Context of Discovery Epistemologi Ilmu K (1)

CONTEXT OF DISCOVERY
LANDASAN EPISTEMOLOGIS ILMU KEOLAHRAGAAN

Penulis:

Made Pramono, S.S., M.Hum.

CONTEXT OF DISCOVERY
LANDASAN EPISTEMOLOGI ILMU KEOLAHRAGAAN1
Oleh: Made Pramono, S.S., M.Hum.2
ABSTRAK
Tujuan dari peneliltian ini adalah mendeskripsikan context of justification
konsepsi KDI-Keolahragaan tentang landasan epistemologis Ilmu Keolahragaan
sebagai ilmu yang mandiri di Indonesia serta berupaya menemukan dan
mengembangkan jalan atau metode baru konstruksi teoritis landasan epistemologis
Ilmu Keolahragaan. Melalui metode heuristika peneliti melakukan deskripsi context
of justification konsep di buku KDI-Keolahragaan untuk selanjutnya dilakukan kritik
paradigma dan context of discovery (penemuan jalan baru) dengan harapan adanya
pengembangan kreativitas ilmu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsepsi dimensi epistemologi buku
KDI-Keolahragaan berorientasi aplikatif-implementatif, dengan titik tekan pada

pengembangan Ilmu Keolahragaan di Indonesia berdasarkan landasan epistemologis
yang sudah ada. Context of discovery dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
rekonstruksi historis-kultural dan pemetaan aliran-aliran pemikiran, terutama yang
berkarakter lokal keindonesiaan, merupakan jalan metodologis baru yang bisa
dijadikan pelandasan epistemologis alternatif yang sama pentingnya dan melengkapi
epistemologi model aplikatif-implementatif KDI-Keolahragaan ini. Epistemologi dari
context of discovery ini berorientasi inventif-eksploratif. Implikasi temuan ini adalah
perlunya dilakukan penelitian filosofis tradisi sosiokultural keolahragaan di Indonesia
serta pemetaan intensif dan ekstensif berbagai pandangan/pemikiran tematik yang
relevan dengan pelandasan epistemologis model inventif-eksploratif.

1
2

Disampaikan pada Seminar Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga, UPI Bandung, 2008.
Dosen FIK UNESA Surabaya. Email: [email protected]

1

Kata Kunci: context of discovery, epistemologi aplikatif-implementatif, epistemologi

inventif-eksploratif
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Buku “Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya” (2000) yang disusun
oleh Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan (KDI-Keolahragaan) merupakan referensi peta
Ilmu Keolahragaan berbahasa Indonesia terbaru dan paling awal yang dapat ditemui
setelah adanya Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan. Nilai penting buku
ini bila dilihat dari konstruksi bangunan Ilmu Keolahragaan di Indonesia adalah bahwa
landasan filsafat yang secara umum memuat landasan ontologi, epistemologi, dan
aksiologi telah dipaparkan secara jelas sebagai basis meta teoritis Ilmu Keolahragaan
sebagai ilmu mandiri. Beberapa buku berbahasa Indonesia yang terbit setelah itu, sejauh
yang dapat dilacak, tidak lagi berpusat pada landasan filsafati ini. Padahal, sebuah ilmu
baru seperti Ilmu Keolahragaan, memerlukan pelandasan filsafati yang kokoh terlebih
dahulu sebelum dikembangkan isi keilmuannya.
Ada tendensi pertanggungjawaban akademik yang perlu dicermati, bahwa Ilmu
Keolahragaan di Indonesia kemudian memperoleh pelandasan filsafatinya lebih jauh
dengan mencukupkan pada pustaka-pustaka terkait dari teks berbahasa non-Indonesia.
Pada kenyataannya, memang tumbuh kembang publikasi kajian-kajian meta-teori dan

filsafat Ilmu Keolahragaan di luar negeri meskipun tidak sebanyak publikasi serupa untuk
ilmu nutrisi misalnya, namun sudah cukup bisa diadopsi untuk keolahragaan di
Indonesia. Oleh karena itu, peneliti menganggap bahwa buku KDI-Keolahragaan
merupakan referensi berbahasa Indonesia satu-satunya yang harus diinterpretasikan
secara tepat dan kontekstual dalam rangka pelandasan filsafati (dalam lingkup filsafat
ilmu) pengembangan Ilmu Keolahragaan. Selain itu, konsepsi KDI-Keolahragaan
menjadi penting maknanya di Indonesia, karena konsepsi KDI-Keolahragaanlah satu-

2

satunya di Indonesia yang secara formal diakui dan disebarluaskan di institusi-institusi
akademik (Made, 2007:2).
Format penelitian untuk landasan pengembangan Ilmu Keolahragaan harus
muncul dari filsafat sebagai bidang kajian yang diakui secara luas (world wide)
bertanggung jawab untuk mengajukan analisis kritis dan memberikan landasan
teoritis bagi ilmu-ilmu lain. Penelitian untuk Filsafat Ilmu Keolahragaan ini
diarahkan pada bagaimana mengenal dan memetakan wilayah-wilayah keolahragaan
dilihat dari perspektif holistik, radikal, komprehensif, sinoptik-diakronik, dan
sekaligus mampu mencerminkan implementasi kebijakan publik keolahragaan,
terutama sistem pembinaan olahraga baik di lingkungan formal maupun non-formal.

Penelitian seperti ini tentu cukup sulit untuk ditangkap urgensinya, apalagi untuk
bidang budaya praktis seperti olahraga, kecuali bila ada kesadaran kritis bahwa besar
kokohnya bangunan suatu ilmu, tetap tak bisa lepas dari landasan/basement
filosofinya, baik filosofi dalam arti filsafat yang diterapkan untuk bidang praktis
(misalnya filsafat olahraga atau filsafat ilmu) maupun filosofi dalam arti hidden
philosophy (Made, 2007: 3-4).
Salah satu metode yang lazim digunakan dalam penelitian kefilsafatan adalah
metode heuristika. Sebagai metode yang berorientasi context of discovery, maka
penerapannya dalam Ilmu Keolahragaanpun lebih diarahkan bagaimana menemukan
dan mengembangkan konsep-konsep metodologis baru dalam menyusun alternatif
konsep materi yang sudah ada. Salah satu konsep materi yang khas kefilsafatan,
adalah dimensi epistemologi dalam Ilmu Keolahragaan.
Dalam buku KDI-Keolahragaan, dimensi epistemologi ini dijabarkan dalam
tema-tema tentang pendekatan pengembangan Ilmu Keolahragaan, posisi aktual,
metode penelitian, dan batang tubuh Ilmu Keolahragaan. Tema-tema epistemologi ini
secara disiplin kefilsafatan masih jauh untuk bisa dikatakan sudah baku dan kokoh,
setidaknya dengan memperbandingkannya dengan literatur internasional yang
relevan. Dari latar belakang tersebut, peneliti menganggap perlu melakukan

3


penelitian untuk mengupayakan jalan baru metodologis dalam rangka menyusun
konsep baru landasan epistemologi Ilmu keolahragaan.

