Semnaskan UGM RekayasaBudidaya pRB 07 1

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
KUALITAS AIR TAMBAK BUDIDAYA UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei
POLA INTENSIF DENGAN SISTEM BIOFLOK
Gunarto* dan Nurbaya
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau,
90512 Maros, Sulawesi Selatan
*Penulis untuk korespondensi, E-mail: gunartom@yahoo.com

Abstrak
Budidaya udang vaname intensif sistem bioflok merupakan suatu teknik budidaya udang yang
sekaligus memperbaiki kualitas air tambak secara ramah lingkungan. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui kondisi kualitas air tambak setelah bioflok ditumbuhkan di tambak. Dua petak
2
tambak ukuran 3520 dan 3946 m ditebari benur vaname PL 10 masing-masing dengan padat tebar
2
75 ekor/m . Penumbuhan bioflok dilakukan setelah satu bulan pemeliharaan udang, dengan cara
menambahkan sumber C-karbohidrat (molase) ke dalam air tambak agar CN rasio di air tambak >
10 : 1 (tambak B). Satu petak tambak lainnya sebagai kontrol tanpa penambahan sumber Ckarbohidrat (tambakA). Pakan udang diberikan setelah penebaran dengan dosis 100% dari total
biomassa udang pada dua minggu pertama dan setiap dua minggu berikutnya jumlah pakan yang
diberikan menurun hingga mencapai dosis 2,5% dari total biomassa udang setelah udang
mencapai masa pemeliharaan bulan keempat. Kualitas air tambak (salinitas, pH, dan oksigen

terlarut) dimonitor setiap hari. Total Vibriosp. di air dan sedimen tambak, amoniak, nitrit, nitrat,
fosfat, Bahan Organik Total (BOT) dimonitor setiap dua minggu sekali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa total populasi Vibriosp. di air tambak yang ditumbuhkan biofloknya (tambak B)
3
3
pada kepadatan 1,19 x 10 cfu/mL hingga 1,70 x 10 cfu/mL lebih rendah daripada di tambak yang
3
3
tidak diupayakan tumbuh biofloknya (tambak A) 2,35 x 10 cfu/mL hingga 2,38 x 10 cfu/mL. Ratarata konsentrasi amoniak lebih rendah di tambak B (0,57 mg/L) daripada tambak A (0,86 mg/L).
Konsentrasi nitrat dan fosfat, tampak lebih tinggi di tambak (tambak B), sedangkan konsentrasi
Bahan Organik Total (BOT),tampak lebih rendah setelah di tambak B bioflok tumbuh padat.
Kata kunci: budidaya intensif, kualitas air tambak, udang vaname, sistem bioflok
Pengantar
Dalam proses produksi pada budidaya udang pola intensif, akandihasilkan limbah yang
menjadi polutan berasal dari pakan yang tidak dimakan, feses udang dan biota lainnya yang mati
yang ada di kolom air tambak. Penggantian air di tambak merupakan cara yang paling luas
digunakan oleh para petambak untuk memperbaiki kualitas air di tambak agar menjadi lebih baik.
Pada proses pembuangan air dari tambak yang banyak mengandung polutan ke lingkungan
perairan,akan menambahkan nutrien, senyawa organik, dan anorganik termasuk amoniak, fosfor,
karbon organik, dan bahan organik lainnya yang dapat menyebabkan eutrofikasi pada perairan

yang menerima limbah tersebut. Air buangan tambak tersebut menyebabkan menurunnya kualitas
lingkungan tambak.Oleh karena itu, untuk mencegah kerusakan lingkungan perairan tambak yang
semakin parah, maka telah diciptakan teknologi budidaya udang intensif dengan sistem
bioflok.Teknologi tersebut memanfaatkan kemampuan bakteri heterotrof untuk beragregasi dengan
biota lainnya, seperti fitoplankton dan protozoa untuk membentuk bioflok. Teknologi tersebut
efisien dalam penggunaan air, karena selama proses produksi jarang dilakukan penggantian air
tambak, kemudian amoniak yang tinggi di air tambak akan dikonversi menjadi protein bakteri
(bioflok) yang dapat dimanfaatkan sebagai substitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan.
Pada teknologi budidaya udang pola intensif agar dapat terbentuk bioflok, maka rasio C/N
harus ditingkatkan > 10 : 1, kemudian sedikit atau tidak sama sekali dilakukan penggantian air dan
diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga oksigen tidak pernah lebih rendah dari 4 ppm
(Amnivelech, 2009). Untuk meningkatkan rasio C:N, maka beberapa sumber C-karbohidrat dapat
ditambahkan, diantaranya molase (Samocha et al., 2006), tepung tapioka (Hari et al., 2004),
glukosa dan gliserol (Ekasari, 2008), sukrosa (Kartika, 2009).
Bioflok merupakan komunitas mikroba yang terdiri dari bakteria, protozoa, dan
zooplankton, mengandung berbagai jenis asam amino, vitamin, mineral, dan enzim. Pemanfaatan

