Bagian II Hakikat Dosa doc 1
Bagian II
Hakikat Dosa
4. Apa Maksudnya “Sesat Secara Total ?”
Di antara para ahli psikologi modern tidak ada konsep yang lebih penting dari
konsep harga diri. Menurut konsep tersebut tidak ada manusia yang jahat, yang
ada hanya mereka yang berpikir jelek tentang diri mereka.
Menurut para penyokong doktrin tersebut, jika orang merasa puas akan dirinya,
maka mereka akan bertingkah laku lebih baik, lebih sedikit persoalan emosinya,
dan lebih banyak yang dicapai.
Iman Buta dari Konsep Harga Diri
Para pendukung konsep harga diri mengalami kesuksesan yang luar biasa
dalam menyakinkan orang bahwa harga diri adalah jalan keluar bagi setiap
penderitaan manusia. Namun apakah harga diri sungguh menolong orang ?
Jawabnnya tidak. Harga diri lebih merupakan masalah iman daripada ilmu
pendidikan. Iman bahwa pikiran pikiran positif dapat memanifestasikan sifat baik
yang lahiriah di dalam diri siapa saja. Dengan kata lain, ide harga diri dapat
memperbaiki manusia hanyalah persoalan iman keagamaan yang buta. Tidak
hanya itu, hal itu merupakan pula kepercayaan yang bertentangan dengan iman
Kristiani karena di dasarkan pada dugaan yang tidak alkitabiah bahwa manusia
pada dasarnya baik dan perlu menyadari kebaikannya.
Gereja dan Ajaran Sesat tentang Harga Diri
Para pendeta senantiasa berada di deretan orang orang paling berpengaruh
dalam mendukung ajaran sesat harga diri ini. Doktrin “pikiran positif” dari
Norman Vincent Peale yang terkenal pada tahun 1950-an, merupakan model yang
mula mula dipakai mendukung konsep harga diri. Peale menulis buku yang
berjudul The Power of Positive Thinking, di tahun 1952. Harga diri, sebagaimana
di tekankan oleh Norman Vincent Peale, merupakan doktrin campuran antara
liberalisme teologis dan neo-ortodoksi. Lama kelamaan pertahanan gereja gereja
Injili menjadi rapuh dalam menghadapi doktrin tersebut.
Suara paling berpengaruh yang menjual konsep harga diri ke gereja gereja
Injili adalah murid Norman Vincent Peale yang paling terkenal, yaitu Dr. Robert
Schuller. Schuller membungkus pengajarannya dengan istilah istilah tradisional,
konservatif, dan teologi reformasi. Ia berbicara tentang pertobatan, memanggil
orang orang tak percaya untuk lahir baru, dan menegaskan perlunya seseorang
memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Akan tetapi, pengajaran
Schuller yang sesungguhnya lebih cenderung berdasarkan neo-ortodoksi daripada
Injil. Doktrin harga diri dari Schuller ini mencerminkan humanisme sekuler,
pemikiran yang sama sekali tidak religius, yang menganggap manusia, prinsip
prinsip, dan kebutuhannya, lebih penting dari kemuliaan Allah. Hal itu harus
ditolak dan gereja perlu sekali di peringatkan akan bahayanya ( Titus 1 : 9 dst ).
Kasih Kristen menuntut agar kita hidup dalam kebenaran ( II Yohanes 6 )
dan jangan pura pura tidak melihat kesalahan.
Pengudusan Keangkuhan Manusia ?
Robert Shuller berkata bahwa “keinginan untuk mencintai diri merupakan
hasrat manusia yang terdalam”. Menurutnya, nafsu manusia untuk mencintai diri
adalah hal yang baik, yang sama sekali bukan dosa, melainkan seharusnya di
dorong, dikembangkan bahkan dipuaskan. Ia berpendapat bahwa orang harus
diajarkan untuk tidak takut memegahkan diri.
Mungkinkah pernyataan tersebut bisa di selaraskan dengan pengajaran
Alkitab bahwa sikap menyombongkan diri itu sendiri adalah dosa yang
mengakibatkan kejatuhan iblis (bdg. Yesaya 14 : 12-14) sebagaimana juga
kejatuhan Adam (Kejadian 3)? Bisakah doktrin tersebut di cocokkan dengan kata
kata Yesus tentang sang pemungut cukai yang meratapi ketidaklayakannya ?
Yesus memakai orang tersebut sebagai contoh tentang pertobatan yang
sesungguhnya (Lukas 18 : 13-14).
Siapakah Manusia, Sehingga Engkau Mengindahkannya ?
Apakah kemuliaan manusia merupakan tujuan yang mulia ? “Aku ini
Tuhan, itulah nama-KU; Aku tidak akan memberikan kemulian-KU kepada yang
lain atau kemasyuran-KU kepada patung” (Yesaya 42:8).
Sebaliknya, menurut teologi harga diri, Alkitab menyatakan agar “Kita
harus menyampaikan pada orang di mana pun juga bahwa Allah ingin mereka
merasa puas dengan diri mereka”.
Apakah Allah sungguh ingin agar semua orang merasa puas akan diri
mereka ? Atau bukankah pertama tama Ia memanggil orang berdosa untuk
mengenali sepenuhnya ketidakberdayaan mereka ? Jawabannya jelas bagi mereka
yang membuka diri mereka agar Firman Tuhan berbicara kepada mereka
Mengerti Doktrin yang Mengatakan Bahwa Moral Manusia
Rusak Total
Firman Tuhan dari permulaan sampai akhir mengajarkan bahwa moral
manusia telah rusak total. Dosa telah mencemari setiap aspek dalam hidup kita.
Secara keseluruhan kita ini jahat, sesat dan berdosa. Karena dosa Adam, keadaan
mati rohani yang disebut juga sesat secara total ini diturunkan pula kepada seluruh
umat manusia. Istilah lain untuk hal ini adalah “dosa warisan”.
Keselamatan dari dosa warisan hanyalah melalui salib Kristus. Jadi sama
seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa,
demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Roma
5:19). Kita di peranakkan di dalam dosa (Mazmur 51:7) dan jika ingin menjadi
anak Allah dan memasuki Kerajaan Allah, kita harus dilahirkan baru oleh Roh
Allah (Yohanes 3:3-8).
Semuanya Telah Berdosa dan Telah Kehilangan Kemuliaan Allah
Jauh di dalam lubuk hati kita, kita tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres
di dalam diri kita. Hati nurani kita terus menerus memperhadapkan kita dengan
dosa dosa kita. Kita mungkin saja mencoba untuk mempersalahkan orang lain
ataupun mencari penjelasan penjelasan psikologis tentang apa yang kita rasakan.
Akan tetapi, hal ini tentunya tidak membebaskan kita dari kenyataan tersebut.
Pada akhirnya secara pribadi, kita tidak dapat menolak hati nurani sendiri. Kita
semua merasa bersalah, dan kita mengetahui kebenaran yang menakutkan tentang
siapa diri kita yang sesungguhnya.
Kita merasa bersalah, karena memang kita bersalah. Dosa merupakan satu
satunya penyebab rasa bersalah yang sesungguhnya. Hati nurani akan menuduh
nuduh sampai dosa dosa di bereskan. Hanya salib Kristus yang dapat
menyelesaikan dosa dan membuat kita bebas dari rasa malu.
Ketidaktahuan dan rusaknya moral berjalan seiring. Manusia menjadi
musuh Allah dan berdosa bukanlah karena ketidaktahuan mereka secara rohani,
namun sebaliknya, mereka menjadi bodoh rohaninya karena dosa dosa dan sifat
mereka yang melawan Allah. Hati yang keras dan pikiran yang gelap, menolak
untuk mencari Allah, “Tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (bdg. Mazmur
14:2) Allah mengundang orang orang yang mencari-Nya dan berjanji barang siapa
yang mencari-Nya dengan segenap hati, akan menemukan-Nya (Yeremia 29:13).
Tuhan Yesus juga berjanji, siapa yang mencari-Nya akan menemukan-Nya
(Matius 7:8). Akan tetapi hati yang penuh dengan dosa malah menjauh dari Allah
dan tidak mencari-Nya. Tanpa kemurahan hati Allah, dan inisiatif-Nya sendiri
dalam mencari dan mengembalikan orang orang berdosa kepada-Nya, tidak ada
seorang pun yang mencari-Nya dan diselamatkan. Tuhan Yesus sendiri berkata,
“Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh
Bapa yang mengutus Aku” (Yohanes 6:44).