B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah permasalahan filsafati,
yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah konsepsi KDI-Keolahragaan tentang landasan epistemologi
ilmu keolahragaan sebagai ilmu yang mandiri di Indonesia?
b. Bagaimana upaya metodologis mengkonstruksi alternatif landasan
epistemologis Ilmu Keolahragaan melalui metode heuristika?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
(1) Mendeskripsikan context of justification konsepsi KDI-Keolahragaan
tentang landasan epistemologis ilmu keolahragaan sebagai ilmu yang
mandiri di Indonesia.
(2) Berupaya menemukan dan mengembangkan jalan atau metode baru dalam
konstruksi teoritis landasan epistemologis Ilmu Keolahragaan.


D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh akademisi dan ilmuwan ilmu
keolahragaan di Indonesia untuk lebih memahami karakter ilmiah dari Ilmu
Keolahragaan. Pergeseran pemahaman dan mentalitas untuk lebih menekankan
pada karakter ilmiah ini dapat menjadi tumpuan strategis pengembangan ilmu
keolahragaan secara sistematik, karena pemahaman terbuka terhadap landasan
filsafat (dalam penellitian ini khusus landasan epistemologisnya) yang
berwenang dalam memberikan analisis kritis dan pendasaran-pendasaran
konseptual akan menentukan kebijakan-kebijakan kelembagaan. Selain itu, hasil

4

penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti lain, pendidik,
dan pengambil kebijakan untuk memacu pengembangan aplikatif ilmu
keolahragaan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Epistemologi sebagai cabang dari filsafat sering juga disebut theory of
knowledge. Epistemologi secara harfiah berarti ilmu tentang pengetahuan, yang

diasalkan dari akar katanya Episteme = pengetahuan; dan logos = ilmu. Epistemologi
mempelajari asal muasal/sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan, yang
kesemuanya bisa dikembalikan untuk menjawab pertanyaan: “Apa yang dapat saya
ketahui?”. Beberapa hal yang dibahas oleh epistemologi:
1) Bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu
2) Perbedaan pengetahuan apriori dengan pengetahuan aposteriori
3) Pemakaian dan validitas metode dalam penelitian ilmiah
4) Pohon keilmuan (Made, dkk, 2005a: 7 dan 2005b: 5).
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam
usaha untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu
teori pengetahuan. Dalam kaitannya dengan filsafat ilmu, logika dan metodologi
berperan penting. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan,
sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas
pengetahuan, dan kebenaran. Epistemologi berkaitan dengan pemilahan dan
kesesuaian antara realisme atas pengetahuan tentang proposisi, konsep-konsep,
kepercayaan, dan sebagainya, dengan realisme tentang objek yang tersusun atas
“objek real”, fenomena, pengalaman, data indera dan sebagainya (Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, 2001: 90). Logika dalam arti tertentu masuk dalam landasan
epistemologis ini. Logika berkisar pada persoalan penyimpulan, yakni proses
penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu atau lebih proposisi yang diterima


5

sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini terkandung dalam
kebenaran proposisi yang belakangan. Penyimpulan ini khususnya berkenaan dengan
prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang sah. Penyelidikan mengenai “cara-cara
memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan dengan susunan logik dan
metodologik, urutan serta hubungan antara berbagai langkah dalam penyelidikan
ilmiah. Dalam hal metodologi, filsafat ilmu mempersoalkan azas-azas serta alasan apa
yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”. Fungsi
metodologi adalah menguji metode yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan
yang valid, dengan cara meletakkan prosedur yang dijustifikasi maknanya dengan
argumen filolsofis. Metodologi meletakkan aturan bagi prosedur praktek ilmu.
Metodologi adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi
(Barry Hindes, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 54-55). Persoalanpersoalan yang dibahas antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apakah
yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang
disebut kebenaran itu? Apakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Jujun, 2002: 34).
Di Indonesia, landasan epistemologis Ilmu Keolahragaan secara konseptual

ditemukan dalam buku Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan (2000) dan sebuah
penelitian terdahulu dari peneliti berjudul Landasan Filsafati Pengembangan Ilmu
Keolahragaan (2006). Berbeda dari penelitian tahun 2006 tersebut, penelitian ini
lebih memfokuskan perhatian pada landasan epistemologis di buku KDIKeolahragaan yang dilanjutkan dengan penemuan jalan baru metodologis menuju
konsep alternatif landasan epistemologis Ilmu Keolahragaan.
Isi pengetahuan Ilmu Keolahragaan terus meningkat cakupannya. Terdapat
beberapa model pengelompokan disiplin Ilmu Keolahragaan, salah satunya model
yang disusun Herbert Haag yang dimaksudkan untuk menjawab tantangan baru
bidang olahraga yang mengembang pesat berkenaan dengan perspektif ilmiahnya.

6

KDI-Keolahragaan

dalam

mengkonsepsikan

argumentasinya


banyak

mengadopsi rumusan epistemologis Haag ini. Di Indonesia sangat sulit dijumpai
publikasi ilmiah (buku, penelitian, artikel) yang membahas tentang dasar-dasar
teoritis-filsafati ilmu keolahragaan. Tidak heran apabila KDI-Keolahragaanpun isi
konsepsi filsafatinya sebagian besar (kalau tidak semuanya) didasarkan dari konsepsi
metateoritis Herbert Haag. Referensi lainnya, seperti yang ditulis oleh William J.
Morgan dan Klause V. Meier, Philosophic Inquiry in Sport, Second Edition, atau Paul
Weiss, 1969, Sport: A Philosophic Inquiry, dan D.A. Hyland, 1990, Philosophy of
Sport, tidak bisa dijadikan rujukan langsung untuk menyusun konsepsi yang bersifat
taktis, informatif, dan skematis seperti yang ditulis Haag. Kebanyakan karya-karya
yang mencantumkan “filsafat” sebagai judulnya itu, termasuk karya putra Indonesia
seperti Rusli Lutan dan Sumardianto (Filsafat Olahraga, 2000) dan Noerbai (Filsafat
Pendidikan Jasmani, 2000), lebih bersifat analisis tema-tema tertentu dan tidak
mencakup ekstensivitas keilmuan secara substansial (Made, 2006: 11).
Namun penelitian Made tahun 2006 itu dalam kaitannya dengan penelitian ini
nantinya (saat membahas context of discovery) menunjukkan suatu konstruksi
alternatif yang cukup penting dicatat di sini, yakni perlunya mengkaji, meneliti, dan
merekonstruksi ekspresi filosofis kultur olahraga sepanjang sejarah dan didukung
dengan eksplorasi pemikiran filosof atau akademisi yang relevan dengan

