Chapter II Evaluasi Rancangan Bendung Daerah Irigasi Belutu Kabupaten Serdang Berdagai

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai
2.1.1. Defenisi Sungai
Sebagian besar air hujan yang turun ke permukaan tanah, mengalir
ketempat yang lebih rendah dan setelah mengalami bermacam perlawanan
akibat gaya berat, akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatualur
yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang
berasaldari hujan disebut alur sungai, dan perpaduan antara alur sungai
dan aliran airdidalamnya disebut sungai.
Jadi sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat
mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan
menghilangkan peluang di hilir (opportunity value), pencemaran di hulu
akan menimbulkan biaya sosial di hilir (externality effect) dan pelestarian
di hulu akan memberikan manfaat di hilir. Suatu daerah yang tertimpa
hujan dan kemudian air hujan ini menuju sebuah sungai, sehingga
berperan sebagai sumber air sungai tersebut dinamakan daerah pengaliran
sungai dan batas antara dua daerah pengaliran sungai yang berdampingan
disebut batas daerah pengaliran. Wilayah sungai merupakan satu kesatuan
wilayah pengembangan sungai. Mulai dari mata airnya di bagian paling
hulu di daerah pegunungan dalam perjalanannya ke hilir di daerah dataran,

aliran sungai secara berangsur-angsur berpadu dengan banyak sungai
lainnya, sehingga lambat laun tubuh sungai menjadi semakin besar.

26

Menurut penampang melintangnya, sungai terdiri dari bagianbagian sebagai berikut seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Penampang Melintang Sungai

Daerah Aliran Sungai disingkat DAS adalah air yang mengalir
pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air tersebut
berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut.
Kegunaan dari DAS adalah menerima, menyimpan dan mengalirkan air
hujan yang jatuh diatasnya melalui sungai.
2.1.2. Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai adalah suatu alur yang panjang di atas
permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan
disebut alur sungai dan perpaduan antar alur sungai dan aliran air
didalamnya disebut sungai (Sosrodarsono, 1984).
Daerah – daerah DAS yakni :
a.


Hulu sungai, berbukit-bukit dan lerengnya curam sehingga banyak
jeram.

b.

Tengah sungai, relatif landai, terdapat meander, dan banyak aktifitas
penduduk.

c.

Hilir sungai, landai dan subur, dan banyak areal pertanian.

27

2.2. Banjir
Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan
yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan
sebagainya hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan
bumi kawasan tersebut. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat

banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di
permukaan Bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat
bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh
tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah.
Debit banjir dapat diukur secara langsung atau tidak langsung.
1. Pengukuran secara langsung
Pengukuran debit sungai secara langsung dilakukan dengan mengukur luas
potongan melintang palung sungai dan kecepatan rata-rata airnya. Untuk
mengukur kecepatan air digunakan alat pengukur kecepatan air (current meter)
atau dengan listrik atau menggunakan bahan-bahan kimia, diantaranya:













Salt velocity method
Salt dilution method
Radioactive tracers
Oxigen polarography
Electromagnetic flow meter
Ultrasonic flow meter
Debit sungai juga dapat kita ketahui dari tinggi permukaan air diatas dasar
kalau sebelumnya sudah kita tentukan lebih dahulu hubungan antara tinggi air dan
debit. Untuk ini, pada berbagai ketinggian air kita ukur debitnya dan hasilnya kita

28

gambarkan dengan suatu grafik. Ordinat menunjukan tinggi muka air diatas dasar
sungai, absisnya menunjukan debit. Lengkung yang diperoleh pada grafiknya
disebut rating curve. Rating curve dapat kita tentukan dengan metode kuadrat
terkecil atau dengan cara logaritma atau dengan cara regresi dan korelasi. Kalau
rating curve sudah kita dapatkan, maka pada setiap tinggi muka air dapat kita
bacakan langsung besarnya debit. Tinggi muka air dapat kita bacakan pada papan

duga atau dapat juga diukur dengan alat pengukur otomatis (water level recorders
atau water stage recorders)
2. Pengukuran secara Tidak Langsung
Menentukan debit sungai secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
beberapa cara:
a) Luas penampang palung sungai diukur sedang kecepatan air dihitung secara
analitis,
b) Debit sungai dihitung dari bangunan-bangunan air yang terdapat didalam sungai,
misalanya gorong-gorong, jembatan, talang, sypon, bangunan terjun, bendung,
atau lainnya. Besarnya debit aliran yang melalui bangunan itu dihitung dengan
rumus hidrolika yang berlaku untuk bangunan yang bersangkutan. Banyak juga
dipakai bangunan ukur khusus seperti type Cipoletti, Thomson, Crump de Gruiter
dan lain-lain.
c) Debit sungai dihitung dari hujan,
d) Debit sungai dihitung dengan menggunakan rumus-rumus empiris.
Cara tidak langsung umumnya dipakai kalau pengukuran secara langsung
tidak dapat dilakukan.

