9. Moch. Khabib Shaleh baru edit

IDEOLOGI RASISME DALAM PIDATO GUBERNUR DKI
JAKARTA“BASUKI TJAHAYA PURNAMA” DI KEPULAUAN
SERIBU
Moch. Khabib Shaleh
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak: Dalam berkomunikasi, kaum elit ini menggunakan
simbol-simbol bahasa (simbolik elit). Simbol-simbol tersebut
mereka gunakan untuk berbicara di masyarakat yang menjadi
konstituennya dari berbuat baik sampai dengan penyalahgunaan
kekuasaan atau dominasi kekuasaan. Penelitian tentang adanya
pengaruh kekuasaan dalam suatu komunikasi perlu dilakukan
khususnya terkait dengan rasisme yang dapat menyebabkan
perpecahan dalam suatu negara atau antarnegara. Hal ini
difokuskan pada pidato gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu. Hal ini terkait konteks yang
melatarbelakangi produksi dan reproduksi wacana pidato tersebut.
Kita mengetahui bahwa dampak pemaknaan pidato ini yang sangat
besar dan dapat membuat kegaduhan NKRI menjadikan penelaahan
tentang ideologi rasisme yang ada menarik untuk dikaji.
Kata-kata kunci: ideologi rasisme, pidato, wujud, fungsi, struktur
mikro, struktur super, dan struktur mikro


PENDAHULUAN
Keluasan
pikiran
manusia
melahirkan suatu bahasa. Dengan
bahasa, manusia meyakini bahwa
segala kehendak yang ada dalam
pikirannya dapat disampaikan dengan
baik hanya dengan menggunakan
bahasa.
Penggunan bahasa oleh manusia
secara alamiah merupakan kajian
utama bahasa. Hal ini tampak pada
saat manusia itu berkomunikasi
(monolog, dialog, maupun polilog)
secara lancar tanpa terikat oleh teks
atau bahan bacaan yang menuntun
terjadinya komunikasi itu. Dalam hal
ini konteks dan keajegan penggunaan

bahasa saat berkomunikasi menjadi

suatu kajian utama dalam penelitian
bahasa.
Keajegan penggunaan bahasa
selalu ternaungi dalam kesatuan
bahasan yang disebut dengan tema.
Kesatuan tema komunikasi ini akan
melahirkan satu makna bahasa yang
utuh. Utuh dalam hal makna bahasa
terkait dengan konteks dan situasi
bahasa.
Selaras dengan hal di atas,
Darma (2013:1) menyatakan bahwa
bahasa merupakan alat komunikasi
yang penting bagi manusia sehingga
dalam kenyataannya bahasa menjadi
aspek penting dalam melakukan
sosialisasi atau berinteraksi sosial.
Penggunaan bahasa sebagai alat


NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 350

komunikasi terikat oleh tema, makna
bahasa,
konteks
dan
situasi.
Keterikatan keempat unsur tersebut
merupakan pemfokusan bahasa dalam
tataran wacana.
Penggunaan berbagai macam
wujud gaya bahasa menunjukkan
keahlian seorang orator dalam
mengolah bahasa ketika berpidato, hal
tersebut akan menyesuaikan dengan
kompetensi kebahasaan dari pengguna
bahasa itu sendiri. Wujud gaya bahasa
dapat ditinjau dari berbagai macam
aspek. Berdasarkan unsur kebahasaan

yang digunakan, Keraf (2010: 116)
mengategorikan
gaya
bahasa
berdasarkan struktur kalimat dan
maknanya. Struktur sebuah kalimat
dapat menjadi landasan dalam
pemwujudan gaya bahasa.
Penggunaan gaya bahasa tidak
hanya sekedar untuk menghadirkan
nilai estetis akan tetapi juga
memperlihatkan suatu fungsi. Fungsi
penggunaan gaya bahasa dalam
penelitian ini berkaitan dengan adanya
konteks. Ada beberapa fungsi gaya
bahasa seperti fungsi ekspresif/emotif,
konatif,
fatik,
referensial
dan

