagian dari gagasan Islam dan evolutionist-cum- developmentalist tentang tapal batas di mana „hutan‟ dan jahiliyyah menunjukkan untuk menikahi mereka dan mengajari mereka perilaku yang tepat sesuai dengan hukum Islam. Di Papua, mengatasi jahiliyah dengan demikian berarti mengatasi kegelapan hutan melalui pancaran kenabian. Meskipun mereka mengakar kuat dalam teologi Islam, kisah- kisah ini menunjukkan setidaknya sebagian dari gagasan Islam dan evolutionist-cum- developmentalist tentang tapal batas di mana „hutan‟ dan jahiliyyah menunjukkan

Selanjutnya, mari kita beranjak lebih jauh ke barat, ke ibukota Indonesia Jakarta, tetapi tetap dalam jaringan diaspora Hadhrami, mengungkapkan wawasan lebih jauh ke dalam pengertian Islam tentang tapal batas Papua. Langkah seperti itu menghindarkan aspek hierarki spatio-temporal yang sekali lagi menunjuk pada belitan gagasan Islam dan evolusionis atau developmentalis dari tapal batas, meskipun tidak dalam variasi yang sama yang kita temui sejauh ini.

‘Tidak ada sinyal’: Sebuah Dakwah dari Pendeta asal Jakarta Pada masa Indonesia pasca-Suharto, para pembawa cahaya Nabi lainnya menemukan Papua, terutama Habib 13 Munzir Al-Musawa, seorang Hadhrami sayyid dan pendiri

Majelis Rasulullah, yang merupakan asosiasi doa terbesar di ibukota Indonesia, menarik ribuan Muslim untuk menghadiri pertemuan rutin mereka. Setelah runtuhnya rezim komunis di Yaman Selatan pada tahun 1989, Habib Munzir menjadi anggota kelompok pertama Hadhrami Indonesia yang masih muda yang diberi kesempatan untuk belajar di Hadhramaut. Dia pergi ke, pada waktu itu, baru didirikan dan, sementara itu, sekolah asrama Darul Mustafa yang terkenal yang dikelola oleh Habib Umar bin Hafiz bin Syekh Abubakar, tokoh Sufi terkemuka di Hadhramaut yang juga sangat populer di kalangan diaspora Hadhrami (Alatas 2010). ). Habib Munzir menikahi seorang wanita dari Hadhramaut, juga keturunan Hadhrami sada, dan membawanya ke Indonesia di mana ia mulai berkhotbah di kalangan wanita di Jakarta (Nisa 2012). Yang paling penting dalam konteks bab ini, Habib Munzir mengunjungi Papua beberapa kali, pada tahun 2007, 2008 dan 2010. Semua perjalanannya diliput oleh majalah Islam yang terbit dua mingguan yang

populer pada saat itu, Al-Kisah, yang juga dimiliki oleh Hadhrami sayyid. 14 Artikel-artikel tersebut menampilkan entri-entri buku harian Habib Munzir serta kutipan langsung dari

apa yang dia katakan dengan efek yang dirasakan pembaca tentang bagaimana Habib Munzir secara pribadi mengalami Papua - melalui Hadhrami yang diasporinya dan pada saat yang sama juga merupakan mata diaspora orang Indonesia-Jakarta.

Habib Munzir menginjakkan kaki di Papua untuk pertama kalinya pada 9 Mei 2007 di Manokwari di mana ia disambut oleh Ahmad Baihaqi, seorang pendakwah dan aktivis Majelis Rasulullah dari Jakarta yang telah memperluas kegiatannya ke Papua. Dia dibawa ke „satu-satunya hotel Muslim di Manokwari‟, karena Habib Munzir menyesali buku hariannya, yang diterbitkan oleh Al-Kisah tidak lama setelah kunjungannya. Pada malam Habib Munzir menginjakkan kaki di Papua untuk pertama kalinya pada 9 Mei 2007 di Manokwari di mana ia disambut oleh Ahmad Baihaqi, seorang pendakwah dan aktivis Majelis Rasulullah dari Jakarta yang telah memperluas kegiatannya ke Papua. Dia dibawa ke „satu-satunya hotel Muslim di Manokwari‟, karena Habib Munzir menyesali buku hariannya, yang diterbitkan oleh Al-Kisah tidak lama setelah kunjungannya. Pada malam