Mungkin kita bertanya “Apakah Allah ingin agar kira terus menerus
terbenam dalam rasa malu dan menyalahkan diri sendiri selama lamanya?”
Sama sekali tidak. Melalui iman kepada Yesus Kristus, Allah menawarkan
kemerdekaan dari dosa dan rasa malu. Jika kita mau mengakui kejahatan kita dan
mencari anugerah-Nya, secara menakjubkan Ia akan memerdekakan kita dari dosa
dan dampaknya. “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka
yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh yang memberi hidup telah memerdekakan
kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut” (Roma 8:1-2). Harga diri
kita didasarkan pada pembebasan dari dosa yang disebutoleh ayat tersebut.
5. Dosa dan Penyelesaiannya
Begitu kita mulai berbuat dosa, maka dosa akan menggerogoti secara
perlahan lahan hati dan pikiran manusia. Hal ini akan mempermalukan si pelaku
dosa tersebut, menarik perhatian orang, menyeretnya ke dalam skandal, dan
akhirnya menghancurkan hidupnya. “Bahwa dosamu itu akan menimpa kamu”
(Bilangan 32:23).
Skandal Dosa
Dosa memerintah di dalam hati setiap manusia. Kemudian, jika kemauan
dosa dituruti, dosa akan merusak hati dan pikiran manusia. Jika kita tidak
mengerti keadaan berdosa kita sendiri atau melihat dosa kita seperti Allah
melihatnya, maka kita tidak dapat mengerti bagaimana caranya membereskan
masalah dosa tersebut. Mereka yang menyangkal dosa ataupun
menyembunyikannya, tidak dapat menemukan jalan keluar bagi dosanya. Mereka
yang berusaha untuk membenarkan dosanya menolak pembenaran Allah. Sebelum
kita mengerti kenajisan dosa kita sendiri, kita bahkan tidak akan mengenal Allah.
Allah membenci dosa (bdg. Ulangan 12:31). Mata-Nya “terlalu suci untuk melihat
kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman” (Habakuk 1:13). Dosa
sangat bertolak belakang dengan kodrat Allah yang kudus (Yesaya 6:3; I Yohanes
1:5). Hukuman mati jatuh kepada mereka yang melanggar hukum Allah
(Yehezkiel 18:4, 20; Roma 6:23). Bahkan pelanggaran kecil saja dapat menyeret
orang itu pada hukuman kejam tersebut “ Sebab barangsiapa menuruti seluruh
hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap
seluruhnya” ( Yakobus 2:10 ).
Allah ingin agar kira memahami bahwa dosa bersifat dahsyat (Roma 7:13).
Hal ini tentu membuat kita tidak lagi berani menganggapnya sepele ataupun
menghapus rasa bersalah dari hati kita. Kita akan membenci dosa, jika kita
memandangnya sebagaimana adanya. Alkitab melanjutkan, “ Di sana kamu akan
teringat-ingat kepada segala tingkah lakumu, dengan mana kamu menajiskan
dirimu, dan kamu akan merasa mual melihat dirimu sendiri karena segala
kejahatan-kejahatan yang kamu lakukan” (Yehezkiel 20:43). Dosa yang
dipandang sebagaimana adanya, membuat kita bukannya mencoba untuk
mengejar harga diri namun malah membenci diri sendiri.
Hakikat Kesesatan Manusia
Dosa menguasai sampai ke dasar hati manusia. Dosa bercokol di dalam
jiwa manusia yang paling dalam. “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat,
pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah
yang menajiskan orang” (Matius 15:19-20)
Walaupun begitu, dosa bukanlah suatu kelemahan yang tidak dapat kita
pertanggungjawabkan. Adapun dosa merupakan keinginan yang kuat dan
disengaja untuk melawan Allah. Orang berdosa dengan leluasa dan senang hati
memutuskan untuk berbuat dosa. Watak manusia menyukai dosa dan membenci
Allah. 'Keinginan daging adalah perseteruan dengan Allah” (Roma 8:7). Dengan
kata lain, dosa adalah pemberontakan terhadap Allah.
Mula mula kita mencintai dosa, menikmatinya dan senantiasa mencari
kesempatan untuk melakukannya. Akan tetapi, secara naluriah kita tahu bahwa
kita bersalah di hadapan Tuhan. Dengan banyak cara, kita mencoba untuk
menutupi ataupun menyangkal keadaan berdosa kita. Hal ini bisa kita ringkaskan
di dalam tiga kategori : menutup, membenarkan diri, tidak sadar akan dosa kita
sendiri.
Pertama, kita berusaha untuk menutup nutupi dosa. Adam dan Hawa
melakukan hal ini di taman Eden setelah berbuat dosa yang pertama.
Kedua, kita berusaha untuk membenarkan diri. Kita selalu melempar
kesalahan kepada orang lain. Adam menyalahkan Hawa, yang digambarkannya
sebagai, “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari
buah pohon itu kepadaku, maka kumakan” (Kejadian 3:12). Dari sini kita
mendapat gambaran bahwa ia menyalahkan Tuhan juga.
Ketiga, kita sendiri tidak sadar akan dosa yang kita lakukan. Sering sekali
kita berbuat dosa tanpa kita tahu atau dengan sikap angkuh. Itulah sebabnya Daud
berdoa, “Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan ? Bebaskanlah aku dari apa
yang tidak aku sadari” ( Mazmur 19:13-14)
Kejahatan Menimbulkan Masalah Teologis
Dari mana datangnya dosa ? Kita tahu bahwa Allah menciptakan segalanya
di alam semesta ini, dan Ia melihat semuanya baik (Kejadian 1:31). “Segala
sesuatu dijadikan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari
segala yang telah dijadikan” ( Yohanes 1:3). Hal ini jelas membangkitkan apakah
Allah bertanggungjawab pula atas kejahatan yang muncul. Kalau tidak, siapa lagi
yang bertanggungjawab ? Bukankah Allah mempunyai kuasa untuk menghalangi
dosa mencemarkan ciptaan-Nya yang sempurna ?
Untuk mengerti lebih baik, menolong sekali apabila kita memahami bahwa
dosa bukan merupakan substansi terpisah dari manusia itu sendiri. Kejahatan
bukanlah sesuatu yang diciptakan, bukan pula sebuah elemen. Dosa adalah
realisasi dari etika dan moral, jadi tidak dalam bentuk fisik. Dosa adalah cacat
dalam sesuatu yang baik. Tidak ada seorang pun yang menciptakannya, dosa
merupakan hilangnya kesempurnaan di dalam diri manusia yang diciptakan Allah
dengan sempurna.
Akan tetapi hal ini sebenarnya tidak menjawab pertanyaan bagaimana dosa
terjadi. Bagaimana mungkin makhluk yang sempurna memberontak ? Bagaimana
malaikat yang diciptakan dengan sempurna berbalik melawan Allah, manusia
yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah, memilih untuk berdosa ? Dan
jika Tuhan bisa menghentikannya, mengapa Ia tidak melakukannya ? Apakah Ia
patut disalahkan atas munculnya kejahatan ?
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah berdaulat atas segala
situasi, keadaan, dan peristiwa :
Ia mengontrol setiap kejadian yang tidak di sengaja. “Undi dibuang
di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal daripada Tuhan”
(Amsal 16:33). “Bukankah burung pipit di jual dua ekor seduit ?
Namun seekor pun daripadanya tidak akan jatuh ke bumi di luar
kehendak Bapamu” (Matius 10:29).
Ia berdaulat atas tindakan bebas semua manusia. “Hati raja seperti
batang air di dalam tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini”
(Amsal 21:1). “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus
Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah
sebelumnya, Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10).
“Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan
maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:13).
Ia menentukan tindakan orang berdosa yang paling jahat
sekalipun. Petrus memberi tahu kerumunan orang banyak yang
menuntut Yesus untuk disalibkan, “Dia yang diserahkan Allah menurut
maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkandan kamu bunuh oleh
tangan bangsa bangsa durhaka. Tetapi Allah membangkitkan Dia
dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia
tetap berada dalam kuasa maut itu” (Kisah Para Rasul 2:23-24).
Ia mengangkat para penguasa yang memerintah di dalam dunia.
Pontius Pilatus berkata kepada Yesus, “Tidakkah Engkau mau bicara
dengan aku ? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk
membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan
Engkau ?” Yesus menjawab, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun
terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.
