Jenis Dan Komposisi Komunitas Amfibi Di Taman Wisata Alam /Cagar Alam Sibolangit Dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

(1)

JENIS DAN KOMPOSISI KOMUNITAS AMFIBI DI TAMAN

WISATA ALAM/CAGAR ALAM SIBOLANGIT DAN DESA

SEMBAHE KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN

DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

AKHMAD JUNAEDI SIREGAR

050805063

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PERSETUJUAN

Judul : JENIS DAN KOMPOSISI KOMUNITAS AMFIBI DI

TAMAN WISATA ALAM /CAGAR ALAM SIBOLANGIT DAN DESA SEMBAHE KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

Kategori : SKRIPSI

Nama : AKHMAD JUNAEDI SIREGAR

Nomor Induk Mahasiswa : 050805063

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Diluluskan di

Medan, Nopember 2010 Komisi Pembimbing,

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Mayang Sary Yeanny S.Si, M.Si Drs Arlen Hanel John M.Si

NIP: 197211261998022002 NIP: 19581018199031001

Diketahui/disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU


(3)

PERNYATAAAN

JENIS DAN KOMPOSISI KOMUNITAS AMFIBI DI TAMAN WISATA ALAM/CAGAR ALAM SIBOLANGIT DAN DESA SEMBAHE KECAMATAN

SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Nopember 2010

AKHMAD JUNAEDI SIREGAR 050805063


(4)

PENGHARGAAN

Selayaknya insan yang selalu dianugrahi, sepantasnyalah penulis memanjatkan puja dan puji syukur ke Haribaan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas berkat, rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyusun Skripsi yang berjudul “Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.”

Pertama sekali, penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J., M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menyumbangkan bimbingan, motivasi serta dukungannya yang menstimulasi agar penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Ibu Mayang Sari Yeanny S.Si., M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang bersabar terus untuk memberikan yang terbaik demi kesempurnaan Skripsi ini. Tentunya terima kasih kepada Ibu Masitta Tanjung S.Si, M.Si dan Bapak Riyanto Sinaga S.Si, M.Si sebagai dosen penguji yang telah banyak meluruskan tujuan dan langkah-langkah penelitian yang dilakukan.

Penghargaan juga penulis berikan kepada Ibu Dra Nunuk Priyani M.Sc, selaku Dosen Penasihat Akademik sekaligus sekretaris Dept Biologi FMIPA USU yang telah memberi arahan dan tuntunan kepada penulis selama masa perkuliahan hingga sekarang. Penghargaan penulis berikan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU. Bapak dan Ibu staf pengajar Dept Biologi FMIPA USU yang tidak bisa disebut satu per satu. Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Dept Biologi, serta Ibu Nurhasni Muluk dan Bapak (Alm) Sukirmanto selaku analis dan laboran di Laboratorium Dept Biologi yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis juga tidak akan lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen-dosen yang menjadi orang tua penulis di Kampus USU. Kepada Ibu Prof Retno Widhiastuti, Ibu Erni Jumilawaty S.Si, M.Si, Ibu Nursahara Pasaribu S.Si, M.Sc dan Bapak Prof Syafruddin Ilyas M.Biomed serta dosen-dosen Biologi FMIPA USU secara keseluruhan, terima kasih untuk semuanya.

Kepada pihak otoritas konservasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA-SU), terima kasih kepada Bapak Simson Bukit selaku Kepala Resort Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit yang telah memberikan kemudahan dan fasilitas selama penelitian. Juga kepada Bapak Tarigan (polisi hutan) yang telah bersedia sebagai pemandu demi suksesnya penelitian.

Harus tetap penulis mengingat kepada Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS–IP) yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk ikut serta mengerjakan penelitian Kelestarian Tuntong Laut (Batagur borneoensis) di Sumatera Bagian Utara walaupun masih duduk di bangku perkuliahan. Terima kasih kepada Kakanda Munawar Kholis dan Giyanto serta teman-teman staf lapangan WCS–IP yang telah banyak berbagi informasi yang dapat mempermudah dan memperkaya wawasan penulis selama ini.

Terkhusus kepada Kakanda Mistar yang dianggap penulis sebagai pengamat herpetofauna nomor satu di Pulau Sumatera. Penulis banyak terinspirasi dari pikiran-pikiran beliau sehingga penulis akhirnya berniat untuk mengambil bagian kecil untuk mengembangkan dunia sains herpetofauna. Serta terima kasih kepada rekan-rekan semilis di Forum Herpetologi Indonesia yang berlatar belakang institusi berbeda-beda yang bisa melengkapi diskusi seputar amfibi dan reptil.


(5)

Cinta, sayang dan salut kepada dua pahlawanku yang telah mendidik penulis ke jalan yang lebih baik dari yang mereka jalani. Kepada Ayahanda (Alm) Hasanuddin Siregar dan Ibunda Hj. Hasnah Harahap, tiada kata yang pantas bisa penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu. Penulis hanya bisa menjanjikan untuk memenuhi keinginan orangtua, memenuhi sholat lima waktu. Banyak yang penulis rindukan di masa lalu termasuk masa bertani yang kesemuanya sangat indah dan tidak terlupakan. Lebih jauh lagi, penulis menginginkan kumpul keluarga abadi nantinya di surga milik Allah. Amin.

Kepada Kakanda Tikwan Raya Siregar dan Wiras Tuti, terima kasih atas

dukungannya. Penulis telah banyak mencuri ilmu dari Abang dan Kakak, termasuk buku-buku yang belum penulis kembalikan. Tara Varadissa dan Pati Mulla Sadra, keponakan yang baik yang memberi semangat yang luar biasa untuk penulis. Tangis dan canda kalian adalah bahasa-bahasa inverbal yang selalu menghibur Uda. Tidak kurang kepada Kakanda Gong Matua Siregar dan Rafika serta Maura Divanka Siregar yang banyak memberikan dukungan dan bersedia memberi suntikan semangat. Serta Kakanda Lenni Haji Siregar beserta keluarga dan adik-adik kesayanganku Hartatika Siregar, Lailan Khoiriah Siregar dan Habibie Siregar. Mereka semua adalah energi pemicu untuk penulis sehingga penulis akhirnya memutuskan menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.

Bengkel Fotografi Sains (BFS) dan Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Departemen Biologi FMIPA USU menjadi wadah mencurahkan ide dan melatih kreatifitas yang sangat membantu penulis untuk mendapatkan ilmu-ilmu di luar kajian akademis sekaligus sebagai penghubung ke dalam dunia luar kampus. Terima kasih kepada kakanda Panji, Edi, Agus Koto, Carya, Fakhrul, Diah, Andi, Tika dan jajaran adik-adikku di BFS. Begitu juga kepada Kakanda Giyanto, Hasri, Jamrud, Barita, David, F-Hot dan Mahya di Biopalas.

Tim ekpedisi yang sangat membantu penulis, Sidahin, Taripar, Umri, Incai, Jayana yang telah banyak membantu. Teman-teman stambuk 2005, Rahmad, Irfan, Kabul, Verta, Andi, Misran, Efendi, Rico, Diana, Ummi, Putri, Winda, Seneng, Widya, Fifi, Gustin dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan saran-sarannya. Adik-adik kebanggaanku Nikma, Zulpan, Ami, Jane, Rivo, Lia, Reni, Affan, Incai, Umri, Zuki, Kasbi, Jayana, Juventus, Aini, Reymond, Desi, Mispala dan Gilang, Surya serta Juhardi, kalian semua sangat potensial sebagai peneliti.

Demikianlah Skripsi ini penulis susun semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.


(6)

ABSTRAK

Penelitian mengenai Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara telah dilakukan pada bulan Februari 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe. Penelitian ini menggunakan Metode Visual Encounter Survey–Night Stream (VES–NS) dan Kuadrat Plot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 2 ordo, 13 genus, 23 spesies ditemukan di kedua lokasi penelitian di mana Polypedates leucomystax memiliki nilai kepadatan (K) paling tinggi (K=36,11 ind/ha) di TWA/CA Sibolangit dan Rana chalconota (K=26,67 ind/ha) di Desa Sembahe. Frekuensi Kehadiran (FK) tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Limnonectes kuhlii yakni tergolong kategori assesori (FK=25,64%). Sedangkan di Desa Sembahe ditempati spesies Bufo juxtasper dan Rana hosii masing-masing masuk kategori assesori (33,33%). Didapatkan 2 spesies amfibi yang memiliki nilai KR > 10% dan FK > 25% yakni Limnonectes kuhlii (KR=11,62%, FK=25,64%) di TWA/CA Sibolangit sedangkan Rana hosii (KR=11,58%, FK=33,33%) Desa Sembahe. Komposisi jenis tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Polypedates leucomystax sedangkan di sepanjang sungai Sembahe adalah Rana chalconota.


(7)

ABSTRACK

Research on the Species and Amphibian Community Composition in Nature Park/Nature Preserve (TWA/CA) Sibolangit and Sembahe Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang regency of North Sumatra have been carried out in February 2010. This study aims to determine the spesies and composition of amphibian communities in the TWA/CA Sibolangit and Sembahe Village. This research using Visual Encounter Survey-Night Stream (VES-NS) and Square Plot Methods. The results showed that as much as 2 orders, 13 genera, 23 species are found at both sites where Polypedates leucomystax density value (K) the highest (K = 36.11 ind/ha) in the TWA/CA Sibolangit and Rana chalconota (K=26.67 ind/ha) in the Village Sembahe. Frequency of Presence (FK), the highest in the TWA/CA Sibolangit is Limnonectes kuhlii each category accessories (FK=25.64%). While in the Sembahe Village occupied by the species Bufo juxtasper and Rana hosii each category accessories (33.33%). Got 2 species of amphibians which have a value of KR>10% and FK>25% is Limnonectes kuhlii (KR=11.62%, FK=25.64%) in the TWA/CA Sibolangit while Rana hosii (KR=11.58%, FK=33.33%) in the Sembahe Village. The highest species composition in the TWA/CA Sibolangit is Polypedates leucomystax while along the river is Rana chalconota in the Sembahe Village.


(8)

DAFTAR ISI

halaman

Persetujuan ii

Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Hipotesis Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Sistematika Amfibi 4

2.2 Biologi Amfibi 5

2.2.1 Pengertian Amfibi 5

2.2.2 Morfologi Katak 6

2.2.3 Pola Makan Amfibi 6

2.3 Habitat dan Ekologi 7

2.4 Manfaat dan Peranan Amfibi 8

2.5 Konservasi 9

2.6 Hutan TWA/CA Sibolangit 10

2.6.1 Flora dan Fauna 10

2.6.2 Sejarah 11

2.6.3 Potensi Wisata 13

Bab 3 Bahan dan Metode 14

3.1 Deskripsi Area 14

3.2 Bahan dan Metode 14

3.2.1 Alat dan Bahan Penelitian 14

3.2.2 Metodologi Penelitian 15

3.2.3 Cara Kerja 15

3.2.4 Analisis Data 16

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 18

4.1 Jenis-jenis Amfibi 18


(9)

4.3 Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif Amfibi 36

4.4 Frekuensi Kehadiran (Konstansi) Amfibi 40

4.5 Amfibi yang Memiliki KR>10% dan FK>25% 42

4.6 Komposisi Jenis Amfibi 43

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 44

5.1. Kesimpulan 44

5.2. Saran 45

Daftar Pustaka 46


(10)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 4.1 Jenis-jenis Amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa

Sembahe.

