Faktor Identifikasi Kepartaian Faktor F

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Dasar Teori .
Perilaku Pemilih.
Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilakau pemilih, namun
terdapat faktor-faktor lain yang juga berpengaruh. Para pemilih dapat saja
memilih seorang calon baik calon kepala daerah maupun calon anggota dewan,
karena dianggap sebagai refresentatif dari keagamaan. Namun dapat juga ia
memilih karena ikatan kepartaian dan juga mewakili kelompoknya. Atau ada juga
pemilih yang memilih calon karena ikatan emosional misalnya taat dan kepatuhan
terhadap seseorang dengan ikatan loyalitas terhadap figur bersangkutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut, diperlukan dalam rangka
calon dalam menyusun strategi pemasaran dirinya atau juga programnya.
Informasi mengenai berbagai variabel tersebut jelas berguna dalam menyusun
strategi komunikasi, manejmen kandidat, dan penyusunan isu serta kebijakan yang
akan ditawarkan kepada para pemilih. Efektivitas dan efisiensi penyampaian
pesan-pesan politik tersebut sangat tergantung pada pemahaman si calon tentang
perilaku pemilih di daerah yang akan diwakili atau dipimpinnya. Ini jelas bahwa
akan membuat strategi misalnya siapa, apa dan bagaimana menarik massa akan
ditentukan oleh perilaku pemilih. Singkatnya, perilaku pemilih dimana

masyarakat yang akan di wakili atau akan dipimpin menjadi informasi penting
dalam merencanakan kampanye dan alokasi sumber daya yang dimiliki seseorang.

UNIVERSITAS LAMPUNG 6

Berkaitan dengan perilaku pemilih tersebut, maka ada beberapa pendekatan untuk
mengkajinya yakni pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan
rasionalias.

1.1.1. Pendekatan sosiologis
Subkultur tertentu memiliki kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara
pada perilaku tertentu. Kognisi yang sama antar anggota subkultur terjadi karena
sepanjang hidup mereka dipengarui lingkungan fisik dan sosio kultural yang
relatif sama. Mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama.
Kerena itu, mereka memiliki kepercayaan, nilai, dan harapan yang juga relatif
sama, termasuk dalam kaitannya dengan preferensi pilihan politik. Dengan
pendekatan ini, para anggota subkultur yang sama cenderung mempunyai prefensi
politik yang sama pula.
Kepercayaan, nilai, dan harapan masing-masingnya sering juga disebut sebagai
unsur kognitif, afektif, dan konatif, akan menunjukan arah perilaku seseorang.

Kepercayaan mengacu kepada apa yang diterima sebagai benar atau tidak benar
tentang sesuatu. Kepercayaan didasarkan pada pengalaman masa lalu pengetahuan
dan informasi sekarang, dan persepsi yang sinambung. Nilai melibatkan kesukaan
dan ketidaksukaan, cinta dan kebencian, hasrat dan ketakutan seseorang.
Sementara itu, pengharapan mengandung citra seseorang tentang akan separti apa
keadaannya setelah tindakan. Pengharapan diutarakan dalam pertimbangan: apa
yang terjadi dimasa lalu, seperti apa keadaan sekarang, dan apa kiranya yang akan
terjadi jika dilakukan tindakan tertentu.

UNIVERSITAS LAMPUNG 7

Pendekatan sosiologis menjelaskan, karakteristik dan pengelompokan sosial
merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada
hakikatnya adalah pengalaman kelompok.
Model ini dikenal sebagai model perilaku memilih Mazhab Columbia(Adnan
Nursal, 2004). Cikal-bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian
dikembangkan oleh para sosiolog Amerka Serikat yang mempunyai latar belakang
Eropa, khususnya di Univesitas Columbia. Menurut Mazhab Columbia,
pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan sosial-usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang

keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal, dan lainnya
memberi pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih.
Kelompok-kelompok sosial itu memiliki peranan besar dalam membentuk sikap,
persepsi, dan orientasi seseorang. Dalam banyak penelitian, faktor agama, aspek
geografis(kedaerahan), dan faktor kelas atau status ekonomi(khususnya dinegaranegara maju) memang mempunyai korelasi nyata dengan perilaku pemilih.
Menurut Bone dan Ranney( dalam Firmansyah ,2008 ), ada tiga tiga tipe utama
pengelompokan sosial.
1. Kelompok kategorial
Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau
beberapa karakter khas, tetapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik
dan tidak menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Setiap
kelompok memiliki karakteristik politik yang berbeda. Secara umum,
perbedaan perilaku politik setiap kategori terjadi karena masing-

