potret pembangunan puisi karya ws rendra

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Situasi sekarang ini banyak terlihat gejala-gejala kemerosotan etika dan estetika
(keindahan) yang terjadi dimana-mana. Mulai dari usia anak-anak hingga dewasa maupun
orang tua terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan imbas dari adanya modernisasi dan
globalisasi yang merusak tatanan etika dan estetika di masyarakat. Padahal etika merupakan
suatu fenomena manusiawi yang universal serta menjadi ciri yang membedakan manusia
dengan binatang. Sehingga manusia yang berperilaku berlandaskan dengan etika dan
estetika yang menjadi pembatas manusia dengan makhluk lainnya dalam berperilaku.
Di dalam diri manusia terdapat sisi keindahan atau estetika. Oleh karena itu, dalam
setiap individu memiliki dan membutuhkan rasa keindahan (estetika). Istilah mengenai
estetika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata aesthesis yang berarti
pencerapan inderawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual.
Berdasarkan etimologi tersebut dapat diketahui bahwa estetika sangat erat hubungannya
dengan panca indera. Banyak tokoh lain yang juga memberi definisi mengenai estetika
diantaranya adalah Herbert Read, Aristoteles, dan Baumgarten.Seperti halnya karya sastra
puisi.
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang memiliki aspek estetika atau keindahan.
Puisi itu sendiri menurut Suroto dalam bukunya yang berjudul Teori Dan Bimbingan
Apresiasi Sastra Indonesia adalah karangan yang singkat padat dan pekat. Berdasarkan

penjelasan Suroto tersebut mengidentifikasikan bahwa dalam puisi memiliki keindahan
yang berasal dari penggunaan bahasa yang singkat padat dan pekat namun dapat
menciptakan makna yang dalam dengan bahasa yang indah. Bahasa yang digunakan oleh
puisi yaknisecondary modeling system.

Rumusan Masalah
1. Apakah Etika dan estetika itu
2. Bagaimanakah penerapan teori egoisme dalam kumpulan puisi potret pembangunan

3. Bagimanakah potret sejarah yang terdapat dalam kumpulan puisi potret pembangunan
Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep etika dan estetika
2. Untuk mengetahui penerapan teori egoism dalam kumpulan puisi potret pembangunan
3. Untuk mengetahui potret sejarah dalam kumpulan puisi potret pembangunan

BAB 2
PEMBAHASAN
Pengertian Etika
Etika adalah suatu hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh setiap orang. Karena tanpa
etika, bagaimana orang tersebut bisa dihargai dan menghargai lingkungan sekitarnya. Peran etika

sangatlah penting, karena etika adalah salah satu kunci dari diri manusia masing-masing untuk
bertingkah laku, bertutur kata dan lain sebagainya. Kita hidup ditakdirkan sebagai makhluk
hidup sosial, yang dimana kita tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dalam
bersosialisasi dengan masyarakat kita harus mempunyai etika agar kita mengetahui bagaimana
harus berperilaku yang benar didalam lingkungan masyarakat.
Setelah mengetahui hal tersebut, tentu saja etika mempunyai faktor-faktor yang
mempengaruhi bagaimana etika ada didalam diri seseorang atau tidak. Menurut saya faktor
utamanya adalah lingkungan terdekat. Dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah lingkungan
yang paling dekat dan selalu kita temui setiap hari. Dalam keluarga tentu saja bergantung penuh
pada bagaimana orang tua kita menanamkan etika sejak kecil, bagaimana mereka mengajarkan
kita untuk bertutur kata yang sopan dan berperilaku yang baik kepada orang lain. Faktor kedua
adalah sekolah, karena sekolah adalah lingkungan paling dekat yang kita hadapi selain keluarga.
Tentu saja guru sebagai pengganti orang tua harus sangat mampu untuk menanamkan etika sejak
dini, karena kontrol penuh ada pada guru saat disekolah. Faktor ketiga adalah teman, mengapa
teman ? mengapa bukan guru ? karena teman adalah orang paling dekat setelah orang tua.
Teman adalah orang yang selalu berinteraksi dengan kita walaupun itu saat bermain atau belajar.
Karena itu pengaruhnya hampir sama dengan orang tua. Walaupun guru adalah pengganti orang
tua saat disekolah, tetapi secara garis besar mereka hanya memantau perilaku kita disekolah
bukan berinteraksi dan mengobrol setiap saat seperti halnya teman.
Dapat kami simpulkan bahwa etika harus diterapkan pada diri kita masing-masing