sebagainya.
Pengkajian terhadap penggunaan
bahasa ini oleh ahlibahasa/peneliti
bahasa dikaji dalam analisis wacana.
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian “Ideologi rasisme
dalam pidato gubernur DKI Jakarta
Basuki
Tjahaya
Purnama
di
Kepulauan Seribu penting dan
menarik diteliti. Begitu penting dan
menariknya untuk dikaji, penelitian ini
berguna baik secara teoritis maupun
praktis. (1) Kegunaan Teoritis (a)
Sebagai
bahan
rujukan
bagi

mahasiswa
yang ingin mengkaji

tentang
analisis
wacana.
(b)
Menambah
literatur
kepustakaan
atau referensi mengenai analisis
wacana,
khususnya
yang
menyangkut nilai rasisme. (2) Secara
Praktis dapat dijadikan sebagai
masukan
dalam
interaksi
berkomunikasi

dan
interaksi
pembelajaran.
Dalam
interaksi
komunikasi diperlukan pemahaman
bahwa wacana yang disampaikan
kepada khalayak memiliki nilai
ideologi tertentu. Termasuk ideologi
rasisme sehingga apabila ideologi
dalam wacana ini dipakai maka
pembuat wacana harus siap menerima
hasil
yang
diakibatkan
dalam
menghasilkan
wacana
tersebut.
Selanjutnya,

pada
interaksi
pembelajaran, guru bahasa dapat
memberikan wujud dan fungsi
ideologi wacana kepada peserta didik.
Terkait
dengan
dampak
yang
dihasilkan dari penggunaan ideologi
rasisme dalam wacana ini disarankan
agar
peserta
didik
menjauhi
penggunaan ideologi rasis dalam
berkomunikasi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
menggunakan

pendekatan
kualitatif. Penggunaan
pendekatankualitatif
dilandasi
pemikiran bahwa peneliti memiliki
cirri-ciri
yang
relevan
untuk
melaksanakan penelitian. Cirri-ciri
penelitian kualitatif menurut Bogdan
dan Biklen (1982) adalah (1)
menggunakan latar alami sebagai
sumber data langsung dan peneliti
sebagai instrument utama, (2) bersifat
deskriptif, (3) lebih memperhatikan
proses daripada hasil, (4) cenderung
menganalisis data secara induktif, dan

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 351


(5) makna merupakan perhatian
utama.
Sebagai penelitian kualitatif,
penelitian ini bersifat holistic. Artinya,
peneliti
memandang
berbagai
permasalahan
yang
ada
tidak
terpisahkan
akan
konteks
(permasalahan selalu mengacu pada
keseluruhan
konteks).
Meskipun
demikian,

penelitian
ini
juga
melakukan analisis terfokus. Artinya,
peneliti memusatkan analisis dan
pembahasan pada variabel yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
Berdasarkan ciri-ciri penelitian
kualitatif tersebut, alasan penggunaan
pendekatan kualitatif dalam penelitian
ini antara lain (1) penelitian ideologi
rasisme dalam pidato gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di
Kepulauan Seribu memiliki latar
alami, (2) penelitian ini berupaya
mendeskripsikan ideologi rasisme
dalam wacana pidato gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di
Kepulauan Seribu, (3) penelitian ini
mengutamakan prroses daripada hasil,
(4) analisis datanya secara induktif,
dan (5) subsatansi yang dibangun
melalui makna ditemukan dalam teks.
Dalam penelitian ini, prinsipprinsip kualitatif dipadukan dengan
proses penelitian bahasa, yakni teori
linguistik, teori pragmatig, dan teori
analisis wacana kritis. Pengebangan
teori acuan yang
menghasilkan
pendekatan ini dimaksudkan untuk
memperoleh teknik penjelasan kritis
yang akurat pada hasil penelitian.
Sesuai dengan fokus penelitian, kajian
wacana pidato gubernur DKI Jakarta
Basuki
Tjahaya
Purnama
di
Kepulauan
Seribu
menggunakan
orientasi teoritis analisis wacana kritis
yang dikemukanan Teun A. Van Dijk.