Sebab itu : dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar
dosanya” ( Yohanes 19:10-11). “Tiap tiap orang harus takluk kepada
pemerintahan yang diatasnya, sebab tidak ada pemerintah yang ada,
yang tidak berasal dari Allah” (Roma 13:1).
Kita harus mengakui bahwa terjadinya dosa adalah sesuai dengan maksud
Allah sendiri. Ia merencanakan dan memutuskannya. Dosa bukan sesuatu yang
menyelinap sembunyi sembunyi dan tiba tiba muncul seta membuat-Nya kaget,
atau terperangah, ataupun menghancurkan rencana-Nya. Terjadinya dosa telah
diperkirakan jauh sebelum dunia di jadikan di dalam rencana-Nya yang tidak akan
berubah. Oleh sebab itu, kejahatan dan seluruh konsekuensinya telah dimasukkan
di dalam keputusan Allah yang kekal sebelum dasar bumi di jadikan.
Akan tetapi, Allah tidak dapat di anggap sebagai pencipta dosa. Allah sama
sekali tidak menyebabkan munculnya dosa, atau memerintahkannya,
menyetujuinya, melakukan inisiatif, ataupun bersikap toleransi terhadap dosa.
Allah tidak pernah menajdi penyebab ataupun pelaku dosa. Ia hanya mengizinkan
si pembuat kejahatan untuk berbuat dosa, dan membatalkan kejahatan tersebut
sehingga pada akhirnya, maksud-Nya yang bijaksan dan kudus tercapai.
Dosa dan Salib Kristus
Salib membuktikan kebesaran kasih Allah dan kebobrokan dosa. Anda
ingin melihat kasih Allah pada puncak yang paling tinggi dan kejahatan dosa dari
titik terendah ? Lihatlah derita yang teramat dalam dari Tuhan kita Yesus Kristus.
Lihatlah diri-Nya yang tergantung di kayu salib – tanpa dosa, tanpa cacat, sang
Anak Domba Allah yang menanggung dosa seluruh dunia (bdg. Yohanes 1:29).
Dosa begitu luar biasa jahatnya sampai tidak ada obatnya (Yesaya 1:4-6).
Orang berdosa tidak dapat memperbaiki keadaan mereka (Yeremia 13:23).
Seberapa banyak pun air mata dicurahkan tidak akan sanggup menebus dosa
manusia. Mereka yang berusaha menyelesaikan dosa dengan caranya sendiri
hanya membelenggu diri mereka semakin ketat dengan dosa.
Dosa terkecil sekalipun adalah sangat najis dimata Tuhan sehingga jika
bukan karena belas kasihan, anugerah, dan pengampunan-Nya yang tidak terbatas
– Ia tidak akan dan tidak dapat membiarkan hanya satu dosa pun lepas tanpa
memberi hukuman secara penuh.
Tentu harus ada jalan keluar di mana selain Ia dapat menunjukkan
kekayaan kemurahan-Nya atas orang berdosa, juga tetap menegakkan kebenaranNya yang sempurna. Salib Kristus memberikan jalan dengan mempersembahkan
satu satunya korban yang sempurna untuk menebus manusia dari dosa, sekali
untuk selamanya. Yesus, Tuhan kita, manusia yang tidak berdosa, adalah Sang
Anak Domba Allah yang di persembahkan untuk menebus dosa kita
(Yohanes 1:29). Itulah pemecahan Allah yang penuh kemurahan terhadap dosa
kita. Ia menebus dosa dosa yang percaya dan menjadikan mereka ciptaan baru (II
Korintus 5:17). Ia memberikan sifat yang baru sama sekali di dalam diri kita,
termasuk sikap mencintai kebenaran dan membenci dosa.
Karena Allah Begitu Mengasihi Dunia Ini
Allah sangat membenci dosa, namun Ia sangat mengasihi orang orang
berdosa. Anugerah Allah menjadi begitu mengagumkan jika dikontraskan dengan
gelapnya dosa kita. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia
telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).
Itu semua diberikan karena anugerah dari Allah kepada kita.
Anda Harus Lahir Baru
Bagaimana seorang berdosa menerima pengampunan dan kebenaran
Kristus yang sempurna ? Bagaimana seseorang yang sifatnya berdosa sejak lahir
dapat mengambil bagian dalam kodrat ilahi ?
“Bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Markus 1:15). Inilah yang
menjadi pesan Allah kepada semua orang berdosa. Allah dengan murah hati secara
luas mengundang agar “setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa
melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Berpalinglah kepada-Ku
dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi. Sebab Akulah Allah
dan tidak ada yang lain” (Yesaya 45:21-22)
Bertobat, Yang dimaksudkan dengan “berpaling” didalam ayat Alkitab
tersebut adalah bertobat untuk menjadi sama seperti Kristus. Secara
khusus, bertobat berarti “berpalinglah dari segala durhakamu”
(Yehezkie 18:30). Hal ini berarti mengakui dan meninggalkan
pelanggaran kita (Amsal 28:13), dan membenci dosa serta
menentangnya (II Korintus 7:11). Bertobat berarti berpaling sekarang
dan mengikuti Yesus, dan kita tidak dapat mengikut Dia dengan
setengah hati. “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh
ke belakang, tidak layak untuk kerajaan Allah”.
Percaya, Pertobatan dan iman berjalan seiring. Jika pertobatan khusus
berbicara tentang sikap berbalik dari dosa dan diri sendiri, percaya
menekankan kepada siapa hati kita terarah. Kita tidak dapat menaruh
percaya pada Kristus sementara masih terikat dengan dosa. Ia datang
untuk menyelamatkan orang orang-Nya dari dosa (Matius 1:21) –
bukannya menawarkan surga kepada orang orang berdosa yang masih
gemar melakukan kejahatan. Keselamatan yang Yesus tawarkan bukan
hanya sekadar kelepasan dari api neraka, namun pertama tama adalah
kebebasan dari kuasa dosa.
Yang sungguh luar biasa adalah bahwa Ia berjanji menerima semua yang
datang kepada-Nya (Yohanes 6:37). Lebih dari itu Ia juga mengundang mereka
datang, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku
pun ringan” (Matius 11:28; 30).
Mengaku diri berdosa adalah langkah pertama kepada jalan satu-satunya
menuju Kristus dan memperoleh keselamatan yang Ia tawarkan.
6. Mengalahkan Keinginan Daging
Tidak ada seorang pun yang sempurna. Kebenaran ini, yang seharusnya
membuat kita gentar di hadapan Tuhan yang mahasuci, malah dijadikan alasan
untuk memaafkan perilaku berdosa kita untuk membuat perasaan kita lebih enak.
Betapa sering kita mendengar orang meremehkan kesalahan yang dilakukannya
dengan menggunakan kata kata yang biasa terdengar di telinga, “Habis
bagaimana, bukankah tidak ada orang yang sempurna ?”
Alkitab mengakui bahwa kita tidak sempurna. Bahkan Paulus menulis,
“bukan seolah olah aku telah meperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan
aku mengejarnya, kalau kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah
ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara saudara, aku sendiri tidak menganggap,
bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa
yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,
dan berlari lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi
dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:12-14).
Kita semua memang gagal, bahkan sangat gagal dalam mencapai standar
yang sempurna. Paulus mengajar kita agar ketidaksempurnaan kita justru
memotivasi kita untuk mencapai tujuan, yaitu menjadi sama seperti Kristus.
Bodoh kalau kita berpikir bahwa ketidaksempurnaan kita tentunya merupakan
alasan yang sah untuk tidak mencapai standar Allah yang sempurna. “Kuduslah
kamu, sebab Aku kudus” (I Petrus 1:16).
Bahayanya Perfeksionisme
Akan tetapi sama bahayanya pikiran yang mengatakan bahwa
kesempurnaan rohani merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh orang orang
Kristen selama hidup di bumi ini.
Pada dasarnya, doktrin perfeksionisme adalah kesalahpengertian yang fatal
tentang bagaimana Allah bekerja di dalam pengudusan. Pengudusan adalah proses
di mana Allah bekerja melalui Roh Kudus, yang akhirnya membawa orang
percaya menjadi serupa seperti Kristus (II Korintus 3:18). Proses pengudusan
tersebut mempertajam hati nurani orang percaya dan menjaganya supaya jangan
lenyap. Sebagaimana Alkitab katakan, menjadi seperti Kristus tidak terjadi tiba
tiba namun tahap demi tahap dan tidak terjadi ketika masih hidup di bumi ini.
