Sejarah Konsep Birokrasi FINAL fantasi

A. Sejarah Konsep Birokrasi
Konsep birokrasi dimunculkan oleh M De Gourney. Melalui surat
tertanggal 1 Juli 1764 yang ditulis Baran de Grim, merujuk pada gagasan
Gourney yang mengeluh tentang pemerintahan yang melayani dirinya sendiri.
De Gourney menyebutkan kecenderungan itu sebagai penyakit yang disebutnya
bureaumania.
Ide tentang birokrasi bukan sesuatu yang baru. Merupakan kekeliruan kalau
kita mengira konsep ini baru muncul. Keluhan atas pemerintah pun bukan hal
baru, yaitu setua usia pemerintahan itu sendiri. Juga, prinsip pemerintah harus
dijalankan orang-orang yang baik dan cakap merupakan ide yang sudah lama
berkembang di lingkungan filsuf, baik Barat maupun Timur.
Sejak kemunculan gagasan Geourney, istilah birokrasi diadopsi secara
luas dalam kamus politik di Eropa selama abad 18. Istilah Perancis,
Bureaucratie ini, dengan cepat diadopsi dalam makna yang sama di Jerman
dengan sebutan bureaukratie (kemudian menjadi burokratie), di Italia menjadi
burocrazia dan Inggris menjadi bureaucracy.
Derivasi dari istilah birokrasi juga berkembang secara luar biasa selepas
periode de Gourney ini. Muncul istilah birokrat, birokratis, birokratisme,
birokratik, dan birokratisasi.
Konsep birokrasi ini meluas ke Inggris melalui terjemahan karya
berbahasa Jerman. Karya Gorres ‘Germany And The Revolution’ (1819)

diterjemahkan ke Bahasa Inggris dalam dua versi yang berbeda pada 1820.
Sementara pada terjemahan surat perjalanan seorang pangeran (1832)
menyebutkan, birokrasi telah menggantikan tempat dari aristokrasi dan
kemungkinan besar akan segera menjadi sama posisinya. Pada perkembangan
selanjutnya, kamus berikutnya mulai menyebutkan istilah ini. Spencer, juga
mulai menulisnya di bukunya tentang birokrasi dengan mengacu pada Prancis.
Mills dalam karyanya Principil Of Political Economy (1848),
menempatkan diri sebagai penentang dari konsentrasi semua keterampilan dan
pengalaman serta kekuasaan dari tindakan yang terorganisasi di tangan
manejemen kepentingan yang luas. Ia menyebutnya sebagai dominant
bureaucracy yang muncul dalam masyarakat Inggris.

Mills menegaskan, kecenderungan itu merupakan a main of the inferior
capacity for political life yang menandai karakteristik dari negara yang over
governed kala itu. Mills, dalam Considerations On Representative Government
(1861) membandingkan , di luar pemerintahan perwakilan maka bentuk
pemerintahan yang memiliki keterampilan politik yang tinggi adalah birokrasi.
Bahkan birokrasi berjalan dengan nama monarchi atau aristokasi sekali pun.
Disini `yang profesional.(A.Rahman.I/SistempolitikIndonesia.hal167-168)
B. Teori Birokrasi dan kekuasaan Politik

Menurut cole , terdapat rintangan-rintangan yang bekerja dari dalam
kadang-kadang merusak esensi dari pemerintah , contoh penguasa swasta,
pejabat-pejabat dengan kedudukan politik atau lainnya, yang tidak mempunyai
seni mengendalikan pegawai-pegawai, sebagai contoh coyle menyebutkan
beberapa contoh misalnya pada tahun 1953 terjadi di beberapa departeman ,
dengan anggota cabinet barunya, “ an honeast day’s work fork an honest
day’s’ . tetapi yang terjadi semangat kerja lumpuh dan lebih celaka lagi ,
pegawai-pegawai itu mulai mencari pekerjaan diluar
Macridis mengatakan bahwa disemua Negara yang sudah maju
industrinya, ruang lingkup aktifitasnya luas sekali , baik dinegara demokrasi
maupun dinegara nodemokrasi, dikatakan bahwa inggris dan prancis lebih dari
20% dari kegiatan sector ekonomi dibawah pengawasan pemerintah ,
sedangkan pemerintah sibuk mengurusi atau memajukan sector teknologi dan
moderenisasi , semua ini dibebangkan kepada eksekutif
Macridis melihat akibatnya ialah terdapat perlengkapan yang besar
sekali , suatu birokrasi, sebagai suatu badan yang terdiri dari berjuta-juta
pegawai yang menjalankan tugasnya, karena itu menurut dia yang
menjalangkan tugas tersebut adalah CIVIL SERVICE, haruslah diorganisir
dengan baik ,harus kompeten dan efesian
CIVIL SERVICE ; memerlukan pengetahuan teknis dan spesifis,suatu

organiasasi dan rasional dan bercerikan hal-hal sebagai berikut
 Ditentukan dengan jelas wewenang dan bidang tugasnya
 Suatu hirarki antara bawahan dan atasannya
 Adanya sistem penunjukan dan promosi
 Adanya latihan dan upgrading atas pengetahuan dan keterampilan
 Dengan gaji tertentu

