jurnal vol 5 tahun 2010
VOL 5 / ANRI / 12 / 2010
DAFTAR ISI
1. UPAYA MENYINGKAP FILSAFAT KEARSIPAN (Suatu Kajian Awal Filsafat Kearsipan)
Drs. Banu Prabowo, M.Si. ...1-34 2. MEMAHAMI ARSIP DARI SUDUT ILMU: Kajian Awal
Tentang Ilmu Kearsipan
Drs. Imam Gunarto ...35-61 3. SISTEM PENGELOLAAN ARSIP DI INDONESIA
Drs. Bambang P. Widodo, M.Si. ...62-84 4. ARCHIVES MANAGEMENT AS A REFLECTION OF
BUREAUCRACY DEVELOPMENT: The Case of Transitional Dutch East Indies, 1816-1830
Nadia Fauziah Dwiandari SIP., M. Phil. ...85-106 5. IMPLEMENTASI DATABASE MANAGEMENT SYSTEM
Kemas Jakfarudin, SE.,M.Si. ...107-132 6. MENGENAL SUMBER SEJARAH
Dra. Mona Lohanda M. Phil. ...133-143 7. USAHA MENINGKATKAN KUALITAS DAN
KUANTITAS SDM KEARSIPAN
JURNAL
KEARSIPAN
(2)
PENGANTAR REDAKSI
Penerbitan Jurnal Kearsipan Volume 5 dengan tema, “ Arsip : Ilmu dan Praktik". Diawali dengan kajian yang dilakukan oleh Banu Prabowo dengan judul Upaya Menyikap Filsafat Kearsipan yang menjawab tiga permasalahan yaitu : apa obyek kajian ilmu kearsipan, bagaimana cara memperolah ilmu kearsipan dan apa manfaat ilmu kearsipan, sehingga kearsipan akan mendapat perhatian serius sebagai ilmu, kajian ini menjadi lengkap oleh Imam Gunarto yang mengajak memahami arsip dari sudut filsafat, sehingga mengapa arsip harus dikelola, apa hakekat arsip, fungsi dan tujuan kearsipan, teori dan metodologi serta hubungan ilmu kearsipan dengan ilmu-ilmu lain akan dibahas secara mendalam baik dari segi antologi, epistomologi dan aksiologi ilmu.
Selain itu bagaimana arsip harus dikelola dari segi praktik, Bambang Parjono W, melakukan pengkajian tentang sistem pengelolaan arsip di Indonesia, sehingga akan dianalisis titik temu antara konsep Life Cycle of Records dengan Continum Records serta dideskripsikan model yang perlu dikembangkan terkait implementasi pengelolaan arsip di Indonesia.
Penataan arsip pada Algemene Secretary (Sekretariat Negara) sebagai lembaga yang bertanggungjawab menata produk administrasi pada zaman Hindia Belanda ditulis oleh Nadia F. Dwiandri dengan judul
Archives Management as a Reflection of Bureaucracy Development : The Case of Transitional Dutch East Indies, 1816 - 1830, sehingga menggambarkan hubungan antara konteks di belakang penciptaan arsip dan sistem penataan arsip. Bagaimana aplikasi Teknologi Informasi dan
Komunikasi (Database Management System) kearsipan pada instasi
pemerintah dan swasta di lingkungan kota Palembang didapatkan bukti empiris oleh Kemas Jakfarudin.
(3)
Peran SDM kearsipan dalam kegiatan kearsipan oleh Sumrahyadi dipaparkan dalam tulisan Usaha Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas SDM kearsipan. Akhirnya arsip sebagai sumber primer dalam penulisan sejarah di tulis oleh Mona Lohanda dengan judul Mengenal Sumber Sejarah, sehingga diperoleh gambaran bagaimana sebuah historiografi yang baik.
Tulisan-tulisan yang mengungkap arsip dari sudut ilmu dan praktik di atas semoga pengetahuan, penerapan dan penelitian/kajian yang telah disampaikan dapat bermanfaat uantuk pengembangan dan kemajuan ilmu penegtahuan di bidang kearsipan.
(4)
Abstract :
The philosophy of archival science is the foundation of archival science development. The article encompasses three philosophy elements of archival science: ontology, epistemology, and axiology. The question answered from ontology is "what should be known", or about "being". The question answered from epistemology is "how to get science", and the question answered from axiology is about "the practice of archival science for human living".
Key words : philosophy, ontology, epistemology, axiology, paradigm, system, life cycle, records continuum.
A.
La t a r Be la k a n g Ma s a la h
“Masalah kearsipan itu kan cuma masalah bagaimana menemukan kembali dengan cepat, dibolak-balik ilmu arsip itu ya .. cuma itu-itu, saja”. Begitulah kata sebagian orang di masyarakat kita. Begitu sederhanakah ilmu arsip itu, kalau begitu apa bedanya dengan resep masak, cara membuat kue? Tulisan ini mencoba membongkar filsafat kearsipan, sehingga kearsipan tidak disalah mengerti hanya sekedar bagaimana menemukan berkas dengan cepat, tepat saja. Apakah filsafat kearsipan itu? Apakah Kearsipan itu ilmu? Jika disebut ilmu apa ketentuannya?
UP AYA MENYI NGKAP FI LSAFAT KEARSI P AN
( Su a t u Ka jia n Aw a l Fils a fa t Ke a r s ip a n )
(5)
B.
Ru m u s a n Ma s a la h
Filsafat adalah suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Yuyun, 2003:4). Sedangkan Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya .
Ciri-ciri ilmu pada hakekatnya adalah didasarkan atas jawaban yang diberikan oleh ilmu terhadap tiga pertanyaan: apakah yang ingin kita ketahui, bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan, apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita. Dalam bahasa ilmu maka dikenal : Ontologi, Epistemologi, aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa jauh kita ingin tahu? Dengan kata lain pengkajian mengenai teori tentang ada, atau perhatian atas yang ada (being), apa yang ingin diketahui
(known) (Jerome R.Ravertz, 2009:86). Epistemologi membahas tentang bagaimana kita mendapat pengetahuan tentang obyek tersebut (teori pengetahuan) atau metode-metode yang dipakai dalam mempelajari fenomena (Ravertz, 2009: 88) Aksiologi adalah teori tentang nilai, atau manfaat ilmu.
Dengan demikian rumusan masalah dalam kajian ini adalah: apakah obyek kajian kearsipan, bagaimana pengetahuan kearsipan diperoleh , dan apak ah k em an f aatan ilm u k earsipan itu ?
C.
Ma k s u d d a n Tu ju a n
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Demikian juga dengan kearsipan.
(6)
Penelitian ini berupaya mendiskripsikan filsafat ilmu kearsipan dan ingin menjawab tiga permasalahan: apa obyek kajian ilmu kearsipan, bagaimana cara memperoleh ilmu kearsipan, dan apa manfaat ilmu kearsipan. Dengan kajian ini diharapkan kesalahpahaman tentang kearsipan dapat diluruskan, dengan demikian diharapkan selanjutnya "Kearsipan" mendapat perhatian serius terutama dalam pengembangan dan pengkajian kearsipan sebagai ilmu.
D.
Ke r a n g k a Te o r i
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya (Yuyun, 2003:4). Ciri-ciri ilmu didasarkan atas jawaban yang diberikan oleh ilmu terhadap tiga pertanyaan :
- apakah yang ingin kita ketahui (Ontologi) ?
- bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan (Epistemologi) ? - apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita (Aksiologi) ?
1. Ontologi ilmu
Ontologi berasal dari kata Yunani, yang terdiri atas dua kata,
Ontos artinya ada dan logos artinya ilmu, jadi secara etimologis, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang yang ada. (Makmur, 2006:41). Ontologi ingin menjawab pertanyaan tentang: apakah yang ingin diketahui, atau obyek ilmu. Obyek kajian atau bidang telaah adalah apa yang terjangkau fitrah pengalaman manusia (empiris). Fakta empiris adalah fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan panca indera, ruang lingkup kemampuan pancaindera membentuk dunia empiris. Jadi, Ontologi bicara tentang obyek kajian ilmu, apa yang menjadi bidang telaah ilmu. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang menjadi ciri ilmu itu? Ilmu mempunyai ciri bahwa: obyek yang ditelaah terjangkau oleh manusia, mempunyai asumsi tentang obyek empiris.
(7)
Obyek yang ditelaah yang terjangkau oleh manusia/orientasi terhadap dunia empiris. Kehidupan sesudah kematian bukan merupakan ilmu karena tidak terjangkau oleh manusia. Mempunyai asumsi tentang obyek empiris. Ada tiga asumsi: Mempunyai keserupaan, suatu obyek tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang, determinisme (Jujun, 2003:7-8)
Asumsi pertama: obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, berdasarkan ini, maka dapat dikelompokkan beberapa obyek yang serupa kedalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap obyek-obyek yang ditelaah. (h.8). Obyek kajian dikenal: obyek kajian karena isi disebut Obyek Material, sedangkan Obyek kajian karena bentuk terjadinya disebut Obyek Formal (Faried Ali, 2006:1).
Arsip, Museum, dan Perpustakaan adalah kelompok klasifikasi yang sama, yang memiliki obyek material yang sama yaitu Recorded Information (informasi yang terekam). Namun ketiga bidang ilmu tersebut memiliki Obyek Formal yang berbeda. Obyek forma kearsipan adalah informasi yang terekam yang dihasilkan oleh sebuah lembaga, badan, organisasi atau perorangan sebagai bagian dari kegiatannya, baik kegiatan bisnis, tugas maupun karena kewajiban hukum.
Obyek formal arsip mempunyai karakteristik alami
(naturalness) yaitu terkumpul karena tujuan praktis kegiatan administrasi. Arsip bukanlah dokumen yang secara sengaja dikumpulkan sebagaimana museum, dan bukan merupakan karya yang sengaja dibuat sebagaimana bahan pustaka.
Pengertian Records dalam terminologi kearsipan yang
dikeluarkan oleh organisasi profesi kearsipan International Council on Archives (ICA, 1988) menyebutkan bahwa arsip (records) adalah: informasi yang terekam dalam media apapun yang diterima, dibuat dan dikelola oleh suatu badan, lembaga, organisasi atau
(8)
individu dalam rangka pelaksanaan kegiatan atau kewajiban hukumnya. Pengertian record(s) menurut International Standard Organization (ISO) 15489, record (s) adalah information created, received and maintained as evidence by an organization or person, in pursuance of legal obligation or in the transaction of business.
Arsip adalah informasi yang dibuat, diterima, dan dipelihara sebagai bukti dan informasi oleh organisasi atau orang sesuai kewajiban hukum atau dalam transaksi dari suatu bisnis/urusan.
Asumsi yang kedua anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan itu tidak bisa dilaksanakan jika obyek selalu berubah-ubah. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian relatif, artinya: sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu . Obyek Ilmu Arsip: informasi yang terekam dari hasil kegiatan organisasi. Organisasi mempunyai sifat tidak berubah-ubah, fungsi organisasi menurut Mintzberg selalu terkait dengan lima fungsi (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga
Administrasi Negara, 2004:63): Strategic Apex fungsi yang
dilaksanakan oleh pimpinan tingkat puncak, the operating core
adalah fungsi untuk melaksanakan secara langsung tugas pokok organisasi, the middle line yaitu: fungsi penghubung antara strategic apex dengan operating core, sedangkan the technostructure adalah: fungsi untuk merumuskan, membuat standardisasi-standardisasi atau kebijakan-kebijakan tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap unit organisasi, the support staff adalah fungsi yang sifatnya memberikan dukungan kepada unit-unit organisasi lainnya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi( hal 63).