17 Tabel 4.2 Data Faktor Fisik-Kimia Lingkungan di Lokasi Penelitian 18

Tabel 4.3 Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif Amfibi 36

Tabel 4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) dan Konstansi Amfibi 40

Tabel 4.5 Amfibi yang Memiliki Nilai KR > 10 % dan FK > 25 % 42


(11)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 4.1 Bufo asper 20

Gambar 4.2 Bufo divergens 21

Gambar 4.3 Bufo juxtasper 21

Gambar 4.4 Bufo melanostictus 22

Gambar 4.5 Leptophryne borbonica 23

Gambar 4.6 Pelophryne signata 23

Gambar 4.7 Limnonectes blythii 24

Gambar 4.8 Limnonectes kuhlii 25

Gambar 4.9 Megophrys nasuta 25

Gambar 4.10 Microhyla heymonsi 26

Gambar 4.11 Microhyla berdmorei 27

Gambar 4.12 Huia sumatrana 27

Gambar 4.13 Rana chalconota 28

Gambar 4.14 Rana debussyi 29

Gambar 4.15 Rana erithraea 29

Gambar 4.16 Rana glandulosa 30

Gambar 4.17 Rana hosii variasi hijau 31

Gambar 4.18 Nyctixalus pictus 32

Gambar 4.19 Polypedates leucomystax 32

Gambar 4.20 Rhacophorus cyanopuntatus 33

Gambar 4.21 Rhacophorus dulitensis 34

Gambar 4.22 Theloderma leprosum 34


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman Lampiran 1 Peta Penelitian

Lampiran 2 Foto Lokasi dan Kegiatan Penelitian Lampiran 3 Data Mentah Penelitian Amfibi


(13)

ABSTRAK

Penelitian mengenai Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara telah dilakukan pada bulan Februari 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe. Penelitian ini menggunakan Metode Visual Encounter Survey–Night Stream (VES–NS) dan Kuadrat Plot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 2 ordo, 13 genus, 23 spesies ditemukan di kedua lokasi penelitian di mana Polypedates leucomystax memiliki nilai kepadatan (K) paling tinggi (K=36,11 ind/ha) di TWA/CA Sibolangit dan Rana chalconota (K=26,67 ind/ha) di Desa Sembahe. Frekuensi Kehadiran (FK) tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Limnonectes kuhlii yakni tergolong kategori assesori (FK=25,64%). Sedangkan di Desa Sembahe ditempati spesies Bufo juxtasper dan Rana hosii masing-masing masuk kategori assesori (33,33%). Didapatkan 2 spesies amfibi yang memiliki nilai KR > 10% dan FK > 25% yakni Limnonectes kuhlii (KR=11,62%, FK=25,64%) di TWA/CA Sibolangit sedangkan Rana hosii (KR=11,58%, FK=33,33%) Desa Sembahe. Komposisi jenis tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Polypedates leucomystax sedangkan di sepanjang sungai Sembahe adalah Rana chalconota.


(14)

ABSTRACK

Research on the Species and Amphibian Community Composition in Nature Park/Nature Preserve (TWA/CA) Sibolangit and Sembahe Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang regency of North Sumatra have been carried out in February 2010. This study aims to determine the spesies and composition of amphibian communities in the TWA/CA Sibolangit and Sembahe Village. This research using Visual Encounter Survey-Night Stream (VES-NS) and Square Plot Methods. The results showed that as much as 2 orders, 13 genera, 23 species are found at both sites where Polypedates leucomystax density value (K) the highest (K = 36.11 ind/ha) in the TWA/CA Sibolangit and Rana chalconota (K=26.67 ind/ha) in the Village Sembahe. Frequency of Presence (FK), the highest in the TWA/CA Sibolangit is Limnonectes kuhlii each category accessories (FK=25.64%). While in the Sembahe Village occupied by the species Bufo juxtasper and Rana hosii each category accessories (33.33%). Got 2 species of amphibians which have a value of KR>10% and FK>25% is Limnonectes kuhlii (KR=11.62%, FK=25.64%) in the TWA/CA Sibolangit while Rana hosii (KR=11.58%, FK=33.33%) in the Sembahe Village. The highest species composition in the TWA/CA Sibolangit is Polypedates leucomystax while along the river is Rana chalconota in the Sembahe Village.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas tertinggi di dunia. Luas hutan primernya saja sekitar 14.484.400 ha di mana luas kawasan lindung 29.960.600 ha. Pulau Sumatera memiliki hutan primer seluas 1.949.200 sedangkan hutan lindungnya 3.696.400 di mana berbagai spesies hidupan liar berhabitat di dalamnya (Purnama, 2003). Indonesia memiliki hutan hujan tropis paling luas untuk wilayah Indo-Malaya, di mana hutan tropis basah Indonesia mewakili 9-10% dari keseluruhan hutan hujan tropis dunia, atau 40 – 50 % dari hutan tropis basah Asia (Arlen, 2000). Kondisi hutan tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pulau dengan biodiversitas paling tinggi nomor dua di dunia setelah Brasil. Selain itu, Indonesia sangat kaya dan mendukung keberadaan dan kehidupan vertebrata di antaranya amfibi.

TWA/CA Sibolangit, Sumatera Utara merupakan satu kesatuan dengan hutan Tahura Bukit Barisan yang memiliki biodiversitas yang sangat tinggi. Fauna yang hidup di sini antara lain kera (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis sp), rangkong (Buceros sp), burung kutilang (Pycnonotus sp), kacer (Copsycus saularis), srigunting (Dicrurus sp), babi hutan (Sus sp), kancil (Tragulus javanicus), trenggiling (Manis javanica) serta berbagai jenis amfibi. Iskandar (1998) menyatakan bahwa di Sumatera terdapat ± 94 jenis amfibi yang terdiri dari dua ordo, yaitu 1). Ordo Anura (katak dan kodok) dengan 89 jenis, sekitar 21 jenis di antaranya adalah endemik, 2). Ordo Gymnophiona (5 jenis). Selanjutnya dijelaskan bahwa keberadaan jenis amfibi (katak, kodok dan sesilia) untuk kawasan Sumatera telah banyak diteliti dan ditulis oleh Van Kampen, De Rooij, Cooger Harold, D. Liswanto, Voris dan Kadarsan. Dari hasil penelitian Lubis (2007) di Hutan Suaka Margasatwa Siranggas, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara didapatkan 17 jenis amfibi yang termasuk ke dalam 10 genus, 5 famili dan 2 ordo.


(16)

Pengetahuan tentang keberadaan jenis dan jumlah individu suatu spesies hewan pada suatu habitat tertentu belum banyak diketahui, hal ini disebabkan karena minimnya penelitian, dokumentasi dan publikasi fauna tersebut (amfibi) secara umum, padahal persentase endemiknya sangat besar. Inger dan Iskandar (2005) menjelaskan bahwa amfibi di Sumatera belum banyak diketahui seperti pulau lainnya. Sehubungan dengan uraian di atas maka dilakukanlah penelitian tentang ”Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.”

1.2 Permasalahan

Hutan TWA/CA Sibolangit merupakan luasan hutan lindung seluas 120 ha yang dikelilingi pemukiman dan perkebunan lahan-lahan terbuka masyarakat dan Desa Sembahe merupakan salah satu desa yang mengelilingi hutan TWA/CA Sibolangit yang memungkinkan perbedaan jenis-jenis amfibi yang hidup di kedua lokasi tersebut. Namun hingga saat ini belum diketahui bagaimanakah keberadaan jenis dan komposisi komunitas amfibi di hutan TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe.

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui jenis-jenis amfibi yang terdapat di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe.

b. Mengetahui komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe.

1.4Hipotesis Penelitian


(17)

b. Terdapat perbedaan komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi tentang keberadaan jenis dan komposisi komunitas amfibi di hutan TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe

Kecamatan Sibolangit Sumatera Utara untuk ilmuan, pelajar, masyarakat dan sebagai dasar untuk instansi terkait dalam melakukan pengelolaan dan penjagaan kelestarian hutan TWA/CA Sibolangit.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika Amfibi.

Amfibi merupakan salah satu kelas dari vertebrata yang terdiri dari tiga ordo, yaitu ordo Caudata, ordo Gymnophiona, dan ordo Anura (Simon & Schuster’s, 1989). Dari ketiga ordo tersebut yang dijumpai di Indonesia adalah ordo Gymnophiona dan ordo Anura. Klasifikasi amfibi sebagai berikut:

Ordo Urodela (Caudata), terdiri dari :

a. Famili Hynobiidae (meliputi salamander yang hidup di dataran Asia) b. Famili Cryptobranchidae (meliputi salamander yang hidup di sungai)

c. Famili Ambystomidae (dalam keadaan larva hidup di perairan dan pada saat dewasa ada sebagian yang tetap di perairan dan sebagian di daerah teresterial)

d. Famili Salamdridae e. Famili Amphiumidae f. Famili Plethodonthidae

g. Famili Proteidae (selalu dalam stadium larva)

h. Famili Serenidae (selalu dalam stadium larva tanpa ektremitas posterior)

Ordo Anura (salientia) terdiri dari :

a. Famili Liopelmidae (meliputi katak yang primitif, aquatik dan teresterial)

b. Famili Pipidae (meliputi katak yang bertubuh pipih, merupakan katak yang melakukan penyesuaian terhadap lingkungan perairan)

c. Famili Discoglossidae d. Famili Pelobatidae e. Famili Brevicivitadae


(19)

g. Famili Rachoporidae h. Famili Mycrohylidae

i. Famili Pseudidae (meliputi katak-katak aquatik dari Amerika Selatan) j. Famili Bufonidae

k. Famili Hylidae

l. Famili Leptodactylidae

Ordo Apoda (Gymnophiona) hanyaterdiri dari 1 famili, yaitu famili Caecilidae.

2.2 Biologi Amfibi 2.2.1 Pengertian Amfibi

Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat dan air. Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari (Liswanto, 1998).

