Sukses Menjadi Dan Orang Tua

MENJADI ORANG TUA SUKSES
dan
SUKSES MENJADI ORANG TUA
Disusun oleh : Shobihin Amin
Banyak orang tua yang sukses dalam hidupnya,
bahkan sukses menjadi orangtua bagi banyak orang, tetapi
tidak bayak orang yang sukses menjadi orang tua buat
anak – anak dan keluarganya sendiri (Kipli : 2008)
Ayah dari seorang anak disaat ingin
mengenal dan mendapatkan wanita
pujaan hatinya, selalu tampil perkasa
seperti Salahuddin Al Ayyubi, gaga
berani
seperti Umar Bin Khottob,
bergaya kaya raya seperti Sayyidina
Usman, Cerdas dan bijaksana seperti
Muhammad, serta sabar dan tabah
seperti Ayub. Sang Ibu juga tidak kala
action dari sang lelaki,
disaat ingin mencuri hati dan simpati sang lelaki pujaan hati, Ia
selalu tampil lembut selembut kain sutranya A’isyah, keibuan seperti

khotidjah, perasa seperti Fatimah, bersahajah seperti Hajar, tidak
matre sehebat Zulaiha, penuh perhatian dan selalu berfikir positif
terhadap sang lelaki pujaannya sehebat Zainab. Hari-hari masa
ta’aruf (pacaran) mereka berdua mengisahkan berjuta kenangan
indah, penuh dengan romantisme dan “Cinta kasih” dibarengi
dengan pengorbanan cinta tanpa pengharapan dari keduanya.
Jalaluddin Rumi menyebutkan : “Memang muda untuk melemparkan
cinta, tetapi bukti darinya akan selalu dimintak”.

Dihari yang cerah, burung pun hinggap di tepi
danau nan gelap karena semak belukar.
Dengan penuh perasaan Cinta dan Kasih dari
keduanya (suami-istri), mereka bersepakat
untuk tidur berdua dalam satu tempat guna
mengawali proses terbentuknya bakal anak,
penuh dengan kebahagiaan, kedamaian dan
penghargaan hidup diantara keduanya.
Akhirnya anak terlahir kedunia disulut dan disambut oleh luapan api
“Cinta Kasih” Ayah dan Ibu, dan karena itu Allah mentaqdirkannya
lahir ke dunia yang fana ini. Tanpa barah “Cinta Kasih” Ayah dan

Ibunya tidaklah mungkin seorang anak, dua orang anak atau tiga
orang anak akan lahir kedunia.
Tapi mengapa anak yang terlahir
kedunia buah dari “Cinta Kasih”,
mereka dididik dan dibesarkan dengan
kekerasan dan kesewenag-wenangan,
bukan dengan “Cinta-Kasih”???.....
bahkan hanya ada yang bersemangat
membuatnya saja, tetapi tidak mau
merawat dan mendidiknya...Cinta kasih
ada kerap hanya saat ta’aruf (pacaran) dan saat ada kepentingan
biologis semata. “Cinta-Kasih” kerap pudar dihantam oleh
permasalahan-permasalahan hidup dalam rumah tangga, seperti
permasalahan ekonomi, permasalahan kesetiaan, permasalahan
anak, permasalahan pekerjaan dll. Datangnya permasalahan rumah
tangga yang diikuti dengan pudarnya perasaan “Cinta Kasih” Ayah
dan Ibu dapat menyulut terjadi konflik rumah tangga.
Adanya konflik rumah tangga antara Ayah dan Ibu akan
dapat mengajari anak untuk berpihak, berpihak berarti harus
menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak yang terlibat


konflik. Kata ayah “Ibumu tuh yang kecentilen senengange mondarmander” berbeda dengan kata ibu “Bapakmu itu yang males, wong
lanang kok tura-turu” (kata ayah “ gara-gara ibumu yang genit dan
suka jalan-jalan, kata ibu “ salah bapakmu yang males, laki-laki kok
tidur-tiduran melulu), pada posisi seperti itu anak yang seharusnya
mendapat bimbingan dan sentuhan penuh kelembutan “Cinta Kasih”
selembut kala mereka masih pacaran dulu, anak dipaksa untuk
menjadi penonton merangkap wasit pertengkaran antara Ayah Vs
Ibu. Saat itulah anak belajar pada orang tuanya sendiri tetang tata
cara, menyelasaikan masalah, menyalahkan teman, membentak
dan memarahi orang lain “Alah Ortu” yang selama ini mereka
kagumi dan idolakan.
Sungguh fenomena keluarga yang dipenuhi
dengan angkara dan pertengkaran akan
semakin jauh dari suasana “Cinta Kasih”
yang dapat mempengaruhi pola asuh anak
dengan pola-pola kekerasan dan jauh dari
pola asuh anak yang penuh dengan “Cinta
Kasih”. Kalau anak hari-harinya dihadapkan
pada percekcokan, hinaan, cacian, bahkan