Dengan jelas Alkitab mengatakan bahwa orang Kristen tidak akan pernah
mencapai kesempurnaan tanpa dosa di dalam hidupnya. “Siapakah dapat berkata,
Aku telah membersihkan hatiku, aku tahir daripada dosaku?” (Amsal 20:9) (Yakobus 3:2) – (Galatia 5:17) – (I Yohanes 1:8).
Oleh sebab itu, kekudusan tidak pernah sempurna ketika kita masih berada
di bumi. Hanya di dalam sorga roh orang orang benar menjadi sempurna (Ibrani
12:23).
Kunci Kesalahan Perfeksionisme
Kesalahan yang digambarkan Warfield tentang kaum perfeksionis terdapat
pada pendapat mereka yang memisahkan secara tajam antara pengudusan dan
pembenaran. Inilah yang menjadi kunci kesalahan doktrin perfeksionisme.
Hampir semua perfeksionis menganggap pengudusan adalah pertobatan kedua.
Didalam doktrin ini, kekudusan diperoleh dengan tindakan iman yang dilakukan
setelah keselamatan diterima dan hal ini disebut sebagai “berkat kedua”.
Menurut Alkitab, pengudusan di mulai segera pada waktu pembenaran
diterima dan akan terus menerus berlangsung – walaupun kita jatuh bangun
sampai akhir hidup kita.
Bagaimana Terjadinya Pengudusan ?
Kata menguduskan di dalam Alkitab berasal dari kata Ibrani dan Yunani
yang berarti “memisahkan”. Dikuduskan berarti dipisahkan dari dosa. Pada saat
pertobatan, semua orang percaya dilepaskan dari keterikatan dosa, dibebaskan dari
statusnya sebagai tahanan dosa – dipisahkan untuk memiliki persekutuan dengan
Allah, atau dikuduskan. Pemisahan tersebut dimulai pada saat pertobatan tersebut
terjadi. Sementara kita bertumbuh di dalam Kristus, kita semakin dipisahkan dari
dosa dan semakin ditahbiskan kepada Allah. Jadi, pengudusan yang terjadi pada
saat pertobatan hanya merupakan permulaan proses yang berlanjut seumur hidup
di mana kita semakin di pisahkan dari dosa dan dijadikan semakin menyerupai
Kristus – dipisahkan dari dosa, dan diasingkan bagi Allah.
Orang Kristen yang mengalami proses pendewasaan rohani tidak pernah
membenarkan diri, puas diri, atau puas dengan pertumbuhannya sendiri. Mereka
juga tidak mengejar harga diri, namun berusaha membereskan dosa dosanya.
Apakah Kita Akan Terus Berbuat Dosa ?
Walaupun anugerah Allah dicurahkan, kekudusan merupakan suatu
keharusan, dan bukan pilihan. Selalu saja ada orang yang menyalahkangunakan
anugerah Allah dengan menduga bahwa anugerah itu memberi kita peluang untuk
berbuat dosa.
Pembenaran, pengudusan, dan aspek lain dari pekerjaan Allah dalam
menyelamatkan manusia bergantung pada persekutuan kita dengan Kristus.
Mengerti apa arti dipersatukan dengan Kristus merupakan dasar pengertian
keselamatan kita sendiri.
Persekutuan kita dengan Kristus menghasilkan beberapa perubahan yang
luar biasa. Pertama tama, kita dibenarkan. Pembenaran terjadi di hadapan
pengadilan Allah. Keputusan Allah jatuh, yaitu, “tidak bersalah”. Istilah
pembenaran tidak mengandung pengertian “perubahan drastis di dalam diri orang
berdosa tersebut,” melainkan perubahan statusnya di hadapan Allah.
Persekutuan kita dengan Kristus menghasilkan perubahan perubahan di
dalam sifat kita. Pembaharuan, pertobatan, dan pengudusan adalah kata kata
yang menggambarkan perubahan tersebut. Kita di lahirkan kembali –
diperbaharui, diberikan hati yang baru, roh yang baru, dan kasih yang baru kepada
Allah (Yehezkiel 36:26; I Yohanes 4:19-20). (II Petrus 1:3-4), (Roma 6:4), (Roma
6: 6-7).
Apakah Benar Kita Dibebaskan dari Dosa ?
Apa maksudnya “manusia lama” yang telah disalibkan ? “Manusia lama”,
menunjukkan sifat sifat yang masih belum diperbaharui, keadaan kita ketika
masih “di dalam Adam”.
“Keinginan daging kita” (Roma 6:19; 7:18) seperti manusia yang lama,
walaupun mati, namun kebusukan, kemesuman, kecurangan, kematiannnya yang
berbau busuk serta kecemarannya masih juga berusaha menulari dan
mempengaruhi segala sesuatu yang di sentuhnya.
Ketika Paulus berbicara mengenai “keinginan daging”, ia mengacu kepada
sisa sisa dosa yang masih tinggal: kelemahan kita yang fana, keakuan kita, dan
kecenderungan kita untuk gagal dan kembali berbuat dosa. Hal ini tidak akan
dilenyapkan daripada kita sampai akhirnya kita di permuliakan.
Jadi apa maksudnya orang Kristen “telah bebas dari dosa” (Roma 6:7) ?
Apa yang ia maksudkan dengan berkata bahwa manusia lama telah disalibkan
sehingga “tubuh dosa kita hilang kuasanya” (ayat 6) ? Bukankah kata kata 'hilang
kuasanya” sepertinya memberi pengertian kepada kita bahwa dosa telah dibasmi,
dihapuskan, “dihancurkan” (versi KJV), atau di musnakan ? Akan tetapi kata
Yunani (katargeo) secara harfiah berarti “membatalkan” atau “menghapuskan”
(bdg. Roma 3:3, 31; 4:14). Kata “dibebaskan” didalam Roma 6:7 adalah dikaioo,
yang sering kali diterjemahkan “dibenarkan”. Dengan kata lain, orang orang
percaya di bebaskan dari hukuman dosa yang menakutkan. Karena mereka di
benarkan – dinyatakan tidak bersalah dan di bungkus oleh kebenaran Kristus yang
sempurna – dosa dan kematian tidak berkuasa atas mereka.
Orang orang percaya telah dibebaskan dari keadaan mereka yang sesat
secara total yang membuat mereka tidak dapat berbuat lain selain dosa. Namun
kini, mereka bebas untuk mengasihi dan menaati Allah. Akan tetapi mereka belum
lagi bebas dari jangkauan dosa. Mereka masih dapat dirayu oleh kuasa dosa,
belum lagi dapat membebaskan diri dari kehadiran dosa dan masih mempan
digoda oleh pesona dosa. Didalam tubuh mereka, kecenderungan untuk berbuat
dosa masih juga bercokol.
Bukan Lagi Aku yang Berbuat Dosa
Jadi, perbuatan dosa kita bertentangan dengan segala sesuatu yang kita
pegang teguh sebagai orang percaya. Tidak lagi “aku” yang berdosa – maksudnya
adalah bahwa dosa bukan lagi ekspresi watak kita yang sesungguhnya.
Mengapa kita masih berdosa ? Karena prinsip keinginan daging yang
membuat kita berdosa masih tinggal di dalam diri kita. Hal inilah yang manarik
kita sehingga tidak taat. Tentu saja kita harus bertanggung jawab atas dosa dosa
kita. Ketika kita berdosa, bukan lagi karena keadaan diri kita, melainkan
disebabkan oleh prinsip keinginan daging yang masih bersikeras bercokol dan
terus menerus melancarkan pengaruhnya sampai kita diubah kelak di sorga,
dimana kita di muliakan.
Jadi dosa yang ada di dalam diri kita, walaupun “merupakan musuh yang
telah dikalahkan,” selama kita masih hidup, masih harus dilawan dengan sungguh
sungguh. Kita memang bebas dari dosa, namun kita harus tetap waspada.
Perfeksionisme, menghilangkan prinsip proses pengudusan. Kita tidak sempurna.
“Kita masih manusia, Kita masih mengeluh”, sementara kita mengeluh dan
menanti hari pengangkatan tersebut, kita harus berjuang melawan musuh yang
sudah kalah tersebut di dalam diri kita. Alkitab memberikan instruksi yang jelas
bagaimana kita meneruskan perjuangan kita melawan dosa di dalam kedagingan
kita.
