PENGELOAAN LINGKUNGAN HIDUP Sebagai Tuga

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

PENGELOAAN LINGKUNGAN HIDUP,
Sebagai Tugas dan Tanggung Jawab Etis
Kristiani
Oleh : Johan Andres Serhalawan

Abstrak
Krisis dan kerusakan lingkungan dalam dua dekade belakang ini sangat memprihatikan
sekali. Kerusakan lingkungan yang bersifat lokal membawa dampak yang sangat
mengglobal. Pemanasan bumi, perubahan iklim, pemunahan spesies, penipisan sumber
daya adalah rentetan hal-hal yang mengiringi kerusakan lingkungan. Atas dasar
masalah-masalah inilah, maka manusia harus segera disadarkan bahwa alam atau
lingkungan yang sementara di diaminya sedang mengalami ‘sakit’. Manusia harus
segera berbenah diri untuk melakukan tindakan pemulihan lewat tugas dan tanggung
jawab mengelola lingkunga hidup secara baik, benar dan tepat.
Keywords : Pengelolaan, Lingkungan Hidup, Etis, Kristen
Pendahuluan
Menyelidiki cikal bakal kerusakan lingkungan bukanlah suatu perkara yang mudah.
Lintasan sejarah yang terbentang di hadapan kita begitu luas dan kompleks. Tentunya hal
ini akan menyulitkan kita untuk memetakan awal mula terjadinya kerusakan lingkungan.

Beberapa ahli berpendapat bahwa awal mula terjadinya kerusakan lingkungan adalah
ketika populasi manusia mulai berkembang, pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya dan
pola hidup serta munculnya industrialisasi. Terlepas dari pendapat tersebut, menurut Otto
Piper dalam bukunya Christian Ethics bahwa kerusakan lingkungan hidup berakar dalam
filsafat yang membatasi etika pada hubungan interpersonal atau hubungan antara
manusia, akibatnya manusia bebas menentukan hubungan dengan alam sesuai dengan
yang dikehendakinya.1 Manusia memandang alam hanya dalam kepentingan ekonomi
saja, oleh sebab itu relasi yang dibangun antara manusia dengan alam adalah relasi
1 Piper Otto, Christian Ethics, (London : Thomas Nelson & Sons, 1970), hlm. 328

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

pemilik dan milik.
Sikap manusia yang memandang alam sebatas nilai ekonomis tersebut dimulai oleh
pengaruh filsafat, terutama filsafat modern dalam sosok rasionalisme dan empirisme yang
berkembang di Eropa sejak abad ke-13, tetapi terutama sesudah Abad Pertengahan.
Rasionalitas Descartes dan kritisisme Immanuel Kant dapat dianggap sebagai sebagai
legitimasi filosofis terhadap pandangan etis yang melahirkan hubungan diskontinuitas
manusia


dengan alam secara

mutlak. 2 Akumulasi dari

semunya

itu adalah

pengeksploitasian sumber daya alam sebagai sumber ekonomi yang mendorong
meledaknya Revolusi Industri sebagai kekuatan pembangunan modern dan yang
melahirkan ideologi pertumbuhan, baik dalam kapitalisme maupun sosialisme.
Pada abad ke-19, ketika industri telah berkembang sedemikian rupa dan ditopang
oleh munculnya teori evolusi yang menghasilkan pandangan baru di bidang biologi, maka
alam semakin dikuasai dan dikontrol oleh manusia, akibatnya nasib alam berada dalam
tangan manusia. Kecenderungan menguasai alam nyata dari sikap dan perilaku
utilitarianistis yang semata-mata memanfaatkan alam.
Dunia modern ditandai dengan pembangunan yang bersifat intensif dan sistematis
yang bertujuan untuk mematuhi kebutuhan manusia agar makin sejahtera. Alam atau
lingkungan dilihat sebagai sumber ekonomi objek, hubungan saya-benda. Arti dan makna
benda sepenuhnya ditentukan dan tergantung pada penilaian manusia. Kalau manusia