Asumsi yang ketiga: determinisme, kita menganggap bahwa setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang kebetulan (Jujun, 2003: 8), tiap gejala mempunyai pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Ilmu tidak mengemukakan bahwa x selalu mengakibatkan y, melainkan
(9)
mengemukakan bahwa x punya peluang yang besar mengakibatkan y. Contoh: Setiap pemusnahan arsip yang berpedoman pada Jadwal Retensi Arsip dan mengikuti prosedur pemusnahan mempunyai kemungkinan yang besar tidak akan menyisakan permasalahan hukum.
2. Epistemologi Ilmu
Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. (Jujun, 2003:9). Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan metode keilmuan sudah sah disebut sebagai ilmu. Metode keilmuan memiliki dua pola : berpikir secara rasional,
dan berpikir secara empirisme (Jujun, 2003:10). Faham
rasionalisme : menyatakan bahwa ide kebenaran sebenarnya sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui ide seperti itu, tetapi tidak menciptakannya, dan tidak pula mempelajari lewat pengalaman dengan kata lain ide tentang kebenaran yang menjadi dasar pengetahuan diperoleh lewat berpikir secara rasional, terlepas dari pengalaman manusia. Metode ini dikenalkan oleh Plato dengan konsep ide dan dunia ide. Pada abad ke 17 muncul Rene Descartes (Ravertz, 2009:89).
Paham empirisme, pengetahuan tidak ada secara apriori dibentuk manusia melainkan harus diperoleh dari pengalaman, lalu berkembanglah dengan apa yang disebut pola berpikir empiris (Jujun, 2003:10).
Aristoteles (Bagus Takwim,2003:28) menyebutkan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari alam melalui proses inderawi yang kemudian diolah menjadi ide. Berangkat dari penginderaan manusia mempersepsi segala hal yang ada di alam semesta, lalu
(10)
dengan abstraksi menghasilkan ide. Pada abad ke-18 dikenal seorang empirisis Inggris, John Locke (Ravertz, 2009: 89) Dua hal penting dalam keilmuan: Ilmu berkembang atau dikembangkan melalui pengolahan pikiran para ilmuwan atau pakar-pakar disiplin ilmu yang bersangkutan dan Setiap ilmu pasti mempunyai Teori. Hal pertama terkait dengan apa yang dikenal dengan konsep "Paradigma", sedangkan hal yang kedua terkait dengan "Teori" .
a. Paradigma dalam Kearsipan
Kata paradigma terkenal sejak Thomas Kuhn menerbitkan tulisannya yg berjudul: the structure of scientific revolution
tahun 1962 yang dikenal dengan Khun's paradigma. Menurut Kuhn, ilmu berkembang atau dikembangkan melalui pengolahan pikiran para ilmuwan atau pakar pakar disiplin ilmu yang bersangkutan. Dalam memahami perubahan paradigma harus dipelajari bagaimana secara historis perubahan berpikir dihubungkan dengan karakteristik sosiologis masyarakat ilmiah (Asmawi Rewansyah, 2010:25). Perubahan berpikir yang menghasilkan perubahan paradigma dipengaruhi oleh tuntutan perkembangan masyarakat dan perubahan-perubahan lingkungan . Ciri pokok paradigma adalah suatu pemikiran berdasarkan asumsi-asumsi terhadap dunia nyata disekelilingnya, lebih khusus lagi adalah sikap berpikir terhadap fenomena yang berkembang dari waktu ke waktu (Rewansyah, 2010 : 25)
Dalam sejarah kearsipan pergeseran paradigma yang terjadi dapat dibagi menjadi tiga tahap: Paradigma Life Cycle, Paradigma
Records Continuum. b. Teori Sistem
Setiap ilmu pasti mempunyai Teori. Sebagaimana yang dikatakan Jujun S. Soemantri bahwa teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. (1987:143), sedangkan Kerlinger mengatakan bahwa teori adalah seperangkat konstruk (konsep),
(11)
batasan, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu (2004:14). Secara ringkas ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan mengapa suatu gejala terjadi. Sedangkan pengetahuan ilmiah mempunyai fungsi: menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa teori merupakan penguraian hubungan antar gejala, yang berfungsi sebagai penjelasan, peramalan suatu gejala.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum yang berfungsi memberikan kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi (Yuyun, 147). Prinsip yang berfungsi sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi; Postulat yaitu: asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya (Yuyun,155); Asumsi adalah pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji (Yuyun, 157)
Penggunaan suatu teori pada suatu disiplin ilmu dengan cara meminjam teori lain dalam keilmuan disebut dengan hibridisasi ilmu (Nuri Suseno: 2), Konsep sistem misalnya, berasal dari disiplin ilmu fisika, kemudian biologi menggunakan konsep ini. Perkembangan selanjutnya ilmu sosial meminjam teori sistem yaitu sosiologi. Ilmu lain pun meminjam konsep "teori sistem." Kata Sistem berasal dari bahasa Yunani: to systeme berarti susunan. Beberapa unsur dalam chaos awal disusun dengan cara tertentu. Suatu "sistem" didefinisikan sebagai suatu keseluruhan dalam arti kesatuan yang lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagiannya … suatu jumlah unsur-unsur dan juga hubungan diantara mereka satu sama lain. Untuk membentuk suatu keseluruhan yang teratur, didalamnya terjadilah seleksi, relasi dan kontrol atas unsur-unsur pembentuknya (F. Budi Hardiman, 2008:2)
(12)
Ludwig von Bertalanffy tahun 1930-an mengubah paradigma konsep sistem, ia mendobrak konsep sistem tidak hanya pada ilmu biologi, tetapi juga ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi, psikologi pedagogi, dan sebagainya. Ia mengembangkan "teori sistem umum". Dari dia dikenal berbagai konsep dasar dalam teori sistem seperti: sistem terbuka, tertutup, organisasi diri, kibernetika/sistem otomatis, misal: sistem saraf, otak (Hardiman, 2008:2).
Teori sistem Parson: tatanan sosial bukanlah tatanan koersif dan juga bukan produk transaksi para faktor strategis yang egosentris, melainkan merupakan hasil konsensus nilai-nilai yang melibatkan tiga komponen sekaligus, yaitu: masyarakat, kebudayaan, dan kepribadian. Kebudayaan merupakan pola nilai dan norma dominan yang menstruktur proses-proses tindakan sosial, maka teori sistemnya disebut "teori sistem struktural-fungsional. Struktur memungkinkan bertahannya bangunan sosial dengan fungsi-fungsi yang terdiferensiasi didalamnya (Hardiman, 2008:3). Menurut Luhmann (Hardiman, 2008: 5) Perkembangan teori sistem umum dalam tiga tahap. TahapPertama: teori sistem umum berfokus pada penjelasan tentang hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagian. Tahap kedua: teori sistem bukan sebagai susunan tertutup, tetapi terbuka karena terjadi proses pertukaran antara sistem dan lingkungannya. Tahap ketiga: terjadi peralihan paradigma lagi. Konsep otopoiesis muncul untuk menjelaskan apa itu sistem.
Kata Otopoiesis berasal dari kata Yunani autos (sendiri), dan
poiein (membuat), maka artinya: membuat sendiri, menciptakan sendiri, organisasi diri. Ciri otopoiesis: sistem-sistem sosial menghasilkan keutuhan mereka sendiri dan komponen-komponen yang menghasilkan keutuhan mereka itu. Luhmann mengatakan: setiap perubahan suatu system adalah perubahan lingkungan sistem-sistem lainnya, setiap pertumbuhan kompleksitas disuatu
(13)
tempat akan memperbesar kompleksitas lingkungan untuk sistem-sistem lainnya (Hardiman,6).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa teori sistem merupakan suatu Kesatuan yang utuh yang terdiri atas sub system-sub system yang saling terkait. Subsistem subsistem tersebut dapat merupakan suatu sistem tersendiri.
Bagaimana teori dalam kearsipan? Pada kajian ini penulis akan mengkaji teori sistem kearsipan. Sesuai dengan konsep teori sistem.
3. Aksiologi Ilmu
Jujun S. Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (1987:234). Selanjutnya ia mengatakan bahwa landasan aksiologi adalah kemaslahatan manusia artinya segenap wujud pengetahuan secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia (1987: 294).
Sedangkan Makmur mengatakan bahwa Konsep aksiologi ilmu dimulai dari penerapan atau penggunaan sampai pengembangan dan pemanfaatan ilmu dalam kehidupan manusia. Dan yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi ilmu adalah: bagaimana ilmu digunakan sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Kebahagiaan dan kesejahteraan merupakan perwujudan harapan manusia yang diinginkan ( 2007:83).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa aksiologi mempertanyakan apa kemanfaatan suatu ilmu bagi kehidupan manusia.
Dasar dari pandangan aksiologi adalah pemikiran Francis Bacon seorang perintis filsafat pengetahuan. Bagi Bacon pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang menghasilkan sesuatu yang mencari keuntungan, yang memperbesar kemampuan
(14)
dan kekuasaan manusia. Knowledge is power menjadi semboyannya (Christ Verhaak,1993:15). Bacon memberi tiga contoh: Mesiu (gun powder) yang menghasilkan kemenangan dalam perang modern, dengan sedikit orang bisa mengalahkan beratus bahkan beribu pasukan dengan senjata tradisional; Kompas (magnetism) yang memungkinkan manusia mengarungi lautan ke Asia dan Amerika tanpa perlu menyusuri pantai-pantai; Percetakan (printing) yang mengalahkan segala penyebaran buku yang ditulis tangan.
E. Me t o d o lo g i
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu (Sofyan Effendi, 1984:4) yaitu: Kearsipan sebagai ilmu, dengan mengambil fokus kajian Filsafat Kearsipan.
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah dengan metode kepustakaan yaitu dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. Adapun alasan pembatasan metode ini adalah karena studi ini merupakan studi pendahuluan (prelimanary research) untuk memahami lebih mendalam gejala baru yang tengah berkembang di lapangan atau dalam masyarakat (Mestika Zed, 2008:2). Mestika mengatakan bahwa studi pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (2008:3).
F.
Ha s il d a n An a lis is
Hasil kajian ini akan disajikan berturut turut mulai dari Ontologi ilmu kearsipan yang meliputi: Obyek kajian arsip dinamis, obyek kajian arsip statis, Epistemologi dan aksiologi ilmu kearsipan.
(15)
1. Obyek Kajian Arsip Dinamis
Ontologi atau obyek kajian dapat dibedakan menjadi obyek kajian material dan formal. Obyek kajian material dari records management adalah "recorded information", sedangkan obyek k a j i a n f o r m a l n y a a d a l a h I n f o r m a s i y a n g t e r e k a m
(recorded information) yang terkait dengan kegiatan organisasi atau pun orang. Records atau arsip dinamis (Peter Walne, 1988:128) adalah: recorded information (document) regardless of form or medium created, received and maintained by an agency, institution, organisation or individual in pursuance of its legal obligations or on transaction of business.
