SISTEM SATELIT PENGINDERAAN JAUH NASIONA
D O K U M EN
T E C H N O LO G Y N EEDS A SSESSMENT
S ISTEM S ATELIT P ENGINDERAAN J AUH N ASIONAL I NDONESIA
Editor: Agustan M. Sadly
Dokumen Technology Needs Assessment
Sistem Satelit Penginderaan Jauh Nasional Indonesia
Editor:
Agustan M. Sadly
Penerbit
BPPT – PRESS Gedung 2 Lantai 4 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat Telp. 021-3169091, 3169093 Fax. 021-3101802
TIM PENULIS
Penulis
Agustan Djoko Nugroho Fauziah Alhasanah Ilvi Fauziyah Cahyaningtiyas Laju Gandharum M. Sadly Neneng Siti Juariah Swasetyo Yulianto Yudi Adityawarman Winarno
Editor
Agustan M. Sadly
Penata Letak
Agustan
Perancang Sampul Buku
Agustan
Perpustakaan Nasional RI:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SISTEM SATELIT PENGINDERAAN JAUH NASIONAL INDONESIA
Diterbitkan oleh :
BPPT PRESS
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Anggota IKAPI,No. 476/DKI/III/2014
SISTEM SATELIT PENGINDERAAN JAUH NASIONAL INDONESIA
ISBN 978-602-410-000-1
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari Penerbit
Diterbitkan oleh :
BPPT PRESS
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Anggota IKAPI, No. 476/DKI/III/2014
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44 Tentang Hak Cipta
Pasal 72 : 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
RINGKASAN EKSEKUTIF
Indonesia sebagai benua maritim sangat kaya akan sumberdaya alam yang membutuhkan upaya inventarisasi dan kebijakan pengelolaan yang tepat melalui informasi spasial untuk kemakmuran bangsa. Selain itu, tantangan dari bencana yang mungkin terjadi akibat letak negara di zona pertemuan lempeng tektonik dan jalur gunung api, juga membutuhkan informasi spasial dalam upaya pengurangan risiko bencana. Informasi spasial untuk wilayah yang luas dapat diperoleh secara efisien melalui data dari sistem satelit penginderaan jauh (inderaja). Selain itu, sistem satelit inderaja sangat berperan dalam membantu upaya pertahanan negara.
Secara umum, Indonesia membutuhkan sistem satelit pengindera bumi untuk tiga aplikasi utama yaitu: sistem satelit untuk pemantauan cuaca dan atmosferik; sistem satelit untuk pemantauan pada saat terjadi keadaan darurat (emergency response); dan sistem satelit untuk pemetaan permukaan bumi. Untuk itu, Indonesia membutuhkan sistem sensor optik (multispectral remote sensing) dan radar (microwave remote sensing). Saat ini, sensor ini dapat diletakan pada sistem satelit kelas kecil - menengah (small to medium class satellite) bobot sampai 900 kg dengan estimasi biaya sampai 150 juta US Dollar. Jangka waktu pembangunan sistem satelit inderaja adalah sekitar 5 tahun.
Indonesia saat ini sudah menguasai teknologi sistem satelit kelas mikro dan juga telah mempunyai infrastruktur sistem stasiun bumi sebagai penerima data satelit. Untuk itu, diperlukan upaya nasional untuk meningkatkan penguasaan teknologi sistem satelit secara mandiri untuk kelas kecil, menengah dan besar yang operasional
untuk mensejajarkan bangsa Indonesia dengan bangsa lain di dunia.
Kata Sambutan Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam
Informasi keruangan saat ini sudah semakin mendesak untuk menjawab berbagai kebutuhan di berbagai sektor utamanya keadaan darurat kebencanaan, pemantauan tata guna lahan untuk lingkungan dan perubahan iklim, manajemen pembangunan terkait sumberdaya alam dan pertahanan keamanan. Informasi keruangan secara global dan terkini diperoleh dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh.
Kemandirian bangsa Indonesia dalam teknologi sistem satelit penginderaan jauh sudah saatnya direalisasikan untuk mendukung program pembangunan nasional demi meningkatkan kesejahteraan bangsa. Selain itu, dengan mandiri – dalam pengertian memiliki, mengoperasikan dan membuat – sistem satelit penginderaan jauh akan mensejajarkan bangsa Indonesia dengan bangsa lain dalam tataran penguasaan teknologi antariksa.
Untuk itu, dokumen Technology Needs Assessment ini disusun sebagai langkah awal dan menjadi bagian untuk langkah-langkah besar selanjutnya dalam merealisasikan kemandirian bangsa Indonesia dalam teknologi keantariksaan.
Jakarta, Oktober 2013
Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin, M.Sc. Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam
Kata Sambutan Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam
Dokumen Technology Needs Assessment (TNA) untuk Sistem Satelit Penginderaan Jauh Indonesia disusun oleh Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Penyusunan dokumen ini sebagai salah satu bentuk pengkajian teknologi maju untuk merealisasikan satelit penginderaan jauh nasional Indonesia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan nasional tentang sumber data spasial (keruangan) serta mendukung dan mensukseskan pembangunan nasional Indonesia.
Dalam penyusunan dokumen ini, telah banyak bantuan dan dukungan yang diperoleh demi memperoleh hasil kajian yang sebaik mungkin, utamanya dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG), Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) serta mitra Luar Negeri: Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), Japan Space System (JSS), Surrey Satellite Technology Ltd., serta pihak lain yang sangat banyak apabila disebutkan satu demi satu.
Semoga dokumen ini berguna dan bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi, serta kemakmuran bangsa Indonesia.
Terima kasih dan salam hormat,
Dr. Ir. Muhamad Sadly, M.Eng. Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Bagian 1 PENDAHULUAN
Indonesia memiliki letak geografis yang sangat strategis dan sangat penting khususnya di kawasan Asia Tenggara. Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumberdaya alam (SDA) dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumberdaya alam Indonesia berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi, dan akibatnya di era globalisasi dewasa ini Indonesia menjadi perhatian banyak negara di dunia.