UNIVERSITAS LAMPUNG 8

masing kategori memberi reaksi yang berbeda terhadap berbagai faktor
berikut :
A. Peristiwa politik, misalnya dampak kebijakan pemerintah
menghapuskan subsidi makanan pokok lebih dirasakan para

ibu dibandingkan kaum laki-laki karena, dalam kultur
Indonesia, umumnya alokasi pengeluaran untuk bahan
pokok diatur kaum ibu. Karena itu, kaum ibu lebih peka
dengan isu-isu tersebut dibandingkan demngan kaum lelaki.
B. Pengalaman politik, misalnya bagaimana heroisme dan
pahit-getir mempertahankan kemerdekaan, lebih dirasakan
oleh pemilih usia tua dibandingkan dengan pemilih pemula.
Karena itu, para pemilih yang berusia relatif tua lebih
reaktif terhadap isu yang berkaitan dengan nasioalisme.
C. Peran-peran sosial, misalnya, masih adanya anggapan
bahwa masalah politik adalah urusan kaum laki-laki,
terutama didaerah-daerah dengan tingkat pendidikan tidak
terlalu tinggi, hingga pola pilihan politik ditentukan oleh
para suami dan istri mengikuti pilihan suaminya.
Pengelompokan kategorial terbentuk berdasarkan faktor-faktor
berikut :
A. Perbedaan jenis kelamin
B. Perbedaan usia
C. Perbedaan pendidikan


UNIVERSITAS LAMPUNG 9

2. Kelompok sekunder
Kelompok sekunder terdiri dari orang-orang ,yang memiliki ciri
yang

sama

yang

menyadari

tujuan

dan

indentifikasi

kelompoknya, dan bahkan sebagian membentuk organisasi
untuk


memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok

sekunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan
kelompok kategorial.
Kekuatan

pengaruh

kelompok

sekunder

kepada

para

anggotanya tergantung pada empat faktor psikologis.
Pertama,
kelompok.


kuat-lemahnya

identifikasi

individual terhadap

Jika identifikasi seseorang dengan kelompoknya

kuat, maka pengaruh kelompok terhadap individual tersebut
akan kuat pula.
Kedua, berkaitan dengan lamanya seseorang menjadi anggota
kelompok : semakin lama seseorang menjadi anggota suatu
kelompok, kian kuat keterlibatan psikologis yang bersangkutan
dengan kelompok tersebut.
Ketiga, pengutamaan politik bagi para pemimpin suatu
kelompok : semakin penting makna politik, maka semakin kuat
para pemimpin tersebut mendesakkan tindakan politis tertentu
untuk meningkatan loyalitas kelompok.
Keempat, tingkat kepentingan politik bagi anggota-anggota

individual.

UNIVERSITAS LAMPUNG 10

Kelompok-kelompok sekunder dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
A. Pekerjaan
B. Status sosio ekonomi dan kelas sosial
C. Kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama,
dan daerah asal.
3. Kelompok primer
Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan
secara teratur melakukan kontak dan interaksi langsung.
Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan
langsung terhadap perilaku politik seseorang, khususnya dari
keluarga dan teman-teman dekat.
Mereka yang termasuk dalam kelompok primer adalah :
A. Pasangan-pasangan suami istri
B. Orang tua dan anak-anak
C. Kelompok bermain (peer groups)


1.1.2. Pendekatan psikologis
Meskipun sangat berguna dalam menyujsun strategis kampanye, pendekatan
sosiologis tidak memuaskan semua pakar politik. Kelemahan pendekatan
sosiologis antara lain terletak pada sulitnya mengukur secara tepat indikator kelas
sosial, tingkat pendidikan, dan agama. Secara materi patut dipersoalkan apakah
benar variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga,
kelompok-kelompok primer atau sekunder itu memberi sumbangan pada prilaku

UNIVERSITAS LAMPUNG 11

pemilih( Nursal, 2004). Tidakkah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan
dengan perilaku pemilih jika ada proses sosialisasi? Untuk itu, sosialisasilah yang
sebenarnya menentukan bukan karakteristik sosiologis.
Karena kelemahan itu, muncul model perilaku pemilih berdasarkan
pendekatan psikologis. Pelopor pendekatan ini August Campbell, peneliti pada
Suvey Research Centre, sebuah lembaga penelitian di Universitas Michigan,
Amerika Serikat. Pendekatan ini dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat
dengan kontributor utama Universitas Michigan, hingga model perilaku pemilih
berdasarkan pendekatan psikologis juga sering disebut Mazhab Michigan.