Semnaskan _UGM / RekayasaBudidaya (pRB-07) - 1

pRB-07


Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
bioflok pada budidaya udang di tambak, disamping untuk mengefisienkan biaya produksi, juga
diharapkan mampu memperbaiki kualitas air tambak dan mengurangi resiko kegagalan panen.
Tujuan penelitian untuk mengetahui kondisi kualitas air tambak budidaya udang vanamei pola
intensif yang ditambahkan sumber C-karbohidrat (molase) dalam rangka untuk meningkatkan rasio
CN di air tambak agar bioflok cepat terbentuk.
Bahan dan Metode
Penelitian budidaya udang vaname dengan sistem bioflok dilakukan di tambak. Dua unit
tambak Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di Punaga, Kabupaten
2
2
Takalar dengan dasar tanah masing-masing ukuran 3520 m (tambak A) dan 3946 m (tambak B)
digunakan pada penelitian ini. Tahap persiapan tambak, meliputi pengeringan, pemadatan
pelataran tambak, pengapuran, pengisian air, pemupukan, pemasangan kincir, dan penebaran
2
benur vanamei dengan padat penebaran 75 ekor/m . Pakan komersial yang mengandung protein
sekitar 35% diberikan sejak awal setelah penebaran dengan dosis 2,5-100% dari total biomassa
udang, selama masa pemeliharaan. Dari dua petak tersebut dilakukan upaya sebagai berikut:
2

a. Satu petak tambak ukuran 3520 m (tambak A) tidak dilakukan upaya untuk menumbuhkan
bioflok, tetapi hanya dilakukan penambahan fermentasi probiotik sebanyak 4 mg/L/3 hari
selama masa pemeliharaan.
2
b. Satu petak tambak ukuran 3946 m (tambak B) setelah satu bulan pemeliharaan, maka di air
tambak mulai ditambahkan molase sebagai sumber C-karbohidrat dengan tujuan untuk
meningkatkan rasio C:N hingga pada kisaran 12:1. Rasio C:N pakan yang diberikan ke udang,
dijadikan dasar berapa seharusnya penambahan molase/amilum. Misalnya, apabila pada hari
ke 30 pemeliharaan udang di tambak, jumlah pakan yang diberikan sebanyak 10 kg/petak/hari
dengan N pakan=5,6%, maka jumlah N sebanyak 560 g. C dalam pakan 45%, maka total C
dalam pakan = 4500 g. Dengan demikian, rasio C :N dalam pakan = 8,035 : 1. Maka, untuk
menjadikan CN rasio dalam air tambak menjadi 12:1,sumber C-karbohidrat yang ditambahkan
ke air tambak pada waktu pakan yang diberikan ke udang sebanyak 10 kg, yaitu sebanyak (N)
x (12 - 8,035) x (100/45) = 560 g x 3,964 x 2,2 = 4,883 kg.Selanjutnya, apabila jumlah pakan
yang diberikan ke udang telah berubah, maka jumlah molase juga akan berubah ditentukan
oleh jumlah pakan yang diberikan ke udang dan rasio C:N yang diharapkan di air tambak.
Setelah bioflok tumbuh, maka harus dipertahankan kelimpahannya, yaitu dengan cara
pemberian sumber C-karbohidrat tidak rutin dilakukan setiap hari dan seminggu 2x dilakukan
penambahan air dari tandon ke tambak dilakukan hanya untuk mengganti air yang hilang akibat
rembesan, evaporasi, atau air yang dibuang. Konsentrasi oksigen terlarut diupayakan selalu diatas 4