2.2.2 Morfologi Amfibi

Amfibi memiliki beragam bentuk dasarnya tergantung ordonya. Ordo Anura (jenis katak-katakan) secara morfologi mudah dikenal karena tubuhnya seperti berjongkok di mana ada empat kaki untuk melompat, bentuk tubuh pendek, leher yang tidak jelas, tanpa ekor, mata melotot dan memiliki mulut yang lebar (Inger, R.F & R.B, Stuebing, 1997). Tungkai belakang selalu lebih panjang dibanding tungkai depan. Tungkai depan memiliki 4 jari sedangkan tungkai belakang memiliki 5 jari. Kulitnya bervariasi dari yang halus hingga kasar bahkan tonjolan-tonjolan tajam kadang ditemukan seperti pada famili Bufonidae. Ukuran katak di Indonesia bervariasi mulai dari yang terkecil yakni 10 mm hingga yang terbesar mencapai 280 mm (Iskandar, 1998). Katak di Sumatera diketahui berukuran antara 20 mm – 300 mm (Mistar, 2003).


(20)

Umumnya ordo Anura memiliki selaput (webbing) walaupun sebagian didapatkan tidak berselaput seperti genus Leptobrachium dan Megophrys. Ada tidaknya selaput sangat sesuai dengan habitat yang ditempatinya. Ordo Anura memiliki warna bervariasi berdasarkan familinya seperti famili Rhacophoridae cenderung berwarna terang sedangkan famili Megophrydae cenderung berwarna gelap sesuai habitatnya di serasah (Mistar, 2003).

Ordo Gymnophiona (sesilia) merupakan satu-satunya ordo dari amfibi yang tidak mempunyai tungkai. Sesilia sangat mirip dengan cacing tapi mempunyai mulut dan mata yang jelas, biasanya terdapat garis kuning pada sisi bagian tubuhnya. Kemudian ordo ketiga adalah ordo Caudata (salamander) mempunyai empat tungkai, mempunyai mata yang jelas dan mulut yang jelas (Mistar, 2003).

2.2.3 Pola Makan Amfibi

Semua spesies amfibi dewasa tergolong dalam karnivora (Liswanto, 1998). Namun pada fase berudu amfibi umumnya herbivora walaupun ada yang termasuk karnivora bergantung jenisnya. Berudu yang dikenal karnivora adalah genus Occidozyga. Makanan amfibi umumnya adalah arthropoda, cacing, dan larva serangga. Spesies amfibi yang berukuran besar dapat memakan hewan yang vertebrata kecil seperti ikan kecil, bahkan kadal kecil dan ular kecil (Iskandar, 1998).

Pola makan berudu amfibi diketahui berbagai cara bergantung spesiesnya. Berudu genus Megophrys memiliki mulut segitiga seperti corong yang digunakan sebagai strategi dalam mencari makan di permukaan air. Berbeda dengan berudu spesies Huia sumatrana di mana berudu ini mempunyai mangkok penghisap untuk melekat pada batu ketika mencari makan di sungai berarus deras dan jernih. Diketahui juga berudu yang tidak mengambil makanan dari lingkungan, yakni berudu Kalophrynus sp dan Kaloula sp di mana berudu tersebut mengandalkan kuning telur yang tersedia (Mistar, 2003).


(21)

Amfibi dikenal dengan makhluk dua alam. Amfibi tersebar di semua benua kecuali benua Antartika, umumnya dijumpai pada malam hari atau pada musim penghujan seperti di kolam, aliran sungai, pohon-pohon maupun di gua (Simon & Schuster’s, 1989). Iskandar (1998) menyatakan bahwa amfibi selalu hidup berasosiasi dengan air sesuai namanya yaitu hidup pada dua alam (di air dan di darat). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar amfibi didapatkan hidup di kawasan hutan karena di samping membutuhkan air juga membutuhkan kelembaban yang cukup tinggi (75-85%) untuk melindungi tubuh dari kekeringan. Mistar (2003) menjelaskan bahwa sewaktu bereproduksi amfibi membutuhkan air atau tempat untuk meletakkan telur hingga terbentuknya larva dan juvenil.

Berdasarkan kebiasaan hidupnya amfibi dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yakni :

a. Teresterial, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya berada di lantai hutan, jarang sekali berada pada tepian sungai, memanfaatkan genangan air atau di kolam di lantai hutan serta di antara serasah daun yang tidak berair tetapi mempunyai kelembaban tinggi dan stabil untuk meletakkan telur. Contohnya Megophrys aceras, M. nasuta dan Leptobracium sp.

b. Arboreal, spesies-spesies amfibi yang hidup di pohon dan berkembang biak di genangan air pada lubang-lubang pohon di cekungan lubang pohon, kolam, danau, sungai yang sering dikunjungi pada saat berbiak. Beberapa spesies arboreal mengembangkan telur dengan membungkusnya dengan busa untuk menjaga kelembaban, menempel pada daun atau ranting yang di bawahnya terdapat air. Contohnya seperti Rhacophorus sp, Philautus sp dan Pedostibes hosii.

c. Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada badan air, sejak telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada perairan mulai dari makan sampai berbiak. Contohnya antara lain Occidozyga sumatrana dan Rana siberut.

d. Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah, spesies ini jarang dijumpai. Amfibi yang termasuk dalam kelompok ini adalah suku Microhylidae yaitu Kaloula sp dan semua jenis sesilia (Mistar, 2003).

Menurut Iskandar (1998), kelompok amfibi ini hidup tersebar luas di mana amfibi dapat hidup di tempat yang beragam, mulai dari hutan primer sampai tempat yang ekstrim sekali. Walaupun demikian habitat yang paling disukai adalah daerah berhutan karena


(22)

membutuhkan kelembaban yang stabil, dan ada juga yang tidak pernah meninggalkan perairan sama sekali (Mistar, 2003).

2.4 Manfaat dan Peranan Amfibi

Manfaat amfibi sangat beragam baik itu untuk konsumsi, sibernetik maupun bahan percobaan penelitian. Iskandar (1998), menjelaskan bahwa amfibi telah banyak dimakan khususnya di restoran-restoran Cina. Dua spesies yang paling sering dikonsumsi adalah Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon yakni spesies yang cukup bertubuh besar yang sering dijadikan sumber protein tinggi.

Selanjutnya Mistar (2003), menjelaskan bahwa amfibi mempunyai potensi yang besar untuk menanggulangi hama serangga (sibernetik) karena pakan utama amfibi adalah serangga dan larvanya. Beberapa perkebunan di Hawaii memanfaatkan jenis Bufo marinus yang didatangkan dari Texas untuk memberantas serangga secara biologis, akan tetapi metode ini harus diperhitungkan secara ekologi karena berbagai kasus seperti ketika Bufo marinus diintroduksi ke Australia dengan tugas yang sama mereka berkembang biak secara cepat dan tidak ada satwa yang mengontrol populasi kodok ini sehingga pada akhirnya menjadi hama bagi tanaman tebu (Easteal, 2006).

Di samping sebagai sibernetik, amfibi berperan besar dalam dunia kedokteran di mana amfibi telah lama digunakan sebagai alat tes kehamilan. Beberapa ahli pada saat sekarang telah banyak melakukan penelitian untuk mencari bahan anti bakteri dari berbagai spesies amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terdapat di bawah kulitnya.

2.5 Konservasi

Penyelamatan amfibi tidak bisa dilepaskan dari kerusakan habitat maupun pemanasan global. Suhu atmosfer bumi saat ini telah meningkat 0,5ºC dibanding suhu pada zaman


(23)

praindustri (Murdiyarso, 2003). Terutama karena amfibi merupakan satwa yang membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Secara umum diketahui amfibi memiliki persebaran yang luas namun perlindungan mikrohabitatnya mutlak dilakukan karena amfibi diketahui berendemisitas yang tinggi (Mistar, 2003). Sesuai dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa ordo Anura (katak dan kodok) di Sumatera didapatkan 89 jenis di mana sekitar 21 jenis di antaranya adalah endemik.

Iskandar (1998) menjelaskan bahwa beberapa jenis hampir dikhawatirkan akan habis karena manusia banyak memperjualbelikan dan juga mengkonsumsinya terutama jenis Limnonectes macrodon. Salah satu kendala yang menghambat upaya konservasi amfibi adalah minimnya data tentang status populasi dan penyebaran distribusinya sehingga belum satu pun jenis amfibi di Sumatera yang masuk dalam daftar satwa terancam punah dalam IUCN (Liswanto, 1998). Di dalam Peraturan Pemerintah No. 7 (1999) juga belum terdaftar satu jenis amfibi pada lampiran jenis-jenis satwa yang dilindungi. Dengan tidak diketahuinya status populasi dan distribusi spesies-spesies amfibi maka hilangnya satu spesies maupun laju penyusutan populasi menjadi sulit dipantau sedangkan laju kerusakan dan alih fungsi hutan sangat cepat (Rahayuningsih et al, 2004).

Penelitian di Pulau Sumatera khususnya telah pernah diteliti dan dipublikasikan oleh Van Kampen, De Rooij, Cooger Harold, D. Liswanto, Voris dan Kadarsan. Hasil penelitian Lubis (2007) memperlihatkan bahwa di Hutan Suaka Margasatwa Siranggas, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara didapatkan 17 jenis amfibi yang tergolong ke dalam 10 genus, 5 famili dan 2 ordo.

2.6 Hutan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit

Hutan Taman Wisata Alam Sibolangit/Cagar Alam Sibolangit (TWA/CA Sibolangit merupakan satu kesatuan dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan di mana Tahura Bukit Barisan merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 Nopember


(24)

1988. Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Tahura Bukit Barisan adalah unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas seluruhnya 51.600 ha. Sebagian besar merupakan hutan lindung berupa hutan alam pegunungan yang ditetapkan sejak jaman Belanda, meliputi Hutan Lindung Sibayak I dan Simancik I, Hutan Lindung Sibayak II dan Simancik II serta Hutan Lindung Sinabung. Bagian lain kawasan Tahura ini terdiri dari Cagar Alam (CA)/Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit, Suaka Margasatwa (SM) Langkat Selatan, Taman Wisata Alam (TWA) Lau Debuk-debuk dan Bumi Perkemahan (Bumper) Pramuka Sibolangit (www.dephut.go.id).

2.6.1 Flora dan Fauna

Flora yang tumbuh di kawasan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit sebagian adalah jenis asli dan sebagian lagi berasal dari luar negeri. Pada umumnya terdiri dari pohon yang besar dengan diameter lebih dari 1 meter, seperti di antaranya jenis sono kembang (Dalbergia latifolia), angsana (Pterococarpus indicus) dan kelenjar (Samanea saman). Ada juga jenis tanaman palam dan pinang. Di samping itu terdapat pula tumbuhan yang merambat seperti Philodendron sp. Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah hujan yang cukup tinggi (diperkirakan antara 3000 sampai dengan 4000 mm/tahun). Sedangkan tanaman bawah atau ground cover yang dipakai sebagai pembatas jalan setapak pada umumnya didominasi jenis dari genus Anthurium dari famili Araceae.