Mazhab Michigan menggaris bawahi adanya sikap politik para pemberi
suara yang menetap. Teori ini dilandasi oleh konsep sikap dan sosialisasi. Sikap
seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya. Sikap itu terbentuk melalui
sosisalisasi yang berlangsung lama, bahkan bisa jadi sejak seorang calon pemilih
masih berusia dini. Pada usia dini, seorang calon pemilih telah menerima
“pengaruh” politik dari orang tuanya, baik dari komunikasi langsung maupun dari
pandangan politik yang di ekpresikan orang tuanya. Sikap tersebut menjadi lebih
mantap ketika menghadapi pengaruh berbagai kelompok acuan seperti pekerjaan,
kelompok pengajian, dan sebagainya. Proses panjang sosialisasi itu kemudian
membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan
lainnya. Ikatan seperti inilah yang disebut sebagai identifikasi partai, sebuah
variabel inti untuk menjelaskan pemilih berdasarkan Mazhab Michigan.
Dalam berbagai literature psikologi sosial-semisal Agger ( 2005 )disebutkan. Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama
dengan orang lain tanpa disadari. Identifikasi dilakukan orang kepada orang lain

UNIVERSITAS LAMPUNG 12

yang dianggapnya ideal dalam suatu segi. Bagi seorang anak, misalnya
identifikasi dengan orang tuannya bukan sekedar untuk menjadi seperti ayah dan
ibu secara lahiriah saja, melaikkan justru secara batiniah. Tujuannya tak lain untuk

memperoleh sistem, norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal. Nyata bahwa
saling hubungan sosial yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam
daripada hubungan yang berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun
imitasi.
Kuatnya pengaruh identifikasi terhadap perilaku pemilih berkaitan dengan
fungsi sikap. Menurut Greenstein, seperti dikutip Agger (2005), sikap memiliki
tiga fungsi. Pertama, fungsi kepentingan, bahwa penilaian terhadap suatu objek
diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua,
fungsi penyesuaian diri, bahwa seseorang bersikap tertentu sesuai dengan
keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau
kelompok panutannya. Ketiga, fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, bahwa
upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud
mekanisme pertahanan dan eksternalisasi seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi,
dan identifikasi.
Lebih lanjut, Agger menguraikan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui proses yang panjang. Proses ini dimulai dari masa kanak-kanak saat
dimana seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orang tua dan
kerabat dekat. Lalu, seseorang mendapat pengaruh politik dari berbagai kelompok
dari dunia di luar keluarga seperti kelompok sebaya, teman sekolah, dan
sebagainya. Kemudian sikap politik terbentuk oleh kelompok acuan seperti
pekerjaan, masjid, partai politik, dan sebagainya. Proses sosialisasi inilah yang

UNIVERSITAS LAMPUNG 13

membentuk ikatan psikologis seseorang dengan partai politik tertentu yang
kemudian dikenal sebagai identifikasi partai.
Identifikasi partai merupakan faktor yang penting untuk memahami
perilaku pemilih. Akan tetapi, dengan teori identifiksi partai, seolah-olah semua
pemilih relatif mempunyai pilihan yang tetap. Dari Pemilu ke Pemilu, seseorang
selalu

memilih partai atau kandidat yang sama. Orang tersebut seolah-olah

bergeming atau tidak terpengaruh oleh perubahan dunia sekitar. Dengan
sendirinya pula, seolah-olah seseorang tidak terpengaruh komunikasi politik
menjelang dan saat kampanye politik.
Berdasarkan konsep tindakan komunikasi ( Firmansyah, 2008), para
pemilih yang dipengaruhi oleh faktor identifikasi partai ini digolongkan sebagai
pemberi suara yang reaktif. Konsep ini juga mengaitkan pendekatan sosiologis
dengan

pendekatan

psikologis.

Identifikasi

partai

berkaitan

dengan

pengelompokan sosial.
Asumsinya adalah bahwa manusia beraksi terhadap rangsangan secara
pasif dan terkondisi. Perilaku pemberi suara dibentuk oleh faktor-faktor jangka
panjang, terutama faktor sosial. Pengelompokan sosial dan demografi berkolerasi
dengan proses identifikasi partai. Ini tak lain karena karakter kelompok sosial dan
demografi dimana pemilih itu berada, memberi pengaruh sangat penting dalam
proses pembentukan ikatan emosional pemilih dengan simbol-simbol partai,
terutama pada awal sosialisasi.
Simbol-simbol kelompok dan ikatan-ikatan kesejarahan, dengan proses
tertentu, dapat melekat pada simbol-simbol partai sehingga terciptalah identifikasi
partai. Sebagian anggota kelompok etnis dan agama tertentu, misalnya, memiliki

UNIVERSITAS LAMPUNG 14

hubungan emosional yang kuat dan panjang dengan partai tertentu. Contoh
lainnya, suatu kelompok masyarakat dengan proses tertentu, dapat memiliki ikatan
emosional dengan tokoh tertentu, dapat memiliki ikatan emosional dengan tokoh
tertentu yang menjadi ikon partai tertentu. Ikatan itu seringkali tak tergoyahkan,
jika tidak ada proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya.
Hanya saja, perilaku reaktif hanyalah sebatang pohon dari sebuah hutan konsep
perilaku pemilih. Diberbagai belahan dunia, proporsi pemilih yang mendasarkan
tindakannya pada identifikasi partai cenderung berkurang.