Penggunaan kajian ini memliki
karakteristik yang sesuai untuk
melaksanakan penelitian ini.
Penelitian
memanfaatkan
konteks situasi, sosial, dan budaya
dalam penentuan data penelitian. Hal
ini berarti bahwa data penelitian yang
berupa data linguistik akan dikaji
berdasarkan konteks-konteks tersebut.
Tepatnya, pemerolehan data tersebut
pada saat pengumpulan data.
Berdasarkan uraian tersebut
nyatalah bahwa kriteria penelitian ini
sebagai penelitian kualitatif deskriptif
tampak. Kriteria pertama, peneliti
sebagai instrumen kunci, baik dalam
pengumpulan
data
maupun
menganalisis data. Kedua, penelitian
ini berusaha menggali sejumlah
karakteristik
penggunaan
bahasa
dalam wacana pidato gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di
Kepulauan Seribu. Ketiga, dalam
penelitian
ini
teori
yang
dikembangkan berasal dari bawah,
yakni dari data lapangan. Dari data
yang
berserakan
diklasifikasikan
berdasarkan
kesamaan
datanya.
Keempat, penelitian ini bertujuan
mengkritisi pemanfaatan strukturstruktur
linguistik
yang
didayagunakan oleh gubernur Basuki
Tjahaya Purnama dan menggali
ideologi rasisme yang tersembunyi di
balik struktur linguistik itu. Kelima,
penelitian
ini
berangkat
dari
pandangan
bahwa
masyarakat
Kepulauan Seribu dan Jakarta (karena
diunggah di Youtube) sebagai
konstruksi manusia yang dapat diubah
melalui pemahaman progresif tentang
proses dan struktur tertentu secara
historis. Kelima ciri penelitian itulah
yang mengacu dan membuktikan
bahwa penelitian ini tepat dikaji

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 352

melalui paradigma analisis wacana
kritis.
Kehadiran Penelitian dalam
penelitian ini peneliti bertindak
sebagai instrument kunci. Selain
peneliti, alat bantu lain yang fungsinya
untuk mendukung tugas peneliti.
Peran peneliti dalam penelitian ini
sebagai pengamat partisipan. Peneliti
juga berperan sebagai penerima, untuk
itu peneliti perlu memahami bahasa
yang
digunakan
dalam
pidato
gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu
sehingga dapat mencatat kode pesan
yang disampiakan penutur. Oleh
karena
itu,
dalam
komunikasi
Pemprov DKI Jakarta, teks dapat
dianggap
sebagai
media
yang
membawa pesan. Hasil penafsiran
pesan yang dilakukan oleh peneliti
(penerima) ditentukan oleh berbagai
faktor. Mungkin pemahaman penerima
tidak sama dengan yang dimaksudkan
oleh penutur karena penerima
mempunyai banyak skemata yang
dapat digunakan untuk menafsirkan
pesan.
Untuk menjaga kealamian data
dilakukan tiga kegiatan. Pertama,
peneliti
berusaha
mendapatkan
gambaran secara alamiah tentang
wacana ideologi rasisme pidato
gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu melalui
pengambilan data di publikasi
Pemprov DKI (dari youtube). Kedua,
peneliti pada saat mengumpulkan data
bertindak sebagai partisipan dengan
menggunakan
teknik
observasi
partisisipasi. Dengan cara demikian,
sumber data penelitian diperoleh
secara alamiah karena sumber data
tidak merasa diteliti.

Data dan sumber data penelitian
ini adalah rekaman (youtube) pidato
gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu yang
dipublikasikan oleh Pemrov DKI
Jakarta memalui sarana Youtube.
Data penelitian berupa data
verbal yang berupa wacana pidato
gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu yang
mencakup kata, kalimat, berbagai unit
tuturan. Wacana yang dikumpulkan
adalah wacana lisan formal dan
informal. Wacana formal dan informal
yang dimaksud adalah pidato gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama
di
Kepulauan
Seribu
dengan
menggunakan bahasa resmi dan
bahasa dialek Betawi.
Prosedur pengumpulan data
yang dilakukan oleh penulis dengan
tiga teknik. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan (1) perekanaman, (2)
observasi, dan (3) dokumentasi.
Perekaman dilakukan peneliti
sesaat penentuan masalah penelitian.
Hal ini tepatnya diambil di media
internet youtube terkait dengan pidato
gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu.
Proses observasi dilakukan saat
peneliti mengamati secara kritis hasil
rekaman tersebut. Langkah-langkah
yang dilakukan saat observasi ini
antara lain (1) melakukan catatan
lapangan sesuai dengan masalah yang
difokuskan dalam penelitian, (2)
mengamati konteks situasi selama
jalanya pidato pada hasil rekaman, dan
(3) mengamati konteks situasi yang
terjadi pascapidato oleh netizen.
Dokumentasi dilakukan untuk
melengkapi data penelitian. Dokumen
yang dikumpulkan berkaitan dengan
objek
penelitian tersebut, seperti