Hakikat Dosa
4. Apa Maksudnya “Sesat Secara Total ?”
Di antara para ahli psikologi modern tidak ada konsep yang lebih penting dari
konsep harga diri. Menurut konsep tersebut tidak ada manusia yang jahat, yang
ada hanya mereka yang berpikir jelek tentang diri mereka.
Menurut para penyokong doktrin tersebut, jika orang merasa puas akan dirinya,
maka mereka akan bertingkah laku lebih baik, lebih sedikit persoalan emosinya,
dan lebih banyak yang dicapai.
Iman Buta dari Konsep Harga Diri
Para pendukung konsep harga diri mengalami kesuksesan yang luar biasa
dalam menyakinkan orang bahwa harga diri adalah jalan keluar bagi setiap
penderitaan manusia. Namun apakah harga diri sungguh menolong orang ?
Jawabnnya tidak. Harga diri lebih merupakan masalah iman daripada ilmu
pendidikan. Iman bahwa pikiran pikiran positif dapat memanifestasikan sifat baik
yang lahiriah di dalam diri siapa saja. Dengan kata lain, ide harga diri dapat
memperbaiki manusia hanyalah persoalan iman keagamaan yang buta. Tidak
hanya itu, hal itu merupakan pula kepercayaan yang bertentangan dengan iman
Kristiani karena di dasarkan pada dugaan yang tidak alkitabiah bahwa manusia
pada dasarnya baik dan perlu menyadari kebaikannya.
Gereja dan Ajaran Sesat tentang Harga Diri
Para pendeta senantiasa berada di deretan orang orang paling berpengaruh
dalam mendukung ajaran sesat harga diri ini. Doktrin “pikiran positif” dari
Norman Vincent Peale yang terkenal pada tahun 1950-an, merupakan model yang
mula mula dipakai mendukung konsep harga diri. Peale menulis buku yang
berjudul The Power of Positive Thinking, di tahun 1952. Harga diri, sebagaimana
di tekankan oleh Norman Vincent Peale, merupakan doktrin campuran antara
liberalisme teologis dan neo-ortodoksi. Lama kelamaan pertahanan gereja gereja
Injili menjadi rapuh dalam menghadapi doktrin tersebut.
Suara paling berpengaruh yang menjual konsep harga diri ke gereja gereja
Injili adalah murid Norman Vincent Peale yang paling terkenal, yaitu Dr. Robert
Schuller. Schuller membungkus pengajarannya dengan istilah istilah tradisional,
konservatif, dan teologi reformasi. Ia berbicara tentang pertobatan, memanggil
orang orang tak percaya untuk lahir baru, dan menegaskan perlunya seseorang
memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Akan tetapi, pengajaran
Schuller yang sesungguhnya lebih cenderung berdasarkan neo-ortodoksi daripada
Injil. Doktrin harga diri dari Schuller ini mencerminkan humanisme sekuler,
pemikiran yang sama sekali tidak religius, yang menganggap manusia, prinsip
prinsip, dan kebutuhannya, lebih penting dari kemuliaan Allah. Hal itu harus
ditolak dan gereja perlu sekali di peringatkan akan bahayanya ( Titus 1 : 9 dst ).
Kasih Kristen menuntut agar kita hidup dalam kebenaran ( II Yohanes 6 )
dan jangan pura pura tidak melihat kesalahan.
Pengudusan Keangkuhan Manusia ?
Robert Shuller berkata bahwa “keinginan untuk mencintai diri merupakan
hasrat manusia yang terdalam”. Menurutnya, nafsu manusia untuk mencintai diri
adalah hal yang baik, yang sama sekali bukan dosa, melainkan seharusnya di
dorong, dikembangkan bahkan dipuaskan. Ia berpendapat bahwa orang harus
diajarkan untuk tidak takut memegahkan diri.
Mungkinkah pernyataan tersebut bisa di selaraskan dengan pengajaran
Alkitab bahwa sikap menyombongkan diri itu sendiri adalah dosa yang
mengakibatkan kejatuhan iblis (bdg. Yesaya 14 : 12-14) sebagaimana juga
kejatuhan Adam (Kejadian 3)? Bisakah doktrin tersebut di cocokkan dengan kata
kata Yesus tentang sang pemungut cukai yang meratapi ketidaklayakannya ?
Yesus memakai orang tersebut sebagai contoh tentang pertobatan yang
sesungguhnya (Lukas 18 : 13-14).
Siapakah Manusia, Sehingga Engkau Mengindahkannya ?
Apakah kemuliaan manusia merupakan tujuan yang mulia ? “Aku ini
Tuhan, itulah nama-KU; Aku tidak akan memberikan kemulian-KU kepada yang
lain atau kemasyuran-KU kepada patung” (Yesaya 42:8).
Sebaliknya, menurut teologi harga diri, Alkitab menyatakan agar “Kita
harus menyampaikan pada orang di mana pun juga bahwa Allah ingin mereka
merasa puas dengan diri mereka”.
Apakah Allah sungguh ingin agar semua orang merasa puas akan diri
mereka ? Atau bukankah pertama tama Ia memanggil orang berdosa untuk
mengenali sepenuhnya ketidakberdayaan mereka ? Jawabannya jelas bagi mereka
yang membuka diri mereka agar Firman Tuhan berbicara kepada mereka
Mengerti Doktrin yang Mengatakan Bahwa Moral Manusia
Rusak Total
Firman Tuhan dari permulaan sampai akhir mengajarkan bahwa moral
manusia telah rusak total. Dosa telah mencemari setiap aspek dalam hidup kita.
Secara keseluruhan kita ini jahat, sesat dan berdosa. Karena dosa Adam, keadaan
mati rohani yang disebut juga sesat secara total ini diturunkan pula kepada seluruh
umat manusia. Istilah lain untuk hal ini adalah “dosa warisan”.
Keselamatan dari dosa warisan hanyalah melalui salib Kristus. Jadi sama
seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa,
demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Roma
5:19). Kita di peranakkan di dalam dosa (Mazmur 51:7) dan jika ingin menjadi
anak Allah dan memasuki Kerajaan Allah, kita harus dilahirkan baru oleh Roh
Allah (Yohanes 3:3-8).
Semuanya Telah Berdosa dan Telah Kehilangan Kemuliaan Allah
Jauh di dalam lubuk hati kita, kita tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres
di dalam diri kita. Hati nurani kita terus menerus memperhadapkan kita dengan
dosa dosa kita. Kita mungkin saja mencoba untuk mempersalahkan orang lain
ataupun mencari penjelasan penjelasan psikologis tentang apa yang kita rasakan.
Akan tetapi, hal ini tentunya tidak membebaskan kita dari kenyataan tersebut.
Pada akhirnya secara pribadi, kita tidak dapat menolak hati nurani sendiri. Kita
semua merasa bersalah, dan kita mengetahui kebenaran yang menakutkan tentang
siapa diri kita yang sesungguhnya.
Kita merasa bersalah, karena memang kita bersalah. Dosa merupakan satu
satunya penyebab rasa bersalah yang sesungguhnya. Hati nurani akan menuduh
nuduh sampai dosa dosa di bereskan. Hanya salib Kristus yang dapat
menyelesaikan dosa dan membuat kita bebas dari rasa malu.
Ketidaktahuan dan rusaknya moral berjalan seiring. Manusia menjadi
musuh Allah dan berdosa bukanlah karena ketidaktahuan mereka secara rohani,
namun sebaliknya, mereka menjadi bodoh rohaninya karena dosa dosa dan sifat
mereka yang melawan Allah. Hati yang keras dan pikiran yang gelap, menolak
untuk mencari Allah, “Tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (bdg. Mazmur
14:2) Allah mengundang orang orang yang mencari-Nya dan berjanji barang siapa
yang mencari-Nya dengan segenap hati, akan menemukan-Nya (Yeremia 29:13).
Tuhan Yesus juga berjanji, siapa yang mencari-Nya akan menemukan-Nya
(Matius 7:8). Akan tetapi hati yang penuh dengan dosa malah menjauh dari Allah
dan tidak mencari-Nya. Tanpa kemurahan hati Allah, dan inisiatif-Nya sendiri
dalam mencari dan mengembalikan orang orang berdosa kepada-Nya, tidak ada
seorang pun yang mencari-Nya dan diselamatkan. Tuhan Yesus sendiri berkata,
“Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh
Bapa yang mengutus Aku” (Yohanes 6:44).
