Budaya Kerja Masyarakat Melayu dalam Men
BUDAYA KERJA MASYARAKAT MELAYU DALAM
MENGHADAPI ERA GLOBALISASI DI MEDAN LABUHAN
Tim Penulis :
Rusdi Suf
Irini Dewi Wanti
Agus Budi Wibowo
Gustanto
Kaharuddin Lubis
Editor :
Sri Wahyuni
63
PENDAHULUAN
.A Latar Belakang Masalah
Disaat era globalisasi melanda dunia, negara-negara saling berlomba
berkompetisi untuk meningkatkan ekonomi, industri maupun kemampuan militer
supaya tidak ketinggalan dengan negara lain. Begitu pula dengan negara
Indonesia tetap siap menghadapi era globalisasi dengan cara meningkatkan
sumber daya manusianya. Sumber daya manusia Indonesia berasal dari berbagai
suku bangsa, hal ini berarti pemerintah harus menggalakkan pembangunan di
daerah-daerah yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Usaha yang dilakukan
pemerintah tercermin dalam GBHN, yaitu pembangunan jangka panjang dan
pembangunan jangka pendek. Sektor-sektor yang diutamakan pemerintah dalam
peningkatan sumber daya manusia tersebut adalah sektor pendidikan, budaya dan
ekonomi. Sektor-sektor tersebut pada prinsipnya dapat diterima oleh berbagai
suku bangsa di Indonesia, walaupun pada kenyataannya masih banyak suku
bangsa yang masih memikirkan bahkan ada yang menentangnya. Keadaan
tersebut tentu berakibat pada terciptanya perbedaan tingkat kemajuan yang
diperoleh satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya.
Seperti halnya masyarakat Melayu, mereka tidak secara total
menghadapi era globalisasi ini, berbeda dengan suku bangsa lain yang ada di
Indonesia. Masyarakat Melayu yang menjadi fokus penelitian di sini adalah
masyarakat Melayu yang ada di Daerah Sumatera Timur, yaitu masyarakat
Melayu Labuhan. Masyarakat Melayu Labuhan mempunyai cara berfikir yang
masih jauh berbeda dengan masyarakat Melayu lainnya yang berada di Sumatera
Timur, seperti masyarakat Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Labuhan
Batu dan sebagainya. Bagi masyarakat Melayu Labuhan, pengalaman sejarah
masa lampau sebagai penguasa Sumatera Timur masih berbekas di hati mereka.
Pada masa itu seluruh tanah dan hasilnya yang berada di Sumatera Timur
merupakan milik masyarakat Melayu Labuhan, sehingga mereka memperoleh
pajak dari imigrasi suku bangsa lain. Sedangkan nenek moyang mereka
mengajarkan bahwa mata pencaharian yang sangat mudah dikerjakan dan tidak
mengganggu hak milik orang lain adalah nelayan. Di samping itu munculnya
agama Islam pada abad VII yang dibawa pedagang-pedagang Gujarad, Persia dan
Arab maupun yang disebabkan oleh Gocah Pahlawan (panglima Aceh yang
menaklukkan Sumatera Timur) memberikan lagi satu doktrin bagi masyarakat
Melayu Labuhan sudah mencapai tingkat perguruan tinggi, namun pendidikan
yang akan mereka peroleh maupun yang akan diterapkan harus disesuaikan
dengan agama Islam. Dalam bidang ekonomi, masyarakat Melayu Labuhan
kebanyakan masih mempertahankan mata pencaharian sebagai nelayan.
Meskipun demikian, masyarakat Melayu Labuhan tidak mau dianggap
64
ketinggalan dari masyarakat lain yang berada di Sumatera Timur khususnya dan
dis eluruh Indonesia pada umumnya, dalam menyongsong era globalisasi. Secara
perlahan-lahan mereka mulai merombak kebudayaannya dan makin banyaknya
tokoh-tokoh Melayu Labuhan yang duduk dalam pemerintahan baik di Sumatera
Utara maupun di Jakarta. Untuk mengetahui bagaimana budaya kerja masyarakat
Melayu Labuhan dalam menyongsong era globalisasi, penelitian ini akan
dilakukan terhadap masyarakat Melayu Labuhan dengan didukung referensi yang
relevan. Hal ini dimaksudkan dengan penelitian ini akan diperoleh paparan yang
lebih jelas dan mendetail tentang masyarakat Melayu Labuhan.
.B Rumusan Masalah
Pengertian orang mengenai Melayu selama ini selalu keliru. Hal ini
dikarenakan pengertian Melayu hanya diambil dari segi bahasa, pengertian ras,
dan ada juga karena pengertian etnis, sedangkan pengertian harfiah kata Melayu
diambil dari segi agama Islam. Menurut sejarah, orang Melayu mendiami
beberapa wilayah yang antara lain Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur,
Singapura, Brunai, Kalimantan Barat, Aceh Timur, Pesisir Timur, Sumatera
Utara, Riau, Jambi, dan Pesisir Palembang.
Adapun mengenai pengertian Melayu ada beberapa pendapat yang
antara lain;
a. Melayu itu berasal dari dua perkataan yaitu mala dan yu. Mala artinya mula,
dan yu artinya negeri.
b. Melayu atau Melayer mempunyai arti tanah dalam bahasa Tamil, sedangkan
dalam bahasa Sansekerta terdapat perkataan malay yang artinya nama pohon
yang harum gaharu sebagai pujian yang menerangkan bahwa Malaya dahulu
adalah negeri Gaharu yang terkenal.
c. Melayu dalam bahasa Jawa berarti deras atau lari.
d. Melayu berasal dari perkataan pemelayu, seperti Palembang dari pada
lembang.
e. Adalagi yu bermakna telur, jadi Melayu berarti mula telur atau telur yang
mula-mula.
Secara umum orang-orang Melayu yang mendiami daerah Pantai Timur
pulau Sumatera, Semenanjung Melayu, pulau-pulau yang terletak antara
Sumatera dan Kalimantan, serta pantai-pantai pinggiran, menunjukkan banyak
persamaan. Pemukiman suku Melayu di pantai Timur Sumatera adalah daerah
yang menjalur dari daratan Pantai Barat sampai ke daratan yang berbukit-bukit,
mulai dari daerah Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, Asahan, sampai daerah
Labuhan Batu. Pengertian ini sangat berkaitan dengan pekerjaan sebagai nelayan
dan perdagangan.
Suku bangsa Melayu sebenarnya tidak lagi terbagi-bagi ke dalam sub
suku bangsa, tetapi karena penyebaran secara geografikal ini mengakibatkan
masyarakat Melayu dibedakan secara teritorial atas Melayu Deli, Melayu
Serdang, Langkat/Tamiang, Asahan, Labuhan Batu. Akibat pembagian Melayu
secara teritorial ini mengakibatkan mereka berdiam di sepanjang pantai Timur
65
dan dalam gerak persebarannya bercampur dengan berbagai suku bangsa lainnya.
Misalnya orang Melayu yang berdiam di daerah Deli disebut juga Melayu Deli,
yang berdiam di daerah Langkat disebut Melayu Langkat, yang berdiam di daerah
Asahan disebut Melayu Asahan dan yang berdiam di daerah Labuhan Batu
disebut Melayu Labuhan Batu. Secara Umum kebudayan dari suku bangsa
Melayu tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan yang paling
dominan ada dalam bidang bahasa, yaitu dalam cara pengucapannya (dialek).
Perbedaan dialek ini dikarenakan adanya percampuran dengan bahasa-bahasa dari
suku bangsa lain, akan tetapi makna dari pengucapannya tidak membedakan arti
yang prinsipil.
Kepribadian sistem sosial budaya Melayu secara umum adalah sebagai
berikut;
a. Orang Melayu adalah penganut agama Islam karena semua kegiatan yang
bersifat rutin (baik bidang pendidikan/kebudayaan) selalu berhubungan dengan
Islam.
b. Mereka bersih dengan berketurunan baik, sangat gemar akan musik, dan hidup
dengan kasih sayang.
Pada umumnya orang Melayu menganut agama Islam. Hal ini membuka
peluang bagi siapa saja untuk menjadikan Melayu sebagai tempat penyiaran
agama Islam. Orang Melayu adalah orang-orang yang sopan dan tenang, dalam
tindakannya bahkan sebagai pedagang mereka lebih jujur apabila dibandingkan
dengan orang Cina. Selalu menghormati para pembesarnya. Adat Melayu adalat
adat bersendikan hukum syarak, sedangkan syarak bersendikan kitabullah, jadi
dapat disimpulkan bahwa orang Melayu adalah suku bangsa secara cultur
(budaya) dan bukan suku bangsa secara genelogis (persamaan daerah turunan). Di
dalam hukum kekeluargaan, orang Melayu menganut sistem parental (menarik
garis keturunan berdasarkan garis ibu dan garis ayah). Pengertian Melayu adalah
merupakan suatu wadah orang Islam menghadapi golongan non Islam. Raja
mempunyai daulat selaku penguasa pemerintah, penguasa Islam di kerajaan dan
selaku kepala adat rakyat Melayu. Bagi siapa yang memberontak kepada raja
dianggap durhaka.
Musyawarah merupakan salah satu ciri rakyat Melayu, misalnya dalam
perkawinan, kematian, kenduri, mendirikan rumah, membuka ladang, dan juga
dalam pemerintahan tidak luput dari sikap musyawarah. Di dalam perkawinan
disebut juga jamu sukut, sedangkan dalam bidang pemerintahan atau yang
membicarakan perihal orang banyak disebut kerapatan.
Sebenarnya keramahan orang-orang Melayu kepada pendatang terutama
yang beragama Islam tidak lepas dari segi politik. Orang-orang Melayu Labuhan
merupakan suatu kelompok masyarakat yang begitu kental dengan
kebudayaannya, dan masih setia kepada falsafah nenek moyangnya. Dalam
kehidupan sehari-hari orang Melayu Labuhan begitu kuat mempertahankan
prinsipnya. Prinsip tersebut adalah tradisi yang digariskan oleh nenek moyang
mereka, di mana adat dan agama memegang peranan penting. Hal ini terlihat
sewaktu para imigran dari berbagai daerah di Indonesia memasuki tanah garapan
66
mereka di wilayah kekuasaan Melayu di daerah Sumatera Timur. Orang Melayu
Labuhan tidak mengadakan perlawanan dan tidak menggarap tanah mereka
sendiri, melainkan meminta pajak tanahnya. Di samping itu mereka juga tidak
mau bekerja pada perkebunan-perkebunan Belanda, hal ini disebabkan rasa
gengsi terhadap sesamanya, yang menurut prinsipnya mereka adalah orang
Bumiputera yang memiliki kekuatan pada saat itu. Tetapi alasan itu bukanlah
satu-satunya melainkan karena keadaan mereka yang masih terikat oleh tradisi
yang telah lama dilaksanakan dan telah menjadi kebiasaan bagi mereka, yaitu
orang Melayu bekerja hanyalah sebagai pedagang dan nelayan yang telah
dikerjakan selama bertahun-tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
Melayu Labuhan masih mempertahankan kehidupannya dan belum mempunyai
niat untuk menjalani kehidupan lain selain sebagai nelayan dan pedagang.
Masyarakat Melayu masih terikat oleh prinsip hidup yang turun temurun, dan
bagi mereka Tuhan adalah satu-satunya pengatur hidup manusia.
Dalam menyongsong abad ke-21 seharusnya masyarakat Melayu
Labuhan mengubah beberapa nilai-nilai yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, tentu saja jangan sampai mengubah jati diri aslinya. Sudah
selayaknya mereka mempunyai prinsip ‘hari esok lebih baik dari hari ini”.
Perasaan rendah diri dan rasa bergantung kepada orang lain masih membelenggu,
dan apabila hal tersebut dibiarkan kemungkinan dapat membunuh keyakinan,
kreativitas, dan motifasi mereka sendiri. Apabila masyarakat Melayu Labuhan
masih bersikap negatif dan pasif tanpa mempunyai rasa bersaing dan hanya
bertindak tidak lebih dari penonton serta masih meletakkan nasib diri pada orang
lain, maka tidak mustahil masyarakat Melayu Labuhan tetap berjalan di tempat
(terbelakang).
Sudah selayaknya sejarah dikaji kembali, karena sejarah bukan untuk
disalahkan tetapi sebagai pencetus reaksi dan penyaluran ke arah yanng lebih
baik. Konsep persaingan dalam hal ini bukanlah mengalahkan atau memusuhi
lawan, akan tetapi konsep memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri. Pada
dasarnya masyarakat Melayu Labuhan menyadari bahwa pada diri mereka
terdapat unsur positif dan progresif, tetapi karena kekurangan motivasi dan
kreatifitas menyebabkan unsur-unsur positif dan progresif tersebut tidak dapat
ditingkatkan. Misalnya nelayan dan petani Melayu Labuhan yang bekerja dari
subuh sampai senja hari, tetapi hasil yang diperolehnya sangat minim
diakibatkan kurangnya bimbingan dan pengetahuan yang lebih modern. Demikian
juga dengan sistem pendidikan, masyarakat Melayu Labuhan lebih bersifat
konsumtif dari pada mempunyai rasa cipta kepada sesuatu yang baru. Jadi
masyarakat Melayu umumnya dan masyarakat Melayu Labuhan khususnya, harus
mempunyai falsafah dan konsep hidup yang mempunyai identitas dan aktivitas
yang tinggi, menjadi pemimpin atau pemikir ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya dan pertahanan kemanan, serta menjadikan Islam sebagai aspeknya.
Masuknya agama Islam ke Sumatera Timur lebih mudah diterima
masyarakat Melayu Labuhan dari pada masyarakat Melayu yang berada di
Langkat, Serdang, dan Asahan. Hal ini disebabkan, karena masyarakat Melayu
67
Labuhan lebih kuat dalam mempertahankan tradisi nelayan daripada berdagang,
apalagi hal itu bersangkutan dengan pendidikan. Sehingga orang-orang Melayu
Labuhan lebih serinng berkomunikasi dengan padagang Gujarat, Persia, maupun
Arab.