29


Umumnya dapat dikatakan bahwa cara tidak langsung tidak seteliti
pengukuran dengan instrumen. Menurut Chezy persamaan debit pada saluran
terbuka dihitung sebagai berikut:
Rumus Antoine de Chezy :
Q = A C √�. �

(2.1)

V = C √�. � dalam meter/detik

(2.2)



R = Radius Hirolik = � meter

F = Luas keliling basah dalam meter²
O = keliling basah dalam meter
C = koefisien kekasaran dinding saluran
Besarnya angka kekasaran c adalah :

Bazin :
C

=

87

(2.3)


√�

1+

E. Ganguillet – W.R Kutter :
0,00281 1,811
+ �

0,00281 �
1+(41,65+ � )

√�

41,65+

C

=

0,00155 1
+�

=

0,00155
1+ (23+ � )
√�

(2.4)

23+


C

(2.5)

Rumus Manning :
V

=

1


2
3

� �

1
2


(2.6)

Substitusi persamaan (2.2) dan (2.6) didapat rumus Chezy – Manning :

30

1

C

=

Dimana

�6


: n = Koefisien kekasaran Manning
S = Kemiringan saluran


2.3. Curah Hujan Rata-rata Suatu Daerah
Curah hujan

yang diperlukan untuk penyusunan suatu rencana

pemanfaatan air dan rencana pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata
yang terkait buka curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut
curah hujan wilayah daerah dan dinyatakan data satuan mm. Cara perhitungan
curah hujan daerah dan pengaruh curah hujan di beberapa titik dapat dihitung
dengan cara, diantaranya:
(1) Metode rata-rata aljabar (mean arithmetic method)
Metode perhitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini
merupakan cara yang paling sederhana dan memberikan hasil yang tidak teliti.
Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang
sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan yang terjadi dalam DAS
homogen dan veriasi tahunannya tidak terlalu besar. Keadaan hujan di Indonesia
(daerah tropik pada umumnya) sangat bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang
(spatial variation) yang sangat besar.
R = 1/n . (R1 + R2 + …. + Rn)

(2.7)

Dimana :
R

= curah hujan daerah

R1, R2, Rn

= curah hujan di setiap titik pemangatan

n

= jumlah titik pengamatan

31

(2) Metode Poligon Thiessen
Hitungan dengan Poligon Thiessen dilakukan seperti sketsa pada gambar.
Metode ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan
pengertian bahwa setiap stasiun dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah
dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi hujan
distasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut diperoleh
dengan cara berikut:
a. Semua stasiun yang terdapat didalam (atau diluar) DAS dihubungkan dengan
garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. (hendaknya dihindari segitiga
dengan sudut yang sangat tumpul),
b. Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis sumbu
tersebut membentuk poligon,
c. Luas daerah yang hujannya dianggap mewakili oleh salahsatu stasiun yang
bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis poligon tersebut (atau
dengan batas DAS)
d. Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksinya.untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada persamaan dibawah ini:
R = W1. R1 + W2 . R2 + …… + Wn . Rn

(2.8)

W1, W2, ….. , Wn = A1/A, A2/A, An/A
Dengan :
R

= hujan rata-rata DAS, dalam mm

A1, A2, ….. , An

= Luas masing-masing poligon, (km)

R1, R2, ……,Rn

= curah hujan disetiap stasiun

pengamatan, dalam

(km2)

32

n

= jumalah stasiun pengamatan

W1, W2,....Wn

= faktor pembobot Thiessen untuk masing-masing stasiun

Gambar 2.3. Hitungan Hujan dengan Metode Thiessen

Sumber : Ir. Iman Subarkah, tahun 1980
Metode Thiessen memberikan hasil yang lebih baik dan teliti daripada cara
aljabar rata-rata. Kelemahan metode ini adalah penentuan titik pengamatan dan
pemilihan ketinggian akan mempengaruhi ketelitian hasil yang didapat. Demikian
pula apabila ada salahsatu stasiun yang tidak berfungsi, misalnya rusak atau data
tidak benar, maka poligon harus diubah.
(3) Metode Isohyet
Metode ini dilakukan dengan membuat garis isohyet yaitu garis yang
menghubungkan tempt-tempat yang mempunyai kedalaman hujan sama pada saat
yang bersamaan. Cara membut garis isohyet adalah dengan cara interpolasi data
antar stasiun.
Pada prinsipnya, cara ini mengikuti sedekat mugkin kenyataan dialam,
dengan mencari bobot yang sesuai untuk suatu nilai hujan. Tidak jarang pula, luas
untuk hitungan bobot adalah luas antara dua garis kontur dan nilai hujan yang
mewakili luas antara dua kontur adalah nilai rata-rata aljabar anatara dua kontur
tersebut.