ppm, dengan menambah jumlah kincir apabila diperlukan.
Parameter kualitas air yang diamati meliputi salinitas, pH air,dan oksigen terlarut dimonitor
langsung di lapangan. Amoniak, nitrit, nitrat, dan fosfat dimonitor setiap dua minggu dengan cara
mengambil sampel air sebanyak 500 mL, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis
berdasarkan metode dari Anonimous (2003) dan Clesceri et al. (2005). Pertumbuhan udang yang
dimonitor setiap dua minggu, sedangkan sintasan, produksi, dan konversi pakan dihitung pada
akhir penelitian.
Data kualitas air, pertumbuhan, sintasan, produksi, nilai konversi pakan dari dua perlakuan
yang diuji dibuat grafik untuk dibandingkan dan dianalisis secara diskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Bakteri Vibrio sp. dan Total Bakteri di Air dan Sedimen Tambak
Total Vibriosp. di air tambak B yang menggunakan sistem bioflok, populasinya lebih
rendah dibanding dengan populasi Vibriosp. di tambak A (kontrol),terutama setelah bioflok
3
terbentuk hingga menjelang panen pada 24 September 2011, yaitu pada kepadatan 1,19 x 10
3
cfu/mL hingga 1,7 x 10 cfu/mL di tambak B. Sedangkan di tambak A (kontrol) pada kepadatan
3
3
2,35 x 10 cfu/mL hingga 2,38 x 10 cfu/mL. Dengan demikian, berkembangnya bioflok juga

mampu menekan perkembangan populasi bakteri Vibriosp. di air tambak udang pola intensif. Total
Vibriosp. di sedimen tambak B yang ditumbuhkan flok, tampak lebih rendah daripada total Vibrio
sp. di sedimen tambak A (kontrol), yang dijumpai pada awal Agustus hingga pertengahan
September 2011. Namun demikian, baik total Vibriosp. di air dan juga di sedimen tambak

2 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (pRB-07)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0


A (kontrol)

a).

19-Sep

12-Sep

05-Sep

29-Aug

22-Aug

15-Aug

08-Aug

01-Aug


25-Jul

18-Jul

11-Jul

04-Jul

27-Jun

B (flok)
20-Jun

Total Vibrio sp. di air
(log cfu/mL)

menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (P >0,05) diantara petak tambak yang ditumbuhkan
bioflok (tambak B) dan tambak tambak A (kontrol).

waktu


Gambar 1. a). Total Vibriosp. di air tambak, b). Total Vibriosp. di sedimen tambak.
Kualitas Air
Salinitas pada waktu tebar 33 ppt, baik di tambak A maupun B, sedangkan pada waktu
panen,salinitas di tambak A telah mencapai48 ppt dan tambak Bmencapai 53 ppt. Di tambak B,
salinitas lebih tinggi karena untuk produksi bioflok, maka di petak B kurang dilakukan ganti air dan
penambahan air juga sangat sedikit.Salinitas optimum untuk pertumbuhan vaname adalah 17 ppt
(Li et al., 2007).Pada salinitas 5–15 ppt, pertumbuhan vaname lebih pesat secara signifikan
daripada kalau dipelihara pada salinitas 49 ppt (Bray et al., 1994).pH air tambak tampak
o
berfluktuatif dari 7,5–8,5 di semua perlakuan. Suhu air pada kisaran 26–30 C. Oksigen terlarut di
kedua petak selalu diatas > 3 ppm, meskipun pada pagi hari jam 4–7 pagi. Hal ini karena masingmasing petak setelah periode pemeliharaan selama tiga bulan, telah menggunakan kincir
sebanyak 6 unit dengan kekuatan masing-masing 1 HP.Kincir 1 HP mampu mensuplai kebutuhan
oksigen udang diperkirakan sebanyak 500 kg (Ivan, 2005).