menilai sesuatu, maka benda itu bernilai. Kalau manusia menganggap benda itu tidak
bernilai, maka benda itu tidak bernilai. Cara penilaian yang demikian membuat arti dan
makna benda hanya bernilai alat/instrumen bagi manusia. Benda itu tidak mempunyai
nilai pada dirinya.
Alhasil dari sikap dan sifat manusia yang berlaku semena-mena terhadap lingkungan
hidup adalah terjadinya krisis lingkungan hidup berupa pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup. Manusia seakan-akan disadarkan dari mimpinya bahwa alam atau
lingkungan yang di diaminya sementara mengalami “sakit”. Berbagai upaya penyadaran
dilakukan dalam rangka penataan dan “penyehatan” kembali lingkungan hidup.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerapan sistem pengelolaan
lingkungan yang bertanggung jawab. Artinya sistem tersebut merupakan upaya manusia
2 Borrong Robert P. Etika Bumi Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 144, bandingkan
pula dengan Jongneel, Hukum Kemerdekaan I, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1980), hlm. 29

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

untuk berinteraksi dengan lingkungan untuk mencapai kehidupan dan kesejahteraannya. 3
Pengelolaan ini mempunyai tujuan adalah :
a) Mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan
membangun manusia seutuhnya.

b) Mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
c) Mewujudkan manusia sebagai Pembina lingkungan hidup.
d) Melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi
sekarang dan mendatang.4
Hal senada pula disampaikan oleh Herman Haeruman Js bahwa pengelolaan
lingkungan hidup dapat diartikan sebagai upaya mengatur hubungan antara manusia
dengan lingkungan alam dan bertujuan untuk mendapatkan kualitas lingkungan hidup
yang mampu memberikan dukungan maksimum dan bermutu bagi kelangsungan peri
kehidupan.5
Di sisi lain, Pengelolaan lingkungan hidup juga berkaitan dengan upaya
meningkatkan hubungan yang harmonis antara kegiatan manusia dengan alam sehingga
kualitas kegiatan manusia dan kualitas dukungan alam menjamin kehidupan yang
berkelanjutan.6 Alam lingkungan hidup pada umumnya terdiri dari berbagai kejadian,
seperti : (a) komponen-komponen biotik dan abiotiknya (sumber daya alam), (b)
keterkaitan antara komponen (sistem ekologis), (c) sekuen kejadian (dimensi waktu
dalam perubahan), (d) dan semua kejadian terdapat dalam suatu ruang. Sehingga
pengelolaan hidup erat kaitannya dengan fungsi ruang dimana semua kegiatan manusia
berlangsung.
Kerusakan Lingkungan hidup, Sebuah Realitas lokal dan global
Menurut Calliot J Baird, kesadaran manusia akan krisis dan kerusakan lingkungan

telah muncul pada awal 1970-an sebagai tanggapan atas situasi tahun 1960-an ketika
orang tiba-tiba sadar bahwa peradaban industrial telah mengakibatkan krisis lingkungan
yang bermuara pada rusaknya lingkungan beserta ekosistemnya. 7 Industrialisasi yang
3

http://pustaka.ictsleman.net/ristek/bio. htm

4 Ibid
5 Haeruman Js., Herman, Artikel, Aplikasi Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Hukum
Nasional, (Jakarta : KLH, 2003), hlm. 1
6 Ibid
7 Callicot J Baird, Menuju Suatu Etika Lingkungan Global dalam buku bunga rampai editor Tucker