1.1.3. Pendekatan rasional
Pada kenyataannya, sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari
suatu pemilu ke pemilu lainnya. Peristiwa-peristiwa politik tertentu bisa saja
mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Komunikasi politik, dengan
substansi dan strategi yang tepat mungkin saja mempengaruhi pilihan seseorang.
Pengubahan ini, meskipun harus melalui usaha yang keras, bukan hal yang
mustahil. Dengan kata lain, perilaku pemilih bukan hanya ditentukan oleh faktor
karakteristik sosial dan identifikasi partai.
Perilaku pemilih di Inggris tampaknya merupakan salah satu bukti adanya
peluang untuk mempengaruhi pemilih diluar “jalur” karakteristik social dan
identifikasi. Kavanagh mengemukakan, dewasa ini perilaku pemilih Inggris lebih
sulit diprediksi karena tiga alasan. Pertama, menurunnya jumlah orang yang
mengidentifikasi diri mereka secara kuat dengan partai-partai. Kedua, loyalis
kelas melemah, dan kelas pekerja berkurang jumlahnya. Ketiga, terjadi perubahan
sosial, yang antara lain ditandai dengan perubahan pekerjaan dan pemukiman.

UNIVERSITAS LAMPUNG 15

Dengan tiga faktor tersebut, dukungan para pemilih ke pada partai-partai
bersifat ‘mudah menguap’ (volatil). Survei jajak pendapat membuktikan, rating
dukungan kepada suatu partai pada awal pekan kampanye bisa berubah secara
signifikan pada akhir pekan. Ini mengindikasikan kampanye memberikan andil
dalam perilaku pemilih. Pilihan isu yang merupakan “mainan” utama juru
kampanye tak bisa diabaikan.
Hanya saja, pilihan isu politik tidak serta merta menjadi daya pikat kuat
dan satu-satunya faktor yang mustahak. Satu dan lain hal ialah karena adanyanya
skeptisisme tentang kemampuan para kandidat untuk menghela dan mewujudkan
isu dalam agenda pemerintahan bila kelak terpilih. Walhasil, “pesona” kandidat
juga menjadi faktor penting dalam menentukan perilaku pemilih.
Penelitian Pomper pada pemilu 1946, 1964, dan 1972 (dalam Kristiadi,
1996 ) menghasilkan kesimpulan yang mirip dengan catatan kavanagh tentang
perilaku pemiih di Inggris. Pertama, hubungan antara variabel-variabel sosialekonomi dengan pilihan pemilih semakin melemah dari pemilu ke pemilu, dan
sampai tingkat yang rendah pada tahun 1972.
Faktor-faktor demografis ketika dihubungkan dengan pilihan pemilih juga
mengalami hal yang sama. Kedua, posisi isu-isu politik dalam menentukan
perilaku politik meningkat secara tajam, baik dampaknya secara langsung
terhadap pilihan pemilih maupun secara tidak langsung melalui penilaian calon
kandidat. Ketiga, terjadi penurunan pengaruh identifikasi partai terhadap pilihan
pemilih secara terus-menerus mulai dari pemilu 1956, 1964, dan puncaknya pada
pemilu 1972.

UNIVERSITAS LAMPUNG 16

Hasil penelitian di Inggris dan Amerika Serikat itu mengantarkan kita
kependekatan rasional untuk melengkapi pendekatan sosiologis dan psikologis.
Pendekatan rasilonal terutama berkaitan dengan orientasi pemilih, yakni .orientasi
isu dan orientasi kandidat. Perilaku pemilih berorientasi isu berpusat pada
pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah-dari partai yang
berkuasa kelak-dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat, bangsa, dan Negara.sementara orientasi kandidat mengacu pada sikap
seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partai.
Ketertarikan para pemilih terhadap isu-isu tertentu dan kandidat tertentu
yang ditawarkan oleh partai bersifat situasional. Dengan sendirinya, daya tarik isu
dan kandidat tersaebut tidaklah selalu permanen, melainkan berubah-ubah.
Pengaruh isu dan kandidat itu antara lain berkaitan erat dengan peristiwaperistiwa sosial, ekonomi, dan politik tertentu yang kontekstual dengan pemilu
bersangkutan, terutama peristiwa dramatis.
Sementara itu, pendekatan rasional terhadap kandidat bias didasarkan pada
kedudukan, informasi, prestasi, dan popularitas pribadi bersangkutan dalam
berbagai bidang kehidupan seperti organisasi, kesenian, olahraga, dan politik.
Untuk melihat bagaimana perilaku pemilih berubah-ubah dan dipengaruhi
faktor situasional, sekali lagi kita mencatat sejarah persaingan partai di Inggris.
Bulan oktober 1978, jajak pendapat menunjukan Partai Buruh lebih unggul
dibandingkan Partai Konservatif. Tetapi pada februari 1979, partai Konservatif
unggul 20 persen. Pada bulan-bulan awal tahun 1982, jajak pendapat menunjukan
ketiga partai yang bersaing memiliki level dukungan yang sama, sehingga
beberapa pemuka Partai Konservatif meminta pergeseran Margareth Thatcher dari

