Directory UMM :Suara_Muhammadiyah:SM_17_02:

Fitnah
Oleh Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.

DALAM percakapan sehari-hari istilah fitnah digunakan dalam pengertian tuduhan
yang dilontarkan kepada seseorang dengan maksud menjelekkan atau merusak nama
baik orang tersebut, padahal dia tidak pernah melakukan perbuatan buruk
sebagaimana yang dituduhkan itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun fitnah
diartikan senada, yaitu perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti
menodai nama baik, merugikan kehormatan orang. (1990: 242)
Memfitnah dalam pengertian di atas jelas termasuk perbuatan buruk, bahkan
keji. Fitnah seperti itu dapat berakibat fatal, baik bagi korban fitnah secara pribadi,
maupun bagi keluarga, bahkan masyarakat sekalipun. Karir seseorang bisa hancur
gara-gara fitnah, hubungan suami isteri dapat berantakan akibat fitnah, dan seseorang
dapat menderita seumur hidup karena fitnah. Oleh sebab itu, untuk menunjukkan
bahwa fitnah itu sangat keji, masyarakat menyatakan fitnah itu lebih kejam daripada
pembunuhan. Ungkapan ini sebenarnya terjemahan dari sepotong ayat dalam Surat
Al-Baqarah ayat 191:

‫ة‬
‫ق م‬
‫ث أو م‬

‫م ووأ و م‬
‫فت من و ه‬
‫حي م ه‬
‫حي م ه‬
‫م وواَل م ق‬
‫م ق‬
‫ث ثو ق‬
‫خور ه‬
‫ن و‬
‫خرق ه‬
‫م و‬
‫جوُك ه م‬
‫جوُهه م‬
‫موُهه م‬
‫فت ه ه‬
‫وواَقمت ههلوُهه م‬
‫م م‬
‫أو و‬
‫م‬
‫حتتىَّ ي ه و‬

‫ل ووول ت ه و‬
‫ن اَل م و‬
‫م ق‬
‫شد د ق‬
‫حوراَم ق و‬
‫جد ق اَل م و‬
‫م م‬
‫قاَت قهلوُك ه م‬
‫س ق‬
‫عن مد و اَل م و‬
‫قاَت قهلوُهه م‬
‫قت م ق‬
‫م و‬
‫جوزاَهء اَل م و‬
‫م ك وذ ول ق و‬
‫ن‬
‫ك و‬
‫قفيهق فوإ ق م‬
‫م وفاَقمت ههلوُهه م‬
‫ن وقاَت وهلوُك ه م‬

‫ري و‬
‫كاَفق ق‬
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar

bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil
Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi
kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang
kafir.” (Q.S. Al-Baqarah 2:191)
Memang benar dalam ayat di atas disebutkan bahwa fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan, tetapi apakah fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut
sama artinya dengan fitnah yang kita gunakan sehari-hari? Mari kita lihat dalam
konteks apa ayat ini diturunkan.
Sewaktu berada di Makkah, kaum Muslimin sama sekali tidak mendapatkan
kebebasan untuk menjalankan ajaran agama yang mereka yakini. Bahkan mereka
mendapatkan hinaan, cacian, tekanan, sampai kepada teror fisik dari orang-orang
kafir Quraisy. Akhirnya mereka terpaksa hijrah ke Yatsrib yang kemudian populer
dengan sebutan Madinatun Nabi atau al-Madinah al-Munawwarah.. Setelah di
Madinah inilah baru kaum Muslimin diizinkan untuk berperang melawan orangorang kafir Mekkah. Pada ayat sebelumnya (2:190), Allah SWT memerintahkan
kepada kaum Muslimin memerangi-pada jalan Allah-orang-orang yang dulu dan