mengingat kita hidup bersosialisasi dan hal tersebut membutuhkan etika untuk mengetahui buruk

dan benarnya berperilaku di masyarakat. Dengan diterapkannya etika, kita juga akan terhindar
dari perilaku menyimpang yang pada dasarnya disebabkan karena kurangnya penerapan etika. Ini
tentu menjadi pengingat bagai saya apakah penerapan etika didalam diri kami ini sudah sesuai.
Karena menurut kami sejauh ini orang tua sudah menanamkan etika sebagaimana mestinya dan
pengalaman kami didalam lingkungan sosial membuat kami mengerti bagaimana harus bertindak
dan apa yang harus dihindari.
Tentu saja tidak hanya pada diri kami sendiri penerapan tersebut harus dilakukan, karena
jika masyarakat Indonesia berperilaku sesuai Etika maka pastilah lingkungan masyarakat kita
aman dan tentram sehingga terbebas dari perilaku menyimpang. Karena melihat di media-media
Indonesia saat ini semakin maraknya tindak kejahatan yang terjadi, ini membuktikan bahwa
kadar kesadaran etika didalam masyarakat Indonesia ini kurang. Ini tentu saja hal yang tidak
mudah untuk diselesaikan, karena etika faktor etika adalah lingkungan dan jika lingkungan kita
saja sudah kurang atau bahkan tidak beretika makan akan sangatlah sulit. Oleh karena itu,
mulailah kita sebagai generasi berpendidikan untuk perlahan menanamkan kebiasaan beretika
kepada lingkungan sosial sekitar kita.
TEORI EGOISME
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya
menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak

peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai
teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme.
Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan
mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang
lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat
penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang
yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang ia
memberikan

kepada

orang

lain.

Egoisme

sering

dilakukan


dengan

memanfaatkan altruisme, irasionalitasdan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan
diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.

Egoisme berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang
diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang boleh diberikan.
Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan egoisme, selama nilai manfaat individu
diri sendirinya masih dianggap sempurna.Egoisme itu dapat tergambar dalam puisi WS Rendra
potret pembangunan yang banyak mengkritik ketimbangan yang terjadi pada zaman dahulu
sampai sekarang.Sekadar menilik jejak, telah sejak lama karya sastra menjadi potret realita.
Sebuah potret yang mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut tak lepas dari peran
pekaryanya yang merupakan salah satu anggota suatu masyarakat. Posisi pekarya sebagai subjek
yang intelek mengkritisi peristiwa dan permasalahan yang terjadi di lingkungannya melalui
karyanya. Memang, karya sastra bukanlah jawaban atau solusi, akan tetapi lebih dari itu, karya
sastra mampu menjadi kamera sejarah yang menghasilkan potret untuk direnungi dan ditekuri
oleh generasi selanjutnya.
Gagasan karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat pertama kali diusung oleh
aliran realisme. Realisme adalah sebuah aliran kesusastraan yang berusaha menggambarkan

hidup dengan sejujur-jujurnya tanpa prasangka ataupun memperindahnya. Aliran realisme
didorong oleh semangat zaman yang mementingkan kegiatan yang rasional dan kemajuan ilmu
pengetahuan abad ke-19. Adapun pengarang ternama aliran realisme berasal dari Inggris, yaitu:
George T.S. Eliot.Pada awal abad ke-20 aliran realisme mengalami perkembangan, dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah The New Objectivity. Perkembangan tersebut dimunculkan sesuai
dengan kehendak realisme, mencapai gambaran kenyataan secara objektif, namun dengan
banyak pula menghadirkan kritik sosial dan politik. Perkembangan tersebut pulalah yang biasa
dikenal dengan sebutan realisme sosial. Hal itu diperkuat dengan banyaknya karya sastra
menjadi alat propaganda.

Di indonesia, realisme sosial pun pernah mencapai titik kulminasi kejayaannya. Pada
masa Orde Lama banyak sekali karya sastra yang digunakan sebagai alat propaganda. Di bawah
naungan Partai Komunis Indonesia, karya-karya sastra realisme sosial bermunculan. Karya-karya
tersebut menyampaikan gagasan-gagasan partai sekaligus kritik pahit kepada pemerintahan saat
itu. Salah satu karya sastra yang sangat menggaung adalah puisi “Paman-paman Tani Utun”
karya Piek Ardijanto Suprijadi. Puisi itu berlatarbelakang nyanyian anak-anak Jawa yang
mengisahkan seorang petani lugu yang rajin bekerja, sekaligus kritik tersirat.

