Dewan pembangunan berkelanjutan di pondok

http://www.menlh.go.id/dewannasional-pembangunan-berkelanjutan/
pukul 3.56 tgl 02-02-2014

DEWAN NASIONAL PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
LATAR BELAKANG Lebih dari 30 tahun, Indonesia telah menempatkan
pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan. Dengan paradigma
pembangunan yang dianut, pertumbuhan ekonomi, paling tidak sebelum
terjadi krisis ekonomi, melaju dengan tingkat pertumbuhan hampir
mencapai 8% per-tahun. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa laju
pertumbuhan ekonomi tersebut harus ditebus dengan kerusakan sumber
daya alam dan lingkungan yang hebat. [...]
19 Nov 2002 15:02 WIB

Berita Terkait
Komisi VII DPR-RI Bahas RUU Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Polution
Dengan KLH
Dua Tahun UPT-KLH: “Prima Dalam Pelayanan Publik”
Dengan Mengembalikan Fungsi Lahan dan Sungai Bencana Banjir Dapat Teratasi
Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup Ke Hulu DAS Ciliwung
MenLH Menangkan Gugatan Kasus Kebakaran Lahan di Rawa Tripa-Aceh

LATAR BELAKANG
Lebih dari 30 tahun, Indonesia telah menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan.
Dengan paradigma pembangunan yang dianut, pertumbuhan ekonomi, paling tidak sebelum terjadi krisis
ekonomi, melaju dengan tingkat pertumbuhan hampir mencapai 8% per-tahun. Namun demikian, sangat
disayangkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi tersebut harus ditebus dengan kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan yang hebat. Kerusakan lingkungan (atau faktor yang mempunyai potensi menimbulkan kerusakan
lingkungan) tidak menurun bahkan cenderung meningkat. Hal ini terlihat pada beberapa sektor strategis di dalam
pembangunan Indonesia seperti sektor kehutanan, pertanian dan perikanan maupun pertambangan. Hal ini
sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang cenderung mengarah pada pola
pengelolaan yang berorientasi jangka pendek.
Sumber daya alam dan lingkungan dijadikan sebagai tumpuan bagi pertumbuhan ekonomi, sehingga
pemanfaatannya tidak lagi memperdulikan kaidah-kaidah konservasi. Kalaupun ada kebijakan dan peraturan
yang mengatur tentang keharusan untuk mengendalikan dan melestarikan fungsi lingkungan, pada
kenyataannya lebih bersifat “kosmetik�. Kerusakan sumber daya alam
dan lingkungan tersebut, diperkirakan akan diperburuk dengan keadaan ekonomi dan politik di negeri ini yang
tidak menentu.

Untuk mengantisipasi keadaan yang lebih buruk, arah pembangunan kedepan harus ditegaskan bahwa
pendayaan sumber daya alam dan lingkungan harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung
jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang
berkelanjutan. Dalam menentukan strategi pembangunan, aspek lingkungan harus dijadikan pertimbangan
utama. Konsep ini pada dasarnya mengandung aspek daya dukung lingkungan dan solidaritas antar generasi.
Kerusakan lingkungan dan sumber daya alam selain karena paradigma pembangunan yang terlalu menekankan
kepada pertumbuhan ekonomi juga karena lemahnya kapasitas lembaga atau institusi pembangunan yang
dimiliki. Hal ini dapat terlihat dari pola perencanaan yang parsial atau fragmentatif. Lemahnya koordinasi antar
departemen atau komponen pembangunan mengakibatkan lemahnya upaya pemaduan perencanaan
pembangunan yang mengkaitkan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan sosial dan keselarasan ekologi. Kondisi
ini diperburuk lagi dengan kurang berfungsinya lembaga legislatif secara optimal.
Lembaga legislatif yang diharapkan dapat memberikan arahan pembangunan kepada pemerintah masih belum
memiliki kemampuan perencanaan yang memadai. Disamping itu, masih kentalnya aroma politik pada lembaga
legislatif yang ada dapat mengakibatkan biasnya pola perencanaan pembangunan dengan agenda politik
kekuasaan. Sementara itu, lembaga yang bertugas untuk menjabarkan program pembangunan nasional yang
disusun oleh lembaga legislatif juga masih belum dapat mengambil alih tugas pemaduan tersebut yang dapat
disebabkan karena sifat birokrasinya dan karena kurangnya pemahaman akan konsep pembangunan
berkelanjutan.
Permasalahan degradasi kualitas lingkungan dan sumber daya alam juga disebabkan karena tidak
terselenggaranya good governance atau kepemerintahan yang baik. Hal ini terlihat dari tidak efisiennya lembaga
perwakilan, korupsi, dan belum berdayanya masyarakat. Hal ini karena belum terciptanya mekanisme yang
dapat menjembatani kepentingan masyarakat, sektor bisnis, dan pemerintah, terutama untuk hal-hal yang

berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai kesejahteraan dan kesetaraan, serta
meningkatkan kualitas hidup sangat diperlukan. ‘Saluran’ yang ada
dirasakan belum dapat mengartikulasikan kepentingan stakeholders atau petaruh, selain belum responsif dalam
menangani isu-isu pembangunan yang kritis.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, walaupun Indonesia secara sadar telah mengakui konsep pembangunan
berkelanjutan, seperti apa yang diamanatkan dalam KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992, dan bahkan telah
meratifikasi beberapa konvensi internasional yang berkenaan dengan pembangunan dan isu-isu lingkungan,
namun implementasi konvensi-konvensi tersebut masih belum berjalan mulus. Beberapa konvensi meskipun
telah diturunkan ke dalam undang-undang, pengawasan pelaksanaannya dan penegakan hukumnya masih
sangat lemah. Hal ini misalnya terlihat pada Konvensi Hak Asasi Manusia, Konvensi Keanekaragaman Hayati
(CBD), Konvensi Perubahan Iklim (UNFCC), Konvensi Hukum Laut (UNCLOS), Konvensi Species Fauna dan
Flora Liar yang Terancam (CITES), Konvensi Lahan Basah (RAMSAR), Konvensi Lintas Batas Limbah (Basel
Convention), Konvensi Perlindungan Ozon (Montreal Protokol), dan banyak lagi.
Dari apa yang telah diungkapkan tersebut, tampak bahwa ada tugas dan kewajiban bangsa dan negara ini yang
belum dapat dipenuhi. Konsep pembangunan berkelanjutan yang tengah berkembang di dunia dan yang juga
diterima Indonesia melalui KTT Bumi 1992, belum diterjemahkan dalam konteks Indonesia. Konsep ketahanan
nasional, yang selama ini dicoba kembangkan, walaupun sering dianggap identik dengan pembangunan
berkelanjutan, penjabarannya tidak merefleksikan konsep pembangunan berkelanjutan. Pemaduan konservasi
lingkungan dengan pembangunan belum dianggap sebagai konsep yang mewarnai program pembangunan
sektor maupun daerah. Bahkan, krisis berdimensi majemuk yang melanda Indonesia yang menghambat

perkembangan dan bahkan mengancam terjadinya disintegrasi bangsa, telah menyebabkan wawasan dan
pemikiran tentang pengembangan kualitas hidup yang berkelanjutan seperti tersisihkan. Kelembagaan yang ada
lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada permasalahan masa kini, yang sangat dimengerti karena apabila
masa kini tidak dapat diatasi maka masa depan tidak akan dapat diraih.
Selain itu akhir-akhir ini juga berkembang dorongan yang kuat agar masyarakat luas dapat berperanserta dalam
perumusan kebijakan pembangunan. Upaya semacam ini sesungguhnya telah dilakukan dalam perumusan
Garis Besar Haluan Negara di masa lampau. Tetapi, selain dilakukan dalam kerangka pikir ketahanan nasional,
apa yang disalurkan belum menjadi janji pengikatan diri (komitmen) para petaruh pembangunan: pemerintah,
badan usaha, dan masyarakat sipil. Di masa lalu sumbangan pemikiran lebih banyak ditujukan pada apa yang
harus dilakukan pemerintah dan belum menampung apa yang akan dan dapat dilakukan petaruh yang lain.
Sehingga pembangunan seolah-olah hanya merupakan taruhan pemerintah saja. Walaupun demikian saluran
dan mekanisme untuk berperan serta tersebut belum pernah dibakukan dalam kelembagaan yang jelas
kedudukan dan fungsinya.

Dengan demikian jelas bahwa adanya suatu lembaga yang berwibawa yang mampu memberi masukan nasehat
kepada Presiden untuk : (a) menerjemahkan dan mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam
konteks Indonesia; (b) merumuskan arah pembangunan jangka panjang dalam kerangka pikir berkelanjutan; (c)
memadukan pemikiran konservasi lingkungan dan pembangunan; (d) mengakomodasikan pandangan
pemerintah, badan usaha dan masyarakat sipil; dan (e) menjabarkan dan memantau pengimplementasian
berbagai kesepakatan dan konvensi internasional yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.