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 353

berita-berita terkait gubernur Basuki
Tjahaya Purnama. Selanjutnya, semua
data
wacana
yang
terkumpul
ditranskripsikan dan dikumpulkan
dalam wujud teks wacana sebagai
sumber data penelitian.
Analisis data pada setiap data
dilakukan setelah data penelitian ini
dikumpulkan, diklarifikasi, kemudian
dianalisis sesuai dengan fokus
penelitian yang ingin diungkap.
Sebagai upaya memenuhi fokus
penelitian (wujud dan fungsi ideologi
rasisme dalam pidato gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di
Kepulauan Seribu), analisis data yang
dilakukan meliputi mengumpulkan
data, mengklasifikasi data, selanjutnya
menganalisis data dari segi ideologi
rasisme dalam wujud/struktur wacana
menurut model analisis wacana kritis
tertentu.
Model analisis wacana kritis
(AWK) yang digunakan dalam
membedah wacana pidato gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama
di Kepulauan Seribu adalah AWK
model Teun A. Van Dijk .
Teun A. Van Dijk melihat suatu
teks
terdiri
atas
beberapa
struktur/tingkatan
yang
masingmasing bagian saling mendukung. Ia
membaginya kedalam tiga tingkatan.
(1) Struktur mikro yang menganalisis
makna teks pidato berdasarkan
penggunaan
pilihan kata, pilihan
kalimat, dan gaya bahasa. (2) Struktur
Super yang menganalisis kerangka
teks pidato (bagian awal, bagian inti,
dan bagian akhir) dalam pidato secara
utuh atau tidak. (3) Struktur makro
yang menganalisis makna global
dalam tema teks pidato.
Berikut akan diuraikan alur
analisis wacana yang dilakukan dalam

penelitian
ini.
Pertama
data
ditranskripsi,
dikumpulkan,
dan
diklasifikasikan kedalam struktur
wacana model Teun A. van Dijk.
selanjutnya dilakukan interpretasi
untuk menampakan wujud ideologi
rasisme pada pidato gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di
Kepulauan Seribu. Pada pembahasan
hasil interpretasi tersebut wujud
diekplanasikan secara detail untuk
menunjukkan ideologi rasisme pada
pidato gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama di Kepulauan
Seribu.
Selanjutnya, wujud ideologi
rasisme yang tampak dianalisis
fungsinya. Hasil kajian tentang
wujud/struktur dan fungsi ideologi
rasisme dalam pidato gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di
Kepulauan Seribu tersebut perlu
dilakukan
verifikasi
dengan
menafaatkan teknik triangulasi dengan
pakar bahasa dan orang-orang yang
kompeten dengan pola dan fungsi
pidato politik pejabat.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitan ini menunjukkan
bahwa (1) wujud ideologi rasisme
pidato gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama di Kepulauan Seribu
dalam struktur makro tema pidato
adalah budidaya Ikan di Kepulauan
Seribu bersama Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama dan terdapat
suptopik yang tidak selaras dengan
konteks kegiatan, yaitu pilkada DKI
2017 yang dimajukan. Di sini terdapat
superioritas Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama dan pendukungnya yang
menurut hasil survey sampai bulan
Oktober Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama mendapatkan rating tertinggi

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 354

calon yang akan menjadi gubernur
selanjutnya. Pada pernyataan yang
keluar dari tema pidato ini ini
tergambar erasaan superior sebagai
calon yang kuat menjadi gubernur
dibanding dengan pasangan calon lain,
dilihat dari konteks ini, memiliki latar
belakang agama berbeda maka ia
dengan sengaja memproduksi superior
dengan merendahkan kelompok dan
agama
tertentu
untuk
meraup
dukungan lebih banyak lagi. Atas
pernyataan yang keluar dari tema
utama, perasaan direndahkan oleh
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama,
reaksi yang dimunculkan adalah
adanya dukungan calon lainnya untuk
melakukan aksi di 112. Aksi ini
merupakan gambaran adanya rasisme
terkait dengan kepercayaan yang
dilakukan oleh Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama dan pendukungnya
kepada umat Islam pada umumnya
dan calon gubernur DKI Jakarta dalam
pilkada 2017. (2) Wujud struktur
mikro ideologi rasisme pidato
gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu
ditemukan pernyatan yang bersifat
etnosentrisme yang ditandai dengan
(a)
penggunaan
kata
bodoh,
dibodohin, dan
dibohongin .
Penggunaan kosa kata tersebut itu
pantas dikatakan kepada mereka yang
benar-benar tidak dapat menerima
kebenaran atau suatu ilmu. Jika
kelompok masyarakat yang tidak
termasuk dalam kelompok pendukung
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama dikatakan bodoh, mudah
dibodohin, dan mudah dibohongin,
maka
secara
langsung
terjadi
perendahan
martabat atas suatu
kelompok antiGubernur DKI Jakarta
Basuki
Tjahaya
Purnama.
(b)