Puisi Sebagai Potret Buram Sejarah
Jika pada angkatan 45 banyak dikisahkan dan disuarakan tentang kemerdekaan, semangat

perjuangan dan patroitisme. Maka pada sekitar tahun 50-an yang dibicarakan adalah masalahmasalah kemasyarakatan, masalah kemasyarakatannya sendiri yang kadang kala tak dapat
dipisahkan dengan warna kedaerahan. Sastrawan tahun 50-an berpaling ke masyarakatnya
sendiri. Persoalan kemerdekaan, perdamaian, dan sebagainya banyak diteriakkan Angkatan 45
sudah dianggap tuntas.

Adapun ciri menonjol yang muncul sekitar tahun 50-an ialah munculnya warna politik
dalam sastra bersamaan dengan lahirnya LKN, LEKRA, LESBUMI, LKK, dan sebagainya.
Terdapat kotak-kotak sastrawan berdasarkan aliran politik mereka, bukan aliran kesusastraan.
Adapun ciri-ciri menonjol tersebut, yaitu: banyak digambarakan suasana muram karena hidup
dan mengungkapkan masalah sosial, semisal kemiskinan, banyaknya pengangguran, dan
sebagainya. Bertolak dari tersebut, para kritikus sastra banyak menyebut nama Rendra sebagai
ikon pada angkatan tersebut. Jika pernyataan itu kurang benar, paling tidak Rendra adalah
penyair penting sejak tahun 50-an hingga sekarang.Rendra sebagai penggagas puisi pamlet
adalah sosok penyair yang sangat peduli terhadap kehidupan sosial masyarakatnya. Puisipuisinya seolah menjadi potret buram sejarah Indonesia sesuai dengan judul kumpulan puisinya
“Potret Pembangunan Dalam Puisi”. Selain itu, puisi-puisi Rendra banyak dijadikan teks
deklamasi saat demoaksi oleh mahasiswa-mahasiswa karena sifat puisinya yang auditorium dan
sekeras peringatan pamflet.

Kumpulan puisi yang berjudul “Potret Pembangunan Dalam Puisi” karya W.S. Rendra
ini, berisi kritik sosial yang berkenaan dengan penanaman modal asing, kepincangan si kaya dan

si miskin akibat kemajuan ekonomi, hidup yang bersifat konsumerialistis, pengangguran, sistem
perdagangan yang cenderung menguntungkan negara adikuasa, tidak relevannya pendidikan
dengan tuntutan lapangan kerja, ilmu sekolah yang belum sesuai dengan iklim Indonesia,
ketidaktulusan para pejabat terhadap rakyat, dan sebagainya.Melimpahnya angkatan muda yang
menganggur sangat meprihatinkan hati penyair. Karena puisi-puisinya yang membela orangorang tercinta, Teeuw menyebut Rendra sebagai “Nabi Perikemanusiaan selama 25 tahun
terakhir di Indonesia” (Tergantung Pada Kata: 25). Kegelisahan Rendra akan menumpuknya

penggangguran dilukiskan dalam puisinya yang berjudul “Sajak Anak Muda”. Berikut ini
kutipan salah satu baitnya:

Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.
Gelap: Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Selain dalam puisi “Sajak Anak Muda”, Rendra juga mengkritisi permasalahan pendidikan yang
remang dan cedera melalui puisinya berjudul “Sajak Seonggok Jagung”. Berikut ini kutipan
salah satu baitnya:


Apa gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah persoalan kenyataannya.
Apa gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibu kota
kikuk pulang ke daerahnya?