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

pada awalnya lahir dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia dan peningkatan
ekonomi, justru berubah menjadi momok yang menakutkan. Rupa-rupanya industrialisasi
bukan saja membawa hal positif bagi kehidupan manusia, tetapi juga dampak negatifnya
adalah rusaknya lingkungan hidup akibat pengeksploitasian yang berlebihan terhadap
alam lingkungan hidup. Sewaktu pertama kali disadari, krisis dan kerusakan lingkungan

hidup hanya dianggap sebagai kumpulan fenomena lokal.
Walaupun fenomena kerusakan lingkungan hidup berdimensi lokal, tetapi dampak
yang dihasilkan memiliki dimensi global. Peristiwa-peristiwa lokal seperti yang terjadi di
Prince William Sound, Bhopal dan Chernobyl adalah jawaban bahwa kerusakan
lingkungan yang sifatnya lokal setempat tetapi sangat berdampak global. 8
Peta lingkungan (The Atlas Of Environment) akan memberikan gambaran informasi
tentang hasil negatif yang timbul akibat terjadinya kerusakan lingkungan hidup yakni :
1. Punahnya Spesies
Akhir abad ini diperkirakan sejuta jenis binatang, tumbuhan dn serangga terancam
punah akibat kegiatan manusia. Tahun 2050 setengah dari spesies yang ada akan hilang
selama-lamannya. Penurunan jumlah spesies yang mengerikan ini akan menyebabkan
hilangnya keanekaragaman hayati.9 Keadaan ini juga merupakan kehilangan tragis
potensi genetik dari planet bumi. Diperkirakan bahwa antara 5-200 spesies hilang tiap
hari. Beberapa spesies hanya ada di lokasi tertentu dan bersifat endemik pada daerah
tertentu di bumi.
Satu dari sebab utama kepunahan adalah hilangnya hunian liar karena pertanian,
industri bahan bakar dan kegiatan manusia lainnya. Wilayah yang paling kaya spesies di
dunia adalah hutan hujan tropis. Menurut peta lingkungan yang diterbitkan tahun 1990,
tersisa kurang lebih 50% hutan tropis yang asli, yakni 750 hingga 800 juta hektar dari
keseluruhan hutan topis yang diperkirakan 1,5 hingga 1,6 miliar hektar. Persentase hutan

yang tinggal diperkirakan lebih kecil dari angka ini. Penggunaan potensi tumbuhan
dalam obat-obatan yang diperas dari sejenis tanaman rambat berbunga warna merah, yang
berasal dari hutan madagaskar, telah menolong penyembuhan anak yang menderita
leukemia dari 20% menjadi 80%. Banyak spesies akan hilang sama sekali sebelum
Mary E & Grim Jhon A , Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2003), hlm. 29
8
Ibid
9 Drummond D Celia, Teologi Dan Ekologi, buku pegangan (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001),
hlm. 5

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

manfaatnya dapat diselidiki. Sampai sekarang, hanya kurang dari 1 % spesies tanaman di
dunia yang telah sempat diselidiki manfaatnya bagi manusia.
2. Kemerosotan Tanah
Sebanyak 35% dari permukaan bumi kemungkinan besar akan menjelma menjadi
padang pasir yang potensial mendukung kehidupan yang terbatas pada spesies padang
pasir.10 Manusia telah menciptakan padang pasir sejak permulaan pertanian menetap
10.000 tahun yang lalu. Hampir seluruh Mesopotamia, terletak antara dua sungai Tigris
dan Efrat, telah menjadi padang pasir, padahal lebih dari 4.000 tahun yang lalu daerah itu

menjadi tempat lahirnya peradaban mula-mula. Irigasi kurang baik dan penggunaan tanah
yang berlebihan telah membuat daerah itu tandus dan gundul dan menjadi salah satu alas
an utama runtuhnya peradaban kuno ini.
Lapisan tanah yang subur atau humus membutuhkan waktu antara 200 tahun hingga
120.000 tahun untuk berkembang, tetapi humus itu dapat hilang dalam beberapa bulan
saja. Sekali suatu wilayah digunakan berlebihan, humusnya menjadi debu dan
diterbangkan angina. Salah satu masalah adalah sementara tanah yang tertekan dapat
pemulihan sebagian kesuburannya, motivasi politik yang sangat rendah untuk membawa
perubahan. Idealnya masalah ini dapat diatasi dengan melakukan suatu pada tingkat lokal
untuk membawa perubahan.11
3.