Kekayaan sumberdaya alam ini perlu dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tetapi dengan tetap melaksanakan aspek keseimbangan dan keberlanjutan. Untuk menjamin hal tersebut, informasi dasar tentang apa (what), siapa (who), di mana (where), mengapa (why), kapan (when) dan bagaimana (how) – sumberdaya alam tersebut sangat dibutuhkan. Salah satu komponen dasar untuk menjawab hal tersebut adalah informasi spasial atau informasi yang terkait dengan keruangan.
Informasi spasial bersumber dari satelit sangat menopang informasi fungsi- fungsi sumber daya alam, seperti sebagai bank genetika, bank air, bank nutrisi, bank papan, bank sandang, bank energi dan bank keanekaragaman hayati. Perubahan fungsi-fungsi sumberdaya alam seperti fungsi ekologi dan hidrologi akan mengisyaratkan terjadinya fenomena-fenomena tertentu yang Informasi spasial bersumber dari satelit sangat menopang informasi fungsi- fungsi sumber daya alam, seperti sebagai bank genetika, bank air, bank nutrisi, bank papan, bank sandang, bank energi dan bank keanekaragaman hayati. Perubahan fungsi-fungsi sumberdaya alam seperti fungsi ekologi dan hidrologi akan mengisyaratkan terjadinya fenomena-fenomena tertentu yang
Dalam rangka mempersiapkan kemandirian bangsa dalam operasional satelit penginderaan jauh (Remote Sensing), maka Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengkaji kebutuhan sistem satelit Inderaja nasional dan dituangkan dalam bentuk dokumen Technology Needs Assessment (TNA).
1.1 Latar Belakang
Dalam prioritas pembangunan nasional 2009-2014 ada sebelas sektor yang menjadi fokus utama pemerintah, meliputi sektor pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, energi, infrastruktur, lingkungan hidup, daerah tertinggal, inovasi teknologi dan sektor lainnya. Sektor inovasi teknologi sangat strategis sekali posisinya karena akan mendukung sektor lainnya dalam memberikan nilai tambah, menaikkan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sumberdaya alam merupakan komponen penting dalam penataan ruang dan pengelolaan wilayah. Namun, sejauh ini masih begitu banyak sumberdaya alam Indonesia yang masih belum terjamah dan terinventarisasi dengan lengkap.
Gambar 1.1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Implikasi praktis dari pemikiran di atas adalah perlunya dikuasai kemampuan observasi kebumian dan eksplorasi SDA melalui informasi keruangan. Informasi keruangan yang diperoleh dengan cepat dan akurat juga sangat menentukan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan. Informasi spasial untuk skala regional, paling efektif diperoleh dari data atau citra satelit. Informasi yang diperoleh dari satelit mampu memberikan gambaran terkini secara tepat tentang kondisi tutupan muka bumi (lahan) dan bentuk geomorfologinya, sehingga dapat diinterpretasi dan dianalisis lebih lanjut.
Hasil komunikasi dengan berbagai institusi Nasional (LPK, LPNK dan universitas) diperoleh informasi yang menunjukkan bahwa anggaran yang dibelanjakan untuk kebutuhan pembelian citra satelit untuk keperluan masing-masing institusi sangat besar. Selain itu juga terdapat tumpang tindih
(overlap) data yang yang dibeli oleh masing-masing institusi yang menyebabkan terjadinya pemborosan (penggunaan anggaran tidak efisien).
Hasil analisis sederhana (rough estimation) menunjukkan bahwa kebutuhan anggaran untuk membeli citra satelit (berbagai jenis data) setiap institusi selama 5 tahun bisa mencapai nilai Rp. 19.000.000.000,- (Sembilan Belas Milyar Rupiah) atau sekitar USD 2.000.000,- (Dua Juta Dolar Amerika) Anggaran untuk membeli data tersebut ternyata sangat mahal, dan diperkirakan akumulasi dari anggaran dana kebutuhan citra satelit tersebut bisa setara atau lebih mahal bila dipakai untuk membangun dan memiliki satelit sendiri. Dengan satelit sendiri banyak keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh, antara lain adalah:
a) Bisa mencakup seluruh wilayah Indonesia,
b) Kebutuhan data untuk pembangunan bisa dipenuhi dengan cepat dan efisien,
c) Efisiensi anggaran negara,
d) Kemandirian dan harga diri bangsa.
Berdasarkan pada kondisi tersebut, demi kemandirian bangsa di bidang teknologi penginderaan jauh, sudah saatnya Indonesia mempunyai strategi khusus dalam merealisasikan sistem satelit penginderaan jauh (Earth Observation Satellite) yang dioperasikan sendiri, yang mampu memenuhi kebutuhan teknis seperti resolusi temporal yang pendek, resolusi spasial yang detil, bebas dari kendala tutupan lahan dan dapat berkonstelasi dengan satelit lain di wilayah Asia.
1.2 Metodologi
Metode yang digunakan dalam penyusunan dokumen TNA ini adalah:
1. Focus Group Discussion: metode ini digunakan untuk mendapatkan data dan informasi tentang berbagai jenis kebutuhan data spasial berbasiskan citra satelit serta teknologi satelit yang tersedia melalui suatu pertemuan umum.
2. Wawancara dan Kunjungan ke fasilistas: metode ini digunakan untuk mendapatkan data dan informasi tentang berbagai fasilitas pendukung kegiatan penginderaan jauh, mencakup industri (swasta) dan pemerintah.
3. Studi kepustakaan (literature study): Metode ini digunakan sebagai dasar untuk menyusun kerangka penyusunan dokumen terkait dengan satelit inderaja. Selain itu, hasil sukses dari pihak lain utamanya dari luar negeri juga dijadikan sebagai bahan kepustakaan sebagai salah satu proses benchmarking.
1.3 Tujuan
Dokumen TNA ini disusun untuk menyediakan informasi terkait dengan sistem satelit inderaja nasional. Informasi tersebut mencakup rangkuman kebutuhan jenis dan spesifikasi citra satelit dari komponen pengguna (user segment), analisis prioritas jenis dan spesifikasi satelit yang sesuai dengan kebutuhan dan alam Indonesia, serta beberapa kemungkinan langkah strategis dalam merealisasikan sistem satelit inderaja nasional.