kekerasan fisik, maka ia akan menjadi anak yang minder dan
berkurangnya semangat hidup, malas berproses, nekad tanpa
perhitungan (ngawur), suka menyalakan orang lain, muda putus asa
dan enggan mengakui kelebihan dan prestasi teman atau orang
lain, karena yang ada dalam rumahnya adalah hujan hinaan
bercampur dengan cacian dan saling menyalahkan anatar sesama
dan tidak pernah ada gerimis pujian, peghargaan dari dan untuk
sesama.
Padahal, mempunyai anak adalah dambaan
setiap pasangan suami istri selama berbulanbulan. sekalipun mendapatkannya ada yang
super cepat, ada yang sedang, ada yang

lambat, bahkan ada yang belum dikaruniai
keturunan/anak sampai akhir hayat. Bagi yang
sudah beranak pinak, mereka mendapat
pangkat baru “sebagai Bapak dan Ibu kandung
dari si anak” dan mereka berdua berhak atas
perwalian dan pendidikan. Dan bagi mereka
yang tidak dikaruniai anak secara biologis dan
turut membesarkan dan mendidik anak orang

lain, maka bersiaplah untuk dijadikan dan
dipanggil “Ayah-Ibu” bagi si anak dan
menjadi idola buat mereka, karena saat sekarang banyak orang tua
yang lupa pada pendidikan dan kehidupan anak dengan alasan/alibi
masing-masing, sehingga anak memilih mencari “Ayah-Ayah-an dan
Ibu- ibu-an diluar yang lebih peduli padanya. Maka, bagi yang
dikaruniai anak secara biologis, dan tidak ikut menghidupi atau
mendidik anaknya, maka bersiaplah untuk dimusuhi, tidak dipanggil
“Ayah/Ibu” dan akan dipanggil “OM atau Tante” sepanjang zaman.
Adanya anak adalah berkah tiada hingga, karena tiada
kebahagiaan sejati nan abadi tanpa anak dalam
keluarga, meski kandang anak juga dapat
menjadi fitnah dan bagian dari permasalahan
rumah tangga. Maka sungguh merugi bagi yang
mempunyai anak tapi tidak mau berusaha
maksimal untuk menjadi sosok bapak dan ibu
yang baik dan menjadi idola buat anak-anak,
sebagaimana do’a nabi Ibrohim pada TuhanNya : “ Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang-orang
yang sholeh (Q.S. Ashshoffat : 37)

Iku sing dirumat nyaine yo pinter
ora nakal (itu yang diasuh neneknya
juga pintar dan tidak nakal) kalimat

di atas kerap dijadikan alasan orang
tua karer untuk tidak peduli dengan
anak dan lebih mementingkan kerja.
Padahal, mendidik anak adalah
kwajiban mulia yang perlu dipelajari
terus menerus dan membutuhkan
pengorbanan yang besar, mendidik
anak tidak boleh asal-asalan,
mendidik anak tidak cukup dengan
pengalaman
warisan
nenek
moyang. Sekarang kita berada pada
sebuah zaman baru yang belum
perna dialami oleh kakek dan nenek
kita, mereka mendidik anakanaknya berdasarkan pengalaman

dan kebutuhan saat itu.
Maka saat sekarang, didiklah anak-anak kalian dengan “Cinta
Kasih-mu”, rawatlah Ia penuh dengan kesabaran dan keikhlasan
hati. Jalaluddin Rohmat, seorang Cendikiawan Muslim, memberikan
ciri-cirinya sebagai berikut : Empat tanda orang Sabar : tabah dalam
derita, tegar dalam berbuat baik, rendah hati, dan pemaaf (Nabi
SAW, Wahj Al Balaghah, hal. 154). Adapun tanda orang ikhlas ada
empat : membersihkan hatinya, menggerakan tubuhnya dengan
tulus, membagikan kebaikannya dan menahan keburukannya (Nabi
SAW, Al Balaghah hal. 154)
Dan jangan lupa tanamkan pada
jiwa mereka arti keimanan,
tanggungjawab dan perjuangan
dan berilah pelajaran arti hidup
dan pergaulan sesuai dengan
porsinya masing-masing, jangan
biarkan mereka dalam kondisi

lemah
dan

penuh
dengan
keterbatasan. Allah berfirman :
        