Semnaskan _UGM / RekayasaBudidaya (pRB-07) - 3

Nitrat/nitrate (mg/L)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012


6
5
4
3

A (kontrol)

2

B (flok)

1
0
20-Jun

20-Jul

20-Aug


20-Sep

c).
waktu
Gambar 2. Fluktuasi amoniak (a), nitrit (b), dan nitrat (c) di air tambak..
Konsentrasi total amonia-nitrogen (TAN) di tambak B dan tambak kontrol berfluktuasi.
Namun demikian, di tambak kontrol, konsentrasinya relatif lebih tinggi daripada di tambak B,
terutama pada pertengahan Agustus dan menjelang panen 24 September 2011 (gambar 2). Hal ini
berkaitan dengan terbentuknya bioflok di tambak B yang selalu ditambahkan molase sebagai
sumber energi untuk multiplikasi bakteri heterotrof.Sedangkan amoniak dalam air tambak
dimanfaatkan langsung oleh bakteri heterotrof tersebut sebagai sumber N dalam pembentukan
protein bioflok. Hari et al. (2004) pada penelitiannya menggunakan tepung tapioka, menunjukkan
penurunan total amonia-nitrogen secara signifikan di kolom air dan sedimen pemeliharaan udang
windu. Sedangkan Samocha et al. (2006) pada penelitiannya menggunakan molase dengan
kadarkarbon 24%, hanya mendapatkan penurunan amoniak dan nitrit secara signifikan pada waktu
3
pentokolan. Sedangkan pada pembesarannya, menggunakan tangki ukuran 7,8 m dengan padat
3
tebar tokolan udang vaname 81 ekor/m dan ditambahkan molase, ternyata pertumbuhan dan
kualitas air menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dengan kontrol yang tidak ditambahkan
molase,meskipun menurut Avnimelech (1999), penggunaan sumber molase juga mampu
mengontrol meningkatnya kandungan amoniak di air tambak pemeliharaan udang.
Pada penelitian ini, konsentrasi amoniak tertinggi pada waktu menjelang panen, yaitu 1,16
mg/L (tambak B) yang ditambahkan molase dan 3,18 mg/L (tambak A) kontrol. Pada budidaya

4 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (pRB-07)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
2

fosfat/phosphate (mg/L

udang vaname dengan kepadatan 50 ekor/m , konsentrasi tertinggi amoniak di air tambak
mencapai 0,93 ppm (Gunato et al., 2009). Sedangkan Choo et al. (2000) melaporkan, pada
pemeliharaan udang windu pola intensif di tambak Malaysia mendapatkan konsentrasi amoniak
mencapai 0,51–1,51 ppm. Smith et al. (2002) pada penelitiannya menggunakan bak-bak fiberglass
2
2
ukuran 2,5 m menggunakan udang windu ukuran rata-rata 5,6 g dengan padat tebar 25 ekor /m ,
konsentrasi amoniak yang diperoleh sepanjang dua bulan penelitian pada kisaran 0,01–5 ppm.
Amonia (NH3) bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik pada organisme akuatik termasuk udang.
Toksisitas amoniakakan meningkat apabila terjadi penurunan oksigen terlarut, pH dan suhu air
tambak (Effendi, 2003). Kisaran optimum konsentrasi amoniak dan nitrit di air tambak
pemeliharaan vanamei masing-masing adalah 0,05–0,1 mg/L dan 0,01–0,05 mg/L. (Adiwidjaya et
al., 2003). Menurut Boyd (1990), konsentrasi amoniak sebanyak 0,45 ppm mampu mengurangi laju
tumbuh udang penaeid sampai 50%.
Nitrit merupakan hasil peralihan dari amoniak sebagai produk bakteri nitrifikasi pada
amoniak atau produk dari aktivitas bakteri denitrifikasi pada nitrat. Konsentrasi nitrit akan
meningkat sejalan dengan semakin lamanya proses budidaya. Pada penelitian ini, konsentrasi nitrit
juga berfluktuasi, dimana pada awal pemeliharaan cukup rendah, namun hingga 5 September
2011 (90 hari pemeliharaan), di kedua perlakuan, konsentrasi nitrit pada puncak yang paling tinggi,
yaitu 5,24 mg/L (tambak A) dan 4,72 mg/L (tambak B). Sedangkan menjelang panen, konsentrasi
nitrit di tambak B tampak lebih rendah daripada di tambak A (kontrol). Lin & Chen (2003)
menyatakan bahwa nilai LC-50 oleh nitrit pada udang vaname ukuran panjang karapas 56 mm
adalah 76,75 mg/L pada salinitas 15 ppt, 178,3 mg/L pada salinitas 25 ppt dan 321,7 mg/L pada
salinitas 35 ppt.
Konsentrasi nitrat dari tanggal 1 Agustus hingga 12 September 2011 tampak lebih tinggi di
tambak B. Hal ini kemungkinan bakteri flok di tambak B tidak memerlukan nitrat. Sedangkan di
tambak A, nitrat banyak dimanfaatkan oleh fitoplankton, sehingga konsentrasi nitrat di tambak A
lebih rendah daripada di tambak B. Sedangkan pada waktu menjelang panen, konsentrasi nitrat di
tambak B telah menurun dan menjadi lebih rendah dibanding dengan konsentrasi nitrat di tambak
A (kontrol). Nilai 96 jam-LC-50 pada nitrat untuk udang windu yang dipelihara pada salinitas 35 ppt
adalah 2316 mg/L, sedangkan jika dipelihara pada salinitas15 ppt adalah 1449 mg/L. Nitrat
merupakan hasil akhir dari proses nitrifikasi amoniak oleh bakteri Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter
sp., konsentrasi yang masih bisa diterima dalam kegiatan budidaya perikanan adalah kurang dari
20 ppm (Tsai dan Chen, 2002).
3.5
3
2.5
2
1.5