Lembaga semacam inilah yang dimaksud dengan Dewan Pembangunan Berkelanjutan yang akan berperan
merumuskan kebijakan strategis pembangunan nasional berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.
PRAKARSA PEMBENTUKAN DEWAN NASIONAL PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembentukan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan (DNPB) atau National Council for Sustainable
Development (NCSD) adalah salah satu upaya menindak lanjuti kesepakatan Rio 1972. Dewan ini pertama kali
dibentuk PBB dan dalam sistem organisasi PBB di mana badan ini diwadahi dalam United Nation Commission
on Sustainable Development (UNCSD) sebagai wadah koordinasi antar badan-badan NCSD. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bekerjasama dengan Earth Council telah memfasilitasi beberapa pertemuan diantaranya
workshop regional Asia-Pasifik (Philippina, 1995), Eropa (Perancis, 1995), Afrika (Nairobi, 1995), dan Amerika
(Costa Rica, 1994). Dari keempat workshop tersebut, meskipun mengemuka aneka ragam formulasi namun ada
satu hal yang bisa menjadi karakter dari NCSD yakni NCSD diharapkan menjadi badan yang berpengaruh,
berintegritas tinggi, mewadahi berbagai kepentingan serta membuka partisipasi masyarakat seluas-luasnya.
Lembaga NCSD tidak harus merupakan institusi pemerintah namun suatu institusi “semi
independen� yang membuka akses partisipasi bagi “major
stakeholders� di negara tersebut. Dengan demikian NCSD bukan merupakan lembaga eksekutif
melainkan lebih merupakan “advisory board� di mana tingkat efektifitas
tetap ditentukan sejauh mana lembaga ini kredibel baik dimata penguasa maupun masyarakat.
Selain menggunakan nama NCSD, beberapa negara menamai badan ini dengan National Commission on
Sustainable Development atau Komisi National bagi Pembangunan Berkelanjutan (Estonia), Sustainable

Development Council of Jamaica (Jamaica), Philippines Council for Sustainable Development (Philippina),
President’s Council on Sustainable Development (Amerika Serikat). Sampai dengan
tahun 1998, NCSD secara resmi (memiliki “legal mandate� seperti yang
dipersyaratkan PBB) baru lahir di 22 negara antara lain Filipina pada tahun 1992, Amerika Serikat pada tahun
1993, Rusia pada tahun 1996 dan Burkina Faso pada tahun 1998. Namun keadan ini tidak membatasi negaranegara yang memiliki inisiatif dan komitmen untuk menindak lanjuti kesepakatan Rio 1992 untuk mendirikan
lembaga sejenis, meskipun belum dilegalkan tapi telah efektif bekerja seperti Japan Council for Sustainable
Development di Jepang (1996), Belanda, Perancis dan lain-lain. Bentuk NCSD berdasarkan dari pengalaman di
22 negara adalah formal, kecuali Jepang. Hal ini terutama untuk memudahkan implementasi agenda aksi yang
telah dijadikan konsensus secara lebih terbuka.
Di Indonesia sendiri, gagasan pembentukan Dewan Nasional Pembangunan yang Berkelanjutan (NCSD),
sebenarnya telah dimulai sejak awal tahun 1993 di lingkungan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Selanjutnya, pada tahun 1997 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga telah
menyelenggarakan Lokakarya Nasional NCSD yang dihadiri berbagai kalangan. Pada tahun yang sama, sebuah
tim kecil yang terdiri dari empat tokoh lingkungan juga dibentuk. Gagasan pembentukan dewan ini tidak pernah
padam, akan tetapi juga tidak pernah berkembang dan tidak pernah terwujud. Dengan demikian, inisiatif yang
muncul tidak mampu melahirkan NCSD di Indonesia. Hal ini diduga karena kurangnya wawasan lingkungan
serta pergaulan internasional para pelaku politik Indonesia. Pada jamannya kita seringkali mempunyai anggapan
bahwa GBHN yang tebal dan REPELITA yang maha sakral telah cukup menjadi mantra sakti sepanjang masa
dan isu NCSD akibatnya lenyap ditelan jaman.
KELEMBAGAAN

Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan merupakan lembaga yang bersifat â€Å
“independenâ€Â? dalam mengembangkan konsep, pemikiran dan saran. Dewan ini berada di
bawah Presiden dan Presiden menjadi ketua secara ex officio. Dalam pelaksanaannya, Presiden dibantu oleh
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, selaku Wakil Ketua,
yang masing-masing mewakili pilar ekonomi dan pilar sosial dalam pembangunan berkelanjutan. Untuk
menyiapkan bahan yang perlu dibahas Dewan dan menjalankan kegiatan sehari-hari, Ketua dan Wakil Ketua
Dewan dibantu oleh seorang Sekretaris Jenderal yang dijabat oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup yang
sekaligus mewakili pilar lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam menjalankan tugastugasnya sehari-hari Sekretaris Jenderal dibantu oleh sekretariat yang berisi staf profesional.