Bagaimana suatu organisasi terkait dengan arsip. Arsip diciptakan awalnya untuk memenuhi kebutuhan organisasi, bukan memenuhi kebutuhan peneliti (National Archives of Australia, Fact Sheet: What are archives? 4, November 2002). Ketika membahas obyek kajian arsip hal yang pertama harus dipahami adalah pengertian organisasi. Banyak definisi tentang organisasi (Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, Gadjah Mada Universty Press, 2006) tetapi dalam kajian ini penulis lebih condong memilih pengertian bahwa Organisasi merupakan kumpulan orang yang melakukan kerjasama melalui pembagian kerja untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain Organisasi terdiri atas tiga unsur (lihat bagan di bawah): Kumpulan Orang, Kerjasama, Mencapai Tujuan.
Kumpulan orang sedikitnya dua orang, kita ambil contoh adalah keluarga, minimal terdiri dari pasangan suami dan istri, mereka sepakat untuk mencapai tujuan bersama yaitu kebahagiaan atau pada masa Orde Baru (ORBA) biasa dirumuskan dengan slogan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Jumlah kumpulan yang lebih banyak maka disebut masyarakat
(society). Konsep society ini bisa dalam artian sosial maupun masyarakat yang berprofit atau dikenal dengan organisasi sosial
(16)
ataupun organisasi bisnis, jelas mereka mempunyai tujuan. Organisasi bisnis tujuannya adalah profit dan kelangsungan hidup. Dalam mencapai tujuan ini mereka melakukan kegiatan yang merupakan unsur kegiatan substantif, dan fasilitatif. Baik substantif maupun fasilitatif dikelola dengan suatu proses manajemen, yang secara sederhana dibagi menjadi planning, organizing, actuating, dan controlling. Substantif terkait dengan kegiatan pokok, misal perusahaan mempunyai kegiatan substantif: produksi, marketing. Sedangkan kegiatan fasilitatif adalah kegiatan pendukung seperti : personalia, keuangan, perlengkapan, dsb.
Jumlah kumpulan yang lebih besar dari masyarakat adalah negara. Konsep negara itu sendiri dapat kita pahami melalui pendapat beberapa ahli, Miriam Budiardjo misalnya mengatakan negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah (Miriam, 2008:49). Negara terdiri dari beberapa unsur: wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan.
Dalam rangka mencapai tujuan negara maka perlu manajemen penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Manajemen pemerintahan secara sederhana meliputi perencanaan, organizing, actuating, controlling agar tujuan yang ditetapkan bisa tercapai. Proses kegiatan lembaga negara, badan pemerintahan dari paradigma kearsipan akan terlihat bahwa lembaga negara, badan pemerintah membuat dan menerima informasi yang terekam (recorded information) dalam bentuk kertas maupun non kertas. Selanjutnya informasi yang terekam tersebut menjadi bahan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan.
(17)
Sumber : Banu Prabowo, Manajemen Dokumen Perusahaan, Kumpulan Makalah , 2005.
Untuk lebih detail melihat obyek kajian forma records management dapat digunakan teori Mintzberg yang selalu mengaitkan organisasi dengan lima fungsi: Strategic Apex, The operating core, The middle line, The technostructure, The support staff (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga Administrasi Negara, 2004:63).
Strategic Apex adalah fungsi yang dilaksanakan oleh pimpinan tingkat puncak dalam suatu organisasi yang diberi tanggungjawab
(18)
terhadap organisasi tersebut. Dalam lembaga eksekutif fungsi
strategic apex berada ditangan presiden, dalam kementrian berada di tangan menteri, dalam perusahaan adalah pimpinan perusahaan (Direktur Utama).
The operating core adalah fungsi untuk melaksanakan secara langsung tugas pokok organisasi, dalam lembaga pemerintah negara(eksekutif ) berada di kementrian. Dalam sebuah perusahaan berada di unit bisnis, misal perbankan pada: Treasury, Dana dan Jasa, Perkreditan. Pada organisasi pemerintah daerah berada pada dinas-dinas.
The middle line yaitu: fungsi penghubung antara strategic apex dengan operating core, dalam pemerintah pusat dilaksanakan oleh kantor kementrian koordinator.
The technostructure adalah: fungsi untuk merumuskan, membuat standardisasi-standardisasi atau kebijakan-kebijakan tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap unit organisasi, fungsi ini pada pemerintah pusat dilaksanakan oleh sebagian LPND, Badan Litbang, Badan Diklat.
The support staff adalah fungsi yang sifatnya memberikan dukungan kepada unit-unit organisasi lainnya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi fungsi ini dilaksanakan oleh sekretariat. Dalam konteks kearsipan lima fungsi diatas terutama digunakan untuk menjawab functional analysis (Gerald Ham, 1993:51) yaitu untuk mengetahui: siapa menciptakan arsip apa, dan untuk tujuan apa ? Terkait dengan hal tersebut tiga basis pertanyaan dasar yang harus diperhatikan adalah:
- pada tingkat apa level pembuat kebijakan?
- apa arti penting fungsi unit organisasi pencipta arsip?
- arsip apa yang tekait dengan fungsi yang signifikan dalam
(19)
2. Obyek Kajian Arsip Statis
Kearsipan merupakan pengetahuan terapan yang berkaitan dengan informasi yang terekam, penyajian informasi, seperti yang dikatakan Michael Swift sebagaimana dikutip Mona Lohanda (Makalah Penelitian dalam Kearsipan, 16 Juni 2001): Profesi kearsipan itu bergerak dibidang pengetahuan teknis bagaimana informasi diciptakan, disimpan, dilacak, dirawat, dan ditransmisikan. Jadi, pada dasarnya keahlian tersebut berpokok pada
“The identification and preservation of information of long term value”
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa obyek kajian forma arsip statis adalah: terkait dengan apa yang harus diidentifikasi dan dilestarikan, dan apa itu arsip statis:
Pertama: Apa yang harus diidentifikasi dan dilestarikan. Fokus dari obyek kajian arsip statis adalah arsip sebagai hasil dari tata kelola (governance), tugas kearsipan adalah melestarikan arsip sebagai bukti (evidence) dari tata kelola (governance) bukan sekedar government (dominasi pada instansi pemerintah, stakeholder
adalah government institution).
Konsep governance mempunyai pijakan teoritis pada konsep
Total Archives yang diarsitekturi oleh Hugh Taylor Kanada tahun 1970 (Terry Cook, 1997). Arsip adalah hasil dari interaksi warga negara dengan negara, bukti pertanggungjawaban pelayanan, perlindungan negara terhadap masyarakatnya, dan refleksi dari fungsi atau aktifitas masyarakat (society). Ada tiga komponen
governance: negara atau pemerintah, privat atau swasta, masyarakat
atau society (Asmawi Rewansyah, Reformasi Birokrasi dalam
rangka Good Governance, 2010: 87). The State (negara / pemerintah) sebagai peletak dasar equity, justice, peace, creating a conductive political and legal environment for development; The Private Sector sebagai peletak dasar economic growth, job opportunitis and development; The Civil Society peletak dasar bagi
liberty,equality, responsibility, and self expression
(20)
Jadi, obyek kajian arsip statis adalah arsip yang memiliki nilai kesejarahan yang dihasilkan dari bukti tata kelola (governance)
yang meliputi: negara/ pemerintah, society, dan private sector,
bukan hanya kegiatan government yang bercirikan: didominasi oleh instansi pemerintah, stakeholder dalam proses pengelolaan seluruh aspek kehidupan masyarakat adalah government institution.
Kedua: Arsip Statis (Archives) adalah arsip yang memiliki nilai abadi untuk tujuan riset, bangunan atau ruang dimana arsip-arsip statis disimpan, organisasi yang bertanggungjawab atas pemeliharaan dan pengendalian bahan-bahan arsip (Fact Sheet,
National Archives of Australia, Juni 2003). Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Judith Ellish dalam Bukunya yang berjudul Keeping Archives (Ellis, 1993: 463): Arsip (records) yang memiliki nilai abadi, Istilah ini digunakan untuk menggambarkan arsip yang sudah dinyatakan dilestarikan secara permanen. Disebut juga arsip permanen (permanent records); Arsip bisa merupakan Tempat (gedung /ruang/ tempat penyimpanan) arsip-arsip statis dikelola; Arsip juga bisa dikatakan suatu organisasi atau bagian dari organisasi yang bertanggungjawab menilai, mengakuisisi, melestarikan, dan membuat arsip-arsip statis tersedia untuk digunakan.
Hal tersebut hampir sama dengan pengertian arsip statis yang dikemukakan Betty Ricks (Ricks,1992: 566) yaitu fasilitas dimana arsip-arsip suatu organisasi dilestarikan karena nilai abadinya atau nilai kesejarahannya.
Jadi obyek kajian dalam arsip statis adalah recorded information yang memiliki nilai kesejarahan, Schelenberg menyebut dengan arsip yang mempunyai nilai guna se kunder yaitu Evidential values
dan informational values (Gerald Ham, Selecting and appraising Archives and Manuscripts, The Society of American Archivists
Chicago, 1983: 8). Dengan kata lain arsip digunakan sebagai bahan mentah untuk memahami sejarah sehingga dengan mudah bisa
(21)
memahami masa lalu, sebagaimana dikatakan Leopold van Ranke (1795-1886) bahwa dengan mengumpulkan, menilai, dan memverifikasi semua sumber yang tersedia seorang sejarawan dimampukan untuk menyusun kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi masa lalu secara tepat, akurat, ilmiah, rasional (Eddy Kristiyanto OFM, 2008:15).
Hal tersebut diatas tak lepas dari karakteristik arsip yang jujur dan tidak memihak: Archival documents are impartial and can not tell ... anything but the truth (Duranti, 1994:334). Disamping itu arsip juga merupakan bukti tangan pertama untuk menyusun fakta sebagaimana dikatakan oleh Jenkinson (Luciana Duranti, 1994 : 335): Archival documents provide ”first –hand evidence because they form an actual part of corpus , of the facts of the case.
Kunci menjadikan arsip sebagai sumber sejarah melalui pengumpulan, penilaian, verifikasi sumber. Hal ini selanjutnya menghasilkan ruang lingkup kajian arsip statis diantaranya adalah: akuisisi arsip.
3. Epistemologi Kearsipan
Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan. Bagaimana pengetahuan kearsipan diperoleh, akan terlihat dari pembahasan tentang paradigma kearsipan (pra life cycle, life cycle, records continuum), teori sistem dan sistem kearsipan, aksiologi kearsipan.
a. Paradigma Pra Life Cycle
Pelopor Utama adalah Trio Arsiparis Belanda Samuel Muller, Johan Feith, Robert Fruin dengan publikasi karya terkenal mereka
(22)
Sumbangan terpenting adalah dikemukakannya prinsip penting baik terkait dengan sifat dasar arsip (archives) dan perlakuan atasnya. Ketiga orang tersebut menyatakan dalam aturan pertama mereka bahwa dasar yang harus dibangun adalah pengertian arsip. Arsip adalah keseluruhan dokumen tertulis, gambar dan bahan tercetak yang secara resmi diterima atau dibuat oleh badan administrasi atau dari pejabatnya (Terry Cook, 1997). Mereka mengemukakan dua pilar dari teori kearsipan klasik: arsip harus di simpan secara hati-hati, terpisah dan tidak boleh dicampur dengan arsip dari pencipta arsip yang lain, atau ditempatkan kedalam pengaturan artifisial berdasar atas kronologi, geografi atau subyek, dan pengaturan arsip harus berdasar atas organisasi asal arsip dimana harus cocok dengan unit kerja yang menciptakan. Secara singkat disebut Provenance dan original order.Original order berarti menyusun kembali arsip berdasar atas pemberkasan asli dan sistem klasifikasi yang digunakan oleh penciptanya. Pengaturan ini dipercaya akan memudahkan pengaturan dan mengembalikan ke konteks asal. Provenance adalah arsip disimpan secara terpisah atau tidak boleh bercampur dengan pencipta lain. Pandangan Jenkinson menghasilkan prinsip bahwa semua materi yang dicipta dan diterima oleh administrasi adalah archives.