A (kontrol)

1

B (flok)

0.5
0
20-Jun

20-Jul

20-Aug

20-Sep

a).
waktu/time

Semnaskan _UGM / RekayasaBudidaya (pRB-07) - 5

BOT/TOM (mg/L)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
60
50
40
30

A (kontrol)

20

B (flok)

10
0
20-Jun

b).

20-Jul

20-Aug

20-Sep

waktu

Gambar 3.Fluktuasi fosfat (a), dan Bahan Organik Total (b) di air.
Fosfat terjadi peningkatan konsentrasinya mulai pada 4 Agustus hingga 5 September
2011, dimana mulai terjadi peningkatan pemberian pakan di kedua perlakuan.Namun demikian, di
tambak B konsentrasi fosfat lebih tinggi dibanding di tambak A (kontrol). Hal ini kemungkinan
bioflok di tambak B kurang memanfaatkan fosfat. Konsentrasi BOT pada awal penelitian sekitar 40
mg/L.Mulai 4 Juli 2011, konsentrasi BOT terutama di tambak B meningkat secara perlahan.
Sedangkan di tambak A (kontrol),tampak sangat berfluktuasi hingga 15 Agustus 2011 dan terus
meningkat hingga tanggal 19 september 2011 mencapai konsentrasi 50 mg/L. Sedangkan di
tambak B, konsentrasi BOT relatif lebih rendah hingga menjelang panen 19 September 2011. Pada
2
penelitian budidaya udang windu dengan teknologi tradisional plus dengan padat tebar 6 ekor/m ,
diperoleh kandungan BOT cenderung meningkat hingga mencapai konsentrasi tertinggi 30,2 ppm
(Gunarto et al., 2003).Begitu juga yang diperoleh Ahmad et al. (2001), bahkan konsentrasi BOT di
tambak udang dan tandon bakau mencapai 60 ppm dan peningkatan konsentrasi BOT diikuti oleh
meningkatnya populasi Vibrio spp. Namun pada penelitian ini populasi Vibriosp. cenderung
menurun sebagai akibat pertumbuhan bioflok yang semakin padat terutama di tambak B.
Pertumbuhan Udang
Pertumbuhan udang di tambak B tampak lebih rendah apabila dibanding dengan
pertumbuhan udang di tambak A. Berdasarkan monitoring populasi udang pada hari ke 70, telah
diketahui bahwa populasi udang di tambak A kurang lebih hanya 50% dari populasi udang di
tambak B. Di tambak B, pada hari ke 84, bioflok sudah tumbuh, sehingga dosis pakan yang
diberikan ke udang di petak B yang seharusnya sebanyak 3% dari total perkiraan biomassa udang
dalam tambak, namun untuk efisiensi hanya diberikan pakan 2,5% dari total perkiraan berat
biomassa udang dalam tambak. Dua hal tersebut yang menyebabkan pertumbuhan udang di
tambak B lebih lambat dari pada pertumbuhan udang di tambak A. Setelah udang dipanen,
diperoleh berat rata-rata udang 17,80+ 1,73 g/ekor, sintasan udang 34,32%, produksi 1515,5 kg,
nilai konversi pakan 1,82 (tambak A), dan berat rata-rata udang 13,38+ 1,79 g/ekor, sintasan
udang 70,72%, produksi 2650 kg, nilai konversi pakan 1,58% (tambak B).
Pertumbuhan bioflok di tambak B tampak cukup padat, yaitu mencapai 15 mL/L, terutama
setelah masa pemeliharaan 90 hari, dan selanjutnya volume flok diatur agar konstan hingga
menjelang panen dengan cara mengatur jumlah dan selang waktu pemberian molase ke tambak
hingga hanya setiap tiga atau empat hari sekali dan seminggu dua kali dilakukan pembuangan air
tambak melalui pintu air, terutama air tambak yang sudah berwarna hitam. Penambahan air
dilakukan hanya untuk mengganti air yang keluar dari tambak.
Penelitian ini berlangsung pada waktu salinitas air tambak cukup tinggi selama
pemeliharaan, yaitu dari 35 ppt pada waktu tebar hingga mencapai 53 ppt pada waktu panen. pH
air berfluktuasi antara 7,5–8.0. Sedangkan oksigen terlarut pada awal penelitian di pagi hari jam 7
masih 6 ppm, namun pada saat mendekati panen, konsentrasi oksigen paling rendah mencapai 4
ppm. Udang vaname yang dibudidaya dengan pola tradisional plus, mampu tumbuh baik pada
salinitas tinggi (34–53 ppt) (Gunarto & Mansyur, 2007). Dengan demikian, faktor padat tebar dan
sintasan udang yang lebih dominan berpengaruh pada kecepatan pertumbuhan udang daripada
salinitas yang tinggi.