Tumbuhan khas di kawasan ini juga ditemukan yakni salah satu tumbuhan yang tergolong langka (tumbuh setiap 5 tahun sekali) dan mempunyai daya tarik tersendiri yaitu bunga bangkai (Amorphophallus titanum).

Ada pun jenis fauna yang sering dijumpai adalah kera (Macaca fascicularis) dan lutung (Presbytis sp) yang senang bermain-main di pohon. Apalagi pada musim buah duku dan durian, frekuensi kunjungannya akan semakin sering. Keberadaan kera dan lutung ini memberikan daya tarik tersendiri karena dapat beratraksi dan mengeluarkan bunyi suara yang amat nyaring. Selain itu, pada musim yang sama (musim buah) banyak dijumpai


(25)

jenis-jenis burung seperti burung rangkong (Buceros sp), burung kutilang (Pycnonotus sp), kacer (Copsycus sp), srigunting (Dicrurus sp) serta jenis hewan lainnya seperti babi hutan (Sus sp), biawak (Varanus salvator) kancil (Tragulus javanicus) dan trenggiling (Manis javanica) (www.dephut.go.id).

2.6.2 Sejarah

Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit yang terlihat saat ini mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dahulu, Pemerintah Belanda menganggap kawasan hutan yang dikenal sebagai Kebun Raya (Botanical Garden) Sibolangit sebagai bentang alam yang penting terutama dari sisi ekologi, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan Kota Medan. Kebun Raya (KR) Sibolangit merupakan salah satu dari dua cabang Kebun Raya Bogor yakni Kebun Raya Sibolangit dan Kebun Raya Setia Mulia di Sumatera Barat.

Kebun Raya Sibolangit resmi dibuka pada tahun 1914 oleh J.A Lorzing dan didukung oleh Dr J.C. Koningsberger yang menjabat Direktur Kebun Raya Bogor di masa itu. Untuk memperjelas statusnya, tahun 1916 diadakan pemetaan dan pembuatan tapal batas Kebun Raya Sibolangit. Berdasarkan tapal batas, waktu itu kebun raya masuk dalam kekuasaan Sultan Deli yang berpusat di Medan.

Pernah Hortus Sibolangit, sebutan lain berbahasa Belanda untuk Kebun Raya Sibolangit mengalami masa kejayaan di era 1914 hingga 1928. Pendataan, pengoleksian serta pengadaan herbarium layaknya kegiatan sebuah kebun raya dikerjakan dan kegiatan ini memakan energi yang tidak sedikit. Hal ini antara lain dapat dilihat dari keberadaan tungku pengeringan spesimen yang sudah tergolong maju waktu itu. Selain itu tumbuhan koleksi sedang dalam tahap pengembangan.

Kekurangan dana operasional pada tahun 1928 memaksa kebun raya ini vakum beberapa tahun. Praktis kegiatan perkebunrayaannya pun terhenti. Pada tanggal 24 Mei 1934, Kesultanan Deli menimbang bahwa luasan hutan tersebut dianggap penting lalu mengubah statusnya menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Z.b No.85 PK. Kevakuman berakhir hingga Indonesia merdeka dari kolonial. Pada tahun 1948 dibuka


(26)

kembali, namun dana yang minim akhirnya dipilih menyerahkan kebun raya kepengelolaan Djawatan Kehutanan.

Tahun 2000-an tidak banyak yang berubah pada Cagar Alam Sibolangit. Sebelumnya, CA Sibolangit pernah diperluas sebanyak 5,85 ha berasal dari bekas Hak Guna Usaha Seng Hap dengan SKPT Menteri Pertanian Agraria No.104/KA/1957 Tanggal 11 Juni 1957. Kemudian pada tahun 1980, luasan hutan CA Sibolangit sebanyak 24,85 ha dialihstatuskan menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit mengingat hutan tersebut penting dan potensial dijadikan sebagai laboratorium alam dan sarana rekreasi. Pengalihsatatusan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 636/Kpts/Um/9/1980 dengan harapan menjadi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan serta pengembangan pariwisata sesuai fungsi Taman Wisata Alam. Saat ini luas CA Sibolangit tinggal 95,15 ha.

Pada tahun 2001 Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit menjadi perhatian masyarakat umum. Terutama dibangunnya Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera di Desa Batu Mbelin oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dengan suntikan dana dari Yayasan Pan Eco, Swiss. Setahun setelahnya, menyusul Conservation International (CI) memberikan perhatian yang serius dengan memperbaiki dan membangun sarana seperti wisma tamu (guest house), pintu gerbang, perawatan jalan interpretasi, pengadaan papan pendidikan, pendidikan pemuda setempat sebagai interpreter serta menyusun program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah.

Program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah sangat bermanfaat dan bernilai positif walaupun kunjungan dinilai masih sedikit. Berbagai usaha dilakukan agar tingkat kunjungan meningkat di masa krisis moneter waktu itu. Poster-poster pendidikan pun mulai ditingkatkan serta mengundang anak sekolah secara khusus. Namun, setelah masa-masa itu berlalu, beberapa tahun belakangan ini kegiatan-kegiatan yang sama mulai meredup seiring habisnya program lembaga pendukung dan minimnya dana operasional sehari-hari (Sari & Widodo, 2004).


(27)

Obyek wisata yang menjadikan daya tarik di kawasan ini adalah pemandangan alam yang indah dan tenang di samping aneka koleksi (kebun) botaninya. Banyak pengunjung yang datang hanya menikmati keindahan, ketenangan dan kesejukan alam di Taman Wisata Alam Sibolangit sembari melepaskan rasa penat/letih setelah melaksanakan pekerjaan/tugas-tugas rutin sehari-hari. Namun banyak pula pengunjung yang datang di samping untuk menikmati keindahan Taman Wisata Alam Sibolangit juga mempelajari dan meneliti aneka koleksi vegetasi yang ada di kawasan tersebut. Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan kawasan ini memiliki dwifungsi yaitu sarana rekreasi serta sekaligus pendidikan dan penelitian.

Fasilitas wisata pendukung yang telah tersedia seperti jalan setapak mengelilingi kawasan, pondok tedung (shelter), guest house dan pusat informasi (Kantor Resort KSDA Sibolangit atau Sub Seksi KSDA Deli Serdang). Bagi yang ingin mempelajari dan meneliti vegetasi yang ada, pada masing-masing pohon telah diberi nama daerah, Indonesia dan ilmiah yang ditulis pada lempengan kaleng dan ditempelkan di pohon-pohon tersebut. Di samping itu petugas-petugas KSDA setempat sebagai petugas pengelola juga akan memandu para pengunjung yang memerlukan penjelasan tentang Kawasan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit (www.dephut.go.id).


(28)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Deskripsi Area

Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit merupakan hutan yang terletak di antara Jalan Raya Medan–Berastagi, sekitar 40 km dari Kota Medan dengan waktu tempuh lebih kurang 1 jam. Sebagai jalur wisata, kondisi jalan sangat mulus sehingga dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan bermotor roda dua dan roda empat.

Secara administratif pemerintahan, Kawasan TWA/CA Sibolangit ini terletak di Desa Sibolangit Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. TWA Sibolangit merupakan Taman Wisata Alam yang disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 636/Kpts/Um/9/1980 seluas lebih kurang 24,85 ha.

Penelitian dilakukan pada 2 lokasi yang berbeda pada Kawasan Hutan TWA/CA Sibolangit. Lokasi I berada pada hutan TWA/CA Sibolangit yang memiliki anak sungai. Sedangkan lokasi II dilakukan pada Sungai Sembahe yang sudah ada aktifitas masyarakat sekitar. Pengamatan amfibi dilakukan selama 3 hari masing-masing lokasi. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2010.

3.2 Bahan dan Metode

3.2.1 Alat dan Bahan Penelitian

Adapun alat yang digunakan adalah Kompas, GPS, jangka sorong, tali kambing, tali rafia, headlamp (senter kepala), spidol, tupper ware, tisu gulung, jarum suntik, rol, kamera, termometer, soiltester, higrometer, indikator pH, pulpen, pensil 2B, notebook,. Sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70 % dan formalin 10 %


(29)

3.2.2 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode Visual Encounter Survey-Night Stream (VES-NS) dan metode kuadrat plot. Metode VES-NS digunakan untuk membedakan kekayaan suatu jenis di suatu area, membuat daftar jenis (mengumpulkan komposisi jenis), dan memperkirakan kepadatan relatif jenis (Donnelly 1897 dalam Mistar, 2003). Metode VES-NS merupakan metode pengamatan amfibi dengan menelusuri sungai maupun anak sungai sebagai habitat amfibi. Motode VES-NS sangat baik digunakan dengan asumsi : a. Setiap individu dari semua jenis mempunyai kesempatan yang sama untuk diamati. b. Setiap jenis menyukai tempat atau habitat yang sama.

c. Semua individu hanya dihitung satu kali dalam pengamatan. d. Hasil survei, merupakan hasil pengamatan lebih dari satu orang.

Sedangkan metode kuatrat plot dilakukan sebanyak 6 plot di beberapa tempat yang dianggap sebagai habitat amfibi kemudian dilakukan pencarian intensif di dalam plot tersebut. Menurut Mistar (2003), metode tersebut cocok untuk mendata jenis-jenis amfibi kriptik dengan kepadatan yang tinggi.

3.2.3 Cara Kerja

Penelitian dilakukan pada lokasi I di sepanjang aliran sungai atau anak sungai yang terdapat di kawasan hutan TWA/CA Sibolangit sepanjang 500 m dengan membuat plot sampling berukuran ± 3 m (lebar sungai ditambah 1 m kiri kanan sungai) x 25 m sebanyak 20 plot sampling. Lokasi II diteliti di aliran sungai Sembahe Desa Sembahe sepanjang 500 m dengan plot sampling ± 10 m (lebar sungai 8 m ditambah 1 m kiri dan kanan sungai) sebanyak 20 plot sampling.

Pengamatan di masing-masing lokasi sepanjang aliran sungai TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe dilakukan pada waktu malam hari selama ± 4 jam, yaitu mulai pada


(30)

pukul 19.30 WIB s/d 23.30 WIB, selama 3 hari berturut-turut sebagai ulangan. Sedangkan kuadrat plot dilakukan setelah metode VES-NS.

Jenis amfibi yang terdapat di dalam plot sampling ditangkap, dikelompokkan (jika memungkinkan langsung diidentifikasi di lapangan), dan dihitung jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan, kemudian jenis amfibi yang masih diragukan jenisnya dimasukkan ke dalam kotak sampel untuk diawetkan dengan larutan formalin 10 %, kemudian dibawa ke laboratorium Taksonomi Hewan Departemen Biologi FMIPA USU. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku-buku identifikasi panduan lapangan seperti Inger & R.T. Stuebing(1997), Iskandar (1998) dan Mistar (2003). Identifikasi berupa pengamatan bentuk morfologi spesimen dengan bantuan mikroskop stereo dan lup. Kemudian diawetkan dengan memasukkan masing-masing spesimen ke dalam botol selai yang sudah berisi alkohol 70% yang akan disimpan di Laboratorim Taksonomi Hewan serta menjadi aset laboratorium sebagai acuan identifikasi amfibi bagi peneliti selanjutnya.