UNIVERSITAS LAMPUNG 17

kursi ketua partai. Dua tahun berikutnya, setelah Inggris memenagkan perang
Falkland, Partai Konservatif melesat dengan keunggulan yang fantastis.
Dampak peristiwa terentu, pengaruh isu-isu, dan kandidat yang ditawarkan
terhadap perubahan situasional perilaku pemilih membuat beberapa pakar melirik
perilaku konsumen produk bisnis salah satu pendekatan untuk memahami perilaku
pemilih. Perilaku pemilih, merupakan pengambilan keputusan cepat dan bahwa
pengambilan keputusan itu tergantung pada situasi sosial-politik tertentu yang
tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lainnya.
Kualitas kandidat memiliki dua variable. Pertama, kualitas instrumental
yakni tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat bila kelak
menang pemilu. Misalnya keyakinan pemilih bahwa seorang kandidat akan
memberantas korupsi sekalipun sang kandidat tidak menyatakn demikian. Kedua,
kualitas simbolis, yakni kulitas kepribadian seseorang yang berkaitan dengan
integritas diri, ketegasan, ketaatan pada norma dan aturan, kebaikan, sikap
merakyat, dan sebaginya.
Dampak suatu peristiwa besar terhadap gelombang perubahan perilaku
pilihan politik suatu kelompok generasi dibandingkan dengan kelompok generasi
lainnya dapat dijelaskan juga dengan analis kohor. Analisis ini, merupakan sebuah
metode untuk meneliti pola perubahan perilaku atau sikap suatu kohor. Sebuah
kohor adalah sebuah kelompok individu dengan perilaku dan sikap tertentu,
diasosialisasikan dengan peristiwa yang terjadi dalam periode tertentu.
Berdasarkan analisis itu, sekedar sebuah contoh perilaku kohor angkatan
1966 berbeda dengan kohor 80-an dan 98. Kohor 66 dapat memaklumi
terjkadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses pengambilan keputusan

UNIVERSITAS LAMPUNG 18

diperusahaan besar. Kohor 80-an ungkin akan menyesali tindakan itu dengan
menggerutu atau mengadakan perlawanan dalam hati. Tetapi kohor 98 mungkin
akan memprotes keras secara nyata, langsung, dan tunjuk hidung kepada sang
pengambil keputusan. Konsep kohor ini akan “dimainkan” lebih detil pada bagian
berikutnya, terutama dalam bab segmentasi para pemilih.
Masih dalam konteks pendekatan rasional, perilaku pemilih juga
ditentukan faktor-faktor politik tertentu. Dinegara-negara sedang berkembang,
prosedur dan aturan main pemilu cenderung mempengaruhi pemilih untuk
berpihak kepada para penguasa. Malahan, ancaman dan paksaan acapkali menjadi
strategi kunci bagi suatu partai untuk memenangkan pemilu. Faktor lainnya adalah
pemberian imbalan-ekonomi langsung kepada pemilih-terutama kepada para
penduduk dibawah garis kemiskinan-atau tokoh berpengaruh terhadap pemilih
tersebut, sangat mempengaruhi perilaku pemilih.
Pendekatan rasional menghantarkan kita pada kesimpulan bahwa para
pemilih benar-benar rasional. Para pemilih malakukan “penilaian” yang valid
terhadap

tawaran

partai.

Berdasarakan

tindakan

komunikasi,

Nimmo

menggolongkan para pemilih ini sebagai pemberi suara yang rasional. Pemilih
rasional itu memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat informasi
yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasaan,
bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kepentingan umum, menurut
fikiran dan pertimbangan yang logis.