Mungkin kita bertanya “Apakah Allah ingin agar kira terus menerus
terbenam dalam rasa malu dan menyalahkan diri sendiri selama lamanya?”
Sama sekali tidak. Melalui iman kepada Yesus Kristus, Allah menawarkan
kemerdekaan dari dosa dan rasa malu. Jika kita mau mengakui kejahatan kita dan
mencari anugerah-Nya, secara menakjubkan Ia akan memerdekakan kita dari dosa
dan dampaknya. “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka
yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh yang memberi hidup telah memerdekakan
kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut” (Roma 8:1-2). Harga diri
kita didasarkan pada pembebasan dari dosa yang disebutoleh ayat tersebut.
5. Dosa dan Penyelesaiannya
Begitu kita mulai berbuat dosa, maka dosa akan menggerogoti secara
perlahan lahan hati dan pikiran manusia. Hal ini akan mempermalukan si pelaku
dosa tersebut, menarik perhatian orang, menyeretnya ke dalam skandal, dan
akhirnya menghancurkan hidupnya. “Bahwa dosamu itu akan menimpa kamu”
(Bilangan 32:23).
Skandal Dosa
Dosa memerintah di dalam hati setiap manusia. Kemudian, jika kemauan
dosa dituruti, dosa akan merusak hati dan pikiran manusia. Jika kita tidak
mengerti keadaan berdosa kita sendiri atau melihat dosa kita seperti Allah
melihatnya, maka kita tidak dapat mengerti bagaimana caranya membereskan
masalah dosa tersebut. Mereka yang menyangkal dosa ataupun
menyembunyikannya, tidak dapat menemukan jalan keluar bagi dosanya. Mereka
yang berusaha untuk membenarkan dosanya menolak pembenaran Allah. Sebelum
kita mengerti kenajisan dosa kita sendiri, kita bahkan tidak akan mengenal Allah.
Allah membenci dosa (bdg. Ulangan 12:31). Mata-Nya “terlalu suci untuk melihat
kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman” (Habakuk 1:13). Dosa
sangat bertolak belakang dengan kodrat Allah yang kudus (Yesaya 6:3; I Yohanes
1:5). Hukuman mati jatuh kepada mereka yang melanggar hukum Allah
(Yehezkiel 18:4, 20; Roma 6:23). Bahkan pelanggaran kecil saja dapat menyeret
orang itu pada hukuman kejam tersebut “ Sebab barangsiapa menuruti seluruh
hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap
seluruhnya” ( Yakobus 2:10 ).
Allah ingin agar kira memahami bahwa dosa bersifat dahsyat (Roma 7:13).
Hal ini tentu membuat kita tidak lagi berani menganggapnya sepele ataupun
menghapus rasa bersalah dari hati kita. Kita akan membenci dosa, jika kita
memandangnya sebagaimana adanya. Alkitab melanjutkan, “ Di sana kamu akan
teringat-ingat kepada segala tingkah lakumu, dengan mana kamu menajiskan
dirimu, dan kamu akan merasa mual melihat dirimu sendiri karena segala
kejahatan-kejahatan yang kamu lakukan” (Yehezkiel 20:43). Dosa yang
dipandang sebagaimana adanya, membuat kita bukannya mencoba untuk
mengejar harga diri namun malah membenci diri sendiri.
Hakikat Kesesatan Manusia
Dosa menguasai sampai ke dasar hati manusia. Dosa bercokol di dalam
jiwa manusia yang paling dalam. “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat,
pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah
yang menajiskan orang” (Matius 15:19-20)
Walaupun begitu, dosa bukanlah suatu kelemahan yang tidak dapat kita
pertanggungjawabkan. Adapun dosa merupakan keinginan yang kuat dan
disengaja untuk melawan Allah. Orang berdosa dengan leluasa dan senang hati
memutuskan untuk berbuat dosa. Watak manusia menyukai dosa dan membenci
Allah. 'Keinginan daging adalah perseteruan dengan Allah” (Roma 8:7). Dengan
kata lain, dosa adalah pemberontakan terhadap Allah.
Mula mula kita mencintai dosa, menikmatinya dan senantiasa mencari
kesempatan untuk melakukannya. Akan tetapi, secara naluriah kita tahu bahwa
kita bersalah di hadapan Tuhan. Dengan banyak cara, kita mencoba untuk
menutupi ataupun menyangkal keadaan berdosa kita. Hal ini bisa kita ringkaskan
di dalam tiga kategori : menutup, membenarkan diri, tidak sadar akan dosa kita
sendiri.
Pertama, kita berusaha untuk menutup nutupi dosa. Adam dan Hawa
melakukan hal ini di taman Eden setelah berbuat dosa yang pertama.
Kedua, kita berusaha untuk membenarkan diri. Kita selalu melempar
kesalahan kepada orang lain. Adam menyalahkan Hawa, yang digambarkannya
sebagai, “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari
buah pohon itu kepadaku, maka kumakan” (Kejadian 3:12). Dari sini kita
mendapat gambaran bahwa ia menyalahkan Tuhan juga.
Ketiga, kita sendiri tidak sadar akan dosa yang kita lakukan. Sering sekali
kita berbuat dosa tanpa kita tahu atau dengan sikap angkuh. Itulah sebabnya Daud
berdoa, “Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan ? Bebaskanlah aku dari apa
yang tidak aku sadari” ( Mazmur 19:13-14)
Kejahatan Menimbulkan Masalah Teologis
Dari mana datangnya dosa ? Kita tahu bahwa Allah menciptakan segalanya
di alam semesta ini, dan Ia melihat semuanya baik (Kejadian 1:31). “Segala
sesuatu dijadikan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari
segala yang telah dijadikan” ( Yohanes 1:3). Hal ini jelas membangkitkan apakah
Allah bertanggungjawab pula atas kejahatan yang muncul. Kalau tidak, siapa lagi
yang bertanggungjawab ? Bukankah Allah mempunyai kuasa untuk menghalangi
dosa mencemarkan ciptaan-Nya yang sempurna ?
Untuk mengerti lebih baik, menolong sekali apabila kita memahami bahwa
dosa bukan merupakan substansi terpisah dari manusia itu sendiri. Kejahatan
bukanlah sesuatu yang diciptakan, bukan pula sebuah elemen. Dosa adalah
realisasi dari etika dan moral, jadi tidak dalam bentuk fisik. Dosa adalah cacat
dalam sesuatu yang baik. Tidak ada seorang pun yang menciptakannya, dosa
merupakan hilangnya kesempurnaan di dalam diri manusia yang diciptakan Allah
dengan sempurna.
Akan tetapi hal ini sebenarnya tidak menjawab pertanyaan bagaimana dosa
terjadi. Bagaimana mungkin makhluk yang sempurna memberontak ? Bagaimana
malaikat yang diciptakan dengan sempurna berbalik melawan Allah, manusia
yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah, memilih untuk berdosa ? Dan
jika Tuhan bisa menghentikannya, mengapa Ia tidak melakukannya ? Apakah Ia
patut disalahkan atas munculnya kejahatan ?
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah berdaulat atas segala
situasi, keadaan, dan peristiwa :
Ia mengontrol setiap kejadian yang tidak di sengaja. “Undi dibuang
di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal daripada Tuhan”
(Amsal 16:33). “Bukankah burung pipit di jual dua ekor seduit ?
Namun seekor pun daripadanya tidak akan jatuh ke bumi di luar
kehendak Bapamu” (Matius 10:29).
Ia berdaulat atas tindakan bebas semua manusia. “Hati raja seperti
batang air di dalam tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini”
(Amsal 21:1). “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus
Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah
sebelumnya, Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10).
“Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan
maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:13).
Ia menentukan tindakan orang berdosa yang paling jahat
sekalipun. Petrus memberi tahu kerumunan orang banyak yang
menuntut Yesus untuk disalibkan, “Dia yang diserahkan Allah menurut
maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkandan kamu bunuh oleh
tangan bangsa bangsa durhaka. Tetapi Allah membangkitkan Dia
dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia
tetap berada dalam kuasa maut itu” (Kisah Para Rasul 2:23-24).
Ia mengangkat para penguasa yang memerintah di dalam dunia.
Pontius Pilatus berkata kepada Yesus, “Tidakkah Engkau mau bicara
dengan aku ? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk
membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan
Engkau ?” Yesus menjawab, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun
terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.