Munculnya kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur membawa
pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat Melayu. Kerajaan-kerajaan Melayu,
seperti kerajaan Deli, Serdang, dan Asahan berpendapat bahwa seluruh tanah
yang ada di Sumatera Timur merupakan hak milik mereka. Dengan alasan inilah
yang menyebabkan ornag Melayu tidak mau jadi penggarap tanah, seperti pada
masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda
membuka perkebunan di wilayah Sumatera Timur, para imigran yang terdiri dari
orang Batak Toba, Karo, Mandailing maupun yang berasal dari Jawa merasa
tertuntut supaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan orang Melayu, hal
ini menyebabkan penduduk asli semakin terdesak . Untuk memperkuat kembali
persatuan antara sesama kebudayaan Melayu, kerajaan Serdang mengusulkan
dibentuknya suatu badan perwakilan yang disebut Tajuk Muluk yang berpusat di
Labuhan. Tetapi penduduk Melayu merasa tidak tertarik dengan badan
perwakilan yang dibentuk, dengan alasan bahwa badan tersebut hanya
menguntungkan Kerajaan Deli saja yang menjadi boneka Kolonial Belanda, dan
di samping itu mereka lebih tertarik dengan pekerjaan sebagai nelayan. Apabila
praktek yang dijalankan badan perwakilan berhubungan dengan pendidikan,
maka Melayu Labuhan lebih menyukai yang berhubungan dengan agama Islam
sehingga gedung yang dididikan di daerah Labuhan pada umumnya hanya
dijadikan sebagai tempat pengajian.
.C Tinjauan Pustaka
Dalam buku Tengku Luckman Sinar yang berjudul Jati Diri Melayu
dapat disimpulkan bahwa suku Melayu Labuhan sangat tergantung pada agama
Islam, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih pasrah dan yakin
rezeki itu akan datang sendiri. Selanjutnya Tengku Luckman Sinar dalam
bukunya Sinar Sejarah Serdang menyatakan bahwa keengganan masyarakt
Melayu Labuhan untuk merubah mata pencaharian mereka sebagai nelayan ke
mata pencaharian lain didasari atas pengaruh warisan nenek moyang mereka yang
secara turun-temurun hidup sebagai nelayan.
Selanjutnya, Mohammad Taib Usman dalam bukunya yang berjudul
Kebudayaan Melayu Dalam Beberapa Persoalan menyatakan bahwa suku bangsa
Melayu begitu kuat memegang kebiasaan lama dan suku bangsa Melayu adalah
suku bangsa penakluk dan mereka tersebar di seluruh Asia Tenggara. Pada saat
Islam masuk ke Indonesia, orang-orang Melayu lebih mudah terpengaruh
sehingga agama Islam sangat kental dalam kehidupan mereka. Akibatnya dalam
bekerja orang Melayu sangat ketinggalan karena mempunyai prinsip hidup yang
tradisional.
Tengku Lah Husny dalam buku Peradaban dan Budaya Penduduk
Melayu Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950 menguraikan bahwa kebudayaan
68
masyarakat Melayu memang sangat kental di seluruh Sumatera Timur. Para
imigran yang berdatangan dan menetap di Sumatera Timur harus menyesuaikan
budayanya dengan budaya masyarakat Melayu, sehingga tidak ada budaya Batak
Toba, budaya Karo, budaya Mandailing, budaya Simalungun, budaya Jawa,
budaya Minang dan sebagainya. Berarti kebudayaan masyarakat Melayu memang
sudah maju karena menjadi filter bagi budaya suku-suku bangsa lain yang
menetap di Sumatera Timur.
Dari keempat pendapat ahli tersebut dapat dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Melayu pada zaman dahulu merupakan suku bangsa penakluk di
Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya. Mereka mempunyai kebudayaan yang
sudah lama berkembang dan merupakan warisan nenek moyangnya, sehingga
seluruh suku bangsa yang menetap di Sumatera Timur harus mengakui bahwa
budaya Melayu merupakan budaya mereka juga. Sehingga belum dapat dikatakan
bahwa pada zaman era globallisasi ini, masyarakat Melayu jauh ketinggalan.
.D Tujuan dan Manfaat Penelitian
.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat Melayu Labuhan untuk
mengetahui bagaimana budaya masyarakat Melayu Labuhan dalam menyongsong
era globalisasi. Sehingga dapat diungkapkan apakah memang benar orang-orang
Melayu Labuhan masih ketinggalan karena terpengaruh budaya dan agama Islam
yang kental.
.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi tujuan-tujuan praktis terutama dalam hal
program perencanaan pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia
yang sangat diperlukan dalam pembangunan. Selain itu penelitian ini juga
berfungsi sebagai suatu sumbangan pikiran dalam meningkatkan pengenalan dan
pemahaman pada budaya masyarakat Melayu Labuhan.
.E Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan
Labuhan, Kotamadia Daerah Tingkat II Medan. Lokasi ini dipilih berdasarkan
pertimbangan bahwa :
1. Letak kelurahan tersebut berada di Kotamadia Dati II Medan dengan
komposisi suku bangsa Melayu dan budaya Melayu yang melekat dalam
kehidupan masyarakatnya.
2. Lokasi penelitian nantinya merupakan Kawasan Industri Medan (KIM).
3. Dalam unit analisis komposisi jumlah informan diperkirakan seimbang antara
pegawai negeri dan swasta.
69
.F Metodelogi Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul Budaya Kerja Masyarakat Melayu
Dalam Menghadapi Era Globalisasi di Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan
Medan Labuhan, digunakan metode historis yaitu heuristik, kritik, interpretasi,
dan historigrafi (penulisan).
Berkaitan dengan hal tersebut M.H. Gilbert J. Garraghan menyatakan
bahwa “metode sejarah adalah seperangkat aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang
sistematik untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, mulai
secara kritis dan menyajikan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk
tertulis”.
Adapun tahapan pertama dalam heuistik yang merupakan pengumpulan
dan himpunan sumber informasi /bukti sejarah yang harus diolah. Sumber ini
didapati dari dokumen mengunjungi situs sejarah, mewawancarai saksi sejarah,
menggunakan metode studi pustaka dan lain-lain. Di dalam penelitian ini
digunakan metode studi pustaka atau library research sebagai pengumpulan
sumber sejarah. Sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah dari buku-buku, dan karya tulis lain yang berhubungan dengan budaya
kerja masyarakat Melayu Labuhan dalam menghadapi era globalisasi. Jadi di sini
sumber sekunder, yaitu sumber yang diperoleh secara tidak langsung dari
kejadian yang dipermasalahkan. Sumber-sumber ini diperoleh dari Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, Pusat Kajian
Malaysia, Pusat Kajian Brunai dan beberapa perpustkaan lain. Setelah sumber
terkumpul, baru diadakan seleksi sesuai dengan kebutuhan obyek penelitian.
Kemudian data yang telah didapat dikenakan kritik, baik ekstern maupun intern.
Kritik ekstern yaitu penelitian bahan yang dipakai, jenis tulisan, gaya bahasa dan
sebagainya, sedangkan dalam kritik intern yang dipermasalahkan adalah
mengenai keabsahan isi dari bahan-bahan sejarah tersebut. Langkah selanjutnya
adalah memberikan interpretasi terhadap data sehingga mempunyai makna dan
akhir sekali adalah pengungkapan secara lengkap dalam bentuk tulisan
(historiografi).
Untuk mendukunng penulisan sejarah, mutlak diperlukan dokumen
sejarah sebagai pembuktian sejarah. Kelangkaan bahan sumber serta minimnya
bahan kepustakaan sering menyebabkan penulisan dianggap lemah. Dengan
demikian diharapkan agar penggunaan metode dengan pendekatan ini, data yanng
terkumpul akan lebih terarah dan teratur sehingga mudah dilakukan
penganalisaan. Denngan metode penilitian ini, diharapkan pada waktu turun ke
lapangan akan lebih mudah untuk menjawab setiap permasalahan-permasalahan
serta memahami budaya kerja masyarakat Melayu Labuhan, secara ilmiah dan
diakui keabsahannya.
70
IDENTIFIKASI DAERAH PENELITIAN
.A Letak Geografis
Kelurahan Rengas Pulau merupakan salah satu kelurahan yang berada di
wilayah Kecamatan Medan Labuhan Kotamadia Medan, Provinsi Sumatera
Utara. Wilayah kelurahan Rengas Pulau berada di sekitar daerah industri MedanBelawan. Jarak kelurahan tersebut dengan ibukota kecamatan, yaitu Simpang
Kantor kurang lebih 5 Km, dan dengan Kotamadia Medan kurang lebih 12 Km
dan dengan Ibukota Belawan kurang lebih 13 Km.
Seperti di kelurahan lainnya, kelurahan Rengas Pulau memiliki iklim
sedang. Musim hujan biasanya berlangsung antara bulan Agustus sampai dengan
bulan Januari, dan musim kemarau antara bulan Februari sampai dengan bulan
Juli. Pergantian musim tersebut sebagai hukum alam secara tradisional diikuti
oleh masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya terutama dalam
bidang pertanian.
Secara administratif pemerintahan, Kelurahan Rengas Pulau mempunyai
batas-batas wilayah dengan kelurahan-kelurahan tetangga maupun dengan
kecamatan tetangga. Batas-batas kelurahan ini adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Pulo Sicanang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanah Enam Ratus
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Terjun
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Labuhan Deli.
Kelurahan Rengas Pulau dapat ditempuh dengan segala jenis kendaraan
darat, sehingga arus keluar masuk dari kota ke kelurahan ini menjadi lancar dan
tidak terbatas. Seperti dari Pulo Brayan Kota melalui areal PTP IX Helvetia dan
dari jalan Medan-Belawan melalui Titi Papan dan Simpang Kantor.
Kelurahan Rengas Pulau merupakan daerah dataran rendah dan sebagian
besar terdiri atas tanah vulkanik sedang. Di Kelurahan Rengas Pulau terdapat 2
(dua) buah sungai, yaitu Sungai Pinang dan Sungai Kuruk. Kedua sungai ini
adalah anak Sungai Deli yang besar manfaatnya bagi penduduk, karena berfungsi
sebagai sumber pengairan bagi lahan-lahan pertanian penduduk yang berada di
belahan Utara kelurahan ini. Di samping Sungai Deli sebagai pembatas wilayah
juga terdapat Sungai Terjun yang membatasi wilayah Kelurahan Rengas Pulau
dengan Kelurahan Terjun. Begitu pula halnya dengan sumber pengairan sawah
penduduk, selain bersumber dari kedua anak Sungai Deli tersebut juga terdapat
lima (5) buah paluh. Kelima paluh tersebut adalah Paluh Belatjang, Paluh Dua
Selundjur, Paluh Gayor, Paluh Djafar, dan Paluh Hantu.1
1
71
Hasan, Petani, Wawancara 28 Mei 1998, di Kelurahan Rengas Pulau.
Luas wilayah Kelurahan Rengas Pulau seluruhnya kurang lebih 2.550
ha, yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, areal pekuburan dan lainlain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1
Tata Guna Tanah di Kelurahan Rengas Pulau
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6
7
8
9
10
Tata Guna Tanah
Luas Tanah (Ha)
%
Perkebunan Rakyat
1.550
60,78
Ladang/Tegalan
120
4,71
Sawah Tadah Hujan
330
12,94
Sawah Pasang Surut
335
13,14
Perumahan dan Pekarangan
96
3,76
Kuburan
3
0,12
Lapangan Olah Raga
2
0,08
Sarana Jalan Lorong
62
2,43
Sungai/Parit
39
1,53
Rawa-Rawa
13
0,51
Jumlah
2.550
100
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Apabila dilihat Tabel 1, maka terlihat bahwa fungsi tanah yang paling
luas adalah untuk areal pertanian, yaitu perkebunan rakyat, ladang tegalan, sawah
tadah hujan dan sawah pasang surut, keseluruhannya mencapai 2.35 ha atau
91,57%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penduduk Kelurahan Rengas
Pulau sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani.
Penggunaan tanah pertanian oleh penduduk kelurahan ini yang
kebanyakan dengan usaha perkebunan rakyat dan ladang tegalan seperti terlihat
pada tabel 1, tidak jauh berbeda dengan profil desa yang terdapat di daerahdaerah sekitar perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatera Utara. Pengusahaan
areal tanah seperti perkebunan rakyat dan ladang tegalan berada di daerah
pedalaman wilayah Kelurahan Rengas Pulau yaitu di belahan ujung Selatan,
bagian Barat dan Timur yang dahulunya merupakan areal perkebunan Maryland
yang oleh penduduk setempat lebih populer dengan sebutan Marelan. 2 Areal
persawahan penduduk di belahan Utara merupakan sawah di daerah sekitar aliran
sungai dan paluh, sedangkan areal persawahan yang berada di belahan Timur
merupakan sawah yang pengelolaannya tergantung kepada curah hujan atau
sawah tadah hujan.
Di sepanjang belahan ujung Utara sampai di belahan ujung Timur
wilayahnya terdapat rawa-rawa yang luasnya mencapai 13 ha atau 0,5 %. Daerah
rawa-rawa ini terletak di sekitar daerah pinggiran Sungai terjun.
2
Tamrin Surya, Warga Kelurahan, Wawancara, 19 Mei 1998, di Kelurahan
Rengas Pulau.
72
.B Keadaan Demografi
Penduduk adalah merupakan motor penggerak pembangunan suatu
daerah yang menentukan cepat lambatnya gerak kehidupan yang berlangsung di
dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ditinjau dari jumlah penduduk dan
kualitasnya, maka akan tampak bidang apa yang akan mendominasi
perkembangan daerah tersebut. Potensi ini biasanya berbeda pada setiap daerah
atau suatu wilayah dan mungkin dapat menjadi penentu ciri khas daerah-daerah
yang bersangkutan.
Jumlah penduduk Kelurahan Rengas Pulau adalah 20.290 jiwa yang
terdiri atas 4.610 KK. Jika dibandingkan dengan luas wilayah kelurahan ini yaitu
sekitar 2.550 ha, maka tingkat kepadatan penduduknya mencapai 8 jiwa/ha.
Keseluruhan penduduk Kelurahan Rengas Pulau bertempat tinggal dalam 45
wilayah lingkungan yang terbagi-bagi pula dalam 81 RT dan 8 RW. Untuk lebih
jelasnya tentang komposisi penduduk menurut umur dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 2
Komposisi Penduduk Kelurahan Rengas Pulau Menurut Kelompok Umur
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kelompok Umur
Laki-Laki
Perempuan
0-5
1.200
1.279
6-16
1.850
1.890
13-24
2.413
2.493
25-55
2.724
2.990
56- Ke atas
1.700
1.751
Jumlah
9.887
10.403
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Jumlah
2.479
3.740
4.906
5.714
3.451
20.290
%
12,22
18,43
24,18
28,16
17,01
100
Tabel di atas menunjukkan perbandingan antara jenis kelamin laki-laki
dan perempuan yang seimbang. Di samping itu apabila dilihat dari jumlah
penduduk yang produktif, maka berdasarkan tabel 2 terlihat dengan jelas di
Kelurahan Rengas Pulau terdapat tenaga kerja produktif yang relatif tinggi yaitu
5.714 jiwa atau 28,16 %.