UNIVERSITAS LAMPUNG 19

Cirri-ciri pemberi suara yang rasional itu meliputi lima hal :
A. Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif
B. Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja,
atau lebih rendah dibandingkan dengan alternatif lain
C. Menyusun alternatif dengan cara transitif : jika A lebih disukai daripada B,
dan B lebih baik daripada C, maka A lebih disukai daripada C.
D. Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih tinggi
E. Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatifalternatif yang sama.
Apakah para pemilih benar-benar rasional? Secara hipotesis dapat dikatakan,
pemilih rasional yang memenuhi syarat sangat kecil jumlahnya. Rasionalitas yang
terjadi ketika seseorang membeli produk konsuntif amat jarang terjadi ketika ia
mempertimbangkan pilihan politiknya. Hal ini disebabkan karena tidak ada
insentif yang memadai untuk mencari informasi maksimal sebagai input untuk
mengambil keputusan.
Seseorang memiliki motivasi memadai untuk mencari atau mengolah
informasi tentang merek pesawat televisi yang akan dibelinya. Sebaliknya, tidak
banyak pemilih yang memiliki perhatian penuh terhadap tawaran partai-parati atau
kandidat politik. Masyarakat awam diberbagai pelosok negeri, dimanapun didunia
ini, jarang mendiskusikan isu politik dan kandidat legislative secara mendalam.
Konsep Kristiadi (1996) mengenai pemberi suara responsip, agaknya dapat
menjelaskan perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis
dan psikologis. Bahwa perilaku pemberi suara yang responsip tidak permanen,
tetapi berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peristiwa

UNIVERSITAS LAMPUNG 20

politik. Dengan demikian, para pemilih sanagat dikondisikan oleh berbagai
rangsangan luar. Apa yang mereka pilih pada hari pemilihan ditentukan oleh
rangsangan yang diberikan oleh pemimpin politik, partai dan kandidat.
Karakter pemberi suara responsip adalah sebagai berikut :
A. Walaupun

dipengaruhi

karakteristik

sosial

dan

demografis

tapi

pengaruhnya tidak deterministik,
B. Pemberi suara responsip memiliki kesetian kepada partai, tetapi afiliasi ini
tidak menentukan perilaku pilihan,
C. Pemberi suara yang responsip lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka
pendek yang penting dalam suatu pemilihan umum tertentu ketimbang
kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kepada partai yang lebih
penting daripada semua pemilihan umum.
Sekali lagi, penjelasan ini berguna untuk mejelaskan perbedaan pendekatan
rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis. Tetapi penjelasan ini-dan
juga pendekatan rasional secara umum-perlu diberi catatan tambahan dengan
merujuk kepada Popkin. Bahwa para pemilih memang menyerap informasi tetapi
mereka tidak mencari dan mengolah informasi dengan aktif.
Mereka mendapat informasi sebagai produk sampingan dari berbagai
aktifitas sehari-hari. Mereka tidak memperoleh informasi yang cukup. Mereka
juga tidak memiliki waktu untuk memeriksa akurasi informasi yang diresapnya.
Fenomena inilah yang dipostulatkan Popkin sebagai hukum low-information
rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas) atau gut-rationality (logika
perut).

UNIVERSITAS LAMPUNG 21

Walaupun ke tiga pendekatan tersebut telah menjadi pakem yang menjadi
acuan dalam meneliti dan memahami perilaku pemilih dinegara-negara seperti
Amerika,Eropa dan Asia. Tetapi pendekatan ini, tampaknya tidak dapat secara
persis dapat diterapkan untuk memahami perilaku pemilih di Indonesia, karena
beberapa alasan, antara lain:
Pertama, mazhab sosiologi terlalu menekankan peranan kelas (Marxian dan
Weberian), sebagai faktor yang menentukan prefrensi politik. Mazhab ini juga
percaya bahwa kelas merupakan basis atau landasan pengelompokan politik,
sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang berdasarkan kelompokkelompok masyarakat yang berlainan karena kepentingan ekonomi tertentu. Hal
itu jelas tidak dikenal di Indonesia. Kalaupun terdapat “kelas-kelas” dalam
masyarakat, mereka lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang berkuasa (
birokrat ) dengan yang dikuasai ( rakyat ), serta pengelompokan berdasarkan
primordial.
Kedua, mazhab psikologis menitik beratkan identifikasi kepartaian, khususnya
sikap seseorang terhadap isu-isu politik, calon presiden atau anggota parlemen. Ini
kurang relevan karena kehidupan politik di Indonesia belum memungkinkan
berkembangnya isu-isu politik yang dapat menjadi pilihan alternatif, mengingat
masih dimungkinkannya dominasi isu politik oleh kekuatan sosial politik tertentu.
Ketiga, mazhab ekonomis atau rasionalitas perilaku pemilih dalam Pemilu,
kurang realistis mengingat sebagian besar masyarakat belum mengenal dengan
baik calon-calon anggota parlemen dan isu-isu politik yang berkembang sehingga