pengembangan referensi pelandasan filosofis Ilmu Keolahragaan (dalam penelitian
2006 dicontohkan perspektif Nietzscheian). KDI-Keolahragaan mengkonsepsikan
landasan filsafat Ilmu Keolahragaan belum terlihat jelas penekanannya pada urgensi
revitalisasi historis itu, oleh karenanya kontribusi yang dilakukan melalui penelitian
sejenis, akan memberi peluang bagi intensifikasi dan terutama ekstensifikasi
pembahasan landasan filosofis Ilmu Keolahragaan, yang diwujudkan dalam bentuk
tulisan ilmiah berbahasa Indonesia.
Buku Made Pramono tahun 2005 berjudul Filsafat Olahraga (Unesa Unipress,
Surabaya), masih merupakan bagian dari upaya konstruksi landasan filsafat Ilmu
Keolahragaan ini, namun di buku itu tidak terlihat adanya analisis yang ketat, tetapi

7

lebih merupakan uraian deskriptif hasil studi pustaka. Penelitian DIPA Made
Pramono tahun 2007 bisa jadi merupakan kaji ilmiah yang paling dekat, karena bila
dalam penelitian ini penerapan metode heuristika diarahkan pada landasan
epistemologis Ilmu Keolahragaan, maka penelitian tahun 2007 tersebut mengarah
pada dimensi ontologisnya. Selain konstruksi alternatif berupa eksplorasi revitalisasi
historis, penelitian tersebut juga memasukkan tema-tema abadi kefilsafatan yang
relevan dengan dimensi ontologi Ilmu Keolahragaan, terutama tema tentang ”tubuh”.
Analisis literatur sekunder, terutama teks-teks berbahasa Inggris seperti sudah
disebutkan, penting dilakukan dengan penekanan pada aspek ide-ide inspiratif selain
– tentu saja – informasi yang luas dan berbobot. Sebagai penutup kajian pustaka, bisa
dikatakan bahwa pustaka terdahulu tentang tema sejenis masih cukup langka, apalagi
penelitian berbahasa Indonesia yang bertemakan filsafat Ilmu Keolahragaan.

8

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kepustakaan (pendekatan
kualitatif) yang bertujuan untuk menemukan kritik konstruktif-metodologis melalui
penerapan metode heuristika terhadap landasan epistemologis Ilmu Keolahragaan
yang terdapat pada buku Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya yang
disusun oleh Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan tahun 2000. Model penelitian ini
lebih merupakan critique of the sciences (Kaelan, 2005: 96).
Secara umum, yang akan dilakukan pada penelitian ini dapat ditunjukkan pada
bagan di bawah ini:
Deskripsi
Context of
Justification

Kritik
Paradigma

Context of
Discovery

Pengembangan
Kreatif Alternatif
Konsep

Gbr. 1. Desain Penelitian

B. Variabel-Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas adalah Metode Heuristika (dengan penekanan pada
bagian context of discovery), sedangkan variabel terikat adalah Konsep KDIKeolahragaan tentang landasan epistemologis

Ilmu

Keolahragaan.

Definisi

operasional dari variabel-variabel penelitian tersebut:

9

1. Metode Heuristika adalah metode untuk menemukan dan mengembangkan
metode baru dalam konstruksi konsep teoritik, dalam hal ini konsep ontologi
Ilmu Keolahragaan.
2. Konsep

KDI-Keolahragaan

Tentang

landasan

epistemologi

Ilmu

Keolahragaan adalah Konstruksi teoritis yang dilakukan KDI-Keolahragaan
tentang landasan epistemologi Ilmu Keolahragaan sebagai salah satu dari tiga
pilar pengembangan ilmu. Konsepsi KDI-Keolahragaan ini secara khusus
tertuang dalam buku Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya
yang diterbitkan tahun 2000.

C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah materi konsep KDI-keolahragaan tentang
landasan epistemologi Ilmu Keolahragaan. Materi tersebut disebut sebagai context of
justification, sedangkan context of discovery baru akan tersusun setelah melalui
tahapan prosedur heuristika.

D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif bidang filsafat dengan metode
heuristika yang secara operasional tidak ada sangkut pautnya dengan pendataan
lapangan, namun semata-mata bergerak di wilayah pengembangan metode baru
context of discovery (Kaelan, 2005: 96) dalam kerangka kerja konsepsi-teoritis,
khususnya kepustakaan. Oleh karena itu, penelitian ini dilangsungkan dengan
mengkaji pustaka dan tidak dibatasi pada suatu lokasi tertentu. Namun dalam rangka
deteksi administrasi penelitian, maka lokasi utama penelitian ini adalah di Kampus
FIK Lidah Wetan, Jl. Lidah Wetan Surabaya.

E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Sebagai

penelitian

kepustakaan

yang

khas

filsafat,

instrumen

dan

pengumpulan datanya juga khas kualitatif-kefilsafatan. Peneliti adalah instrumen

10

utamanya, sedangkan instrumen pendukungnya adalah segala sesuatu yang
mendukung pelaksanaan penelitian, termasuk alat bantu seperti alat perekam dan juga
kartu data (Kaelan, 2005:154-155). Untuk melengkapi data konsep dari KDIKeolahragaan

tentang

materi

terkait,

diperlukan

komunikasi

dengan

anggota/pengurus KDI-Keolahragaan, terutama yang terlibat dalam penyusunan buku
dimaksud. Dalam penelitian ini pengumpulan datanya dilakukan melalui pentahapan
membaca dan mencatat informasi yang terkandung baik dalam data primer (buku
KDI-Keolahragaan) maupun data sekunder (referensi pendukung yang relevan).

1. Membaca pada tingkat simbolik
Struktur buku keseluruhan dilihat secara ringkas, berusaha menangkap kategori
atau subkategori, khususnya di bagian yang membahas landasan epistemologi
(Kaelan, 2005: 160).
2. Membaca pada tingkat semantik
Mengumpulkan data dengan membaca lebih terinci, terurai, dan menangkap
esensi dari data tersebut. Setiap kategori data yang dibaca sekaligus dianalisis
(Kaelan, 2005: 161).
3. Pencatatan
Sebenarnya ini sudah dilakukan sejak tahap membaca tingkat simbolik.
Pencatatan dilakukan baik dengan buku catatan, kartu pencatat data, maupun
langsung diketik di komputer dan dicetak. Kegiatan pencatatan ini bisa meliputi:
1) pencatatan secara quotasi, yakni dengan mengutip secara langsung; 2) mencatat
secara paraphrase, yakni menangkap keseluruhan intisari data dan mencatat
dengan menggunakan kalimat yang disusun sendiri oleh peneliti; 3) mencatat
secara sinoptik, dilakukan dengan membuat ikhtisar atau summary untuk setiap
kategori data; 4) mencatat secara precis sebagai kelanjutan sinoptik, yakni dengan
pengkategorian dan ringkasan lebih lanjut (pemadatan). Pencatatan ini berguna
untuk melakukan kontrol kecukupan data dan menentukan hubungan secara
sistematis antar data (Nazir, dalam Kaelan, 2005: 162).

