Komposisi dan Kerapatan Jenis serta Pola Penyebaran Lamun Di Perairan Teluk Tomini Desa Wonggarasi Timur Kecamatan Wonggarasi Kabupaten Pohuwato

  KOMPOSISI DAN KERAPATAN JENIS SERTA POLA PENYEBARAN LAMUN DI PERAIRAN TELUK TOMINI DESA WONGGARASI TIMUR KECAMATAN WANGGARASI KABUPATEN POHUWATO ARTIKEL JURNAL Oleh ANNY MULYANINGSIH NIM : 633 409 046 UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS ILMU PERIKANAN DAN KELAUTAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN 2015

  

Komposisi dan Kerapatan Jenis serta Pola Penyebaran Lamun

Di Perairan Teluk Tomini Desa Wonggarasi Timur

Kecamatan Wonggarasi Kabupaten Pohuwato

  (1,2) (2) (2) Anny Mulyaningsih Femy Sahami Sri Nuryatin Hamzah

anny_mulyaningsi@yahoo.co.id

  

Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan,

Universitas Negeri Gorontalo

Abstrak

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi, kerapatan jenis, dan pola penyebaran lamun di perairan Teluk Tomini Desa Wonggarasi Timur Kecamatan Wonggarasi Kabupaten Pohuwato. Penelitian ini dilaksanakan pada akhir Bulan September sampai Bulan Maret 2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode line transek. Stasiun penelitian terdiri atas 3 stasiun yaitu stasiun I berdekatan dengan TPI dan pangkalan perahu, stasiun II berdekatan dengan ekosistem mangrove dan kegiatan budidaya keramba, dan stasiun III berdekatan dengan ekosistem mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi penelitian hanya ditemukan satu jenis lamun yaitu jenis Enhalus Acoroides yang tergolong dalam famili Hydrocharitaceae

  2

  dengan nilai kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai 24.22 individu/m , dan

  2

  kerapatan terendah terdapat pada stasiun III dengan nilai 16 individu/m serta memiliki pola penyebaran yang mengelompok.

  Kata kunci : Komposisi Jenis, Kerapatan, Pola Penyebaran, Lamun.

I. PENDAHULUAN

  Di wilayah pesisir ada tiga tipe ekosistem penting, yakni terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Di antara ketiganya, padang lamun paling sedikit dikenal. Hal itu disebabkan karena kurangnya perhatian pada padang lamun, sehingga padang lamun sering disalahartikan sebagai lingkungan yang tidak berguna dan tidak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

  Padahal ketika ketiga ekosisitem ini berada di suatu wilayah, maka padang lamun berada di tengah-tengah di antara ekosistem mangrove yang berhubungan dengan daratan dan ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan laut dalam. Sebagaimana mangrove dan terumbu karang, padang lamun juga merupakan ekosistem penting bagi kehidupan di laut dan di darat (Kordi, 2011).

  Ada sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia yang tumbuh pada perairan laut dangkal yang berdasar lumpur atau pasir. Dari 50 jenis lamun tersebut ada 12 jenis yang ditemukan di Indonesia, diantaranya yaitu Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halophila

  

spinulosa, Halophila minor, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule uninervis,

Thalassodendron ciliatum, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii

  dan Enhalus acoroides (Azkab, 1999). Dari 12 jenis lamun ini memiliki tingkat kerapatan yang berbeda, begitu juga dengan pola penyebarannya. Menurut Nur (2004) dalam Eki (2013), tingginya kerapatan jenis lamun sangat terkait dengan jumlah jenis yang ditemukan, karakteristik habitat seperti kedalaman, jenis substrat yang sangat mendukung untuk pertumbuhan, dan keberadaan lamun juga sangat terkait dengan penetrasi cahaya yang dibutuhkan dalam proses fotosistesis. Dinyatakan pula bahwa rendahnya kerapatan jenis pada stasiun juga disebabkan oleh sedikitnya jumlah jenis yang mampu beradaptasi terhadap faktor lingkungan.