Penduduk Kelurahan Rengas Pulau mayoritasnya dalah suku bangsa
Jawa. Suku bangsa jawa ini sebagian besar bertempat tinggal di lingkunganlingkungan yang dahulunya bekas areal perkebunan Maryland. Akan tetapi,
walaupun mayoritas penduduk Kelurahan Rengas Pulau suku bangsa jawa,
namun penduduk aslinya adalah suku bangsa Melayu. masyarakat suku bangsa
Melayu ini kebanyakan bertempat tinggal di pinggiran Sungai Deli.
Selain kedua suku bangsa tersebut masih terdapat suku-suku bangsa
lainnya seperti Minang, Batak (Toba, karo, Mandailing), yang mendiami
Kelurahan Rengas Pulau. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini :
73
T abel 3
Komposisi Penduduk Kelurahan Rengas Pulau
Menurut Kelompok Suku Bangsa
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kelompok Suku Bangsa
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Melayu
2.741
3.054
5.795
Jawa
6.204
6.214
12.418
Minang
87
92
179
Batak Mandailing
64
79
143
Batak Toba
32
43
75
Batak Karo
16
17
33
Jumlah
9.144
9.499
18.643
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Meskipun sebagian besar penduduk Kelurahan Rengas Pulau dalam
bertempat tinggal dapat dikatakan secara terkonsentrasi sesama mereka, akan
tetapi antara suku bangsa-suku bangsa tersebut dalam kesehariannya sudah
berbaur. Demikian pula halnya antara penduduk suku bangsa Melayu dengan
suku bangsa Jawa. Akibat sudah membaurnya kedua suku bangsa ii melalui
perkawinan, maka sulit membedakan di antara mereka mana yang asli dan mana
yang keturunan. Ikatan perkawinan tersebut oleh suku bangsa Melayu kemudian
mengistilahkannya dengan adat serebok monggi atau hubungan kaitan keluarga. 3
Berdasarkan itu warga masyarakat suku bangsa Melayu tidak merasa terdesak
akibat dari mayoritasnya suku bangsa Jawa di Kelurahan Rengas Pulau, begitu
juga dengan masyarakat suku bangsa lainnya.
Di Kelurahan Rengas Pulau selain suku bangsa-suku bangsa seperti
tersebut di atas juga terdapat warga keturunan asing dan warga asing yang tinggal
menetap. Pada tabel berikut ini dapat dilihat komposisi penduduk menurut
kewarganegaraan :
Tabel 4
Komposisi Penduduk Menurut Kewarganegaraan
No.
1.
2.
3.
Warganegara
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
%
WNI Pribumi
9.144
9.499
18.643
91,88
WNI Keturunan
774
798
1.572
7,75
Warganegara Asing
39
36
75
0,37
Jumlah
9.957
10.343
20.290
100
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Penduduk keturunan asing di Kelurahan Rengas Pulau berasal atau
pindahan dari daerah lain akibat dari perkembangan kelurahan ini. Mereka terdiri
dari orang Cina dan India. Keturunan Cina merupakan warga yang menonjol di
antara warga keturunan asing lainnya maupun dari keseluruhan penduduk
3
Abdullah. Tokoh Adat, Wawancara 23 Februari 1998, di Kelurahan Rengas
Pulau.
74
Kelurahan Pulau Rengas. Hal ini dikarenakan kemampuan orang Cina lebih
tinggi dalam kehidupan ekonominya. Orang Cina umumnya hidup dengan
beternak ayam untuk dipasarkan, membuka usaha panglong, serta berdagang
dengan membuka rumah toko dan bidang usaha jasa lainnya.
Walaupun orang-orang Cina sukses atau lebih tinggi tingkat kemampuan
ekonominya, namun mereka tetap hidup bermasyarakat dengan warga lainnya.
Hal inilah yang menyebabkan jarangnya muncul kecemburuan sosial maupun
sentimen warga lainnya terhadap mereka. Begitu pula halnya dengan penduduk
lainnya, jarang ditemukan permasalahan yang menimbulkan ancaman pada
keamanan dan ketertiban di Kelurahan Rengas Pulau yang berasal dari rasa
sentimen atau tepatnya pada permasalahan suku, agama, ras dan antar golongan.
Dari segi kepercayaan, mayoritas penduduk Kelurahan Rengas Pulau
menganut agama Islam. Penganut agama Islam yang mayoritas ini dimaklumi
karena penduduk pribuminya sebahagian besar suku bangsa Melayu dan Jawa. Di
antara kedua suku bangsa tersebut, yang lebih menonjol tingkat pemahaman
agama Islam adalah suku bangsa Melayu. Komposisi penduduk Kelurahan
Rengas Pulau menurut pemeluk agama lebih jelasnya terlihat pada Tabel di
bawah ini
Tabel 5
Komposisi Penduduk Menurut Agama
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Agama
Laki-Laki
Perempuan
Islam
8.926
9.007
Katholik
34
32
Protestan
40
44
Hindu
18
15
Budha
1.082
1.092
Jumlah
10.193
10.193
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Jumlah
11.933
66
84
33
2.174
20.290
%
88,38
0,33
0,41
0,16
10,72
100
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa pemeluk agama Budha lebih banyak
apabila dibandingkan dengan pemeluk agama Katholik, Protestan dan Hindu.
Namun demikian, hal tersebut tidak menimbulkan SARA dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikarenakan terciptanya sikap saling menghargai dan hormat
menghormati dalam kehidupan beragama di Kelurahan Rengas Pulau.
.C Latar Belakang Historis
Berdasarkan laporan resmi yang dikeluarkan oleh Kepala Kelurahan Rengas
Pulau disebutkan bahwa wilayah kelurahan ini merupakan areal bekas tanah
perkebunan Maryland. Nama Kelurahan Rengas Pulau sejak terbentuknya berasal
75
dari kata pohan rengas. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak
Firmansyah (59 tahun) seorang informan;
“Kelurahan Rengas Pulau namanya menurut cerita orang-orang tuaa dahulu ada
satu jenis pohon kayu yang namanya pohon rengas yang tumbuh di tengah-tengah
Sungai Deli sebanyak sepuluh pohon yang membentuk sebuah pulau. Pulau itu
kemudian menjadi sebuah perkampungan yang disebut Pulau Rengas Sepuluh.
Kemudian dalam perkembangannya terjadi penyederhanaan istilah, namanya
berubah menjadi Pulau Rengas”.
Berdasarkan studi pustaka maupun hasil wawancara tidak diperoleh
keterangan yang pasti tentang siapa yang pertama sekali membuka wilayah
Kelurahan Rengas Pulau. Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan dibukanya
Kelurahan Rengas Pulau, akan tetapi berdasarkan data-data keterangan melalui
hasil wawancara sudah ada perkampungan orang Melayu , sebelum dibukanya
areal perkebunan Maryland. namun sejauh ini tidak diperoleh keterangan yang
pasti kapan dimulai dibukanya perkebunan Maryland tersebut.
Menurut penjelasan yang diperoleh bahwa status dari Kelurahan Rengas
Pulau mengalami tiga kali perubahan. Pertama sekali statusnya adalah sebagai
Kepenghuluan Rengas Pulau, kemudian berubah menajdi Kampung Rengas
Pulau, berubah lagi menjadi Desa Rengas Pulau, dan yang terakhir statusnya
adalah Kelurahan Rengas Pulau hingga sekarang ini. Sejak kapan menjadi status
Kepenghuluan tidak diperoleh keterangan secara pasti. Perubahan status dari
kepenghuluan menajdi kampung yaitu pada tahun 1957. Kemudian perubahan
status dari kampung menajdi desa yaitu pada tahun 1965. Peralihan dari desa
menjadi Kelurahan Rengas Pulau yaitu pada tanggal 23 April 1973, tetapi baru
terlaksana secara operasional pada tanggal 18 Pebruari 1974.
Adapun jabatan kepala penghulu yang pertama dipegang
oleh
Mohammad Noh, sejak tahun 1929 sampai tahun 1936. Dengan demikian berarti
kelurahan ini sudah berstatus sebagai desa sejak tahun 1929 yakni dilihat secara
administratif, meskipun diketahui bahwa tentu sebelum tahun 1929 itu sendiri
desa ini telah dihuni oleh manusia. Pada masa kekuasaan Mohammad Noh,
penduduknya sudah terdiri dari berbagai suku bangsa, di antaranya suku bangsa
Melayu yang bertempat tinggal terutama sekali di lingkungan : 1, 2, 3, 4, 5, 37,
39, 40 dan 41 yaitu wilayah yang berada di sekitar daerah pinggiran Sungai Deli.
Masyarakat suku bangsa Jawa dan yanng lainnya kebanyakan tinggal di daerah
perkebunan Marelan. Mohammad Noh kemudian digantikan oleh O.K. Ebol, dari
tahun 1936 sampai tahun 1942. Kemudian E.K. Ebol digantikan oleh anaknya
yang bernama Anwar, yang menjabat kepala kepengnhuluan sejak tahun 1942
sampai dengan tahun 1945.
Periode tahun 1945 hingga tahun 1952, jabatan kepala kepenghuluan
Rengas dijabat oleh Ahmad Win Geni. Selama periode itu keadaan kepenghuluan
tersebut terasa sangat kurang sekali. Hal itu disebabkan oleh karena situasi
perkembangan wilayah kekuasaan dan perang kemerdekaan, sehingga keadaan
dan stabilitas keamaan serba tidak menentu. Perkembangan wilayah kekuasaan
kepenghuluan merupakan akibat dari pertumbuhan perkampungan tempat tinggal
76
dan menetapnya bekas kuli kontrak yang meluas dan bergabung, sehingga
kemudian menjadi bagian dari wilayah kepenghuluan Rengas Pulau.
Perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1952 sekitar areal perkebunan Marelan
tidak mencerminkan lagi seperti suasana kehidupan perkebunan masa penjajahan
kolonial Belanda. Setelah keadaan menjadi stabil kembali dari berakhirnya
suasana perang kemerdekaan, maka pelaksanaan administrasi pemerintahan
berjalan kembali. Kekuasaan administrasi pemerintahan sudah beralih, yaitu
dipegang oleh H. Usman Ali, selama lebih kurang 32 tahun yaitu sejak tanggal 1
Agustus 1952 sampai 17 Juli 1984. Selama periode ini keadaan wilayah
kekuasaannya banyak mengalami perubahan suasana baik pertumbuhan maupun
perkembangannya.
Usman Ali memegang jabatan kekuasaan administrasi pemerintahan,
telah mengalami tiga kali perubahan istilah jabatan yang dipegangnya. Perubahan
sebutan istilah jabatan itu merupakan pencerminan dari perubahan status wilayah
kekuasaannya. Perubahan sebutan jabatan pertama sekali terjadi pada tanggal 20
Juli 1957 dari sebutan kepala penghulu menjadi kepala kampung. Sejak tanggal
23 April 1965 berubah menjadi sebutan kepala desa hingga pada tanggal 1 Januari
1981, kemudian sejak itu sampai tanggal 17 juli 1984 memegang jabatan sebagai
lurah.
Selain permasalahan istilah sebutan jabatan, pemegang kekuasaan
administrasi, masa kekuasaan H. Usman Ali mengalami dua peristiwa yang
sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dari perkembangan wilayah
kekuasaannya.
Peristiwa pertama yaitu peralihan dari pemerintahan Orde Lama kepada
pemerintahan Orde Baru yang merupakan rentetan akibat terjadinya
pengkhianatan G.30.S/PKI. Peristiwa kedua adalah peralihan kekuasaan
administrasi pemerintahan Daerah Tingkat II, yaitu dari kekuasaan administrasi
Pemerintahan daerah Tingkat II Kabupaten deli Serdang menjadi di bawah
kekukasaan administrasi Pemerintahan Kotamadia Medan. Peralihan kekuasaan
administrasi Pemerintahan Tingkat II tersebut berdasarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri mengenai perencanaan perluasan wilayah Kotamadia Medan.
Akibat dari peralihan kekuasaan administrasi tersebut, maka terjadi perubahan
statsu dari desa menjadi kelurahan. Dengan demikian status Desa Rengas Pulau
yang sebelumnya berada di wilayah Kecamatan Labuhan Deli menjadi
Kelurahan Rengas Pulau yang berada di wilayah Kecamatan Medan Labuhan.
Namun demikian, peralihan status tersebut secara operasionalnya baru dimulai
pada tanggal 28 Pebruari 1974, sedangkan perubahan struktur dan sistem kerja
pemerintahannya dimulai pada tanggal 1 Januari 1981 berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No.5 tahun 1979 tentang peemerintahan desa.
Setelah periode H. Usman Ali, jabatan selanjutnya beralih kepada Arifin
Hasibuan. Jabatan sebagai Kepala Kelurahan Rengas Pulau dipegangnya selama
kurang lebih 9 bulan, yaitu sejak 17 Juli 1984 sampai 23 April 1985. Kemudian
jabatan tersebut berpindah kepada Rubais, yaitu sejak 23 April 1985 sampai
dengan sekarang. Pada masa pemerintahan Bapak Rubais ini krisis di desa
77
Rengas Pulau dapat teratasi serta memberikan gambaran keadaan perkembangan
pembangunan masyarakat desa dalam upaya membenahi kehidupan desa.
Keadaan itu tercermin dari telah berhasilnya desa Rengas Pulau menjadi salah
satu desa Swakarya. Keberhasilan yang telah dicapai oleh desa Rengas Pulau
tidak terlepas dari dukungan dan dedikasi masyarakat dan aparat pemerintahan
desa yang berfungsi dengan baik.
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT MELAYU
.A Struktur Kemasyarakatan Suku Bangsa Melayu
Masyarakat Melayu di Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan
Labuhan, memandang hubungan sesama manusia sebagai sesuatu yang amat
mulia. Gambaran masyarakat Melayu adalah mempunyai sifat sedrhana,
merendah, namun mereka tidak menyenangi orang lain merendahkannya. Seperti
kata pantun Melayu :
“Kalau tak dapat rumput dihela
Eloklah pandan jadi mengkuang
Kalau tak dapat menuntut bela
Eloklah badan mati terbuang.”