Penggunaan relasi makna hipernim
“orang”
relasi
hiponim
pada
keterangan alat “surat al Maidah 51”.
Generalisasi yang dilakukan Gubernur
Basuki Tjahaya Purnama dengan
menyebutkan orang jika dikaitkan
dengan konteks agama yang dianut
oleh Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama dengan calon lain atau
mayoritas
masyarakat
Jakarta
mengakibatkan adanya pemaknaan
yang
bias.
Masyarakat
bisa
mengartikan bahwa generalisasi atas
kata orang ini menjadikan pihak yang
dituju merasa direndahkan. Hal ini
dapat dilihat dari ramainya media
masa mengangkat dan membedah
makna orang dalam pernyataan ini.
Bahkan MUI sebagai lembaga
keagamaan
muslim
menyatakan
bahwa Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama telah melakukan perbuatan
yang melemahkan umat islam atau
dengan istilah penodaan agama. (c)
Penggunaan gaya bahasa penggunaan
gaya bahasa sarkasme “mati, bodoh,
aut, dibodohin, dan dibohongin” dan
penggunaan gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto surat Al Maidah 51
memiliki referen yang jelas. Referen
yang dimaksud diartikan sebagai
wujud penggunaan sinekdoke pars pro
toto yaitu merujuk pada Alquran. Hal
ini diproduksi dan direproduksi secara
sengaja dalam suatu pidato maka
jelaslah pemahaman bahwa surat
almaidah dalam hal ini bermakna
Alquran dikatakan sebagai alat
berbohong atau berisi sesuatu yang
bohong
menandakan
adanya
pengangapan rendah akan suatu kitab
suci agama Islam/kelompok agama
islam.(c)
penggunaan
kosakata,
“bodoh” “dibodohin” “dibohongin “
dan penggunaan
relasi
makna

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 355

hipernim “orang” dan relasi hiponim
pada keterangan alat “surat al Maidah
51”. (3) Wujud superstruktur ideologi
rasisme pidato gubernur DKI Jakarta
Basuki
Tjahaya
Purnama
di
Kepulauan Seribu terdapat secara
lengkap meliputi pendahuluan, isi,
pentup dan kesimpulan. isi pidato
meliputi
(a)
menganalogikan
kehidupan nelayan Pulau Belitung
dengan nelayan Kepulauan Seribu),
(b) penawaran program budidaya dan
pendanaan
budidaya
ikan,
(c)
pencitraan BTP dalam mengikuti
pilkada 2017, (d) program-program
yang diangkat Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama dalam visi misi
pencalonannya sebagai gubernur DKI
Jakarta pada pilkada 2017, (e)
pencitraan
keberhasilan
program
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama
selama menjadi gubernur DKI Jakarta
(KJP dan transportasi umum murah),
(e) pada bagian penutup dan
kesimpulan
ditemukan
adanya
pernyataan perasaan BTP yang
mengungkapkan
permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap
suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia “jadi jangan percaya sama
orang, kan bisa saja dalam hati kecil
bapak ibu, gak bisa pilih saya, ya —
dibohongin pake surat Al Maidah 51
macam-macam gitu lho” yang apabila
dikaitkan dengan isi pasal Pasal 156
KUHP maka dapat dinyatakan bahwa
pidato BTP di Kepulauan Seribu
termasuk dalam kategori penodaan
agama. (4) Hasil peneltian fungsi
ideologi rasisme pidato gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di
Kepulauan Seribu menyatakan bahwa
ideologi rasisme diungkapkan melalui
(a) tuturan ekspresif yang berisi
tentang pandangan negatif atas mitra