33

R = W1 . R1 + W2 . R2 + ….. + Wn . Rn

(3.9)

Dengan:
R

= hujan rata-rata DAS, dalam mm

R1, R2, …., Rn = Hujan rata-rata antara dua buah isohyet, dalam mm
W1, W2,….,Wn = perbandingan luas DAS antara dua isohyet dan luas
total DAS.
Kelemahan utama cara isohyet ini adalah pembuatan garis kontur yang
sangat dipegaruhi oleh si pembuat kontur, sehingga bersifat subjektif. Dengan
data yang sama, tiga orang yang berbeda dapat melukis garis kontur yang berbeda
dan menghasilkan nilai rata-rata hujan yang berbeda pula. Dari ketiga metode ini
dipilih metode poligon unutk analisis selanjutnya. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa titik pengamatan didalam daerah itu tersebar merata dan
kondisinya

jarang-jarang.

Selain

itu,

karena

dalam

metode

Thiessen

diperhitungkan pula daerah pengaruh tiap titik pengamatan atau disebut faktor
pembobot bagi masing-masing stasiun pengmatan sehingga memberikan hasil
perhitungan yang lebih teliti dan akurat daripada metode yang lain. Disamping itu
faktor subjektivitas dapat dihindari dengan penggunaan metode ini.
2.4. Analisis Frekuensi
Dalam penentuan distribusi frekuensi ada beberapa persyaratan yang perlu
dipenuhi, yaitu mengenai nilai parameter-parameter statistiknya. Parameter
tersebut antara lain: koefisien variasi, koefisien asimetri (skewnees) dan koefisien
kurtosis.
Analisis frekuensi harus dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan
urutan kerja yang telah ada karena hasil dari masing-masing perhitungan

34

tergantung dan saling mempengaruhi terhadap hasil perhitungan sebelumnya.
Berikut adalah penerapan dari langkah-langkah analisis frekuensi setelah
persiapan data dilakukan.
Standar Deviasi (S):
S

=

√� � (�� −�)2 )

(3.10)

�−1

Dengan:
S

= Standar deviasi

X

= Curah hujan rencana pada priode tertentu

Xi

= Curah hujan harian maksimum rata-rata

N

= Jumlah data

Koefisien variasi (Cv):
Cv

=

Dengan:
Cv



(3.11)



= koefisien variasi

Koefisien Asimetri / Skewnees (Cs)
Cs

=


(�−1)(�−2)� 3

Dengan:
Cs

�(� − ��)3

(3.12)

= Koefisien Asimetri / Skewnees

Koefisien Kurtosis (Ck)
Ck

=


(�−1)(�−2)(�−3)� 4

Dengan:
Ck

�(� − ��)4

(3.13)

= Koefisien Kurtosis
35

2.5. Analisis Hujan Rencana
Perhitungan hujan rencana dapat dikerjakan dengan berbagai metode
distribusi, yaitu metode normal, log normal, Gumbel, maupun log Pearson Type
III. Hal ini tergantung dari hasil perhitungan analisa frekuensi.
1)

Distribusi Normal

Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density fungtion) distribusi ini
adalah sebagai berikut:

P’ (x) =
Dengan:

1
�√2�



−(� −� )2
2� 2

P’

= fungsi kerapatan kemungkinan

S

=Deviasi standar

X

= nilai rata-rata

x

= variable alat

(3.14)

Sifat khas lain dari jenis distribusi ini adalalh nilai koefisien skewnees
hampir sama dengan nol (Cs ~ 0) dan nilai koefisien kurtosis mendekati
tiga (Ck ~ 3).
2)

Distribusi Log Normal

Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density function) distribusi ini
adalah sebagai berikut:
P’(X) =
Dengan :

1



� (−0,5(ln �−�� /�� )
�� √2�

2

(3.15)

36

0,5 ln(

Xn

=

Sn

= ln(

� 2 +� 2
�2

�4

� 2 +� 2

)

(3.16)

)

Besarnya Skewness (Cs) = �� 3 + 3��

Besarnya Kurtosis (Ck) = �� 8 + 6�� 6 + 15. �� 4 + 16�� 2 + 3

(3.17)

Dengan:

P’ = fungsi kerapatan kemungkinan
S = deviasi standar
X = nilai rata-rata
3)

Distribusi Log Pearson Type III

Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, The Hydrology
Committee of The Water Resources Council USA, menganjurkan pertama
kali mentransformasikan data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian
menghitung parameter-parameter statistiknya, karena informasi tersebut,
maka cara ini disebut Log Pearson Type III.
Garis besar analisis ini sebagai berikut:
a.

Mengubah data debit banjir tahunan sebanyak n buah.
X1, X2, …. , Xn menjadi log X1 , log X2 , log Xn.

b.

Menghitung harga rata-rata, dengan rumus:

c.

��� � = ∑��=1 log ��

(3.18)

(3.19)

Menghitung harga standar deviasi dengan rumus:
�=

√∑��=1 (Log X1 – Log X)2
� −1

(3.20)

Dengan S = Standar Deviasi
d.

Menghitung Koefisien Kemencengan dengan persamaan berikut :

37

e.