  Penyebaran ekosistem lamun di Indonesia cukup luas yaitu di perairan Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Di dunia secara geografis lamun terpusat di dua wilayah yaitu di Indo-Pasifik Barat dan Karabia (Dahuri, dkk, 2001 dalam Barkat, 2013).

  Zonasi sebaran lamun dari pantai ke arah tubir secara umum berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenisnya (vegetasi tunggal atau campuran). Lamun membutuhkan substrat dasar yang lunak mulai dari lumpur lunak sampai berpasir agar lebih mudah ditembus oleh akar-akar dan rimpangnya guna menyongkong tubuhnya ditempatnya (Nybakken, 1992 dalam Hertanto, 2008). Pola penyebaran lamun di Indonesia bermacam- macam, ada yang mengelompok, acak, dan seragam, bahkan ada juga yang ketiga-tiganya. Dan kadang juga pada suatu daerah belum diketahui bagaimana pola penyebarannya. seperti halnya di Desa Wonggarasi Timur. Menurut Crawley (1986) dalam Feryatun, dkk, (2012) bahwa pola sebaran seragam artinya jarak antara individu dengan individu lain pada jenis yang sama dalam satu wilayah yaitu sama atau hampir sama. Sementara pola penyebaran secara acak terjadi apabila ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan diantara individu-individu dalam populasi relatif merata (Soegianto, 1994 dalam Hardyanti, dkk, 2012). Pola penyebaran mengelompok menunjukkan dimana individu-individu berkumpul pada habitat yang sesuai, hal ini disebabkan oleh tingkah laku yang mengelompok, lingkungan yang heterogen, dan model reproduksi (Ludwig dan Reynolds, 1998 dalam Hardyanti, dkk, 2012).

  Berdasarkan hasil survey di pesisir pantai Desa Wonggarasi Timur ditemukan jenis lamun, tetapi sampai saat ini belum diketahui jenis apa saja yang ada dan kerapatan serta pola penyebarannya. Keberadaan lamun di desa ini belum terlalu dipahami dan sampai saat ini belum ada penelitian yang mengkaji tentang hal ini, sehingga penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang mengenai “Komposisi dan Kerapatan Jenis serta Pola Penyebaran Lamun di Perairan Teluk Tomini Desa Wonggarasi Timur Kecamatan Wa nggarasi Kabupaten Pohuwato “.

II. METODOLOGI PENELITIAN

  Kegiatan penelitian ini berlangsung selama enam bulan terhitung sejak pertengahan Bulan September sampai Bulan Maret 2015. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Tomini Desa Wonggarasi Timur Kecamatan Wanggarasi Kabupaten Pohuwato. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

  

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

  Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan metode pengambilan sampel line transek (transek garis) (Fachrul, 2006). Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitan yaitu alat tulis menulis, kamera digital, GPS, transek kuadran 1 x 1 m, roll meter, seichi disk, refraktometer, thermometer, kertas lakmus, snorkel, buku identifikasi,stopwatch, kayu/patok,dan lamun. Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan saat air laut surut. Dalam penelitian ini lokasi penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) stasiun. Untuk penentuan stasiun didasarkan atas lokasi yang memungkinkan dilakukannya penelitian. Kemudian pada masing- masing stasiun dibagi lagi menjadi 3 (tiga) sub stasiun dengan jarak antar sub stasiun yaitu 50 meter. Dimana stasiun I berdekatan dengan TPI (tempat pelelangan ikan) dan pangkalan perahu dengan titik koordinat 0°30’57’’ LU dan 121°41’22’’ BT. Stasiun II berdekatan dengan mangrove dan keramba dengan titik koordinat 0°31’3’’LU dan 121°41’33’’ BT. Dan stasiun III yang berdekatan dengan mangrove dengan titik koordinat 0°31’2’’ LU dan 121°41’42’’ BT. Pengambilan sampel pada setiap stasiun dilakukan dengan pemasangan garis transek dari darat ke arah laut pada ekosistem lamun. Untuk pengamatan komposisi jenis dan penyebaran lamun dilakukan dengan metode sampling acak sistematik, yaitu pengambilan sampel pada transek yang telah ditetapkan. Kemudian setiap transek dipasang kuadran yang berukuran 1 x 1 meter secara berseling dan jarak antar kuadran yaitu berukuran 5 (lima) meter. Ukuran kuadran 1 x 1 meter, diharapkan bahwa ukuran ini dapat mencakup spesis lamun khususnya lamun dengan ukuran yang relatif besar, sehingga terjadi keterwakilan data yang baik saat pengambilan data (Duwiri, 2010). Untuk skema pengamatan terhadap lamun dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

