Gbpp Kom 666 Kebebasan Pers

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

Aksi Perlawanan Media Massa Terhadap Rezim Otoriter di Indonesia
Studi Kasus: Majalah Tempo

FK Bella Septiarani
1121004008

Sistem Politik Indonesia

Ilmu Politik
Universitas Bakrie

1

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani

1121004008

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada masa Orde Baru kebebasan pers sepenuhnya

berada dibawah kontrol pemerintah.

Meskipun saat itu Indonesia menganut sistem demokrasi, yaitu demokrasi pancasila, namun
dalam pengimplikasiannya sangat jauh dari konsep dasar kerakyatan. Pemerintahan yang represif
mengekang semua media pemberitaan. Pers pada masa orde baru tak lagi dapat menjalankan
tugasnya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Walaupun dalam
undang-undang tentang Pers telah dicantumkan mengenai keterbukaan dan kebebasan, namun
pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu oleh rezim otoriter. Dapat dikatakan, pers pada
masa Orde Baru bersifat semu, bias dan tak bernyawa, meskipun dalam payung hukum
kebebasan bersuara, berekspresi, ratifikasi hukum internasional dan UU Pers

mengizinkan


adanya kebebasan pers. Kenyataannya banyak kantor media massa yang dibredel atau dilarang
untuk terbit. Pemerintah memaksa pemilik media untuk menandatangani perjanjian yang berisi
bahwa media tidak akan mengkritik bisnis keluarga para elit serta pemerintahan yang sedang
berjalan. Selain sebagai instrumen pembangunan yang memelihara ketertiban, harmoni dan
keamanan, pers kala itu juga dialih fungsikan sebagai alat untuk pencitraan pemerintahan
Soeharto dalam rangka melanggengkan kekuasaannya.
Dilain sisi, pers tidak mau hanya diam dan terus mengikuti permainan politik Orde baru.
Sehingga banyak media massa yang memberontak melalui tulisan-tulisan yang mengkritik
pemerintah, bahkan banyak pula yang membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya
pada tahun 1994 banyak media yang dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor Kompas,
Merdeka, Sinar Harapan, Pelita dan lain-lain. Namun majalah Tempo menjadi satu-satunya
media massa yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru. Majalah tempo sendiri
telah dibredel dua kali selama rezim orde baru, yakni tahun 1982 dan 1994. Melalui tulisantulisannya yang berisi kritik terhadap pemerintahan, akhirnya Tempo boleh terbit kembali setelah
jatuhnya Orde baru dan membuka gerbang kemerdekaan pers serta demokrasi di Indonesia.

2

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani

1121004008

1.2 Pemetaan masalah
Berdasarkan topik yang diangkat, yaitu tentang “Demokrasi dan Media Massa” ada beberapa
hal yang akan dibahas dalam penelitian ini, antaralain sebagai berikut.
a. Bagaimana kontrol pemerintah terhadap media massa pada orde baru?
b. Bagaimana perlawanan majalah Tempo terhadap kebebasan pers serta dampaknya pasca
orde baru?
1.3 Kajian teori
Media massa adalah wadah yang menampung kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pers
sebagai bagian dari media massa berhak memiliki kebebasan untuk berekspresi dan
berpendapat.1 Ada dua arah bentuk kebebasan pers menurut Ashadi Siregar. Pertama, yaitu
kebebasan warga negara untuk mendapatkan informasi publik serta kebebasan warga
menyatakan pendapat tentang masalah publik, dan kedua, yaitu kebebasan media pers untuk
mencari dan menyampaikan informasi publik.2
Media massa tentunya memiliki beberapa pengaruh terhadap public. Sebagaimana teori pengaruh
media massa yang dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jan W van Deth, media massa di
Indonesia pada masa orde baru mempengaruhi public dengan teori agenda setting. Dimana
dalam teori ini media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang dipikrikan masyarkat.
Dalam hal


ini media dapat memiliki agenda sendiri dalam penyajian berita baik terhadap

masyarakat ataupun pemerintah.3
Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik berkaitan dengan corak politik pada
Negara itu. Sebagaimana Sibert Peterson, dan Schramm mengelompokan pers dalam beberapa
system. Dan system yang diterapkan pada orde baru saat itu adalah system pers otoriter. Teori ini
hampir secara otomatis dipakai disemua Negara. Teori ini membentuk dasar bagi system-sistem
pers di berbagai kalangan masyarakat modern.4 Media dan system pers seperti ini berfungsi
1

Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru. Kencana: Jakarta
2
Mallaranggeng, Rizal. (2010) Pers Orde Baru. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta
3
Marijan, Kacung. op.cit
4
Siebert, Peterson, dan Schramm. (1986) Empat Teori Pers. Intermega: Jakarta


3

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

menunjang Negara. Konsekuensinya, pemerintah menguasai secara langsung dan mengawasi
kegiatan di media massa. Sehingga media secara penuh bergantung pada penguasa (pemerintah). 5
Pada orde baru media massa justru berfungsi sebagai alat penyampaian pada masyarakat
program-program pembangunan nasional.6
Dalam dunia pers pengendalian komunikasi politik yang tak pasti terdapat dalam konsep
kebebasan pers yang bertanggung jawab. Seperti dalam UU No. 11 tahun 1966 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang kemudian ditambah atau diubah dengan Undang-Undang
No. 4 tahun 1967 dan diubah lagi dengan UU No. 21 tahun 1982, kebebasan pers yang
bertanggung jawab itu terdapat dalam, Bab II, yang berisi Pasal 2 sampai pasal 5, mengenai
Tugas, Fungsi, Hak dan Kewajiban Pers.
Dalam pasal 2 ayat 2 yang mengandung kewajiban pers nasional, antara lain terdapat kewajiban
mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Di samping itu pers nasional juga berkewajiban memperjuangkan amanat

penderitaan rakyat berlandaskan Demokarasi Pancasila. Ia juga berkewajiban memperjuangkan
kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers.
Pada Pasal 3 dalam UU No. 11 tahun 1966 berbunyi: Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan
koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif. Sedangkan dalam UU No. 21 tahun 1982 berubah
menjadi: Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan kritik yang bersifat konstruktif. Hilangnya kata
korektif dengan sendirinya mempersempit ruang gerak kebebasan pers.7
Pasal 5 yang mengandung ketentuan mengenai kebebasan pers tidak mengalami perubahan. Ayat
2 dari pasal itu menyebutkan bahwa kebebasan pers ini didasarkan atas tanggung jawab nasional
dan pelaksanaan pasal 2 dan 3 undang-undang ini. Tanggung jawab nasional juga memiliki
makna yang luas dan abstrak dan tidak jelas.

5

Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru. Kencana: Jakarta
6

Depari, Eduard dkk. (1978) Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan,
Suatu Kumpulan Karangan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
7

Gandhi, L.M (1985) Undang-Undang Pokok Pers – Proses Pembentukan dan
Penjelasannya. Rajawali Press: Jakarta,

4

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

1.5 Hipotesa
Dibawah rezim orde baru, media massa harus berada di bawah kontrol pemerintah yang mana
media massa dilarang memberitakan dan mengeluarkan pendapat negative terhadap
pemerintahan. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita dan informasi tanpa SIT
dan SIUPP yang diberikan oleh pemerintah.
Segala penerbitan di media massa yang berada dalam pengawasan pemerintah ini di pegang oleh
departemen penerangan. Bila ingin tetap terbit, media massa harus memberitakan hal-hal yang
baik tentang pemerintahan orde baru. Pembredelan beberapa majalah dan surat kabar pun
menjadi salah satu bukti kontrol pemerintah terhadap media massa. Pers seakan-akan dijadikan
alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi

yang sesungguhnya.
Namun beberapa majalah dan surat kabar yang tidak setuju dengan kontrol pemerintah ini
melakukan perlawanan dengan tetap memberitakan semua yang terjadi termasuk kritik dan berita
miring seputar pemerintahan. Hal ini berdampak dengan di bredelnya media tersebut termasuk
majalah Tempo yang dua kali di bredel, yakni pada tahun 1982 dan 1994. Namun perlawanannya
terhadap pemerintah justru mendapatkan hasil yang baik. Pada tahun 1998 terjadi revolusi Mei
yang membuat Soeharto mundur dan terbukanya kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.
1.6 Metode Penelitian
Dalam menganalisa kasus ini data yang digunakan adalah data sekunder dengan teknik
pengumpulan data kualitatif-eksplanatif yang diperoleh dengan menggunakan studi kepustakaan.
Metode yang akan digunakan adalah melalui studi literatur dan sumber-sumber yang didapat
melalui buku-buku, jurnal, web ataupun situs surat kabar elektronik yang memiliki relevansi
dengan masalah yang dianalisa dalam kasus ini.