1.4 Sistematika Laporan
Dokumen TNA ini disusun dalam 4 (empat) bagian, bagian pertama menjelaskan tentang latar belakang, metode dan tujuan penyusunan dokumen ini; bagian kedua membahas tentang rangkuman kebutuhan citra satelit di Indonesia serta kondisi terkini terkait fasilitas dan teknologi pendukung satelit inderaja; bagian ketiga membahas hasil analisis kebutuhan kebutuhan satelit inderaja dalam skala prioritas; serta bagian keempat berupa rangkuman dan kesimpulan.
Bagian 2 KEBUTUHAN DATA SATELIT DAN TEKNOLOGI PENDUKUNG
Penggunaan teknologi satelit dan teknologi komputer untuk menghasilkan informasi keruangan (peta) suatu wilayah saat ini semakin dirasakan manfaatnya. Penggunaan teknik interpretasi citra secara manual, baik dengan foto udara maupun citra non-fotografik yang diambil melalui wahana selain pesawat udara dan sensor selain kamera hingga saat ini telah cukup mapan dan diakui manfaat dan akurasinya. Di sisi lain, pengolahan atau pemrosesan citra satelit secara digital telah mencapai tahap operasional untuk seluruh aplikasi di bidang pengamatan dan pemantauan permukaan bumi.
Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Aplikasi penginderaan jauh saat ini telah menjadi kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi dan posisi), lingkungan (ekologis) dan kewilayahan (regional) dalam segala ukuran luas cakupan.
Hampir bersamaan dengan perkembangan teknik analisis data keruangan melalui Sistem Informasi Geografis (SIG), kebutuhan akan citra digital yang diperoleh melalui perekaman sensor satelit sumberdaya pun semakin meningkat. Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari cakupan wilayah, periode ulang perekaman daerah yang sama, pemilihan spektrum panjang gelombang untuk mengatasi hambatan atmosfer, serta kombinasi saluran spektral (band) yang dapat diatur sesuai dengan tujuan.
Gambar 2.1. Konsep Sistem Penginderaan Jauh Pasif (Optik dan Termal)
Gambar 2.2. Konsep Sistem Penginderaan Jauh Aktif (radar atau microwave)
Memasuki awal sasrawarsa (milenium) ketiga ini, telah beredar banyak jenis satelit sumberdaya yang diluncurkan oleh banyak negara, utamanya dimotori oleh negara-negara maju misalnya Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jepang, dan Rusia, hingga negara-negara besar penduduk seperti India dan Republik Rakyat Cina. Berbagai satelit sumberdaya yang diluncurkan itu menawarkan kemampuan yang bervariasi, dari resolusi spasial sekitar satu meter atau kurang (IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta
Amerika Serikat), 10 meter atau kurang (SPOT milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang), 15-30 meter (ASTER yang merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA, Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, yang sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003), 50 meter (MOS, milik Jepang), 250 dan 500 meter (MODIS milik Amerika Serikat) hingga 1.1 km (NOAA-AVHRR milik Amerika Serikat).
Banyak negara di Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, Asia, dan bahkan Afrika telah memanfaatkan citra satelit itu untuk pembangunan, baik dalam pengelolaan sumberdaya maupun mitigasi bencana alam. Negera-negara berkembang seperti Thailand, Malaysia, Nigeria dan Indonesia juga menyusul untuk meluncurkan dan mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan variasi spesifikasi.
Berbagai jenis sensor dikembangkan untuk penginderaan jauh, misalnya sensor multispektral, pankromatik, sensor aktif seperti radar dan berbasis teknologi laser (LIDAR), dan sensor hiperspektral. Sensor hiperspektral mempunyai ratusan saluran kanal spektral untuk memperoleh informasi yang lebih spesifik mengenai suatu obyek, termasuk komposisi kimia mineral dan spesies organisme.
2.1 Kebutuhan Citra Satelit di Indonesia
Indonesia telah memanfaatkan teknologi inderaja berbasiskan satelit sejak tahun 1980-an dan terus berusaha untuk menguasai teknik dan metode akuisisi, analisis, pemodelan dan interpretasi data atau citra satelit. Tetapi sampai saat ini, posisi Indonesia masih dalam tahap penerima dan pengguna data, belum sebagai penyedia data (satellite data provider). Sebaliknya, Indonesia telah memanfaatkan teknologi inderaja berbasiskan satelit sejak tahun 1980-an dan terus berusaha untuk menguasai teknik dan metode akuisisi, analisis, pemodelan dan interpretasi data atau citra satelit. Tetapi sampai saat ini, posisi Indonesia masih dalam tahap penerima dan pengguna data, belum sebagai penyedia data (satellite data provider). Sebaliknya,
Rencana penguasaan teknologi inderaja ini saat ini didukung penuh oleh pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya:
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 2011 tentang informasi geospasial;
2. Instruksi presiden republik Indonesia Nomor 6 tahun 2012 tentang Penyediaan, penggunaan, pengendalian kualitas, pengolahan dan distribusi data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2013 tentang keantariksaan
Ketiga payung hukum ini dibuat dalam rangka pemanfaatan data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi secara optimal untuk meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara dan menghindari duplikasi alokasi anggaran dalam pengadaan data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi.