tutur
tentang
sesuatu
dalam
penggunaan
kosakata
(bodoh,
dibodohin), dan (b) sebagai tindak
tuturan direktif (perintah/saran) agar
lawan tutur
melakukan
sesuatu
dengan menggunakan klausa (jangan
percaya sama orang) yang dilanjutkan
dengan tuturan “dibohongin” yang
bermakna mempengaruhi lawan tutur
mengenai sesuatu yang berhubungan
dengan sikap atau keyakinan Gubernur
Basuki Tjahaya Purnama bahwa
banyak orang yang dalam pemilihan
pemimpin menggunakan Al-Maidah
untuk membohongi audiens untuk
tidak memilih pemimpin yang tidak
seagama.
Hal
ini
tentunya
menampakkan adanya ajakan atau
perintah untuk melanggar isi kitab suci
Alquran.
Berkaitan
dengan
hasil
penelitian diajukan beberapa saran
sebagai berikut. Dalam kaitannya
dengan berkomunikasi di depan
khalayak
hendaknya
pembicara
apalagi penguasa dengan kekuasannya
(1) menentukan tema sesuai dengan
acara, (2) membuat catatan kecil
terkait dengan informasi yang akan
disampaikan,
(3)
menggunakan
maksim tutur kesopanan dalam
berpidato, (4) menguasai diri dengan
baik, (5) memenuhi struktur pidato
(pendahuluan, isi, kesimpulan dan
penutup), (6) menggunakan data untuk
mendukung tujuan pidato secara tepat
dan bijaksana, (7) menghindari
rasisme dalam pemilihan kata, gaya
bahasa, maupun kalimat. Hal ini perlu
dilakukan mengingat bangsa Indonesia
adalah bangsa yang majemuk. Selain
itu, budaya sebagai bangsa timur
masih dijunjung tinggi oleh bangsa
Indonesia.

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 356

SIMPULAN
Pidato
seorang
pemimpin
memiliki tujuan dan memiliki
kekuasaan. Demikian juga tutran atau
pidato Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama di Kepulauan Seribu tidak
terlepas dari itu. (1) Wujud ideologi
rasisme dalam pidato Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama
di Kepulauan
Seribu dalam struktur makro meliputi
(a) tema pidato adalah budidaya Ikan
di
Kepulauan
Seribu
bersama
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama,
(b) terdapat suptopik yang tidak
selaras dengan konteks kegiatan, yaitu
pilkada DKI 2017 yang dimajukan.
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama.
Pernyataan yang keluar dari tema
utama ini pada awalnya tidak terasa
janggal maknanya. Di sini terdapat
superioritas Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama dan pendukungnya yang
menurut hasil survey sampai bulan
Oktober Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama mendapatkan rating tertinggi
calon yang akan menjadi gubernur
selanjutnya. Perasaan superior sebagai
calon yang kuat menjadi gubernur
dibanding dengan pasangan calon lain,
dilihat dari konteks ini, memiliki latar
belakang agama berbeda maka ia
dengan sengaja memproduksi kalimat
di atas untuk meraup dukungan lebih
banyak lagi. Atas pernyataan yang
keluar dari tema utama, perasaan
direndahkan oleh Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama, reaksi yang
dimunculkan adalah adanya dukungan
calon lainnya untuk melakukan aksi di
112. Aksi ini merupakan gambaran
adanya rasisme terkait dengan
kepercayaan yang dilakukan oleh
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama
dan pendukungnya kepada umat Islam
pada umumnya dan calon gubernur