Menurut Max Weber; kategori “ rational legal authoritiy’ Adalah sebagai
berikut





Fungsi-fungsi personil yang menurut ketentuan hukum yang berlaku
Mempunyai ruang lingkup kewenangan
Organisasi kepegawaian mengikuti pola hirarki
Ketentuan yang mengatur segala tindakan personil didasarkan atas





norma-norma hukum
Staf admistrasi haruslah dipisahkan dari alat-alat produksi
Semua keputusan, ketentuan-ketentuan, diarsip tertulis\
Seperti dikatakan oleh john T. Dorsey , dalam buku “ politis &

government ,mengatakan bahwa organisasi admisirasi setiap bangsa-bangsa
mempunyai ciri senidiri . proses admisistrasi adalah integral dengan sistem
politik itu sendiri, admisitrasi adalah penting sebagai penghubung pemerintah
dengan rakyat . administrasi adalah sebuah proses , dari mana mulai dan kapan
berakhir? Sistem admisitrasi disebut birokrasi, sedangkan orangnya disebut
birokrat(ilmupolitik,teoridanpraktiknya,PROF.DR.J.papasi.hal33-34)
C. Pelaksanaan Birokrasi Indonesia
Sejarah Birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya
semasa Orde Baru dimana yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik.
Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal.
Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang
bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi.
Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap

maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi birokrasi
pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga
membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat
birokrat tidak dapat dibedakan.

Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan
Surbakti mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar
dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat
ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya
menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana
kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya,
wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau
beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi
masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih
sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber
dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja
daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada
rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan Pasca
reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi

pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara
pejabat karier dengan nonkarier. Sikap mental seperti ini dapat membawa
birokrasi

pemerintahan

Indonesia

kembali

kepada

kondisi

birokrasi

pemerintahan pada masa orde baru. Bahkan kemunculan RUU Administrasi
Pemerintahan saat ini turut mendapat respon yang cukup agresif dari para
pejabat politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang berusaha mengakomodasikan
kepentingan jabatan politik mereka untuk dapat menduduki jabatan birokrasi.

Birokrasi Indonesia lebih menonjol sebagai pembuat kebijakan dari pada
pelaksana kebijakan sehinggap dianggap sebagai sumber masalah bukan
sumber solusi.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru ternyata diikuti dengan makin
rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Ini akibat
buruknya pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang sebagian besar
dilakukan pegawai negeri sipil. Ironisnya, ketika era otonomi daerah yang
tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bergulir menyusul peralihan
kekuasaan ke Orde Reformasi, banyak aparat birokrasi justru bersikap sok
berkuasa. Selain mereka masih berorientasi pada kekuasaan, birokrasinya juga
dibebani anggaran untuk membiayai dirinya sendiri.

Saat ini nilai penting pelayanan pemerintah terhadap publik yang
direpresentasikan dengan nilai pelayanan pegawai negeri sipil (PNS) tidak
dalam kondisi yang diharapkan. Keluhan masyarakat terhadap buruknya
kinerja pemerintah sebagian besar dipengaruhi oleh buruknya kinerja PNS
dalam melayani masyarakat. Akibatnya, muncullah krisis kepercayaan terhadap
PNS.
Krisis kepercayaan ini amat mudah dipahami mengingat birokrasi
publik selama ini menjadi instrumen yang efektif bagi penguasa Orde Baru

untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi publik, baik sipil maupun
militer, dalam rezim Orde Baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai alat
penguasa.
Kepentingan penguasa menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku
birokrasi. Hal ini tercermin dalam proses kebijakan publik, di mana
kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan sering kali
menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan
bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses kebijakan publik amat terbatas.
Apalagi secara historis, birokrasi di Indonesia tidak memiliki tradisi
untuk menempatkan kepentingan masyarakat dan warga negara sebagai sentral.
Sejak zaman kolonial sampai dengan Orde Baru, kepentingan masyarakat dan
warga negara selalu memiliki posisi yang amat marjinal. Tidak heran kalau
kinerja birokrasi Indonesia kemudian menjadi rendah.
Rendahnya kinerja birokrasi ditentukan banyak faktor, baik dari dalam
ataupun di luar. Di sisi sejarah perkembangan birokrasi di Indonesia, rendahnya
kinerja birokrasi bisa dipahami dari latar belakang dan tujuan pembentukan
birokrasi, baik didalam zaman kerajaan, penjajahan, dan Orde Baru.
Birokrasi sebagai bagian dari sistem sosial, keniscayannya harus ada
dan tidak bisa dihilangkan. Pejabat perlu ada untuk melayani masayarakat.