Hidup yang bersifat konsumerialistis, pengangguran, dan sistem perdagangan yang cenderung
menguntungkan negara adikuasa juga menjadi titik perhatian yang Rendra kritisi. Inilah realita
yang tengah terjadi di Indonesia sejak diberlakukannya politik bebas aktif. Sejak itu pula banyak
sekali pengangguran dan memperluas jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Berikut ini
kutipa salah satu bait dari puisi berjudul “Sajak Sebotol Bir”:

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri

tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam.
Kota metropolis di sini
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina,

Amerika, Australia, dan negara industri lainnya.
Ketiga puisi di atas merupakan puisi-puisi yang terhimpun dalam kumpulan puisi “Potret
Pembangunan Dalam Puisi” Karya W.S Rendra membuka kumpulan sajaknya yang berjudul
“Potret Pembangunan dalam Puisi” yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan tahun
1980 lalu diterbitkan kembali oleh Pustaka Jaya tahun 201. Sesuai dengan judul antologinya,
puisi tersebut sarat sekali berbicara (mengkritik) praktik pemerintahan dalam proses
pembangunan.

Puisi Rendra, adalah puisi yang hidup sepanjang masa. Fungsi kritik dalam puisi tersebut
juga masih sangat tepat bila diutarakan kepada pemerintahan sekarang. Rendra dengan
kesaksiannya, Ia mengkritisi persoalan yang nyata dalam sajaknya, membuat siapa pun yang
membacanya menjadi merenung dan peka terhadap permasalahan yang ada. Memengaruhi siapa
saja yang membaca dan mendengar sajaknya menjadi tergerak hatinya mensugesti siapa saja
untuk berpikir kritis dan senantiasa melakukan perubahan yang positif.
Terasa sekali pengaruh positif yang dihasilkan dari antologi “Potret Pembangunan dalam
Puisi” dapat memacu semangat generasi muda. Menjadi inspirasi dalam berkarya dan berkarsa.
Menyihir pembaca menjadi manusia yang menegakan identitas diri Manusia Indonesia. Dan
yang paling penting adalah Rendra mampu membuat kita peka dan berpihak pada mereka yang
terpinggirkan, terpuruk, dan tersuruk dalam proses pembangunan. Rendra telah berhasil
menanamkan ideologinya kepada pembaca melalui puisi-puisinya.

“Potret Pembangunan dalam Puisi” ini memuat 24 sajak yang ditulis pada pertengahan dekade
1970an, saat Orde Baru pada puncak kejayaannya. Berkah bonanza minyak bumi sangat terasa
melimpah, banyak sarana dibangun di kota-kota besar, berbagai prasarana fisik wilayah juga
dibangun. Sebagian kelompok yang menikmati proses pembangunan itu, pejabat dan
keluarganya, para kontraktor dan rekanan mendadak kaya raya. Gaya hidup mereka hedonis,
sementara itu sebagian yang lain justru tertinggal, tergusur, dan terpinggirkan. Terjadi penurunan
kualitas pendidikan “manusia seutuhnya” dengan cipta rasa dan karsa sesuai kebutuhan

lingkungannya, digantikan pendidikan yang mengajar anak didik “membeo, menghapal”,
mencetak tukang atau kuli pesanan pembangunan semata. Semua itu tercermin dalam sebuah
sajak yang berjudul “Sajak Sebatang lisong”
....................
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
......................
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Dari penggalan puisi di atas jelas Rendra mengkritisi permasalahan pendidikan. Dimana
kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di bawah kaki dewi kesenian. Mereka
menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan dan tanpa ada bayangan ujungnya. Papantulispapantulis para pendidik yang terlepas dari perosalan kehidupan, tidak ada kesesuaian antara
ilmu-ilmu yang diajarkan dengan kebutuhan lingkungan. Rendra menghimbau dalam puisi ini
bahwa kita harus mengamati gejala yang ada. Kita harus turun tangan langsung emnghadapi
persoalan yang nyata. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode dan kita sendiri mesti
merumuskan keadaan.
Setelah beberapa tahun bersama para mahasiswa berdemonstrasi, berstrategi mengritik
pemerintah dan proses pembangunannya, barangkali Rendra lalu menyaksikan bahwa banyak