UNIVERSITAS LAMPUNG 22

tidak mungkin melakukan penelitian mengenai keuntungan dan kerugian yang
diperoleh karena pemilu lebih dipusatkan kepengenalan tanda gambar.1
Tak adanya konsep Barat yang secara mutlak dapat diterapkan untuk
melakukan studi empiris mengenai perilaku pemilih di Indonesia, bukan berarti
teori-teori tersebut tidak ada gunanya sama sekali. Menggabungkan ide-ide dasar
ke tiga mashab tersebut diharapkan menjadi model pendekatan yang dapat
menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia.
Mazhab Sosiologis digunakan untuk meneliti pemilahan masyarakat yang secara
besar dibagi dua kelompok yaitu penguasa (pimpinan) dan yang dikuasai (anggota
masyarakat). Selain itu pengelompokan masyarakat dari aspek tingkat pendidikan,
pekerjaan, tempat tinggal (desa dan kota), dan lain-lain dapat membantu
menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia.
Sementara itu, dengan penggunaan mazhab psikologis diharapkan dapat
memberikan prespektif internalisasi dan sosialisasi nilai budaya, adat istiadat dan
kebiasaan yang membentuk budaya politik masyarakat yang pada gilirannya akan
mempengaruhi perilaku pemilih. Penggabungan kedua pendekatan ini selanjutnya
disebut pendekatan sosio cultural.
Mazhab

rasionalitas

dapat

memberikan

kontribusi

tentang

berkembangnya praktek politik uang yang sering dilakukan oleh si calon dalam
mempengaruhi massa. Untuk itu dapat diketahui apakah politik uang ini
merupakan juga budaya si pemilih dalam menjelang pemilu, atau itu merupakan
imbas dari globalisasi yang kesemuanya diukur dari uang, atau juga dapat

1

J. Kristiadi, Op. Cit., Hal. 76-77

UNIVERSITAS LAMPUNG 23

diketahui apakah politik uang hanya merupakan fenomena dari masyarakat dari
Negara yang sedang berkembang saja dengan penduduknya yang rata-rata miskin.

2.2.

Tinjauan Tentang Pemilihan Umum
Salah satu syarat suatu negara yang menganut paham demokrasi adalah

adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin negara dengan
diadakannya pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dan menegakan suatu tatanan politik yang
demokratis.
Artinya pemilu merupakan mekanisme demokratis untuk melakukan
pergantian elit politik atau pembuat kebijakan ( Mulkan, 1998 ). Dari pemilu ini
diharapkan lahirnya lembaga perwkilan dan pemerintahan yang demokratis. Salah
satu fungsinya adalah sebagai alat penegak atau penyempurna demokrasi dan
bukan sebagai tujuan demokrasi.

Menurut Undang-Undang Pemilu No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan umum bahwa :
“Pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia negara yang
berdasarkan Pancasila dsebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indinesia Tahun 1945”
Sedangkan menurut Abdul Munir Mulkan (1998) Pemilihan umum adalah :
”Sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang pada
dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk
kekuasaan negara yang benar-benar memancar kebawah sebagai suatu
kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat.

UNIVERSITAS LAMPUNG 24

Dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum merupakan sarana legitimasi bagi
sebuah kekuasaan. Artinya pemilu merupakan roh demokrasi yang benar-benar
merupakan sarana pemberian mandat kedaulatan rakyat.
Menurut Mulkan ( 1998):
Salah satu syarat suatu negara yang menganut paham demokrasi adalah
adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin negara
dengan diadakannya pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan
sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan menegakan suatu tatanan
politik yang demokratis. Artinya Pemilu merupakan mekanisme
demokratis untuk melakukan pergantian elit politik. Dari Pemilu ini
diharapkan lahirnya lembaga perwakilan dan pemerintahan yang
demokratis. Salah satu fungsinya adalah sebagai alat penegak atau
penyempurna demokrasi dan bukan sebagai tujuan demokrasi.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum, Pemilihan Umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia negara yang
berdasarkan Pancasila sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indinesia Tahun 1945

Menurut Kristiadi (1996) Pemilihan umum adalah sarana demokrasi untuk
membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah
menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar
memancar kebawah sebagai suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan
rakyat, oleh rakyat.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa
Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Artinya Pemilu
merupakan roh demokrasi yang betul-betul merupakan sarana pemberian mandat
kedaulatan rakyat.

UNIVERSITAS LAMPUNG 25

2.3.

Kerangka Pikir.
Mengacu pada kerangka pemikiran teoritik itu, maka penulis melihat

bahwa walaupun sifat pendekatan yang pertama, kedua dan ketiga berbeda,
namun dalam rangka penelitian tentang perilaku politik khusus bagi pemilih di
Indonesia, masih relevan untuk dipergunakan dalam kajian akademik dan
ketiganya saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk itu, dalam rancangan
penelitian thesis penulis mencoba menggabungkan variabel-variabel tersebut ke
dalam beberapa factor penyebab yang mempengaruhi perilaku pemilih sebagai
berikut:

Faktor Identifikasi Kepartaian, adalah variabel untuk menjelaskan perilaku
pemilih dari aspek hubungan emosional antara responden dan partai politik
tertentu. Dalam masyarakat yang paternalistik kecenderungan identifikasi tokoh
masyarakat dengan partai poltik tertentu akan diikuti oleh anggota masyarakat
yang mengakuinya sebagai tokoh panutannya. Variabel ini menjelaskan pula
bahwa partai politik, yang oleh masyarakat dianggap dekat dengan tokoh
panutannya, cenderung akan didukung dan dipilih pula oleh masyarakat yang
mengakui pimpinan masyarakat sebagai tokoh panutannya.