Selanjutnya data lingkungan yang diukur adalah kelembaban udara, suhu udara, suhu air, pH air, lebar sungai, ketinggian dan koordinat lokasi.

3.2.4. Analisis Data

Data-data yang didapatkan kemudian dianalisis. Analisis data yang dilakukan untuk mendapatkan nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), Frequensi Kehadiran (FK) dan komposisi komunitas dengan menggunakan rumus Suin (2002) sebagai berikut :

a. Kepadatan Populasi

Jml. individu suatu jenis

=

Jml. unit sampel

b. Kepadatan Relatif (KR)

Kepadatan suatu jenis

= X 100 %


(31)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Jml. plot sampel yang ditempati suatu jenis

= X 100 %

Jml. total unit sampel

Di mana jika nilai FK :

0-25% = frekuensi kehadirannya tergolong sangat jarang (aksidental), 25-50% = frekuensi kehadirannya tergolong jarang (assesori),

50%-75% = frekuensi kehadirannya tergolong sering (konstan), >75% = frekuensi kehadirannya tergolong sangat sering (absolut).

Sedangkan untuk mengetahui bahwa suatu habitat dapat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan dan kehidupan suatu organisme, dapat ditentukan dari jenis amfibi yang memiliki nilai KR > dari 10 % dan FK > 25 %.

d. Komposisi Komunitas

Komposisi komunitas didapatkan dengan pengurutan nilai kepadatan relatif (KR) tertinggi ke kepadatan relatif terendah.


(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis-jenis Amfibi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit Sumatera Utara didapatkan 2 ordo, 7 famili, 13 genus dan 23 spesies seperti terlihat pada

Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Jenis-jenis Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe.

Ordo/Famili Genus Spesies Nama Daerah Lokasi

1 2 Anura

1. Bufonidae 1. Bufo 1. Bufo asper Kodok Puru Sungai + +

2. Bufo divergens Kodok Peters + -

3. Bufo juxtasper Kodok Puru Besar + +

4. Bufo melanostictus Kodok Puru Asia + +

2. Leptophryne 5. Leptophryne borbonica Kodok Jam Pasir - +

3. Pelophryne 6. Pelophryne signata Kodok Puru Kecil Dataran Rendah + -

2. Digroclossidae 4. Limnonectes 7. Limnonectes blythii Katak Panggul + +

8. Limnonectes kuhlii Bangkong Tuli + +

3. Megophryidae 5. Megophrys 9. Megophrys nasuta Katak Bertanduk + -

4. Microhylidae 6. Microhyla 10. Microhyla heymonsi Percil Bintik Hitam + -

11. Microhyla berdmorei Percil Berdmore’s + +

5. Ranidae 7. Huia 12. Huia sumatrana Kongkang Jeram Sumatera + -

8. Rana 13. Rana chalconota Kongkang Kolam + +

14. Rana debussyi Kongkang Siberut + +

15. Rana erithraea Kongkang Gading - +

16. Rana glandulosa Kongkang Kulit Kasar + -

17. Rana hosii Kongkang Racun + +

6. Rhacophoridae 9. Nyctixalus 18. Nyctixalus pictus Katak Pohon Kecil Bertotol + -

10.Polypedates 19. Polypedates leucomystax Katak Pohon Bergaris + +

11.Rhacophorus 20. Rhacophorus cyanopuntatus Katak Pohon - +

21. Rhacophorus dulitensis Katak Pohon Lumut + -

12.Theloderma 22. Theloderma leprosum Katak Pohon + -

Gymnophiona

7. Ichthyophiidae 13.Icthyophis 23. Ichthyophis sp Sesilia + -

Jumlah Jenis 20 13

Keterangan : Lokasi 1 di TWA/CA Sibolangit dan lokasi 2 di Desa Sembahe, (+) ditemukan, (-) tidak ditemukan.

Jenis-jenis amfibi yang didapatkan terdiri atas ordo Anura dan ordo Gymnophiona. Jumlah famili, genus dan spesies yang didapatkan dari ordo Anura yakni 6 famili, 12 genus dan 22 spesies, dan ordo Gymnophiona terdiri atas 1 famili, 1 genus dan 1 spesies. Ordo Anura didapatkan memiliki jumlah spesies yang tinggi jika dibandingkan dengan ordo Gymnophiona yakni 22 berbanding 1 spesies. Hal ini dikarenakan jumlah spesies dari ordo


(33)

Anura lebih banyak dibanding ordo Gymnophiona. Iskandar (1998), menjelaskan bahwa ordo Anura merupakan ordo amfibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari lebih 4.100 spesies katak dan kodok di dunia di mana sekitar 450 jenis tercatat di Indonesia berarti 11% dari seluruh bangsa Anura di dunia. Sedangkan ordo Gymnophiona hanya memiliki 163 spesies di dunia (Simon & Schuster, 1989). Selanjutnya Iskandar (1998) menjelaskan sedikitnya perjumpaan di lapangan disebabkan ordo Gymnophiona hingga saat ini masih tercatat 13 spesies yang berada di kawasan Sumatera, Kalimantan dan Jawa.

Tabel 4.1 menunjukkan perbedaan jumlah spesies di antara Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit dengan Desa Sembahe. Di TWA/CA Sibolangit diperoleh 20 spesies amfibi dari dua ordo yakni Anura dan Gymnophiona, sedangkan di Desa Sembahe diperoleh 13 spesies dari 1 ordo yakni ordo Anura. Hal ini disebabkan kondisi habitat di TWA/CA Sibolangit lebih bervariasi seperti keberadaan kanopi pohon, genangan air, serasah, anak sungai dan herba serta terlindungi dari penyinaran matahari langsung sehingga memiliki kelembaban yang lebih tinggi, sedangkan di Desa Sembahe memiliki lokasi variasi habitat yang lebih sedikit dan relatif terbuka. Keadaan ini sesuai dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air dan sebagian besarnya hidup di daerah berhutan karena amfibi membutuhkan kelembaban yang tinggi serta amfibi tersebar luas mulai dari dalam tanah hingga di antara kanopi pohon.

Banyaknya spesies amfibi didapatkan di TWA/CA Sibolangit dibanding Desa Sembahe dapat juga dilihat dari nilai faktor fisik dan kimia yang berbeda di kedua lokasi. Di TWA/CA Sibolangit didapatkan habitat amfibi yang yang lebih cocok seperti terlihat pada Tabel 4.2. Di antara faktor fisik dan kimia yang diukur, kelembaban udara memiliki perbedaan signifikan di mana TWA/CA Sibolangit didapatkan 95% sedangkan di Desa Sembahe diperoleh 83%. Inger & Stuebing (1997) menjelaskan bahwa pada kondisi lingkungan yang cocok, seperti kelembaban udara yang tinggi, yaitu berkisar antara 85– 95% dan suhu udara, air dan tanah berkisar antara 15–22ºC, serta banyaknya ketersediaan sumberdaya makanan maka amfibi akan sering ditemukan. Iskandar (1998), menjelaskan amfibi akan berkembang dengan baik pada kondisi pH 4,5–7.

Tabel 4.2 Data Faktor Fisik-Kimia Lingkungan di Lokasi Penelitian

No. Parameter Lokasi 1 Lokasi 2


(34)

2 Suhu air (°C) 22,25 23,25

3 Suhu tanah (°C) 21,25 21,25

4 Kelembaban udara (%) 95,00 83,00

5 pH tanah 6,20 6,00

6 pH air 6,45 6,00

Keterangan : Lokasi 1 di TWA/CA Sibolangit dan lokasi 2 di Desa Sembahe

Famili yang paling banyak spesies yang ditemukan secara berurutan adalah Bufonidae (6 spesies), Ranidae (6 spesies), Rhacophoridae (5 spesies), Dicroglossidae (2 spesies) dan Microhylidae (2 spesies) serta yang paling sedikit spesiesnya adalah Megophrydae dan Ichthyophiidae masing-masing 1 jenis. Hal ini disebabkan famili Bufonidae, Ranidae dan Rhacophoridae cocok hidup dan bereproduksi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe. Di samping itu, famili-famili tersebut diketahui mempunyai persebaran yang luas. Famili Bufonidae dan Ranidae merupakan famili yang didapatkan hampir di seluruh penjuru dunia (Ingram, 2006). Amfibi menempati habitat yang beragam mulai dari permukiman penduduk, rawa, hutan sekunder, hutan primer, dari permukaan laut hingga hutan pegunungan sedangkan famili Ranidae (katak sejati) diketahui memiliki persebaran yang sangat luas dan menempati habitat yang beragam seperti hutan mangrove hingga hutan pegunungan (Mistar, 2003). Sulitnya didapatkan famili Megophrydae pada saat pengamatan di lapangan dikarenakan spesies dari famili ini mengandalkan kebiasaan menyaru untuk menghindari pemangsaan sehingga sulit ditemukan pada saat penelitian dan famili Ichthyophiidae merupakan famili yang dianggap langka dan jarang bisa ditemukan karena hidupnya di dalam tanah dan jarang keluar (Iskandar, 1998).

4.2 Deskripsi Jenis-jenis Amfibi

Jenis-jenis amfibi yang ditemukan memiliki deskripsi masing-masing yang membedakan antara satu jenis amfibi dengan amfibi yang lain.

1) Spesies : Bufo asper Gravenhort (River Toad, Kodok Puru Sungai) Famili : Bufonidae


(35)

Kodok puru ini memiliki ukuran yang besar, berkisar antara jantan 70–100 mm dan betina 95–120 mm. Tekstur kulitnya relatif kasar dan berbenjol-benjol, diliputi bintil-bintil berduri. Warnanya coklat tua yang kusam, keabuan (Gambar 4.1) atau kehitaman, bagian ventral biasanya terdapat titik-titik hitam, yang jantan biasanya memiliki kulit dagu kehitaman atau kemerahan. Alur supraorbital dihubungkan dengan kelenjar paratoid oleh alur supratimpanik.

Gambar 4.1 Bufo asper

2) Spesies Bufo divergens Peter (Crested Toad, Kodok Peter) Famili : Bufonidae

Tanda-tanda khusus :

Kodok puru ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 28–43 mm dan betina 36–55 mm. Tekstur kulitnya kasar. Warna kulit relatif abu-abu. Terdapat lipatan kepala memanjang dari garis mata hingga ke garis paratoid. tympanum terlihat jelas (Gambar 4.2)


(36)

3) Spesies : Bufo juxtasper Inger (Giant River Toad, Kodok Puru Besar) Famili : Bufonidae

Tanda-tanda khusus :

Kodok puru ini memiliki ukuran besar, berkisar antara jantan 90–120 dan betina 125–215 mm. Tekstur kulit berbintil di seluruh permukaan tubuh. Warnanya umumnya abu-abu gelap, coklat atau hitam (Gambar 4.3), kadang-kadang dengan bintik gelap tidak jelas di bagian caudal, bagian sisi individu jantan berwarna kemerahan, kelenjar paratoid memanjang dari mata ke belakang, biasanya dua sampai empat kali panjang lebar kelenjar paratoid. Semua jarinya lebar pada bagian ujung, kecuali pada jari keempat.