mengenakan cadar. 15 Pada hari kedua kunjungannya, Habib Munzir pergi ke sebuah pesantren yang

terletak sekitar 65 kilometer di luar Manokwari di mana ia menemukan kesulitan untuk menemukan sinyal untuk telepon genggamnya atau untuk menghubungkan laptopnya ke internet. Ini diilustrasikan dengan gambar Habib Munzir yang duduk di lantai dengan laptop diletakkan di depannya, memegang telepon genggamnya di tangan kirinya. Keterangan pada gambar tersebut berbunyi: „Habib Munzir Al-Musawa membuka laptopnya. Tidak ada sinyal. “Dari sekolah asrama, ia melanjutkan perjalanannya ke „daerah Muslim yang sangat terpencil‟ (wilayah Muslim yang sangat terpencil). Ketika mereka kembali ke Manokwari di malam hari, „jalanan sangat gelap dan sepi‟ dan Habib Munzir bertanya kepada teman-temannya setempat apakah daerah ini akan berbahaya di

malam hari. Mereka menjelaskan bahwa penduduk „Irian‟ tidak keluar setelah matahari terbenam karena mereka percaya pada kemunculan penyihir yang membunuh orang dan memakan isi perut mereka di malam hari. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa perjalanannya berjalan sesuai rencana, Habib Munzir mengucapkan terima kasih kepada para pengikutnya yang menjaga dan tidur di depan kamarnya pada malam hari. Pada hari

ketiga, Habib Munzir kembali ke Jakarta. 16 Perjalanan kedua Habib Munzir pada Oktober 2008 juga membawanya ke

Manokwari. Namun kali ini ia melakukan perjalanan lebih jauh dari kota, „menembus pedalaman Papua‟, sebagaimana judul cerita dalam Al-Kisah berbunyi, menunjukkan bahwa Habib Munzir sedang menjelajahi batas sesungguhnya, „interior‟ , di mana dia harus berjuang untuk maju di jalan berlumpur di hutan lebat „(berjuang menembus jalan berlumpur di tengah hutan lebat). Para pembaca Al-Kisah lebih lanjut mengetahui bahwa Habib Munzir masuk ke interior untuk memperkenalkan pengakuan iman Islam dan bahwa

ia tidak hanya menganjurkan untuk menetap di „daerah nyaman‟ namun „mencapai seluruh pelosok‟. Narasi ini didukung oleh gambar di halaman pertama artikel Al-Kisah yang menggambarkan Habib Munzir dalam gaun Arab putih panjang dan sorban putih di antara orang Papua dengan pakaian tradisional sebagian dengan dada mereka telanjang, beberapa di antaranya memegang busur dan anak panah. Setibanya di Manokwari, ia disambut lagi oleh Ahmad Baihaqi. Ransiki, yang terletak sekitar 100 kilometer selatan Manokwari, adalah tujuan pertama perjalanan mereka. Baihaqi memiliki hubungan yang baik dengan tempat itu sejak dari sana ia membawa pemuda Muslim Papua ke Jakarta untuk mengajari mereka Islam. Dalam perjalanan tersebut, Habib Munzir „lebih sering menangis daripada dia berbicara‟ karena selama perjalanan tiga jam dia tidak dapat menemukan seorang Muslim. Sebaliknya, ia melihat „bangunan agama besar sesak dengan penganut agama lain‟. Hanya sesaat sebelum Ransiki dia melihat orang-orang muda dengan sepeda motor yang mela mbaikan bendera Majelis Rasulullah, beberapa dari mereka adalah „penduduk pribumi‟, mengenakan jaket dari Majelis Rasulullah. Dia hampir tidak percaya apa yang dilihatnya: Muslim Papua mengenakan peci putih (topi putih yang diidentifikasi dengan Islam di I ndonesia) dan mengibarkan bendera Majelis Rasulullah di „daerah terpencil‟ ini. Setelah Habib Munzir berbicara kepada Muslim di Ransiki, mereka melanjutkan perjalanan ke Bintuni.17S