Sebab itu : dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar
dosanya” ( Yohanes 19:10-11). “Tiap tiap orang harus takluk kepada
pemerintahan yang diatasnya, sebab tidak ada pemerintah yang ada,
yang tidak berasal dari Allah” (Roma 13:1).
Kita harus mengakui bahwa terjadinya dosa adalah sesuai dengan maksud
Allah sendiri. Ia merencanakan dan memutuskannya. Dosa bukan sesuatu yang
menyelinap sembunyi sembunyi dan tiba tiba muncul seta membuat-Nya kaget,
atau terperangah, ataupun menghancurkan rencana-Nya. Terjadinya dosa telah
diperkirakan jauh sebelum dunia di jadikan di dalam rencana-Nya yang tidak akan
berubah. Oleh sebab itu, kejahatan dan seluruh konsekuensinya telah dimasukkan
di dalam keputusan Allah yang kekal sebelum dasar bumi di jadikan.
Akan tetapi, Allah tidak dapat di anggap sebagai pencipta dosa. Allah sama
sekali tidak menyebabkan munculnya dosa, atau memerintahkannya,
menyetujuinya, melakukan inisiatif, ataupun bersikap toleransi terhadap dosa.
Allah tidak pernah menajdi penyebab ataupun pelaku dosa. Ia hanya mengizinkan
si pembuat kejahatan untuk berbuat dosa, dan membatalkan kejahatan tersebut
sehingga pada akhirnya, maksud-Nya yang bijaksan dan kudus tercapai.
Dosa dan Salib Kristus
Salib membuktikan kebesaran kasih Allah dan kebobrokan dosa. Anda
ingin melihat kasih Allah pada puncak yang paling tinggi dan kejahatan dosa dari
titik terendah ? Lihatlah derita yang teramat dalam dari Tuhan kita Yesus Kristus.
Lihatlah diri-Nya yang tergantung di kayu salib – tanpa dosa, tanpa cacat, sang
Anak Domba Allah yang menanggung dosa seluruh dunia (bdg. Yohanes 1:29).
Dosa begitu luar biasa jahatnya sampai tidak ada obatnya (Yesaya 1:4-6).
Orang berdosa tidak dapat memperbaiki keadaan mereka (Yeremia 13:23).
Seberapa banyak pun air mata dicurahkan tidak akan sanggup menebus dosa
manusia. Mereka yang berusaha menyelesaikan dosa dengan caranya sendiri
hanya membelenggu diri mereka semakin ketat dengan dosa.
Dosa terkecil sekalipun adalah sangat najis dimata Tuhan sehingga jika
bukan karena belas kasihan, anugerah, dan pengampunan-Nya yang tidak terbatas
– Ia tidak akan dan tidak dapat membiarkan hanya satu dosa pun lepas tanpa
memberi hukuman secara penuh.
Tentu harus ada jalan keluar di mana selain Ia dapat menunjukkan
kekayaan kemurahan-Nya atas orang berdosa, juga tetap menegakkan kebenaranNya yang sempurna. Salib Kristus memberikan jalan dengan mempersembahkan
satu satunya korban yang sempurna untuk menebus manusia dari dosa, sekali
untuk selamanya. Yesus, Tuhan kita, manusia yang tidak berdosa, adalah Sang
Anak Domba Allah yang di persembahkan untuk menebus dosa kita
(Yohanes 1:29). Itulah pemecahan Allah yang penuh kemurahan terhadap dosa
kita. Ia menebus dosa dosa yang percaya dan menjadikan mereka ciptaan baru (II
Korintus 5:17). Ia memberikan sifat yang baru sama sekali di dalam diri kita,
termasuk sikap mencintai kebenaran dan membenci dosa.
Karena Allah Begitu Mengasihi Dunia Ini
Allah sangat membenci dosa, namun Ia sangat mengasihi orang orang
berdosa. Anugerah Allah menjadi begitu mengagumkan jika dikontraskan dengan
gelapnya dosa kita. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia
telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).
Itu semua diberikan karena anugerah dari Allah kepada kita.
Anda Harus Lahir Baru
Bagaimana seorang berdosa menerima pengampunan dan kebenaran
Kristus yang sempurna ? Bagaimana seseorang yang sifatnya berdosa sejak lahir
dapat mengambil bagian dalam kodrat ilahi ?
“Bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Markus 1:15). Inilah yang
menjadi pesan Allah kepada semua orang berdosa. Allah dengan murah hati secara
luas mengundang agar “setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa
melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Berpalinglah kepada-Ku
dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi. Sebab Akulah Allah
dan tidak ada yang lain” (Yesaya 45:21-22)
Bertobat, Yang dimaksudkan dengan “berpaling” didalam ayat Alkitab
tersebut adalah bertobat untuk menjadi sama seperti Kristus. Secara
khusus, bertobat berarti “berpalinglah dari segala durhakamu”
(Yehezkie 18:30). Hal ini berarti mengakui dan meninggalkan
pelanggaran kita (Amsal 28:13), dan membenci dosa serta
menentangnya (II Korintus 7:11). Bertobat berarti berpaling sekarang
dan mengikuti Yesus, dan kita tidak dapat mengikut Dia dengan
setengah hati. “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh
ke belakang, tidak layak untuk kerajaan Allah”.
Percaya, Pertobatan dan iman berjalan seiring. Jika pertobatan khusus
berbicara tentang sikap berbalik dari dosa dan diri sendiri, percaya
menekankan kepada siapa hati kita terarah. Kita tidak dapat menaruh
percaya pada Kristus sementara masih terikat dengan dosa. Ia datang
untuk menyelamatkan orang orang-Nya dari dosa (Matius 1:21) –
bukannya menawarkan surga kepada orang orang berdosa yang masih
gemar melakukan kejahatan. Keselamatan yang Yesus tawarkan bukan
hanya sekadar kelepasan dari api neraka, namun pertama tama adalah
kebebasan dari kuasa dosa.
Yang sungguh luar biasa adalah bahwa Ia berjanji menerima semua yang
datang kepada-Nya (Yohanes 6:37). Lebih dari itu Ia juga mengundang mereka
datang, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku
pun ringan” (Matius 11:28; 30).
Mengaku diri berdosa adalah langkah pertama kepada jalan satu-satunya
menuju Kristus dan memperoleh keselamatan yang Ia tawarkan.
6. Mengalahkan Keinginan Daging
Tidak ada seorang pun yang sempurna. Kebenaran ini, yang seharusnya
membuat kita gentar di hadapan Tuhan yang mahasuci, malah dijadikan alasan
untuk memaafkan perilaku berdosa kita untuk membuat perasaan kita lebih enak.
Betapa sering kita mendengar orang meremehkan kesalahan yang dilakukannya
dengan menggunakan kata kata yang biasa terdengar di telinga, “Habis
bagaimana, bukankah tidak ada orang yang sempurna ?”
Alkitab mengakui bahwa kita tidak sempurna. Bahkan Paulus menulis,
“bukan seolah olah aku telah meperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan
aku mengejarnya, kalau kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah
ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara saudara, aku sendiri tidak menganggap,
bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa
yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,
dan berlari lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi
dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:12-14).
Kita semua memang gagal, bahkan sangat gagal dalam mencapai standar
yang sempurna. Paulus mengajar kita agar ketidaksempurnaan kita justru
memotivasi kita untuk mencapai tujuan, yaitu menjadi sama seperti Kristus.
Bodoh kalau kita berpikir bahwa ketidaksempurnaan kita tentunya merupakan
alasan yang sah untuk tidak mencapai standar Allah yang sempurna. “Kuduslah
kamu, sebab Aku kudus” (I Petrus 1:16).
Bahayanya Perfeksionisme
Akan tetapi sama bahayanya pikiran yang mengatakan bahwa
kesempurnaan rohani merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh orang orang
Kristen selama hidup di bumi ini.
Pada dasarnya, doktrin perfeksionisme adalah kesalahpengertian yang fatal
tentang bagaimana Allah bekerja di dalam pengudusan. Pengudusan adalah proses
di mana Allah bekerja melalui Roh Kudus, yang akhirnya membawa orang
percaya menjadi serupa seperti Kristus (II Korintus 3:18). Proses pengudusan
tersebut mempertajam hati nurani orang percaya dan menjaganya supaya jangan
lenyap. Sebagaimana Alkitab katakan, menjadi seperti Kristus tidak terjadi tiba
tiba namun tahap demi tahap dan tidak terjadi ketika masih hidup di bumi ini.