Penipisan Sumber-Sumber Energi
Pemakaian energi komersial (energi yang diperdagangkan oleh masyarakat industri

seperti listrik) secara global meningkat 2-3% setiap tahun. Menurut perkiraan baru dalam
peta lingkungan, bahan bakar minyak menyediakan kira-kira separuh dari energi dunia.,
batu bara seperti, dan seperlima berupa gas alam. 12 Akhir tahun 1980-an tenaga nuklir
diperkirakan memenuhi hampir seperlima dari kebutuhan listrik dunia. Selama beberapa
dasawarsa industri nuklir mendapat dukungan popular karena dirasakan efisien dalam

menghasilkan tenaga listrik. Akan tetapi apabila memperhitungkan biaya jangka panjang,
10 Kerusakan tanah dapat disebabkan oleh banyak factor, antara lain erosi, banjir, penipisan hara,
kemerosotan struktur tanah, penggundulan hutan, bertambahnya kadar garam, peternakan dan pencemaran.
11 Bandingkan dengan Chang William, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2001),
hlm. 19
12 Drummond D Celia, Op. cit, hlm 8

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

maka biaya sesungguhnya dari tenaga nuklir diperkirakan tiga kali lebih mahal
dibandingkan dengan batu bara. Keunggulan tenaga nuklir dari sudut pandang lingkungan
dibandingkan dengan bahan bakar fosil

agak ditentang oleh ancaman musibah

lingkungan yang disebabkan oleh musibah nuklir.
Perlawanan public terhadap pembangunan pembangkit nuklir yang baru, muncul
sesudah kecelakaan nuklir Chernobyl bulan April 1986. Akibat radioaktif dari kecelakaan
tersebut adalah 31 orang meninggal, 135.000 telah dipindahkan dan antara 20.000-40.000
orang akan meninggal karena kanker sebagai akibat peningkatan dosis radiasi. Radiasi

meracuni bahan makan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui rantai
makanan. Suatu akibat tidak langsung dari produksi energi adalah pencemaran dan resiko
kesehatan.
4.

Perubahan Cuaca
Para ilmuan sekarang ini bersepakat bahwa efek rumah kaca (ERK) mengakibatkan

perubahan iklim yang paling besar dan paling cepat dalam sejarah peradaban. Karbon
dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer bekerja seperti kaca dalam rumah kaca,
membiarkan matahari tembus, tetapi memerangkap sebagian panas yang seharusnya
dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Sementara kita membutuhkan karbon dioksida
sesuai takaran ilmiah untuk menjaga posisi iklim pada temperatur yang memungkinkan
kehidupan, ada cukup bukti bahwa terjadi kelebihan panas dalam iklim sebagai akibat
kegiatan manusia yang meningkatkan produksi karbon dioksida, seperti konsumsi bahan
bakar dan penggundulan hutan. Setiap tahun kira-kira 24 miliar ton karbon dioksida
dilepaskan, meningkatkan 750 juta metric ton per tahun. Karbon dioksida menimbulkan
lebih dari separuh peningkatan suhu dalam iklim dunia. 13
Jika iklim dunia semakin panas, hujan jatuh pada waktu yang berbeda dan ditempat
yang berbeda, sehingga mengganggu produksi hasil pertanian. Perkiraan kenaikan 3 0C

setiap dasawarsa menyebabkan hasil panen lebih rendah di negara penghasil padi-padian
seperti Amerika Serikat, Cina dan Negara-negara bekas Uni Soviet. Dampak yang
dihadapi oleh Negara-negara dunia ketiga adalah kehilangan tanah yang dapat ditanami
karena musim kemarau dan jatuhnya hujan yang tak diperhitungkan. Perubahan iklim
13 Bandingkan dengan www.wikipedia.com/perubahan-iklim-dan-efek-rumah-kaca.