2.1 Analisis Data 1. Komposisi jenis

  Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis lamun dihitung dengan menggunakan rumus (English et al., 1997 dalam Sakaruddin, 2011) yaitu :

  × 100 % =

  Keterangan : Ki = Komposisi jenis ke-i (%).

  ni = Jumlah individu jenis ke-i (ind). N = Jumlah total individu (ind).

2. Kerapatan jenis

  Kerapatan jenis dihitung dengan menggunakan rumus yang mengacu pada Kordi (2011) sebagai berikut :

  Di = Ni/A

  Keterangan :

2 Di = Kerapatan spesies (tegakan/1 m )

  Ni = Jumlah total tegakan spesies

2 A = Luas daerah yang disampling (1 m )

  Kriteria kerapatan yang mengacu pada Zulkifli (2008) dalam Izuan, dkk, (2014), dimana :

  2

  • ,

  Kerapatan dapat tergolong rapat/lebat bila jumlah tegakan ≥ 100 ind/m

  2

  • ,

  Kerapatan tergolong sedang/kurang padat bila jumlah tegakan ≥ 50 - < 100 ind/m sedangkan

  2

  • .

  Kerapatan lamun yang tergolong sangat jarang bila jumlah tegakan < 50 ind/m 3.

   Pola penyebaran

  Pola penyebaran lamun akan ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Penyebaran Morisita (Odum, 1993 dalam Hardiyanti, dkk, 2012) sebagai berikut :

  Keterangan: Id = Indeks penyebaran Morisita.

  n = Jumlah plot. N = Jumlah total individu dalam plot.

  2 = Kuadrat jumlah individu dalam plot.

  Kriteria pola penyebaran : Id = 1 : Pola penyebaran individu acak.

  Id < 1 : Pola penyebaran individu seragam/merata. Id >1 : Pola penyebaran individu mengelompok. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hasil dari komposisi dan kerapatan jenis serta pola penyebaran lamun di setiap stasiun penelitian.

  − 1)

  − N N (N

  2

  Id = n x

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Parameter Lingkungan

  37.67

  0.67

  Hasil pengukuran parameter lingkungan dan kondisi substrat pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

  Tabel 1. Hasil Pengukuran Rata-rata Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian Desa Wonggarasi Timur.

  No. Parameter Lingkungan Stasiun

  I II

  III

  7 Substrat Lumpur berpasir Lumpur berpasir Lumpur halus

  6 Kecerahan 100% 100% 100%

  0.25

  0.32

  5 Kedalaman (M)

  36.67

  4 Arus 0.07 m/detik 0.05 m/detik 0.06 m/detik

  6.67

  6

  6.33

  1 Salinitas

  31

  28.67

  2 Suhu (°C)

  40

  31.67 3 pH Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai parameter kualitas air terukur pada lokasi penelitian masih berada pada kisaran yang baik untuk pertumbuhan lamun begitu juga dengan kondisi substrat. Salinitas adalah salah satu parameter kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhan lamun. Spesies lamun mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu antara 10 -

  40 ‰ (Dahuri, 2003). Untuk hasil pengukuran salinitas perairan di lokasi penelitian menunjukkan nilai kisaran antara 36.67 - 40 ‰. Salinitas perairan terukur di lokasi penelitian masih bisa ditolerir oleh pertumbuhan lamun, hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2003) bahwa lamun dapat mentolerir salinitas pada kisaran 10 - 40 ‰.

  Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan lamun. Hasil pengukuran suhu pada lokasi penelitian berkisar antara 28.67 - 31.67°C. Menurut Zieman (1975) dalam Kordi (2011) bahwa lamun tumbuh pada kisaran suhu optimum antara 29 - 30°C, namun dalam Suhud, dkk, (2012) dinyatakan bahwa untuk fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum antara 25 - 35°C dan pada saat cahaya penuh. Erftemejeijer (1993)

  

dalam Patiri (2013) menemukan Enhalus acoroides hidup pada suhu 26,5-32,5°C dan pada

perairan dangkal, Enhalus acoroides dapat mentolerir suhu 38°C saat air surut pada siang hari.

  Hal ini sesuai dengan pengamatan suhu yang dilakukan di lokasi penelitian yaitu berkisar antara 28.67-31.67°C, sehingga masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan lamun. pH di lokasi penelitian diukur dengan menggunakan kertas lakmus. pH di lokasi penelitian berkisar antara 6 - 6.67. Menurut Sinnot & Wilson (1955) dalam Hardiyanti, dkk,

  (2012), kisaran pH yang layak untuk pertumbuhan lamun antara 6.3 - 10, sedangkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2004, Tentang Baku Mutu Kualiatas Air Laut untuk Biota Laut telah ditetapkan bahwa pH bagi pertumbuhan lamun berkisar antara 7 - 8.5, dengan catatan diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 0.2 satuan pH. Di lokasi penelitian pH yang terukur di seluruh stasiun berkisar antara 6 - 6.67, sehinggah masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan lamun. Kedalaman dan arus merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan lamun.

  Kedalaman perairan yang terukur di stasiun penelitian berkisar antara 0.25 - 00.67m. Hal ini masih bisa untuk pertumbuhan lamun, karena dengan kedalaman 25 - 0.67m pada saat surut masih bisa ditembus cahaya matahari. Begitu juga dengan kecerahan perairan, untuk kecerahan masih sesuai untuk pertumbuhan lamun karena hasil pengamatan pada saat penelitian kecerahan perairan masih bisa ditembus cahaya matahari. Sakaruddin (2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa kedalaman yang terukur disemua stasiun penelitian yaitu 0.38 - 1.5 m, dengan tingkat kecerahan 100 %. Kondisi perairan dengan tingkat kecerahan seperti ini sangat baik bagi pertumbuhan lamun karena mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk keperairan. Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang disebabkan oleh tiupan angin atau oleh gelombang (Hutabarat dan Evans, 1985). Hasil pengukuran kecepatan arus di lokasi penelitian yaitu berkisar antara 0.05 - 0.07 m/detik. Kisaran arus dilokasi penelitian masih dalam keadaan baik untuk pertumbuhan lamun karena kecepatan arus yang didapat masih relatif tenang. Harpiansyah, dkk, (2014) dalam penelitiannya melaporkan bahwa hasil pengukuran kecepatan arus di Perairan Desa Pengudang berkisar antara 0.05 - 0.06 m/detik, arus yang didapat relatif tenang untuk perairan terbuka. Arus yang tenang disebabkan oleh lamun dan kedangkalan perairan, karang dan faktor musim. Dinyatakan pula keberadaan komunitas lamun juga dapat memperlambat gerak arus, terutama lamun yang mempunyai morfologi daun panjang dan lebar seperti lamun jenis Enhalus acoroides.