Bagi Schelenberg archives hanyalah sebagian kecil yang sudah dipilih dari sejumlah besar records yang akan disimpan sebagai arsip statis.
b. Paradigma Life Cycle Lahirnya Konsep Life Cycle
Arsiparis Amerika tidak puas dengan rumusan prinsip kearsipan yang berdasar atas analisis terhadap dokumen tua yang jumlahnya terbatas, juga tidak puas dengan menyandarkan: ”descriptive science” dari Casanova, Jenkinson, dan penulis Belanda. Arsip Nasional Washington dibentuk tahun 1934, ia mewarisi timbunan arsip negara federal yang belum dikerjakan sejumlah sekitar satu juta meter, dengan tingkat pertumbuhan lebih dari 60.000 meter
(23)
setahun. Tahun 1943 tingkat pertumbuhan arsip mencapai 600.000 meter per tahun .
Permasalahan dari prinsip Jenkinson adalah: terlalu banyak
records yang akan dikelola secara buruk dan bahkan bisa hilang sebelum arsiparis mengambil untuk menyimpannya. Dari kasus itu kemudian lahir konsep daur hidup arsip dimana
records pertama-tama diorganisir dan secara aktif digunakan oleh penciptanya, kemudian disimpan di recordscenter karena sudah jarang digunakan, kemudian ketika kegunaan operasional sudah berakhir dipilih yang bernilai statis dan diserahkan ke lembaga kearsipan atau dimusnahkan untuk arsip yg tidak bernilaiguna. Daur hidup arsip merupakan cara yang populer dalam memandang arsip. Konsep daur hidup berasal dari ilmu alam yaitu: suatu keseluruhan proses rangkaian sejarah hidup suatu organisme, katak misalnya mulai dari telur katak, kecebong, katak muda, sampai katak dewasa, dan akhirnya mati (Sue Mc Kemmish,1997:5)
Daur hidup arsip mencakup dua hal: daur hidup pertama dan kedua. Daur hidup (a life cycle) pertama sebagai daur hidup arsip dinamis (a record), sedangkan daur hidup kedua sebagai daur hidup arsip statis (the archives life cycle).
Kennedy (1998:9) membagi menjadi lima fase utama daur hidup yang pertama yaitu: penciptaan, distribusi, penggunaan, pengelolaan, penyusutan. Sedang daur hidup yang kedua dimulai saat daur hidup pertama selesai, ini disebut daur hidup arsip statis dimana arsiparis mengidentifikasi dan menilai arsip-arsip bernilai abadi (continuing value), mengelola, menyajikan arsip kepada pengguna.
Elemen program manajemen arsip menurut Kennedy (1998: 3) terdiri atas: Sistem pengelolaan arsip (recordkeeping systems), analisis kebutuhan manajemen arsip dinamis, penilaian dan penyusutan arsip, Manajemen penangkapan dan penciptaan arsip dinamis, manajemen arsip aktif, kebijakan dan prosedur,
(24)
program pelatihan, manajemen arsip inaktif, program perlindungan arsip vital.
Betty Ricks melihat daur hidup arsip terdiri atas: penciptaan/ penerimaan arsip, distribusi, penggunaan, pemeliharaan, penyusutan.
Penciptaan dan penerimaan (meliputi: klasifikasi arsip, korespondensi, formulir, laporan, input output komputer), distribusi intern, ekstern ( meliputi: Electronical mail, sistem persuratan, akses terhadap database ).
Penggunaan (meliputi: filing, retrieving / penemuan kembali, transfer arsip), Penyusutan (meliputi: arsip inaktif, pemusnahan arsip, Jadwal Retensi arsip).
Pendekatan Life Cycle mengenal dikotomi urusan yaitu
tanggungjawab pengelolaan arsip dinamis oleh manajer arsip dinamis, sedang tanggungjawab arsip statis oleh manajer arsip statis. Tetapi, manajemen arsip statis merupakan kelanjutan dari manajemen arsip dinamis, hal ini ditunjukkan oleh Betty R.Ricks(1992:306).
Records management: kendali yang sistematis arsip dinamis dari penciptaan, penerimaan, melalui proses masing-masing, distribusi, pengorganisasian, penyimpanan, dan penemuan kembali, penyusutan arsip. Sedangkan archives management adalah prosedur pengendalian untuk pelestarian arsip bersejarah dan menyediakan jalan masuk untuk pengguna arsip agar arsip bisa dimanfaatkan.
c. Paradigma Record Continuum
Paradigma ini muncul karena permasalahan yang dihadapi
ketika menemui masalah dalam paradigma Life Cycle.
Tahun-tahun sekitar 1997 arsiparis Australia telah mengembangkan suatu kontribusi pada diskursus kearsipan dan revitalisasi pemikiran
provenance tentang konteks dan karakteristik arsip. Paradigma ini muncul sebagai reaksi dari skandal publik, dimana arsip-arsip penting hilang atau secara sengaja dimusnahkan. Sue Mc Kemmish
(25)
dan Frank Upward telah menulis konsep akuntabilitas melalui
Records Continuum (Terry Cook, 1997).
Pendekatan ini tidak melihat arsip sebagai suatu daur hidup tetapi sebagai suatu hal yang bersinambungan. Pada pendekatan continuum arsip-arsip bernilai statis sudah diketahui sejak awal karena hal tsb sudah dicakup dalam desain sistem, cara berpikir dalam kontinum adalah adanya integrasi antara proses arsip dinamis
(recordkeeping) dan proses arsip statis. Tetapi, dalam pendekatan
life cycle, adanya disposal (penyusutan) sebagai daur hidup yang mencakup identifikasi arsip bernilai abadi pada tahap akhir dari daur hidup arsip menunjukkan bahwa life cycle tidak menekankan perlunya sistem yang dirancang untuk menjamin pengambilan arsip bernilai statis pada saat awal.
Pendekatan Kontinuum mengenal adanya empat dimensi: Penciptaan (create), Penjaringan (Capture), Organize, Pluralize. Dimensi pertamaadalah Lingkaran terkecil : disebut dimensi Penciptaan. Dimensi ini mencakup aktor yang melakukan tindakan (memutuskan, berkomunikasi, bertindak), tindakan itu sendiri (act), dokumen yang merekam tindakan, dan bekas/ jejak tindakan (trace)
yang merupakan representasi tindakan.
Dimensi kedua adalah lingkaran kedua : disebut dimensi penangkapan (capture). Mencakup sistem pengelolaan arsip corporate
dan personal yang menangkap dokumen dlm konteks dimana tindakan
(act) dibuktikan dengan alat bukti (evidence) dari aktifitas unit yang
bertanggungjawab melakukan aktifitas. Record (the archival
document) dalam pengertian ini dikonsepkan sebagai informasi yang terekam yang muncul dari adanya transaksi.
Dimensi ketiga adalah lingkaran ketiga disebut dimensi pengorganisasian (Organize) dimensi ini mencakup pengorganisasian dari proses pengelolaan arsip. Hal itu berkaitan dengan cara dimana organisasi atau perorangan menetapkan cara pengelolaan arsip
(records) yang merupakan bentuk arsip yang mempunyai nilai permanen (archive) sebagai memori dari fungsi organisasi atau
(26)
fungsi sosial. Arsip sebagai memori organisasi (corporate memory), memori dari fungsi-fungsi suatu organisasi, baik fungsi substantif, fasilitatif maupun fungsi sosialnya.
Dimensi ketiga ini arsip telah menjadi bagian dari sistem formal dari penyimpanan dan penemuan kembali memori korporasi/ organisasi.
Dimensi Keempat: berkaitan dengan perhatian pada cara dimana arsip statis (archives) yang dihasilkan sebagai bukti memori kolektif, memori historis, memori budaya dari berbagai jenis organisasi ataupun individu. Kennedy menyebutnya Arsip telah menjadi bagian dari sistem arsip statis (archival systems) yang berasal dari berbagai macam organisasi (Kennedy, 1997:12).
Pemikir continuum berbeda dengan life cycle. Kalau pemikir
life cycle memandang dua posisi yang berbeda dari profesi arsip:manajer arsip dinamis (records manager) berkaitan dengan memori organisasi (corporate memory),dan arsiparis (Archivist)
berkaitan dengan memori kolektif bangsa (collective memory), maka pemikir continuum melihat dua profesi merupakan perspektif yang bersamaan bukan bergantian tahap. Dari pendekatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa arsiparis di Indonesia menganut pendekatan
continuum karena tidak dibedakannya arsiparis arsip dinamis dan arsip statis.
Dari pendekatan kontinuum diatas dapat dinyatakan bahwa :
a. Dimensi pertama dokumen sebagai trace dari aktor yang melakukan tindakan
b. Dimensi kedua records sebagai bukti kerja (evidence)
c. Dimensi ketiga merupakan dimensi arsip sebagai corporate memory atau arsip sebagai memori dari suatu organisasi. Penulis berpendapat bahwa dimensi ini merupakan dimensi arsip Inaktif dimana organisasi kearsipan yang sesuai adalah Unit Kearsipan
(27)
memory atau arsip sebagai memori kolektif yang melintas batas organisasi . Penulis berpendapat bahwa dimensi ini merupakan dimensi arsip statis dimana organisasi kearsipan yang cocok adalah lembaga kearsipan.
(28)
4. Teori Sistem dan Sistem Kearsipan
a. Bagaimana Teori Sistem Kearsipan disebut Sistem? Setiap sistem mempunyai sifat: terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung, sistem itu mempunyai perbatasan yang memisahkan dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem lain. Demikian juga dengan sistem kearsipan. Dalam mengkaji teori sistem kearsipan, penulis menggunakan model aktivitas dan entitas yang dikenalkan oleh University of Columbia Master of Archival Studies Research Team dan U.S Departement of Defense Records Management Task Force . Dalam
Activity and Entity Models hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan arsip adalah menghubungkan pengelolaan arsip dengan komponen-komponen yang terkait erat (Genesis and preservation of Agency’s Archival fonds, 1996).
Dalam kajian ini teori sistem disebut Teori Sistem Kearsipan. (gambar.1). Dalam model ini dibedakan adanya empat Komponen (lihat gambar): Input, Proses, Output, Kontrol, Sarana. 1) Komponen Input adalah: masukan atau asupan yang harus dijadikan perhatian utama dalam Teori Sistem Kearsipan, hal ini dimaksudkan agar Output Sistem Kearsipan yaitu: arsip sebagai akuntabilitas dan arsip sebagai memori kolektif. Input mencakup dua hal: Dokumen yang dihasilkan, Informasi tentang pencipta dokumen (Records creator) dan dokumennya
(its records).