kawan seperjuangannya (mahasiswa) sebagian lulus sekolah dan menjadi bagian dari kekuasaan
yang dikritiknya dulu. Maka “Sajak Kenalan Lamamu” (1977) menohok tajam:
……………….
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakar mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
………………….
Politik adalah cara merampok dunia.
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi,
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
………………………
Entah apakah sejarah selalu berulang, atau persoalan lama tak kunjung selesai, tapi
ternyata apa yang diteriakkan Rendra pertengahan 70an itu masih terjadi, atau berulang lagi tiga
puluh tahun setelah itu ditulis. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan pembangunan, bukannya
sudah terbang tinggal landas seperti impiah lama. Tetapi masih berkutat dengan soal kemiskinan
yang masih 40 jutaan. Ideologi ekonomi harus kembali lagi kepada “kerakyatan”, kata tabu
semasa Orde Baru. Tak bisa ditolak, karena kemiskinan telah “menempel di kaca rumah, di
gorden presidenan” kata sang penyair.
Rendra diakhir hayatnya masih menyaksikan betapa politik adalah “cara merampok”,
“festival kesenian”, atau “pekan olah raga” yang menghamburkan uang rakyat sekedar untuk
menaikkan standar hidup para politikus. Apa yang ditulis tahun 1977 masih terjadi sampai saat
ini. Sungguh tragis dan ironis. Sepertinya cerita politik ini tidak pernah mati dan Rendra tidak
pernah pergi. Ia tetap hidup dalam sejarah Indonesia dimana dia berjuang mengilhami gejala

kemanusiaan dan kebudayaan dengan senjata kata-kata. Selamat Jalan Mas Willy. Bagiku Kau
tak pernah pergi.
Estetika sebagai Kritik dan Apresiasi Seni dalam Puisi
Konsep keindahan bagi Hegel adalah apabila unsur-unsur yang beroposisi itu berfusi secara
harmonis dalam sebuah karya individual. Keindahan adalah penampakan murni dari ide secara
indrawi. Adapun estetika itu sendiri adalah suatu paparan mengenai pengalaman subjek tentang
suatu yang indah, entah itu suatu keindahan alam ataupun keindahan sebuah karya cipta manusia.
Teori-teori dalam estetika mengenai objek dan pengalaman keindahan dapat diterapkan, baik
untuk objek-objek alam maupun untuk karya seni. Tetapi umumnya, kritik atau apresiasi seni
biasanya hanya berlaku untuk karya seni sebagai objek filsafat keindahan atau keestetikaan.
Kritik terhadap seni itu berupa sebuah penilaian yang seobjektif mungkin mengenai suatu karya
untuk menilai apakah layak masuk ke dalam kategori karya seni atau tidak. Hal ini tentu tidak
lepas dari pendekatan yang dipakai, yaitu pendekatan filsafat yang mendasarkan pertanyaannya
pada apa yang disebut indah. Selain itu, yang terlibat bukan hanya kualitas keindahan karya seni
dan juga bentuk-bentuknya, tetapi juga menyangkut aspek-aspek lain seperti nilai-nilai
kebudayaan, teknis dan psikologis baik dari subjek yang mengkreasinya maupun sebagai yang
menikmatinya. Maka, lebih tepatnya kritik dan apresiasi itu berlaku bagi keekspresifan
manusiawi yang termuat dalam sebuah karya seni misalnya puisi.
Ada banyak hal yang dihadapi estetika dalam fungsinya tersebut, antara lain karena keragaman
cara pandang baik dari para seniman maupun dari penikmatnya atau para kritikus yang mencoba
memahaminya lewat pengalaman subjektif atau ‘habitus’-nya. Keragaman sudut pandang dalam
estetika sebagai permasalahan pokoknya itu yang akan dipaparkan dalam tulisan ini dengan
mengacu kepada tulisan Melvin Rader dalam pengantar bukunya yang berjudul A Modern Book
of Esthetics, An Apology (1973).
Setiap orang mempunyai kepekaan terhadap seni dan keindahan yang berbeda-beda.
Kepekaan ini sangat penting untuk menilai suatu karya sastra. Kepekaan inilah yang biasa
disebut dengan estetika. Estetika mempunyai dua cabang, yaitu estetika struktural dan estetika
semiotika. Kedua cabang estetika ini saling mendukung sama lain dan bila dipisahkan akan