11

F. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif bidang filsafat, analisis data tidak hanya dilakukan
setelah pengumpulan data, melainkan juga pada waktu proses pengumpulan data.
Setiap aspek epistemologi dalam konsep KDI-Keolahragaan yang diamati saat
pengumpulan data, sekaligus dianalisis dengan metode pemahaman dalam konteks
verstehen (pemahaman dengan tujuan menangkap inti makna teks), interpretasi, dan
penafsiran yang lebih teknis, yakni pengklasifikasian, dicari hubungan-hubungannya,
dan menyimpulkan sementara berdasarkan dalil-dalil logika dan konstruksi teoritis
(Kaelan, 2005: 166-7). Metode heuristika saat pengumpulan data ini hanya dalam
rangka pendeskripsian context of justification konsep KDI-Keolahragaan.
Setelah pengumpulan data, barulah metode heuristika ini diterapkan secara
penuh. Metode ini dilakukan setelah data yang terkumpul dilakukan reduksi
(dirangkum dan dipilih yang sesuai pola dan peta penelitian) dan display data menuju
konstruksi teoritis (membuat kategorisasi atau re-kategorisasi dan menyusunnya
dalam sistem yang sesuai dengan peta ontologi Ilmu Keolahragaan). Langkahlangkah metode analisis data heuristika yang disarikan dari Kaelan (2005: 95-8) ini
adalah:
1. Deskripsi context of justification konsep KDI-Keolahragaan.
Menggambarkan sistem kerja metode ilmiah yang digunakan KDI-Keolahragaan
dalam menyusun konsep epistemologi Ilmu Keolahragaan.
2. Kritik terhadap paradigma konsep KDI-Keolahragaan
Dalam hal ini heuristika sudah keluar dari sistem metodis ilmu/konsep teoritis
yang ada. Pada tahapan ini dilakukan kritik pada tingkat dasar filosofis KDIKeolahragaan

dalam

mengkonsepsikan

landasan

epistemologi

Ilmu

Keolahragaan.
3. Penemuan jalan baru
Pada penelitian ini proses heuristik harus menemukan suatu jalan baru sebagai
konsekuensi dari kritik dan pencarian alternatif paradigma konsep epistemologi

12

Ilmu Keolahragaan. Jalan baru di sini tidak harus dimaknai bahwa peneliti akan
menyusun

secara

utuh

konsep

tandingan

dimensi

epistemologi

Ilmu

Keolahragaan, namun lebih diarahkan pada upaya penemuan metode baru bagi
tersusunnya konsep epistemologi Ilmu Keolahragaan yang lebih berdasar dan
worldwide.
4. Pengembangan ke arah kreativitas
Ketidakseimbangan teoritis dalam konsep yang diteliti dapat diperbaiki sehingga
lebih dinamis dan terbuka. Pengembangan kreatif berdasarkan koreksi/kritik
konsep KDI-Keolahragaan tentang epistemologi Ilmu Keolahragaan diarahkan
pada upaya penyusunan konsep baru secara sistematik dan komprehensif.

13

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Context of Justification
Pemusatan context of justification ditujukan dalam rangka menggambarkan
sistem kerja metode ilmiah yang digunakan KDI-Keolahragaan dalam menyusun
landasan epistemologis Ilmu Keolahragaan. Context of Justification dan kritik
paradigma diuraikan dalam penelitian ini sebagai data penelitian yang penting
sebagai proses awal untuk ditelaah dalam pembahasan hasil penelitian melalui
context of discovery dan pengembangan kreatif alternatif konsep.
1. Buku KDI-Keolahragaan
Buku “Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya” (2000) yang disusun
oleh Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan (KDI-Keolahragaan) merupakan referensi
berbahasa Indonesia terbaru dan paling awal yang dapat ditemui setelah adanya Deklarasi
Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan. Nilai penting buku ini bila dilihat dari
konstruksi bangunan Ilmu Keolahragaan di Indonesia adalah bahwa landasan filsafat
yang secara umum memuat landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi telah
dipaparkan secara jelas sebagai basis meta teoritis Ilmu Keolahragaan sebagai ilmu
mandiri. Beberapa buku berbahasa Indonesia yang terbit setelah itu, sejauh yang dapat
dilacak, tidak lagi berpusat pada landasan filsafati ini. Padahal, sebuah ilmu baru seperti
Ilmu Keolahragaan, memerlukan pelandasan filsafati yang kokoh terlebih dahulu
sebelum dikembangkan isi keilmuannya.

14

Ada tendensi pertanggungjawaban akademik yang perlu dicermati, bahwa Ilmu
Keolahragaan di Indonesia kemudian memperoleh pelandasan filsafatinya lebih jauh
dengan mencukupkan pada pustaka-pustaka terkait dari teks berbahasa non-Indonesia.
Pada kenyataannya, memang tumbuh kembang publikasi kajian-kajian meta-teori dan
filsafat Ilmu Keolahragaan di luar negeri meskipun tidak sebanyak publikasi serupa untuk
ilmu nutrisi misalnya, namun sudah cukup bisa diadopsi untuk keolahragaan di
Indonesia. Oleh karena itu, peneliti menganggap bahwa buku KDI-Keolahragaan
merupakan referensi berbahasa Indonesia satu-satunya yang harus diinterpretasikan
secara tepat dan kontekstual dalam rangka pelandasan filsafati (dalam lingkup filsafat
ilmu) pengembangan Ilmu Keolahragaan.
Meskipun demikian, peneliti juga menyayangkan fakta bahwa sebagai buku
akademis, buku KDI-Keolahragaan tidak mencantumkan daftar pustaka sebagaimana
lazimnya sebuah buku referensi akademik. Tentu saja ini cukup mengganggu, mengingat
pelacakan terhadap sumber asli butir-butir konseptual dalam buku itu tidak bisa secara
akurat dilakukan pembacanya. Salah satu buku yang “jejak”-nya bisa ditangkap dalam
buku KDI-Keolahragaan itu dan cukup kuat mewarnai konsepsi KDI-Keolahragaan
adalah buku pedagog asal Jerman, Herbert Haag, “Theoretical Foundation of Sport