�=

�.∑��=1 (log �1−log �)2
(� −1)(�−2)

(3.21)

Menghitung logaritma hujan atau banjir periode ulang T tahun,

sebagai berikut :
Log Xt = Log X + K.s

(3.22)

Dimana K adalah variabel standar untuk x yang besarnya
tergantung pada koefisien “G” yang dicantumkan pada tabel 2.1:
Tabel 2.1. Menentukan Variable Standart yang besarnya tergantung pada G

Sumber : Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan
4)

Metode Gumbel
Untuk perhitungan dipakai rumusan :
1

�� = � �� + �
1



=

��

��

(2.23)
(2.24)

38

�� = ��̅ 2 − �� 2

(2.35)

Dimana :

�� =

angka hujan selama 1 hari (24 jam) yang mungkin terjadi

�̅ =

angka rata-rata dari x

dalam waktu T tahun

�� =

diambil dari tabel 2.2. (nilai standard deviation untuk

�� =

diambil dari tabel 2.2. (nilai rata-rata untuk reduce variate)

��


=

reduce variate)

diambil dari tabel 2.3. (reduce variate sebagai fungsi balik
waktu)

Tabel 2.2. Nilai Reduce Variate berdasarkan banyak tahun
pengamatan

Sumber : Ir. C.D. Soemarto, Dipl. H.E., buku Hidrologi Teknik

39

Tabel 2.3. Nilai Reduce Variate sebagai fungsi balik waktu

Sumber : Ir. C.D. Soemarto, Dipl. H.E., buku Hidrologi Teknik
Reduce variate (Y) dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
�� = −ln⁡
(−ln⁡
((� − 1)/�))

(2.36)

2.6. Uji Kecocokan

Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi
frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat
menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter
yang sering dipakai adalah Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov.
2.6.1. Uji Chi-Kuadrat
Uji

Chi-Kuadrat

dimaksudkan

untuk

menentukan

apakah

persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi sampel
data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan
parameter χ2, yang dapat dihitung dengan rumus berikut:
(Oi − Ei )2

χ h²

χh2 = ∑Gi=1

G

= Jumlah Sub Kelompok,

Oi

= Jumlah Nilai Pengamatan pada Sub Kelompok I,

Ei

= Jumlah Nilai Teoritis pada Sub Kelompok i.

Ei

(2.37)

= Parameter Chi-Kuadrat terhitung,

40

Parameter χh2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai
nilai χh2 sama atau lebih besar dari nilai chi-kuadrat sebenarnya (χ2) dapat
dilihat pada tabel 2.4:
Tabel 2.4. Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi-Kuadrat

Dimana:
χh2

= Parameter Chi-Kuadrat terhitung

G

= Jumlah sub Kelompok

Oi

= Jumlah Nilai Pengamatan pada Sub Kelompok i

Ei

= Jumlah Nilai Teoritis pada Sub Kelompok i
Prosedur Uji Probabilitas metode Chi-Kuadrat adalah sebagai

berikut:
1. Urutkan data pengamatan dengan cara mengurutkan data terbesar hingga
data terkecil atau sebaliknya,

41

2. Kelompokkan

data

menjadi

G

sub

Grup

yang

masing-masing

beranggotakan minimal 4 data pengamatan,
3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap sub grup,
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei,
5. Pada tiap-tiap sub grup hitung nilai:
(Oi - Ei)² atau

(Oi − Ei )²
Ei

Dimana:
Oi

= Jumlah data Pengamatanpada Grup I,

Ei

= Jumlah data dari Persamaan Distribusi pada grup i.

6. Jumlahkan seluruh G sub grup nilai (Oi - Ei)2 untuk menetukan nilai ChiKuadrat hitung.
7. Tentukan kuadrat kebebasan, dk = G – R -1 (nilai R=2 untuk distribusi
normal dan binormal).
Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut:
1. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan
dapat diterima,
2. Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan
tidak dapat diterima,
3. Apabila peluang lebih dari 1% - 5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan (dibutuhkan data tambahan).
2.6.2. Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov – Kolgomorov sering disebut juga uji
kecocokan non parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi
disribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

42

1) Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya
peluang dari masing-masing data tersebut


� = �+1 �100%

(2.38)

Dimana :
P

= Peluang (%)

m

= Nomor urut data

n

= Jumlah data

X1

= P(X1)

(2.39)

X2

= P(X2)

(2.40)

X3

= P(X3), dan seterusnya

(2.41)

2. Urutkan nilai masing-masing peliuang teoritis dari hasil penggambaran data
(persamaan distribusinya)
X1 = P’(X1)

(2.42)

X2 = P’(X2

(2.43)

X3 = P’(X3), dan seterusnya

(2.44)

3. Dari kedua nilai peluang tersebut ditentukan selisih terbesar antara peluang
pengamatan dengan peluang teoritis.
D = maksimum [�(�� ) − �′ (�� )]

(2.45)

4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolgomorov test) tentukan harga
Do.
5. Apabila nilai D lebih kecil dari nilai Do maka distribusi teoritis yang
digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, tetapi
apabila nilai D lebih besar dari nilai Do, maka distribusi teoritis yang
digunakan untuk menentukan distribusi tidak dapat diterima.