Gambar 4.3 Bufo juxtasper

4) Spesies : Bufo melanostictus Schneider (Asian Toad, Kodok Puru Asia) Famili : Bufonidae

Tanda-tanda khusus :

Kodok puru ini memiliki ukuran sedang, berkisar antara jantan 55–80 mm dan betina 65–85 mm. Tekstur kulitnya relatif berkerut dengan bintil-bintil yang jelas. Warnanya coklat kusam (Gambar 4.4), kehitaman atau kemerahan, alur kepala biasanya coklat tua atau hitam, dagu umumnya merah pada individu jantan. Alur-alur supraorbital dan supratimpanik menyambung, tidak ada alur parietal, jari-jari berselaput renang separuh.


(37)

Gambar 4.4 Bufo melanostictus \

5) Spesies : Leptophryne borbonica Kuhl & Van Hasselt (Hour Glass Toad, Kodok Jam Pasir)

Famili : Bufonidae Tanda-tanda khusus :

Kodok ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 20–30 mm dan betina 25– 45 mm. Tekstur kulitnya berbintil-bintil seperti pasir hampir di seluruh permukaan tubuh, lebih kasar pada bagian sisi tubuh (Gambar 4.5). Warnanya coklat keabu-abuan di bagian dorsal, ventral, tenggorokan dan kaki, depan dan belakang paha berwarna kemerahan, bagian atas kaki sama dengan warna tubuh. Kelenjar paratoidnya tidak jelas, kadang-kadang dengan pola segi hitam di belakang mata, terdapat tanda berbentuk jam pasir di bagian belakang. Selaput renangnya tidak mencapai tonjolan subarticuler jari kaki ketiga dan kelima.


(38)

6) Spesies : Pelophryne signata Boulenger (Lowland Dwarf Toad, Kodok Puru Kecil Dataran Rendah)

Famili : Bufonidae

Tanda-tanda khusus :

Kodok puru ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 14–17 mm dan betina 16–18 mm. Tekstur tubuh bagian dorsalnya berbintil-bintil kecil. Warna bagian dorsalnya coklat gelap atau hitam, warna kuning atau krem memisahkan bagian atas dan bawah sampai lengan atas (Gambar 4.6). Kodok ini dicirikan oleh adanya selaput antara kaki depan pertama dan kedua, timpanumnya jelas.

Gambar 4.6 Pelophryne signata

7) Spesies : Limnonectes blythii Boulenger (Blyth’s Frog, Katak Panggul) Famili : Digroclossidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran besar, berkisar antara 85–200 mm dan betina 90–250 mm. Tekstur kulitnya halus di seluruh permukaan tubuh. Warnanya merah kecoklatan sampai coklat, biasanya terdapat garis berwarna coklat gelap dari lubang hidung sampai mata. Moncongnya menyudut tajam, kaki belakang panjang dan kuat, berselaput renang penuh sampai piringan sendi. Ditemukan garis memotong berwarna gelap antar mata (Gambar 4.7), sering terdapat tanda berbentuk huruf “W” di bahu.


(39)

Gambar 4.7 Limnonectes blythii

8) Spesies : Limnonectes kuhlii Tschudi (Kuhl’s Creek Frog, Bangkong Tuli) Famili : Digroclossidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran sedang, berkisar antara jantan 44–74 mm dan betina 51– 67 mm. Tekstur kulitnya berkerut, tertutup rapat oleh bintil-bintil berbentuk bintang yang tersebar di seluruh permukaan tubuh. Warnanya hitam marmer di seluruh bagian atas (Gambar 4.8). Cincin telinganya tidak jelas, kepala lebar, pelipis berotot, jari kaki belakang berselaput renang sampai ujung jari, kaki pendek dan berotot, lipatan supratimpaniknya jelas.

Gambar 4.8 Limnonectes kuhlii

9) Spesies : Megophrys nasuta Schlegel (Bornean Horned Frog, Katak Bertanduk) Famili : Megophryidae


(40)

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran tubuh besar, berkisar antara jantan 70–105 mm dan betina 89–130 mm, gemuk dan pendek. Tekstur kulitnya halus kecuali lipatan dorsolateral dan beberapa tonjolan di bagian belakang. Warnanya umumnya coklat kemerahan atau coklat di bagian belakang, bagian ventral dengan bercak-bercak hitam lebar, katak ini sangat mirip dengan serasah daun kering. Kepalanya besar, mata tertutup oleh kelopak mata berbentuk kerucut atau perpanjangan dermal, dermal mata sama dengan moncong (Gambar 4.9).

Gambar 4.9 Megophrys nasuta

10) Spesies : Microhyla heymonsi Vogt (Dark-Sided Chorus Frog, Percil Bintik Hitam)

Famili : Microhylidae Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara 20–21,5 mm. Tekstur kulit halus di bagian dorsal dan ventral. Warnanya kemerahan atau abu-abu di bagian dorsal dengan garis putih memanjang dari ujung moncong sampai kunci paha (groin), biasanya terdapat totol berwarna bintik hitam pada garis bagian tengah (Gambar 4.10). Moncongnya membulat, timpanum tersembunyi, piringan sendi jelas, jari pertama lebih pendek dari jari kedua, ujung jari dengan lekuk sirkum marginal, jari kaki berselaput pada bagian dasar, tonjolan antar ruas terlihat jelas, bintil metatarsal kecil, tibiotarsal panjang mencapai mata atau ujung moncong.


(41)

Gambar 4.10 Microhyla heymonsi

11) Spesies : Microhyla berdmorei Blyth (Berdmore’s Narrow-Mouthed Frog, Percil Berdmore’s)

Famili : Microhylidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 24–28 mm dan betina 27–32 mm. Tekstur kulit halus. Warnanya coklat terang dengan warna abu-abu kecoklatan, motif coklat gelap di bagian belakang antara mata, biasanya ada garis coklat gelap ke arah ventral bagian sisi tubuh (Gambar 4.11), tenggorokan biasanya berwarna coklat dan perut putih. Moncongnya membulat, tungkai panjang, timpanum tersembunyi, jari keempat jelas, semua ujung jari belakang melebar kecuali jari keempat (panjang) dan kaki belakang berselaput pada bagian dasar.


(42)

12) Spesies : Huia sumatrana Yang (Sumatran Torrent Frog, Kongkang Jeram Sumatera)

Famili : Ranidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran sedang sampai besar, berkisar antara jantan 33–59 mm dan betina 60–85 mm. Tekstur kulitnya halus dengan beberapa bintil. Warna bagian dorsal berwarna coklat dengan bintik-bintik marmer, tetapi beberapa individu berwarna seragam coklat tua, sisi kepala berwarna hitam di sekeliling timpanum.. Timpanumnya kecil dan dalam, kaki ramping dan panjang (Gambar 4.12), jari kaki depan dan jari kaki belakang dengan piringan sendi lebar, terdapat lekuk sirkum marginal, lipatan dorsolateral sempit dan tidak jelas.

Gambar 4.12 Huia sumatrana

13) Spesies : Rana chalconota Boulenger (White-Lipped Frog, Kongkang Kolam) Famili : Ranidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 30–40 mm dan betina 45–65 mm. Tekstur kulit relatif tertutup oleh bintil-bintil yang sangat halus menyerupai kertas pasir. Warna biasanya abu-abu kehijauan kotor sampai coklat kekuningan (Gambar 4.13). Daerah dagunya biasanya tertutup oleh garis-garis memanjang tidak beraturan, garis-garis ini sering putus menjadi bercak-bercak.. Timpanum coklat tua, kakinya panjang dan ramping, berselaput renang penuh sampai ujung jari, kecuali jari kaki keempat.


(43)

Gambar 4.13 Rana chalconota

14) Spesies : Rana debussyi Kampen (Debussy’s Frog, Kongkang Siberut) Famili : Ranidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 38–50 mm dan betina 43–65 mm. Tekstur kulitnya berbintil-bintil sangat halus. Warna bagian dorsalnya coklat gelap sampai hitam dan sisanya berwarna abu-abu sampai putih (Gambar 4.14), warna abu-abu berubah berwarna hitam pada siang hari. Kepalanya panjang dan lebar, moncong membulat, antara mata dan hidung sedikit tajam, piringan sendi jari kaki depan dan belakang kecil tetapi jelas, jari kaki depan pertama lebih panjang dari jari kedua, kaki belakang berselaput pada bagian dasar, jari keempat dan kelima sedikit lebih panjang.

Gambar 4.14 Rana debussyi


(44)

Famili : Ranidae Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran kecil hingga sedang, berkisar antara jantan 30–40 mm dan betina 50–75 mm. Tekstur kulitnya licin dan halus. Warnanya biasanya berwarna hijau zaitun dengan sepasang daerah dorsolateral kuning dan lebar sedangkan individu muda hijau kekuningan. Terdapat lipatan dorsolateral yang jelas dan menonjol yang lebar, permukaan ventralnya licin, jari kaki dan tangan memiliki piringan pipih yang jelas.

Gambar 4.15 Rana erithraea

16) Spesies : Rana glandulosa Boulenger (Rough-Sided Frog, Kongkang Kulit Kasar)

Famili : Ranidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini memiliki ukuran sedang, berkisar antara jantan 58–84 mm dan betina 65– 93 mm. Tekstur kulitnya sedikit kasar. Warnanya coklat hingga coklat gelap dengan titik-titik gelap di bagian dorsal. Didapati tonjolan kecil yang berawal dari belakang mata atas hingga ke timpanum. Selaput jarinya hanya setengah, jari kakinya panjang, kepala lebar, dan timpanum luas (Gambar 4.16)


(45)

Gambar 4.16 Rana glandulosa

17) Spesies : Rana hosii Boulenger (Poisonous Rock Frog, Kongkang Racun) Famili : Ranidae

Tanda-tanda khusus :

Katak ini berukuran sedang sampai besar yakni ± 89 mm. Warnanya hijau zaitun sampai hijau kecoklatan, sisi tubuh biasanya lebih gelap sampai hitam yang memanjang antara mata dan hidung sampai ke pangkal paha, cukup banyak variasi warna jenis ini seperti terlihat pada Gambar 4.17. Tekstur kulit halus, lipatan dorsalateral lemah tapi jelas, kulit dengan kelenjar racun yang memberikan bau busuk. Badannya ramping, kaki belakang panjang, jari kaki depan dan belakang dengan piringan sendi datar dan jelas, terdapat lekuk sirkum marginal dan jari kaki belakang berselaput sampai piringan sendi.