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

juga berperan dalam punahnya spesies yang banyak di antaranya tidak akan mampu
berpindah ke daerah yang lebih dingin untuk bertahan hidup.
Pada tataran lokal (khususnya dalam konteks Indonesia), perhatian terhadap masalah
krisis dan kerusakan lingkungan telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Tongak pertama
sejarah tentang permasalah lingkungan hidup dipancangkan melalui seminar Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang diselenggarakan oleh Universitar
Padjajaran pada 15-18 Mei 1972. Hasil yand diperoleh dari pertemuan itu yaitu
terkonsepnya pengertian umum permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam hal
ini perhatian terhadap perubahan iklim, kejadian geologi yang bersifat mengancam
kepunahan makhluk hidup dapat digunakan sebagai pentunjuk munculnya permasalah
lingkungan hidup.
Pada dua dekade terakhir ini, berbagai kasus-kasus pencemaran dan kerusakan
lingkungan cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan industriliasasi yang tidak
diiringi dengan penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama pada
lingkungan perkotaan. Sungai-sungai di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan
rumah tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah, pupuk
maupun pestisida.
Masalah pencemaran dan kerusakan ini disebabkan oleh masih redahnya kesadaran
para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat
dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain, permasalahan lingkungan tidak
semakin ringan namun justru akan semakin berat. Apalagi, mengingat sumber daya alam
dimanfaatkan untuk pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, yaitu terpenuhinya tujuh kebutuhan dasar yang terdiri dari
sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, energi, dan keamanan. Dengan kondisi
tersebut, maka pengelolaan lingkungan hidup beserta sumber daya alam harus dilakukan
secara berkelanjutan sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penerapan
dan penegakan hokum lingkungan yang adil dan tegas, sumber daya manusia yang
berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi social budaya yang
semakin mantap. Tentunya hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab kita baik sebagai
orang Kristen maupun sebagai warga negara.
Tugas dan Tanggung Jawab Etis Kristiani, Sebuah Perspektif Alkitabiah

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

Pendekatan Alkitabiah terhadap isu lingkungan ialah melalui pertanyaan bahwa bumi
ini milik siapa? Pertanyaan ini mudah kedengarannya, padahal tidak. Sebab, apa jawaban
yang harus kita berikan? Jawaban pertama cukup gamblang. Mazmur 24, ayat pertama :
“Tuhan-lah yang mempunyai bumi beserta segala isinya”. Allah adalah Khalik, dank
arena Ia yang menciptakannya, maka tentu Ia pula yang memilikinya. Namun jawaban ini
baru setengah dari jawabannya.
Mazmur 115:16 “Langit itu langit kepunyaan Tuhan, dan bumi itu telah diberikanNya kepada anak-anak manusia”. Jadi, jawaban Alkitabiah yang lengkap atas pertanyaan
kita ialah bahwa bumi ini milik Allah sekaligus milik manusia. Milik Allah karena Ia
yang menciptakannya, milik kita sebab Ia telah memberikannya kepada kita. Tetapi jelas
bukan memberikannya kepada kita sedemikian tuntas sehingga Ia sama sekali tidak
mempunyai hak dan tidak mempunyai control lagi atasnya, melainkan memberikannya
kepada kita supaya kita menguasainya atas nama Dia. Itulah sebabnya penguasaan kita
atas bumi ini adalah berdasarkan hak pakai, bukan berdasarkan hak milik. Kita hanya
penggarap saja; Allah sendiri tetap (dalam artinya yang paling harafiah) ‘Tuan tanahnya’, tuan atas semua tanah.14
Kitab Kejadian dan Ulanganlah yang terbanyak berbicara mengenai lingkungan
hidup. Para pengarang kedua kitab itu mengaitkan pengalaman hidup mereka dari
kawasan lingkungannya dengan pemahaman tentang sejarah penyelenggaraan ilahi Israel
sebagai bangsa yang dipersatukan dengan Tuhan dan sebagai bangsa yang telah
dijanjikan tanah khusus. Mereka menggolongkan alam semesta kedalam peristiwa
penciptaan manusia dan mereka menyisipkannya ke dalam terjadinya kehidupan. Bab-bab
pertama dari kitab Kejadian, antara lain melukiskan permenungan klasik tentang
peristiwa penciptaan. Perbedaan-perbedaan yang muncul dalam lukisan ini menunjukkan
kekayaan gambaran mereka tentang penciptaan.
Tradisi Yahwista (Y) melukiskan kosmos sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahwe,
sebagai tempat kehadiran berkat Tuhan bagi manusia. Manusia mempunyai hubungan
yang tidak terpisahkan dengan alam semesta. Manusia hidup berdekatan dengan hewan
14 Kebenaran bahwa bumi adalah milik Allah sekaligus milik manusia dapat ditemui dalam
Kejadian 1 dan 2. Bandingkan pula Jhon Stott, Isu-Isu Global, Menentang Kepemimpinan Kristen, Peniliaian
Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000), hlm.
151