Untuk dapat berfungsi baik, Dewan perlu memiliki organisasi yang kuat yang dapat mengakses sumber informasi
yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan, memilah dan memilih informasi yang relevan serta mampu
menilai keabsahan informasi yang diperolehnya. Karenanya, Dewan dapat dilengkapi dengan perangkat yang
dinamakan Kelompok Kerja.
Selain adanya Kelompok Kerja tersebut, apabila di daerah ada suatu permasalahan yang berkaitan dengan
masalah yang dihadapi Kelompok Kerja maka, melalui rapat pleno Dewan, dapat dibentuk tim khusus atau
gugus tugas (task force) yang keanggotaan intinya dari Kelompok Kerja di Dewan Nasional Pembangunan
Berkelanjutan ditambah anggota-anggota “ahli� dari berbagai kalangan
atau dari daerah bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap penyelesaian masalah di daerah selalu
dilibatkan “ahli� lokal dari berbagai kalangan. Keanggotaan gugus tugas
ini adalah tidak tetap dan selesai setelah masalah yang ditangani selesai.

Dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut, segala keputusan diambil dalam rapat anggota tetap secara
konsensus. [Keputusan yang diambil ini, setelah disetujui Presiden, mempunyai kekuatan mengikat dan
mewajibkan adanya komitmen pemerintah untuk implementasinya.]
FUNGSI DEWAN NASIONAL PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Seperti diuraikan sebelumnya, Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan (NCSD) mempunyai fungsi âÃ
¢â€šÂ¬Ã…“advisoryâ€Â? kepada Presiden. Dalam menjalankan fungsi tersebut, Dewan
memiliki tugas pokok: 1. merumuskan dan mensosialisasikan konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat
nasional dan daerah, termasuk upaya mengintegrasikan dimensi sosial dan perlindungan daya dukung
lingkungan ke dalam kebijakan pembangunan; 2. membantu Presiden dalam pengambilan keputusan dan
formulasi kebijakan strategis di bidang pembangunan berkelanjutan; dan 3. membantu Presiden dalam
menindaklanjuti dan melaksanakan pelaksanaan kesepakatan internasional yang berkaitan dengan
pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, Dewan ini juga diharapkan dapat memberikan pertimbangan dalam perumusan, penetapan,
pelaksanaan, maupun pengawasan pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang sosial, ekonomi,
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
kepada seluruh unsur penyelenggara negara, baik MPR, DPR, Presiden, DPA, MA maupun BPK, para menteri
kabinet, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat maupun lembaga internasional.
KEANGGOTAAN
Diharapkan kekuatan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan tidak terletak pada wewenang dan
legitimasinya, tetapi karena kekuatan nalar dan ketepatan informasinya. Untuk ini Dewan harus menjadi

pengamat yang jeli dan pemantau yang baik, mempunyai daya telaah yang tajam dan dapat memberi nasehat
yang jitu serta dapat dilaksanakan. Karenanya keanggotaan Dewan ini tidak hanya sekedar telah mewakili pihak
tertentu dengan pandangan yang terbatas, selain itu juga harus berpihak kepada masyarakat yang tidak berdaya
atau termarjinalkan, dan berpihak pada kehidupan yang lebih baik di masa mendatang (visioner).
Struktur keanggotaan dari Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan terdiri dari berbagai stakeholders, baik
dari kalangan pemerintah (terutama kementerian/departemen kuat dan berkait langsung dengan eksploitasi
sumber daya alam dan lingkungan serta kementerian yang berperan dalam kebijakan lingkungan hidup), dan
masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai unsur.
Anggota Dewan akan terdiri dari para pemangku kepentingan (stakeholders) tersebut meliputi: buruh; pemuda;
nelayan; petani; perempuan; masyarakat adat; dunia usaha; ilmuwan; pemerintah daerah; budayawan;
organisasi lingkungan hidup; dan pakar ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ditunjuk sebagai lembaga yang menerima usulan nama-nama calon
anggota Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan berdasarkan masukan dari multi-stakeholers.
Berdasarkan syarat yang digarsikan di atas, KLH kemudian menyampaikan daftar nama calon anggota tersebut
untuk dipilih dan diangkat oleh Presiden. Nama-nama yang diangkat oleh Presiden inilah yang akan menjadi
anggota tetap Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan.
Sebagai badan yang tugas pokoknya memberikan nasihat kepada presiden, maka dengan sendirinya kualitas
nasihat tersebut harus cukup berbobot dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, walaupun anggota
Dewan mewakili atau menampung pandangan pemerintah, pihak swasta dan masyarakat sipil, anggotanya
betul-betul perlu memiliki kualitas dan bobot yang sudah dikenal di masyarakat.


STRUKTUR KELEMBAGAAN
STATUS HUKUM
Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan ditetapkan melalui KEPPRES dengan mempertimbangkan
Undang-undang Dasar, Undang-Undang terkait (UU Lingkungan Hidup, UU Pertambangan, UU Kehutanan, dsb)
dan konvensi-konvensi Internasional.