6 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (pRB-07)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Kesimpulan
Pada tambak yang ditumbuhkan bioflok (tambak B), konsentrasi amoniak dan BOT
cenderung rendah, populasi Vibriosp. di air maupun sedimen tambak juga rendah.Sedangkan pada
tambak yang bioflok tidak ditumbuhkan, konsentrasi amoniak, BOT, populasi Vibriosp. di air dan
sedimen cenderung lebih tinggi.Selain itu, pada tambak yang ditumbuhkan bioflok (tambak B),
sintasan dan produksi udang vaname tinggi (70,72%; 6717,2 kg), tetapi nilai konversi pakan
rendah (1:1,58). Sedangkan pada tambak yang tidak ditumbuhkan bioflok, sintasan dan produksi
udang vaname rendah (34,3%; 4303,9 kg) dan nilai konversi pakan tinggi (1:1,82).

Daftar Pustaka
Adiwidjaya, D., S.P. Rahardjo, E. Sutikno, Sugeng & Subiyanto. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya
Udang Vanamei (Litopenaeus Vannamei) Sistem Tertutup Yang Ramah Lingkungan.
Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. 29 hlm.
Ahmad, T., M. Tjaronge & F. Cholik. 2001. The Use Of Mangrove Stands For Shrimp Pond WasteWater Treatment. IFR Journal 7 (1): 7 – 15.
Anonim. 2003. Kualitas Air Laut Bagian 3 Cara Uji Amonia (NH3-N) Dengan Biru Endofenol Secara
Spectrofotometri. Badan Standardisasi Nasional. 10 hlm.
Avnimelech, Y. 1999. Carbon/Nitrogen Ratio As Control Element In Aquaculture Systems.
Aquaculture 176: 227 – 235.
Avnimelech, Y. 2009. Biofloc Technology, A Practical Guide Book. World Aquaculture Society.
Baton Rouge, Louisiana, Amerika Serikat, 181 hlm.
Boyd, C.F. 1990. Water quality in ponds for aquaculture.Auburn University, Alabama USA, 482
hlm.
Bray, W.A., A.C. Lawrence & J.R. Leung-Trujillo. 1994. The Effect Of Salinity On Growth And
Survival Of Penaeus Vannamei, With Observation On Interaction Of IHHN Virus And
Salinity. Aquaculture 122: 133 – 146.
Choo, P.S. & K. Tanaka. 2000. Nutrient Levels In Ponds During The Grow-Out And Harvest Phase
Of Penaeus Monodon Under Semi-Intensive Or Intensive Culture. JIRCAS Journal (8): 13
– 20.
Clesceri, L.S., A.E. Greenberg & A.D. Eaton. 2005. Standard Methods for the Examination of
Water and Wastewater. American Public Health Association, 1015 Fifteenth Street, NW
Washington. Hal : 4 – 103.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan Perairan.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hlm : 64 – 66.
Ekasari, J. 2008. Bio-flocs technology: The Effect Of Different Carbon Source, Salinity And The
Addition Of Probiotics On The Primary Nutritional Value Of The Bio-Flocs. Thesis Master
pada Ghent University, Belgia. 91 hlm.
Gunarto, Suharyanto, Muslimin & A.M. Tangko. 2003. Budidaya Udang Windu Mengguanakan
Tandon Mangrove Dengan Pola Resirkulasi Berbeda. JPPI Edisi Akuakultur 9 (2) : 57 –
64.
Gunarto & A. Mansyur. 2007. Budidaya Udang Vanamei (Litopenaeus Vannamei) Di Tambak
Dengan Padat Tebar Berbeda Menggunakan Sistem Pemupukan Susulan. Jurnal Riset
Akuakultur 2 (2) : 167 – 176.