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

(Kej. 2 : 19-20).15 Sementara itu, tradisi Priester (P) (Kej. 1 : 1-2 : 4a) mengisahkan asal
kosmos untuk menunjukkan struktur arketipe keberadaan manusia dan dunia. Ada tiga hal
yang dititikberatkan oleh tradisi Priester sehubungan dengan peristiwa penciptaan dunia :
tatanan, waktu dan hidup. Sorotan atas Kejadian 1:11 sebenarnya bukan terutama terletak
pada gagasan sekarang, tatanan kosmik dikaitkan dengan tatanan moral dan social:
ketidakteraturan moral, kekerasan, air bah. Perhatian bagian Alkitabiah khususnya
terpusat pada tatanan kosmos dan buka pada penggalian asal-muasal kosmos. 16
Lalu, apakah yang dimaksud dengan kekuasaan manusia terhadap makhluk ciptaan
lain seperti yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian? Penulis kitab ini tidak
memandangnya sebagai kuasa tak terbatas, namun di hadapan mata Tuhan makhluk
ciptaan non-manusia dan manusia diandaikan untuk membentuk suatu komunitas makluk
ciptaan, dan di dalam komunitas itu manusia bertanggung jawab. Inilah dimensi tanggung
jawab manusia terhadap alam!
Ada tiga penegasan yang dapat disimpulkan dari berbagai bahan Alkitabiah
Perjanjian Lama mengenai tugas dan tanggung jawab etis kristiani terhadap lingkungan
hidup yakni : pertama, Allah memberikan manusia kekuasaan atas bumi. Sejak awal
manusia sudah dikaruniai dengan suatu keunikan ganda: kita mangandung gambar Allah
(terdiri dari kualitas-kualitas rasional, moral, social dan spiritual, yang memungkinkan
kita memegang kekuasaan atas bumi dan semua makhluknya. Memang, kekuasaan kita
yang unik itu atas bumi adalah hubungan kita yang unik dengan Allah. Allah telah
menyusun suatu tatanan, bahkan suatu hirarki dalam ciptaan-Nya. Disatu pihak kita
adalah satu dengan alam, sebagian daripadanya dan mempunyai status sebagai makhluk
segambar dengan Allah dan diserahi kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan disini
bukanlah kekuasaan sebagai ‘raja’ atas ciptaan yang lain. Tetapi dengan keunikan kita
sebagai manusia, maka tugas kekuasaan itu adalah dalam rangka untuk menjaga,
memelihara serta mengola alam dengan penuh rasa tanggung jawab.
Kedua, kekuasaan kita atas bumi adalah suatu kekuasaan koperatif. Artinya, dalam
menjalankan kekuasaan pemberian Allah itu, kita bukannya menciptakan, melainkan
bekerja sama dengan proses-proses alam itu. Dari Kej. 1 jelas bumi sudah dibuat
menghasilkan sebelum manusia diminta memenuhi dan menaklukannya. Manusia
15 Drummond D Celia, Op. cit, hlm. 49
16 Ibid