Mereka terlihat berperangai sangat lemah lembut, tidak suka bertindak berlebihlebihan dan senang dalam suasana hidup yang tenang. Mereka jarang mau
menonjolkan diri untuk sesuatu keahliannya. Santun dalam pergaulan dan lemah
lembut dalam tutur bahasanya. Mereka tidak senang apabila orang lain
menyakitinya, dan akan dibalasnya walaupun dengan cara halus dan menunggu
waktu lama. Mereka setia dalam berteman, dapat dipercaya dan menerima uluran
tangan oranng lain serta ingin membalas kebaikan yang diberikan kepadanya.
Sifat-sifat seperti ini juga dijumpai pada masyarakat Melayu yang ada di
Kelurahan Rengas Pulau, Medan Labuhan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, suku bangsa Melayu yang ada di
Kelurahan Rengas Pulau, Medan Labuhan, tidak pernah membedakan manusia
78
berdasarkan stratifikasi sosial. Walaupun secara harfiah mereka mengakui adanya
gelar atau yang dalam istilah Kolonial Belanda disebut dengan title, yaitu sebutan
untuk menyebutkan atau menunjukkan martabat
seseorang di dalam
golongannya.
“Berdasarkan pelajaran sosial masyarakat Melayu di Pesisir Sumatera
Timur, terbagi dalam dua golongan. Golongan bangsawan dan golongan
rakyat (orang kebanyakan), untuk membedakan seorang turunan
bangsawan dengan rakyat biasa, diketahui berdasarkan gelar yang dimiliki
seseorang di depan namanya. Pada masyarakat kebanyakan tidak terdapat
gelar tersebut, sehingga semua golongan ini sama rata. Akan tetapi pada
golongan bangsawan masih terdapat tingkatan gelar tersebut, di mana
setiap gelar menonjolkan martabat seseorang di mana statusnya. 4
Gelar bangsawan yang banyak dimiliki oleh suku bangsa melayu yang
ada di Kelurahan Rengas Pulau, Medan Labuhan adalah tengku, wan dan orang
kaya (OK). Gelar tengku adalah gelar yang diberikan bagi keturunan Sultan atau
kerabatnya atau bagi keturunan dari kakek mereka yang dahulunya memiliki
daerah kekuasaan tersendiri. Gelar wan disrtikan seorang anak wanita keturunan
tengku kawin dengan anak laki-laki dari bangsawan lain. Sedangkan gelar orang
kaya (OK) berasal dari gelar yang diberikan Sultan karena jasa-jasa seseorang
terhadap kerajaan atau kepada sultan. Kemudian sultan memberikan kekuasaan di
daerah berupa tanah dan gelar, maka keturunan mereka diberi gelar orang kaya.
Ada yang berpendapat bahwa gelar orang kaya hanya sebagai penghormatan atau
sopan santun dalam masyaraka karena status ekonomi yang dimilikinya. 5
.1 Pola Kekeluargaan Suku Bangsa Melayu
Dalam masyarakat Melayu, pola kekeluargaan didasarkan kepada garis
keturunan seseorang dan mereka memegang teguh pola kekeluargaan tersebut.
Sistem kekrabatan masyarakat Melayu adalah sistem bilateral, di mana garis
keturunan tidak mengenal perbedaan dalam derajat seorang laki-laki dan
perempuan. Kedudukan ayah dan ibu di dalam keluarga adalah sama, demikian
juga dengan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan.
Ada kecenderungan pada masyarakat Melayu bahwa dalam kehidupan
berkeluarga, semua anggota keluarga mempunyai peran masing-masing. Seorang
ayah melakukan tugas dan tanggung jawabnya terhadap anggota keluarganya
sebagai kepala keluarga. Sedangkan seorang ibu di samping mengurus rumah
tangga juga mengajari anak-anaknya bersikap sopan santun dan mengajarkan
kerajinan tangan yang dapat menambah pendapatan ekonomi keluarga.
Masyarakat Melayu dalam lingkaran hidup mereka sehari-hari sebagai
suatu kesatuan warga masyarakat sangat memegang teguh ajaran-ajaran Islam.
4
T.H.M. Lah Husni, Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu
Pesisir Sumatera Timur 1632-1950, Medan : B.P Husni, 1975, hal.23
5
Tengku Machmud. Tokoh Masyarakat, Wawancara tanggal 6 Juni 1998, di
Kelurahan Rengas Pulau.
79
Budaya kerja dalam setiap keluarga sudah menajdi suatu keharusan atau
kewajiban bagi setiap anggota keluarga. Bukti konkrit perihal budaya kerja, bagi
seorang ayah dan ibu terlihat dengan jelas sesuai dengan profesinya, yang
sedapat mungkin bekerja secara giat dalam mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Secara khusus mencari nafkah adalah tugas lakilaki atau sang ayah sebagai kepala keluarga. Namun demikian tidak berarti bahwa
perempuan atau seorang ibu tidak turut serta mencari nafkah. Khusus bagi anakanak dalam keluarga dikaitkan dengan budaya kerja, hal semacam ini juga
terlihat dalam pola kekeluargaan masyarakat Melayu tersebut. Anggota keluarga
terlihat jelas saling bantu membantu antara anak dan orang tua dalam kegiatan
rutin yang ada di dalam rumah.
Dalam masyarakat Melayu Labuhan yang sebagian besar hidup dengan
mata pencaharian sebagai petani dan nelayan, budaya kerja yang tertanam adalah
saling tolong menolong dan gotong royong yang mereka sebut dengan seraya.
Pada dasarnya kegiatan tolong menolong itu tidak saja terbatas pada bidang
pertanain, tetapi juga mencakup dalam segala aspek kehidupan keseharian mereka
(aspek kehidupan yang mengutamakan solidaritas, kemufakatan, dan gotong
royong). Hal ini tercermin dalam peribahasa Melayu berikut ini:
“Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Kebukit sama mendaki, ke lurah sama menurun.
Hati Tungau sama dicecah, hati gajah sama dilapah.
Hidup jelang menjelang, sakit jenguk menjenguk.
Lapang sama berlegar, sempit sama berhimpit.
Kuat lidi karena diikat, kuat hati karena mufakat.
Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.
Kalau lebih beri memberi, kalau kurang isi mengisi.”
Selanjutnya:
“Kalau berjalan beriringan
Yang dahulu jangan menunjang
Yang tengah jangan membelok
Yang di belakang jangan menumit
Yang lupa diingatkan
Yang bengkok diluruskan
Yang tidur dijagakan
Yang salah ditegur-menegur
Yang rendah angkat-mengangkat
Yang tinggi junjung-menjunjung
Yang tua memberi wasiat
yang alim memberi amanat
Yang berani memberi kuat
Yang kuasa memberi daulat”.6
6
H. Muchtar Lutfi. Nilai-nilai Edukatif Budaya Melayu dan Peranannya
Terhadap Pembinaan Kualitas Manusia,” Makalah Seminar Budaya Melayu VI”. Medan :
80
Berdasarkan peribahasa tadi jelas tergambar bahwa pola kekeluargaan masyarakat
Melayu sangat mengutamakan kerja sama yang ahrmonis.
Masyarakat Melayu Labuhan dalam pergaulan sehari-hari sangat
menghormati orang lain dan berusaha untuk menghindari konflik. Mereka
menghormati seseorang bukan hanya karena pangkat, jabatan, serta kekayaan.
Konsekuensinya karena mereka mempunyai rasa keprihatinan pengetahuan dan
keahlian yang dimiliki seorang individu tersebut. Masyarakat Melayyu juga
sangat menghormati orang yang lebih tua atau orang-orang yang dituakan.
Keadaan seperti ini terlihat dari sikap yang selalu mendahulukan orang-orang tua
dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan mereka
yang sudah membudaya, yaitu masyarakat Melayu mengutamakan sekali budi
dan bahasa yang menunjukkan sopan santun dan tingginya peradaban Melayu.
Seperti yang sering diucapkan oleh orang melayu berikut ini :
“Usul menunjukkan asal, bahasa menunjukkan bangsa.”
“Taat pada petuah, setia pada sumpah, mati pada janji, melarat pada budi.”
“Biar orang bertanam buluh ,kita bertanam padi
Biar orang bertanam musuh, kita bertanam budi.”
“Kalau kita bertanam padi, senanglah makan adik beradik
Kalau kita bertanam budi, orang yang jahat menjadi baik.”
“Baik-baik makan keladi, keladi itu ada mianngnya
Baik-baik termakan budi, budi itu ada utangnya.”
“Kalau keladi sudah ditanam, janganlah lagi meminta talas
Kalau budi sudah ditanam, jangan lagi meminta balas.”
“Kalau makan keladi munyang, jangan lupa pada bungkalnya
Kalau termakan ke budi orang, jangan lupa pada asalnya.”
“Janganlah suka mencabut padi, kalau dicabut hilang buahnya
Jangan suka menyebut budi, kalau disebut hilang tuahnya.”
“Apalah tanda batang padi, tumbuh di ladang lebat buahnya
Apalah tanda orang berbudi, Elok dipandang baik bahasanya.”
“Mati kayu karena benalu, patahnya layu dahannya mati
Mati Melayu karena malu, kalah Melayu karena termakan budi.”
“Biar orang mencabut cendawan, kita cabut pada akan mati
Biar orang berebut hartawan, kita berebut budi pekerti.”
Pekan Budaya Melayu, 1992.hal. 4.
81
“Apalah tanda batang keladi, batang keladi di tanah isinya
Apalah tanda orang berbudi, orang berbudi rendah hatinya.”
“Hidup dalam pekerti, mati dalam budi.”
“Tahu budi ada hutangnya, Tahu hidup ada bebannya.”7
Masyarakat Melayu juga sangat menghargai serta menghormati orang
lain yang mempunyai kepandaian atau keahlian dalam kehidupan. Seorang tukang
akan dihormati dan diteladani jika profesi tersebut benar-benar merupakan
keahliannya. Sebaliknya orang yang bersikap malas atau bekerja serabutan dan
asal jadi akan sangat tidak dihargai. Dalam ungkapan masyarakat Melayu hal
semacam ini diungkapkan dalam pepatah berat tulang ringanlah perut, yang
artinya bahwa orang yang malas bekerja hidupnya akan melarat. Sebaliknya
ringan ringan tulang beratlah perut , yang artinya siapa yang tekun bekerja dan
giat maka hidupnya akan tenang dan berkecukupan.
.2 Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Melayu
Orang Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam
pembauran ikatan perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resan
(aturan-aturan adat yanng menjadi kebiasaa) dan bahasa Melayu secara sadar dan
berkelanjutan.8
Penduduk Melayu Sumatera Timur merupakan percampuran dari
berbagai suku bangsa. Ketika pada abad ke-13 Kerajaan Haru masih berdiri,
terjadi proses peng-Islaman ke daerah-daerah pedalaman yaitu Karo, Simalungun,
Padang Lawas, sehingga sering disebut memeluk agama Islam sama dengan
masuk Melayu. Pada umumnya amsyarakat Melayu bermata pencaharian sebagai
nelayan, tetapi ada juga yang bermata pencaharian lain seperti berburu,
berladang, beternak, dan bermacam-macam kerajinan tangan.
Setiap pendukung kebudayaan Melayu walau berada di mana pun, selalu
memakai adat resan. Adat resan ini tercermin di dalam setiap gerak kehidupan
orang Melayu. Secara umum masyarakat Melayu mempunyai falsafah di dalam
hidupnya berlandaskan lima dasar, yaitu ;
1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis serta
bermusyawarah.
2. Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari,
pakaian, tersusun dalam tingkah laku dan lain-lain.
3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional alam Bhineka Tunggal Ika dengan
tepung tawar, balai, pulut kuning dan sebagainya yang mengikat tua dan muda.
7
T.Luckman Sinar. Jati Diri Melayu, Medan : Lembaga Pembinaan dan
Pengembangan Seni Budaya Melayu, 1994, hal. 26-27.
8
T.H.M. Lah Husni, op.cit., hal.100.
82
4. Melayu itu berjurai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib,
mengutamakan ketentraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan
harga-menghargai secara timbal-balik.
5. Melayu itu berilmu yang artinya pribadi itu diarahkan kepada ilmu
pengetahuan dan ilmu kebathinan.9
Masyarakat Melayu pada umumnya menganut agama Islam, sehingga
sering disebut masuk Islam berarti masuk Melayu. Faktor keturunan sering
merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat. Pada
hampir semua masyarakat dikenal adanya upacara-upacara pada masa krisis
dalam tingkah hidup seseorang. Demikian juga halnya dengan masyarakat
Melayu, dikenal upacara-upacara pada masa kehamilan, masa kelahiran, upacara
khitanan, perkawinan dan kematian.
Sistem kekerabatan masyarakat Melayu menganut garis keturunan yang
berdasarkan patrilineal. Keluarga batih merupakan kelompok sosial yang terkecil
dan berdiri sendiri. Dikenal juga keluarga luas yang uxorilokal yaitu suatu
keluarga batih senior ditambah dengan keluarga-keluarga anak-anak
perempuannya.
Stratifikasi sosial didasarkan kepada faktor keturunan, pangkat, jabatan,
agama dan pendidikan. Golongan teratas dalam strata masyarakat adalah
kelompok bangsawan seperti raja, sultan, datuk, tengku, wan dan keturunannya.
Pada saat sekarang ini faktor keturunan sebagai faktor penentu strata sosial dalam
masyarakat tidak lagi menentukan, melainkan faktor pendidikan. Pentingnya
pendidikan bagi masyarakat Melayu Labuhan tercermin dalam ungkapanungkapan berikut ini ;
“Menuntut ilmu janganlah segan, ilmu yang benar yang jangan bukan, yaitu ilmu
yang kebajikan, isi kitab ini sudah disebutkan.”
“Segala perbuatan dengan berilmu, maka kebajikan boleh bertemu, jangan
sembarang barang diramu, akhirnya engkau jatuh tersemu.”
“Demikian lagi dengar olehmu, tanda berakal kasihkan ilmu, suka menelaah tiada
jemu, mencari kepuasan jangan tersemu.”
“Ilmu itu besar faedahnya, membedakan hak dengan batilnya, mengetahui orang
banyak benar salahnya, supaya dihukumkan dengan adilnya.”