DKI Jakarta dalam pilkada 2017. (2)
Wujud struktur mikro ideologi rasisme
dalam pidato Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama di Kepulauan yang
ditandai dengan pernyatan yang
bersifat etnosentrisme. Etnosentrisme
adalah setiap kelompok etnik, agama
atau ras
mempunyai
semangat
bahwa kelompoknyalah yang lebih
superior dari . hal ini ditemukan pada
penggunaan kosakata (a) penggunaan
kata bodoh,
dibodohin, dan
dibohongin . Penggunaan kosa kata
tersebut itu pantas dikatakan kepada
mereka yang benar-benar tidak dapat
menerima kebenaran atau suatu ilmu.
Jika kelompok masyarakat yang tidak
termasuk dalam kelompok pendukung
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama dikatakan bodoh, mudah
dibodohin, dan mudah dibohongin,
maka
secara
langsung
terjadi
perendahan
martabat atas suatu
kelompok antiGubernur DKI Jakarta
Basuki
Tjahaya
Purnama.
(b)
Penggunaan relasi makna hipernim
orang relasi hiponim pada keterangan
alat surat al Maidah 51. Generalisasi
yang dilakukan Gubernur Basuki
Tjahaya
Purnama
dengan
menyebutkan orang jika dikaitkan
dengan konteks agama yang dianut
oleh Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama dengan calon lain atau
mayoritas
masyarakat
Jakarta
mengakibatkan adanya pemaknaan
yang
bias.
Masyarakat
bisa
mengartikan bahwa generalisasi atas
kata orang ini menjadikan pihak yang
dituju merasa direndahkan. Sebagai
bangsa yang menghormati pemuka
agama tentunya pernyataan di atas
melemahkan orang yang dimaksudkan
oleh peryataan tersebut. Terkait
dengan
jiwa
korwa
beragama

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 357

penyebutan kelompok orang “orang
muslim” mengakibatkan terjadinya
perang opini. Hal ini dapat dilihat dari
ramainya media masa mengangkat dan
membedah makna orang dalam
pernyataan ini. Bahkan MUI sebagai
lembaga
keagamaan
muslim
menyatakan bahwa Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama telah melakukan
perbuatan yang melemahkan umat
islam atau dengan istilah penodaan
agama. (c) Penggunaan gaya bahasa
penggunaan gaya bahasa sarkasme
mati, bodoh, aut, dibodohin, dan
dibohongin dan penggunaan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto surat
Al Maidah 51 memiliki referen yang
jelas.
Referen
yang
dimaksud
diartikan sebagai wujud penggunaan
sinekdoke pars pro toto yaitu merujuk
pada
Alquran.
Jika
seseorang
berbicara tentang surat Al Maidah 51
maka
mereka
dapat
diartikan
membicarakan
tentang
Alquran.
Konteks Penggunaan gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto surat Al
Maidah 51. Jika hal ini diproduksi dan
direproduksi secara sengaja dalam
suatu
pidato
maka
jelaslah
pemahaman bahwa surat almaidah
dalam hal ini bermakna Alquran
dikatakan sebagai alat berbohong atau
berisi
sesuatu
yang
bohong
menandakan adanya pengangapan
rendah akan suatu kitab suci agama
Islam.
Atas perasaan telah
direndahkannya
kitab
suci
ini
mengakibatkan kerumunan masa
dengan tajuk Aksi Bela Islam. (3)
Wujud Struktur super
ideologi
rasisme dalam
pidato Gubernur
Basuki Tjahaya Purnama di kepulauan
seribu terdapat secara lengkap
meliputi pendahuluan, isi, pentup dan
kesimpulan. Struktur pada bagian

pendahuluan meliputi salam, sapaan,
dan
apersepsi
(menganalogikan
kehidupan nelayan Pulau Belitung
dengan nelayan Kepulauan Seribu),
tetapi tidak ditemukan adanya ucapan
syukur. Bagian isi (a) penawaran
program budidaya dan pendanaan
budidaya
ikan,
(b)
pencitraan
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama
dalam mengikuti pilkada 2017, (c)
program-program
yang
diangkat
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama
dalam visi misi pencalonannya sebagai
gubernur DKI Jakarta pada pilkada
2017, (d) sanjungan terhadap sumber
daya alam Kepulauan Seribu dan
ditambahkan dengan penyampaian
program pembangunan Kepulauan
Seribu, (e) pencitraan keberhasilan
program Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama selama menjadi gubernur
DKI Jakarta (KJP dan transportasi
umum murah). Bagian penutup dan
kesimpulan suasana yang terjalin
selama pidato berlangsung tampak
ramah dan senang. Namun, pada
bagian ini terjadi kekurangutuhan isi
pidato. Pidato yang diusung dengan
tema budidaya ikan ditutup dan
disimpulkan dengan ajakan memilih
Gubernur Basuki Tjahaya Purnama
dalam pilkada 2017 dan ditemukan
adanya pernyataan perasaan Gubernur
Basuki Tjahaya Purnama yang
mengungkapkan
permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap
suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia jadi jangan percaya sama
orang, kan bisa saja dalam hati kecil
bapak ibu, gak bisa pilih saya, ya —
dibohongin pake surat Al Maidah 51
macam-macam gitu lho yang apabila
dikaitkan dengan isi pasal Pasal 156
KUHP maka dapat dinyatakan bahwa
pidato Gubernur Basuki Tjahaya