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

memang dapat membuat bumi itu lebih menghasilkan. Ia dapat membersihkan,
membajak, mengairi dan menyuburkan tanah. Ia dapat menempatkan tanaman di dalam
rumah kaca untuk memperoleh lebih banyak kesuburan tanah dengan bercocok tanam
secara silih ganti. Ia dapat meningkatkan mutu ternaknya dengan pengembangbiakan
selektif. Ia dapat menemukan jenis gandum hibrida yang hasilnya berlimpah ruah. Ia
dapat memekanisasi pekerjaan penuai raksasa yang dapat melakukan kedua pekerjaan itu
sekaligus. Tapi yang ia lakukan dalam semua kegiatan ini hanyalah bekerja bersama
dengan hokum-hukum keberhasilan yang sudah ditetapkan Allah. Lagi pula, takdir
‘mencari rejeki dengan bersusah payah’ yang dialami manusia dalam pertanian, akibat
Allah telah menjatuhkan ‘kutuk-Nya atas tanah (Kej. 3 :17), hanya membatasi tapi tidak
mengakibatkan Allah berhenti mengarunia tanah dengan ‘kelimpahan’ (Mazmur 65:9).
Manusia memang mengendalikan dan bahkan memacu hal-hal secara buatan. Namun
yang dikendalikan dan ditingkatkan efisiensinya secara buatan itu adalah proses-proses
yang pada hakikatnya alami. Dalam hal itu manusia bekerja sama dengan Allah. Apa
yang diberikan Allah adalah ‘alam’, sedang yang kita perbuat adalah ‘kultur’ atau
‘pembudidayaan’. Benar, Allah telah merendahkan diri-Nya sehingga memerlukan kerja
sama kita (yakni untuk menaklukkan bumi dan mengerjakan tanah). Namun kita juga
harus merendahkan diri kita untuk mengakui bahwa kekuasaan kita atas alam akan total
sia-sia dan tak ada kegunaannya, seandainya Allah tidak membuat bumi subuh, dan
seandainya Ia tidak secara berkesinambungan memelihara kelestariaanya.
Ketiga, pendominasian kita adalah pemberian, karena itu suatu pendominasian yang
bertanggung jawab. Artinya, kita menguasai bumi, bukan berdasarkan hak kita,
melainkan berdasarkan perkenaan Allah. Bumi ini ‘milik’ kita bukan karena kitalah yang
menciptakannya, melainkan karena penciptanya telah mempercayakan manajemennya
kepada kita. Tentunya, hal ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting. Jika
bumi ini kita bayangkan selaku satu kerajaan, maka kita bukanlah raja yang memerintah
atas nama raja, karena raja masih bertahta. Atau jika bumi ini kita bayangkan selaku
bidang perkebunan, maka kita bukanlah tuan tanahnya, melainkan tangan kanan tuan
tanah yang mengelola dan menanaminya atas nama pemiliknya. Allah mengangkat kita
dalam arti paling harafiah, sebagai ‘carateker’ penanggung jawab atas tanah kepunyaanNYa.