Masalahnya, bagaimana birokrasi itu benar-benar berfungsi melayani
masyarakat. Kalau rakyat mendapat pelayanan yang tidak baik, rakyat juga
jangan larut mengembangkan ketidak baikan itu. Rakyat harus kritis.
Penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sedang menerapkan konsep
good governance dan reinventing goverment yang secara konseptual seiring
dengan demokrasi. Walaupun penerapan konsep tersebut dalam perkembangan

dan hasilnya belum memuaskan dan mungkin nyaris gagal, atau masih
memerlukan waktu yang cukup panjang. Karena melakukan upaya perubahan
“paradigma” tidak mudah, sebab berkaitan dengan sikap mental, latar belakang
sosial budaya dan pendidikan. Nilai-nilai tradisional yang selama ini masih
mengungkung para apatur birokrasi berhadapan dengan nilai-nilai modern,
memerlukan penyesuaian waktu yang cukup.
Namun sesungguhnya di satu pihak demokrasi sebagai sistem nilai dan
dilain pihak, dalam birokrasi yang paling strategis adalah aspek aparaturnya,
jika aparatur birokrasi telah mampu melakukan perubahan melalui berbagai
macam dan jenis pendidikan dan latihan atau upgrading, niscaya tuntutan nilainilai demokrasi, dengan sendirinya akan mudah diterima. Sebab hanya dengan
melalui pendidikan yang mampu mendorong terhadap perubahan pola pikir
seseorang. Artinya perubahan paradigma aparatur birokrasi merupakan faktor
yang mutlak menjadi prioritas utama. Pada gilirannya nilai-nilai demokrasi

akan menjadi pilihan yang merupakan konsekuensi logis seiring dengan
perubahan sistem politik yang demokratis. Oleh karena itu membangun
paradigma dengan mendemokrasikan birokrasi, menjadi pilihan yang tidak bisa
ditawar, agar konsep reformasi dan tranformasi birokrasi dapat berjalan dengan
baik, guna membangun kinerja pemerintahan yang profesional dan kompeten,
sehingga memberikan harapan kepada masyarakat, tentang peningkatan
pelayanan publik yang murah, bermutu, cepat dan nyaman.
Oleh karena itu, seiring dengan program reformasi dan transformasi
birokrasi yang telah menjadi komitmen pemerintah, sehingga sebagaimana di
negara maju sukses menjalankan konsep reformasi dan transformasi birokrasi
tersebut juga didukung oleh kondisi sistem politik yang demokratis.
(A.Rahman.I.SistempolitikIndonesia.Hal177-178)
Koropsi yang terjadi pada birokrasi pada umumnya disebut sebagai
standard perilaku tersendiri, dengan demikian korupsi didefenisikan sebagai
perilaku yang menyimpang dari kewajiban formal dari suatu jabatan publik
Karena kehendak untuk mencapai keuntungan yang ekonomis atau status bagi
diri sendiri (DR.Mohtar,mas’ad.politikbirokrasidanpembangunan)
Dalam pengertian ini sebenarnya korupsi adalah suatu cara untuk
menetapkan pengaruh . yaitu seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau
seseorang yang memegang jawabatan agar melakukan apa yang diinginkan


oleh orang tersebut, cara lain untuk mempengaruhi tindakan dari pejabat ,
dengan cara tersebut agar pejabat tersebut dari merugikan suatu bangsa yang
ingin dirusaknya, banyak konsekweksi yang diakibatkan dari korupsi misalnya,
tidak berdayanya masyarakat dan pembangunan ekonomi yang tidak merata.
Adapun penyebab dari korupsi tersebut:
 Adanya tradisi pemberian hadiah , atau semacamnya, yang diberikan
kepada pemerintah tindakan tersebut dinegara eropa dan amerika


dianggap korupsi namun dinegara asia tidak sama sekali
Dalam kondisi masyarakat itu sendiri, keluarga disini sangatlah
berperan penting untuk mencegah hal-hal tersebut dapat terjadi

BIROKRASI DI INDONESIA DAN
KORUPSI

OLEH

Nama : Muhammad Ayub Liwang
Nim : 30600112075

JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR

DAFTAR PUSTAKA
Mas’oed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rahman, A. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Istianto, Bambang. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media.