“Aku hendak bertutur akan gurindam yang beratur, persimpangan yang indahindah, yaitu ilmu yang memberi faedah, jika hendak mengenal orang be
MENGHADAPI ERA GLOBALISASI DI MEDAN LABUHAN
Tim Penulis :
Rusdi Suf
Irini Dewi Wanti
Agus Budi Wibowo
Gustanto
Kaharuddin Lubis
Editor :
Sri Wahyuni
63
PENDAHULUAN
.A Latar Belakang Masalah
Disaat era globalisasi melanda dunia, negara-negara saling berlomba
berkompetisi untuk meningkatkan ekonomi, industri maupun kemampuan militer
supaya tidak ketinggalan dengan negara lain. Begitu pula dengan negara
Indonesia tetap siap menghadapi era globalisasi dengan cara meningkatkan
sumber daya manusianya. Sumber daya manusia Indonesia berasal dari berbagai
suku bangsa, hal ini berarti pemerintah harus menggalakkan pembangunan di
daerah-daerah yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Usaha yang dilakukan
pemerintah tercermin dalam GBHN, yaitu pembangunan jangka panjang dan
pembangunan jangka pendek. Sektor-sektor yang diutamakan pemerintah dalam
peningkatan sumber daya manusia tersebut adalah sektor pendidikan, budaya dan
ekonomi. Sektor-sektor tersebut pada prinsipnya dapat diterima oleh berbagai
suku bangsa di Indonesia, walaupun pada kenyataannya masih banyak suku
bangsa yang masih memikirkan bahkan ada yang menentangnya. Keadaan
tersebut tentu berakibat pada terciptanya perbedaan tingkat kemajuan yang
diperoleh satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya.
Seperti halnya masyarakat Melayu, mereka tidak secara total
menghadapi era globalisasi ini, berbeda dengan suku bangsa lain yang ada di
Indonesia. Masyarakat Melayu yang menjadi fokus penelitian di sini adalah
masyarakat Melayu yang ada di Daerah Sumatera Timur, yaitu masyarakat
Melayu Labuhan. Masyarakat Melayu Labuhan mempunyai cara berfikir yang
masih jauh berbeda dengan masyarakat Melayu lainnya yang berada di Sumatera
Timur, seperti masyarakat Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Labuhan
Batu dan sebagainya. Bagi masyarakat Melayu Labuhan, pengalaman sejarah
masa lampau sebagai penguasa Sumatera Timur masih berbekas di hati mereka.
Pada masa itu seluruh tanah dan hasilnya yang berada di Sumatera Timur
merupakan milik masyarakat Melayu Labuhan, sehingga mereka memperoleh
pajak dari imigrasi suku bangsa lain. Sedangkan nenek moyang mereka
mengajarkan bahwa mata pencaharian yang sangat mudah dikerjakan dan tidak
mengganggu hak milik orang lain adalah nelayan. Di samping itu munculnya
agama Islam pada abad VII yang dibawa pedagang-pedagang Gujarad, Persia dan
Arab maupun yang disebabkan oleh Gocah Pahlawan (panglima Aceh yang
menaklukkan Sumatera Timur) memberikan lagi satu doktrin bagi masyarakat
Melayu Labuhan sudah mencapai tingkat perguruan tinggi, namun pendidikan
yang akan mereka peroleh maupun yang akan diterapkan harus disesuaikan
dengan agama Islam. Dalam bidang ekonomi, masyarakat Melayu Labuhan
kebanyakan masih mempertahankan mata pencaharian sebagai nelayan.
Meskipun demikian, masyarakat Melayu Labuhan tidak mau dianggap
64
ketinggalan dari masyarakat lain yang berada di Sumatera Timur khususnya dan
dis eluruh Indonesia pada umumnya, dalam menyongsong era globalisasi. Secara
perlahan-lahan mereka mulai merombak kebudayaannya dan makin banyaknya
tokoh-tokoh Melayu Labuhan yang duduk dalam pemerintahan baik di Sumatera
Utara maupun di Jakarta. Untuk mengetahui bagaimana budaya kerja masyarakat
Melayu Labuhan dalam menyongsong era globalisasi, penelitian ini akan
dilakukan terhadap masyarakat Melayu Labuhan dengan didukung referensi yang
relevan. Hal ini dimaksudkan dengan penelitian ini akan diperoleh paparan yang
lebih jelas dan mendetail tentang masyarakat Melayu Labuhan.
.B Rumusan Masalah
Pengertian orang mengenai Melayu selama ini selalu keliru. Hal ini
dikarenakan pengertian Melayu hanya diambil dari segi bahasa, pengertian ras,
dan ada juga karena pengertian etnis, sedangkan pengertian harfiah kata Melayu
diambil dari segi agama Islam. Menurut sejarah, orang Melayu mendiami
beberapa wilayah yang antara lain Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur,
Singapura, Brunai, Kalimantan Barat, Aceh Timur, Pesisir Timur, Sumatera
Utara, Riau, Jambi, dan Pesisir Palembang.
Adapun mengenai pengertian Melayu ada beberapa pendapat yang
antara lain;
a. Melayu itu berasal dari dua perkataan yaitu mala dan yu. Mala artinya mula,
dan yu artinya negeri.
b. Melayu atau Melayer mempunyai arti tanah dalam bahasa Tamil, sedangkan
dalam bahasa Sansekerta terdapat perkataan malay yang artinya nama pohon
yang harum gaharu sebagai pujian yang menerangkan bahwa Malaya dahulu
adalah negeri Gaharu yang terkenal.
c. Melayu dalam bahasa Jawa berarti deras atau lari.
d. Melayu berasal dari perkataan pemelayu, seperti Palembang dari pada
lembang.
e. Adalagi yu bermakna telur, jadi Melayu berarti mula telur atau telur yang
mula-mula.
Secara umum orang-orang Melayu yang mendiami daerah Pantai Timur
pulau Sumatera, Semenanjung Melayu, pulau-pulau yang terletak antara
Sumatera dan Kalimantan, serta pantai-pantai pinggiran, menunjukkan banyak
persamaan. Pemukiman suku Melayu di pantai Timur Sumatera adalah daerah
yang menjalur dari daratan Pantai Barat sampai ke daratan yang berbukit-bukit,
mulai dari daerah Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, Asahan, sampai daerah
Labuhan Batu. Pengertian ini sangat berkaitan dengan pekerjaan sebagai nelayan
dan perdagangan.
Suku bangsa Melayu sebenarnya tidak lagi terbagi-bagi ke dalam sub
suku bangsa, tetapi karena penyebaran secara geografikal ini mengakibatkan
masyarakat Melayu dibedakan secara teritorial atas Melayu Deli, Melayu
Serdang, Langkat/Tamiang, Asahan, Labuhan Batu. Akibat pembagian Melayu
secara teritorial ini mengakibatkan mereka berdiam di sepanjang pantai Timur
65
dan dalam gerak persebarannya bercampur dengan berbagai suku bangsa lainnya.
Misalnya orang Melayu yang berdiam di daerah Deli disebut juga Melayu Deli,
yang berdiam di daerah Langkat disebut Melayu Langkat, yang berdiam di daerah
Asahan disebut Melayu Asahan dan yang berdiam di daerah Labuhan Batu
disebut Melayu Labuhan Batu. Secara Umum kebudayan dari suku bangsa
Melayu tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan yang paling
dominan ada dalam bidang bahasa, yaitu dalam cara pengucapannya (dialek).
Perbedaan dialek ini dikarenakan adanya percampuran dengan bahasa-bahasa dari
suku bangsa lain, akan tetapi makna dari pengucapannya tidak membedakan arti
yang prinsipil.
Kepribadian sistem sosial budaya Melayu secara umum adalah sebagai
berikut;
a. Orang Melayu adalah penganut agama Islam karena semua kegiatan yang
bersifat rutin (baik bidang pendidikan/kebudayaan) selalu berhubungan dengan
Islam.
b. Mereka bersih dengan berketurunan baik, sangat gemar akan musik, dan hidup
dengan kasih sayang.
Pada umumnya orang Melayu menganut agama Islam. Hal ini membuka
peluang bagi siapa saja untuk menjadikan Melayu sebagai tempat penyiaran
agama Islam. Orang Melayu adalah orang-orang yang sopan dan tenang, dalam
tindakannya bahkan sebagai pedagang mereka lebih jujur apabila dibandingkan
dengan orang Cina. Selalu menghormati para pembesarnya. Adat Melayu adalat
adat bersendikan hukum syarak, sedangkan syarak bersendikan kitabullah, jadi
dapat disimpulkan bahwa orang Melayu adalah suku bangsa secara cultur
(budaya) dan bukan suku bangsa secara genelogis (persamaan daerah turunan). Di
dalam hukum kekeluargaan, orang Melayu menganut sistem parental (menarik
garis keturunan berdasarkan garis ibu dan garis ayah). Pengertian Melayu adalah
merupakan suatu wadah orang Islam menghadapi golongan non Islam. Raja
mempunyai daulat selaku penguasa pemerintah, penguasa Islam di kerajaan dan
selaku kepala adat rakyat Melayu. Bagi siapa yang memberontak kepada raja
dianggap durhaka.
Musyawarah merupakan salah satu ciri rakyat Melayu, misalnya dalam
perkawinan, kematian, kenduri, mendirikan rumah, membuka ladang, dan juga
dalam pemerintahan tidak luput dari sikap musyawarah. Di dalam perkawinan
disebut juga jamu sukut, sedangkan dalam bidang pemerintahan atau yang
membicarakan perihal orang banyak disebut kerapatan.
Sebenarnya keramahan orang-orang Melayu kepada pendatang terutama
yang beragama Islam tidak lepas dari segi politik. Orang-orang Melayu Labuhan
merupakan suatu kelompok masyarakat yang begitu kental dengan
kebudayaannya, dan masih setia kepada falsafah nenek moyangnya. Dalam
kehidupan sehari-hari orang Melayu Labuhan begitu kuat mempertahankan
prinsipnya. Prinsip tersebut adalah tradisi yang digariskan oleh nenek moyang
mereka, di mana adat dan agama memegang peranan penting. Hal ini terlihat
sewaktu para imigran dari berbagai daerah di Indonesia memasuki tanah garapan
66
mereka di wilayah kekuasaan Melayu di daerah Sumatera Timur. Orang Melayu
Labuhan tidak mengadakan perlawanan dan tidak menggarap tanah mereka
sendiri, melainkan meminta pajak tanahnya. Di samping itu mereka juga tidak
mau bekerja pada perkebunan-perkebunan Belanda, hal ini disebabkan rasa
gengsi terhadap sesamanya, yang menurut prinsipnya mereka adalah orang
Bumiputera yang memiliki kekuatan pada saat itu. Tetapi alasan itu bukanlah
satu-satunya melainkan karena keadaan mereka yang masih terikat oleh tradisi
yang telah lama dilaksanakan dan telah menjadi kebiasaan bagi mereka, yaitu
orang Melayu bekerja hanyalah sebagai pedagang dan nelayan yang telah
dikerjakan selama bertahun-tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
Melayu Labuhan masih mempertahankan kehidupannya dan belum mempunyai
niat untuk menjalani kehidupan lain selain sebagai nelayan dan pedagang.
Masyarakat Melayu masih terikat oleh prinsip hidup yang turun temurun, dan
bagi mereka Tuhan adalah satu-satunya pengatur hidup manusia.
Dalam menyongsong abad ke-21 seharusnya masyarakat Melayu
Labuhan mengubah beberapa nilai-nilai yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, tentu saja jangan sampai mengubah jati diri aslinya. Sudah
selayaknya mereka mempunyai prinsip ‘hari esok lebih baik dari hari ini”.
Perasaan rendah diri dan rasa bergantung kepada orang lain masih membelenggu,
dan apabila hal tersebut dibiarkan kemungkinan dapat membunuh keyakinan,
kreativitas, dan motifasi mereka sendiri. Apabila masyarakat Melayu Labuhan
masih bersikap negatif dan pasif tanpa mempunyai rasa bersaing dan hanya
bertindak tidak lebih dari penonton serta masih meletakkan nasib diri pada orang
lain, maka tidak mustahil masyarakat Melayu Labuhan tetap berjalan di tempat
(terbelakang).
Sudah selayaknya sejarah dikaji kembali, karena sejarah bukan untuk
disalahkan tetapi sebagai pencetus reaksi dan penyaluran ke arah yanng lebih
baik. Konsep persaingan dalam hal ini bukanlah mengalahkan atau memusuhi
lawan, akan tetapi konsep memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri. Pada
dasarnya masyarakat Melayu Labuhan menyadari bahwa pada diri mereka
terdapat unsur positif dan progresif, tetapi karena kekurangan motivasi dan
kreatifitas menyebabkan unsur-unsur positif dan progresif tersebut tidak dapat
ditingkatkan. Misalnya nelayan dan petani Melayu Labuhan yang bekerja dari
subuh sampai senja hari, tetapi hasil yang diperolehnya sangat minim
diakibatkan kurangnya bimbingan dan pengetahuan yang lebih modern. Demikian
juga dengan sistem pendidikan, masyarakat Melayu Labuhan lebih bersifat
konsumtif dari pada mempunyai rasa cipta kepada sesuatu yang baru. Jadi
masyarakat Melayu umumnya dan masyarakat Melayu Labuhan khususnya, harus
mempunyai falsafah dan konsep hidup yang mempunyai identitas dan aktivitas
yang tinggi, menjadi pemimpin atau pemikir ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya dan pertahanan kemanan, serta menjadikan Islam sebagai aspeknya.
Masuknya agama Islam ke Sumatera Timur lebih mudah diterima
masyarakat Melayu Labuhan dari pada masyarakat Melayu yang berada di
Langkat, Serdang, dan Asahan. Hal ini disebabkan, karena masyarakat Melayu
67
Labuhan lebih kuat dalam mempertahankan tradisi nelayan daripada berdagang,
apalagi hal itu bersangkutan dengan pendidikan. Sehingga orang-orang Melayu
Labuhan lebih serinng berkomunikasi dengan padagang Gujarat, Persia, maupun
Arab.