43

Nilai kritis, Do dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut ini :
Tabel 2.5. Nilai Kritis Do Untuk Uji Smirnov – Kolmogorov
A
N
0,20

0,10

0,05

0,01

5

0,45

0,51

0,56

0,67

10

0,32

0,37

0,41

0,49

15

0,27

0,30

0,34

0,40

20

0,23

0,26

0,29

0,36

25

0,21

0,24

0,27

0,32

30

0,19

0,22

0,24

0,29

35

0,18

0,20

0,23

0,27

40

0,17

0,19

0,21

0,25

45

0,16

0,18

0,20

0,24

50

0,15

0,17

0,19

0,23

n > 50

1,07/n0,5

1,22/n0,5

1,36/n0,5

1,63/n0,5

2.7. Banjir Rencana
Debit banjir rancangan diprediksikan berdasarkan data curah hujan dari
stasiun pencatat hujan disekitar daerah tangkapan sungai. Periode/kala ulang yang
diperhitungkan dalam analisis debit banjir rancangan ini adalah 2 tahun, 5 tahun,
10 tahun, 25 tahun, 100 tahun, dan 1000 tahun.

44

Untuk menentukan analisis debit banjir dengan menggunakan Metode Melchior
dan metode Hasper
2.7.1. Metode Melchior
Untuk memakai metode Melchior jika luas daerah aliran yang dikeahui
lebih besar dari 100 km2. Bentuk persamaan dasar analisis banjir
rancangan dengan menggunakan metode Melchior adalah sebagai berikut:
XT

QT = α x β x A x 200

(2.46)

Tc = 0.186 x L x Q0 – 0.2 x I – 0.4

(2.47)

Langkah-langkah

untuk

menghitung debit

rencana

dengan

menggunakan metode Melchior ini adalah sebagai berikut:
a.

Menentukan:
a = Sumbu panjang/panjang sungai (km)
b = Sumbu pendek, dimana 2/3 dari sumbu panjang (km).
F = Luas Ellips (km2)

b.

Dengan diketahui F maka dapa kia tentukan besarnya hujan
maksimum harian β dengan berbagai kemungkinan.

c.

Mencari harga Q0

d.

Q0 = α x β x A

2.7.2. Metode Hasper
Ketertarikan parameter alam yang diperhitungkan dalam metode
ini dinyatakan dalam bentuk persamaaan dasar seperti berikut:
QT = α * β * R * A

(2.48)

45

α=
1
β

1+0.012 ∗ A 0.7

(2.49)

1+0.075∗ A 0.7

=1+

t+3.7∗ 10 −0.4t
t 2 + 15

x

A 0.75
12

(2.50)

Dimana:
QT

= Debit banjir rencana dengan kala ulang T tahun (m3/det)

Β

= Koefisien reduksi

α

= Koefisien limpasan

R

= Intensitas curah hujan (m3/km2/det)

α

= Luas daerah aliran sungai (km2)

I

= Rata-rata kemiringan dasar sungai utama

2.8. Bendung Pelimpah
Menurut Standar Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, yang diartikan
dengan bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun
melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau
untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dapat dialirkan
secara gravitasi ketempat yang membutuhkan.
Dalam perencanaan bendung akan meliputi komponen-komponen seperti
elevasi crest, lebar efektif bendung, tipe mercu, tipe bangunan peredam energi
serta panjang lantai depan (apron). Dimana dalam perencanaannya senantiasa
didasarkan pada pertimbangan kondisi hidrolis dan kestabilan bangunan. Hal ini
dimaksudkan agar bangunan yang direncanakan dapat berfungsi secara optimal
dan aman terhadap pengaruh gaya-gaya yang bekerja.
2.8.1. Pemilihan Lokasi Bendung

46

Penentuan serta pemilihan lokasi bendung didasarkan pada hal-hal
sebagai berikut:
•Diusahakan sedapat mungkin lebih ke hulu, agar bendung tidak terlalu
tinggi, namun harus mengingat juga panjang saluran primer yang akan
diperlukan supaya tidak terlalu panjang.
•Dipilih lokasi bendung pada ruas sungai relatif lurus, sempit dan dengan
penampang yang relatif konstan serta kedua tanggulnya stabil. Hal ini
mencerminkan bahwa sungai itu sudah stabil dengan kondisi dasarnya
yang sekarang.
•Kondisi geologi teknik, sangat berpengaruh terhadap kemantapan atau
kestabilan dari bangunan utama, terutama daya dukung tanah pondasi
serta nilai kelulusan air tanah bawah (koefisien permeability tanah
bawah).
•Kondisi topografi, sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan konstruksi
dan biaya pelaksanaannya. Selain harus cukup tempat yang tersedia di
tepi sungai untuk memuat kompleks bangunan utama termasuk kantong
lumpur dan bangunan-bangunan penguras serta bangunan pengambilan
saluran primer. Juga harus diupayakan sedemikian hingga beda antara
volume galian dan timbunan tidak terlalu besar, sehingga pelaksanaannya
relatif mudah dan biayanya relatif murah.
•Metode pelaksanaan, harus dipertimbangkan juga dalam pemilihan lokasi
bendung