Gambar 4.17 Rana hosii

18) Spesies : Nyctixalus pictus Peter (Cinnamon Frog, Katak Pohon Kecil Bertotol) Famili : Rhacophoridae


(46)

Katak pohon ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 45–68 mm dan betina 86–100 mm. Tekstur tubuh bagian dorsalnya berbintil-bintil halus, tenggorokan halus, perut dengan bintil-bintil kasar. Tubuhnya berwarna coklat cerah atau kemerahan pada bagian dorsal dengan bintik-bintik putih di seluruh permukaan tubuh, bintik-bintik berwarna putih dari lubang hidung sampai penutup mata, bagian ventral tubuh berwarna putih. Moncongnya tajam, piringan sendi kaki depan dan belakang lebar, tetapi lebih kecil dari timpanum, kaki belakang berselaput separuh (Gambar 4.18).

Gambar 4.18 Nyctixalus pictus

19) Spesies : Polypedates leucomystax Gravenhorst (Striped Tree Frog, Katak Pohon Bergaris)

Famili : Rhacophoridae

Tanda-tanda khusus :

Katak pohon ini memiliki ukuran sedang, ukuran jantan mencapai 50 mm dan betina mencapai 80 mm. Tekstur kulitnya halus tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau lipatan, bagian ventral berbintil halus. Tubuhnya berwarna coklat kekuningan satu warna atau bintik hitam, empat atau enam garis yang jelas memanjang dari kepala sampai ventral, bagian ventral tubuh kuning dengan bintik-bintik coklat, dagu berwarna coklat tua (Gambar 4.19). Jari kaki depan dan belakangnya melebar dengan ujung rata, kulit kepala menyatu dengan tengkorak, jari kaki depan berselaput separuh dan jari kaki belakang hampir sepenuhnya berselaput.


(47)

Gambar 4.19 Polypedates leucomystax

20) Spesies : Rhacophorus cyanopunctatus Manthey and Steiof (Blue-spotted Tree Frog, Katak Pohon Bergaris)

Famili : Rhacoporidae

Tanda-tanda khusus :

Katak pohon ini memiliki ukuran kecil sekitar ± 32 mm. Tubuhnya bertekstur halus. Warnanya kuning hingga kecoklatan di bagian tubuh dorsal sedangkan di bagian bawah berwarna putih kekuningan. Di sela-sela selaput jari terdapat totol putih kehijauan hingga ke bagian paha. Kepalanya tumpul dan meruncing dengan mata besar (Gambar 4.20).

Gambar 4.20 Rhacophorus cyanopunctatus

21) Spesies: Rhacophorus dulitensis Harvey, Pemberton & Smith (Jade Tree Frog, Katak Pohon Lumut)

Famili : Rhacophoridae


(48)

Katak pohon ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 33–40 mm dan betina 49–50 mm. Tekstur kulit bagian dorsalnya halus pada individu betina, dan sedikit kasar pada individu jantan. Warna tubuh keseluruhan hijau lumut dengan totol berwarna coklat muda di seluruh permukaan tubuh, selaput jari kaki belakang antara kaki ketiga dan keempat, dan jari keempat dan kelima berwarna merah. Moncongnya tajam, tubuh ramping, kaki depannya berselaput penuh, kaki belakang berselaput sampai bagian dasar piringan sendi, tonjolan dermal berwarna putih memanjang dari lengan depan sampai bawah kaki, terdapat tonjolan membulat di tumit, tonjolan kulit melintang di atas anus (Gambar 4.21). Satu sifat yang aneh dari jenis ini adalah tulang tungkai hijau kebiruan dan nampak ke dalam daging dari bagian sisi, individu betina bagian ventral tubuh hijau kekuningan, individu dewasa hanya terbatas pada bagian dada.

Gambar 4.21 Rhacophorus dulitensis

22) Spesies : Theloderma leprosum (Tree Frog, Katak Pohon) Famili : Rhacophoridae

Tanda-tanda khusus :

Katak pohon ini memiliki ukuran kecil, sekitar ± 40 mm. Tekstur kulitnya kasar. Warnanya hitam kemerahan hingga hitam gelap. Tubuhnya berbentuk gepeng dengan tonjolan kulit hampir menyelimuti semua bagian dorsal, bagian ventral bercorak warna hitam putih. Moncong sedikit tumpul, bentuk tubuh ventral datar. Di ujung jari terdapat bantalan berwarna coklat kemerahan dan terbagi dua (dikotomi) yang menjadi ciri khas genus ini (Gambar 4.22).


(49)

Gambar 4.22 Theloderma leprosum

23) Spesies : Ichthyophis sp (Yellow-Banded Caecilian, Sisilia) Famili : Ichthyophidae

Tanda-tanda khusus

Amfibi tidak bertungkai ini sekilas mirip ular karena bentuknya yang panjang, ukuran tubuhnya ± 320 mm (Gambar 4.23). Amfibi ini terdiri dari segmen tubuh yang membedakan dengan ular yang mempunyai sisik, badan berbentuk silinder, mulut membulat, jarak antara mata mudah dibedakan, tentakel berukuran kecil dan berada di depan atau di bawah mata. Warna tubuh coklat gelap atau biru gelap, bagian sisi tubuh berwarna kuning terang.

Gambar 4.23Ichthyophis sp.

4.3 Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif Amfibi

Nilai Kepadatan (K) dan Kepadatan Relatif (KR) Amfibi di lokasi penelitian dapat dilihat di bawah ini.


(50)

Tabel 4.3 Nilai Kepadatan (Ind/ha) dan Kepadatan Relatif (%) Amfibi

No Spesies Lokasi 1 Lokasi 2

K KR (%) K KR(%)

1 Bufo asper 2,78 1,26 5,33 3,19

2 Bufo divergens 6,67 3,03 0,00 0,00 3 Bufo juxtasper 14,45 6,57 13,0 7,78 4 Bufo melanostictus 5,56 2,52 17,67 10,58 5 Leptophryne borbonica 0,00 0,00 0,67 0,39 6 Pelophryne signata 1,11 0,51 0,00 0,00 7 Limnonectes blythii 13,34 6,06 18,67 11,18 8 Limnonectes kuhlii 25,56 11,62 5,67 3,39 9 Megophrys nasuta 2,78 1,26 0,00 0,00 10 Microhyla heymonsi 2,78 1,26 16,67 9,98 11 Microhyla berdmorei 2,78 1,26 0,00 0,00 12 Huia sumatrana 3,89 1,77 0,00 0,00 13 Rana chalconota 16,67 7,58 26,67 15,97 14 Rana debussyi 7,78 3,53 1,33 0,79 15 Rana erithraea 0,00 0,00 16,67 9,98 16 Rana glandulosa 1,11 0,51 0,00 0,00 17 Rana hosii 7,23 3,28 19,33 11,58 18 Nyctixalus pictus 30,56 13,89 0,00 0,00 19 Polypedates leucomystax 36,11 16,41 25,0 14,97 20 Rhacophorus cyanopuntatus 0,00 0,00 0,33 0,19 21 Rhacophorus dulitensis 16,67 7,58 0,00 0,00 22 Theloderma leprosum 19,45 8,84 0,00 0,00 23 Ichthyophis sp 2,78 1,26 0,00 0,00

Jumlah 220,01 100 167 100

Jumlah jenis 20 13

Keterangan : Lokasi 1 di TWA /CA Sibolangit dan lokasi 2 di Desa Sembahe.

Dari hasil penelitian didapatkan nilai Kepadatan (K) dan Kepadatan Relatif (KR) amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe pada setiap jenis cukup bervariasi. Secara umum kepadatan di TWA/CA Sibolangit mempunyai nilai K lebih tinggi dibanding Desa Sembahe yang mana perbandingan kepadatannya adalah 220,01 : 117,33 individu amfibi per ha.

Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa secara keseluruhan nilai kepadatan dan jumlah jenis amfibi lebih banyak didapatkan di hutan TWA/CA Sibolangit (220,01 ind/ha dan terdiri dari 20 spesies) daripada di Desa Sembahe (167 ind/ha dan terdiri dari 13 spesies). Banyaknya jumlah individu dan jumlah jenis amfibi didapatkan pada hutan TWA/CA Sibolangit disebabkan kondisi lingkungan di daerah ini tergolong baik dan dapat mendukung kehidupannya, seperti kelembaban udara yang tinggi, yaitu berkisar antara 85– 95 %, dan suhu udara, air dan tanah berkisar antara 15–22 ºC, serta banyaknya ketersediaan sumberdaya makanan.


(51)

Nilai Kepadatan spesies yang paling banyak ditemuka n di TWA/CA Sibolangit yaitu dari spesies Polypedates leucomystax sebanyak 36,11 ind/ha, sedangkan spesies paling sedikit didapatkan adalah Pelophryne signata (1,11 ind/ha) dan Rana glandulosa (1,11 ind/ha). Tingginya kepadatan Polypedates leucomystax di TWA/CA Sibolangit disebabkan kondisi lingkungan di daerah ini sangat mendukung untuk kehidupan dan pekembangbiakannya. Banyaknya spesies Polypedates leucomystax pada saat penelitian disebabkan oleh sifat hidup spesies ini dapat hidup dekat dengan pemukiman manusia. Lokasi penelitian ini sangat mendukung reproduksinya seperti umumnya genangan air untuk melakukan aktivitas hidup dan berbiak. Di TWA/CA Sibolangit digolongkan memiliki genangan air yang sering dijadikan tempat berbiak karena umumnya di samping genangan tersebut memiliki tumbuhan yang dijadikan sebagai media meletakkan busa telur. Dari hasil pengamatan lapangan waktu penelitian terlihat bahwa spesies tersebut sedang berdekapan yang di sekitar genangan air menandakan katak tersebut sedang berbiak, dan kemudian mengeluarkan busa sebagai media bertelur yang umumnya diletakkan di helaian daun tumbuhan yang tergantung di samping genangan air. Keadaan ini sesuai dengan yang dinyatakan Mistar (2003) bahwa spesies Polypedates leucomystax selalu mendatangi kolam-kolam yang tergenang yang di sampingnya ditemukan daun pohon-pohon sebagai tempat meletakkan telur dan umumnya tidak jauh dari kawasan berhutan, dan saat bereproduksi mengeluarkan busa sebagai media bertelur yang umumnya digantungkan di helaian daun tumbuhan di samping genangan air tersebut.

