HUKUM HAK ASASI MANUSIA (1)

HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Fitriani Abdi
Fitrianiabdi@students.unnes.ac.id

Nama/Judul buku: Hukum Hak Asasi Manusia
Penulis/Pengarang: Prof.Dr. Rahayu, S.H., M.Hum
Penerbit: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Tahun Terbit: 2015
Kota Terbit: Semarang
Bahasa Buku: Indonesia
Jumlah Halaman: 402 halaman
ISBN Buku: 978-979-70490-6-5

DISKUSI/PEMBAHASAN REVIEW
Buku yang ditulis oleh Prof.Dr. Rahayu, S.H., M.Hum berjudul Hak Asasi
Manusia yang dipahami sebagai hak yang secara kodrati dimiliki oleh setiap orang
tanpa pengecualian dan keistimewaan berdasarkan golongan, kelompok maupun
tingkat sosial tertentu, menempatkan HAM sebagai isu utama yang
diperbincangkan berbagai kalangan di segala jaman. Perhatian dan perjuangan
umat manusia terhadap HAM sesungguhnya terus berjalan seiring dengan
perkembangan peradaban mencapai kemuliaan kehidupan manusia.

Perhatian dan perjuangan umat manusia untuk memenuhi hak-haknya ini
telah mendorong mereka untuk hidup secara berkelompok dan berorganisasi.
Pembentukan Negara adalah manifestasi keinginan untuk hidup berkelompok
guna melindungi kemanusian dan hak asasi manusia. Negara memperoleh
kekuasaan dari warga negaranya sebagai pemegang kedaulatan semata-mata
untuk memnuhi dan melindungi hak asasi manusia warga Negara. Konsep inilah
yang kemudian melahirkan prinsip demokrasi dimana Negara adalah dari dan oleh
dan untuk rakyat. Konsep ini pula yang mendasari ketentuan internasional bahwa
kewajiban perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia untumanya pada
Negara. Dengan kata lain, Negara adalah pemegang kewajiban (duty beaters)
HAM warganya.
Jaminan yang diberikan Negara atas Hak Asasi warganya ini bukan terjadi
berarti hak-hak tersebut lahir setelah Negara meratifikasi konvensi internasional
tentang Hak Asasi Manusia atau mengeluarkan peraturan apapun yang menjami

hak asasi warganya, tapi lebih merupakan tanggung jawab Negara dalam
menjamin hak-hak yang telah dimiliki oleh setiap warganya secara kodrati dan
memperhatikan penghargaan Negara atas hak-hak tersebut. Kewajiban untuk
menegakan Hak Asasi Manusia adalah kewajiban yang tidak dapat dipungkiri oleh
Negara, karena merupakan bagian dari kewajiban Negara untuk melindungi

kepentingan umat manusia (prinsip obligation erga ones). Manusia memrlukan
jaminan perlindungan bagi hak-hak tersebut ditindaklanjuti dengan peraturan
dalam hukum.
Seiring dengan perkembangan tyang terjadi maka berbagai updating
informasi terus dilakukan untuk memberikan informasi terkini berkaitan dengan
pokok-pokok bahasan dalam buku ini. Disusun dalam lima bab, secara garis besar
dapat dijelaskan sebagai berikut: dalam Bab 1 berisi tentang beberapa pengertian
dan konsep dasar untuk memahami Hak Asasi Manusia, yang meliputi istilah dan
pengertian, basis teori Hak Asasi Manusia, prinsip-prinsip dasar Hak Asasi
Manusia, serta mengenai kewajiban Negara, bab ll berisi tentang sejarah
perkembangan pemenuhan Hak Asasi Manusia, baik secara konseptual dalam
hukum internasional maupun di dalam hukum nasional indonesia. Bab lll secara
khusus membahas tentang berbagai instrument hukum Hak Asasi Manusia
internasional dan mekanisme pemantauannya. Bab IV membahas tentang
instrument hukum dan Hak Asasi Manusia nasional indonesia. Bab V menjelaskan
tentang mekanisme perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di
Indonesia.
Bab 1 diawalai dengan penjelasan terhadap istilah dan pengertian Hak Asasi
Manusia, di bab 1 ini dijelaskan berbagai pengertian menurut berbagai pakar.
Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan Hak Asasi Manusia sebagai hak-hak