2) Komponen Proses: Sistem Kearsipan Dinamis, dan Sistem Kearsipan Statis.
a) Komponen Proses Sistem Kearsipan Dinamis adalah proses pengelolaan arsip dinamis yang meliputi penciptaan / penerimaan arsip, distribusi, penggunaan, pemeliharaan,
penyusutan. Penciptaan dan penerimaan (meliputi:
(29)
output komputer), distribusi intern, ekstern (meliputi:
Electronical mail, sistem persuratan, akses terhadap
database), Penggunaan (meliputi : filing, retrieving / penemuan kembali, transfer arsip, alih media), Penyusutan
(meliputi: arsip inaktif, pemusnahan.
b) Komponen proses sistem kearsipan Statis adalah : Akuisisi arsip, Pengolahan, perawatan dan pelestarian, Pemanfaatan.
3) Komponen kontrol adalah : pengendali dalam pengelolaan arsip agar pengelolaan arsip mengikuti ilmu, kaidah standar, aturan hukum kearsipan termasuk komponen ini adalah: Pengetahuan / ilmu kearsipan (archival science), Peraturan perundang-undanganan (Juridical system), Tugas dan fungsi organisasi (Creator’s mandate and functions), standard nasional dan internasional (National and International standards ),
4) Komponen Sarana: merupakan faktor pendukung kelengkapan pengelolaan arsip, tanpa faktor ini maka pengelolaan arsip tidak bisa dilaksanakan, komponen ini mencakup: Tempat penyimpanan arsip, Software dan hardware,
termasuk rak arsip, boks arsip, sumberdaya manusia. 5) Komponen Output adalah: keluaran atau hasil dari suatu Proses , yang dalam hal ini adalah system kearsipan dinamis dan system kearsipan statis. Output dari Sistem Kearsipan adalah: Accountability, dan terbentuknya Memory Collective.
Accountability Mempersyaratkan arsip yang authenticity, reliability, integrity, useability (ISO 15489) Otentisitas (authenticity): Arsip yang otentik adalah arsip yang dapat dibuktikan maksud sebenarnya yang tertulis, diciptakan dan dikirim oleh pihak yang ditetapkan untuk mencipta dan mengirimkan, diciptakan dan dikirim pada waktu yang ditetapkan. Untuk menjamin keaslian arsip organisasi harus menetapkan kebijakan dan prosedur yang mengatur
(30)
penciptaan, penerimaan, pengiriman, pemeliharaan, penyusutan arsip untuk mengontrol bahwa penciptanya teridentifikasi dan memiliki kewenangan sehingga arsip terlindung dari penambahan, penghapusan, pengubahan, penggunaan dan penggelapan yang tidak sah.
Handal (reliable): Arsip yang handal adalah arsip yang isinya dapat dipercaya sebagai representasi akurat, kegiatan atau fakta yang daripadanya dapat dibuktikan dan disandarkan
seluruh transaksi dan kegiatan yang berjalan. Keutuhan
(integrity): Keutuhan arsip mengacu kepada kelengkapan dan ketiadaan perubahan. Arsip perlu dilindungi dari perubahan oleh pihak yang tidak berhak.
Kebergunaan (useability) arsip yang berguna adalah arsip yang dapat diketahui tempatnya, ditemukan kembali, disajikan, dan diartikan. Arsip harus bisa disajikan secara berurutan dan langsung berhubungan dengan kegiatan kerja atau transaksi yang menghasilkannya. Hubungan kontekstual dari arsip harus mengandung informasi yang diperlukan guna memahami proses transaksi yang menghasilkan.
Memori kolektif, istilah ini dikenalkan oleh Maurice Halbwachs tahun 1925. Collective memory diturunkan dari teori sosiologi Emile Durkheim tentang collective conciousness
(kesadaran kolektif ) yang terbentuk melalui kekuatan kehendak sekumpulan orang ketika berkumpul. Jadi memori kolektif dapat terjadi dengan menghubungkan keberlangsungan proses mengingat dengan dorongan yang kuat suatu kelompok.
(Hisyam, Makalah Lokakarya Memory of The World, 14-15
Sept 2006, ANRI). Agar peristiwa, fenomena kolektif tidak terdistorsi, terlupakan, maka peran arsip sebagai memori kolektif sangat diperlukan. Ingatan diharapkan dapat merepresantasikan sesuai dengan apa yang pernah terjadi, sesuai konteks. Ambisi ingatan untuk bisa sedekat mungkin
(31)
dengan kebenaran ditolong oleh arsip. Arsip memperpanjang kehadiran kesaksian, kesaksian merupakan pernyataan bahwa sesuatu telah terjadi (Haryatmoko, 2003 : 174).
Untuk memenuhi kondisi ideal memori kolektif seperti diatas dituntut adanya Penyelamatan Arsip Statis dan Penyediaan akses (accessibility) arsip statis. Inilah yang menjadi tujuan dari Sistem Kearsipan Statis.
(32)
b. Bagaimana Teori Sistem Kearsipan dapat disebut sebagai Teori
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum yang berfungsi memberikan kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi, Prinsip yang berfungsi sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi; Postulat yaitu: asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya; Asumsi adalah pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji (Jujun, 1987 : 147-157).
Hukum yang terdapat dari teori ini bukan hukum dalam pengertian Peraturan seperti UU No 43 tahun 2009, UU No 8 tahun 1997), tetapi merupakan terminologi yang terkait dengan teori ilmu tertentu, seperti Hukum teori ekonomi mikro mengenal hukum permintaan dan penawaran. Jadi hukum disini adalah Peramalan apa yang akan terjadi. Dari teori sistem kearsipan diatas terlihat adanya dua Output dalam Teori Sistem kearsipan: terciptanya accountability dan memori kolektif. Dalam teori sistem kearsipan dinamis terdapat output authenticity, reliability, integrity dan useability.
Sedangkan Prinsip yang berlaku terlihat dari Sisi Input yaitu : arsip yang dibuat dan diterima, dan Organisasi penciptanya. Ini
merefleksikan prinsip dalam Kearsipan yaitu: Original Order dan
Provenance.
Postulat yang terdapat dari teori ini adalah bahwa pengelolaan arsip yang baik akan terjadi jika Sumberdaya, sarana prasarana, mendukung. Adanya kebijakan, standar baik nasional maupun internasional, Sistem Perundangan Kearsipan sebagai pengontrol/ pengendali . Asumsi yang terdapat dalam teori sistem kearsipan ini adalah postulat diatas harus teruji secara empiris, nyata dalam praktik. Asumsi bahwa SDM akan mendukung pengelolaan arsip harus diuji, sehingga akan memunculkan pertanyaan SDM yang bagaimana yang akan mendukung praktek pengelolaan arsip.
(33)
praktek pengelolaan arsip harus diuji : standar yang bagaimana, perlukah elaborasi dalam artian kontekstualisasi standar .
5. Aksiologi Kearsipan
Aksiologi diartikan sebagai kemanfaatan ilmu. Bagaimana ilmu kearsipan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari manusia. Salah satu contoh bagaimana aksiologi dalam kearsipan adalah ISO 15489 tentang
Records Management. Standar ini memberikan panduan bagaimana pengelolaan arsip dinamis (records management) distandardisasi. Disamping itu beberapa informasi berikut menunjukkan kemanfaatan kearsipan
a. Perusahaan Produksi dan Eksplorasi Minyak dan Gas
Memerlukan tenaga yang berkemampuan di bidang Records
Supervisor yang menuntut calon yang memiliki keahlian di bidang Records center, filing.
(34)
b. Perusahaan Minyak Multinasional
Memerlukan tenaga yang mempunyai kompetensibidang Records analyst yang menuntut keahlian dibidang: indexing, classification, disposal , Business Records Management.
(35)
Aksiologi ilmu kearsipan terlihat juga dalam bisnis bidang layanan pengelolaan dokumen perusahaan seperti : jasa-jasa commercial records center, records management services, storage services. Dalam bisnis kearsipan tersebut dituntut untuk mengikuti kaidah-kaidah ilmu kearsipan, tanpa mengikuti kaidah itu, maka bisnis kearsipan hanya berdasarkan naluri saja dan akan adanya kecenderungan pengelolaan kearsipan hanya berdasarkan common sense belaka.
G. P e n u t u p
Kearsipan sebagai ilmu memprasayaratkan bahwa kearsipan dapat diungkap melalui tiga hal : ontologi, epistemologi, aksiologi. Ontologi menunjukkan obyek kajian kearsipan, epistemologi menunjukkan cara memperoleh pengetahuan, dan Aksiologi menunjukkan kemanfaatan kearsipan bagi kehidupan manusia.
Mengkaji kearsipan dari sisi empiris merupakan ciri khas kearsipan yang dimulai dari Praktek Kearsipan oleh Trio Arsiparis Belanda (Samuel Muller, Johan Feith, Robert Fruin) yang menghasilkan prinsip provenance dan original order, Munculnya konsep life cycle oleh Schelenberg, sampai dengan munculnya konsep Records Continuum. Dari sisi rasionalitas maka muncullah ide tentang Memori collective dan accountability.
Perkembangan ilmu kearsipan mau tidak mau harus didukung oleh pendekatan keilmuan lain (meminjam konsep keilmuan lain), hal ini terlihat dengan adanya konsep life cycle dari disiplin ilmu biologi, konsep system dari disiplin ilmu fisika, kemudian digunakan oleh disiplin ilmu biologi sampai akhirnya digunakan oleh ilmu sosial. Tanpa mau meminjam pendekatan keilmuan lain kearsipan akan terasa sulit untuk berkembang menjadi ilmu yang makin matang.
(36)
D AF TAR P US TAKA
Ali, Faried. Filsafat Administrasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
Cook, Terry. What is Past is Prologue: A History of Archival Ideas Since 1898, and the Future Paradigm Shift, Archivaria, the Journal of the Association of Canadian Archivist, 43 Spring 97.
Duranti, Luciana. The Concept of Appraisal and Archival Theory, American Archivist/Vol.57/ spring, 1994.
Ham, Gerald. Selecting and appraising Archives and Manuscripts, The Society of American Archivists Chicago, 1983.
Hardiman, Budi. Teori Sistem Niklas Luhmann, Jurnal Filsafat Driyarkara, Th. XXIX no:3/2008.
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, KOMPAS, 2003.
Hisyam, Ingatan Kolektif, Dokumen dan Sejarah, Makalah Lokakarya Memory of The World, 14-15 Sept 2006, ANRI.
Kerlinger, Fred N. Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004.
Kennedy, Jay., and Cherryl Schauder. Records Management: a Guide to Corporate Record Keeping. Australia: Longman, 1998.
Kristiyanto,Eddy OFM. Sejarah Sebagai Locus Philosopicus Et Teologicus, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2008. Lohanda, Mona. Makalah Penelitian dalam Kearsipan, ANRI, 16 Juni 2001. Makmur. Filsafat Administrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Mc Kemmish, Sue. Yesterday, Today and Tomorrow: A Continuum of Responsibility, RMAA Perth 1997.
(37)
Prabowo, Banu. Manajemen Dokumen Perusahaan, Kumpulan Makalah , 2005. Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan LAN. Teknik Penyusunan Organisasi
Berkinerja Tinggi, Jakarta: LAN RI, 2004.
Ravertz, Jerome R. Filsafat Ilmu,Sejarah dan Ruang Lingkup Pembahasan, terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009.