sampai sekarang terus memerangi mereka. Tetapi perang itu harus ada batasnya,
tidak boleh berlebihan. Perang dilancarkan bukanlah atas nama harta, tanah air,
kedudukan, kekuasaan dan semacamnya, apalagi untuk melampiaskan dendam, tetapi
haruslah atas nama Allah, pada jalan Allah, untuk menjamin kebebasan menjalankan
agama Allah atau untuk meninggikan kalimat Allah di atas permukaan bumi ini.
Pada ayat 191, Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin memerangi
orang-orang kafir secara total dan mengusir mereka sebagaimana mereka mengusir

kaum Muslimin dari Makkah sebelumnya. Pada saat itu kaum Muslimin diizinkan
memerangi orang-orang kafir Mekkah di mana saja dijumpai kecuali di Masjid
Haram. Yang diperangi hanyalah orang-orang kafir yang mengangkat senjata dan
juga memerangi kaum Muslimin, tidak boleh meluas dengan juga memerangi siapa
saja orang-orang kafir yang ditemui. Orang-orang kafir yang tidak melawan, yang
mau berdamai, tidak membahayakan bagi dakwah Islam seperti kaum perempuan,
anak-anak, orang-orang tua, para ahli ibadah yang kerjanya hanya semata-mata
beribadah, tidak boleh diperangi.
Setelah perintah perang total dan pengusiran terhadap orang-orang kafir yang
memusuhi dan memerangi serta mengusir umat Islam pada ayat di atas, barulah Allah
SWT langsung menyebutkan bahwa fitnah itu lebih berbahaya dari pada
pembunuhan. Dari konteks ayat jelas yang dimaksud dengan fitnah di sini bukanlah

fitnah seperti yang kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Tapi fitnah itu
menyangkut sikap orang-orang kafir terhadap Islam dan umatnya. Menurut Sayyid
Quthub (I:189), yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat ini adalah fitnah terhadap
agama Islam dan umatnya, baik berupa ancaman, tekanan dan teror secara fisik,
maupun berupa sistem yang merusak, menyesatkan dan menjauhkan umat manusia
dari sistem Allah . Sistem komunis dengan idologi ateis menurut Sayyid Quthub
termasuk salah satu contoh fitnah terhadap agama yang boleh diperangi. Semua
sistem yang mengharamkan pengajaran agama dan membolehkan pengajaran
ateisme, sistem yang menghalalkan semua yang diharamkan Allah seperti zina dan
minuman keras dan sebaliknya menganggap buruk semua keutamaan yang diajarkan
agama, serta semua sistem yang menghalangi masyarakat untuk melaksanakan ajaran

agama yang diayakininya adalah fitnah terhadap agama. Fitnah seperti itulah,
menurut Sayyid Quthub yang lebih berbahaya daripada pembunuhan.
Dalam ayat lain fitnah terhadap agama dan kebebasan beragama itu disebut
juga oleh Allah sebagai fitnah yang lebih besar dari pembunuhan. Allah SWT
berfirman:

‫سأ وهلوُن و و‬
‫ل ققوتاَ ل‬

‫ل قفيهق قه م‬
‫ن اَل ت‬
‫ن‬
‫شهمرق اَل م و‬
‫يو م‬
‫ل قفيهق ك وقبيلر وو و‬
‫صد د ع و م‬
‫حوراَم ق ققوتاَ ل‬
‫ك عو ق‬
‫خراَ و‬
‫ل اَلل تهق ووك ه م‬
‫ه أ وك مب وهر ق‬
‫ج أهمل قهق ق‬
‫عن مد و‬
‫حوراَم ق ووإ ق م و ه‬
‫جد ق اَل م و‬
‫م م‬
‫و‬
‫من م ه‬
‫س ق‬

‫فلر ب قهق وواَل م و‬
‫سقبي ق‬
‫اَلل ته واَل مفتن ه و‬
‫ن‬
‫ن يه و‬
‫ن اَل م و‬
‫ة أك مب وهر ق‬
‫ق و ق مو‬
‫حتتىَّ ي وهر د‬
‫م و‬
‫ل ووول ي ووزاَهلوُ و‬
‫دوك ه م‬
‫قاَت قهلوُن وك ه م‬
‫م عو م‬
‫قت م ق‬
‫م و‬
‫ست و و‬
‫ت ووههوُو و‬
‫كاَفقلر‬
‫طاَ ه‬