Untuk Mengidentifikasi dan memetakan kondisi terkini sumberdaya: manusia (pengguna), alam dan alat (perangkat lunak dan perangkat keras) yang terkait Untuk Mengidentifikasi dan memetakan kondisi terkini sumberdaya: manusia (pengguna), alam dan alat (perangkat lunak dan perangkat keras) yang terkait
• Survey ke institusi tingkat pusat • Survey ke fasilitas yang tersedia dan calon lokasi di daerah • Survey ke fasilitas serupa yang ada di Luar Negeri • Workshop, Focus Group Discussion dan Seminar
Status Kebutuhan Pengguna Indonesia dari berbagai kementerian atau lembaga dirangkum dalam beberapa institusi sebagai berikut:
1. Kementerian Pertanian
Status penggunaan citra satelit yang digunakan oleh Kementerian Pertanian dari beberapa kegiatan sampai saat ini adalah:
• Pemetaan lahan baku sawah o Menggunakan citra satelit IKONOS
o Pada tahun 2010, menyelesaikan seluruh wilayah Jawa. Pada tahun 2012, berencana untuk melakukan di daerah lain termasuk
Sulawesi, Kalimantan dan Papua. o Menggunakan data DEM dari produk SRTM / ASTER-GDEM untuk
memetakan jaringan irigasi. o Produk yang dihasilkan adala peta tematik lahan baku sawah,
skala 1:5.000 ~ 1:10.000 • Peta Tanah o Menggunakan data SPOT, ALOS, Landsat. o Rencana akan mencakup seluruh Indonesia pada tahun 2014. (Per
tahun 2013 ini baru mencakup sekitar 70%) tahun 2013 ini baru mencakup sekitar 70%)
1:250.000. • Peta bencana pertanian o Menggunakan data Landsat-7 tetapi terdapat masalah pada kualitas data. Oleh karena itu, saat ini sedang mempersiapkan percobaan menggunakan citra satelit ALOS.
o Peta emisi karbon untuk program REDD. o Klasifikasi kawasan hutan dan non-hutan berdasarkan status
penggunaan lahan. o Produk yang dikeluarkan adalah peta tematik skala 1:250.000
• Peta Hasil Estimasi Tanaman Palawija o Saat ini dalam tahap perencanaan, karena sektor publik dan
swasta memerlukan hasil estimasi palawija, seperti tebu, karet, dan kelapa sawit.
o Saat ini merencanakan untuk menggunakan pesawat tanpa awak (UAV) karena memerlukan resolusi sangat tinggi, dengan resolusi
sekitar 15cm. o Membutuhkan informasi 3 kali dalam setahun terkait dengan
masa pertumbuhan
Kondisi saat ini (per tahun 2013) Kementerian Pertanian memiliki tiga kendala dalam penggunaan citra satelit, yaitu: ketersediaan data, biaya, dan cakupan kendala awan. Ketersediaan data menjadi salah satu hambatan disebabkan oleh kurangnya data yang sesuai dengan spesifikasi resolusi Kondisi saat ini (per tahun 2013) Kementerian Pertanian memiliki tiga kendala dalam penggunaan citra satelit, yaitu: ketersediaan data, biaya, dan cakupan kendala awan. Ketersediaan data menjadi salah satu hambatan disebabkan oleh kurangnya data yang sesuai dengan spesifikasi resolusi
Biaya merupakan masalah utama untuk penggunaan data resolusi spasial tinggi. Sedang akibat kendala cakupan awan, Kementerian Pertanian saat ini berupaya menguasai teknik pengolahan citra satelit SAR (Synthetic Aperture Radar) yang cocok untuk kondisi Indonesia.
2. Kementerian Kehutanan
Status penggunaan citra satelit yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dari beberapa kegiatan sampai saat ini adalah:
• Perubahan Tutupan Lahan o Data perubahan tutupan area di dalam dan di luar kawasan hutan
• Pemantauan Sumberdaya Hutan o Menggunakan data resolusi spasial menengah (citra satelit
Landsat atau satelit SPOT), dengan kronologis: tahun 1997 menggunakan data Landsat MSS, Landsat 5; tahun 2000 menggunakan data Landsat 7 TM; tahun 2003 menggunakan data Landsat 7 ETM+; kurun waktu tahun 2006 sampai 2009 menggunakan data Landsat 7 ETM+ dan citra satelit SPOT 4.
o Pemutakhiran data dilakukan setiap 3 tahun o Pada tahun 1997, melakukan kegiatan klasifikasi hutan dan bukan
hutan, dan setelah tahun 2000 membuat peta klasifikasi tutupan lahan.
• Sistem pemantauan lanjutan o Menggunakan citra satelit Landsat yang dimulai pada tahun 2000
dan dimutakhirkan setiap 3 tahun (2000, 2003, 2006, 2009). o Kegiatan ini membutuhkan sekitar 3 tahun untuk memperoleh
data yang meliputi seluruh negeri dengan tutupan awan kurang dari 20%.
o Produk yang dikeluarkan adalah peta tematik skala 1:250.000 • Pemantauan Sumber Daya Hutan
o Menggunakan citra satelit resolusi spasial rendah (misalnya MODIS dan SPOT VEGETASI)
o Pemantauan dilakukan sekali dalam setahun o Produk yang dihasilkan adalah peta tematik hutan dan non-hutan
skala 1:500.000
Salah satu kendala dalam pemanfaatan citra satelit pada Kementerian Kehutanan adalah tutupan atau kendala awan. Kementerian kehutanan saat ini juga berupaya menguasai teknik pengolahan citra satelit SAR (Synthetic Aperture Radar) yang cocok untuk kondisi Indonesia.
Gambar 2.3. Citra ALOS-PALSAR Polarisasi Ganda daerah Kalimantan Tengah. Gambar ini memperlihatkan tutupan lahan pada tahun 2011 tanpa terhalang kendala awan
yang merupakan salah satu keunggulan citra radar.
Secara umum Kementerian Kehutanan sampai saat ini menggunakan berbagai jenis dan spesifikasi citra satelit dan dirangkum pada tabel berikut.
Tabel 1.1. Klasifikasi Sistem Satelit Berdasarkan Resolusi Spasial
Klasifikasi Satelit / Sensor Nama
Resolusi Spasial Rendah AVHRR (NOAA), MODIS, SPOT Vegetasi Resolusi Spasial Menengah Landsat: MSS, TM, ETM+ SPOT Resolusi Spasial Tinggi
IKONOS, Quickbird, WorldView 1 dan 2 Lainnya
ALOS PALSAR Sistem satelit SAR lainnya
3. Badan Pertanahan Nasional
Status penggunaan citra satelit yang digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dari beberapa kegiatan sampai saat ini adalah:
• Peta Pendaftaran Tanah Persil o BPN menggunakan data resolusi spasial tinggi untuk
mendaftarkan bidang tanah. Hal ini sangat penting karena kegiatan pendaftaran tanah merupakan salah satu komponen utama dalam tugas pemanfaatan yang efektif sebagai serta menyebabkan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Ada sekitar seratus juta bidang tanah yang harus didaftar, tetapi saat ini (per tahun 2013) hanya sekitar 40% yang terdaftar. BPN berencana untuk menyelesaikan pendaftaran tanah pada tahun 2025 dengan menggunakan citra satelit sebagai salah satu sumber informasi.
o BPN menggunakan tiga macam skala peta untuk pendaftaran bidang tanah, yaitu, 1:1.000; 1:10.000, dan 1:25.000. Saat ini BPN
menggunakan citra satelit resolusi spasial tinggi, yaitu QuickBird, WorldView I dan II, dan GeoEye untuk membuat peta pendaftaran tanah.
• Pemantauan Status Lahan o Citra satelit juga digunakan untuk memantau status lahan. Ini
adalah kegiatan untuk memantau tanah di mana sebuah perusahaan telah diterapkan untuk digunakan. Pemantauan telah dilakukan setiap 5 tahun dan bertujuan untuk mendukung program "ketahanan pangan" terkait dengan ketersediaan lahan untuk pertanian.
o Untuk pemantauan ini digunakan citra satelit dan foto udara. Citra satelit yang digunakan untuk pemantauan adalah citra satelit
SPOT-5 dengan resolusi spasial sekitar 5 meter dan dianggap sudah cukup untuk pemantauan status lahan. Adapun produk yang dihasilkan adalah peta tematik skala 1:25.000 atau 1:50.000.
Saat ini BPN menghadapi tiga masalah terkait dengan penggunaan citra satelit, yaitu, biaya (anggaran BPN untuk citra satelit adalah sekitar dua juta dolar Amerika atau USD 2.000.000 per tahun), cuaca (efek dari tutupan awan khususnya di Kalimantan dan Papua), dan sumber daya manusia.
4. Badan Informasi Geospasial
Status penggunaan citra satelit yang digunakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dari beberapa kegiatan sampai saat ini adalah:
• Pembuatan dan pemutakhiran Peta Dasar o Menggunakan citra satelit resolusi spasial tinggi, seperti:
Quickbird dan Worldview (2008-2011) o Pemutakhiran peta dasar tiap tahun
• Setiap enam bulan memutakhirkan peta lahan gambut menggunakan citra satelit resolusi tinggi (untuk mengidentifikasi batas hutan) dan juga citra satelit SAR untuk memperoleh data yang bebas kendala awan.
Isu dalam penggunaan citra satelit pada BIG adalah biaya yang tinggi untuk pengadaan citra satelit resolusi spasial tinggi. Misalnya untuk tahun 2011 kegiatan pemetaan wilayah Papua saja membutuhkan biaya sekitar 5.5 Juta USD.
5. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Status penggunaan citra satelit yang digunakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari beberapa kegiatan sampai saat ini adalah:
• KKP secara independen memiliki stasiun penerima NOAA, untuk aplikasi: o Pemantauan Lingkungan Laut (warna laut, SST) o Estimasi lokasi penangkapan ikan (fishing grounds)
• Pemantauan Pesisir (pengamatan garis pantai yang membutuhkan resolusi spasial tinggi, monitoring kawasan konservasi Laut):
menggunakan data AVNIR-2, Landsat, IKONOS, dll
Saat ini KKP berusaha meminimalkan kendala terkait citra satelit yaitu kualitas data dipengaruhi oleh cuaca (kabut atau awan), dan kecepatan distribusi data. Selain itu, komponen biaya juga merupakan satu kendala tersendiri. KKP saat ini menghabiskan rata-rata satu milyar rupiah tiap tahun untuk pembelian citra satelit.
6. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tidak memproses citra satelit sendiri. KLH menggunakan citra satelit yang telah diproses terlebih dahulu oleh instansi lain (misalnya LAPAN, KKP, dan Kementrian Kehutanan). Namun, saat ini divisi Konservasi Keanekaragaman Hayati, KLH mulai melakukan interpretasi citra satelit sendiri. Status penggunaan citra satelit yang digunakan oleh KLH dari beberapa kegiatan sampai saat ini adalah:
• Perencanaan pada Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Data digunakan sebagai alat untuk meningkatkan perencanaan ruang setelah mempertimbangkan daya dukung lingkungan di tingkat kabupaten untuk mengembangkan SEA (Strategic Penilaian Lingkungan).
• Keanekaragaman Hayati. Data digunakan untuk mengetahui tutupan lahan sebagai promosi inisiatif Indonesia Hijau. • Mitigasi dan Konservasi Fungsi Ozon. Data tersebut digunakan untuk pemetaan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh tanah dan kebakaran hutan, dan perhitungan emisi gas rumah kaca.
7. Kementerian Pertahanan
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Kementerian Pertahanan menggunakan citra satelit yang telah diproses atau diberikan nilai tambah produk dari berbagai sumber yang diperbolehkan dan telah diatur sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal yang mendasari tentang penguasan teknologi sistem satelit penginderaan jauh adalah amanat tentang penguasaan teknologi dalam pertahanan negara, yaitu:
• Ketergantungan pada negara lain di bidang teknologi akan berdampak terhadap daya tangkal bangsa. Sebaliknya, kemandirian dalam bidang • Ketergantungan pada negara lain di bidang teknologi akan berdampak terhadap daya tangkal bangsa. Sebaliknya, kemandirian dalam bidang
• Perlu penetapan regulasi di lingkungan Kementerian pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menggunakan produk Dalam Negeri (Perpres 41/2010, tentang Pokok-Pokok Kebijakan Umum
Pertahanan Negara atau Jakumhanneg) • Dalam rangka pembangunan dan pembinaan kekuatan pertahanan maka pengadaan barang dan jasa memprioritaskan produk Dalam Negeri dan memberdayakan industri Dalam Negeri (Peraturan Menteri Pertahanan No. 16/2008 tanggal 10 September 2008 tentang Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara atau Jakgarhanneg hal. 17)
• Cakupan wilayah kerja nasional dan regional yang sangat luas, tetapi membutuhkan informasi spasial yang cepat dan akurat.