karena

akan

sangat

berpengaruh

terhadap

kelancaran

pelaksanaan konstruksi dan biaya pelaksanaan. Namun demikian, yang
utama dalam penentuan lokasi bendung adalah kondisi-kondisi yang

47

mendukung

tercapainya

kestabilan

bendung

secara

keseluruhan,

kemudian baru diikuti dengan pertimbangan metode pelaksanaannya, dan
bukan sebaliknya.
2.8.2. Elevasi crest
Untuk elevasi muka air yang diperlukan, kehilangan tinggi energi
berikut harus dipertimbangkan :
• Elevasi sawah yang akan diairi
• Kedalaman air di sawah

• Kehilangan tinggi energi di saluran dan boks

• Kehilangan tinggi energi di bangunan sadap
• Panjang dan kemiringan saluran primer

• Kehilangan tinggi energi di bangunan-banguan saluran primer
2.8.3. Lebar Bendung
Lebar bendung yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment),
sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil.
Lebar maksimum bendung sebaiknya tidak lebih dari 1.2 kali lebar ratarata sungai.
Agar bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per
satuan lebar hendaknya dibatasi sekitar 12 – 14 m3/dt/m1 yang
memberikan tinggi energi maksimum sebesar 3.5 – 4.5 m.
Lebar efektif mercu bendung sehubungan dengan lebar bendung
dirumuskan persamaan berikut :

48

Tabel 2.6. Nilai Ka dan Kp
No

1.

URAIAN

Kp

Untuk pilar berujung segi empat dengan sudutsudut yang dibulatkan pada jari-jari yang hampir
sama dengan 0.1 dari tebal pilar

2.
3.

Untuk pilar berujung bulat
Untuk pilar berujung runcing

0.02
0.01

Ka

Untuk pangkal tembok segi empat dengan
1.
tembok hulu pada 900 kearah aliran
0.20
Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok
2.

hulu pada 900 kearah aliran dengan 0.5 H1 >r>
0.15 H1

3.

0.10

Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0.5 H1
dan tembok hulu tidak lebih dari 450 kearah
0.00
aliran

49

2.8.4. Mercu Bendung
Mercu bendung yang umum di pakai di Indonesia adalah tipe Ogee
dan tipe Bulat. Kedua mercu tersebut dapat di pakai untuk konstruksi
beton dan pasangan batu. Tekanan yang bekerja pada mercu bendung
merupakan fungsi perbandingan antara tinggi energi diatas mercu dengan
jari-jari mercu bendung.
Hubungan antara tinggi energi dan debit yang melimpah diatas
mercu bendung tipe Ogee dan Bulat dapat dinyatakan dalam bentuk
persamaan seperti berikut :
Q = C d 2/3 2/3 g b H 1

(2.51)

Cd = C 0 x C1 x C 2

(2.52)

1.5

dimana,
Q = Debit aliran diatas mercu (m3/det)
Cd= Koefisien debit
C0 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari H1/r
C1 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1
C2 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1 dan kemiringan
hulu bendung.
g = Percepatan gravitasi (m/det2)
b = Lebar efektif mercu bendung (m)
H1 = Tinggi energi diatas mercu bendung (m)

50

2.8.5. Peredam Energi
Aliran di atas bendung akan dapat menunjukan berbagai perilaku
aliran di sebelah hilirnya. Apabila yang terjadi adalah aliran tenggelam
yaitu jika muka air hilir lebih tinggi dari 2/3 H1 di atas mercu, maka hal ini
tidak akan menimbulkan masalah karena hanya dapat menimbulkan sedikit
riak gelombang di permukaan. Bila terjadi aliran tidak tenggelam dan
keadaan air di hilir kurang dari kedalaman konjugasinya, maka akan timbul
loncatan air ke arah hilir yang akan menghempas bagian sungai yang tak
terlindungi hal ini akan menyebabkan terjadi penggerusan. Kondisi seperti
ini diperlukan adanya bangunan peredam energi.
Gambar 2.4. Peredam energi tipe tenggelam

Persamaan hidrolika yang digunakan :
q2
hc =
g

(2.53)