Science as a Scientific Discipline: Contribution to a Philosophy (Meta-Theory) of
Sport Science” (1994). Tetapi referensi ini dalam buku KDI-Keolahragaan lebih banyak
dikaitkan dengan aspek epistemologi Ilmu Keolahragaan, dan bukan ontologi. Oleh
karena itu, peneliti dimungkinkan untuk melakukan kaji ulang secara sistematik terhadap
buku Haag dalam rangka kritik paradigma terhadap buku KDI-Keolahragaan dan context
of discovery lebih lanjut.
Buku KDI-Keolahragaan ini pada pokoknya memuat beberapa hal penting
dalam konstruksi Ilmu Keolahragaan sebagai ilmu mandiri, yakni:
1. Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan.
2. Hasil semiloka nasiaonal Ilmu Keolahragaan yang salah satu bahasan
pentingnya adalah tentang pohon Ilmu Keolahragaan.

15

3. Paparan konsepsi strategis-filosofis Ilmu Keolahragaan di Indonesia;
bagaimana landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi secara strategis
diimplementasikan pada struktur kelembagaan kependidikan keolahragaan di
Indonesia.
Konsepsi perencanaan pengembangan yang meliputi perencanaan strategis
secara umum, pengembangan ketenagaan lembaga pendidikan tinggi keolahragaan,
lebih khusus lagi pengembangan Fakultas Ilmu Keolahragaan di lingkungan
Universitas.

2. Deklarasi Ilmu Keolahragaan
Terdorong oleh rasa ingin mencari jawaban tepat terhadap pertanyaan: apakah
olahraga merupakan ilmu yang berdiri sendiri, dan sebagai tindak lanjut dari
pertemuan sebelumnya, maka diselenggarakanlah pada tahun 1998 di Surabaya suatu
Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan. Seminar ini mampu melahirkan
kesepakatan tentang pendefinisian pengertian olahraga yang dikenal dengan nama
Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan, sebagai jawaban bahwa
olahraga merupakan ilmu yang mandiri (KDI Keolahragaan, 2000: 1-2). Sebagai ilmu
yang mandiri, olahraga harus dapat memenuhi 3 kriteria: obyek, metode dan
pengorganisasian yang khas, dan ini dicakup dalam paparan tentang ontologi,
epistemologi dan aksiologi (KDI Keolahragaan, 2000: 6).
Aspek ontologi, setidaknya dapat dirunut dari obyek studi Ilmu Keolahragaan
yang unik dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal, UNESCO
mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa permainan yang
berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri”.
Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan
dilaksanakan dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji
olahraga di dunia “Sport for All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan
olahraga dan mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).

16

“Aktivitas”, sebagai kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu
gerak, dalam hal ini gerak manusia, manusia yang menggerakkan dirinya secara sadar
dan bertujuan. Oleh karena itu, menurut KDI keolahragaan, obyek material Ilmu
Keolahragaan adalah gerak insani dan obyek formalnya adalah gerak manusia dalam
rangka pembentukan dan pendidikan. Dalam hal ini, raga/tubuh adalah sasaran yang
terpenting dan paling mendasar. Penelitian filosofis untuk itu sangat diharapkan
menyentuh sisi tubuh manuisiawi sebagai kaitan tak terpisah dengan jiwa/pikiran,
apalagi dengan fenomena maraknya arah mode atau tekanan kecintaan masyarakat
luas terhadap bentuk tubuh ideal. Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero
mengatakan: “oran dum es ut sit ‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara bebas
dapat ditafsirkan bahwa menyehatkan jasmani dengan latihan-latihan fisik sebagai
jalan untuk mencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa
orang kepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik (Noerbai, 2000: 35).
Aspek kedua sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yang
mempertanyakan bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu. Ilmu
Keolahragaan dalam pengembangannya didekati melalui pendekatan multidisipliner,
lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatan multidisipliner ditandai oleh orientasi
vertikal karena merupakan penggabungan beberapa disiplin ilmu. Interdisipliner
ditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu berbeda dalam bentuk komunikasi
konsep atau ide. Sedangkan pendekatan lintasdisipliner ditandai orientasi horisontal
karena melumatnya batas-batas ilmu yang sudah mapan.
Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah Ilmu Keolahragaan membentuk
batang tubuh ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi Ilmu Keolahragaan itu.
Inti kajian Ilmu Keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu Gerak, Teori
Bermain dan Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu Kedokteran Olahraga,
Ergofisiologi, Biomekanika, Sosiologi Olahraga, Pedagogi Olahraga, Psikologi
Olahraga, Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari batang tubuh Ilmu
Keolahragaan terdiri dari Humaniora – terwujud dalam antropokinetika; Ilmu

17

Pengetahuan Alam – terwujud dalam Somatokinetika; dan Ilmu Pengetahuan Sosial –
terwujud dalam Sosiokinetika (KDI Keolahragaan, 2000: 33-34).
Aksiologi, berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat suatu kajian. Secara
aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya
dan strategis dalam pengikat ketahanan nasional (KDI Keolahragaan, 2000: 36). Sisi
luar aksiologis ini menempati porsi yang paling banyak, dibandingkan sisi dalamnya
yang memang lebih sarat filosofinya.
Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secara akademis
menempati sisi yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati
untuk dieksplorasi. Ini termasuk dari sisi estetisnya, di mana Randolph Feezell
mengulasnya secara fenomenologis, selain dimensi naratifnya (Feezell, 1989: 204220). Kemungkinan nilai etisnya, Dietmar Mieth (1989: 79-92) membahasnya secara
ekstensif dan komprehensif. Thomas Ryan (1989: 110-118) membahas kaitan
olahraga dengan arah spiritualitasnya. Nancy Shinabargar (1989: 44-53) secara
sosiologis membahas dimensi feminis dalam olahraga. Yang tersebut di atas adalah
beberapa contoh cakupan dimensi Ilmu Keolahragaan dalam filsafat ilmu, di mana
ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas menantang.
Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi
ontologi, epistemologi dan aksiologi, membuktikan apa yang Paul Weiss tulis dalam
bukunya Sport: A Philosophy Inquiry (1969: 12) bahwa semakin banyak renungan
filosofis yang mengarahkan keingintahuan mendalam dan keterpesonaan terhadap
olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar adanya. Ini perlu dimaknai
secara operasional-ilmiah. Sampai dengan abad 21 ini, fenomena signifikansi dan
kejelasan transkultural dari olahraga menempati salah satu koridor akademis ilmiah
yang membutuhkan lebih banyak penggagas dan kreator ide (Hyland, 1990: 33).