Dengan jelas Alkitab mengatakan bahwa orang Kristen tidak akan pernah
mencapai kesempurnaan tanpa dosa di dalam hidupnya. “Siapakah dapat berkata,
Aku telah membersihkan hatiku, aku tahir daripada dosaku?” (Amsal 20:9) (Yakobus 3:2) – (Galatia 5:17) – (I Yohanes 1:8).
Oleh sebab itu, kekudusan tidak pernah sempurna ketika kita masih berada
di bumi. Hanya di dalam sorga roh orang orang benar menjadi sempurna (Ibrani
12:23).
Kunci Kesalahan Perfeksionisme
Kesalahan yang digambarkan Warfield tentang kaum perfeksionis terdapat
pada pendapat mereka yang memisahkan secara tajam antara pengudusan dan
pembenaran. Inilah yang menjadi kunci kesalahan doktrin perfeksionisme.
Hampir semua perfeksionis menganggap pengudusan adalah pertobatan kedua.
Didalam doktrin ini, kekudusan diperoleh dengan tindakan iman yang dilakukan
setelah keselamatan diterima dan hal ini disebut sebagai “berkat kedua”.
Menurut Alkitab, pengudusan di mulai segera pada waktu pembenaran
diterima dan akan terus menerus berlangsung – walaupun kita jatuh bangun
sampai akhir hidup kita.
Bagaimana Terjadinya Pengudusan ?
Kata menguduskan di dalam Alkitab berasal dari kata Ibrani dan Yunani
yang berarti “memisahkan”. Dikuduskan berarti dipisahkan dari dosa. Pada saat
pertobatan, semua orang percaya dilepaskan dari keterikatan dosa, dibebaskan dari
statusnya sebagai tahanan dosa – dipisahkan untuk memiliki persekutuan dengan
Allah, atau dikuduskan. Pemisahan tersebut dimulai pada saat pertobatan tersebut
terjadi. Sementara kita bertumbuh di dalam Kristus, kita semakin dipisahkan dari
dosa dan semakin ditahbiskan kepada Allah. Jadi, pengudusan yang terjadi pada
saat pertobatan hanya merupakan permulaan proses yang berlanjut seumur hidup
di mana kita semakin di pisahkan dari dosa dan dijadikan semakin menyerupai
Kristus – dipisahkan dari dosa, dan diasingkan bagi Allah.
Orang Kristen yang mengalami proses pendewasaan rohani tidak pernah
membenarkan diri, puas diri, atau puas dengan pertumbuhannya sendiri. Mereka
juga tidak mengejar harga diri, namun berusaha membereskan dosa dosanya.
Apakah Kita Akan Terus Berbuat Dosa ?
Walaupun anugerah Allah dicurahkan, kekudusan merupakan suatu
keharusan, dan bukan pilihan. Selalu saja ada orang yang menyalahkangunakan
anugerah Allah dengan menduga bahwa anugerah itu memberi kita peluang untuk
berbuat dosa.
Pembenaran, pengudusan, dan aspek lain dari pekerjaan Allah dalam
menyelamatkan manusia bergantung pada persekutuan kita dengan Kristus.
Mengerti apa arti dipersatukan dengan Kristus merupakan dasar pengertian
keselamatan kita sendiri.
Persekutuan kita dengan Kristus menghasilkan beberapa perubahan yang
luar biasa. Pertama tama, kita dibenarkan. Pembenaran terjadi di hadapan
pengadilan Allah. Keputusan Allah jatuh, yaitu, “tidak bersalah”. Istilah
pembenaran tidak mengandung pengertian “perubahan drastis di dalam diri orang
berdosa tersebut,” melainkan perubahan statusnya di hadapan Allah.
Persekutuan kita dengan Kristus menghasilkan perubahan perubahan di
dalam sifat kita. Pembaharuan, pertobatan, dan pengudusan adalah kata kata
yang menggambarkan perubahan tersebut. Kita di lahirkan kembali –
diperbaharui, diberikan hati yang baru, roh yang baru, dan kasih yang baru kepada
Allah (Yehezkiel 36:26; I Yohanes 4:19-20). (II Petrus 1:3-4), (Roma 6:4), (Roma
6: 6-7).
Apakah Benar Kita Dibebaskan dari Dosa ?
Apa maksudnya “manusia lama” yang telah disalibkan ? “Manusia lama”,
menunjukkan sifat sifat yang masih belum diperbaharui, keadaan kita ketika
masih “di dalam Adam”.
“Keinginan daging kita” (Roma 6:19; 7:18) seperti manusia yang lama,
walaupun mati, namun kebusukan, kemesuman, kecurangan, kematiannnya yang
berbau busuk serta kecemarannya masih juga berusaha menulari dan
mempengaruhi segala sesuatu yang di sentuhnya.
Ketika Paulus berbicara mengenai “keinginan daging”, ia mengacu kepada
sisa sisa dosa yang masih tinggal: kelemahan kita yang fana, keakuan kita, dan
kecenderungan kita untuk gagal dan kembali berbuat dosa. Hal ini tidak akan
dilenyapkan daripada kita sampai akhirnya kita di permuliakan.
Jadi apa maksudnya orang Kristen “telah bebas dari dosa” (Roma 6:7) ?
Apa yang ia maksudkan dengan berkata bahwa manusia lama telah disalibkan
sehingga “tubuh dosa kita hilang kuasanya” (ayat 6) ? Bukankah kata kata 'hilang
kuasanya” sepertinya memberi pengertian kepada kita bahwa dosa telah dibasmi,
dihapuskan, “dihancurkan” (versi KJV), atau di musnakan ? Akan tetapi kata
Yunani (katargeo) secara harfiah berarti “membatalkan” atau “menghapuskan”
(bdg. Roma 3:3, 31; 4:14). Kata “dibebaskan” didalam Roma 6:7 adalah dikaioo,
yang sering kali diterjemahkan “dibenarkan”. Dengan kata lain, orang orang
percaya di bebaskan dari hukuman dosa yang menakutkan. Karena mereka di
benarkan – dinyatakan tidak bersalah dan di bungkus oleh kebenaran Kristus yang
sempurna – dosa dan kematian tidak berkuasa atas mereka.
Orang orang percaya telah dibebaskan dari keadaan mereka yang sesat
secara total yang membuat mereka tidak dapat berbuat lain selain dosa. Namun
kini, mereka bebas untuk mengasihi dan menaati Allah. Akan tetapi mereka belum
lagi bebas dari jangkauan dosa. Mereka masih dapat dirayu oleh kuasa dosa,
belum lagi dapat membebaskan diri dari kehadiran dosa dan masih mempan
digoda oleh pesona dosa. Didalam tubuh mereka, kecenderungan untuk berbuat
dosa masih juga bercokol.
Bukan Lagi Aku yang Berbuat Dosa
Jadi, perbuatan dosa kita bertentangan dengan segala sesuatu yang kita
pegang teguh sebagai orang percaya. Tidak lagi “aku” yang berdosa – maksudnya
adalah bahwa dosa bukan lagi ekspresi watak kita yang sesungguhnya.
Mengapa kita masih berdosa ? Karena prinsip keinginan daging yang
membuat kita berdosa masih tinggal di dalam diri kita. Hal inilah yang manarik
kita sehingga tidak taat. Tentu saja kita harus bertanggung jawab atas dosa dosa
kita. Ketika kita berdosa, bukan lagi karena keadaan diri kita, melainkan
disebabkan oleh prinsip keinginan daging yang masih bersikeras bercokol dan
terus menerus melancarkan pengaruhnya sampai kita diubah kelak di sorga,
dimana kita di muliakan.
Jadi dosa yang ada di dalam diri kita, walaupun “merupakan musuh yang
telah dikalahkan,” selama kita masih hidup, masih harus dilawan dengan sungguh
sungguh. Kita memang bebas dari dosa, namun kita harus tetap waspada.
Perfeksionisme, menghilangkan prinsip proses pengudusan. Kita tidak sempurna.
“Kita masih manusia, Kita masih mengeluh”, sementara kita mengeluh dan
menanti hari pengangkatan tersebut, kita harus berjuang melawan musuh yang
sudah kalah tersebut di dalam diri kita. Alkitab memberikan instruksi yang jelas
bagaimana kita meneruskan perjuangan kita melawan dosa di dalam kedagingan
kita.