      
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Memahami Gaya Anak :
Sungguh benar, pernyataan dalam hadits,
bahwa salah satu anak manusia yang sukses
mendapat perlindungan khusus di padang
Mahsyar adalah pemuda shalih. "Permuda yang
hatinya terikat dengan masjid..." juga, "Pemuda
yang tumbuh berkembang dalam ketaatan
kepada Allah. "
Pemuda masjid, remaja Ahli Ibadah, memang makhluk langka.
Karena itu adalah usia di mana seluruh elemen dalam tubuh,

seluruh unsur manusia dalam diri manusia ini, menuntut untuk diberi
pengakuan, dan memaksa untuk diberi kepuasan. Segala
kepentingan diri yang di masa kanak-kanak berenang-renang di
alam khayal, di masa remaja dituntut menjadi nyata. Sungguh sulit,
menjadi orang shalih, di tengah lingkungan serba mengajak
bermaksiat. Lebih sulit lagi menjadi remaja shalih, karena
keremajaan selalu diidentikkan dengan puncak ketidakstabilan. Saat
insting kenakalan sedang liar-liarnya. Menjadi remaja shalih berarti
mengekang kuda liar agar menjinak, dan ditunggangi dengan

nyaman. Untuk menjadi remaja yang tangguh, kamu perlu belajar
menjadi joki yang baik.
Menurut Trias Setyowati Sekretaris
Pimpinan Pusat A’isyiyah dalam sebuah
makalah singkatnya menyebutkan : Ada
banyak kepercayaan atau mitos yang
hidup dalam dunia orang tua. Mitos
tersebut
perlu
dikaji

dan
diuji
kebenarannya dalam praktek, agar
pelaksanan pola asuh anak menjadi
makin lancar, beberapa mitos yang dapat
dikaji adalah sebagai berikut :
1. Menjadi orang tua sempurna adalah keharusan.
Setiap orang tua memiliki keterbatasan, sebagaimana yang ada
pada setiap anak. Oleh karena itu yang paling penting adalah
selalu belajar menjadi orang tua yang baik.
2. Anak yang ideal adalah anak yang cerdas.
Kecerdasan adalah konsep yang luas, tidak terbatas meraih
rangking dalam kelas – menjadi juara – menjadi bintang pelajar
dan sebagainya. Setiap anak memiliki kelebihan sekaligus
kekurangan masing-masing. Orang tua perlu belajar untuk
menghargai anak dan sebagaimana anak seharusnya seorang
anak layak mendapat penghargaan. Apalagi jika para orang tua
memiliki pengalaman sebagaimana orang yang kurang dihargai
dalam kehidupan selama ini.
3. Orang tua selalu lebih baik dari anaknya.

Perkembangan ilmu dan tehnologi yang sangat cepat tidak
memungkinkan lagi orang tua selalu memiliki semua “kelebihan”

dibanding dengan anaknya. Kelebihan yang sering ditonjolkan
orang tua adalah bahwa “orang tua sudah pernah muda dan
anak belum pernah menjadi tua”. Kelebihan lain yang sering
digunakan secara terbuka atau tertutup adalah, orang tua selalu
benar – sementara anak selalu salah, orang tua selalu
mengetahui segala sesuatu – sementara anak dianggap tidak
mengetahui banyak hal, orang tua selalu berpengalaman
sementara anaknya tidak dsb. Jadi para orang tua sebaiknya
selalu belajar untuk mengetahui berbagai perkembangan
berbagai bidang pengetahuan.
4. Anak Selalu harus Gemuk.
Pada zaman yang sangat kompleks, terutama dalam makan dan
makanan, maka yang penting saat ini adalah justru soal
kesehatan, bukan kesehatan, bukan gemuk atau kurus. Maka
orang tua juga perlu belajar mengenai masalah gizi dan
kesehatan.
 Prinsip pola asuh anak
Beberapa prinsip dalam memahami
hubungan orang tua dan anak ada 4 hal,
yakni resiko alamiah, resiko logis, kontrak
dan strap atau Time-out. Prinsip-prinsip
tersebut digunakan dalam memahami
hubungan apa saja yang terjadi antara tua
dan anaknya. Siapa pemilik masalah
adalah hal lain yang perlu dikenali oleh
orang tua.
1. Resiko Alamiah