menimbulkan sebuah kepincangan dalam karya sastra itu. Layaknya kupu-kupu dan bunga jika
dipisahkan tentu akan berdampak buruk pada keduanya.
Estetika struktural meliputi diksi, rima, irama, aliterasi, asonansi, permajasan, persajakan,
dan tipografi. Sementara itu, estetika semiotika berorientasi pada makna dan nilai-nilai yang
hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra yang diciptakannya. Untuk mencapai kedua
estetika tersebut, seorang pengarang tidak sertamerta langsung mendapatkannya dengan mudah,
namun ada proses untuk mencapai kedua estetika tersebut. Karena sastra tidak lahir dari kejadian
kosong, maka pengarang biasanya mendapatkan ide atau inspirasi melalui pengkajian banyak
sumber atau saling bertukar pikiran dengan sesama atau orang yang sama-sama memandang
sastra dari sudut yang sama bahkan berbeda
Pilihan kata atau diksi yang terdapat dalam puisi Sajak Sebatang Lisongkarya Rendra ini
memiliki pilihan kata atau diksi yang jarang digunakan penyair lain. kata-kata yang digunakan
dalam puisi cenderung menggunakan kata-kata yang ‘lain’ dalam artian disfemia. Disfemia
merupakan usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa menjadi kata
yang maknanya kasar. Misalnya pada kata: lisong(bait 1), cukong (bait 1), dangau (bait
4), disemprot (bait 5), bunting (bait 5), di upgrade (bait 7), tilam (bait 8), jidat (bait 9),
dan gemalau (bait 10). Jelaslah hanya seseorang yang luas kosakatanya dan mengetahui secara
tepat batasan-batasan pengertiannya, maka akan mengungkapkan pula secara tepat apa yang akan
dimaksudnya. Dalam hal ini, Rendra selaku penyair memiliki pengetahuan yang luas dalam
pembendaharaan kata yang tepat pada puisinya. Meski dalam puisi ini penyair banyak
menggunakan kata-kata yang maknanya disfemia, namun tak menutup keindahan yang ada
dalam setiap lariknya.
Kosakata yang dipakai dalam puisi “Sajak Sebatang Lisong” menggunakan kata-kata umum
yang mudah dimengerti. Meskipun memberikan efek kejelasan secara langsung, terasa
bahasanya sangat indah dengan kepuitisan yang khas. Kata-kata dalam kehidupan sehari-hari
diberi makna baru oleh penyair. Dalam pemilihan kata-kata, di samping penyair memilih
berdasarkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga
dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair, sehingga suasana perasaan penyair
merupakan hal yang paling berpengaruh dalam menentukan pilihan kata.

Puisi Sajak Sebatang Lisongmerupakan puisi yang bertemakan kritik sosial, namun dalam puisi
tersebut Rendra sangat piawai menyampaikan kritiknya melalui kata-kata yang tegas dan lugas,
dengan menggunakan bahasa yang sangat halus dan indah untuk mengkritisi sistem pendidikan
yang ada di negeri ini. Hal itulah yang menyebabkan puisi ini memiliki nilai estetika yang baik.
Seperti yang terdapat pada bait ke dua dan kesebelas.
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Rendra banyak memainkan unsur citraan yang terdapat dalam puisinya. Penyair ingin
menyampaikan gagasannya melalui diksi dan pilihan kata yang digunakan. Unsur citraan dirasa
menonjol dan cenderung diulang-ulang oleh penyair. Hal ini semata-mata dilakukan penyair
dengan tujuan agar pembaca dapat mengalami hal yang sama seperti apa yang ingin disampaikan
penyair. Dapat dilihat dari sajak berikut ini.
Menghisap sebatang lisong
Melihat indonesia raya.
Mendengar 130 juta rakyat
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak.
Menghisap udara
Aku melihat sarjana menganggur

Aku melihat wanita bunting
Berkunang-kunang pandang matanya,
Menghayati persoalan yang nyata.

Dalam puisi ada aspek perasaan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Perasaan
merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair
dalam puisinya dapat diketahui melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam
puisinya karena dalam menciptakan puisi, suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus
dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991:121). Di dalam puisi ini, tergambar jelas bahwa
sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran dalam puisi ingin menyampaikan kekecewaannya,
memprotes apa yang meresahkan (dalam hal ini: sistem pendidikan) yang carut marut, serta
ketidakpuasan seorang penyair terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Penyair menyampaikan
gagasannya, perasaannya melalui kata-kata berikut.
Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Dan yang termasuk ke dalam struktur estetik adalah kebaruan ataupun kreativitas. Ia selalu
‘meneriakkan’ kebaruan yang disadari kesadaran sukma sendiri (individualitas) sebagai kriteria
estetik yang utama. Dalam hal ini Rendra, selaku penyair ingin meneriakkan tentang keadaan
negara kita yang tidak sebagaimana mestinya. Tapi belum diperjelas sampai palungnya. Hanya
sebatas pengantar yang terdiorama singkat. Ada tiga kata kerja tanpa subjek yang disebut secara
eksplisit: menghisap, melihat dan mendengar. Siapa yang melakukan? Bisa ditebak. Kalau
dicermati dari sajaknya, yang menghisap Lisong adalah para petinggi kita yang membaca
keadaan sebuah Negeri: Menghisap sebatang lisong/ melihat Indonesia Raya/ mendengar 130
juta rakyat. Lalu ada kata ‘cukong’ yang mewakili segala yang tidak beres: korupsi,
penyelewengan, tindak penindasan, atau praktek dehumanisasi haram yang lain; dua tiga
cukong dengan