‫ن ي ومرت ود قد م ق‬
‫ن اَ م‬
‫م م‬
‫ن قدين قهق فوي و ه‬
‫من مك ه م‬
‫عوُاَ وو و‬
‫قدين قك ه م‬
‫م عو م‬
‫م م‬
‫م إق ق‬
‫خرة وهأول وئ ق و و‬
‫و‬
‫فوهأول وئ ق و‬
‫حاَ ه‬
‫ص و‬
‫ك و‬
‫ماَل ههه م‬
‫ت أع م و‬
‫حب قط و م‬
‫كأ م‬

‫م قفيِ اَلد دن موياَ وواَمل ق و ق و‬
‫ب اَلتناَرق‬
‫ن‬
‫م قفيوهاَ و‬
‫دو و‬
‫خاَل ق ه‬
‫هه م‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam
dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan
berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak hentihentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad
di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah 2:217)

Ayat ini lebih menegaskan lagi bahwa fitnah yang lebih besar daripada
pembunuhan itu adalah fitnah terhadap Islam dan umatnya. Sekalipun perang dalam
bulan Haram itu dosa besar, tetapi menghalang-halangi orang menegakkan agama

Allah lebih besar lagi dosanya, lebih besar daripada pembunuhan itu sendiri. Ayat ini
turun dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa yang terjadi sebelum Perang Badar
Kubra. Waktu itu Rasulullah SAW menugaskan Abdullah bin Jahasy Radhiyallahu
‘Anhu memimpin sebuah pasukan kecil beranggotakan delapan orang muhajirin
untuk berpatroli. Mereka membawa sebuah perintah tertulis dan tertutup dari Nabi
yang tidak boleh dibuka kecuali setelah menempuh perjalanan dua malam. Setelah
dibuka, tertulis dalam surat itu: “Jika engkau melihat suratku ini, maka teruskanlah
pejalanan sampai Nakhlah—terletak antara Makkah dan Thaif. Dari sana engkau
intip gerak gerik orang-orang Quraisy dan memberitahukannya kepada kami…
Jangan paksa siapapun untuk pergi bersamamu”. Setelah membaca perintah itu,
Abdullah bin Jahasy mengatakan: “Sam’an wa tha’atan”. Kemudian dia berkata
kepada para sahabat yang lain: “Rasulullah SAW telah memerintahkan kepadaku
untuk meneruskan perjalanan ke Nakhlah untuk mengintai gerak-gerik orang-orang
Quraisy. Saya dilarang untuk memaksa kalian ikut bersamaku. Oleh sebab itu
barangsiapa di antara kalian yang ingin mati syahid, mari kita pergi bersama. Jika
tidak silahkan kembali. Saya akan tetap pergi berdasarkan perintah Rasulullah SAW.”
Lalu Abdullah bin Jahasy berangkat. Ternyata langkahnya diikuti semua sahabatnya,
dan tidak seorangpun yang kembali. Dalam perjalanan menuju Hijaz, onta milik
Sa’ad bin Abi Waqash dan ‘Utbah bin Ghazwan tersesat jalan sehingga keduanya
berusaha mencarinya. Enam orang yang lain tetap meneruskan perjalanan. Sesampai