Setiap peristiwa kehidupan yang akan berakibat pada anak
namun tidak berbahaya maka sebaiknya dibiarkan terjadi secara
alamiah, tanpa perlu pemberitahuan terlebih dahulu. Prinsip ini
membiarkan anak beljar dari pengalaman langsung. Prinsip ini
dapat dipakai dalam masalah-masalah yang tidak berbahaya bagi
anak, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Contoh: anak
dibiarkan memanjat pagar, tanpa perlu diperingatkan, jika dia jatuh,
maka anak akan belajar jika memanjat berarti dapat jatuh. Prinsip
ini dalam penerapannya membutuhkan kesabaran dari orang tua
karena hasilnya sangat kuat untuk membentuk kepribadian anak.

halnya dengan orang tua. Gaya orang tua yang banyak ditemui
adalah gaya hakim, gaya jaksa, gaya khotib, dan gaya teman.

2. Resiko Logis
Setiap peristiwa kehidupan yang akan berakibat pada anak
dengan resiko jangka panjang, bisa juga terdapat orang tua dan
lingkungan, anak diberikan pengetahuan terlebih dahulu agar
mereka mengenal akibat perbuatan mereka. Prinsip ini pada
masalah yang mempunyai akibat tetap dan berjangka panjang.
Contoh : anak diberi pengetahuan tentang kesehatan gigi dan
akibatnya, agar mereka mau menjaga kesehatan giginya.

5. Time-out.
Time- out adalah pengingkaran terhadap kontrak yang telah
disepakati. Hukuman yang diberikan pada anak adalah hukuman
yang telah disepakati. Tidak hanya berdasar ‘mood’ atau “dorongan
hati” orang tua. Bentuk hukuman adalah hal yang tidak membawa
bahaya bagi anak, baik secara psikologis maupun fisik. Contoh : Di
keluarkan dari rumah selama 10 menit, tidak boleh bermain selama
1 hari. Dsb
Keempat model pola asuh tersebut dapat dipakai secara
bersama-sama maupun secara bergantian dalam mengasuh anak.
Terutama anak-anak yang sudah bisa berbicara.

3. Kontrak
Sering disebut juga membuat perjanjian. Setiap peristiwa
yang mempunyai akibat jangka panjang, menciptakan hak dan
kewajiban pada anak, maka perlu dibuat kontrak – kesepakatan
dengan anak. Termasuk hukuman seperti apa yang mereka
inginkan jika mereka tidak dapat memenhi kewajibannnya. Jika hak
– kewajiban pada suatu masalah tertentu sudah di sepakati,maka
kedua belah pihak, anak dan orang tua sama-sama tanda tangan.
Contoh : anak ingin memelihara kelinci, apa saja kewajibannya ?
apa hukumannya bila bila tidak mampu menepati. Demikian pula
jika anak mampu gaya anak, maka orang tua pun perlu mengenali
gayanya sendiri. Anak mempunyai banyak gaya, demikian pula

4. Bos.
Bos adalah gaya orang tua yang suka memberi perintah dan
juga hukuman. Anak akan menjadi orang yang selalu dibawah dan
merasa rendah selalu. Jika ini berkelanjutan terjadi dalam kehidupan
anak maka menepati kewajibannya apa hadiahnya. Jangan lupa
dalam kontrak ada proses negoisasi yang mengarahkan pada
tanggung jawab anak yang bersumber dari dalam.


1.

Macam –macam Gaya Anak
Gaya Ngalem : Selalu tampil sok tak berdaya,
Sebuah gaya yang menunjukkan ketidakberdayaan yang dapat
mengundang iba orang tua, sehingga orang tua selalu ingin
menolongnya. Kalau keduanya sama-sama cocok maka akan
mendatangkan bahaya bagi anak, bapaknya bangga kalau bisa

membela anak dan anaknya juga senang kalau dibela orang
tuanya.
2.

3.

4.