  Berdasarkan pengamatan pada tipe substrat di stasiun penelitian pada dasarnya hampir sama, dimana tipe substrat di lokasi penelitian yaitu lumpur berpasir (lumpur yang bercampur dengan sedikit pasir halus) dan lumpur halus. Menurut Dahuri (2003) lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40 %. Kondisi substrat di stasiun penelitian masih layak untuk pertumbuhan lamun.

3.2 Komposisi Jenis Lamun di Desa Wonggarasi Timur

  Hasil penelitian yang dilakukan bahwa di Desa Wonggarasi Timur hanya ditemukan satu jenis lamun yaitu jenis Enhalus acoroides, yang tergolong dari Kelas Angiospermae, Ordo Helobiae, famili Hydrocharitaceae. Untuk spesies lamun yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar berikut.

  

Gambar 3. Lamun Enhalus acoroides yang ditemukan di stasiun penelitian

Sumber : Dok. Pribadi 2014.

  Karakteristik atau ciri-ciri jenis lamun Enhalus acoroides yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki (fibrous bistle) rambut-rambut kaku berwarna hitam, memiliki bentuk daun seperti pita dengan panjang berkisar 30 - 50 cm bahkan ada sampai yang lebih dari 50 cm dengan lebar berkisar 2 - 3 cm, dan berujung bulat. Sama halnya dengan jenis lamun Enhalus acoroides yang ditemukan Hardiyanti, dkk, (2012), yang dilaporkan dalam penelitiannya bahwa jenis lamun Enhalus acoroides memiliki fibrous bistle atau rambut-rambut kaku berwarna hitam yang merupakan sisa daun. Dinyatakan pula bahwa ciri-ciri famili Hidrocharitaceae memiliki spesis dengan bentuk daun seperti pita, bulat memiliki pelepah, daun penumpu, rhizoma beruas dengan panjang 5 - 40 mm, pada rhizoma terdapat akar, baik yang berakar tunggal dengan diameter 2 - 5 cm dan panjang 15 cm atau lebih, dan berbulu (fibrous bristle).

  Komposisi jenis lamun pada lokasi penelitian adalah 100 % karena yang ditemukan hanya satu jenis yaitu jenis Enhalus acoroides. Azkab (2006) menjelaskan lamun dapat dijumpai dalam skala besar dan dapat menutupi dasar perairan yang luas untuk membentuk suatu padang lamun (Seagrass bed). Dinyatakan pula untuk perairan tropis padang lamun tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis pada kawasan tertentu, berbeda halnya dengan kawasan yang bertemperatur dingin kebanyakan didominansi oleh satu jenis (single spesies).

  Di lokasi penelitian hanya ditemukan satu jenis yaitu jenis Enhalus acoroides. Kehadiran spesies lamun yang hanya satu jenis di lokasi penelitian mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya suhu, salinitas, pH, dan substrat, namun hasil pengukuran parameter lingkungan ini masih belum dapat dijadikan tolak ukur karena hanya dilakukan sesaat pada saat penelitian. Sebagaimana dalam Azkab (2006) dijelaskan bahwa dalam ekosistem lamun kebanyakan didominansi oleh satu jenis (single spesies). Selain itu juga Dahuri (2003) menambahkan pada substrat berlumpur di daerah mangrove ke arah laut, sering dijumpai padang lamun dari spesis tunggal yang berasosiasi tinggi.

  Kondisi substrat sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan lamun. Hardiyanti, dkk, (2012) melaporkan bahwa jenis lamun Enhalus acoroides telah tumbuh tersebar luas di Pantai Mara’bombang, dan hampir tumbuh pada substrat berlumpur yang terlidungi, hal ini disebabkan karena lumpur halus kurang padat dan mengandung banyak bahan organik, sehingga merupakan media yang baik untuk perkembangan jenis lamun ini. Jenis Enhalus

  

acoroides menyukai lapisan sedimen yang lebih dalam dibandingkan dengan jenis lamun lainnya

untuk tumbuh dan berkembang.