3. Dimensi Epistemologi dalam Buku KDI-Keolahragaan
Dimensi epistemologi yang dimaksud dalam buku KDI-Keolahragan adalah
persoalan yang terkait dengan dua hal dalam bentuk kalimat tanya: 1) bagaimana

18

pengetahuan diperoleh untuk mengembangkan Ilmu Keolahragaan, 2) apa isi
pengetahuan dalam Ilmu Keolahragaan (KDI-Keolahragaan, 2000: 14). Kedua
persoalan itu sekaligus menjadi alasan pemilihan sistematika penulisan konsep
tentang epistemologi ini, yakni:
1) pendekatan pengembangan Ilmu Keolahragaan (hal. 14-5)
2) posisi kemajuan Ilmu Keolahragaan di Indonesia (hal. 15)
3) metode penelitian (hal. 16-7)
4) batang tubuh Ilmu Keolahragaan
a. taksonomi Ilmu Keolahragaan (hal. 17-21)
b. isi batang Ilmu Keolahragaan (hal. 22-3)
c. pohon Ilmu Keolahragaan (hal. 23-4, 32).
Penyusunan sistematika penulisan ini menjadi penting dalam penelitian ini
karena selain sebagai kelengkapan context of justification, relevansi sistematika ini
menuntun peneliti nantinya untuk memahami paradigma yang mendasari konseptor
buku KDI-Keolahragaan ini dalam mengembangkan dimensi epistemologi Ilmu
Keolahragaan.
a. Pendekatan Pengembangan Keilmuan
Sesuai dengan perkembangannya,

ada tiga

macam pendekatan dalam

pengembangan Ilmu Keolahragaan:

1. Multidisipliner, ditandai oleh kegiatan studi yang tertuju pada sebuah sentral dari
sudut perspektif disiplin ilmu yang terpisah tanpa adanya suatu kesatuan konsep.
Orientasinya bersifat vertikal karena merupakan penggabungan konsep/ide
beberapa disiplin ilmu yang diterapkan ke dalam masalah tertentu, misalnya ke
dalam bidang pendidikan jasmani.
2. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu berbeda dalam

bentuk komunikasi konsep atau ide untuk saling terpadu dalam topik atau bidang
kajian yang menjadi pusat perhatian.
3. Lintasdisipliner, ditandai oleh orientasi horisontal karena melumatnya batas-batas
disiplin ilmu yang sudah mapan. Meskipun bagian tertentu dipinjam dari disiplin

19

lainnya yang relevan, sebuah konsep penyatu muncul dan membangkitkan
keterpaduan dalam satu bidang studi (KDI Keolahragaan, 2000: 14-15).
b. Posisi Kemajuan Ilmu Keolahragaan di Indonesia
Bagian ini dihubungkan dengan bagian pendekatan di atas, yang menurut KDIKeolahragaan dideskripsikan sebagai hasil riset dan publikasi ilmiah di Indonesia
namun tidak dicantumkan riset dan publikasi apa dan oleh siapa. Pernyataan yang
penting dalam hal ini adalah bahwa posisi kemajuan di Indonesia sudah sampai taraf
kemandirian yang dicontohkan dengan misalnya
...sport psychology...cukup maju dalam penelitian dan penerapan terutama
dalam olahraga kompetitif...Posisi sport history dan sport philosophy masih
membutuhkan peningkatan karena tidak begitu banyak penggemar dalam
bidang yang dianggap “kering” dan sulit ini (KDI-Keolahragaan, 2000: 15).
c. Metode Penelitian
Terdapat tiga posisi yang lazim diterapkan dalam memperoleh pengetahuan
dalam Ilmu Keolahragaan:
1. Positivistik-empirik untuk rumpun disiplin ilmu pengetahuan alam, seperti dalam
kedokteran olahraga (Sport Medicine), dan Biomekanika Olahraga (Sport
Biomechanics). Model ini menekankan pada pengungkapan data empirik hasil
observasi atau penginderaan lainnya dengan menggunakan instrumen tertentu
dalam suasana isolasi antara peneliti dan objek yang diteliti untuk mengungkap
objektivitas.
2. Fenomenologi untuk rumpun ilmu sosial-behavioral, seperti dalam Sosiologi
Olahraga (Sport Sociology) dan Pedagogi Olahraga (Sport Pedagogy). Model ini
berarti mengungkapkan sesuatu gejala secara empiris dan bersamaan dengan itu
fenomena yang diamati ditafsirkan dan dimaknai.
3. Hermeneutika untuk rumpun humaniora atau hermeneutika-normatif seperti
dalam Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga. Ini merupakan eksposisi
pengetahuan berdasarkan pemahaman dan penafsiran materi yang ada dengan
menggunakan pengetahuan/teori yang sudah dipahami.

20

Ketiga posisi model penelitian tersebut di atas berhubungan sebagai sebuah
kontinuum dalam pengembangan ilmu, yang memunculkan dua metode utama yang
lazim digunakan dalam penelitian-penelitian Ilmu Keolahragaan: metode deskriptif
dan metode eksperimen dengan variasi naturalistik-realistik (KDI Keolahragaan,
2000: 16-17).
d. Batang Tubuh Ilmu Keolahragaan
Bahasan tentang batang tubuh dengan fokus kajian taksonomi Ilmu
keolahragaan ini didominasi dengan pinjaman konsep dari Herbert Haag (2004) yang
mengorganisasikan batang tubuh Ilmu Keolahragaan dengan cara 1) bidang teori,
yakni penerapan beberapa sub-disiplin ilmu yang relatif baru tumbuh dengan disiplin
ilmu yang telah mapan, dan 2) bidang subjek, sebagai unit pengetahuan ilmiah yang
tergabung berdasarkan interelasi antara berbagai bidang teori yang berbeda sekaitan
dengan subjek tertentu dan berhubungan langsung dengan olahraga (KDIKeolahragaan, 2005: 17).
Empat tabel berikut meringkas klasifikasi taksonomis KDI-Keolahragan yang
mengambil sepenuhnya dari Haag (2004).

a. bidang teori mapan
Bidang Teori

Ilmu Terkait

Kedokteran Olahraga
(Ergofisiologi Olahraga)
Biomekanika Olahraga
Psikologi Olahraga
Pedagogi Olahraga
Sosiologi Olahraga
Sejarah Olahraga
Filsafat Olahraga

Kedokteran
Biologi/Fisika
Psikologi
Pedagogi
Sosiologi
Sejarah
Filsafat

Ciri Khusus

Posisi
Epistemologis

Ilmu-Ilmu Alam

Empirik-analitik

Ilmu-Ilmu
Sosial Humaniora

Fenomenologis

Ilmu-Ilmu
Normatif-Hermeneutis

Hermeneutika

4

Tabel 1: Model Tujuh Bidang Teori (Haag, 1994: 100, KDI-Keolahragaan, 2005: 17)