Rewansyah, Asmawi.Reformasi Birokrasi dalam rangka Good Governance, Bogor, CV Yusaintanas Prima, 2010.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES,1984.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-6962.1-2003 Dokumentasi dan Informasi-Manajemen Rekaman. Bagian 1: Umum.
Suriasumantri, Yuyun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Suseno, Nuri. Makalah Multikulturalisme dalam Teori Pol Kontemporer, Bahan Kuliah UI , 2004.
Sutarto. Dasar-Dasar Organisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.
Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi, Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Tim Redaksi Driyarkara. Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993
The International Organization for Standardization (ISO) 15489-1 Information and Documentation-Records Management- Part 1: General.
The International Organization for Standardization (ISO) 15489-Information and Documentation-Records Management- Part 2: Guidelines.
Verhaak,Christ. ”Francis Bacon: Perintis Filsafat Ilmu Pengetahuan, ”Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, ed. Tim Redaksi Driyarkara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Walne, Peter. Dictionary of Archival Terminology, ICA, 1988.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
(38)
Abstract :
Archival study is like learning how to walk in the middle of pointed bridge on its both front and back sides. Turning to its back side, reaching its edge in order to manage, unite and represent the records of human footsteps. Staring straight to its front side, gaing forms and directions of basic needs for human in the future. Archives do not only record past time actions and facts but also serve functional sources to be used by next generations.Archives, as archives activator, ought to resemble themselves like Janus, god from Greek mythology, who has two faces, namely backside (past time) and frontage (future).
One of Archival characteristics as scince was marked by the emergence of archives management principles, namely respect des fonds, which first appeared in 1841. Later, it was also known as provenance, specifically, a nation of keeping archives to be bond stably to its creators’ context. Then, the second principle was discovered, that is, original order. It is an arrangement principle which is conditioned in order that archives grouped based on its institutuions/creators’ unit. By using the principle, archives have to be organized harmoniously according to the systems and rules used by their creators. Those two principles are implemented to nmaintain archival characters : authenticity, reliability, integrity, and accessibility; therefore, archives are able to be functioned as evidence or proofs of something or event. After World War II, archival problems emerged since archives had been outnumbered in a short time. In modern development, archives are not in physical forms, but they are
MEMAHAMI ARSI P DARI SUDUT FI LSAFAT I LMU:
Ka jia n Aw a l Te n t a n g I lm u Ke a r s ip a n
(39)
1
Luciana Duranti, tanpa tahun, “The Power of Archives”dalam, Inter PARES 2 Project
now in electronic forms. Thus, it imposes paradigm transformation in continuum in order to “replace” life cycle of archives. At glance, theories and methodologies of archival development have shown results that archival field is now exploring its form in struggling as a science which has equal position with other sciences.
Keyword : archival, archival science, archives management, archival philosophy, postivivism, postmodernism, ontology, epistemology, axiology, provenance, original order, authenticity, reliability, integrity, accessiblity, life cycle of archives, continuum.
A. La t a r Be la k a n g
Berbagai tulisan tentang arsip pada umumnya membicarakan mengenai bagaimana arsip itu dikelola atau manajemen arsip. Pembahasan arsip dari sudut teori sangatlah jarang, apalagi pembahasan arsip dari sudut ilmu (archival science) dan filsafat (archival philosophy). Kalaupun terdapat tulisan-tulisan tentang falsafah dan ilmu kearsipan, pada akhirnya lebih banyak menyoroti tentang bagaimana mengelola arsip (archival manajemen). Asumsi ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa berbagai peraturan, pedoman, dan standar kearsipan hanya berisi hal-hal yang menyangkut bagaimana mengelola arsip, bukan mengapa arsip harus dikelola.1 Rupanya hal ini dianggap menjadi salah satu sebab mengapa ilmu kearsipan termarjinalkan dibanding dengan ilmu-ilmu lain.
Banyak di antara kita yang belum dapat membedakan pembahasan arsip sebagai manajemen dan arsip sebagai ilmu. Apakah gambaran yang demikian ini merupakan petunjuk bahwa kearsipan masih belum diakui sebagai ilmu yang mandiri? Atau karena dianggap sebagai ilmu praktis (practical science), sehingga kearsipan tidak terlalu membutuhkan landasan filosofis?
(40)
Minat filosofi terhadap hakikat pemahaman secara ilmu pada umumnya muncul karena sebagai proses umum dan kecenderungan yang memandang ilmu-ilmu alam sebagai hal yang mewakili pola teladan dari semua pengetahuan yang benar. Menganalogikan ungkapan “filsafat sejarah” yang diungkapkan Patrick Gardiner, maka pembahasan tentang “filsafat kearsipan” dapat digunakan untuk menunjukan usaha dalam memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses kearsipan. Secara khas, filsafat kearsipan berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan: apa arti, makna, dan tujuan kearsipan atau hukum-hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam kearsipan.2
Di antara tokoh kearsipan kontemporer yang banyak menyinggung kearsipan pada tataran teoritis adalah Luciana Duranti yang mewakili aliran positivisme atau modernisme yang berkembang di Amerika Utara dan Australia. Tokoh lain adalah Erik Ketelaar dan Oldo Bucci yang mewakili aliran pasca modernis yang berkembang di daratan Eropa.3 Pokok persoalan yang dibahas dalam filsafat kearsipan adalah hakikat kearsipan yang dipandang sebagai suatu disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang khusus, yang berurusan dengan tujuan penyelidikan-penyelidikan kearsipan, cara-cara arsiparis mengaktualisasikan dan merepresentasikan arsip sebagai informasi, cara mereka menyampaikan dan menyokong penjelasan-penjelasan dan hipotesa-hipotesa, anggapan -anggapan dan prinsip-prinsip yang menggarisbawahi tata cara kegiatan kearsipan dan hubungan-hubungan antara ilmu kearsipan dengan bentuk-bentuk penyelidikan lain. Pertanyaan-pertanyaan yang dikaji dan menjadi bahan renungan, pemikiran, dan penalaran yang akan mendalam adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat epistemologi dan konseptual.
2Petrick Gradiner, 1985, “Filsafat Sejarah”, dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi, Arah dan Perspektif, diredaksi oleh Taufik Abdullah dan Abdurachman Suryomihardjo, Jakarta: Gramedia, hlm, 125-126. 3Noerhadi Magetsari, 2008, “Organisasi dan Layanan Kearsipan ” Jurnal Kearsipan , Vol.3, ANRI, hlm 1-17.
(41)
Pengkajian yang mendalami kearsipan dari sudut falsafah akan memberi dukungan fundamental yang kuat bagi berkembangnya kearsipan dalam ranah tradisi keilmuan, sehingga mampu sejajar dengan cabang ilmu lainnya.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas pengkajian kecil ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan apa hakekat dari arsip, fungsi dan tujuan kearsipan, teori dan metodologi serta hubungan ilmu kearsipan dengan ilmu-ilmu lain.
Hasil pengkajian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk memberi gambaran umum tentang berarsipan sebagai ilmu pengetahuan yang mandiri.
B. Ke r a n g k a Te o r i
Wacana yang dibangun dalam tulisan ini didasarkan pada tiga konsep pokok di bidang kearsipan, yaitu konsep arsip, kearsipan, dan ilmu kearsipan. Konsep arsip dalam Undang-Undang nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan secara ekplisit dinyatakan sebagai rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.4
Konsep kearsipan dalam undang-undang tersebut dinyatakan sebagai hal ihwal tentang arsip. Istilah hal ihwal arsip memiliki pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah arsip. Konsep tentang arsip dan kearsipan yang termaktub dalam undang-undang tersebut merupakan konsep umum yang dalam implementasinya dapat memiliki variasi dan perbedaan yang ditentukan oleh konteksnya.
(42)
Konsep tentang ilmu kearsipan menurut Luciana Duranti adalah : the body of knowledge about nature and characteristics of archives and archival work systematically organized into theory, methodology, and practice”.5 Penekanannya pada teori dan metodologi yang mendasari
hal-hal yang bersifat praktis, nampaknya berbeda dengan Ketelaar dan Bucci yang menganggap bahwa teori dan metodologi kearsipan harus berpegang pada prinsip bahwa arsip merupakan sesuatu yang menggambarkan dinamika sosial.6 Duranti menyatakan dirinya menganut
aliran positivisme. Kearsipan agar dapat diperlakukan sebagai ilmu haruslah menerapkan metode yang bersifat universal, yaitu metode
science. Dalam implementasinya Duranti membedakan archival science
dan diplomatic science. Archival science berkenaan dengan pengetahuan yang sistematis tentang series dan fonds yang dikaitkan dengan perekaman sejarah administrasi dan sejarah legalitasnya, sedangkan diplomatic science merupakan pengetahuan yang sistematis tentang hakikat dan karakteristik dari setiap arsip. Hubungan antara keduanya menunjukan suatu pola dasar bahwa ilmu kearsipan merupakan jembatan yang digunakan untuk menerapkan teori kearsipan yang bersandar pada hakikat
dan karakter arsip sebagai rekaman sejarah dan legalitasnya.7
C. Me t o d o lo g i P e n e lit ia n
Tulisan ini lebih tepat barangkali disebut sebagai hasil analisis dari fakta-fakta pikiran yang telah dipetakan dalam berbagai pustaka. Peta fakta-fakta pikiran yang ditemukan dalam berbagai pustaka, tentu tidak dapat mewakili keseluruhan kebenaran akan kondisi dan tingkat kedalaman pemahaman mengenai arsip sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu jika hal ini dapat disebut sebagai metode penelitian, maka yang dipakai dalam membangun wacana dalam tulisan ini adalah metode pustaka dengan pendekatan analisis deskriptif untuk menggambarkan sifat atau
5 Luciana Duranti, 1989, “Diplomatics: New Uses for an Old Science (Part One)”, dalam Archivaria 28, hlm. 8-11.
6 Noerhadi Magetsari, op.cit. 7 Luciana Duranti, op.cit.
(43)
suatu keadaan yang sementara sedang berjalan ketika penelitian sedang dilakukan didasarkan oleh suatu ketentuan, standar, aturan, norma, pendapat, perspektif, dan pandangan para ahli yang disajikan dalam berbagai pustaka. Dalam melaksanakan analisis deskriptif disertai dengan komparasi dan analogi antar disiplin ilmu sehingga diharapkan dapat diketahui kedudukan dan posisi ilmu kearsipan.
D. P e m b a h a s a n
1. Hakekat ArsipHakekat arsip berhubungan dengan konsep dan pengertian arsip itu sendiri. Pengertian arsip dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan memuat empat unsur yang harus ada, yaitu: benda, aktivitas, pelaku, dan konteks. Unsur pertama adalah benda dalam ujud fisik yang berupa rekaman kegiatan atau peristiwa baik dalam media kertas, film/video, kaset rekaman suara, media simpan elektronik, dan berbagai macam variasi dan karakteristiknya. Selain benda dalam ujud fisik adalah benda dalam wujud informasi. Benda dalam wujud informasi berada dalam tataran ide dan hasil olah pikir yang dituangkan dalam benda fisiknya. Unsur kedua adalah aktivitas membuat dan menerima rekaman sebagai bentuk komunikasi atau hubungan antara pihak yang satu dengan lainnya.
Disamping itu juga termasuk aktivitas mengklasifikasikan, menyimpan, memelihara, menyusutkan, melestarikan, memberi pelayanan kepada pengguna arsip dan aktivitas lainnya.