Gaya Pemberontak : Selalu menunjukkan
kekuasaan : Gaya anak yang menunjukkan kekuasaannya
adalah bagian dari kecerdasan anak yang memahami bahwa
orangtuanya mudah ditaklukkanya. Anak ini biasanya
mempunyai banyak jurus untuk menaklukkan hati orang tuanya,
biasanya dengan menagis dan meraung-raung, dengan
berguling-guling, dengan bermain pisau dll.
Gaya Nyoboh : Selalu mencari Perhatian : Gaya
anak yang meminta orang tua untuk dengan cepat meninggalkan
aktifitasnya dan berpaling pada anaknya. Biasanya digunakan
pada saat orang tua sibuk, apakah menerima telepon, ada tamu,
ada mertua dsb. Gaya anak biasanya marah menangis,
merengek dsb.
Pembalas Dendam : Gaya anak yang suka
melampiaskan kekesalannya pada orang tua. Gaya anak
biasanya berupa, kata yang menyakitkan, tindakan berupa
merusak dsb. Anak yang dendam menginginkan kesempatan
untuk membalas. Anak sering terjepak dalam siklus kesedihan
dan menginginkan orang tuanya bertanggung jawab atas semua
ketidakberuntungannya di dunia

 Memahami Gaya Orang Tua.
Sebagaimana anak akan menjadi anak yang tertekan, tidak
merdeka dalam mengeluarkan pikiran dan perasaannya. Dalam
jangka panjang akan mengangu komunikasinya dengan orang lain.

1. Pelindung
Gaya orang tua yang selalu membela anak dan menghargai
apapun yang dilakukan anak. Biasanya orang tua yang tersenyum
penuh arti yang menyenangkan. Gaya ini bisa membuat anak tidak
berdaya, dan ingin selalu ada yang jadi dewa penolong bagi dirinya.
2. Penyelamat
Gaya orang tua yang menyelesaikan masalah yang dihadapi
anak dalam berbagai keadaan. Gaya yang satu ini akan
mengakibatkan daya juang dan daya anak melemah, akan menjadi
tanggungan bagi orang tanya secara berkepanjangan.
3. Hakim.
Gaya hakim adalah gaya orang tua yang sering menjatuhkan
hukuman secara sepihak kepada anak. Gaya ini sering membuat
anak tertekan, anak menjadi tertutup kepada orang tua. Anak belum
sempat mengemukakan masalahnya, orang tua sudah menunjukkan
kekuasannya. Dengan gaya hakim anak menjadi tersangka, dan
merasa bersalah selalu.
4. Jaksa.
Gaya jaksa adalah gaya orang tua yang sering menuntut
anaknya, jika tuntutan terlalu berlebihan, maka hal ini membawa
kecemasan pada anak, takut pada orang tua. Apalagi bila orang tua
memiliki impian masa lalu yang tidak kesampaian kemudian
dipindahkan keanaknya maka semakin menderitalah si anak karena
menjadi bulan- bulan impian orang tuannya.
5. Khotib
Gaya khotib atau gaya penceramah, adalah gaya orang tua
yang suka berceramah pada anak, anak menjadi pasif dan
cenderung mendengarkan “pidato” orang tuanya, padahal masalah

yang sebenarnya yang sebenarnya belum menghargai anak. Anak
akan menjadi pendengar dengan hati dongkol dan terpaksa
mendengarkan “pidato”ayah bundanya.
6. Sahabat.
Gaya sebagai sahabat adalah gaya dimana orang tua dapat
menjadi kepercayaan bagi anak-anaknya. Sehigga berbagi berbagai
permasalahan yang ditemui anak akan dapat dibicarakan secara
terbuka dan leluasa. Alangkah bahagianya mendapatkan anak yang
merdeka seperti ini. Berbagai gaya orang tua diatas bisa dipakai
secara bergantian sesuai tujuan, namun gaya sebagai teman
nampaknya akan lebih mengena dan mencapai tujuan.
 Komunikasi Terbuka Orang Tua.
Gaya orang tua dan gaya anak tadi akan indah jika para
orang tua mahir menggunakan pertanyaan terbuka kepada anaknya
yang memungkinkan memberikan alasan mengapa suatu hal terjadi.
Seperti bertanya pada anaknya “mengapa gelasnya kok bisa jatuh?”
dimana jawabnya akan berupa cerita berbagai cerita. Berbagai kata
pembuka untuk menggunakan pertanyaan terbuka adalah
“mengapa?”, bagaimana?”, “kenapa?”, “coba jelaskan apa yang
terjadi?” dan kata-kata sejenis lainnya yang memberikan
kesempatan pada anaknya.
Kebanyakan orang tua sangat mahir menggunakan
pertanyaan tertutup yang cenderung menempatkan orang tua
sebagai bos, hakim, jaksa, khatib. Misalnya “gelasnya jatuh tidak
hati-hati ya”, si anak hanya memiliki kesempatan menjawab “ya”
atau “tidak”. Dan kata lainnya yang tidak yang tidak memberi
kesempatan kepada anak untuk menyampaikan penjelasan atau
pendapatnya.