mendasar (Fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang
melekat pada manusia karena hakikat dan kodratnya sebagai manusia. Menurut
Soetandyo, hak-hak ini disebut universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai
bagian dari kemanusian setiap sosok manusia, apapun warna kulit, jenis kelamin,
usia, latar belakang budaya, agama dan kepercayaannya. Sedangkan kata
melekat dan inherent digunakan karena hak-hak itu dimiliki setiap manusia
semata-mata karena keberadaanya sebagai manusia dan bukan karena
pemberian dari suatu organisasi kekuasaan manapun. Mengingat sifat Hak Asasi
Manusia yang melekat inilah, maka hak-hak tersebut tidak dapat dirampas atau
dicabut.
Sementara itu Muladi menyatakan bahwa apapun rumusannya, Hak Asasi
Manusia adalah hak yang melekat secara alamiah (inherent) pada diri manusia
sejak manusia lahir, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan
berkembang sebagai manusia yang utuh. Mengingat keberadaannya yang
demikian penting. Maka menurut Muladi, tanpa hak asasi manusia maka manusia
tidak dapat mengembangkan bakat-bakat dan memenuhi kebutuhankebutuhannya. Berbagai pendapat tentang Hak Asasi Manusia disebut secara
tidak langsung atau langsung mewarnai perumusan Hak Asasi Manusia dalam
Undang-Undang Nomor: 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 1
angka 1 UU ini mendefinisikan HAM sebagai berikut:


“seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.
Dari berbagai pengertian tersebut maka secara garis besar dapat dipahami
bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara
universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat
kelahiran manusia itu sebagai manusia. Meskipun berbagai pengertian tentang
Hak Asasi Manusia tersebut berbeda satu sama lain, namun secara umum secara
definisi tersebut merujuk pada hak-hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Sebagai konsekuensinya, hak-hak
tersebut harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Dibab ini juga dijelaskan mengenai berbagai pelanggaran Hak Asasi
Manusia, pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh Negara maupun oleh pelaku nonnegara. Pelanggaran dapat terjadi dengan acts of commissions (tindakan untuk
melakukan) oleh Negara atau pihak lain yang tidak teratur secara memadai oleh
Negara, atau lewat acts of omissions (tindakan untuk tidak melakukan tindakan
apapun) oleh Negara. Perubahan pemahaman ini sebenarnya tidak lepas dari
perkembangan yang terjadi pada menjelang berakhirnya abad ke 20, dengan
munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang

mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya, yaitu:
Pertama: munculnya fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala
besar dalam suatu Negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National
Corporation (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporation (TNC’s) dimanamana didunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah
wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan
Negara, apalagi suatu Negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak didunia.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini, yang
menjadi persoalan adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan
modal yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap kepentingan konsumen
produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan yang dipersoalkan
dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen.
Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan kepentingan konsumen
tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan
dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai
bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua: abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without
state, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai Negara Turki dan Irak,
bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar dihampir
semua Negara didunia, bangsa Persia (iran), Irak, dan bosnia terpaksa berkelana
kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi dinegeri asal

mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa
berada dimana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut
ketentuan hukum yang lazim. Misalnya bangsa kurdi yang tinggal di Irak, mereka

yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian
pula mereka yang hidup dinegara-negara lain dapat menikmati status
kewarganegaraan dinegara mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan
kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum
secara formal tersebut.
Ketiga; dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua diatas, mulai
penghujung abad k eke-20 telah berkembang suatu lapisan sosial tertentu dalam
setiap masyarakat di Negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan
internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizen.
Mereka ini mula mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps
diplomatic yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka
ini berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir
diplomat yang berpindah-pindah dari suatu Negara kenegara lain, terbentuk suatu
jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelmaan menjadi suatu kelas sosial
tersendiri yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai
contoh, di setiap Negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang

bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk
berbelanja. Semua ini memperkuat kecenderungan munculnya kelas sosial
tersendiri yang mendorong munculnya kelas sosial tersendiri yang mendorong
munculnya kehidupan baru di kalangan sesame diplomat. Bersama dengan itu,
dikalangan para pengusaha yang menanamkan modal sebagai investor usaha
diberbagai Negara, juga berbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti
halnya kalangan korps diplomatic tersebut. Bahkan, banyak diantara para pekerja
ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindahpindah dari satu Negara ke Negara yang lain, yang jangkauan pergaulan mereka
lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan seperti diplomat seperti
tersebut di atas, dari pada bergaul dengan penduduk asli dari Negara-negara
tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan
diplomatic inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia,
meskipun secara resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi
mobilitas mereka sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizen
yang bebas bergerak kemana-mana di seluruh dunia.
Di bab ll menjelaskan sejarah perkembangan pemenuhan Hak Asasi
Manusia(HAM), Hak Asasi Manusia bermula dari sebuah gagasan bahwa manusia
tidak boleh diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan, karena manusia memiliki
hak alamiah yang melekat pada dirinya karena kemanusiannya. Kendati prinsip
dasar perlindungan HAM ini adalah kebebasan individu, namun pengutamaaan