Munculnya kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur membawa
pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat Melayu. Kerajaan-kerajaan Melayu,
seperti kerajaan Deli, Serdang, dan Asahan berpendapat bahwa seluruh tanah
yang ada di Sumatera Timur merupakan hak milik mereka. Dengan alasan inilah
yang menyebabkan ornag Melayu tidak mau jadi penggarap tanah, seperti pada
masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda
membuka perkebunan di wilayah Sumatera Timur, para imigran yang terdiri dari
orang Batak Toba, Karo, Mandailing maupun yang berasal dari Jawa merasa
tertuntut supaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan orang Melayu, hal
ini menyebabkan penduduk asli semakin terdesak . Untuk memperkuat kembali
persatuan antara sesama kebudayaan Melayu, kerajaan Serdang mengusulkan
dibentuknya suatu badan perwakilan yang disebut Tajuk Muluk yang berpusat di
Labuhan. Tetapi penduduk Melayu merasa tidak tertarik dengan badan
perwakilan yang dibentuk, dengan alasan bahwa badan tersebut hanya
menguntungkan Kerajaan Deli saja yang menjadi boneka Kolonial Belanda, dan
di samping itu mereka lebih tertarik dengan pekerjaan sebagai nelayan. Apabila
praktek yang dijalankan badan perwakilan berhubungan dengan pendidikan,
maka Melayu Labuhan lebih menyukai yang berhubungan dengan agama Islam
sehingga gedung yang dididikan di daerah Labuhan pada umumnya hanya
dijadikan sebagai tempat pengajian.
.C Tinjauan Pustaka
Dalam buku Tengku Luckman Sinar yang berjudul Jati Diri Melayu
dapat disimpulkan bahwa suku Melayu Labuhan sangat tergantung pada agama
Islam, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih pasrah dan yakin
rezeki itu akan datang sendiri. Selanjutnya Tengku Luckman Sinar dalam
bukunya Sinar Sejarah Serdang menyatakan bahwa keengganan masyarakt
Melayu Labuhan untuk merubah mata pencaharian mereka sebagai nelayan ke
mata pencaharian lain didasari atas pengaruh warisan nenek moyang mereka yang
secara turun-temurun hidup sebagai nelayan.
Selanjutnya, Mohammad Taib Usman dalam bukunya yang berjudul
Kebudayaan Melayu Dalam Beberapa Persoalan menyatakan bahwa suku bangsa
Melayu begitu kuat memegang kebiasaan lama dan suku bangsa Melayu adalah
suku bangsa penakluk dan mereka tersebar di seluruh Asia Tenggara. Pada saat
Islam masuk ke Indonesia, orang-orang Melayu lebih mudah terpengaruh
sehingga agama Islam sangat kental dalam kehidupan mereka. Akibatnya dalam
bekerja orang Melayu sangat ketinggalan karena mempunyai prinsip hidup yang
tradisional.
Tengku Lah Husny dalam buku Peradaban dan Budaya Penduduk
Melayu Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950 menguraikan bahwa kebudayaan
68
masyarakat Melayu memang sangat kental di seluruh Sumatera Timur. Para
imigran yang berdatangan dan menetap di Sumatera Timur harus menyesuaikan
budayanya dengan budaya masyarakat Melayu, sehingga tidak ada budaya Batak
Toba, budaya Karo, budaya Mandailing, budaya Simalungun, budaya Jawa,
budaya Minang dan sebagainya. Berarti kebudayaan masyarakat Melayu memang
sudah maju karena menjadi filter bagi budaya suku-suku bangsa lain yang
menetap di Sumatera Timur.
Dari keempat pendapat ahli tersebut dapat dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Melayu pada zaman dahulu merupakan suku bangsa penakluk di
Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya. Mereka mempunyai kebudayaan yang
sudah lama berkembang dan merupakan warisan nenek moyangnya, sehingga
seluruh suku bangsa yang menetap di Sumatera Timur harus mengakui bahwa
budaya Melayu merupakan budaya mereka juga. Sehingga belum dapat dikatakan
bahwa pada zaman era globallisasi ini, masyarakat Melayu jauh ketinggalan.
.D Tujuan dan Manfaat Penelitian
.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat Melayu Labuhan untuk
mengetahui bagaimana budaya masyarakat Melayu Labuhan dalam menyongsong
era globalisasi. Sehingga dapat diungkapkan apakah memang benar orang-orang
Melayu Labuhan masih ketinggalan karena terpengaruh budaya dan agama Islam
yang kental.
.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi tujuan-tujuan praktis terutama dalam hal
program perencanaan pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia
yang sangat diperlukan dalam pembangunan. Selain itu penelitian ini juga
berfungsi sebagai suatu sumbangan pikiran dalam meningkatkan pengenalan dan
pemahaman pada budaya masyarakat Melayu Labuhan.
.E Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan
Labuhan, Kotamadia Daerah Tingkat II Medan. Lokasi ini dipilih berdasarkan
pertimbangan bahwa :
1. Letak kelurahan tersebut berada di Kotamadia Dati II Medan dengan
komposisi suku bangsa Melayu dan budaya Melayu yang melekat dalam
kehidupan masyarakatnya.
2. Lokasi penelitian nantinya merupakan Kawasan Industri Medan (KIM).
3. Dalam unit analisis komposisi jumlah informan diperkirakan seimbang antara
pegawai negeri dan swasta.
69
.F Metodelogi Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul Budaya Kerja Masyarakat Melayu
Dalam Menghadapi Era Globalisasi di Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan
Medan Labuhan, digunakan metode historis yaitu heuristik, kritik, interpretasi,
dan historigrafi (penulisan).
Berkaitan dengan hal tersebut M.H. Gilbert J. Garraghan menyatakan
bahwa “metode sejarah adalah seperangkat aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang
sistematik untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, mulai
secara kritis dan menyajikan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk
tertulis”.
Adapun tahapan pertama dalam heuistik yang merupakan pengumpulan
dan himpunan sumber informasi /bukti sejarah yang harus diolah. Sumber ini
didapati dari dokumen mengunjungi situs sejarah, mewawancarai saksi sejarah,
menggunakan metode studi pustaka dan lain-lain. Di dalam penelitian ini
digunakan metode studi pustaka atau library research sebagai pengumpulan
sumber sejarah. Sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah dari buku-buku, dan karya tulis lain yang berhubungan dengan budaya
kerja masyarakat Melayu Labuhan dalam menghadapi era globalisasi. Jadi di sini
sumber sekunder, yaitu sumber yang diperoleh secara tidak langsung dari
kejadian yang dipermasalahkan. Sumber-sumber ini diperoleh dari Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, Pusat Kajian
Malaysia, Pusat Kajian Brunai dan beberapa perpustkaan lain. Setelah sumber
terkumpul, baru diadakan seleksi sesuai dengan kebutuhan obyek penelitian.
Kemudian data yang telah didapat dikenakan kritik, baik ekstern maupun intern.
Kritik ekstern yaitu penelitian bahan yang dipakai, jenis tulisan, gaya bahasa dan
sebagainya, sedangkan dalam kritik intern yang dipermasalahkan adalah
mengenai keabsahan isi dari bahan-bahan sejarah tersebut. Langkah selanjutnya
adalah memberikan interpretasi terhadap data sehingga mempunyai makna dan
akhir sekali adalah pengungkapan secara lengkap dalam bentuk tulisan
(historiografi).
Untuk mendukunng penulisan sejarah, mutlak diperlukan dokumen
sejarah sebagai pembuktian sejarah. Kelangkaan bahan sumber serta minimnya
bahan kepustakaan sering menyebabkan penulisan dianggap lemah. Dengan
demikian diharapkan agar penggunaan metode dengan pendekatan ini, data yanng
terkumpul akan lebih terarah dan teratur sehingga mudah dilakukan
penganalisaan. Denngan metode penilitian ini, diharapkan pada waktu turun ke
lapangan akan lebih mudah untuk menjawab setiap permasalahan-permasalahan
serta memahami budaya kerja masyarakat Melayu Labuhan, secara ilmiah dan
diakui keabsahannya.
70
IDENTIFIKASI DAERAH PENELITIAN
.A Letak Geografis
Kelurahan Rengas Pulau merupakan salah satu kelurahan yang berada di
wilayah Kecamatan Medan Labuhan Kotamadia Medan, Provinsi Sumatera
Utara. Wilayah kelurahan Rengas Pulau berada di sekitar daerah industri MedanBelawan. Jarak kelurahan tersebut dengan ibukota kecamatan, yaitu Simpang
Kantor kurang lebih 5 Km, dan dengan Kotamadia Medan kurang lebih 12 Km
dan dengan Ibukota Belawan kurang lebih 13 Km.
Seperti di kelurahan lainnya, kelurahan Rengas Pulau memiliki iklim
sedang. Musim hujan biasanya berlangsung antara bulan Agustus sampai dengan
bulan Januari, dan musim kemarau antara bulan Februari sampai dengan bulan
Juli. Pergantian musim tersebut sebagai hukum alam secara tradisional diikuti
oleh masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya terutama dalam
bidang pertanian.
Secara administratif pemerintahan, Kelurahan Rengas Pulau mempunyai
batas-batas wilayah dengan kelurahan-kelurahan tetangga maupun dengan
kecamatan tetangga. Batas-batas kelurahan ini adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Pulo Sicanang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanah Enam Ratus
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Terjun
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Labuhan Deli.
Kelurahan Rengas Pulau dapat ditempuh dengan segala jenis kendaraan
darat, sehingga arus keluar masuk dari kota ke kelurahan ini menjadi lancar dan
tidak terbatas. Seperti dari Pulo Brayan Kota melalui areal PTP IX Helvetia dan
dari jalan Medan-Belawan melalui Titi Papan dan Simpang Kantor.
Kelurahan Rengas Pulau merupakan daerah dataran rendah dan sebagian
besar terdiri atas tanah vulkanik sedang. Di Kelurahan Rengas Pulau terdapat 2
(dua) buah sungai, yaitu Sungai Pinang dan Sungai Kuruk. Kedua sungai ini
adalah anak Sungai Deli yang besar manfaatnya bagi penduduk, karena berfungsi
sebagai sumber pengairan bagi lahan-lahan pertanian penduduk yang berada di
belahan Utara kelurahan ini. Di samping Sungai Deli sebagai pembatas wilayah
juga terdapat Sungai Terjun yang membatasi wilayah Kelurahan Rengas Pulau
dengan Kelurahan Terjun. Begitu pula halnya dengan sumber pengairan sawah
penduduk, selain bersumber dari kedua anak Sungai Deli tersebut juga terdapat
lima (5) buah paluh. Kelima paluh tersebut adalah Paluh Belatjang, Paluh Dua
Selundjur, Paluh Gayor, Paluh Djafar, dan Paluh Hantu.1
1
71
Hasan, Petani, Wawancara 28 Mei 1998, di Kelurahan Rengas Pulau.
Luas wilayah Kelurahan Rengas Pulau seluruhnya kurang lebih 2.550
ha, yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, areal pekuburan dan lainlain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1
Tata Guna Tanah di Kelurahan Rengas Pulau
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6
7
8
9
10
Tata Guna Tanah
Luas Tanah (Ha)
%
Perkebunan Rakyat
1.550
60,78
Ladang/Tegalan
120
4,71
Sawah Tadah Hujan
330
12,94
Sawah Pasang Surut
335
13,14
Perumahan dan Pekarangan
96
3,76
Kuburan
3
0,12
Lapangan Olah Raga
2
0,08
Sarana Jalan Lorong
62
2,43
Sungai/Parit
39
1,53
Rawa-Rawa
13
0,51
Jumlah
2.550
100
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Apabila dilihat Tabel 1, maka terlihat bahwa fungsi tanah yang paling
luas adalah untuk areal pertanian, yaitu perkebunan rakyat, ladang tegalan, sawah
tadah hujan dan sawah pasang surut, keseluruhannya mencapai 2.35 ha atau
91,57%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penduduk Kelurahan Rengas
Pulau sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani.
Penggunaan tanah pertanian oleh penduduk kelurahan ini yang
kebanyakan dengan usaha perkebunan rakyat dan ladang tegalan seperti terlihat
pada tabel 1, tidak jauh berbeda dengan profil desa yang terdapat di daerahdaerah sekitar perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatera Utara. Pengusahaan
areal tanah seperti perkebunan rakyat dan ladang tegalan berada di daerah
pedalaman wilayah Kelurahan Rengas Pulau yaitu di belahan ujung Selatan,
bagian Barat dan Timur yang dahulunya merupakan areal perkebunan Maryland
yang oleh penduduk setempat lebih populer dengan sebutan Marelan. 2 Areal
persawahan penduduk di belahan Utara merupakan sawah di daerah sekitar aliran
sungai dan paluh, sedangkan areal persawahan yang berada di belahan Timur
merupakan sawah yang pengelolaannya tergantung kepada curah hujan atau
sawah tadah hujan.
Di sepanjang belahan ujung Utara sampai di belahan ujung Timur
wilayahnya terdapat rawa-rawa yang luasnya mencapai 13 ha atau 0,5 %. Daerah
rawa-rawa ini terletak di sekitar daerah pinggiran Sungai terjun.
2
Tamrin Surya, Warga Kelurahan, Wawancara, 19 Mei 1998, di Kelurahan
Rengas Pulau.
72
.B Keadaan Demografi
Penduduk adalah merupakan motor penggerak pembangunan suatu
daerah yang menentukan cepat lambatnya gerak kehidupan yang berlangsung di
dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ditinjau dari jumlah penduduk dan
kualitasnya, maka akan tampak bidang apa yang akan mendominasi
perkembangan daerah tersebut. Potensi ini biasanya berbeda pada setiap daerah
atau suatu wilayah dan mungkin dapat menjadi penentu ciri khas daerah-daerah
yang bersangkutan.
Jumlah penduduk Kelurahan Rengas Pulau adalah 20.290 jiwa yang
terdiri atas 4.610 KK. Jika dibandingkan dengan luas wilayah kelurahan ini yaitu
sekitar 2.550 ha, maka tingkat kepadatan penduduknya mencapai 8 jiwa/ha.
Keseluruhan penduduk Kelurahan Rengas Pulau bertempat tinggal dalam 45
wilayah lingkungan yang terbagi-bagi pula dalam 81 RT dan 8 RW. Untuk lebih
jelasnya tentang komposisi penduduk menurut umur dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 2
Komposisi Penduduk Kelurahan Rengas Pulau Menurut Kelompok Umur
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kelompok Umur
Laki-Laki
Perempuan
0-5
1.200
1.279
6-16
1.850
1.890
13-24
2.413
2.493
25-55
2.724
2.990
56- Ke atas
1.700
1.751
Jumlah
9.887
10.403
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Jumlah
2.479
3.740
4.906
5.714
3.451
20.290
%
12,22
18,43
24,18
28,16
17,01
100
Tabel di atas menunjukkan perbandingan antara jenis kelamin laki-laki
dan perempuan yang seimbang. Di samping itu apabila dilihat dari jumlah
penduduk yang produktif, maka berdasarkan tabel 2 terlihat dengan jelas di
Kelurahan Rengas Pulau terdapat tenaga kerja produktif yang relatif tinggi yaitu
5.714 jiwa atau 28,16 %.