Meski sederhana hanya menggunakan pertanyaan terbuka,
namun para orang tua kebanyakan diasuh dan dibesarkan dengan
pertanyaan tertutup. Maka perlu usaha yang cukup kuat dan
kerjasama antara ayah dan ibu untuk membiasakannya.
 Peran orang tua dalam mengasuh anak.
Seperti sudah sering disampaikan dan dipercaya sebagai
suatu kebenaran abadi bahwa baik atau tidaknya seseorang anak
tergantung pada kemampuan ibunya. Hal tersebut tidak selamanya
tepat. Jikalau anak masih berumur dibawah tahun memang peran
ibunya sangat besar, tetapi bukan peran tunggal karena ayahnya
tetap mendukung dalam pendidikan anaknya dengan memberikan
figure yang”kuat”, “jelas komunikasinya”, cepat dalam mengambil
keputusan dan sebagainya.
Jika ukuran anak, maka peran ayah dan ibu yang penuh
kebersamaan untuk mendidik anak akan mengembangkan
kepribadian yang kuat pada anak. Pola asuh yang selama ini
membuat anak laki-laki dekat dengan ibunya dan anak perempuan
dekat dengan ayahnya. Pola lama tersebut kurang membawa
perkembangan yang maksimal bagi anak. Anak perempuan
cenderung jadi pandai, pemberani, kuat dan tegas karena dekat
dengan ibunya, sementara sebaliknya anak laki-laki cenderung
halus, pemalu, lambat mengambil keputusan, tidak sistematis
karena dekat dengan ibunya. Peran ayah dan ibu yang seimbang
akan mengembangkan anak pada hal-hal yang lebih besar dan luas.
Apalagi ketika anaknya mulai mengejutkan tanda-tanda
memasuki masa dewasa dengan datangnya haid untuk anak
perempuan dan mimpi basah untuk anak laki-laki maka peran ayah
dan ibu akan diharapkan semakin besar. Hal tersebut diharapkan
dapat mengembangkan kepibadian anak dengan lengkap dan
sempurna. Tak perlu malu seorang ayah mendidik anaknya, toh juga
anak ayah dan ibu, juga anak sendiri. Peran ayah sangat penting

juga karena diharapkan memiliki hubungan emosi yang maksimal
dengan anak-anaknya dimasa tuanya.
Sungguh benar, pernyataan dalam hadits, bahwa salah satu
anak manusia yang sukses mendapat perlindungan khusus di
padang Mahsyar adalah pemuda shalih. "Permuda yang hatinya
terikat dengan masjid..." juga, "Pemuda yang tumbuh berkembang
dalam ketaatan kepada Allah. " Pemuda masjid, remaja Ahli Ibadah,
memang makhluk langka. Karena itu adalah usia di mana seluruh
elemen dalam tubuh, seluruh unsur manusia dalam diri manusia ini,
menuntut untuk diberi pengakuan, dan memaksa untuk diberi
kepuasan. Segala kepentingan diri yang di masa kanak-kanak
berenang-renang di alam khayal, di masa remaja dituntut menjadi
nyata.
Sungguh sulit, menjadi orang shalih, di tengah lingkungan
serba mengajak bermaksiat. Lebih sulit lagi menjadi remaja shalih,
karena
keremajaan
selalu
diidentikkan
dengan
puncak
ketidakstabilan. Saat insting kenakalan sedang liar-liarnya. Menjadi
remaja shalih berarti mengekang kuda liar agar menjinak, dan
ditunggangi dengan nyaman. Untuk menjadi remaja yang tangguh,
kamu perlu belajar menjadi joki yang baik.

Bin Abi Tholib, Ghrral Hikam)
Jaga pikiranmu karna pikiranmu menentukan prasaan. Jaga
prasaanmu karna prasaan menentukan tindakan. Jaga
tindakanmu karna tindakan menentukan kebiasaan. Jaga
Kebiasaanmu karna kebiasaan menentukan nasibmu.
Masa kini bukanlah tujun Kita. Masa kini dan masa lalu
hanyalah wahana kita.Masa depanlah satu-satunya tujuan kita
(Blaise Pascal, Fisikawan dan fissuf prancis)

Dunia hanya tahu kegunaan apa saja yang berguna, tapi tidak
tahu kegunaan apa saja yang tidak berguna (Chuang – Tzu,
Filsuf China, 400 SM )