  3.3 Kerapatan Jenis Lamun di Desa Wonggarasi Timur

  Kerapatan jenis lamun yaitu banyaknya jumlah individu suatu spesis lamun pada luasan tertentu. Hasil perhitungan rata-rata kerapatan jenis Enhalus acoroides pada stasiun I yaitu 22.56

  2

  2

  individu/m , kemudian pada stasiun II yaitu 24.22 individu/m , dan pada stasiun III yaitu 16.31

  2

  individu/m . Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Wonggarasi Timur, menunjukkan bahwa kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu dengan nilai 24.22

  2

  individu/m , dan kerapatan terendah terdapat pada stasiun III yaitu dengan nilai 16.31

  2

  individu/m . Nilai kerapatan jenis Enhalus acoroides di semua stasiun dinyatakan dalam kategori sangat jarang. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan, seperti halnya tipe substrat, pengendapan sedimen, dan bentuk morfologi lamun. Seperti halnya menurut Kiswara (2004)

  

dalam Hasanuddin (2013) kerapatan jenis lamun dipengaruhi oleh kedalaman, kecerahan, arus,

air, tipe substrat dan morfologi lamun.

  3.4 Pola Penyebaran Lamun di Desa Wonggarasi Timur Hasil perhitungan rata-rata pola penyebaran lamun dapat dilihat pada tabel berikut.

  Tabel 2. Hasil Perhitungan Rata-rata Pola Sebaran Lamun (Enhalus acoroides) di Desa Wonggarasi Timur.

  No Stasiun Indeks dispersi (Id) Pola sebaran

  1 Stasiun I 1.026 Mengelompok

  2 Stasiun II 1.014 Mengelompok

  3 Stasiun III 1.104 Mengelompok

  Sumber : Hasil olahan data primer Bulan November 2014

  Berdasarkan Tabel di atas bahwa hasil perhitungan nilai Indeks Dispersi Morisita di semua stasiun lebih dari 1.0 atau Id > 1.0, sehingga pola penyebaran jenis lamun Enhalus

  

acoroides di Desa Wonggarasi Timur dapat dikatakan masuk dalam kategori mengelompok.

  Feryatun, dkk, (2012) melaporkan bahwa nilai Id lamun di Perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yaitu 1.014 yang dinyatakan bahwa pola sebarannya mengelompok.

  Kondisi lingkungan dan substrat mungkin mendukung terjadinya pengelompokan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Putri (2004) bahwa penyebaran yang bersifat mengelompok dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan tipe substrat. Fauziyah (2004) menambahkan bahwa pengelompokan indvidu lamun ini merupakan akibat pengumpulan-pengumpulan individu dalam meningkatkan persaingan untuk memperoleh makanan dan ruang, disamping itu juga pengelompokan terjadi karena menanggapi perbedaaan habitat yang ada, dan juga diakibatkan oleh proses reproduksi secara vegetatif melalui akar rhizoma dan pertumbuhan batang tegak yang baru. Hardiyanti, dkk, (2012) menyatakan pula bahwa pola penyebaran secara mengelompok pada tumbuhan sangat tergantung pada pola sistem perkembangbiakan dari tumbuhan tersebut. Menurut Ludwig dan Reynolds (1998) dalam Hardiyanti, dkk, (2012) pengelompokan terjadi apabila individu jenis berkumpul pada habitat yang sesuai, dimana hal itu berkaitan dengan heterogenitas lingkungan dan tingkah laku individu.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

  Lamun yang ditemukan di Desa Wonggarasi Timur hanya satu jesis yaitu jenis lamun

  

Enhalus acoroides dengan tingkat kerapatan masuk kategori sangat jarang dengan pola

penyebaran yang mengelompok.

4.2. Saran 1.

  Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab ketidak hadiran jenis lamun lainnya selain jenis Enhalus acoroides.