Semnaskan _UGM / RekayasaBudidaya (pRB-07) - 7

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Gunarto, Abdul Mansyur dan Muliani. 2009. Aplikasi Dosis Fermentasi Probiotik Berbeda Pada
Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Pola Intensif. Jurnal Riset Akuakultur 4
(2) : 241 – 255.
Gunarto dan H. Suryanto. 2011. Produksi Bioflok Dan Nilai Nutrisinya Dalam Skala Laboratorium.
Makalah Diseminarkan Dalam Bentuk Poster Pada Acara Seminar Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur, Juli 2011. 11 hlm.
Hari, B., B.M. Kurup, J.T. Varghese, J.W. Schrama & M.C.J. Verdegem. 2004. Effects Of
Carbohydrate Addition On Production In Extensive Shrimp Culture Systems. Aquaculture
241 : 179 – 194.
Ivan, D.S. 2005. Biosekurity Budidaya Litopenaeus Vannamei Dan Informasi Beberapa Penyakit.
CP Prima. Surabaya. 26 hlm.
Kartika, A. 2009. Optimum Rasio C/N Medium Dengan Penambahan Sukrose Pada Pembentukan
Bioflok Untuk Peningkatan Kualitas Air Pada Sistem Akuakultur. Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati ITB, email: kartikalifl@yahoo.com.
Li, E., L. Chen, C. Zeng, X. Chen, N. Yu, Q. Lay & J.G. Qin. 2007. Growth, Body Composition,
Respiration And Ambient Ammonia Nitrogen Tolerance Of The Juvenile White Shrimp,
Litopenaeus Vannamei, At The Different Salinities. Aquaculture 265 : 385 – 390.
Lin, Y.C. & J.C. Chen. 2003. Acute Toxicity Of Nitrite On Litopenaeus Vanname (Boone) Juveniles
At Different Salinity Levels. Aquaculture 224:193 – 201.
Samocha, T. M., P. Susmita, J.S. Burger, R.V. Almeida, A. Abdul-Mehdi, A. Zarrein, M. Harisanto,
A. Horowitz & D.L. Brock. 2006. Use Of Molasses As Carbon Source In Limited Discharge
Grow-Out Systems For Litopenaeus Vannamei. Aquaculture America, hlm : 1 – 2.
Smith, D.M., M.A. Burford, S.J. Tabrett, S.J. Irvin & L. Ward. 2002. The Effects Of Feeding
Frequency On Water Quality And Growth Of The Black Tiger Shrimp (Penaeus Monodon).
Aquaculture 207:125 – 136.
Tsai, S.J. & J.C. Chen. 2002. Acute Toxicity Of Nitrate On Penaeus Monodon Juveniles At
Different Salinity Levels. Aquaculture 213 : 163 – 170.
Tanya Jawab
Penanya

: Dra. Titi Soedjiarti

Pertanyaan

: Apakah molasenya difermentasi?

Jawaban

: Iya, molasenya difermentasi bersamaan dengan fermentasi probiotik. Molase
juga langsung ditambahkan ke air tambak untuk meningkatkan CN rasio air
tambak > 10 : 1.

8 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (pRB-07)