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 358

Purnama di Kepulauan Seribu
termasuk dalam kategori penodaan
agama. (4) Fungsi Ideologi Rasisme
dalam Pidato Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama di Kepulauan Seribu
(a) sebagai tuturan ekspresif yang
berisi tentang pandangan negatif atas
mitra tutur tentang sesuatu dalam
penggunaan
kosakata
(bodoh,
dibodohin), dan (b) sebagai tindak
tuturan direktif (perintah/saran) agar
lawan tutur
melakukan
sesuatu
dengan
menggunakan
kosakata
(jangan percaya sama orang). Hal ini
ditujukanan untuk membangkitkan
kesadaran diri (evaluasi diri) pada
publiksehingga secara tidak langsung
di dalam diri lawan tutur terjadi
pergulatan pikiran (menerima atau
menolak) sesuatu yang disampaikan
tersebut. Tuturtan “jangan percaya
sama orang” yang dilanjutkan dengan
tuturan “dibohongin” dalam wacana
yang digunakan Gubernur Basuki
Tjahaya Purnama merupakan sebagai
strategi untuk mempengaruhi lawan
tutur
mengenai
sesuatu
yang
berhubungan dengan sikap atau
keyakinan Gubernur Basuki Tjahaya
Purnama bahwa banyak orang yang
dalam
pemilihan
pemimpin
menggunakan
Al-Maidah
untuk
membohongi audiens untuk tidak
memilih pemimpin yang tidak
seagama.
Hal
ini
tentunya
menampakkan adanya ajakan atau
perintah untuk melanggar isi kitab suci
Alquran.
SARAN
Terkait dengan isi kesimpulan di
atas, penguasa atau siapa saja yang
berbicara di depan umum sebaiknya
melakukan persiapan-persiapan.

(1) Menentukan tema sesuai dengan
acara
(2) Membuat catatan kecil terkait
dengan informasi yang akan
disampaikan
(3) Menggunakan
maksim
tutur
kesopanan dalam berpidato
(4) Menguasai diri dengan baik
(5) Memenuhi
struktur
pidato
(pendahuluan, isi, kesimpulan dan
penutup)
(6) Menggunakan
data
untuk
mendukung tujuan pidato secara
tepat dan bijaksana.
(7) Menghindari
rasisme
dalam
pemilihan kata, gaya bahasa,
maupun kalimat.
Hal
ini
perlu
dilakukan
mengingat bangsa Indonesia adalah
bangsa yang majemuk. Selain itu,
budaya sebagai bangsa timur masih
dijunjung
tinggi
oleh
bangsa
Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Bungin, Burhan. 2011. Metodologi
Penelitian Kuantitatif. Jakarta
: Kencana.
Darma, Yoce Aliah.2013. Analisis
Wacana Kritis. Bandung:
Yarma Widya.
Dawud dkk. 2004. Teknik Menyusun
Pidato/sambutan.
Surabaya:
Usaha Nasional.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana:
Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKIS.
Keraf, Gorys. 2007. Argumentasi dan
Narasi : Komposisi Lanjutan III.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya
Bahasa.
Jakarta:
PT
Gramedia Pustaka.

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 359

Lukmana. Dkk. 2006. Linguistik
Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Rusminto, Nurlaksana Eko. 2015.
Analisis
Wacana:
Kajian
Teoritis dan Praktis. Surabaya:
Graha Ilmu.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks
Media, Suatu Pengantar untuk
Analisis
Wacana,
Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing.

Bandung:
PT
Remaja
Rosdakarya.
Wodak, Ruth . 1997. “Critical
Dis¬course Ana¬lysis” dalam
Teun Van Dijk (ed.) Dis¬course
as
Sosial
Interaction:
Dis¬course
Studies
a
Multidisciplinary Intro¬duction,
Vol 2. London: Sage Publication.

NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 360