  2. Perlu adanya penelitian tentang dampak pencemaran pada ekosistem lamun, sehingga kerusakan lamun akibat dampak pencemaran dapat ditanggulangi.

  3. Perlu penelitian tentang kandungan nutrien yang ada dalam kolom air dan substrat.

  

Ucapan Terima Kasih

  Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Femy Sahami, S.Pi, M.Si dan Ibu Sri Nuryatin Hamzah, S.Kel, M.Si, atas bantuan, arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

  Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Abd. Hafidz Olii, S.Pi, M.Si dan Bapak Faizal Kasim, S.Ik, M.Si, atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis.

  

Daftar Pustaka

  Azkab, M. H. 2006. Ada apa dengan Lamun. Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006. Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Barkat, S. 2013. Struktur komunitas makrozoobentos pada ekosistem padang lamun (seagrass).

  Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate. Diakses pada tanggal 15 Mei 2013, 14.00 Wita).

  Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Duwiri, Y. 2010. Struktur komunitas lamun (seagrass) di perairan pantai kampung Isenebuai dan

  Yariari Distrik Rumberpon Kabupaten Teluk Wondama. Skiripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua Manokwari.

  Eki, N. Y. 2013. Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun (Seagrass) di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo. Skripsi. Fakultas Teknologi Perikanan. Universtas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

  Fachrul, M. F. 2006. Metode sampling bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Fauziyah, I. M. 2004. Struktur Komunitas Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  Feryatun, F., B. Hendrarto., N. Widyorini. 2012. Kerapatan dan distribusi lamun (seagrass) Berdasarkan zona kegiatan yang berbeda diperairan pulau pramuka, kepulauan seribu. journal of management of aquatic resources. Volume , nomor , tahun 2012, halaman 1- 7 online di :

  Hardiyanti, S., M. R. Umar., D. Priosambodo. 2012. Analisis vegetasi lamun di perairan pantai Mara’bombang kabupaten Pinrang. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, Makassar.

  Harpiansyah., Pratomo, A., Yandri, F. 2014. Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

  Hasanuddin, R. 2013. Hubungan antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun Enhalus acoroides dengan Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo Kab. Pangkep. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kalautan dan Perikanan, UNHAS. Makasar. Hertanto, Y. 2008. Sebaran dan asosiasi perifiton pada ekosistem padang lamun (enhalus acoroides) di perairan Pulau Tidung besar, Kepulauan seribu, Jakarta utara. Skripsi.

  Program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. (Diakses pada tanggal 15 Mei 2013, 14.35 Wita).

  Hutabarat, S dan Evans, S. 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. UI- Press. Izuan, M., L.

  Viruly., T. S. Raza’I. 2014. Kajian Kerapatan Lamun terhadap Kepadatan Siput Gonggong (Strombus epidromis) di Pulau Dompak. Jurnal. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Teknologi Hasil Perikanan, Budidaya. FIKP UMRAH.

  Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta.

  • – Kordi K. M. G. H. 2011. Ekosistem lamun (seagrass) : fungsi, potensi, dan pengelolaan. Cet 1.

  Jakarta. Rineka Cipta. Patiri, J. 2013. Sintasan dan Pertumbuhan semaian lamun Enhalus acoroides di Perairan Pulau

  Barrang Lompo. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makasar. Patty, S. I., dan Rifai, H. 2013. Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax Vol. 1:(4) ISSN: 2302-3589. Sakaruddin, M. I. 2011. Komposisi jenis, Kerapatan, persen penutupan dan luas penutupan lamun di perairan pulau panjang tahun 1990

  • – 2010. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

  Suhud, M. A. A. Pratomo, F. Yandri. 2012. Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pulau Nikoi.

  Jurnal . Faculty of Marine science and Fisheries, Maritime Raja Ali Haji University.

  Takaendengan, K dan Azkab, M. H. 2010. Struktur Komunitas Lamun di Pulau Talise, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36(1): 85-95.