3

Dimana :
hc

=

kedalaman air kritis, m

q

=

debit per lebar satuan, m3/dt/m

g

=

percepatan gravitasi, m/dt

51

2.8.6. Bangunan Pengambilan
Bangunan pengambilan direncanakan dengan maksud untuk
menyadap sebagian debit air sungai guna memenuhi kebutuhan air irigasi
pada areal rencana. Namun demikian, dalam perencanaan kapasitas
pengambilan diperhitungkan juga terhadap fleksibilitas pada kebutuhan
yang lebih tinggi selama umur proyek (120 % x debit kebutuhan).
Perencanaan lebar pintu pengambilan dipertimbangkan terhadap
kapasitas maksimum kebutuhan air, tinggi pengambilan dan kecepatan,
dan selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
Kapasitas rencana lubang pintu pengambilan ditetapkan sebear 120
% x debit kebutuhan rencana, dimana perhitungan digunakan seperti
berikut :
h
v 2 ≥ 32 
d 

1/ 3

d

(2.54)

Dimana :
v

=

kecepatan rata-rata, m/dt

h

=

kedalaman air, m

d

=

diameter butir, m

Dengan kecepatan masuk sebesar 1 – 2 m/dt diharapkan butir
berdiameter diatas 0.04 tidak ikut masuk ke dalam saluran. Sedangkan
rumus debit untuk pintu sorong adalah sebagai berikut :
Q = υ .b.a. 2.g .z

(2.55)

Dimana,
Q = Debit penyadapan rencana (m3/dt)

52

µ = Koefisien debit
b

= Lebar bukaan pintu (m)

g

= Percepatan gravitasi (m/dt2)

z

= Kehilangan tinggi energi (m)

a

= Tinggi bukaan (m)
Batas tinggi minimum ambang bangunan (P) berdasarkan

karakteristik sedimen transportnya ditentukan seperi berikut :
- Untuk sungai dengan material sedimen terangkut berupa lanau, Pmin =
0,50m
- Untuk sungai dengan material sedimen terangkut berupa pasir
dan kerikil,

Pmin = 1,00 m.

- Untuk sungai dengan

material sedimen terangkut berupa batu-

batu bongkah, Pmin = 1,50 m.
Untuk keperluan pemeliharaan, pada kedua sisi perletakan pintu
dilengkapi

dengan

sponeng

dan

balok

sekat

agar

pelaksanaan

perbaikan/pemeliharaan dapat dilakukan dalam kondisi kering. Selain itu
untuk mencegah benda-benda hanyutan (pada saat banjir) masuk ke
jaringan irigasi pada bagian depan pintu pengambilan dilengkapi dengan
kisi-kisi penyaring. Kehilangan tinggi energi akibat adanya kisi-kisi
dihitung dengan menggunakan persamaan :

hf = c

v2
2g

c

=

β * (s/b)4/3 * sin δ

(2.56)

Dimana,
hf = Kehilngan tinggi energi (m)

53

v = Kecepatan datang ( approach velocity) . m/dt
g = Percepatan gravitasi ( 9,81 m/dt2)
c = Koeficien kehilangan tinggi energi
β = Koefisien faktor bentuk
s = Tebal jeruji (m)
b = Jarak bersih antar jeruji (m)
δ = Sudut kemiringan terhadap bidang horizontal ( derajat)
2.8.7. Bangunan Penguras
Untuk

mencegah

menumpuknya sedimen

di

depan

pintu

pengambilan (intake) dan kemungkinan masuknya sedimen (bed load) ke
saluran irigasi, maka pada bangunan bendung dilengkapi dengan bangunan
penguras. Fungsi utama bangunan penguras adalah menggelontor sedimen
yang ada disekitar bangunan pengambilan agar proses penyadapan air oleh
bangunan pengambilan tidak terganggu.
Pada bangunan penguras ini, tinggi pintu penguras direncanakan
setinggi mercu bendung sehingga bagian atas dari pintu masih tetap bisa
dilimpasi air. Perencanaan tebal pintu penguras disesuaikan dengan
besarnya gaya-gaya yang bekerja pada pintu, antara lain tekanan air pada
kondisi banjir dan tekanan sedimen di depan pintu. Lebar pintu umumnya
diambil 1/6 – 1/10 dari lebar bendung atau disesuaikan dengan lebar
bendung. Untuk lebar maksimum satu lubang adalah 2.5 meter untuk
memudahkan operasi pintu sedangkan jumlah lubang tidak boleh lebih
dari 3 buah.
2.8.8. Kantong Lumpur

54

Untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen pada seluruh
saluran irigasi, maka setelah bangunan pengambilan direncanakan kantong
lumpur yang berfungsi sebagai tempat pengendapan sedimen layang
(suspended load). Keakurasian dalam perencanaan, sangat bergantung
pada ketersediaan data sedimen transport. Data tentang transpotrasi
sedimen yang diperlukan antara lain adalah :








Ukuran butiran
Pola penyebaran sedimen arah vertikal
Konsentrasi sedimen dasar ( bed load)
Volume sedimen

Perancanaan kantong lumpur akan meliputi : bentuk penampang dan
panjang kantong lumpur
1.