sehina-hinanya,

melakukan

kesenangannya

di

atas

kaum-kaum

yang

‘kecil’: mengangkang/ berak di atas kepala mereka. Ah, Rendra betapa indah sajak yang kau
ciptakan ini.
Meski puisi ini tergolong puisi cerita karena terdiri dari 12 bait, namun tak memungkiri
keestetisan dalam setiap sajaknya. Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi cenderung
menggunakan gaya bahasa repetisi (pengulangan bunyi). Seperti yang terdapat pada bait ke 2, 4,
dan 9. Pengulangan (repetisi) tersebut terdapat pada kata dan delapan juta kanak-kanak tanpa
pendidikan. Hal ini tidak semata-mata dilakukan penyair. Namun, penyair memiliki alasan
tersendiri mengapa hal tersebut terjadi. Disini, penyair ingin menegaskan bahwa apa yang telah
dialami, dilihat penyair, tentang sistem pendidikan indonesia yang salah.
Keindahan di dalam membaca puisi memang tidak dapat diwakilkan. Hal itu juga ditunjukkan
bagaimana dua orang yang berbeda memiliki penafsiran yang berbeda pada satu puisi yang sama.
Pengalaman keindahan terjadi secara langsung tanpa perantara. Oleh karena itu, keindahan juga
tidak mudah ditafsirkan atau dideskripsikan sedemikian rupa karena wujud keindahan
bergantung pada panca indra setiap orang dan pengalaman setiap orang.

Kesimpulan
Setiap karya memiliki sebuah nilai dan tujuan, begitu juga dengan karya sastra memiliki sebuah
makna serta nilai baik etika dan estetika. Setiap nilai yang ada mampu memberikan pembelajaran
dalam kehidupan layaknya karya sastra dari kumpulan puisi yang berjudul potret pembangunan.
Sebuah puisi yang mengisahkan potret social yang sampai saat ini masih terjadi di dalam
masyarakat. Seperti ketimpangan social, kemiskinan, egoisme, pemerintah yang seakan tak acuh
dengan ketimpangan tersebut cukup tergambar jelas dalam puisi Rendra ini. Dengan mempelajari
karya sastra akan didapatkan banyak sekali makna serta nilai yang mampu merubah cara
pandang serta sebagai pembelajaran dalam memahami kehidupan baik untuk diri sendiri maupun
kehidupan bermasyarakat.

ANALISIS KUMPULAN PUISI WS RENDRA”POTRET PEMBANGUNAN
BERDASARKAN TEORI DALAM ETIKA DAN ESTETIKA

OLEH :
1. Sri Wahyudi Yunshi P

121411131054

2. Dzakyy Ridha Mufadhdhal 121411133005
3. Lafreenda Tialoka Mitadiar 12141113009
4. Dwi Rizki Septiani

121411133021

5. Azizah Putri Purwasari

121411133023

6. Annur Fitriana

121411133029

Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
Surabaya
2016

Lampiran

Sajak Sebatang Lisong
Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………………………….

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan.

Dan di langit;
Para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
…………………………………

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkunga.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
I.T.B. Bandung

*Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan di
dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaya.

Sajak Seonggok Jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar …
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kuwe jagung.

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.

Tetapi ini:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.

Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”

TIM, 12 Juli 1975

SAJAK ANAK MUDA
Oleh: W.S. Rendra

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi

di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum

Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja?
inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan –
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini? Apakah ini?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.

Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.
(Potret Pembangunan dalam Puisi, Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977)

Sajak Kenalan Lamamu
(W.S. Rendra)
Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,

Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.
……………………………

Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
…………………….

Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.

Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
………………….

Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.
……………..
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
………..
Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,

di dalam peradaban fatamorgana.
……….

Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
…..
Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.
………..
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,

melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.
………………………..

Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.
………………

Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.

Kita telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.

…………………
Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.

Yogyakarta, 21 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi