Proposal Skripsi Jonathan Saputra Seme

Proposal Skripsi

Perbandingan Pengaruh Teknik Pengelompokkan Umum
dan Fuzzy K-means Clustering dalam Pembelajaran
Kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions
(STAD) Terhadap Prestasi Belajar, Persepsi akan
Keberagaman, dan Kemampuan Sosial Siswa

Jonathan Saputra
2009110004

STKIP Kebangkitan Nasional
Sampoerna School of Education
2012

1

Bab I
Pendahuluan
1.


Latar Belakang
Dalam kegiatan pembelajaran Matematika, siswa perlu dijadikan pusat

kegiatan agar siswa mampu membangun pemahaman mereka sendiri akan konsep
yang diajarkan. Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan satu
dari sekian banyak pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam
penelitiannya, Majoka et al (2010) mengatakan bahwa pembelajaran Matematika
membutuhkan pemikiran logis, argumentatif, serta dekat dengan kehidupan sosial
yang membutuhkan metode pembelajaran khusus seperti pada pembelajaran
kooperatif. Pendekatan pembelajaran kooperatif sendiri terbagi menjadi beberapa
jenis metode pembelajaran, sesuai dengan keinginan guru.
Johnson et al (2000) memaparkan beberapa metode pembelajaran
kooperatif, misalnya Teams-Games-Tournament (TGT), Group Investigation
(GI), Jigsaw, dan Student Teams Achievement Divisions (STAD). Aronson et al
(1978, dalam Lang dan Evans, 2006) mendiskripsikan kegunaan Jigsaw sebagai
alat pendorong terciptanya kerjasama dan pertukaran ilmu antar siswa. Slavin
(1978,

dalam


Lang

dan

Evans,

2006)

menyebutkan

bahwa

TGT

mengimplementasi sistem kompetisi, yaitu antara siswa dengan kemampuan
kognitif seimbang dan antara masing-masing kelompok. GI, menurut Sharan dan
Lazarowitz (1980, dalam Lang dan Evans, 2006), membuat siswa mengumpulkan
data, menginterpretasi data melalui diskusi, dan mensintesis kontribusi masingmasing siswa dalam suatu hasil akhir kelompok. Lang dan Evans (2006) turut

2


menjelaskan kemiripan metode pembelajaran STAD dan TGT dalam hal
kompetisi antar kelompok. Perbedaan terletak pada STAD yang tidak
menggunakan permainan dan turnamen, namun lebih menekankan pada kerjasama
siswa di dalam kelompok dalam mengulang pembelajaran dari guru.
Dibandingkan dengan metode pembelajaran pembelajaran kooperatif
lainnya, STAD memiliki beberapa keunggulan khusus bagi siswa. Whicker, Bol,
dan Nunnery (1997) menyimpulkan pada penelitiannya bahwa pembelajaran
kooperatif, khususnya metode pembelajaran STAD, lebih meningkatkan prestasi
belajar siswa sekaligus menunjukkan respon siswa yang positif akan pembelajaran
Matematika daripada metode pembelajaran tradisional. Junanto (2010) juga
menemukan dalam penelitiannya bahwa STAD lebih memberi pengaruh positif
pada kemampuan kognitif dan afektif dibandingkan dengan metode Think-PairShare (TPS). Hal-hal tersebut menunjukkan potensi STAD sebagai metode
pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran
Matematika tingkat SMA di Indonesia.
Arends (2007) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif ditujukan
untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yang penting: pencapaian akademik,
toleransi dan penerimaan akan keberagaman, dan pengembangan kemampuan
sosial. Tujuan-tujuan tersebut tercakup secara menyeluruh dalam penggunaan
STAD


di dalam

kelas.

Pada

STAD,

masing-masing

kelompok

akan

beranggotakan siswa-siswa dengan kemampuan akademik yang merata. Hal ini
dilakukan untuk menciptakan pertukaran ilmu di antara siswa, sehingga siswa
dengan kemampuan akademik tinggi dapat membantu siswa dengan kemampuan

3


akademik

sedang

dan

rendah.

Jolliffe

(2005)

menggali

tentang

pengimplementasian pembelajaran kooperatif model STAD pada beberapa
sekolah di Inggris dan menemukan bahwa guru-guru pada sekolah tersebut merasa
yakin dengan keefektivitasan metode STAD berdasarkan dampak positif terhadap

pencapaian kognitif siswa. Masing-masing kelompok juga akan beranggotakan
siswa-siswa dengan latar belakang yang beragam, misalnya latar belakang
ekonomi, budaya, dan sosial. Pembentukan ini juga dilakukan agar siswa-siswa
terbiasa dengan keberagaman dan sikap toleransi di diri mereka akan semakin
mengakar. Siswa pun akan merasa tidak asing dan lebih mudah menerima
keberagaman yang mereka jumpai di kehidupan sehari-hari. Selain itu,
pembentukan kelompok juga diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan
kemampuan sosialnya. Sinergi di dalam kelompok adalah hal yang diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan sosial para siswa. Sinergi tersebut berupa
kontribusi masing-masing anggota dan interaksi yang tercipta di dalamnya.
Sehingga, kemampuan sosial siswa (komunikasi, tanggung jawab, self-awareness,
dan lain-lain) akan terus berkembang melalui pembelajaran kita. Jolliffe (2005)
juga menemukan bahwa guru-guru pada sekolah-sekolah di Inggris yang
menerapkan pembelajaran kooperatif model STAD merasa yakin dengan
keefektivitasan

metode

STAD


berdasarkan

dampak

positif

terhadap

perkembangan kemampuan sosial siswa.
Mengingat kuatnya pengaruh STAD terhadap perkembangan proses
pembelajaran siswa, ada satu aspek yang perlu menjadi perhatian khusus saat
mengimplementasi

metode

STAD.

Aspek

tersebut


adalah

teknik

4

pengelompokkan. Kelompok menjadi nyawa dalam metode pembelajaran STAD
karena hampir semua kegiatan pembelajaran dilakukan bersama-sama di dalam
suatu kelompok. Sejauh ini, belum ada suatu acuan pasti dalam pembentukan
kelompok siswa. Cara yang digunakan umumnya hanya menggunakan
perhitungan sederhana, asalkan kelompok-kelompok yang terbentuk dapat
menunjukkan heterogenitas di dalam kelas. Heterogenitas yang dimaksud
merupakan hal-hal mendasar yang berbeda pada masing-masing siswa sesuai
dengan kondisi kelas yang bersangkutan. Sebagai contoh, Armstrong dan Palmer
(1998) dalam penelitiannya membagi siswa ke dalam kelompok dengan
menggunakan cara pengelompokkan STAD sederhana sesuai dengan kemampuan
akademik, jenis kelamin, dan ras siswa pada kelas tersebut.
Terkait dengan cara pengelompokkan, Zadeh (1965) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa banyak kelompok-kelompok yang tidak secara pasti

memiliki suatu kriteria pembentukan kelompok. Bintang laut dan bakteri adalah
contoh yang menurut Zadeh (1965) menciptakan ambiguitas pada kriteria
pembentukan kelompok hewan. Meski begitu, Zadeh (1965) juga menyebutkan
bahwa tetap ada kelompok-kelompok dengan kriteria pembentukan kelompok
yang sudah pasti. Jenis kelamin adalah contoh dari dasar pembentukan kelompok
yang memiliki kriteria yang jelas. Karena hanya ada dua kriteria pada dimensi
jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, maka setiap orang akan secara jelas
masuk ke dalam suatu kriteria. Dengan demikian, adanya kelompok yang sudah
dan belum memiliki kriteria yang pasti dalam pembentukannya membuat cara

5

pengelompokkan

yang

biasa

menjadi


kurang

sensitif

terhadap

nilai

keanggotaannya masing-masing datanya.
Pembagian kelompok berdasarkan teknik fuzzy, atau dapat disebut sebagai
fuzzy clustering, dapat menjadi solusi untuk mengatasi kendala sensitivitas yang
ditemukan dalam cara pengelompokkan klasik pada metode pembelajaran STAD.
Ada beberapa kelebihan yang dimiliki teknik fuzzy clustering. Pertama, nilai
keanggotaan siswa sebagai suatu data akan masing-masing kelompok akan lebih
jelas terlihat. Sehingga, guru dapat lebih percaya diri dalam membuat kelompok
yang lebih merata. Kedua, teknik fuzzy clustering melihat lebih dari satu dimensi
secara bersama-sama dalam penentuan nilai keanggotaan siswa. Seperti
disebutkan sebelumnya, kelompok belajar dalam metode pembelajaran STAD
haruslah mewakili keheterogenitasan yang ada di kelas. Untuk itu, guru dapat
melihat lebih dari satu dimensi heterogenitas secara bersama-sama melalui teknik

ini. Ketiga, teknik fuzzy clustering dapat mengakomodir isu sensitivitas yang
kurang terakomodir di cara yang biasa. Sudah jelasnya nilai keanggotaan masingmasing siswa membuat kekeliruan pada saat guru membentuk kelompok dapat
diminimalisir. Secara umum, terlihat bahwa teknik fuzzy clustering juga dapat
membantu guru untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran kooperatif melalui
STAD, yaitu pencapaian akademik, penerimaan akan keberagaman, dan
pengembangan kemampuan sosial (Arends, 2007).
Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang pengaruh metode
pembelajaran STAD dengan menggunakan dua teknik pengelompokkan. Teknik
pengelompokkan yang pertama adalah teknik pengelompokkan umum/biasa.

6

Teknik umum yang dimaksud adalah cara pengelompokkan biasa yang
menggunakan cara pembagian sederhana berdasarkan kriteria-kriteria yang
diingini. Teknik pengelompokkan yang kedua adalah fuzzy clustering, tepatnya
teknik fuzzy k-means clustering. Teknik fuzzy k-means clustering adalah cara
pembentukan kelompok yang mengaplikasikan konsep fuzzy k-means dalam
penentuan nilai anggota dari setiap data.
Dasar pembentukan kelompok, disebut pula sebagai dimensi pembentukan
kelompok, yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif,
status sosial, jenis kelamin, dan suku asal. Armstrong dan Palmer (1998)
menjabarkan bahwa metode STAD membagi kelompok sesuai heterogenitas akan
kemampuan kognitif, jenis kelamin, dan suku asal. Status sosial menjadi elemen
tambahan karena peneliti menganggap faktor ini dapat turut mempengaruhi
penerimaan siswa akan keberagaman. Dari keempat dimensi tersebut, kemampuan
kognitif dan status sosial menjadi dimensi pembentukan kelompok yang belum
memiliki kriteria khusus, sesuai dengan penjabaran Zadeh (1965) dalam
penelitiannya akan kriteria pembentukan kelompok. Di lain pihak, jenis kelamin
dan suku asal menjadi dimensi pembentukan kelompok yang sudah memiliki
kriteria pengelompokkan yang pasti. Berkaitan dengan cara pembentukan
kelompok pada masing-masing teknik pengelompokkan, teknik umum/biasa akan
membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok sesuai cara perhitungan sederhana
namun mengakomodir keempat dimensi yang diingini. Sedangkan teknik fuzzy kmeans clustering akan memiliki cara perhitungan khusus dalam penentuan nilai
keanggotaan masing-masing data. Kemampuan kognitif dan status sosial menjadi

7

dua dimensi yang akan diukur melalui perhitungan fuzzy k-means. Sehingga,
masing-masing kelompok akan memiliki ketersebaran yang rata antara jenis
kelamin, suku asal, dan hasil perhitungan fuzzy k-means untuk kemampuan
kognitif dan status sosial. Pada akhirnya, akan ada dua data yang
diperbandingkan, yaitu data eksperimen (data hasil penggunaan teknik fuzzy kmeans clustering) dan data kontrol (data hasil penggunaan teknik umum/biasa).
Hal yang akan diperbandingkan dari data eksperimen dan data kontrol
adalah pengaruh masing-masing data akan prestasi belajar siswa dalam
matematika. Prestasi yang dimaksud adalah prestasi kognitif siswa. Prestasi ini
akan diukur melalui produk akhir pembelajaran (contoh: ulangan harian, tugas
individu dalam kelompok, kuis, dan lain-lain). Selain prestasi kognitif, rasa
toleransi dan penerimaan keberagaman juga akan dilihat perbedaannya pada
pengimplementasian kedua teknik pengelompokkan. Terakhir, kemampuan sosial
juga akan dilihat perkembangannya di bawah kondisi pembelajaran dengan
masing-masing teknik pengelompokkan. Hal-hal ini perlu untuk dipertimbangkan,
mengingat tujuan STAD menurut Arends (2007) adalah membuat siswa mampu
meningkatkan prestasi akademik, mengembangkan toleransi dan penerimaan akan
keberagaman, dan mengembangkan kemampuan sosial.
2.

Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian kali ini, peneliti akan membandingkan pengaruh dari

penggunaan dua teknik pengelompokkan berbeda dalam metode pembelajaran
STAD. Dua teknik pengelompokkan tersebut adalah teknik umum/biasa dan

8

teknik fuzzy k-means. Pengaruh yang dimaksud adalah pengaruh positif terhadap
prestasi pembelajaran siswa persepsi siswa akan keberagaman, dan kemampuan
sosial siswa. Sehingga, pertanyaan penelitian yang muncul adalah:
1.

Apakah penggunaan teknik fuzzy k–means clustering dalam pembentukan
kelompok dapat memberi pengaruh yang lebih positif terhadap prestasi
belajar siswa dalam Matematika dibandingkan dengan penggunaan teknik
umum/biasa?

2.

Apakah ada perbedaan pada persepsi siswa akan keberagaman dalam
kondisi pembelajaran yang sama?

3.

Apakah ada perbedaan pada perkembangan kemampuan sosial siswa
dalam kondisi pembelajaran yang sama?

3.

Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian, tujuan yang ingin

dicapai dari penelitian ini adalah:
1)

Mengidentifikasi besarnya pengaruh dari teknik fuzzy k-means clustering
terhadap prestasi belajar siswa dalam Matematika dan perbandingannya
dengan teknik pengelompokkan umum,

2)

Mengidentifikasi besarnya pengaruh positif dari teknik fuzzy k-means
clustering

terhadap

persepsi

siswa

akan

keberagaman

perbandingannya dengan teknik pengelompokkan umum,

dan

9

3)

Mengidentifikasi besarnya pengaruh positif dari teknik fuzzy k-means
clustering

terhadap

perkembangan kemampuan sosial siswa dan

perbandingannya dengan teknik pengelompokkan umum,
4)

Menentukan teknik pengelompokkan yang paling sesuai dengan metode
pembelajaran STAD, ditinjau dari prestasi belajar siswa, persepsi siswa
akan keberagaman, dan perkembangan kemampuan sosial siswa.

4.

Manfaat
Berdasarkan latar belakang, pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian,

manfaat dari penelitian ini adalah:
1)

Untuk peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan
peneliti

dalam

melakukan

penelitian

sekaligus

menambah

ilmu

pengetahuan tentang dunia pendidikan, khususnya pada pengujian metode
pembentukan kelompok belajar di dalam kelas,
2)

Untuk Sampoerna School of Education (SSE) selaku institusi peneliti,
penelitian ini bermanfaat sebagai dokumen tertulis yang dapat digunakan
sebagai rujukan untuk penelitian dengan isu yang serupa,

3)

Untuk para guru, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan rujukan untuk
penggunaan teknik pengelompokkan dalam pembelajaran kooperatif
metode STAD, dan

4)

Untuk para peneliti lain, penelitian ini bermanfaat sebagai rujukan untuk
contoh pengimplementasian fuzzy k-means dalam dunia pendidikan,
tepatnya dalam pengelompokkan pembelajaran kooperatif metode STAD.

10

Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1.

Pembelajaran Kooperatif

2.1.1. Definisi
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu contoh pendekatan
pembelajaran modern yang berpusat pada siswa. Cruickshank, Jenkins, dan
Metcalf (2009) mengartikan pembelajaran kooperatif sebagai istilah yang
digunakan untuk menjelaskan kondisi dimana pembelajar bekerja bersama-sama
di dalam kelompok kecil dan dihargai untuk pencapaian mereka secara bersamasama. Eggen dan Kauchak (2006) mendefinisikan pembelajaran kooperatif
sebagai kumpulan metode pembelajaran yang menyediakan kegiatan terstruktur
sekaligus menekankan pada interaksi sosial.
Pembelajaran kooperatif memiliki prinsip dasar yang menjadi landasan
dalam pengimplementasiannya di dalam kelas. Prinsip-prinsip tersebut, menurut
Muslimin et al (2000, dalam Widyantini 2008) adalah:
a)

Setiap siswa dalam suatu kelompok memiliki tanggung jawab akan semua
hal yang dikerjakan di dalam kelompok mereka.

b)

Setiap siswa dalam suatu kelompok harus mengetahui bahwa semua
anggota kelompok memiliki tujuan yang sama.

c)

Setiap siswa dalam suatu kelompok memiliki tugas dan tanggung jawab
yang seimbang di antara anggota kelompok mereka.

d)

Setiap siswa dalam suatu kelompok akan dievaluasi.

11

e)

Setiap siswa dalam suatu kelompok berbagi kepemimpinan dan
membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajar
mereka.

f)

Setiap

siswa

dalam

mempertanggungjawabkan

suatu

kelompok

secara

akan

individual

diminta

untuk

materi-materi

yang

dikerjakan di dalam kelompok.
Keenam prinsip diatas menjadi ciri khusus yang dimiliki oleh pembelajaran
kooperatif. Prinsip-prinsip tersebut juga merupakan gambaran umum mengenai
pengimplementasian metode-metode pembelajaran kooperatif di dalam kelas.
2.1.2. Metode Pembelajaran
Dalam

pengimplementasiannya,

kegiatan-kegiatan

pembelajaran

kooperatif bergantung pada metode pembelajaran yang dipilih oleh guru.
Beberapa contoh metode pembelajaran yang termasuk ke dalam pembelajaran
kooperatif adalah Teams-Games-Tournament (TGT), Group Investigation (GI),
Jigsaw, Think-Pair-Share (TPS), dan Student-Team Achievement Divisions
(STAD). Tabel berikut memaparkan metode-metode tersebut dan definisinya saat
diimplementasikan di kegiatan pembelajaran:
Tabel 2.1 definisi metode-metode pembelajaran kooperatif
Metode
Definisi
TGT dikembangkan oleh DeVries dan Edwards pada 1974. TGT
merupakan metode pembelajaran dengan prosedur pelaksanaan
TGT

yang sama dengan STAD, namun disertai dengan kuis dan
kompetisi. Masing-masing kelompok di dalam kelas akan
berkompetisi dengan persaingan antar siswa dengan kemampuan

12

kognitif seimbang.
GI dikembangkan oleh Sharan dan Lazarowitz pada 1980. Pada
GI, guru akan menjelaskan topik umum pada siswa, yang
kemudian akan diinvestigasi dan dibuat laporan akan masingGI

masing subtopik. Siswa akan mendapat tugas secara individual
dalam kelompoknya dan akan disintesis ke dalam hasil kerja
kelompok setelah melalui diskusi terlebih dahulu.
Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et al pada 1978. Pada Jigsaw,
masing-masing siswa bertanggungjawab akan subtopik yang
mereka punya. Siswa-siswa dengan subtopik yang sama akan

Jigsaw

berdiskusi untuk memahami subtopik tersebut. Setelah itu, setiap
siswa akan kembali ke kelompok masing-masing untuk
menjelaskan subtopik yang mereka kuasai pada anggota kelompok
lainnya.
TPS dikembangkan oleh Lyman pada 1985. Setelah mendalami
materi atau menerima penjelasan guru, siswa akan mendapatkan
waktu untuk berpikir terlebih dahulu. Lalu, siswa akan bekerja

TPS

berpasangan untuk mendiskusikan hasil pemikiran mereka.
Terakhir, masing-masing pasangan akan berbagi mengenai hasil
diskusi mereka dengan pasangan-pasangan lainnya.
STAD dikembangkan oleh Slavin pada 1978. STAD merupakan
metode pembelajaran kooperatif paling sederhana, dimana siswa
di dalam kelompok belajar dan saling membantu dalam

STAD

penguasaan materi belajar. Terdapat nilai peningkatan sebagai
apresiasi terhadap peningkatan yang siswa capai di dalam
kelompoknya.

Sumber: Arends (2007); Cruickshank, Jenkins, dan Metcalf (2009); Eggen dan Kauchak
(2006); Lang dan Evans (2006)

2.1.3. Manfaat

13

Pembelajaran kooperatif memiliki manfaat-manfaat yang penting dan
berbeda sesuai dengan sudut pandang yang dipakai. Emmer dan Gerwels (1998,
dalam Eggen dan Kauchak, 2006) berpendapat bahwa keberagaman tujuan
pembelajaran yang bisa dibuat oleh guru sebagai manfaat dari pembelajaran
kooperatif. Keberagaman yang dimaksud adalah pencapaian prestasi yang lebih
tinggi, peningkatan motivasi, peningkatan kemampuan sosial dan hubungan yang
lebih baik diantara siswa dengan latar belakang yang beragam. Lang dan Evans
(2006) memaparkan manfaat pembelajaran kooperatif lainnya dengan tinjauan
dari karakter siswa. Karakter siswa akan berbeda sesuai dengan pendekatan
pembelajaran yang digunakan. Pada pembelajaran tradisional, kesuksesan satu
siswa mengakibatkan kegagalan bagi siswa lainnya. Sebagai contoh, nilai ulangan
tertinggi di kelas hanya dimiliki oleh satu siswa, sedangkan siswa yang lain akan
gagal mendapatkannya. Kondisi tersebut membuat karakter siswa yang tercipta
menjadi karakter yang kompetitif. Hal yang bertolakbelakang muncul pada
karakter siswa hasil pembelajaran kooperatif. Siswa-siswi yang terlibat dalam
pendekatan

pembelajaran

kooperatif

didorong

dan/atau

diminta

untuk

bekerjasama pada tugas yang sama, dan mereka harus memusatkan kerja keras
mereka untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga, karakter yang terbentuk
akan lebih mengarah pada karakter yang kooperatif.
Pendapat lain dikemukakan Arends (2007) mengenai manfaat dari
pembelajaran kooperatif. Manfaat-manfaat tersebut adalah pencapaian akademik,
penerimaan akan keberagaman, dan pengembangan kemampuan sosial. Yang
dimaksud dengan pencapaian akademik adalah peningkatan prestasi belajar siswa

14

dengan berbagai tingkatan kognitif (tinggi, sedang, rendah). Hal ini dapat
terwujud karena masing-masing kelompok akan memiliki ketersebaran dalam hal
tingkatan kognitif. Melalui interaksi di dalam kelompok, pertukaran ilmu antar
siswa akan tercipta dalam pengimplementasian metode-metode pembelajaran
yang dikehendaki. Sehingga, tidak hanya siswa dengan kemampuan kognitif
tinggi yang akan meningkat, namun juga siswa dengan tingkatan kognitif rendah
atau sedang. Selanjutnya, penerimaan akan keberagaman sosial adalah
ketersediaan kesempatan pada pembelajaran kooperatif untuk mengakomodir
keberagaman latar belakang siswa. Interaksi di dalam kelompok yang terdiri dari
siswa yang beragam akan mampu meningkatkan rasa toleransi antar siswa. Rasa
toleransi ini akan semakin berguna saat diaplikasikan siswa dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Sama seperti pada pencapaian akademik dan penerimaan akan
keberagaman, perkembangan kemampuan sosial siswa juga akan tercapai melalui
interaksi yang terjadi di dalam kelompok. Kemampuan sosial, seperti kemampuan
berkomunikasi, mendengar, dan menyampaikan pendapat, juga akan berguna bagi
siswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari mereka.
Jika ditinjau lebih lanjut, manfaat-manfaat tersebut memiliki hubungan
satu dengan yang lain. Manfaat yang dijabarkan Emmer dan Gerwels (1998,
dalam Eggen dan Kauchak, 2008), yaitu keberagaman tujuan pembelajaran,
memiliki makna yang menyerupai manfaat pembelajaran kooperatif menurut
penjabaran Arends (2007). Tujuan pembelajaran yang dimaksud oleh Emmer dan
Gerwels (1998, dalam Eggen dan Kauchak, 2008) sejalan dengan peningkatan
pencapaian akademik, penerimaan akan keberagaman, dan pengembangan

15

kemampuan sosial yang dipaparkan Arends (2007). Karakter siswa sesuai
penjabaran Lang dan Evans (2006) juga sesuai dengan manfaat pembelajaran
kooperatif menurut penjabaran Arends (2007). Tanpa adanya karakter kooperatif
pada siswa, maka tiga manfaat yang dijabarkan Arends (2007) tidak akan
terwujud dalam pembelajaran tipe kooperatif. Sebaliknya, jika siswa semakin
memiliki karakter kooperatif yang matang, tiga manfaat tersebut pun akan
semakin mudah didapatkan pada pembelajaran kooperatif.
2.2.

STAD

2.2.1. Definisi
Slavin (1995, dalam Eggen dan Kauchak, 2006) mengartikan STAD
sebagai metode pembelajaran kooperatif untuk mengajarkan fakta, konsep, dan
kemampuan dengan menggunakan kelompok dengan kemampuan bervariasi.
Cruickshank, Jenkins, dan Metcalf (2009) menyebutkan STAD sebagai metode
pembelajaran kooperatif dimana penempatan siswa-siswa dalam kelompok
heterogen untuk menguasai materi pembelajaran dilakukan setelah guru
menjelaskan materi tersebut. Kelompok heterogen merupakan hal yang penting di
dalam STAD, karena manfaat-manfaat pembelajaran kooperatif dapat terpenuhi
pada kelompok heterogen tersebut. Banyak faktor yang digunakan untuk
membentuk heterogenitas di dalam kelompok belajar STAD. Arends (2007)
menyebutkan beberapa contoh faktor, seperti jenis kelamin dan kemampuan
kognitif. Faktor-faktor tersebut dapat berkembang lebih lanjut sesuai dengan
tujuan pembentukan kelompok yang dilakukan oleh guru.
2.2.2. Keunggulan

16

STAD memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan metodemetode

pembelajaran

kooperatif

lainnya.

Tabel

berikut

menjabarkan

perbandingan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dari masing-masing
metode pembelajaran:
Tabel 2.2 penjabaran kelebihan dan kekurangan masing-masing metode
Metode

Perbandingan kelebihan dan kekurangan
Pada TGT, kompetisi digunakan sebagai motivasi oleh guru untuk

TGT

meningkatkan prestasi belajar siswa. Di sisi lain, TGT cenderung
membentuk karakter siswa dengan dominasi sisi kompetitif
daripada kooperatif.
Berbeda dengan TGT atau STAD yang mengedepankan kerjasama
antar siswa dalam menguasai materi pembelajaran, GI lebih

GI

mengedepankan kerjasama dalam hal menginvestigasi dan
melaporkan materi. Namun, metode ini lebih dapat diaplikasikan
pada kelompok dengan siswa dengan pemikiran tingkat tinggi.
Pada Jigsaw, murid dituntut untuk bertanggungjawab akan
subtopik yang mereka dapatkan. Di satu sisi, hal ini baik untuk

Jigsaw

meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab siswa. Namun,
pemahaman siswa juga terancam untuk tidak terakomodir dengan
baik karena hanya berdasarkan pemahaman seorang anggota di
dalam kelompoknya.
TPS biasa digunakan sebagai alternatif akan diskusi tanya-jawab
yang biasa dilakukan bersama-sama. Yang menjadi perhatian

TPS

adalah waktu pelaksanaan metode ini. Metode ini membutuhkan
tiga langkah pelaksanaan (berpikir sendiri, diskusi berpasangan,
dan berbagi antar pasangan), maka guru wajib mengalokasikan
penggunaan waktu yang tepat.

STAD

Berbeda dengan TGT, kompetisi tidak berlaku untuk metode
pembelajaran STAD. Untuk itu, ada kemungkinan bahwa setiap

17

kelompok akan mendapatkan nilai tertinggi. Apresiasi berupa nilai
peningkatan juga menjadi nilai positif metode ini. Satu hal yang
perlu diperhatikan adalah kontrol guru terhadap kinerja yang
terjadi di dalam kelompok.
Sumber: Arends (2007); Cruickshank, Jenkins, dan Metcalf (2009); Eggen dan Kauchak
(2006); Lang dan Evans (2006)

Dari penjabaran di atas, metode pembelajaran STAD merupakan metode
yang paling pas untuk digunakan dalam pembelajaran terkait dengan tujuan
penerapan pembelajaran kooperatif (pencapaian akademik, penerimaan akan
keberagaman, dan perkembangan kemampuan sosial). Pembentukan kelompok
yang mampu mengakomodir ketiga tujuan tersebut merupakan kunci dari metode
pembelajaran STAD untuk mengakomodir tujuan-tujuan tersebut. Tidak seperti
metode-metode yang lain, pada metode STAD akan didapatkan karakter siswa
akan lebih mengarah ke arah kooperatif, pengaturan waktu yang lebih baik,
pemahaman yang lebih merata, dan kondisi awal siswa yang tidak mensyaratkan
pemikiran tingkat tinggi sebagai hal yang signifikan. Hal-hal tersebut merupakan
hal-hal yang tidak atau kurang terakomodir pada metode pembelajaran kooperatif
selain STAD. Guru pun dapat lebih mengontrol kinerja kelompok melalui caracara, seperti dibuatnya lembar kontribusi atau refleksi di dalam kelompok.
Sehingga, pemanfaatan pembentukan kelompok yang dilakukan pada metode
STAD dapat lebih memberi hasil yang maksimal.
2.2.3. Penerapan dalam Pembelajaran
Lang dan Evans (2006) menjelaskan bahwa kelompok dalam STAD
adalah kelompok heterogen yang beranggotakan empat atau lima orang. Dalam
kelompok, mereka akan saling membantu untuk persiapan kuis, ujian, dan lain-

18

lain. Persaingan yang terjadi menjadi persaingan antar kelompok untuk samasama mendapatkan nilai yang terbaik. Eggen dan Kauchak (2006) menyebutkan
bahwa semua kelompok bisa mendapat nilai yang terbaik dan tidak harus ada
kelompok yang kalah.
Pada saat perencanaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
STAD, Eggen dan Kauchak (2006) memaparkan beberapa langkah yang harus
dilakukan:
1)

Merencanakan instruksi untuk kelas sebagai satu kesatuan, yaitu guru
perlu merencanakan cara yang akan digunakan untuk menyampaikan
materi di awal pembelajaran. Pengidentifikasian materi, penjelasan
objektif pembelajaran, dan penyediaan contoh adalah hal-hal yang harus
dicakup pada tahap ini.

2)

Membentuk kelompok, yaitu guru perlu membentuk kelompok-kelompok
yang heterogen. Faktor-faktor heterogenitas dapat ditentukan oleh guru
sesuai dengan kondisi yang ada di dalam kelas.

3)

Merencanakan

untuk

pembelajaran

kelompok,

yaitu

guru

perlu

menyiapkan materi pembelajaran yang bisa menciptakan interaksi di
dalam kelompok. Materi pembelajaran juga harus jelas, sehingga tidak
menciptakan ambiguitas di dalam kelompok.
4)

Menghitung nilai dasar dan nilai penghargaan, yaitu guru perlu
mengetahui nilai dasar atau nilai awal siswa. Nilai dasar adalah nilai yang
dimiliki siswa sebelum mengikuti kegiatan pembelajaran STAD. Nilai
penghargaan diberikan berdasarkan kinerja siswa setelah diperbandingkan

19

dengan nilai dasar. Nilai penghargaan diatur guru menyesuaikan dengan
kondisi yang terjadi di dalam kelas.
Pada saat pengimplementasian kegiatan pembelajaran dengan STAD,
Eggen dan Kauchak (2006) juga menjabarkan beberapa langkah, yaitu pemberian
instruksi, transisi ke dalam kelompok, pembelajaran di dalam kelompok, dan
penilaian akhir. Pada saat melakukan penilaian akhir, Eggen dan Kauchak (2006)
kembali memaparkan beberapa kriteria, yaitu menggunakan nilai peningkatan
dalam perhitungan nilai dan meninjau proses yang terjadi dalam kelompok.
Dengan melakukan perencanaan, pengimplementasian, dan penilaian akhir yang
sesuai dengan kondisi kelas, maka penerapan STAD di dalam kelas akan efektif
dan memberi dampak positif pada siswa.
2.3.

Teknik Pengelompokkan
Dalam pembelajaran kooperatif, khususnya dalam metode pembelajaran

STAD, pembentukan kelompok menjadi elemen penting yang tidak terpisahkan
dalam proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan pentingnya interaksi yang ada di
dalam kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran kooperatif
(pencapaian akademik, penerimaan akan keberagaman, dan pengembangan
kemampuan sosial).
Davidson (1990b, dalam Leikin et al, 1999) mengatakan bahwa
heterogenitas dalam kelompok kecil merupakan salah satu isu penting dalam
merancang pembelajaran kooperatif. Slavin (1995, dalam Eggen dan Kauchak
2006) menyaratkan suatu kelompok untuk mengakomodir keberagaman tingkat

20

kognitif, jenis kelamin dan etnis. Hal ini tentu dapat dimodifikasi sesuai dengan
macam heterogenitas yang ada di dalam kelas tersebut.
2.3.1. Teknik Pengelompokkan Umum
Teknik pengelompokkan umum adalah teknik pengelompokkan dengan
menggunakan perhitungan biasa, namun tetap mengakomodir heterogenitas di
dalam kelas. Eggen dan Kauchak (2006) memberi contoh penggunaan teknik
pengelompokkan umum di dalam kelas. Tabel berikut menggambarkan urutan
siswa berdasarkan kemampuan kognitif mereka:
Tabel 2.3 daftar siswa berdasarkan nilai ujian
Nama

Nilai Ujian

Nama

Nilai Ujian

1. Rizal

98

14. Vydia (68)

68

2. Galih

85

15. Harum (66)

66

3. Lorreta

93

16. Armando (65)

65

4. Prildy

92

17. Cornel (62)

62

5. Effrika

87

18. Raja (59)

59

6. Cynthia

86

19. Tama (58)

58

----------------

----------------

----------------

----------------

7. Maria

84

20. Linda (54)

54

8. Rosa

80

21. Maya (54)

54

9. Regina

78

22. Benrio (52)

52

10. Dion

77

23. Jupen (52)

52

11. Febri

77

24. Sardi (49)

49

12. Mega

73

25. Resiani (36)

36

13. Agnes

71

Contoh pengelompokkan yang dipakai Eggen dan Kauchak (2006) adalah
dengan memasangkan orang teratas pada dua kelompok dengan orang terbawah

21

pada dua kelompok lain. Sehingga, guru dapat membentuk enam kelompok yang
beranggotakan empat orang dengan kemampuan kognitif yang beragam.
Kelompok satu akan beranggotakan Rizal, Maria, Tama, dan Resiani, dan akan
berlanjut terus hingga kelompok enam dengan anggota Cynthia, Mega, Vydia, dan
Linda.
Setelah membentuk kelompok yang mengakomodir heterogenitas di sisi
kemampuan kognitif, guru juga perlu menimbang kembali dari dimensi-dimensi
keberagaman lain. Sebagai contoh, kelompok tiga akan beranggotakan tiga pria
dan satu wanita, sedangkan kelompok empat akan beranggotakan satu pria dan
tiga wanita. Maka, guru dapat menukar posisi para siswa untuk memenuhi
keberagaman jenis kelamin dengan masih

mengakomodir

keberagaman

kemampuan kognitif. Hal ini berlangsung sampai guru merasa keheterogenitasan
yang ingin diakomodir sudah tercapai.
2.3.2. Fuzzy K-means Clustering
2.3.3.1. Logika Klasik
Pada logika klasik, status data pada suatu kelompok memiliki dua
kemungkinan, yaitu benar dan salah. Hanya ada dua nilai keanggotaan pada logika
klasik, yaitu 1 untuk status benar dan 0 untuk status salah. Logika klasik tidak
mengenal suatu nilai di antara dua nilai tersebut.
Logika klasik juga dapat ditemukan dalam teknik pengelompokkan umum.
Penulisan berikut merupakan penggambaran dari nilai keanggotaan suatu data
pada logika klasik:
µ A(x) = 1, jika x merupakan elemen dari himpunan A

22

µ A(x) = 0, jika x merupakan bukan elemen dari himpunan A
Jika dipermisalkan bahwa kelompok kognitif pertama sebagai himpunan A,
kelompok kedua sebagai himpunan B, kelompok ketiga sebagai himpunan C, dan
kelompok keempat sebagai himpunan D, maka himpunan A, B, C, dan D dapat
dituliskan dengan:
A={Rizal, Galih, Lorreta, Prildy, Effrika, Cynthia}
B={Maria, Rosa, Regina, Dion, Febri, Mega, Agnes}
C={Vydia, Harum, Armando, Cornel, Raja, Tama}
D={Linda, Maya, Benrio, Jupen, Sardi, Resiani}
Selanjutnya, nilai keanggotaan seseorang terhadap masing-masing himpunan
dapat ditentukan. Sebagai contoh, nilai keanggotaan Cornel terhadap himpunan A
adalah 0 karena Cornel bukan merupakan elemen dari himpunan A, atau dapat
dituliskan dengan:
µ A(Cornel) = 0, Cornel bukan merupakan elemen dari himpunan A
Nilai keanggotaan Cornel pada himpunan A akan sama dengan nilai
keanggotaannya pada himpunan B dan D. Hal ini dikarenakan pada logika klasik
hanya ada dua nilai keanggotaan, yaitu 1 (benar) dan 0 (salah). Dengan kata lain,
nilai keanggotaan Cornel pada himpunan C dapat dituliskan dengan:
µ A(Cornel) = 1, Cornel merupakan elemen dari himpunan A
2.3.3.2. Logika Fuzzy
Logika fuzzy pertama kali dikembangkan oleh L. A. Zadeh pada tahun
1965. Zadeh (1965) berpendapat bahwa tidak semua kelompok memiliki
karakteristik pengelompokkan yang pasti. Jika pada logika klasik hanya ada dua

23

nilai keanggotaan (1 untuk status benar dan 0 untuk status salah), maka nilai
keanggotaan pada logika fuzzy merupakan rentang di antara 0 hingga 1. Nilai
keanggotaan tersebut ditentukan oleh tingkat kemiripan data dengan karakteristik
masing-masing kelompok yang ada. Penulisan berikut merupakan penggambaran
dari nilai keanggotaan suatu data pada logika fuzzy:
µ A(x) = 1,

jika x memiliki karakteristik yang sama dengan himpunan A

µ A(x) = (0,1), jika x memiliki kemiripan karakteristik yang samar dengan
himpunan A
µ A(x) = 0,

jika x tidak memiliki karakteristik yang sama dengan himpunan A

Pada logika fuzzy, suatu syarat tertentu ditentukan untuk menempatkan
suatu data pada suatu kelompok tertentu. Sebagai contoh, pada tabel 2.3 terdapat
syarat bahwa kelompok pertama merupakan kumpulan siswa dengan nilai ≥85,
kelompok kedua antara 85 dan 70, kelompok ketiga antara 70 dan 55, serta
kelompok keempat dengan nilai ≤55. Syarat-syarat demikian dalam logika fuzzy
dapat disajikan dengan kurva berikut:
Grafik 2.1 analogi logika fuzzy
1
0,8
A

0,6

B
0,4

C
D

0,2
0
0

20

40 47,5 55 62,5 70 77,5 85 92,5 100

24

Sehingga, nilai keanggotaan seorang siswa terhadap masing-masing
kelompok pada logika fuzzy dapat dituliskan dengan:
x ≥ 85

1,
µ A(x)=

,

77,5 < x < 85
x ≤ 77,5

0,

, 62,5 < x < 77,5
µ B(x)=

,

77,5 ≤ x < 85
x ≤ 62,5 atau x ≥ 85

0,
,

55 < x < 62,5
, 62,5 ≤ x < 77,5

µ C(x)=
0,

x ≤ 55 atau x ≥ 77,5

1,

x ≤ 55

µ D(x)=

,
0,

55 < x < 62,5
x ≥ 62,5

Sebagai contoh, nilai keanggotaan Mega terhadap masing-masing
himpunan akan berbeda. Maria memiliki nilai 84, sehingga nilai keanggotaan
Maria adalah 0 untuk himpunan C dan D. Hal ini dikarenakan prasyarat yang ada
pada nilai keanggotaan elemen pada himpunan C dan D. Nilai keanggotaan Maria
pada himpunan A adalah 0,8667 dan pada himpunan B adalah 0,1333. Maka,
Maria secara logika fuzzy cenderung mengarah pada himpunan A, sedangkan pada
logika klasik Maria merupakan elemen dari himpunan B.
2.3.3.3. K-means Clustering

25

K-means merupakan salah satu cara pengelompokkan data-data dengan
karakteristik yang sama ke dalam suatu cluster atau kelompok (Agusta, 2007).
Agusta (2007) menyebutkan tujuan dari metode ini adalah meminimalisasi fungsi
objektif, dengan kata lain meminimalisasi variasi antar data dalam satu kelompok
dan memaksimalisasi variasi antar kelompok. Macqueen (1967, dalam Agusta
2007) menjabarkan langkah-langkah umum dalam penggunaan metode K-means,
yaitu:
-

Menentukan jumlah kelompok yang diinginkan,

-

Menempatkan data ke dalam kelompok secara acak,

-

Menghitung centroid/rata-rata/pusat kelompok dari data yang ada di
masing-masing kelompok,

-

Menempatkan masing-masing data ke kelompok yang paling tepat sesuai
dengan kesesuaian dengan centroid, dan

-

Kembali ke langkah ketiga apabila masih ada data yang berpindah
kelompok, atau nilai centroid yang masih berubah, atau nilai pada
objective function berada diatas nilai threshold (kriteria penghentian
langkah pengulangan)
Pada penerapannya, ada beberapa alternatif yang digunakan untuk

mengembangkan teori-teori perhitungan yang sudah ada, yaitu:
1)

Fungsi jarak (fungsi yang digunakan untuk mengitung data dengan
centorid)
Pedrycz (2005, dalam Kusumadewi et al, 2006) menjabarkan beberapa

fungsi untuk mencari jarak, beberapa diantaranya adalah Hamming distance dan

26

Euclidean (city block) distance. Pada penelitian ini, fungsi jarak yang dipakai
adalah Euclidean (city block) distance, yaitu:

2)

Metode pengalokasian ulang
Pada dasarnya, ada dua metode pengalokasian ulang data pada saat iterasi

(pengulangan langkah). Metode tersebut adalah crisp k-means clustering dan fuzzy
k-means clustering. Crisp k-means clustering merupakan metode pengalokasian
ulang data ke dalam masing-masing kelompok dengan berdasarkan pada
perbandingan jarak antara data dengan setiap centroid di masing-masing
kelompok. Nilai keanggotaan suatu data pada crisp k-means memakai konsep
logika klasik, dirumuskan oleh Macqueen (1967, dalam Agusta 2007):

dimana:
= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (crisp)
= nilai centroid cluster ke-i
Berbeda dengan crisp k-means clustering, fuzzy k-means clustering
mengalokasian ulang data ke dalam masing-masing kelompok dengan
berdasarkan pada besarnya kemungkinan suatu data menjadi anggota ke dalam
suatu kelompok (Agusta, 2007). Pada fuzzy k-means clustering, nilai keanggotaan
memakai konsep logika fuzzy. Bezdek (1981, dalam Agusta 2007) merumuskan
fuzzy k-means clustering dengan memerkenalkan suatu peubah w. Peubah w, atau

27

disebut pula dengan pangkat pembobot, dapat mengubah besaran pengaruh nilai
keanggotaan. Nilai dari w yang umum digunakan adalah dua, karena belum ada
ketentuan khusus mengenai besaran pangkat pembobot, selama w>1. Secara
umum, Bezdek (1981, dalam Agusta 2007) merumuskan fuzzy k-means:

dimana:
= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (fuzzy) [0, 1]
= nilai centroid cluster ke-i
w = pangkat pembobot (bernilai >1, umum digunakan m=2)
3)

Fungsi objektif
Penggunaan fungsi objektif bergantung pada metode pengalokasian ulang

yang dipakai. Karena crisp k-means dan fuzzy k-means memakai pendekatan
logika yang berbeda, maka penggunaan fungsi objektif pun berbeda. Adapun
penggunaan fungsi objektif pada masing-masing metode adalah sebagai berikut:
Crisp k-means clustering:
Fuzzy k-means clustering:
dimana:
N = jumlah data
c = jumlah kelompok
= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (crisp)
= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (fuzzy) [0, 1]
= nilai centroid cluster ke-i
w = pangkat pembobot (bernilai >1, umum digunakan w=2)

28

2.3.3.4. Penerapan Fuzzy K-means Clustering
Pada penerapannya, fuzzy k-means clustering memiliki algoritma khusus.
Kusumadewi et al (2006) menjabarkan langkah-langkah penerapan sebagai
berikut:
1.

Tentukan:
a. Matriks X berukuran n x p, dengan n = jumlah data yang akan
dikelompokkan; dan p = jumlah peubah (kriteria)
b. Jumlah kelompok yang akan dibentuk = C (≥2)
c. Pangkat pembobot = w (>1)
d. Maksimum pengulangan (iterasi)
e. Threshold (kriteria penghentian) = ξ (nilai positif yang sangat kecil)
f. Iterasi awal, t=1, dan Δ=1;

2.

Bentuk matriks partisi awal, U0, sebagai berikut:

(matriks partisi awal umum dipilih secara acak)
3.

Hitung centroid, v, untuk setiap kelompok:

4.

Tentukan nilai keanggotaan data pada setiap kelompok, dengan

perhitungan:

dengan

29

5.

Tentukan kriteria berhenti, yaitu perubahan matriks partisi pada iterasi
sekarang dengan iterasi sebelumnya, sebagai berikut:

Proses iterasi berhenti ketika Δ ≤ ξ. Namun, apabila Δ > ξ, maka iterasi
selanjutnya dilakukan (t = t+1) dan langkah berulang ke langkah ketiga. Pencarian
nilai Δ dapat dilakukan dengan mengambil elemen terbesar dari nilai mutlak
selisih antara uik(t) dengan uik(t-1).

30

Bab III
Metodologi Penelitian
3.1.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh

peneliti. Tujuan-tujuan tersebut adalah pengidentifikasian besarnya pengaruh
positif dari teknik fuzzy k-means clustering terhadap prestasi belajar siswa dalam
Matematika, persepsi siswa akan keberagaman, dan perkembangan kemampuan
sosial. Peneliti juga akan membandingkan pengaruh tersebut dengan pengaruh
teknik

pengelompokkan

umum,

sehingga

dapat

menyimpulkan

teknik

pengelompokkan yang paling tepat digunakan dalam metode pembelajaran STAD.
3.2.

Jenis dan Pendekatan Penelitian
Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini.

Sukmadinata (2010) menjabarkan penelitian dengan pendekatan kuantitatif
sebagai kajian terhadap fenomena objektif yang bersifat positivism secara
kuantitatif. Secara spesifik, peneliti menggunakan jenis penelitian eksperimen
kuasi (semu). Penelitian kuasi adalah penelitian yang hanya mengontrol satu
peubah yang paling dominan. Dalam hal ini, teknik pengelompokkan merupakan
peubah yang paling dominan dalam pengimplementasian STAD di dalam
pembelajaran.
3.3.

Desain Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian eksperimen kuasi, ada beberapa hal yang

menjadi fokus dalam penelitian ini. Pertama, teknik pengelompokkan menjadi
peubah bebas dengan fuzzy k-means clustering dan teknik pengelompokkan umum

31

menjadi dua atribut yang akan diperbandingkan. Penelitian ini memiliki tiga
peubah terikat, yaitu prestasi belajar siswa dalam Matematika, persepsi siswa akan
keberagaman, dan perkembangan kemampuan sosial siswa. Kedua, yang menjadi
kelompok eksperimen adalah kelompok dengan perlakuan fuzzy k-means
clustering, sedangkan kelompok yang dibentuk melalui teknik pengelompokkan
umum menjadi kelompok kontrol. Ketiga, kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol merupakan dua kelompok yang saling bebas. Sehingga, tidak
memungkinkan untuk terjadi interaksi antar kelompok yang akan memberi
pengaruh.
Desain yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Matching PretestPosttest Control Group Design atau Desain Kelompok Kontrol Prates-Pascates
Berpasangan (Sukmadinata, 2010). Penggambarannya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 desain kelompok kontrol prates-pascates berpasangan
Kelompok

Prates

Perlakuan

Pasangan A (Eksperimen)

O

X

Pasangan B (Kontrol)

O

Pascates
O
O

Kelompok A dan B merupakan kelompok dengan karakteristik (minimal satu
karakteristik) yang sama atau tidak dibentuk secara acak. Kedua kelompok akan
diberi prates yang sama. Lalu, kelompok A (eksperimen) akan diberi perlakuan
dengan pembentukan kelompok belajar melalui teknik fuzzy k-means clustering
dan kelompok B (kontrol) akan diberi perlakuan biasa (pembentukan kelompok
belajar dengan teknik pengelompokkan umum). Setelah itu, pascates akan
diberikan dan dilihat perbandingan hasilnya pada masing-masing kelompok.

32

Dalam penelitian ini, peneliti akan sekaligus menjadi guru yang
menerapkan pembelajaran STAD dengan teknik pengelompokkan yang berbeda.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan muncul peubah ekstra
(extraneous variable) yaitu kesalahpenggunaan metode pembelajaran. Ada
beberapa pertimbangan hal yang dipakai peneliti untuk langkah antisipasi ini.
Pertama, guru kemungkinan besar akan mengalami kekurangpahaman untuk
mengajar dengan metode STAD. Kedua, implementasi teknik fuzzy k-means
clustering pun akan menyulitkan bagi guru, karena teknik ini tergolong baru dan
membutuhkan perhitungan dan logika pemikiran yang rumit. Ketiga, peneliti
dapat lebih mengontrol hal-hal yang terjadi agar semua hal diluar teknik
pengelompokkan berlangsung seimbang untuk kedua kelompok.
3.4.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

3.4.1. Jenis Data
Data yang dipakai pada penelitian ini merupakan data kuantitatif. Pada
pengukuran terhadap pencapaian akademik berupa prestasi belajar, data awal
didapat melalui hasil tes, yaitu prates yang diberikan oleh guru. Setelah
pengimplementasian masing-masing teknik pengelompokkan pada metode STAD,
data akhir akan didapat melalui hasil pascates oleh guru. Untuk pengukuran
terhadap penerimaan akan keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial,
data prates didapat melalui hasil kuesioner yang mereka isi. Lalu, kuesioner akan
diberikan kembali di akhir pembelajaran sebagai data pascates siswa.
3.4.2. Sumber Data

33

Sumber data pada penelitian ini adalah hasil tes dan kuesioner yang
dikerjakan siswa pada awal dan akhir pengimplementasian masing-masing teknik
pengelompokkan melalui metode pembelajaran STAD. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik purposive sampling dalam penentuan populasi dan
sampel penelitian. Populasi yang dipakai merupakan sebuah SMA negeri di
Jakarta. SMA negeri di Jakarta menjadi populasi dengan asumsi ketersebaran latar
belakang sosial dan ekonomi (sebagai dua syarat dimensi pembentukan
kelompok) lebih beragam dibanding SMA swasta atau SMA negeri di luar
Jakarta. Sampel yang akan dipilih adalah dua kelas dengan tingkat kelas yang
sama. Tingkat kelas yang sama merupakan suatu hal yang wajib karena
dibutuhkan perlakuan setara dalam pelaksanaan STAD pada penelitian ini.
3.4.3. Instrumen Penelitian
Arikunto (1992, dalam Suparno 2010) membagi instrumen penelitian
menjadi beberapa model. Berdasarkan pihak yang menyediakan informasi,
peneliti memakai instrumen berdasarkan subyek yang diteliti. Berdasarkan sumber
instrumen, peneliti memakai instrumen buatan sendiri. Hal ini dikarenakan
peneliti, yang juga sekaligus menjadi guru, lebih mengerti kondisi kelas yang
diajar. Sehingga, tata bahasa dan format instrumen dapat dibuat lebih tepat.
Berdasarkan bentuk instrumen, peneliti memakai instrumen berupa tes tertulis
(hasil tes dan kuesioner).
Sukmadinata (2010) membagi jenis instrumen menjadi dua, yaitu
instrumen mengukur (tes) dan menghimpun (nontes). Pada penelitian ini, peneliti
memakai kedua jenis instrumen dalam mengukur pengaruh dari peubah bebas

34

pada masing-masing peubah terikat. Untuk mengukur pencapaian akademik,
peneliti menggunakan instrumen mengukur berupa tes pelajaran. Untuk mengukur
sikap penerimaan akan keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial,
peneliti menggunakan instrumen menghimpun berupa kuesioner.
3.5.

Keabsahan Data

3.5.1. Keabsahan Instrumen
Seperti dijabarkan sebelumnya, penelitian ini menggunakan dua macam
instrumen dalam pengukurannya, yaitu hasil tes dan kuesioner. Masing-masing
instrumen memiliki pembuktian yang berbeda akan keabsahannya, yaitu:
-

Keabsahan hasil tes
Hasil tes akan terbukti keabsahannya karena kedua kelompok mendapat
perlakuan yang sama dalam hal metode pembelajaran. Penelitian ini
bertujuan menguji metode pengelompokkan pada metode STAD, sehingga
peneliti menggunakan STAD sebagai satu-satunya metode pembelajaran
dengan dua teknik pengelompokkan yang berbeda. Alasan kedua
mengenai keabsahan hasil tes adalah peran peneliti yang juga sebagai
guru. Peneliti akan menilai pembelajaran siswa sesuai dengan materi yang
sudah mereka dapatkan. Sehingga, tes yang akan digunakan pada prates
dan pascates untuk kedua kelompok akan sama secara kualitas dan
kuantitas soal.

-

Keabsahan kuesioner
Kuesioner akan terbukti keabsahannya karena kuesioner yang akan dipakai
diujikan terlebih dahulu kepada orang-orang dengan demografi yang sama

35

dengan sampel yang dipakai pada penelitian ini. Pengujian akan berlaku
sampai peneliti merasa kuesioner yang dipakai sudah konsisten dan tidak
lagi mengalami perubahan. Kuesioner akan berisi kumpulan pertanyaan
yang mengarah pada dua peubah terikat yang akan diuji, yaitu penerimaan
akan keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial siswa.
3.5.2. Keabsahan Metode
Pada penelitian ini, ada beberapa alasan yang dapat membuat metode yang
dipakai menjadi absah. Pertama, metode yang dipakai berdasarkan teori-teori
pembelajaran yang sudah ada. Sehingga, peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini
akan mengimplementasi tahap-tahap yang ada pada metode pembelajaran STAD.
Peneliti juga akan menjadi guru dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisir kemungkinan munculnya extraneous variable, seperti kesalahan
dalam penggunaan metode, kekeliruan dalam langkah penghitungan fuzzy k-means
clustering, dan lain-lain.
Dalam penggunaan skema algoritma fuzzy k-means clustering pada data
prates siswa, peneliti akan menggunakan software SPSS untuk pengolahan data.
Hal ini dilakukan agar data yang dihasilkan lebih dapat dipercaya, sekaligus dapat
meminimalisir tingkat kesalahan perhitungan jika dilakukan secara manual.
3.6.

Analisis Data
Peneliti akan menggunakan uji hipotesis untuk menganalisa data yang

didapat pada dua kelompok uji (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol).
Pada analisis pengaruh teknik pengelompokkan metode pembelajaran STAD,

36

peneliti akan menggunakan dua pendekatan uji hipotesis yang berbeda pada tiga
peubah terikat yang ada.
Pada analisis pengaruh teknik pengelompokkan terhadap prestasi belajar,
peneliti akan menggunakan uji hipotesis untuk perbandingan dua populasi dengan
sampel yang bebas. Pada pengujian hipotesis terhadap penerimaan akan
keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial, peneliti akan menggunakan
uji hipotesis berupa analisis kuesioner menggunakan likert scale.

37

Daftar pustaka:
Agusta, Y. (2007). K-means – Penerapan, Permasalahan, dan Metode Terkait.
Jurnal Sistem dan Informatika. 3: 47-60
Arends, R. I. (2007). Learning To Teach (7th Edition). New York: McGraw-Hill.
Armstrong, S. dan Palmer, J. (1998). Student Teams Achievement Divisions
(STAD) in a Twelfth Grade Classroom: Effect on Student Achievement
and Attitude. Journal of Social Studies Research. 22: 3-6
Artzt, A. F. (1993). How To Use Cooperative Learning In The Mathematics
Class. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics.
Cruickshank, D. R., Jenkins, D. B., and Metcalf K. K. (2009). The Act of
Teaching (5th Edition). New York: McGraw-Hill.
Eggen, P. D. dan Kauchak D. P. (2006). Strategie