Faktor Struktur Sosial, yaitu variabel yang ingin menjelaskan apakah
perbedaan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tempat tinggal, struktur umur dapat
mempengaruhi perilaku pemilih secara berbeda-beda pula tergantung pada asal
kelompok si pemilih.

UNIVERSITAS LAMPUNG 26

Isu Kandidat, yaitu berkenaan dengan bobot pribadi yang dapat memunculkan
sebuah harapan baru, misalnya jika si pemimpin tegas dan jujur tentunya akan ada
harapan pemerintahan yang bersih. Demikian pula jika si calon adalah produk dari
hasil penindasan rezim terdahulu akan memunculkan jiwa simpatik dari massa
terhadap peribadi si calon. Dalam isu kandidat ini termasuk juga berbagai peritiwa
yang menimpa si calon misalnya skandal keuangan, perempuan dan juga mungkin
sakndal rumah tangga, akan mempunyai pengaruh terhadap pilihan kepadanya.
Faktor Panutan, yaitu variabel untuk menjelaskan perilaku pemilih berdasarkan
hubungan paternalistik antara anggota masyarakat dan pimpinanya yang secara
operasional dapat dibagi dalam kelompok birokrat, pimpinan agama dan pimpinan
masyarakat lainnya diluar kedua jenis pimpinan tersebut. Proses sosialisasi yang
menanamkan nilai kepatuhan sejak kanak-kanak mengakibatkan seseorang
cenderung mempunyai sikap dan perilaku yang sama dengan sikap dan perilaku
tokoh panutannya, termasuk dalam bidang politik.
Walupun nampaknya variable-variabel tersebut seperti berdiri sendiri,
namun seyogyanya ia merupakan satu kesatuan yang cenderung saling berkaitan
dan pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka penelitian mencoba
melakukan studi lanjutan yang berusaha melengkapi apa yang sudah dilakukan
oleh studi-studi terdahulu dengan menggabungkan berbagai pendekatan yang
telah diungkapkan di atas. Oleh sebab itu, langkah awal penelitian adalah mencari
variabel-variabel

yang

mempengaruhi

perilaku

pemilih

dalam

memilih

Abdurachman Sarbini dan Agus Mardihartono sebagai kepala daerah dan wakil
kepala daerah di kabupaten Tulang Bawang.

UNIVERSITAS LAMPUNG 27

Faktor Identifikasi
Kepartaian

Pilkada

FaktorFaktor yang
Mempengaruhi
Pilihan Masyarakat
Terhadap Pasangan
Calon

Faktor Struktur
Sosial
Faktor Identifikasi
Kepartaian
Faktor
Isu Kandidat

Kemenangan
Pasangan
Calon

Faktor Panutan

Gambar 1. Kerangka Pikir

UNIVERSITAS LAMPUNG 28

Dokumen yang terkait

Analisis Sirkulasi Udara Pada Tanaman Kopi Berdasarkan Faktor Tanaman Pelindung dan Pola Tanam Graf Tangga Menggunakan Metode Volume Hingga

0 18 26

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal Penumpang di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010-2014 (Factors That Influence Realization Acceptance Retribution of Passengger Terminal In Banyuwangi 2010-2014)

0 8 5

HUBUN GAN AN TAR A KUA LITAS P ELAYA NA N DA N P ROMOTION MIX (BERD ASARKAN P ERSE P S I P ASIEN) DE NGAN P ROSES P ENGAM BILAN KEP UT USAN P ASIEN DA LAM P EM AN F AA TAN P ELAY AN AN RA WAT INAP DI RSD KAL IS AT

0 36 20

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Identifikasi miskonsepsi siswa dengan menggunakan metode certainty of response index (cri) pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan

3 43 8

Hubungan antara Faktor Lingkungan dan Faktor Sosial Ekonomi dengan Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur Bulan Agustus 2010

2 21 84

Tekanan Darah Sistolik dan Denyut Jantung Sebagai Faktor Prediktor Major Adverse Cardiac Events pada Sindrom Koroner Akut

0 35 62

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Modul TK F edit nuceu 3 mei 2016

24 676 168

Hubungan Kejadian Pneumonia Neonatus dengan Beberapa Faktor Risiko di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 2010-2012

0 0 6