di Nakhlah, lewatlah kafilah onta orang-orang Quraisy membawa perdagangan.
Dalam kafilah itu ada ‘Amru bin al-Hadhrami dan tiga orang lainnya. Pasukan kecil
Abdullah bin Jahasy membunuh ‘Amru bin al-Hadhrami dan menawan dua orang
kawannya. Yang satu orang lagi lari. Onta dan harta bawaan mereka diambil sebagai
rampasan perang. Para sahabat Nabi ini mengira hari itu adalah hari terakhir bulan
Jumadil Akhirah, ternyata hari itu sudah tanggal satu Rajab, berarti sudah memasuki
bulan-bulan yang diharamkan berperang. Setelah sampai kembali di Madinah dengan
membawa dua orang tawanan dan rampasan perang, Rasulullah menegur: “Aku tidak
memerintahkan kepada kalian untuk berperang pada bulan Haram”. Rasulullah
enggan menerima tawanan dan rampasan perang tersebut. Melihat respon Rasulullah
SAW, kaum Muslimin mencela perbuatan Abdullah bin Jahasy dan pasukan kecilnya.
Mereka menduga mereka akan celaka. Orang-rang Quraisy juga berkomentar bahwa
Muhammad dan para sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram. Mereka
menumpahkan darah, menawan dan merampas harta pada bulan suci itu. Orangorang Yahudi pun memberikan komentar negatif. Menyikapi keadaan ini Allah SWT
menurunkan ayat 217 Surat Al-Baqarah ini. Memang berperang dalam bulan Haram
adalah dosa besar, tetapi tindakan orang-orang kafir Quraisy menghalang-halangi
orang-orang Islam memasuki Masjid Haram dan mengusir penduduk Makkah dari
negeri mereka adalah dosa yang lebih besar lagi. Lebih besar dari pada pembunuhan.
Itulah yang diistilahkan oleh Al-Qur’an dalam ayat ini dengan fitnah. Setelah turun
ayat ini berhentilah celaaan terhadap Abdullah bin Jahasy dan anggota pasukannya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa selama ini kita telah salah kaprah
menggunakan ayat untuk menguatkan pernyataan kita bahwa fitnah lebih keji

daripada pembunuhan. Karena kata fitnah dalam dua ayat yang telah dikutip di atas
sama sekali tidaklah dalam pengertian yang selama ini kita pahami. Walaupun dalam
kasus-kasus tertentu ada fitnah (dalam arti mejelekkan atau merusak nama baik orang
lain) yang akibatnya lebih fatal dan parah daripada pembunuhan, tetapi tetaplah ayat
tersebut tidak tepat dijadikan rujukan pembenar kesimpulan tersebut. Lalu apa istilah
yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk fitnah yang berarti merusak nama baik orang
tersebut?
Menurut pemahaman penulis, istilah yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk
menunjukkan perbuatan buruk menuduh dan menjelekkan orang lain tanpa dasar
dengan tujuan merusak nama baiknya, adalah ifkun seperti pada ayat berikut ini:

‫م بو م‬
‫سهبوُه ه و‬
‫خي ملر‬
‫ل ههوُو و‬
‫صب و ل‬
‫ة ق‬
‫ن اَل ت ق‬
‫م ول ت و م‬
‫جاَهءواَ قباَمل قفم ق‬
‫ن و‬
‫إق ت‬
‫ح و‬
‫شرراَ ل وك ه م‬
‫من مك ه م‬
‫ك عه م‬
‫ذي و‬
‫م ل قك ه ل‬
‫م‬
‫ذيِ ت ووُوتلىَّ ك قب موره ه ق‬
‫ن اَمل قث مم ق وواَل ت ق‬
‫ب ق‬
‫ئ ق‬
‫س و‬
‫ماَ اَك مت و و‬
‫من مهه م‬
‫م و‬
‫من مهه م‬
‫ل اَ م‬
‫ل وك ه م‬
‫مرق ل‬
‫م و‬
‫ه عو و‬
‫م‬
‫ب عو ق‬
‫ذاَ ل‬
‫ظي ل‬
‫لو ه‬
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu
bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan
dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian
yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. ” (Q.S.
An-Nur 24:11)
Ifkun artinya berita bohong. Dalam konteks ayat ini, berita bohong itu adalah
tuduhan-tuduhan keji terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

:Sumber
Suara Muhammadiyah
Edisi 17-02