Unsur ketiga adalah pelaku kegiatan baik organisasi atau individu. Unsur keempat adalah konteks dimana para pelaku melaksanakan aktivitasnya yaitu hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketiadaan salah satu unsur tersebut mengakibatkan tidak adanya arsip. Pandangan kearsipan secara tradisional menganggap arsip sebagai benda fisik yang memuat informasi tentang masa lalu. Kebenaran arsip tidak dapat dilepaskan dari kebenaran fisik yang menjadi media rekamnya.
(44)
Fungsionalitas arsip sebagai bukti atau eviden yang dipertautkan dengan pelaku atau pencipta arsip dan konteksnya belum dieksplorasi secara mendalam. Autentisitas dan reliabilitasnya lebih banyak dipertautkan dengan informasi yang melekat pada benda fisiknya dengan sedikit mengkaitkan kepada aktivitas apa yang menghasilkan arsip. Membawa pandangan itu ke zaman sekarang, kita akan menghadapi kumpulan arsip yang ditayangkan dalam layar komputer yang mungkin memiliki 2000 (dua ribu) versi perubahan tiap tahun, tiap versi memiliki nilai informasi internal yang berbeda. Sebuah arsip/dokumen adalah salah satu dari 2000 (dua ribu) pandangan, yang mungkin akan mengurangi makna dari eviden/bukti tentang suatu fungsi atau aktivitas, hubungan sistem dengan unit organisasi dan fungsi mereka, rasionalisasi di belakang penciptaan sistem sebagai sebuah kesatuan dan fungsi khusus, karakter dan tujuan atribut data, dasar dan alasan aliran data atau migrasi ke sistem lain, karakteristik bukti/ eviden dan jaringan software, serta pertanyaan siapa yang menggunakan data, kapan dan mengapa, tidak pernah akan terjawab.
Pada akhir abad 20 terjadi revolusi yang sangat besar di bidang kearsipan karena penggunaan komputer untuk pelaksanaan komunikasi dan administrasi di berbagai kantor dan masyarakat. Arsip tidak lagi dipandang sebagai bentuk fisik atau sebagai artefak, namun lebih mengarah pada apa yang ada dibalik benda fisik tersebut. Perubahan lingkungan yang ekstrim mempengaruhi paradigma kita terhadap arsip. Aktualisasi terhadap seluruh konsep yang telah berkembang perlu dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam tentang hakikat arsip. Kebenaran arsip yang semula bertumpu pada bentuk fisik mengalami falsifikasi ala Popper Karl R. Popper,8 bahwa, kebenaran arsip bertumpu pada informasi dan konteksnya. Bahkan dalam definisi praktis yang terbaru arsip merupakan rekaman
8 Karl R. Popper, 2002, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terjemahan oleh Uzair Fauzan, Jakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 509-523.
(45)
informasi yang memiliki unsur-unsur isi, konteks, dan struktur yang berfungsi sebagai eviden.9
Arsip harus memiliki isi, yaitu informasi yang dikandung di dalam arsip. Informasi itu harus berada di dalam konteksnya baik konteks tempat, waktu, dan pelakunya yang mencerminkan sistem administrasi, sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain-lain. Arsip juga harus memiliki struktur, berupa simbol struktur huruf, angka, gambar, tanda, petunjuk, suara, bahasa, dan lain-lain baik dalam bentuk fisik maupun virtual.
2. Fungsi dan Tujuan
Tinjauan tentang fungsi dan tujuan kearsipan tidak dapat dilepaskan dari siapa yang menggunakan dan membutuhkan arsip. Dalam tataran idealogi, para penggiat arsip harus berpegang pada aspek masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang secara bersama-sama, yang ketiganya melekat pada fungsi dan tujuan kearsipan itu sendiri. Penggiat arsip harus dapat mentransformasikan arsip yang merekam informasi tentang masa lalu untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang, sehingga terjadi transfer informasi berkelanjutan dari generasi ke generasi. Ia merupakan perantara pesan antara generasi masa lalu, masa kini dan masa depan.
Dalam perspektif penggunaannya arsip memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: sebagai bukti, sebagai memori kolektif, dan sebagai pembentuk hak dan kewajiban. Fungsi pertama, arsip sebagai bukti atau bukti tentang segala sesuatu yang direkam baik benda atau peristiwa. Segala sesuatu yang pernah dilakukan manusia meninggalkan jejak. Jejak-jejak itu terekam dalam berbagai media atau bentuk, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, baik yang tetap maupun yang berubah. Salah satu jejak itu adalah arsip. Dengan demikian, arsip dapat membuktikan tentang sesuatu atau peristiwa yang pernah terjadi. Berkaitan dengan fungsinya sebagai bukti, penggunaan arsip dapat dilakukan oleh penciptanya sendiri
(46)
untuk menyelesaikan pekerjaannya, untuk membuktikan sesuatu kepada pihak lain atau pengadilan jika terjadi persengketaan, dan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat langsung (current).
Fungsi yang kedua adalah arsip sebagai memori kolektif. Kumpulan arsip dari individu-individu atau organisasi di dalam suatu komunitas merupakan memori bersama dari komunitas tersebut. Ide tentang arsip sebagai memori kolektif kadang-kadang diartikan sebagai sebuah metapora untuk mendiskusikan aturan sosial dan budaya. Ide ini sesungguhnya lebih dari sekedar metafora, jika didukung oleh teori yang memandang bahwa kumpulan dokumen/arsip memiliki makna tempat dan waktu yang meluas pada tingkatan komunikasi manusia. Para antropolog, sosiolog, linguis, dan ilmuwan lainnya mengatakan bahwa material berupa benda, artefak, dan dokumen memainkan peranan khusus dalam komunikasi manusia.10 Arsip dan sumber-sumber komunikasi yang lain seperti sumber lisan dan tradisi ritual membantu transfer informasi dari generasi ke generasi. Sebuah pertanyaan tentang mengapa kita perlu mengelola arsip adalah pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi arsip sebagai memori kolektif. Pertanyaan ini tentunya harus ditempatkan dalam fondasi teori.
Memori kolektif memiliki pengertian ganda, pertama dalam konteks sosiologi dan psikologi, memori kolektif mengacu kepercayaan dan ide yang membantu masyarakat untuk bersama-sama menciptakan semangat solidaritas dan komunikasi sosial. Sedangkan yang kedua, memiliki pengertian banyak kegiatan individual dan organisasional yang dikumpulkan dan dikelola sebagai rekaman masa lalu, untuk kepentingan masa kini dan mendatang.11
10 Kennet E. Foote, 2003, “To Remember and Forget: Archives, Memory, and Culture,” dalam Randall C. Jimerson, 2003, American Archival Studies, Reading in Theory and Practice, (editor), The Society of American Archivists, Chicago, hlm. 29-30.
(47)
Fungsi yang ketiga, arsip dapat digunakan untuk membentuk hak, kewajiban, dan kekebalan antara warga negara dan pemerintahnya12. Fungsi ini menyangkut hakekat arsip yang tercipta karena adanya transaksi antara beberapa pihak. Ketika sebuah perjanjian ditetapkan atau akta ditandatangani, ijazah, surat keputusan, peraturan dan arsip-arsip lain yang sejenis diciptakan, sesungguhnya dibalik itu lahir sebuah pengakuan yang berkekuatan hukum, bahwa individu yang disebut di dalamnya memiliki hak dan kewajiban, bahkan kekebalan sesuai aturan hukum yang berlaku. Terbitnya sertifikat tanah adalah pengakuan hukum akan hak dan status kepemilikan tanah, yang memberikan kekebalan kepada pemiliknya untuk berbuat sesuatu atas hak yang sudah dikuasainya tersebut.
Sekilas tentang uraian fungsi arsip di atas, sebenarnya telah memberikan petunjuk bagi kita untuk mengetahui apa tujuan kearsipan itu. Dalam lingkup negara, kearsipan memiliki tujuan untuk menyelamatkan bahan bukti pertanggungjawaban nasional bagi kegiatan pemerintahan dan kenegaraan.13
Tujuan ini menitikberatkan pada dua hal pokok, yaitu keselamatan bahan bukti atau arsip yang diasumsikan akan mengalami kerusakan atau pada suatu saat hilang dan kemudian fungsi arsip sebagai kegiatan pemerintahan dan kenegaraan. Keselamatan arsip menunjuk pada objek yang harus dilestarikan sepanjang jangka simpannya dan tetap terjaga keaslian serta reliabilitasnya. Sedangkan fungsi arsip menunjuk pada tiga kegunaan pokok dari arsip di atas.
12 T.R. Schellenberg, 1980, Modern Archives, Principles and Techniques, terjemahan Ismail Marahimin, 13 Arsip dipandang sebagai bahan bukti pertanggungjawaban nasional yang menyangkut fungsi arsip sebagai eviden sekaligus memori kolektif nasional yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik masa kini dan mendatang. Bahan bukti tersebut digunakan oleh pemerintah dan negara dalam memberikan pelayanan kepada publik masa kini dan mendatang. Bahan bukti tersebut digunakan oleh pemerintah dan negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat atau melindungi kepentingan rakyat, hal ini berkaitan dengan fungsi arsip sebagai pembentuk hak dan kewajiban. Arsip Nasional RI, Jakarta, hlm. 148-151.
(48)
3. Kearsipan Sebagai Ilmu
Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun yang selama ini terbatas pada obyek empiris, dan pengetahuan itu diperoleh dengan menggunakan metode keilmuan adalah sah untuk disebut sebagai keilmuan. Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan menjunjung tinggi kebenaran di atas segala-galanya.14
Sekalipun Francis Bacon mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, namun ilmu sesungguhnya bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik dan buruk, si pemiliki, pengetahuanlah yang memiliki sifat baik dan buruk. Netralitas ilmu terletak pada dasar epistemologinya : jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih, tanpa berpihak kepada siapapun juga kecuali kepada kebenaran.15
Berbagai pengujian kembali terhadap teori kearsipan dimulai pada premise bahwa dibelakang fisik arsip adalah “sangat tetap dan dalam” adalah sebuah simbolisasi. Di belakang arsip yang aktual adalah ‘fungsi atau aktivitas’ yang membimbing ke arah penciptaan arsip. Pandangan itu diambil dari seri artikel Hugh Taylor’s yang terbaru, yang memulai dengan perubahan dari arsip secara aktual menuju konsepsi konteks ketika diciptakan, dari artefak fisik ke dalam tujuan intelektual yang ada dibaliknya, dari benda ke pikiran.16
Arsip merupakan rekaman informasi yang memiliki konteks, isi, dan struktur. Rekaman informasi (recorded information) merupakan informasi tentang organisasi atau individu, yang untuk selanjutnya diolah dan disajikan sebagai archives informatics. Dalam konteks ini inti permasalahannya berkisar pada informasi apa yang harus direkam dan apa yang tidak perlu direkam. Jadi masalahnya bukan bagaimana cara merekam informasi, karena masalah ini bukan merupakan fungsi
14 Jujun S. Suriasumantri, 2009, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat, Jakarta : Ilmu, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 9.
15 Ibid., hlm. 10
16Terry Cook, 1992, “Mind Over Matter: Towards a New Theory of Achival Appraisal”, dalam Barbara L.
