Mengajar adalah Seni yang Menyenangkan (1)

Mengajar adalah Seni yang Menyenangkan
Oleh Wahyudi Rakhman
SEBAGAI seorang pendidik pernahkah anda merasakan, bahwa mengajar adalah
sebuah karya seni yang menyenangkan? Tentunya bagi sebagian guru beranggapan,
pernah. Begitupun saya pribadi yang terbilang baru. Diakui atau tidak, mungkin
perasaan ini pernah anda rasakan. Karena pada dasarnya mengajar memiliki proses
yang hampir sama dengan sebuah penciptaan karya seni. Di dalam proses mengajar
terdapat kegiatan membentuk, memanipulasi, menjiplak, dan memahat berbagai ilmu
pengetahuan pada suatu individu, yang dinamakan manusia. Bahkan di dalam mengajar,
juga terdapat kegiatan mempengaruhi kepribadian dan kemampuan manusia (peserta
didik). Seperti dalam halnya seni, mengajar juga menghasilkan sebuah produk dengan
nilai estetika tinggi di mata masyarakat sebagai penikmat seni.
Namun pada hakikatnya penciptaan karya seni berbeda dengan mengajar. Terdapat
beberapa perbedaan yang mencolok diantaranya: Pertama, objek yang dibentuk. Pada
mengajar, objek yang dibentuk adalah manusia yang memiliki karateristik beragam
dengan pola tingkah laku yang beragam pula. Sedangkan pada penciptaan karya seni
pada umumnya, objek yang dibentuk bersifat pasif, yang berarti objek dibentuk tidak
memiliki kuasa menentukan sikap. Kedua, sifat alur penciptaan karya itu sendiri. Pada
kegiatan mengajar, objek yang bersifat aktif dapat bebas menentukan apa dan
bagaimana mereka mengalami proses tersebut. Dimana proses yang terjadi, tidak selalu
monoton namun dinamis, antara subjek(guru) dan objek (peserta didik) dapat bertukar

peran tanpa ada aturan yang mengikat. Sewaktu-waktu subjek dapat menjadi objek
yang belajar, dilain waktu objek juga dapat menjadi subjek yang mengajar, semua ini
berlangsung alami. Sehingga bukan hanya guru yang merasa senang, namun peserta
didik juga dapat merasakan proses yang menyenangkan tersebut. Sedangkan pada
penciptaan karya seni, proses yang terjadi terasa monoton, yang tidak dapat bertukar
peran antara subjek(seniman) dengan objek (benda seni) yang dibentuk.
Di Indonesia sendiri, anggapan mengajar adalah seni yang menyenangkan masih
terasa puitis bahkan klise, namun sebenarnya fardhu ain. Dasar hukum dari anggapan
ini adalah Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016,
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah, yang mengamanatkan bahwa
proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, MENYENANGKAN, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Bentuk penerapan PERMENDIKBUD tersebut, tertuang dalam teknik-teknik
pembelajaran. Salah satu contohnya adalah Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan, yang kemudian diakronimkan menjadi PAKEM. Isitilah tersebut terus
berkembang menjadi PAIKEM (Pembelajaran, Aktif, Inovatif,Kreatif, Efektif,
Menyenangkan), bahkan yang teranyar dan terunik, ada istilah PAIKEM GEMBROT
(Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Gembira dan Berbobot.

Contoh lainnya, semisal guru yang mengajar dengan bernyanyi, bercerita, bermain
peran, atau bertingkah laku ramah serta menarik, dan masih banyak lagi. Semua ini
menjadi usaha rekan-rekan guru di Indonesia, yang ingin merasakan sensasi mengajar
adalah seni yang menyenangkan.
Di kenyataanya, mengapa masih banyak guru, bahkan peserta didik yang belum
mampu merasakan sensasi mengajar adalah seni yang menyangkan? Banyak fakta, dari
keseharian kita di sekolah. Seperti, guru yang lebih senang ngerumpi di kantor,
ketimbang di kelas bertatap muka dengan peserta didiknya atau mendengar curhatan
peserta didiknya. Contoh lain lagi, banyak peserta didik kita yang lebih betah berada di
warnet, curhat berjam-jam dengan temannya di dunia maya, padahal di dunia nyata ada
guru atau orang tua yang mampu memberikan berbagai macam solusi, dan contoh

terbaru, yang menurut saya paling exstreme, dimana peserta didik kita lebih senang
melakukan kegiatan-kegiatan berbahaya yang berada di luar norma yang berlaku saat
ini, semisal fenomena skip challenge, ketimbang melakukan olahraga bersama guru
mereka. Semua itu disebabkan oleh hilangnya perasaan menyenangkan dari proses
belajar-mengajar yang terjadi. Ini semua disebabkan guru telah kehilangan rasa cipta
dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan baik bagi
dirinya maupun bagi peserta didiknya. Padahal kalau berbicara kemampuan dalam
merancang sebuah pembelajaran yang menyenangkan bagi semua, guru pasti mampu.

Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah kemana kemampuan itu?
Bila berbicara tentang kemampuan, saya berani berasumsi hampir delapan puluh
persen guru di Indonesia telah memiliki kulaifikasi akademik strata satu dengan gelar
sajana pendidikan atau akta empat. Asumsi saya tersebut, ditunjang lagi dengan titel
GURU PROFESIONAL yang disandang. Namun, mengapa masih banyak yang belum
mampu merancang dan melaksanakan sebuah pembelajaran yang menyenangkan bagi
semua? Ini dikarenakan Pertama, rendahnya semangat guru dalam merubah ataupun
mengasah kemampuan cara mengajarnya di kelas. Kita masih banyak menemukan para
guru di sekolah yang masih merasa betah dengan didaktik metodik yang telah lama ia
gunakan, walaupun guru tahu, apa yang ia gunakan selama ini sudah tidak
membuahkan hasil yang maksimal lagi. Namun sifat kurang bersemangat menimbun
segala gejolak untuk merubah gaya mengajarnya. Akhirnya syair tembang lawas “aku
masih seperti yang dulu” masih tetap merdu terdengar. Kedua, ketika berhubungan
dengan kesejahteraan sudut pandang guru saat ini lebih dominan ke arah matreallistis
(kalau tidak ingin disebut mata duitan), ketimbang meningkatkan kompetensinya.
Seperti kita ketahui pemerintah sudah berusaha meningkatkan kesejateraan
guru(walau bagi sebagian guru dirasa belum maksimal). Namun dibalik semua
peningkatan kesejahteraan ini mengandung harapan di dalamnya, yaitu adanya
peningkatan kualitas kompetensi anak bangsa di mata dunia. Bagaimanapun,
peningkatan kesejahteraan seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas

pembelajaran. Dengan meningkatnya kesejahteraan guru, seharusnya guru mampu
mengasah kemampuan mereka yang selama ini masih kurang. Saya teringat perkataan
seorang dosen yang mengampu materi di pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru (PLPG), beliau berujar “bila ingin melihat penampilan guru mengajar yang terbaik
selama hidupnya, maka lihatlah ketika ia praktik mengajar saat PLPG” dan itu benar
adanya, setelah kegiatan berakhir, dan guru mendapat sertifikat bertuliskan: LULUS
Sertifikasi Guru dalam Jabatan dan Dinyatakan sebagai GURU PROFESIONAL,
penampilan tebaik tadi terlupakan, bahkan hilang tak berkesan. Ketiga, keterbatasan
sarana prasarana yang menunjang penciptaan proses belajar-mengajar yang
menyenangkan tersebut. Namun, alasan ini menurut saya tidak belaku merata di semua
daerah, hanya untuk daerah yang dikategorikan tertentu semisal wilayah teresolir,
terluar, dan terpencil. Keempat: faktor bawaan guru dari lahir semisal pemalas, kurang
disiplin, dan keras kepala tidak mau berubah. Guru yang mengidap faktor keempat ini
tidak dapat dirubah lagi dengan berbagai macam cara biasa, hanya dengan pengawasan
dan penindakan yang manusiawi sajalah, cara satu-satunya. Lalu bagaimana cara agar
anda dapat merasakan sensasi mengajar adalah seni yang menyenangkan? Jawabnya
cuma melakukan perubahan diri dalam mengajar. Karena itu mulailah merubah diri
anda, mulailah dari sekarang, dan mulai dari hal kecil di diri dan kelas anda. Pepatah
bijak mengatakan “sejuta kata bijak tidak bermakna tanpa adanya kata sadar”. Oleh
karena itu sadar dan cepatlah berubah, dan selamat merasakan sensasi mengajar

adalah seni yang menyenangkan.*
(Pengajar SDN Sungai Rasau 1, Tanah Laut)