individu disini tidak bersifat egoistic, karena penyelenggara HAM terjadi dalam
prasyarat-prasyarat sosial bahwa kebebasan individu selalu dipahami dalam
konteks penghormatan hak individu lain.
Menurut Michel Villey sebagaimana dikutip oleh Simon Goyard-Fabre,
gagasan HAM (jus hominum) untuk pertama kalinya muncul pada tahun 1537.
Namun gagasan ini sama sekali belum menunjukkan isi yang harus diwujudkan,
apalago perjuangan untuk gagasan tersebut. Kendati keprihatinan terhadap HAM
sudah ada sejak tahun 1215 dengan dirumuskannya magna charta, namun
gagasan ini baru dinyatakan sebagai kategori yang tidak bisa dipisahkan dari

hukum politik modern setelah Revolusi Perancis (1789) yaitu sejak Deklarasi Hak
Asasi Manusia dan Warga negaranya (Declaration of the right of Man and Citizen).
Sebelum deklarasi Perancis tahun 1789 ini sebenarnya telah ada lebih dulu
beberapa dokumen yang memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan HAM,
khususnya hak sipil dan politik.
Di inggris, selain Magna Charta (1215), juga dikenal adanya Petition of Right
(1628) Habeas Corpus Act (1679), dan English Bill of Right (1689), yang mana
ketiga instrument ini sangat mengembangkan kebebasan politik, kebebasan
pribadi dan terutama hormat terhadap keamanan pribadi. Dari beberapa intrumen
tersebut sebenarnya dalam Bill of Right (1689) muncul ketentuan-ketentuan

untuk melindungi hak dan kebebasan individu.
Mengenai penjaminan HAM dalam UUD 1945 ini terdapat 2 peendapat, yang
pertama bahwa UUD 45 menjamin HAM secara luas, sedang pendapat kedua
menyatakan bahwa UUD 45 hanya memberikan perlindungan terbatas. Menurut
pandangan pertama, dalam pembukuan, batang tubuh maupun penjelasan UUD
45, secara implicit maupun eksplisit mengatur 15 jenis HAM yaitu:
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri.
2. Hak akan warga Negara.
3. Hak akan kesamaan dan persamaan dihadapan hukum.
4. Hak untuk bekerja.
5. Hak akan hidup layak.
6. Hak untuk berserikat.
7. Hak untuk menyatakan pendapat.
8. Hak untuk beragama.
9. Hak untuk membela Negara.
10. Hak untuk mendapatkan pengajaran.
11. Hak untuk kesejahteraan sosial.
12. Hak atas jaminan sosial.
13. Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan.
14. Hak untuk mempertahankan tradisi budaya.

15. Hak untuk mempertahankan budaya daerah.
Bila pandangan diatas benar, maka sesungguhnya UUD 1945 sudah
mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) tahun 1948, karena
dalam konteks penjaminan HAM, UUD 1945 telah menjamin sederat hak, mulai
dari hak sipil, politik, sosial, budaya.

Di lain pihak, terdapat pandangan yanag mengatakan bahwa UUD 1945 hanya
memberikan jaminan terbatas terdapat 4 jenis HAM, yaitu:
1. Hak berserikat dan berkumpul.
2. Hak mengeluarkan pendapat.
3. Hak untuk bekerja.
4. Hak beragama.
Di bab lll Menjelaskan Instument Hukum Internasional Hak Asasi Manusia salah
satunya ICCPR (international Covenant on Civil and Poilitical Rights) bebarapa
hak yang diatur adalah sebagai berikut:
1. Hak untuk hidup.
2. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
3. Hak untuk bebas dari perbudakan dan kerja paksa.
4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi.

5. Hak tahanan atas perlakuan manusiawi.
6. Hak untuk bebas dari penahanan karena hutang.
7. Hak untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal.
8. Hak atas pengadilan yang jujur.