Penduduk Kelurahan Rengas Pulau mayoritasnya dalah suku bangsa
Jawa. Suku bangsa jawa ini sebagian besar bertempat tinggal di lingkunganlingkungan yang dahulunya bekas areal perkebunan Maryland. Akan tetapi,
walaupun mayoritas penduduk Kelurahan Rengas Pulau suku bangsa jawa,
namun penduduk aslinya adalah suku bangsa Melayu. masyarakat suku bangsa
Melayu ini kebanyakan bertempat tinggal di pinggiran Sungai Deli.
Selain kedua suku bangsa tersebut masih terdapat suku-suku bangsa
lainnya seperti Minang, Batak (Toba, karo, Mandailing), yang mendiami
Kelurahan Rengas Pulau. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini :
73
T abel 3
Komposisi Penduduk Kelurahan Rengas Pulau
Menurut Kelompok Suku Bangsa
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kelompok Suku Bangsa
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Melayu
2.741
3.054
5.795
Jawa
6.204
6.214
12.418
Minang
87
92
179
Batak Mandailing
64
79
143
Batak Toba
32
43
75
Batak Karo
16
17
33
Jumlah
9.144
9.499
18.643
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Meskipun sebagian besar penduduk Kelurahan Rengas Pulau dalam
bertempat tinggal dapat dikatakan secara terkonsentrasi sesama mereka, akan
tetapi antara suku bangsa-suku bangsa tersebut dalam kesehariannya sudah
berbaur. Demikian pula halnya antara penduduk suku bangsa Melayu dengan
suku bangsa Jawa. Akibat sudah membaurnya kedua suku bangsa ii melalui
perkawinan, maka sulit membedakan di antara mereka mana yang asli dan mana
yang keturunan. Ikatan perkawinan tersebut oleh suku bangsa Melayu kemudian
mengistilahkannya dengan adat serebok monggi atau hubungan kaitan keluarga. 3
Berdasarkan itu warga masyarakat suku bangsa Melayu tidak merasa terdesak
akibat dari mayoritasnya suku bangsa Jawa di Kelurahan Rengas Pulau, begitu
juga dengan masyarakat suku bangsa lainnya.
Di Kelurahan Rengas Pulau selain suku bangsa-suku bangsa seperti
tersebut di atas juga terdapat warga keturunan asing dan warga asing yang tinggal
menetap. Pada tabel berikut ini dapat dilihat komposisi penduduk menurut
kewarganegaraan :
Tabel 4
Komposisi Penduduk Menurut Kewarganegaraan
No.
1.
2.
3.
Warganegara
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
%
WNI Pribumi
9.144
9.499
18.643
91,88
WNI Keturunan
774
798
1.572
7,75
Warganegara Asing
39
36
75
0,37
Jumlah
9.957
10.343
20.290
100
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Penduduk keturunan asing di Kelurahan Rengas Pulau berasal atau
pindahan dari daerah lain akibat dari perkembangan kelurahan ini. Mereka terdiri
dari orang Cina dan India. Keturunan Cina merupakan warga yang menonjol di
antara warga keturunan asing lainnya maupun dari keseluruhan penduduk
3
Abdullah. Tokoh Adat, Wawancara 23 Februari 1998, di Kelurahan Rengas
Pulau.
74
Kelurahan Pulau Rengas. Hal ini dikarenakan kemampuan orang Cina lebih
tinggi dalam kehidupan ekonominya. Orang Cina umumnya hidup dengan
beternak ayam untuk dipasarkan, membuka usaha panglong, serta berdagang
dengan membuka rumah toko dan bidang usaha jasa lainnya.
Walaupun orang-orang Cina sukses atau lebih tinggi tingkat kemampuan
ekonominya, namun mereka tetap hidup bermasyarakat dengan warga lainnya.
Hal inilah yang menyebabkan jarangnya muncul kecemburuan sosial maupun
sentimen warga lainnya terhadap mereka. Begitu pula halnya dengan penduduk
lainnya, jarang ditemukan permasalahan yang menimbulkan ancaman pada
keamanan dan ketertiban di Kelurahan Rengas Pulau yang berasal dari rasa
sentimen atau tepatnya pada permasalahan suku, agama, ras dan antar golongan.
Dari segi kepercayaan, mayoritas penduduk Kelurahan Rengas Pulau
menganut agama Islam. Penganut agama Islam yang mayoritas ini dimaklumi
karena penduduk pribuminya sebahagian besar suku bangsa Melayu dan Jawa. Di
antara kedua suku bangsa tersebut, yang lebih menonjol tingkat pemahaman
agama Islam adalah suku bangsa Melayu. Komposisi penduduk Kelurahan
Rengas Pulau menurut pemeluk agama lebih jelasnya terlihat pada Tabel di
bawah ini
Tabel 5
Komposisi Penduduk Menurut Agama
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Agama
Laki-Laki
Perempuan
Islam
8.926
9.007
Katholik
34
32
Protestan
40
44
Hindu
18
15
Budha
1.082
1.092
Jumlah
10.193
10.193
Sumber : Kantor Kelurahan Rengas Pulau, 1997.
Jumlah
11.933
66
84
33
2.174
20.290
%
88,38
0,33
0,41
0,16
10,72
100
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa pemeluk agama Budha lebih banyak
apabila dibandingkan dengan pemeluk agama Katholik, Protestan dan Hindu.
Namun demikian, hal tersebut tidak menimbulkan SARA dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikarenakan terciptanya sikap saling menghargai dan hormat
menghormati dalam kehidupan beragama di Kelurahan Rengas Pulau.
.C Latar Belakang Historis
Berdasarkan laporan resmi yang dikeluarkan oleh Kepala Kelurahan Rengas
Pulau disebutkan bahwa wilayah kelurahan ini merupakan areal bekas tanah
perkebunan Maryland. Nama Kelurahan Rengas Pulau sejak terbentuknya berasal
75
dari kata pohan rengas. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak
Firmansyah (59 tahun) seorang informan;
“Kelurahan Rengas Pulau namanya menurut cerita orang-orang tuaa dahulu ada
satu jenis pohon kayu yang namanya pohon rengas yang tumbuh di tengah-tengah
Sungai Deli sebanyak sepuluh pohon yang membentuk sebuah pulau. Pulau itu
kemudian menjadi sebuah perkampungan yang disebut Pulau Rengas Sepuluh.
Kemudian dalam perkembangannya terjadi penyederhanaan istilah, namanya
berubah menjadi Pulau Rengas”.
Berdasarkan studi pustaka maupun hasil wawancara tidak diperoleh
keterangan yang pasti tentang siapa yang pertama sekali membuka wilayah
Kelurahan Rengas Pulau. Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan dibukanya
Kelurahan Rengas Pulau, akan tetapi berdasarkan data-data keterangan melalui
hasil wawancara sudah ada perkampungan orang Melayu , sebelum dibukanya
areal perkebunan Maryland. namun sejauh ini tidak diperoleh keterangan yang
pasti kapan dimulai dibukanya perkebunan Maryland tersebut.
Menurut penjelasan yang diperoleh bahwa status dari Kelurahan Rengas
Pulau mengalami tiga kali perubahan. Pertama sekali statusnya adalah sebagai
Kepenghuluan Rengas Pulau, kemudian berubah menajdi Kampung Rengas
Pulau, berubah lagi menjadi Desa Rengas Pulau, dan yang terakhir statusnya
adalah Kelurahan Rengas Pulau hingga sekarang ini. Sejak kapan menjadi status
Kepenghuluan tidak diperoleh keterangan secara pasti. Perubahan status dari
kepenghuluan menajdi kampung yaitu pada tahun 1957. Kemudian perubahan
status dari kampung menajdi desa yaitu pada tahun 1965. Peralihan dari desa
menjadi Kelurahan Rengas Pulau yaitu pada tanggal 23 April 1973, tetapi baru
terlaksana secara operasional pada tanggal 18 Pebruari 1974.
Adapun jabatan kepala penghulu yang pertama dipegang
oleh
Mohammad Noh, sejak tahun 1929 sampai tahun 1936. Dengan demikian berarti
kelurahan ini sudah berstatus sebagai desa sejak tahun 1929 yakni dilihat secara
administratif, meskipun diketahui bahwa tentu sebelum tahun 1929 itu sendiri
desa ini telah dihuni oleh manusia. Pada masa kekuasaan Mohammad Noh,
penduduknya sudah terdiri dari berbagai suku bangsa, di antaranya suku bangsa
Melayu yang bertempat tinggal terutama sekali di lingkungan : 1, 2, 3, 4, 5, 37,
39, 40 dan 41 yaitu wilayah yang berada di sekitar daerah pinggiran Sungai Deli.
Masyarakat suku bangsa Jawa dan yanng lainnya kebanyakan tinggal di daerah
perkebunan Marelan. Mohammad Noh kemudian digantikan oleh O.K. Ebol, dari
tahun 1936 sampai tahun 1942. Kemudian E.K. Ebol digantikan oleh anaknya
yang bernama Anwar, yang menjabat kepala kepengnhuluan sejak tahun 1942
sampai dengan tahun 1945.
Periode tahun 1945 hingga tahun 1952, jabatan kepala kepenghuluan
Rengas dijabat oleh Ahmad Win Geni. Selama periode itu keadaan kepenghuluan
tersebut terasa sangat kurang sekali. Hal itu disebabkan oleh karena situasi
perkembangan wilayah kekuasaan dan perang kemerdekaan, sehingga keadaan
dan stabilitas keamaan serba tidak menentu. Perkembangan wilayah kekuasaan
kepenghuluan merupakan akibat dari pertumbuhan perkampungan tempat tinggal
76
dan menetapnya bekas kuli kontrak yang meluas dan bergabung, sehingga
kemudian menjadi bagian dari wilayah kepenghuluan Rengas Pulau.
Perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1952 sekitar areal perkebunan Marelan
tidak mencerminkan lagi seperti suasana kehidupan perkebunan masa penjajahan
kolonial Belanda. Setelah keadaan menjadi stabil kembali dari berakhirnya
suasana perang kemerdekaan, maka pelaksanaan administrasi pemerintahan
berjalan kembali. Kekuasaan administrasi pemerintahan sudah beralih, yaitu
dipegang oleh H. Usman Ali, selama lebih kurang 32 tahun yaitu sejak tanggal 1
Agustus 1952 sampai 17 Juli 1984. Selama periode ini keadaan wilayah
kekuasaannya banyak mengalami perubahan suasana baik pertumbuhan maupun
perkembangannya.
Usman Ali memegang jabatan kekuasaan administrasi pemerintahan,
telah mengalami tiga kali perubahan istilah jabatan yang dipegangnya. Perubahan
sebutan istilah jabatan itu merupakan pencerminan dari perubahan status wilayah
kekuasaannya. Perubahan sebutan jabatan pertama sekali terjadi pada tanggal 20
Juli 1957 dari sebutan kepala penghulu menjadi kepala kampung. Sejak tanggal
23 April 1965 berubah menjadi sebutan kepala desa hingga pada tanggal 1 Januari
1981, kemudian sejak itu sampai tanggal 17 juli 1984 memegang jabatan sebagai
lurah.
Selain permasalahan istilah sebutan jabatan, pemegang kekuasaan
administrasi, masa kekuasaan H. Usman Ali mengalami dua peristiwa yang
sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dari perkembangan wilayah
kekuasaannya.
Peristiwa pertama yaitu peralihan dari pemerintahan Orde Lama kepada
pemerintahan Orde Baru yang merupakan rentetan akibat terjadinya
pengkhianatan G.30.S/PKI. Peristiwa kedua adalah peralihan kekuasaan
administrasi pemerintahan Daerah Tingkat II, yaitu dari kekuasaan administrasi
Pemerintahan daerah Tingkat II Kabupaten deli Serdang menjadi di bawah
kekukasaan administrasi Pemerintahan Kotamadia Medan. Peralihan kekuasaan
administrasi Pemerintahan Tingkat II tersebut berdasarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri mengenai perencanaan perluasan wilayah Kotamadia Medan.
Akibat dari peralihan kekuasaan administrasi tersebut, maka terjadi perubahan
statsu dari desa menjadi kelurahan. Dengan demikian status Desa Rengas Pulau
yang sebelumnya berada di wilayah Kecamatan Labuhan Deli menjadi
Kelurahan Rengas Pulau yang berada di wilayah Kecamatan Medan Labuhan.
Namun demikian, peralihan status tersebut secara operasionalnya baru dimulai
pada tanggal 28 Pebruari 1974, sedangkan perubahan struktur dan sistem kerja
pemerintahannya dimulai pada tanggal 1 Januari 1981 berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No.5 tahun 1979 tentang peemerintahan desa.
Setelah periode H. Usman Ali, jabatan selanjutnya beralih kepada Arifin
Hasibuan. Jabatan sebagai Kepala Kelurahan Rengas Pulau dipegangnya selama
kurang lebih 9 bulan, yaitu sejak 17 Juli 1984 sampai 23 April 1985. Kemudian
jabatan tersebut berpindah kepada Rubais, yaitu sejak 23 April 1985 sampai
dengan sekarang. Pada masa pemerintahan Bapak Rubais ini krisis di desa
77
Rengas Pulau dapat teratasi serta memberikan gambaran keadaan perkembangan
pembangunan masyarakat desa dalam upaya membenahi kehidupan desa.
Keadaan itu tercermin dari telah berhasilnya desa Rengas Pulau menjadi salah
satu desa Swakarya. Keberhasilan yang telah dicapai oleh desa Rengas Pulau
tidak terlepas dari dukungan dan dedikasi masyarakat dan aparat pemerintahan
desa yang berfungsi dengan baik.
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT MELAYU
.A Struktur Kemasyarakatan Suku Bangsa Melayu
Masyarakat Melayu di Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan
Labuhan, memandang hubungan sesama manusia sebagai sesuatu yang amat
mulia. Gambaran masyarakat Melayu adalah mempunyai sifat sedrhana,
merendah, namun mereka tidak menyenangi orang lain merendahkannya. Seperti
kata pantun Melayu :
“Kalau tak dapat rumput dihela
Eloklah pandan jadi mengkuang
Kalau tak dapat menuntut bela
Eloklah badan mati terbuang.”