Craig (ed.), The Archival Imagination, essay in honour of Hugh Taylor, hlm. 38 – 70
(49)
manajemen, tetapi masalah yang berkaitan dengan kebenaran, yaitu apakah informasi yang dibuat itu benar, dan benar-benar merepresentasikan organisasi atau individu yang direkam. Dengan demikian, ilmu kearsipan memerlukan teori kebenaran dan teori representasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
Teori kebenaran diperlukan untuk menentukan sahih tidaknya sebuah pengetahuan, yang dalam konteks ini benar tidaknya arsip yang direkam dan diselamatkan. Beberapa teori kebenaran yang kita kenal seperti koherensi/konsitensi, korespondensi, pragmatis, dan korelasi sekiranya dapat dipakai untuk melakukan pengujian terhadap kebenaran di bidang kearsipan.17
Di samping teori kebenaran tersebut, terdapat pula teori representasi yang biasanya digunakan dalam ilmu arkeologi dapat digunakan untuk memberi landasan kebenaran tentang pelaksanaan kegiatan kearsipan.18
Teori koherensi atau konsistensi jika diterapkan dalam arsip berhubungan dengan struktur, isi dan konteks arsip yang harus menyatu. Ketiganya harus bersama-sama ada, bertautan secara konsisten dan logis. Jika seseorang menerima pesan lisan belum cukup disebut sebagai arsip, sekalipun didalamnya sudah memuat isi dan konteks. Di pihak lain jika kita memegang kertas dengan logo garuda atau memegang foto dengan obyek yang tidak kita pahami, juga belum tentu disebut sebagai arsip, sekalipun ia memiliki struktur dan konteks. Contoh lain, jika kita menerima SMS yang salah alamat, yang berarti tidak memiliki kaitan apapun atau diperkirakan tidak akan ada kaitan dengan kita, maka SMS itu pun tidak akan menjadi arsip kita, karena bagi kita tidak bermakna. Teori yang kedua adalah teori korespondensi yang menganggap bahwa sesuatu dianggap benar bila bisa ditunjukan bukti-bukti yang mendukungnya atau dengan cara mencocokan dengan fakta lain.
17 Mulyono, 2008, Pengantar Filsafat Sistematik, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang. Hlm.
35-36.
(1)
pola baru ini dilatarbelakangi oleh terus bertambahnya arsip dalam bentuk kertas yang memerlukan tempat untuk menyimpannya dengan tetap menitikberatkan kepada tiga tahapan daur hidup arsip, mulai dari tahap penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan serta penyusutan arsip, sesuai teori Michael Rooper.
Sistem Kearsipan Pola Baru yang dikeluarkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) merupakan kebijakan kearsipan yang disusun bersama-sama antara ANRI dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Kebijakan kearsipan ini mengutamakan perlunya instrumen pendukung dalam pengelolaan arsip dinamis, yaitu Sistem Kartu Kendali (pada tahap creation), Klasifikasi (tahap use and maintenance) dan Jadwal Retensi Arsip (tahap disposal).
Dalam kurun waktu 10-15 tahun pertama, Sistem Kearsipan Pola Baru coba diterapkan diseluruh instansi pemerintah baik pusat dan daerah, terutama penggunaan perangkat 3 (tiga) instrumen pendukung. Pada tahun-tahun awal, sosialisasi mengenai penggunaan instrumen pendukung lebih menitikberatkan kepada instrumen kartu kendali. Hal ini dapat dilihat dari hampir seluruh instansi pemerintah pusat menggunakan kartu kendali dalam pengendalian suratnya. Sementara, penggunaan kartu kendali di pemerintah daerah didukung oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 Tahun 1979 tentang Tata Kearsipan Departemen Dalam Negeri. Namun seiring dengan perjalanan waktu penggunaan kartu kendali pada akhirnya berhenti di Unit Kearsipan dan tidak berlanjut ke Unit Pengolah.
Begitu gencarnya sosialisasi penggunaan formulir kartu kendali atau dikenal dengan ‘Sistem Kartu Kendali’ ketika itu menyebabkan kebijakan Sistem Kearsipan Pola Baru identik dengan Sistem Kartu Kendali. Sedangkan instrumen lain, yaitu Klasifikasi dan Jadwal Retensi Arsip belum banyak yang mengenal sebagai bagian instrumen dari Sistem Kearsipan Pola Baru. Jika instrumen kartu kendali diterapkan pada tahap penciptaan, maka berikutnya pada tahap penggunaan dan pemeliharaan dikenalkan instrumen pendukungnya yaitu Klasifikasi dan Jadwal
(2)
retensi Arsip. Kedua sarana ini muara akhirnya bertujuan untuk mendayagunakan arsip untuk kepentingan pencipta arsip maupun menyelamatkan arsip-arsip yang memiliki nilai untuk kepentingan nasional.
Sejalan dengan perkembangan kearsipan, konsep Life Cycle of Records yang mengilhami Sistem Pola Baru Kearsipan mulai ditinggalkan, utamanya pemakaian instrumen kartu kendali. Tidak digunakannya sistem kartu kendali berimbas kepada kebijakan Sistem Kearsipan Pola Baru yang mulai sirna sebagai suatu kebijakan kearsipan nasional. Terlebih, Sistem Kearsipan Pola Baru pada saat itu kurang didukung oleh legalitas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan. Namun demikian secara prinsip, beberapa instrumen dalam Sistem Kearsipan Pola Baru masih digunakan, yaitu Klasifikasi dan Jadwal Retensi Arsip. Bahkan, Jadwal Retensi Arsip merupakan instrument wajib yang harus dimiliki oleh lembaga Negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri, serta BUMN dan BUMD ketika akan melakukan penyusutan arsip (Pasal 48 Ayat 1 Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan). Dalam Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan ini dukungan terhadap suatu kebijakan kearsipan nasional sudah tercantum secara rinci meliputi pengelolaan arsip dinamis dan pengelolaan arsip statis. Di Indonesia, kini kebijakan kearsipan nasional sudah memperoleh legalitas formal (Pasal 7 Undang-Undang RI Nomor 43 tahun 2009), salah satunya pembangunan Sistem Kearsipan Nasional (SKN). Adanya SKN yang mulai dicanangkan sejak tahun 2004 sebagai sistem pengendalian arsip dinamis dan arsip statis yang terintegrasi sejak awal penciptaan diharapkan menjadi format baku di dalam menyelenggarakan kearsipan nasional yang merujuk kepada pendekatan records continuum model. Aplikasi SKN nantinya lebih mendayagunakan ketentuan fungsional sistem, baik itu records system dan archival preservation system, yaitu sistem informasi kearsipan dinamis (SIKD) dan sistem informasi kearsipan statis (SIKS) dengan mengedepankan fungsional
(3)
ISO 15489-Information and Documentation-Records Management. Baik konsep life cycle of records dan konsep dasar records continuum menuntut adanya integrasi didalam mengelola arsip dinamis dan arsip statis, telah membuka peran Arsiparis untuk bersama-bersama bertanggungjawab (responsibility) terhadap arsip yang tercipta dan perlu dipadukan dalam kerangka kerja pengelolaan arsip dinamis sehingga mampu menjamin keandalan, keotentikan serta kelengkapan arsip, termasuk tersedianya informasi yang dapat dan mudah diakses publik. Bila selama ini dalam konsep life cycle of records, pengelolaan arsip dinamis terbatas pada penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan serta penyusutan arsip yang menjadi tanggung jawab pencipta arsip maka ketika arsip statis pengelolaannya menjadi tanggungjawab lembaga kearsipan. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya rantai yang terputus dalam pengelolaan arsip antara pencipta arsip dan lembaga kearsipan. Maka adanya SKN yang menggunakan pendekatan records continuum diharapkan adanya tanggungjawab bersama (pencipta arsip dan lembaga kearsipan), terutama dalam preservasi arsipnya. Hal demikian membutuhkan dukungan dari Arsiparis selaku penanggungjawab pengelolaan arsip. Dengan demikian arsip sebagai sumber informasi, baik itu sebagai sumber informasi organisasi dan sumber informasi publik sudah dikelola sejak dini dan dilaksanakan secara berlanjut atau berkesinambungan.
Ranah pekerjaan yang luas bagi Arsiparis tersebut, harus diimbangi dengan kemampuan intelektual dan penguasaan teknis kearsipan, baik itu pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis, Meskipun profesi Arsiparis bertanggungjawab terhadap pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis, namun dalam praktiknya sebagian kecil saja yang mampu dan menguasai kedua ranah tersebut. Dan, ini menjadi tantangan karena situasi yang mengharuskan penguasaan terhadap pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis justru semakin menepiskan terciptanya Arsiparis yang memiliki keahlian khusus atau special. Contohnya, pada aspek teknis kearsipan, proses penilaian arsip (records appraisal) yang mengalami perubahan,
(4)
tidak lagi hanya terpaku kepada penentuan nilai guna primer dan sekunder ataupun terhadap fisik arsip, tetapi juga melihat tindakan preservasi fisik dan informasinya;
P ENUTUP
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa bergesernya paradigma, dengan perkembangan teknologi informasi menyebabkan perwujudan pertanggungjawaban pendayagunaan informasi tidak hanya kepada organisasi tetapi juga publik, dan itu sangat dipengaruhi oleh kepada kemampuan organisasi untuk mengelola informasi arsip yang diciptakan guna dimanfaatkan oleh user (baik organisasi dan publik). Adanya kecenderungan peningkatan pencarian dan pemanfaatan informasi dalam kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, kiranya menggiring kita untuk mencoba pendekatan records continuum model tanpa harus meninggalkan fungsi-fungsi dari konsep life cycle of records. Keberhasilan mengintegrasikan konsep life cycle of records dan records continuum diharapkan menghadirkan model sistem pengelolaan arsip di Indonesia yang mandiri dan bertumpu kepada kemampuan intelektual dan penguasaan teknis Arsiparis selaku pengelola arsip dinamis dan arsip statis. Apabila model ini berhasil, berarti penyelenggaraan kearsipan telah mendekati makna tujuan dari manajemen kearsipan secara keseluruhan, yaitu “preserving the past, preparing the future and protecting the present”. (George D. Darnell).
(5)
D AF TAR P US TAKA
Burhan, HM, Bungin, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008
Kennedy, Jay and Cherryl, Schauder, Records Management; A Guide to Corporate Recordkeeping (2nd ed),
South Melbourne, Australia, 1998
Boedi, Martono, Arsip Korespondensi; Penciptaan dan Pemeliharaan, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Ricks, Betty, R; Swafford, Ann, J; Gow, Kay, E, Information and Records Management: (3nd ed) Glencoe : Enciano, CA, 1992, Robek Mary, F (and) Gerald, F, Brown, Information and Records Management, Ohio-Glencoe, 1987
Sulistyo-Basuki, Manajemen Arsip Dinamis; Pengantar memahami dan mengelola informasi dan dokumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003
Bambang, Widodo, P, The Records Continuum Model; Pendekatan Manajemen Kearsipan Baru, Jakarta: Artikel Info Arsip Edisi ke-3/April, 2000
Wallace, Patricia, E, E, Records Management Integrated Information Systems, (Third Edition), New Jersey-USA: Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1992.
(6)
Walne, Peter (ed), Dictionary of Archival Terminologi, German, Italian, Russian and Spanish, Muenchen-Newyork-London Patis; English and French with Equivatent in Dutch, 1992. http : //arsiparis.blogspot.com, Life Cycle of Records versus Records
Continuum Model.
http//www.sims.monash.edu.au/rcrg/publications/recordscontinuum/ smckp2.html.