21

b. bidang teori baru
Bidang Teori

Ilmu Terkait

Informasi Olahraga

Ilmu Informasi

Politik Olahraga

Ilmu Politik

Hukum Olahraga
Fasilitas Olahraga
Perlengkapan Olahraga
Ekonomi Olahraga

Hukum
Arsitektur,
Teknik
Ekonomi

Ciri Khusus
Peningkatan informasi yang lebih bernilai
penting
Olahraga sebagai fenomena sosial memiliki
aspek politis
Peningkatan administrasi dan birokrasi
Diabaikan untuk waktu yang lama, tetapi
penting
Ekonomi sebagai ideologi “baru” olahraga

Tabel 2: Model Lima Bidang Teori (Haag, 1994: 6, KDI-Keolahragaan, 2005: 18)

c. bidang tema spesifik
Bidang Subjek
Keolahragaan
Gerakan

Dimensi
Ilmiah
Ilmu Gerakan

Permainan

Ilmu
Permainan

Dimensi
Teori
Teori
Gerakan
Teori
Permainan

Latihan

Ilmu Latihan

Teori Latihan

“Trainingslehre”

Instruksi
(Olahraga)

Ilmu
Pembelajaran
(Olahraga)

Teori
Pembelajaran
(Olahraga)

“Unterrichtslehre”
(des Sports)

Dimensi Aplikasi

Ciri Khusus

“Bewegungslehre”

Dikembangkan
lebih luas
Juga memiliki
dimensi nonkeolahragaan
Termasuk
coaching
Ekuivalen istilah
“sportdidactics”

“Spiellehre”

Tabel 3: Model Tiga Bidang Tema (Haag, 1994: 71, KDI-Keolahragaan, 2005: 18)

d. bidang tema umum khas olahraga
Bidang Tema
Umum
Prestasi dan
Kemampuan
Berprestasi dalam
Olahraga
Musik dan
Gerakan
Olahraga dan
Rekreasi
Olahraga dan
Kesehatan

Permasalahan
Umum

Kaitan dengan
Bidang Tema
Keolahragaan

Kaitan dengan
Bidang Teori

Ciri Khusus

Prestasi

Teori Gerakan

Kedokteran Olahraga
Psikologi Olahraga

Prestasi sebagai
norma hidup

Musik

Teori Gerakan

Waktu
Luang/Rekreasi

Teori
Permainan

Kesehatan

Teori Latihan

Pedagogi Olahraga
Psikologi Olahraga
Pedagogi Olahraga
Sosiologi Olahraga
Kedokteran Olahraga
Psikologi Olahraga

Gerakan baru dan
kreatif
Topik terkini yang
relevan
Kesehatan itu topik
yang diakui luas

22

Olahraga
Kelompok
Khusus
Olahraga dan
Media Massa
Agresi dan
Kekerasan dalam
Olahraga

Kelompok
Khusus

Teori Gerakan

Psikologi Olahraga
Pedagogi Olahraga

Media Massa

----

Sosiologi Olahraga
Psikologi Olahraga

Kaitan erat untuk
kesesuaian
pendidikan jasmani
Hubungan dengan
ilmu komunikasi

Agresi dan
Kekerasan

----

Sosiologi Olahraga
Psikologi Olahraga

Problem sosial yang
penting

Tabel 4: Model Tujuh Bidang Tema (Haag, 1994:80)

Bagian berikutnya dikaitkan disiplin ilmu pengantar yang menjadi akar Ilmu
Keolahragaan, berikut postulat, asumsi, dan prinsip yang dianut yang digambarkan
dalam matriks sebagai berikut.
ASPEK ANALISIS
Arah

Manusia yang menggerakkan
dirinya secara sadar dan
bertujuan

Objek Material

Gerak insani (human
movement)

Objek Formal

Gerak manusia dalam rangka
pembentukan dan pendidikan

Akar Rumpun Ilmu

HUMANIORA

IPA

IPS

Postulat

Gerak menunjukkan kehidupan

Gerak merangsang fungsi organ

Aktivitas jasmani tercermin
dalam perilaku

Asumsi

Pengalaman menyebabkan
kematangan

Repetisi menyebabkan terjadinya
proses penyempurnaan fungsi

Interaksi sosial menghasilkan
perilaku harmonis

Prinsip

Pembinaan dan pengembangan
potensi terjadi melalui
pengalaman langsung

Peningkatan terjadi melalui
latihan

Belajar melalui berbuat

Tujuh Bidang Teori
Ilmu Keolahragaan

Lima Bidang Teori
Spesifik

Filsafat Olahraga

Kedokteran Olahraga

Psikologi Olahraga

Sejarah Olahraga

(Ergofisiologi)

Pedagogi Olahraga

Biomekanika

Sosiologi Olahraga

Teori Bermain

Teori Pelatihan

Teori Belajar Gerak

Teori Gerak

Pengembangan Gerak

(motor learning)

Tabel 5. Matriks Ilmu Keolahragaan (KDI Keolahragaan, 2000: 32, matrik ini diulang
lagi namun dalam bentuk berbeda di halaman 41 yang diadaptasi dari semlok Ilmu
Keolahragaan 6-7 September 1998)

23

4. Paradigma dalam Konsep Epistemologi KDI-Keolahragaan
Dalam banyak bagian di buku KDI-Keolahragaan (2000) sering disebutkan
kondisi dan konsep pengembangan Ilmu Keolahragaan di Indonesia, baik di
Universitas maupun non-universitas. Pengembangan Ilmu keolahragaan lebih lanjut
di Indonesia dititikberatkan pada aspek IPA, tanpa meninggalkan IPS dan Humaniora
(KDI-Keolahragaan, 2000: 27). Pernyataan ini tidak didukung dengan pernyataan di
bagian-bagian sebelumnya, namun di berbagai universitas dalam operasionalnya
memang mengkonsentrsikan pengelolaan keolahragaan di bidang IPA sebagai tindak
lanjut konsep ini.
Kenyataan bahwa buku itu tidak mencantumkan daftar rujukan memang cukup
merepotkan, khususnya untuk melihat garis hubung dengan kiblat keolahragaan di
tanah air. Namun pemaparan taksonomi batang tubuh Ilmu Keolahragaan yang
sepenuhnya mengambil konsepsi Haag (2004), sedikit banyak menegaskan posisi
yang diinginkan KDI-Keolahragaan, yakni orientasi epistemologis yang aplikatifimplemantatif dari pada eksploratif-inventif (diadopsi dari tulisan K. Bertens,
Kompas, 2 Juli 2000). Artinya, pengembangan Ilmu Keolahragaan di Indonesia tidak
lagi mempermasalahkan dasar metateoritis/filosofisnya, seolah-olah apa yang
dikonsepsikan KDI-Keolahragaan dan dengan Deklarasi Ilmu Keolahragaan sebagai
ilmu mandiri tahun 1998 sudah cukup untuk menyangga bangunan Ilmu
Keolahragaan di Indonesia dan pengembangannya. Hal inilah yang akan dijadikan
landasan pijak peneliti untuk menuju context of discovery landasan epistemologi pada
bagian berikut ini.