Mereka terlihat berperangai sangat lemah lembut, tidak suka bertindak berlebihlebihan dan senang dalam suasana hidup yang tenang. Mereka jarang mau
menonjolkan diri untuk sesuatu keahliannya. Santun dalam pergaulan dan lemah
lembut dalam tutur bahasanya. Mereka tidak senang apabila orang lain
menyakitinya, dan akan dibalasnya walaupun dengan cara halus dan menunggu
waktu lama. Mereka setia dalam berteman, dapat dipercaya dan menerima uluran
tangan oranng lain serta ingin membalas kebaikan yang diberikan kepadanya.
Sifat-sifat seperti ini juga dijumpai pada masyarakat Melayu yang ada di
Kelurahan Rengas Pulau, Medan Labuhan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, suku bangsa Melayu yang ada di
Kelurahan Rengas Pulau, Medan Labuhan, tidak pernah membedakan manusia
78
berdasarkan stratifikasi sosial. Walaupun secara harfiah mereka mengakui adanya
gelar atau yang dalam istilah Kolonial Belanda disebut dengan title, yaitu sebutan
untuk menyebutkan atau menunjukkan martabat
seseorang di dalam
golongannya.
“Berdasarkan pelajaran sosial masyarakat Melayu di Pesisir Sumatera
Timur, terbagi dalam dua golongan. Golongan bangsawan dan golongan
rakyat (orang kebanyakan), untuk membedakan seorang turunan
bangsawan dengan rakyat biasa, diketahui berdasarkan gelar yang dimiliki
seseorang di depan namanya. Pada masyarakat kebanyakan tidak terdapat
gelar tersebut, sehingga semua golongan ini sama rata. Akan tetapi pada
golongan bangsawan masih terdapat tingkatan gelar tersebut, di mana
setiap gelar menonjolkan martabat seseorang di mana statusnya. 4
Gelar bangsawan yang banyak dimiliki oleh suku bangsa melayu yang
ada di Kelurahan Rengas Pulau, Medan Labuhan adalah tengku, wan dan orang
kaya (OK). Gelar tengku adalah gelar yang diberikan bagi keturunan Sultan atau
kerabatnya atau bagi keturunan dari kakek mereka yang dahulunya memiliki
daerah kekuasaan tersendiri. Gelar wan disrtikan seorang anak wanita keturunan
tengku kawin dengan anak laki-laki dari bangsawan lain. Sedangkan gelar orang
kaya (OK) berasal dari gelar yang diberikan Sultan karena jasa-jasa seseorang
terhadap kerajaan atau kepada sultan. Kemudian sultan memberikan kekuasaan di
daerah berupa tanah dan gelar, maka keturunan mereka diberi gelar orang kaya.
Ada yang berpendapat bahwa gelar orang kaya hanya sebagai penghormatan atau
sopan santun dalam masyaraka karena status ekonomi yang dimilikinya. 5
.1 Pola Kekeluargaan Suku Bangsa Melayu
Dalam masyarakat Melayu, pola kekeluargaan didasarkan kepada garis
keturunan seseorang dan mereka memegang teguh pola kekeluargaan tersebut.
Sistem kekrabatan masyarakat Melayu adalah sistem bilateral, di mana garis
keturunan tidak mengenal perbedaan dalam derajat seorang laki-laki dan
perempuan. Kedudukan ayah dan ibu di dalam keluarga adalah sama, demikian
juga dengan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan.
Ada kecenderungan pada masyarakat Melayu bahwa dalam kehidupan
berkeluarga, semua anggota keluarga mempunyai peran masing-masing. Seorang
ayah melakukan tugas dan tanggung jawabnya terhadap anggota keluarganya
sebagai kepala keluarga. Sedangkan seorang ibu di samping mengurus rumah
tangga juga mengajari anak-anaknya bersikap sopan santun dan mengajarkan
kerajinan tangan yang dapat menambah pendapatan ekonomi keluarga.
Masyarakat Melayu dalam lingkaran hidup mereka sehari-hari sebagai
suatu kesatuan warga masyarakat sangat memegang teguh ajaran-ajaran Islam.
4
T.H.M. Lah Husni, Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu
Pesisir Sumatera Timur 1632-1950, Medan : B.P Husni, 1975, hal.23
5
Tengku Machmud. Tokoh Masyarakat, Wawancara tanggal 6 Juni 1998, di
Kelurahan Rengas Pulau.
79
Budaya kerja dalam setiap keluarga sudah menajdi suatu keharusan atau
kewajiban bagi setiap anggota keluarga. Bukti konkrit perihal budaya kerja, bagi
seorang ayah dan ibu terlihat dengan jelas sesuai dengan profesinya, yang
sedapat mungkin bekerja secara giat dalam mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Secara khusus mencari nafkah adalah tugas lakilaki atau sang ayah sebagai kepala keluarga. Namun demikian tidak berarti bahwa
perempuan atau seorang ibu tidak turut serta mencari nafkah. Khusus bagi anakanak dalam keluarga dikaitkan dengan budaya kerja, hal semacam ini juga
terlihat dalam pola kekeluargaan masyarakat Melayu tersebut. Anggota keluarga
terlihat jelas saling bantu membantu antara anak dan orang tua dalam kegiatan
rutin yang ada di dalam rumah.
Dalam masyarakat Melayu Labuhan yang sebagian besar hidup dengan
mata pencaharian sebagai petani dan nelayan, budaya kerja yang tertanam adalah
saling tolong menolong dan gotong royong yang mereka sebut dengan seraya.
Pada dasarnya kegiatan tolong menolong itu tidak saja terbatas pada bidang
pertanain, tetapi juga mencakup dalam segala aspek kehidupan keseharian mereka
(aspek kehidupan yang mengutamakan solidaritas, kemufakatan, dan gotong
royong). Hal ini tercermin dalam peribahasa Melayu berikut ini:
“Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Kebukit sama mendaki, ke lurah sama menurun.
Hati Tungau sama dicecah, hati gajah sama dilapah.
Hidup jelang menjelang, sakit jenguk menjenguk.
Lapang sama berlegar, sempit sama berhimpit.
Kuat lidi karena diikat, kuat hati karena mufakat.
Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.
Kalau lebih beri memberi, kalau kurang isi mengisi.”
Selanjutnya:
“Kalau berjalan beriringan
Yang dahulu jangan menunjang
Yang tengah jangan membelok
Yang di belakang jangan menumit
Yang lupa diingatkan
Yang bengkok diluruskan
Yang tidur dijagakan
Yang salah ditegur-menegur
Yang rendah angkat-mengangkat
Yang tinggi junjung-menjunjung
Yang tua memberi wasiat
yang alim memberi amanat
Yang berani memberi kuat
Yang kuasa memberi daulat”.6
6
H. Muchtar Lutfi. Nilai-nilai Edukatif Budaya Melayu dan Peranannya
Terhadap Pembinaan Kualitas Manusia,” Makalah Seminar Budaya Melayu VI”. Medan :
80
Berdasarkan peribahasa tadi jelas tergambar bahwa pola kekeluargaan masyarakat
Melayu sangat mengutamakan kerja sama yang ahrmonis.
Masyarakat Melayu Labuhan dalam pergaulan sehari-hari sangat
menghormati orang lain dan berusaha untuk menghindari konflik. Mereka
menghormati seseorang bukan hanya karena pangkat, jabatan, serta kekayaan.
Konsekuensinya karena mereka mempunyai rasa keprihatinan pengetahuan dan
keahlian yang dimiliki seorang individu tersebut. Masyarakat Melayyu juga
sangat menghormati orang yang lebih tua atau orang-orang yang dituakan.
Keadaan seperti ini terlihat dari sikap yang selalu mendahulukan orang-orang tua
dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan mereka
yang sudah membudaya, yaitu masyarakat Melayu mengutamakan sekali budi
dan bahasa yang menunjukkan sopan santun dan tingginya peradaban Melayu.
Seperti yang sering diucapkan oleh orang melayu berikut ini :
“Usul menunjukkan asal, bahasa menunjukkan bangsa.”
“Taat pada petuah, setia pada sumpah, mati pada janji, melarat pada budi.”
“Biar orang bertanam buluh ,kita bertanam padi
Biar orang bertanam musuh, kita bertanam budi.”
“Kalau kita bertanam padi, senanglah makan adik beradik
Kalau kita bertanam budi, orang yang jahat menjadi baik.”
“Baik-baik makan keladi, keladi itu ada mianngnya
Baik-baik termakan budi, budi itu ada utangnya.”
“Kalau keladi sudah ditanam, janganlah lagi meminta talas
Kalau budi sudah ditanam, jangan lagi meminta balas.”
“Kalau makan keladi munyang, jangan lupa pada bungkalnya
Kalau termakan ke budi orang, jangan lupa pada asalnya.”
“Janganlah suka mencabut padi, kalau dicabut hilang buahnya
Jangan suka menyebut budi, kalau disebut hilang tuahnya.”
“Apalah tanda batang padi, tumbuh di ladang lebat buahnya
Apalah tanda orang berbudi, Elok dipandang baik bahasanya.”
“Mati kayu karena benalu, patahnya layu dahannya mati
Mati Melayu karena malu, kalah Melayu karena termakan budi.”
“Biar orang mencabut cendawan, kita cabut pada akan mati
Biar orang berebut hartawan, kita berebut budi pekerti.”
Pekan Budaya Melayu, 1992.hal. 4.
81
“Apalah tanda batang keladi, batang keladi di tanah isinya
Apalah tanda orang berbudi, orang berbudi rendah hatinya.”
“Hidup dalam pekerti, mati dalam budi.”
“Tahu budi ada hutangnya, Tahu hidup ada bebannya.”7
Masyarakat Melayu juga sangat menghargai serta menghormati orang
lain yang mempunyai kepandaian atau keahlian dalam kehidupan. Seorang tukang
akan dihormati dan diteladani jika profesi tersebut benar-benar merupakan
keahliannya. Sebaliknya orang yang bersikap malas atau bekerja serabutan dan
asal jadi akan sangat tidak dihargai. Dalam ungkapan masyarakat Melayu hal
semacam ini diungkapkan dalam pepatah berat tulang ringanlah perut, yang
artinya bahwa orang yang malas bekerja hidupnya akan melarat. Sebaliknya
ringan ringan tulang beratlah perut , yang artinya siapa yang tekun bekerja dan
giat maka hidupnya akan tenang dan berkecukupan.
.2 Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Melayu
Orang Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam
pembauran ikatan perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resan
(aturan-aturan adat yanng menjadi kebiasaa) dan bahasa Melayu secara sadar dan
berkelanjutan.8
Penduduk Melayu Sumatera Timur merupakan percampuran dari
berbagai suku bangsa. Ketika pada abad ke-13 Kerajaan Haru masih berdiri,
terjadi proses peng-Islaman ke daerah-daerah pedalaman yaitu Karo, Simalungun,
Padang Lawas, sehingga sering disebut memeluk agama Islam sama dengan
masuk Melayu. Pada umumnya amsyarakat Melayu bermata pencaharian sebagai
nelayan, tetapi ada juga yang bermata pencaharian lain seperti berburu,
berladang, beternak, dan bermacam-macam kerajinan tangan.
Setiap pendukung kebudayaan Melayu walau berada di mana pun, selalu
memakai adat resan. Adat resan ini tercermin di dalam setiap gerak kehidupan
orang Melayu. Secara umum masyarakat Melayu mempunyai falsafah di dalam
hidupnya berlandaskan lima dasar, yaitu ;
1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis serta
bermusyawarah.
2. Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari,
pakaian, tersusun dalam tingkah laku dan lain-lain.
3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional alam Bhineka Tunggal Ika dengan
tepung tawar, balai, pulut kuning dan sebagainya yang mengikat tua dan muda.
7
T.Luckman Sinar. Jati Diri Melayu, Medan : Lembaga Pembinaan dan
Pengembangan Seni Budaya Melayu, 1994, hal. 26-27.
8
T.H.M. Lah Husni, op.cit., hal.100.
82
4. Melayu itu berjurai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib,
mengutamakan ketentraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan
harga-menghargai secara timbal-balik.
5. Melayu itu berilmu yang artinya pribadi itu diarahkan kepada ilmu
pengetahuan dan ilmu kebathinan.9
Masyarakat Melayu pada umumnya menganut agama Islam, sehingga
sering disebut masuk Islam berarti masuk Melayu. Faktor keturunan sering
merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat. Pada
hampir semua masyarakat dikenal adanya upacara-upacara pada masa krisis
dalam tingkah hidup seseorang. Demikian juga halnya dengan masyarakat
Melayu, dikenal upacara-upacara pada masa kehamilan, masa kelahiran, upacara
khitanan, perkawinan dan kematian.
Sistem kekerabatan masyarakat Melayu menganut garis keturunan yang
berdasarkan patrilineal. Keluarga batih merupakan kelompok sosial yang terkecil
dan berdiri sendiri. Dikenal juga keluarga luas yang uxorilokal yaitu suatu
keluarga batih senior ditambah dengan keluarga-keluarga anak-anak
perempuannya.
Stratifikasi sosial didasarkan kepada faktor keturunan, pangkat, jabatan,
agama dan pendidikan. Golongan teratas dalam strata masyarakat adalah
kelompok bangsawan seperti raja, sultan, datuk, tengku, wan dan keturunannya.
Pada saat sekarang ini faktor keturunan sebagai faktor penentu strata sosial dalam
masyarakat tidak lagi menentukan, melainkan faktor pendidikan. Pentingnya
pendidikan bagi masyarakat Melayu Labuhan tercermin dalam ungkapanungkapan berikut ini ;
“Menuntut ilmu janganlah segan, ilmu yang benar yang jangan bukan, yaitu ilmu
yang kebajikan, isi kitab ini sudah disebutkan.”
“Segala perbuatan dengan berilmu, maka kebajikan boleh bertemu, jangan
sembarang barang diramu, akhirnya engkau jatuh tersemu.”
“Demikian lagi dengar olehmu, tanda berakal kasihkan ilmu, suka menelaah tiada
jemu, mencari kepuasan jangan tersemu.”
“Ilmu itu besar faedahnya, membedakan hak dengan batilnya, mengetahui orang
banyak benar salahnya, supaya dihukumkan dengan adilnya.”
“Aku hendak bertutur akan gurindam yang beratur, persimpangan yang indahindah, yaitu ilmu yang memberi faedah, jika hendak mengenal orang be