Untuk itu, Kementerian Pertahanan memberikan beberapa catatan kebutuhan terkait dengan sistem satelit penginderaan jauh nasional terkait dengan aspek pertahanan negara adalah:
1. Wilayah cakupan (coverage): meliputi wilayah sampai dengan di luar yurisdiksi, yang potensial menjadi pangkalan kekuatan lawan pada
masa krisis (25 0 LU-25 0 LS, 65 0 BT-155 0 BT).
2. Kegunaan: mampu memberikan fungsi tambahan berupa secure navigation and communication, penginderaan jauh dengan resolusi tinggi, dengan koordinat yang akurat, historical track, weapon guidance, defence thematic geographic mapping.
3. Ketahanan sistem (Durability): mampu beroperasi pada segala cuaca dan setiap saat.
4. Keamanan: konstruksi di bumi dan di angkasa serta fungsi-fungsinya terlindung dari gangguan lawan, litbangyasa dilaksanakan secara rahasia.
5. Kemandirian: dalam rancang bangun, pabrikasi, pemeliharaan dan operasional derajat kemandirian tinggi.
6. Waktu Penggelaran: paling lambat 10 tahun yang akan datang, sekitar tahun 2025
8. Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakorkamla)
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Bakorkamla menggunakan citra satelit resolusi tinggi untuk mendeteksi kapal di perairan (ship detection); dan mendeteksi tumpahan minyak (oil spill detection). Data yang digunakan berasal dari sensor optik (NOAA dan MODIS) dan juga dari sensor radar (citra Synthetic Aperture Radar atau SAR). Spesifikasi teknis untuk mendeteksi kapal di perairan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.2. Spesifikasi Kebutuhan Bakorkamla
Kegiatan Utama Spesifikasi Kebutuhan
Deteksi kapal Ukuran kapal panjang lebar 15 m dan lebar 4 m Waktu proses dibutuhkan kurang dari 2 jam Resolusi temporal 3-4 hari Cakupan area di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Mengetahui trek kapal
Tumpahan Minyak
Penyebab tumpahan minyak Daerah pencemaran minyak dan penyebarannya Dampak limbah
Panjang gelombang radar Band-C atau band-X Resolusi spasial
Untuk deteksi kapal: dengan ukuran minimum 2 – 30 m Konstelasi
Polar Sun Synchronous: menggunakan 4 konstelasi satelit Dekat khatulistiwa: satu satelit dengan kemiringan 10 o
Sensor lain AIS (Automatic Identification System) Receiver (On Board)
9. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, BNPB menggunakan citra satelit yang telah diproses atau diberikan nilai tambah produk dari LAPAN, dan BIG. Tujuan utamanya adalah untuk kegiatan pemetaan bahaya, pemetaan risiko, manajemen bencana, dan pemantauan titik panas (hotspot). Pemantauan titik panas dilakukan secara terus menerus berdasarkan data pengamatan harian. Ketersediaan data secara cepat (near-real time) yang menggambarkan suatu lokasi bencana dalam kondisi darurat merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh BNPB.
Gambar 2.4. Pemetaan Kebutuhan dan Potensi Data Satelit Inderaja (Sumber: modifikasi dari Sumitomo Corp.)
2.2 Komponen Penyedia Teknologi Satelit Inderaja
Teknologi satelit penginderaan jauh di Indonesia telah dikaji dan dikembangkan oleh LAPAN, khususnya oleh Pusat Teknologi Satelit
(Pusteksat). Program pengembangan satelit di Pusteksat adalah program satelit mikro dengan kode Satelit A. Saat ini yang sudah mengorbit adalah satelit LAPAN A-1 TUBSAT dan akan segera diluncurkan awal tahun 2014 adalah satelit LAPAN A-2 ORARI; sejalan dengan itu, saat ini juga dibangun dan dikembangkan satelit LAPAN A-3 IPB.
Gambar 2.5. Ilustrasi Spesifikasi Satelit Produk LAPAN (Sumber: LAPAN)
Dalam kegiatannya, berbagai sensor dikaji dan dikembangkan, diantaranya adalah:
• Sensor optik dari Nikon dengan focal length 1000 mm untuk sistem kamera analog dan digital. • Sensor Short Message Service (SMS) repeater • Sensor AIS untuk keperluan maritime surveillance
Untuk membangun satelit mikro (bobot kurang dari 100 kg), LAPAN mempunyai kemampuan dan fasilitas berupa:
• Bengkel mekanik • Integrasi dan test satelit mikro: thermal chamber, ruang packaging • Desain dan analisis mekanik satelit: moda getar • Lab uji getar satelit kerjasama dengan Sentra Teknologi Polimer (STP)
BPPT • Pengembangan sub-sistem bus satelit
• Pengembangan radio modem • Pengembangan satellite main computer • Pengembangan dan desain antenna
• Pengembangan model koreksi geometric • Jaringan pengurusan izin penggunaan frequency
Untuk pembangunan satelit dengan bobot di atas 100 kg, LAPAN belum mempunyai fasilitas dan workshop (assembly), sehingga membutuhkan peningkatan kapasitas di segala bidang dan kolaborasi dengan pihak lain.
Selain komponen satelit, LAPAN juga memiliki dan telah menguasai teknologi penerimaan data satelit melalui stasiun bumi. Salah satu stasiun bumi yang terus dikembangkan kapasitasnya adalah stasiun bumi Pare-Pare. Stasiun ini dikelola oleh Balai Penginderaan Jauh Pare-Pare, dengan kemampuan:
• Menerima data satelit resolusi tinggi, menengah dan rendah untuk aplikasi satelit sumberdaya alam, cuaca dan lingkungan (satelit SPOT-4, SPOT-5, SPOT-6, satelit AQUA dan TERRA dengan sensor MODIS)
• Sebelumnya, stasiun bumi ini pernah dan mampu merekan data satelit sensor optik (Landsat) dan satelit sensor radar (ERS-1, ERS-2, dan JERS-
1) • Sistem transmisi data dari satelit stasiun bumi menggunakan saluran X- band sedang untuk komunikasi Stasiun Bumi Parepare ke Jakarta menggunakan jalur VPN dengan kapasitas 10Mbps yang akan ditingkatkan menjadi 20Mbps pada tahun 2013 ini
• Saat ini, ada 4 antena yang masih terpasang: satu unit antenna scientific atalanta (sudah tidak beroperasi), satu unit antenna NEC (sudah tidak beroperasi) dan dua unit antenna seaspace (masih beroperasi)
Gambar 2.6. Fasilitas Antena di Stasiun Bumi LAPAN di Pare-Pare
• Proses bisnis dari stasiun bumi adalah proses akuisisi secara berkala, diolah sampai level bergeoreferensi, dan disampaikan ke Jakarta via paket pos atau jaringan internet.
• Fasilitas pusat kendali satelit (spacecraft control centre) terdapat di Rancabungur-Bogor, Jawa Barat; serta jaringan stasiun bumi kendali dan penerima data satelit di Rumpin (Bogor, Jawa Barat), Kototabang (Sumatera Barat), Pontianak (Kalimantan Barat) dan Biak (Papua).
Gambar 2.7. Fasilitas TTC LAPAN
Selain LAPAN, beberapa institusi lain yang mampu mendukung teknologi satelit inderaja adalah:
• Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang mempunyai beberapa laboratorium dan fasilitas rancang bangun (misalnya laboratorium uji getar), cluster GEOSTECH di Kawasan PUSPIPTEK- Serpong, laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis; serta sumberdaya manusia berlatar belakang pendidikan pembangunan satelit, elektronika instrumentasi dan bidang pendukung lainnya;
Gambar 2.8. Fasilitas GEOSTECH-BPPT, Kawasan PUSPIPTEK
• PT LEN Industri (Persero). Beberapa hal penting terkait dengan PT LEN Industri adalah:
o Pengalaman PT LEN Industri adalah kuat dalam bidang sistem komunikasi (broadcasting dan data communication).
o Pengalaman dalam membangun SBK (stasiun bumi kecil) dan ground receiving station; mengembangkan dan memasang
surveillance system di pesawat NC-212 (kamera foto, video dan kamera infra-merah), mengembangkan sistem stabilizer sumbu X- Y-Z secara mekanik
o Kekuatan sumberdaya manusia: sekitar 500 orang dengan komposisi 300 orang pegawai tetap dan 200 orang tenaga kontrak
o PT LEN belum mempunyai pengalaman dalam membangun instalasi obyek di luar angkasa karena belum mendapatkan
gambaran karakteristik dan kendala yang mungkin dihadapi (misalnya radiasi terhadap komponen, optical device, communication lost, dan lain sebagainya)
o PT LEN belum mempunyai pengalaman yang memadai mengenai optical device. Pengalaman sebatas pada pengembangan
Surveillance System untuk TNI-AU. Kendala karena: belum ada industri optical device di Indonesia; dan sangat sulit dan mahal untuk mendapatkan komponen-komponen optical device dengan spesifikasi tinggi
o Dalam kegiatannya, PT LEN merakit (dan juga mengembangkan) sebagian besar komponennya. Beberapa komponen utama
(utamanya komponen terintegrasi - IC (Integrated Circuit) harus membeli dari pasar luar negeri karena belum produsen komponen dasar tersebut di Indonesia
• Institut Teknologi Badung (ITB). Beberapa laboratorium dan tenaga ahli tentang sensor dimiliki oleh ITB, misalnya saat ini sedang mengembangkan sensor dan algoritma imaging radar.
2.3 Ringkasan
Sebagai hasil dari survei kebutuhan pengguna, kebutuhan data satelit Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, membutuhkan data dari rekaman sensor optik dan radar. Data optik digunakan sebagai data dasar untuk menghasilkan peta dasar atau peta tematik yang dibutuhkan. Data rekaman radar atau citra Synthetic Aperture Radar (SAR) dibutuhkan untuk mengatasi kondisi alam Indonesia yang terletak di daerah tropis yang kandungan uap air tinggi serta cakupan tutupan awan terdapat hampir sepanjang waktu.
Kedua, membutuhkan penyediaan data secara terus menerus dan berkelanjutan. Pada saat ini, tidak ada data satelit yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pengguna dengan harga murah. Misalnya, mengenai data optik, Landsat-7 memiliki masalah data dan ALOS berhenti operasinya.
Ketiga, membutuhkan sistem satelit pengobservasi bumi yang memiliki frekuensi kunjungan (resolusi temporal) wilayah Indonesia yang tinggi, untuk memenuhi kebutuhan data terkait bidang pertanian dan kehutanan; atau yang mudah dikendalikan (pointing abilities) untuk memantau suatu lokasi yang spesifik, untuk memenuhi kebutuhan data terkait bidang kebencanaan dan maritim.
Keempat, dibutuhkan proses peningkatan kapabilitas di semua lini terkait dengan sistem satelit inderaja. Segmen penyedia teknologi (hardware dan software); dan segmen pengolahan data satelit (brainware) yang handal untuk memperoleh citra satelit yang benar dan kemudian dianalisis dan interpretasi untuk pengayaan informasi untuk membantu pengambilan keputusan.
Bagian 3 ANALISIS KEBUTUHAN SISTEM SATELIT PENGINDERAAN JAUH NASIONAL
Analisis kebutuhan sistem satelit penginderaan jauh nasional dilakukan berdasarkan kebutuhan komponen pengguna data satelit; sistem satelit penginderaan jauh yang telah ada dan beroperasi; serta perkiraan perkembangan teknologi ke depan. Analisis hasil pengumpulan informasi pada bagian 2 sebelumnya, dapat disebutkan bahwa secara fungsional sistem satelit yang dimanfaatkan dan dibutuhkan oleh Indonesia dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan besar yaitu:
1. Satelit untuk pemantauan cuaca dan atmosferik. Satelit ini dimanfaatkan untuk mengamati cuaca dan parameter iklim bumi. Saat ini ketersediaan data hasil pemantauan cuaca dan informasi yang dihasilkan dari satelit ini sudah baik dan dapat diperoleh secara cuma- cuma atau membutuhkan biaya yang relatif sedikit.
2. Satelit untuk pemantauan pada saat terjadi bencana atau keadaan darurat (emergency response). Satelit yang dibutuhkan untuk pemantauan dan pengenalan awal situasi lapangan (reconnaissance) di mana satelit dapat diarahkan ke sebuah lokasi untuk kepentingan pemantauan (pointing ability) pada saat darurat (bencana atau aspek pertahanan keamanan).
3. Satelit untuk pemetaan. Fungsi utama dari satelit ini adalah melakukan pemotretan kondisi permukaan bumi dan obyek-obyek di permukaan 3. Satelit untuk pemetaan. Fungsi utama dari satelit ini adalah melakukan pemotretan kondisi permukaan bumi dan obyek-obyek di permukaan
Untuk itu, pada Bagian 3 ini dilakukan analisis terkait dengan sistem teknologi satelit yang telah ada dan banyak digunakan di Indonesia serta analisis kebutuhan sistem satelit yang paling sesuai dikembangkan oleh Indonesia.
3.1 Sistem Satelit Penyedia Data di Indonesia
Berdasarkan hasil pada Bagian 2, dapat diidentifikasi bahwa jenis data dan citra satelit yang dibutuhkan oleh institusi di Indonesia umumnya terbatas pada IKONOS, SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre), Landsat, ALOS (Advance Land Observation Satellite) dan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). Beberapa jenis citra lainnya, seperti Quickbird dapat disubstitusikan dengan data citra yang disebutkan di atas (lihat Tabel 1.1). Berikut adalah beberapa sistem satelit dan sensor yang sering digunakan di Indonesia.
• Sistem Satelit NOAA-AVHRR . Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) adalah sensor ruang angkasa yang dimiliki oleh
NOAA yang mengorbit pada kutub. Instrumen AVHRR mengukur reflektansi dari Bumi dalam 5 pita spektral yang relatif besar. Dua pita pertama berpusat di sekitar pita merah (0.6 mikrometer, 500 THz) dan dekat-inframerah (near infrared – 0.9 mikrometer, 300 THz), yang ketiga terletak sekitar 3.5 mikrometer, dan dua pita terakhir yang merekam radiasi termal yang dipancarkan oleh bumi. Satelit NOAA-
AVHRR melintasi equator dua kali dalam sehari yaitu pada pukul 07.30 dan 19.30 waktu matahari setempat. Data pengamatan pagi paling sering digunakan untuk studi tanah, sedangkan data pengamatan sore digunakan untuk studi atmosfer dan laut. Luas wilayah cakupan (swath width) atau lebar wilayah di permukaan bumi yang dapat dilihat oleh satelit ini adalah sekitar 2.500 kilometer dari ketinggian antara 833 atau 870 kilometer di atas permukaan bumi. Resolusi tertinggi yang dapat diperoleh dari instrumen AVHRR saat ini adalah 1.1 kilometer
Tujuan utama instrumen ini adalah untuk memantau awan dan untuk mengukur emisi termal bumi. Sensor ini telah terbukti berguna untuk mempelajari perubahan iklim dan degradasi lingkungan.
• Sistem Satelit sensor MODIS . MODIS (The Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer) adalah salah satu instrument utama yang dibawa
Earth Observing System (EOS) Terra dan Aqua, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini.
Satelit Terra berhasil diluncurkan pada Desember 1999 dan akan disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun 2002. Satelit ini mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar cakupan wilayah (swath width) pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2.330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang Satelit Terra berhasil diluncurkan pada Desember 1999 dan akan disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun 2002. Satelit ini mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar cakupan wilayah (swath width) pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2.330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang
dibedakan sampai 2 12 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen citra (pixels, picture element) berukuran (resolusi spasial) sekitar 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7) dan 1.000 m (band 8-36). MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari untuk kawasan di atas lintang 30; dan setiap 2 hari untuk kawasan di bawah lintang 30 termasuk Indonesia.
Dengan karakteristik seperti yang dijelaskan di atas, MODIS memiliki beberapa kelebihan dibanding NOAA-AVHRR. Diantara kelebihannya adalah lebih banyaknya spektral panjang gelombang (resolusi radiometrik) dan lebih telitinya cakupan lahan (resolusi spasial) serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (resolusi temporal). MODIS juga memiliki kelebihan efektifitas ekonomi untuk riset-riset global dan kontinental sampai beberapa tahun mendatang.
Produk MODIS dikatagorikan menjadi tiga bagian: produk
pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi, dan tutupan lahan. Diantara capaian riset adalah pendeteksian kebakaran hutan, pendeteksian perubahan tutupan lahan dan pengukuran suhu permukaan bumi. Suhu permukaan bumi dipadukan dengan data albedo (fraksi cahaya yang dipantulkan permukaan bumi) dimanfaatkan untuk pemodelan iklim. Dengan resolusi spasial yang semakin tinggi, dimungkinkan riset tentang prakiraan, dampak serta adaptasi regional yang diperlukan dalam menghadap perubahan lingkungan.
• Sistem Satelit Landsat
Program Landsat merupakan program observasi bumi dengan sejarah yang panjang. Sistem Landsat dikembangkan dan dioperasikan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor multispectral scanner (MSS). Setelah tahun 1982, ditambahkan sensor Thematic Mapper (TM). Pada April 1999 Landsat-7 diluncurkan dengan membawa sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM). Kemudian diikuti oleh peluncuran Landsat-8 pada bulan Februari 2013 dengan sensor TM dan ETM+. Karakteristik sensor ETM+ Landsat dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 3.1. Spesifikasi Sensor ETM pada Landsat-7
Sistem
Landsat-7
Orbit 705 km, 98.2o, sun-synchronous, 10:00 AM crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle)
Sensor Swath
ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)
Width
185 km (FOV=15o)
Off-track viewing
Tidak tersedia
Revisit Time
16 hari
Band-band Spektral (µm) 0.45 -0.52 (1),
0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)
Ukuran Piksel Lapangan 15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6 (Resolusi spasial)
Resolusi spasial menengah
Aplikasi
Perubahan tutupan lahan Pengenalan dan/atau pemetaan terhadap mineral dan jenis batuan