Spesies yang paling sedikit dijumpai di TWA/CA Sibolangit adalah Pelophryne signata dan Megophrys nasuta. Pelophryne signata ditemukan hanya 1 individu di pinggir aliran anak sungai di lantai hutan. Spesies ini sedikit karena hutan TWA/CA Sibolangit tergolong hutan sekunder dan memiliki luasan hutan yang tidak banyak. Langkanya penemuan spesies ini dijelaskan Mistar (2003), bahwa Pelophryne signata adalah spesies katak yang jarang dijumpai dan umumnya dapat ditemukan di hutan-hutan lebat seperti di Kawasan Ekosistem Leuser. Selanjutnya, Megophrys nasuta jarang ditemukan di lokasi penelitian. Pada saat penelitian di lapangan, spesies ini menyaru di serasah daun di bawah hutan TWA/CA Sibolangit sehingga sulit ditemukan walaupun suaranya sering terdengar. Sulitnya mendapatkan spesies ini dijelaskan Iskandar (1998), bahwa Megophrys nasuta merupakan katak yang dapat dijumpai di hutan dan diam tanpa bergerak dan menyaru


(52)

secara sempurna di antara serasah dedaunan serta tidak akan bergerak jika tidak mendapat sentuhan.

Nilai Kepadatan yang paling banyak ditemukan di Desa Sembahe yaitu dari spesies Rana chalconota (26,67 ind/ha), sedangkan spesies yang paling sedikit didapatkan adalah Rhacophorus cyanopuntatus (0,33 ind/ha). Tingginya Rana chalconota disebabkan spesies ini dijumpai pada berbagai jenis habitat seperti di kolam, di rerumputan, herba di bawah hutan dan di genangan-genangan air berarus lambat. Di Desa Sembahe, sangat banyak dijumpai di genangan air di pinggir aliran sungai. Hal ini sangat sesuai dengan Mistar (2008), menjelaskan bahwa spesies ini hidup dalam hutan primer hingga ke hutan sekunder dan sering didapatkan di sekitar pemukiman dan biasanya bersuara di semak atau pohon kecil, dan sering dijumpai di kolam- kolam tepi sungai atau genangan air. Sedangkan sedikitnya perjumpaan dengan spesies Rhacophorus cyanopuntatus dikarenakan spesies katak ini masuk dalam kategori katak pohon. Katak pohon selalu hidup di sekitar hutan sedangkan di Desa Sembahe tergolong tidak memiliki hutan yang baik. Mistar (2008), menambahkan bahwa spesies ini biasanya teramati di pinggiran aliran sungai-sungai di daerah pegunungan.

Spesies Nyctixalus pictus merupakan spesies katak pohon yang memiliki nilai kepadatan yang tergolong tinggi di TWA/CA Sibolangit sedangkan di Desa Sembahe tidak ditemukan sama sekali. Spesies katak ini dijumpai di TWA/CA Sibolangit sedang berkumpul untuk melakukan aktivitas reproduksi di pinggir genangan air bersama jenis katak pohon lain yakni Rhacophorus dulitensis dan Theloderma leprosum. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan Di TWA/CA Sibolangit mendukung kehidupan dan perkembangbiakan spesies-spesies tersebut di mana TWA/CA Sibolangit memiliki hutan yang bertajuk rapat sedangkan Desa Sembahe hanya memiliki sedikit tumpukan hutan sekunder yang terpisah-pisah. Selain itu lingkungan hutan yang cocok dijadikan sebagai lokasi berbiak di genangan air permanen di dalam hutan TWA/CA Sibolangit. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Mistar (2008), bahwa katak pohon selalu hidup di dalam hutan dan semakin baik kualitas hutan memungkinkan semakin banyak spesies katak pohon yang menempatinya. Kemudian Iskandar 1998, menjelaskan bahwa katak pohon berkembang biak pada genangan air yang ada di atas tanah maupun genangan air pada celah-celah pohon.


(1)

Gambar 2.3 Sungai Sembahe di Desa Sembahe (Lokasi 2).

Gonocephalus beyschlagi

Aphaniotis sp

Cyrtodactylus sp

Nectarinia sp

Fungi


(2)

Gambar 2.5 Mendokumentasikan amfibi


(3)

Lampiran Data Mentah di TWA/CA Sibolangit Metode VES-NS

SPESIES U PLOT Tot

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Bufo asper 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Bufo divergens 1 - - - 1

2 - - - - 3 - - - 1 - - - -

Bufo juxtasper 1 - - 1 - 1 - - - 1 - - - 13

2 - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - -

3 - - - 1 - 1 2 - - - 2 - 1 - - - Bufo melanostictus 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Leptophryne borbonica 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Pelophryne signata 1 - - - 1

2 - - - 1 - - - - -

3 - - - - Limnonectes blythii 1 - - - 1 - - - 1 - - - 13

2 - - - 1 - - - 2

3 - - - 1 - - 1 1 2 - - - - 2

Limnonectes kuhlii 1 - - - - 2 1 - 1 1 - - 1 - 1 - - 1 - - - 23

2 - - - 1 1 3 - 2 - 1 - - 1 - 1 1 - 1 2 1 - 1 - 1 - 1 Megophrys nasuta 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Microhyla heymonsi 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Microhyla berdmorei 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Huia sumatrana 1 - - - 1 - - - 1

2 - - - - 3 - - - 1

Rana chalconota 1 - - 1 - 2 1 - - - 2 - - - 15

2 1 - - - 1

3 - - 1 - 4 - - - - 1 - - - 1 - - - -

Rana debussyi 1 - - - 7

2 - - - 1 - - - -

3 1 - - - 2 - 1 - 1 Rana erithraea 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Rana glandulosa 1 - - - 1

2 - - - - 3 - - - 1 - - - -

Rana hosii 1 - - - 1 - - - 4

2 - - - 1 - - - -

3 - - 1 - - - 1 - - - -

Nyctixalus pictus 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Polypedates leucomystax 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Rhacophorus cyanopuntatus 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Rhacophorus dulitensis 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Theloderma leprosum 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Ichthyophis sp 1 - - - 0

2 - - - -


(4)

Lampiran Data Mentah di Desa Sembahe Metode VES-NS

SPESIES U PLOT Tot

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Bufo asper 1 - - - 1 - - 2 - - 1 - - - 16

2 3 - 1 - - - 1 2 1 - - - - 3 1 - - - 1 - - 1 - - - 1 -

Bufo divergens 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Bufo juxtasper 1 2 1 2 - - 1 - - 1 1 - - 1 - - - - 1 1 - 39 2 - 1 1 2 4 3 - - - 2 - 1 - - 1

3 1 - - - - 1 1 - 1 2 1 - - - 2 2 - - 2 -

Bufo melanostictus 1 - - - 1 - - - 3

2 1 - - - 1 - - - -

3 - - - - Leptophryne borbonica 1 - - - 1 - - - 2

2 - - - - 3 - - - 1 - - - -

Pelophryne signata 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Limnonectes blythii 1 - - - 2 - - - 6

2 - - - 1 2 - - - - 3 1 - - - - Limnonectes kuhlii 1 - - - 1 - - - 1 - - - - 17

2 - - 4 - 1 1 - - - 4 1 - 3 - 1 - - 2 - - - 1 - - - -

Megophrys nasuta 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Microhyla heymonsi 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Microhyla berdmorei 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Huia sumatrana 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Rana chalconota 1 - - - 6 - - - 30

2 - - 1 - - - 8 - - - - -

3 - - - 15 - - - - -

Rana debussyi 1 - - - 4 - - - 4

2 - - - - 3 - - - - Rana erithraea 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Rana glandulosa 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Rana hosii 1 - - 1 2 1 1 - - - - 3 - 2 4 1 - - 1 - - 58

2 7 1 8 1 - 7 2 - 1 2 - - - 2 2 - - - - 2

3 - 1 2 1 - - 1 - 1 - - 1 - - - -

Nyctixalus pictus 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Polypedates leucomystax 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Rhacophorus cyanopuntatus 1 - - - 1

2 - - - - 3 - - 1 - - - -

Rhacophorus dulitensis 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Theloderma leprosum 1 - - - 0

2 - - - - 3 - - - - Ichthyophis sp 1 - - - 0

2 - - - -


(5)

Lampiran Data Mentah di TWA/CA Sibolangit Metode Kuadrat Plot

SPESIES U Plot Tot

1 2 3 4 5 6

Bufo asper 1 - - - 1

2 1 - - - - -

3 - - - -

Bufo divergens 1 - - - 2

2 2 - - - - -

3 - - - -

Bufo juxtasper 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Bufo melanostictus 1 1 - - - 2

2 1 - - - - -

3 - - - -

Leptophryne borbonica 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Pelophryne signata 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Limnonectes blythii 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Limnonectes kuhlii 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Megophrys nasuta 1 - - - 1

2 - - - - 1 -

3 - - - -

Microhyla heymonsi 1 - - - 1 - - 1

2 - - - -

3 - - - -

Microhyla berdmorei 1 - - - 1 - - 1

2 - - - -

3 - - - -

Huia sumatrana 1 - - - 1

2 - - - -

3 - - - - 1 -

Rana chalconota 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rana debussyi 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rana erithraea 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rana glandulosa 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rana hosii 1 1 - - - 1

2 - - - -

3 - - - -

Nyctixalus pictus 1 - - 4 - - - 11

2 - - 3 - - -

3 - - 4 - - -

Polypedates leucomystax 1 - 2 - - - - 13

2 - 5 - - - -

3 - 6 - - - -

Rhacophorus cyanopuntatus 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rhacophorus dulitensis 1 - - 2 - - - 6

2 - - 2 - - -

3 - - 2 - - -

Theloderma leprosum 1 - - 3 - - - 7

2 - - 2 - - -

3 - - 2 - - -

Ichthyophis sp 1 - - - 1

2 - - - -


(6)

Lampiran Data Mentah di Desa Sembahe Metode Kuadrat Plot

SPESIES U Plot Tot

1 2 3 4 5 6

Bufo asper 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Bufo divergens 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Bufo juxtasper 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Bufo melanostictus 1 1 - - - - 1 6

2 1 - - - - 1

3 1 - - - - 1

Leptophryne borbonica 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Pelophryne signata 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Limnonectes blythii 1 - 2 - 1 - - 6

2 - 1 - 1 - -

3 - - - 1 - -

Limnonectes kuhlii 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Megophrys nasuta 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Microhyla heymonsi 1 - - 2 - - - 6

2 - - 2 - - -

3 - - 2 - - -

Microhyla berdmorei 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Huia sumatrana 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rana chalconota 1 - 1 - - - - 6

2 - 2 - - - -

3 - 3 - - - -

Rana debussyi 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rana erithraea 1 - 2 - - - - 6

2 - 2 - - - -

3 - 2 - - - -

Rana glandulosa 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rana hosii 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Nyctixalus pictus 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Polypedates leucomystax 1 - 3 - - 1 - 9

2 - 2 - - 1 -

3 - 1 - - 1 -

Rhacophorus cyanopuntatus 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Rhacophorus dulitensis 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Theloderma leprosum 1 - - - 0

2 - - - -

3 - - - -

Ichthyophis sp 1 - - - 0

2 - - - -