Rerata kedalaman muka air selama pembilasan

Analisis rerata kedalaman muka air selama pembilasan dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
As



Qs / vs

As

=

(Bs + m * hs) * hs

(2.57)

Dimana,
As

=

Rerata luas penampang basah ( m2)

Qs

=

Debit untuk pembilasan (m3/dt)

vs

=

Kecepatan Pembilasan (m/dt)

Bs

=

Rerata lebar saluran (m)

hs

=

Rerata kedalaman muka air (m)

m

=

Kemiringan talud

55

Batasan kecepatan pembilasan untuk masing-masing jenis butiran sedimen
diambil ketentuan seperti berikut :




Pasir halus, kecepatan pembilasan diambil sebesar 1,00 m/dt
Pasir kasar, kecepatan pembilasan diambil sebesar 1,50 m/dt



Pasir dan kerikil, kecepatan pembilasan diambil sebesar 2,00 m/dt

2.

Rerata Kemiringan hidrolis

[

]

Persamaan untuk merencanakan rerata kemiringan hidrolis adalah :

I s = (Vs x n) / (R s2/3 )

2

(2.58)

Dimana :
Is

=

Kemiringan rata-rata

Vs

=

Kecepatan pembilasan (m/det)

Rs

=

Jari-jari hidrolis rata-rata

n

=

Koefisien kekasaran

3.

Kecepatan jatuh partikel sedimen

W =

G - Gw
1
x D2 x ( s
) / (u x g)
8
u

(2.59)

Dimana :
W

=

Kecepatan jatuh butiran (m/det)

D

=

Diameter butiran minimum (m)

Gs

=

Spesifik grafity butiran

Gw

=

Spesifik grafity air

g

=

Percepatan grafitasi

u

=

Viskositas air pada suhu 20o C

4.

Panjang kantong lumpur

56

Panjang kantong lumpur dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

L = V×t
t=

(2.60)

ω

H

(2.61)

Dimana :
L

=

Panjang saluran (m)

V

=

Kecepatan pada kantong lumpur (m/det)

ω

=

Kecepatan endap (m/det)

t

=

Waktu yang diperlukan (dtk)

5.

Tinggi air untuk pengendapan

Tinggi air untuk pengendapan dihitung dengan rumus :
Ao =

Qs
Vst

A o = (B s + m h o ) h o

(2.62)

Dimana :
Ao

=

Luas penampang yang dibutuhkan untuk pengendapan (m2)

Bs

=

Lebar rata-rata saluran (m)

Ho

=

Tinggi air yang dibutuhkan untuk pengendapan (m)

Qs

=

Debit pembilasan (m3/det)

Vst

=

Kecepatan pengendapan (m/det)

M

=

Kemiringan Talud

2.8.9. Bangunan Pembilas
Untuk membilas endapan sedimen yang tertangkap di kantong lumpur,
maka perlu dibuat Bangunan Pembilas yang dilengkapi pintu dan saluran
pembilas

(pembuang

sedimen

ke

arah

sungai).

Pintu

pembilas

57

dioperasikan (dibuka) dalam waktu-waktu tertentu yang dikaitkan dengan
volume endapan yang tertampung di Kantong Lumpur.
Kecepatan Pembilas, dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
Vc = 1.5 C’ (d)1/2

(2.63)

Dimana :
Vc =

Kecepatan rencana (m/det)

C’ = Koefisien butiran
Untuk pasir & kerkil = 3.2~3.9
Untuk campuran kerikil = 4.5~5.5
d

= diameter maksimum butiran (m)

Hubungan antara diameter butiran (d) dengan kecepatan pembilasan (Vc)
sebagaimana ditunjukkan pada grafik pada KP-02, sedang untuk
menghitung

kecepatan

minimum

dihitung

dengan

menggunakan

persamaan :
Vc = C √ 2g .H

(2.64)

H = H-a/2 = (Vc)2/ (C2 2g)

(2.65)

Dimana :
Vc

=

kecepatan pembilas (m/det)

C

=

koefisien ≈ 0.62

a

=

bukaan pintu (m)

Kapasitas Pintu Pembilas, dihitung minimal dua kali kapasitas debit yang
mengalir pada pintu pengambilan. Sedang untuk menghitung lebar pintu
pembilas digunakan rumus berikut :
b = (gQ) / (Vc)3

(2.66)

58

dimana,
b

=

lebar pintu pembilas (m)

Q

=

debit pembilasan (m3/det)

Vc

=

kecepatan pembilas (M/det)

g

=

percepatan gravitasi ≈ 9.80 m/det2

Lebar Lubang Pintu Pembilas, dihitung berdasarkan kapasitas aliran air
dan sedimen yang akan dibuang dengan menggunakan rumus :
b

=

N x W1

(2.67)

W1

=

B - (N - 1) W2

(2.68)

Dimana :
b

=

lebar bersih pintu pembilas (m)

N

=

jumlah pintu

W1

=

lebar saluran pembilas (m)

B

=

lebar total saluran pembilas (m)

W2

=

lebar pilar (m)

59

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5