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

Kepemilikan Allah dan pemeliharaan-NYa yang bersinambungan atas bumi (dan alam
semesta) berulang-ulang ditegaskan dalam Alitab. Dalam Mazmur 24 : 1 sudah kita baca
bahwa “Tuhan-lah yang empunya bumi: ‘ segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan
digunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah
kuasa-Ku (Maz. 50 : 10, 11). Dalam Khotbah di Bukit Yesus mengembangkan
pendominasian ilahi itu lebih luas lagi – dari makhluk yang terbesar hingga terkecil. Di
satu pihak, Allah menerbitkan matahari (yang Ia adalah pemiliknya), dan di lain pihak Ia
memberi makan kepada burung-burung, pakian kepada buka bakung dan mendandani
rumput di padang (Mat. 5:45; 6:26, 28, 30). Jadi, ia memelihara seluruh ciptaan-NYa;
dengan menyerahkannya kepada kita, ia bukannya menanggalkan tanggung jawab-Nya
atasnya.
Jadi, jika kekuasaan atas bumi ini dengan demikian adalah yang didelegasikan kepada
kita oleh Allah, dalam rangka suatu kerja sama dengan Dia dan pembagian hasil dengan
orang lain, maka kita pun harus bertanggung jawab kepada Dia atas caranya kita
mengelola bumi ini. Kita tidak berhak berbuat semau kita. ‘Menguasai’ bukanlah sinonim
dari ‘merusak’. Karena bumi ini adalah yang dipercayakan kepada kita, maka kita harus
mengelola serta memproduktifkannya secara bertanggung jawab demi kebaikan generasi
kita dan generasi-generasi berikutnya.
Penutup
Manusia harus menyadari bahwa dunia (alam) yang ditempatinya bukanlah hak
‘milik tunggal’ yang harus diberlakukan dengan seenaknya. Alam atau lingkungan adalah
tanda kebesaran Allah17, sehingga ia harus memperlakukan alam atau lingkungan sesuai
dengan tugas dan tanggung jawab yang telah Allah berikan kepadanya. Krisis dan
kerusakan lingkungan hidup yang terjadi secara terus menerus mempunyai arti bahwa
manusia ‘gagal’ dalam upaya untuk menjaga serta melestarikan lingkungan. Oleh sebab
itu, dibutuhkan suatu usaha baru, dalam hal ini suatu etika hidup yang ‘mengikat’
kehidupan manusia bahwa alam atau lingkungan mempunyai ‘nilai’ atau ‘harganya juga.
Alam bukanlah sekedar alat dalam rangka pemenuhan hidup manusia belaka, tetapi alam
atau lingkungan adalah merupakan bagian dari kemanusiaan itu sendiri. Jika manusia
17 Tjaya H Thomas, Kosmos Tanda Keagungan Allah, Refleksi Menurut Louis Bouyer,
(Yogyakarta : Kanisius, 2002), hlm 7

Jurnal ilmiah Daya Wacana, Vol. 1. No. 1, 2012

mencemarinya serta merusakinya, maka sebenarnya manusia telah mencemari dan
merusaki dirinya sendiri.
Manusia harus melakukan upaya pemulihan lingkungan dengan cara menata kembali
paradigma atau cara pandang tentang alam atau lingkungan 18, serta memberlakukan
sistem pengelolaan lingkungan yang baik. Sistem pengelolaan tersebut adalah upaya
untuk mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan bertujuan untuk
mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang mampu memberikan dukungan maksimum
dan bermutu bagi kelangsungan peri kehidupan. Inilah tugas dan tanggung jawab etis
kristiani sebagai bagian dari warga negara.
KEPUSTAKAAN
Borrong Robert P. Etika Bumi Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000)
Chang William, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2001)
Drummond D Celia, Teologi Dan Ekologi, buku pegangan (Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2001)
Emanuel G. Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, Teologi Kristen dan
Tantangan Dunia Postmodern, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009)
Haeruman Js., Herman, Artikel, Aplikasi Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam Hukum Nasional, (Jakarta : KLH, 2003)
Jhon Stott, Isu-Isu Global, Menentang Kepemimpinan Kristen, Peniliaian Atas
Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 2000)
Jongneel, Hukum Kemerdekaan I, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1980)
Piper Otto, Christian Ethics, (London : Thomas Nelson & Sons, 1970)
Tucker Mary E & Grim Jhon A , Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup,
(Yogyakarta : Kanisius, 2003)
Tjaya H Thomas, Kosmos Tanda Keagungan Allah, Refleksi Menurut Louis Bouyer,
(Yogyakarta : Kanisius, 2002)
www.wikipedia.com/perubahan-iklim-dan-efek-rumah-kaca.
http://pustaka.ictsleman.net/ristek/sponsor/sponsorpendamping/praweda/biologi/0039
bio 1-8d.htm

18 Perubahan paradigma dari dominasi – destruktif menuju partisipatif – konstruktif, bandingkan
Singgih G. Emanuel, Menguak Isolasi Menjalin Relasi, Teologi Kristen dan Tantangan Dunia Postmodern,
(Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 183