B. Context of Discovery
Bagian ini akan diuraikan secara panjang lebar dua bahasan yang sebenarnya
hanya merupakan contoh untuk dikonsepsikan lebih lanjut di penelitian yang lain
tentang jalan metodologis baru sebagai context of discovery landasan epistemologi
Ilmu Keolahragaan di Indonesia. Dua bahasan ini adalah menyangkut revitalisasi
historis-kultural dan pemetaan aliran-aliran pemikiran. Inilah yang dimaksud

24

peneliti dengan epistemologi inventif-eksloratif. Sekalipun bahasan ini tidak
mengambil setting di Indonesia karena keterbatasan dana dan waktu, namun
setidaknya dari bahasan ini bisa diharapkan muncul ide kreatif-inovatif dalam
menyusun ulang landasan epistemologi Ilmu Keolahragaan di Indonesia berdasarkan
kedua fokus di atas (revitalisasi historis dan pemetaan aliran pemikiran/budaya).
Tentu saja pada akhirnya juga akan bermuara pada pengembangan aplikatif Ilmu
Keolahragaan di Indonesia, namun konsep penyangga yang dibangun lebih bisa
diandalkan tepat guna (dalam arti memiliki kesinambungan akar sejarah dan akar
pemikiran).

1. Akar Eksistensi Olahraga
Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai
muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui
Deklarasi Ilmu Keolahragaan tahun 1998. Namun sebagai suatu ilmu baru yang
diakui secara luas, Ilmu Keolahragaan berkembang seiring kompleksitas
permasalahan yang ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai
bergairah menunjukkan eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan. Ilmu
Keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah fenomena keolahragaan berarti
pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan
yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan
penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), seperti
halnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya
tentang latihan demi kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, atau
menghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan
rekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologis
sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan
bentuk-bentuk gerakan terlatih.

25

Olahraga juga adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawi
sebagai makhluk bermain (homo ludens-nya Huizinga). Olahraga adalah
tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman Yunani Kuno
dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di masa modern,
di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa
keolahragaan itu. Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya
manusia itu sendiri.
Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang
membantu perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan
budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi
keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa
keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas
pengalaman

manusiawi,

situasionalnya, dan suka dukanya. Manifestasi

kesakralan terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan
campuran dari daya-daya persaingan yang berpengaruh pada situasi kemanusiaan
(Hatab, 1998: 98).
Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisipuisi Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya
persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya
persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual,
nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998: 7).
Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangan tentang ideal
kepahlawanan. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial
adalah mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia.
Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan
kemasyhuran melalui pengambilan resiko dan pengkonfrontasian kematian pada
medan perang, melalui pengujian keberanian manusia melawan satria lain dan
kekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna keutamaan terhubung
dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir – dalam Iliad itu – bahwa

26

tanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak
akan berarti apa-apa (Hatab, 1998: 98).
Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik
untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani
Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung
diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi
keterbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan
kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik
menampilkan

dan

mengkonsentrasikan

elemen-elemen

duiniawi

dalam

penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan
dramatis (Hatab, 1998: 99). Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad,
menunjukkan penghargaan yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang
terrepresentasikan sebagai semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana
kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur)
dari penjelasan agama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai
penjelmaan rinci signifikansi kultural agon.
Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan
datangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting
dari tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan
refleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alam
menggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun
Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan,
namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai
penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat olahraga
dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab, 1998:
99).

27

2. Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga
Salah satu pemikir besar yang namanya sering disebut-sebut dalam
pembahasan ekspresi kultural-filosofis olahraga adalah F.W. Nietzsche. Nietzsche
termasuk filsuf yang pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada dunia
Yunani Kuno yang menghargai atletik sejajar dengan intelek. Nietzsche adalah
seorang filsuf kontroversial yang paling banyak dirujuk sebagai penyumbang tak
langsung debat akademis tentang kaitan pemikiran filsafat dan Ilmu
Keolahragaan. Bahkan beberapa penulis, seperti Richard Schacht, menyebut
“filsafat olahraga Nietzscheian” sebagai istilah penting dalam bahasan ilmiahnya,
Nietzsche and Sport.
Hatab mengeksplorasi beberapa pemikiran Nietzsche seperti will to power,
sublimation, embodiment, spectacle dan play yang terarah pada aktivitas atletik
dan event-event olahraga (Hatab, 1998: 102). Dari sini, dapat dimaknai bahwa
arah pemikiran yang berhubungan secara historis pada dunia keolahragaan
termasuk dalam ekspresi pemikiran filosofis, dan oleh karenanya, Ilmu
Keolahragaan memiliki akar filosofisnya.
Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang
menyukai permainan dan menyaksikan pertandingan olahraga, dan kenapa hal-hal
tersebut dapat dianggap memiliki nilai dan manfaat yang besar. Pertunjukan
atletik adalah penampilan dan proses produksi makna kultural penting. Ini dapat
dilihat dari efek kesehatan dan pengembangan keahlian fisik. Selain itu,
pertunjukan olahraga juga dapat dipahami sebagai tontonan publik yang
mendramatisir keterbatasan dunia yang hidup, prestasi teatrikal dari keadaan umat
manusia, pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses dan gagal. Dari sudut
pandang pengembangan sumber daya manusia, olahraga dapat menanamkan
kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin, kerja tim, keberanian
dan intelegensi praktis (Hatab, 1998: 103).

28

Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup “serius”
untuk diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

An Analysis of illocutionary acts in Sherlock Holmes movie

27 148 96

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

Teaching speaking through the role play (an experiment study at the second grade of MTS al-Sa'adah Pd. Aren)

6 122 55

Enriching students vocabulary by using word cards ( a classroom action research at second grade of marketing program class XI.2 SMK Nusantara, Ciputat South Tangerang

12 142 101

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

Analysis On Students'Structure Competence In Complex Sentences : A Case Study at 2nd Year class of SMU TRIGUNA

8 98 53

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37