BAB II

5

Sistem Politik Indonesia


FK Bella Septiarani
1121004008

2.1 Kebebasan pers masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam
berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang
diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu
harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya,
dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangaan
ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang
seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers
mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan beritaberita miring seputar pemerintah.
Media massa selama Orde Baru jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan public sphere.
Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan Orde Baru, dengan kecenderungan kuat ke arah
pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan berbagai kawasan publik dalam posisi
di hadapan penguasa negara. Pers difungsikan sebagau aparatus ideologi negara, berpasangan
dengan aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompok political thugs.
Sistem pers otoriter yang berjalan pada orde baru ini memaksa media massa tunduk dan
menunjang pemerintah. Sistem ini sangat jelas terjadi di Indonesia pada masa itu. Apalagi
pemerintah benar-benar mengambil kendali dalam media massa. Buktinya, pada jaman orde baru

model kepemimpinan yang digunakan Soeharto yang memang otoriter memberantas kebebasan
masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan
pers, karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi
pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada umumnya bersifat kontradiktif dengan
logika pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian menekannya dengan pers, karena
pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.
Dalam UU No 11/1966, ayat 8, dikatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak
mempublikasikan pers sesuai dengan esensi Demokrasi pancasila. Untuk hal ini tidak diperlukan
SIT (surat izin terbit). Namun ayat 20 membuat pernyataan tersebut batal. Ayat 20 menyatakan
6

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

bahwa selama masa transisi, kewajiban memiliki SIT tetap berlaku, sampai pemerintah dan DPR
membuat aturan baru. Dalam pembatalan undang-undang tersebut, dapat dilihat bahwa hak
setiap warga Negara untuk mempublikasikan pers tidak sesui dengan sistem pemerintahan yang
saat itu kita anut, yaitu demokrasi pancasila. Kenyataannya, hak mempublikasikan pers hanya

dimiliki oleh warga negara yang memiliki SIT. Sementara itu yang memberikan SIT adalah
pemerintah. Dalam perspektif Negara demokrasi, implikasi dari kebijakan ini dinilai rancu, sebab
jika SIT diberikan oleh pemerintah, maka akan ada kecenderungan dari pihak pemerintah itu
sendiri untuk memanfaatkan keberadaan pers, yaitu demi pencitraan

rezim yang sedang

berlangsung.
Keharusan memiliki SIT kemudian dihapus oleh UU No 21/1982. UU yang baru ini
memperkenalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). SIUPP merupakan bentuk lain dari
kekuasaan negara atas media pers di tanah air. Dalam prakteknya, dibawah SIT ataupun SIUPP,
sudah banyak terjadi penyetopan terbit media massa, yang dilakukan pihak eksekutif, tanpa
melalui sidang pengadilan. Kesalahan pihak media dengan demikian tidak dibuktikan di
pengadilan. Pihak media tidak diberikan hak untuk membela diri. Hukum pers tidak memberikan
perlindungan yang meyakinkan bagi pers itu sendiri, tapi justru membelenggu lantaran adanya
ketidakpastian tersebut. Belum lagi ketika konsep surat izin terbit berubah menjadi Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dikatakan dalam undang-undang berikutnya (nomor 21 tahun
1982), tak ada pencabutan SIT, nyatanya ada pers yang tak bisa terbit lagi. Dalihnya berganti:
SIUPP-nya yang dicabut, bukan SIT-nya. Begitulah logika yang diterapkan oleh Orde Baru pada
persnya. Sayangnya, sebagian besar pers percaya, atau paling tidak dipaksa percaya.
Ketatnya pengawasan orde baru dalam hal pengawasan atas pers demi mengantisipassi apabila
pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga
fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan
transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik
atau pun sosial.
Disini media massa dituntut untuk mempengaruhi publik dengan melakukan agenda setting.
Media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang dipikirkan masyarakat. Semua harus
berdasarkan kontrol pemerintah. Dalam hal ini media dapat memiliki agenda sendiri dalam
7

Sistem Politik Indonesia

penyajian berita baik terhadap masyarakat.8

FK Bella Septiarani
1121004008

Seperti pada rezimnya, media massa tidak

memberitakan apa yang ada dibalik pembangunan yang dicanangkan oleh Soeharto, melainkan
media massa mengalihkannya dengan memberitakan segala kebaikan Soeharto pada masa itu.
Kehidupan pers pada waktu itu sangatlah memprihatinkan karena berada dalam pasungan.
Lembaga media yang ada pada umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan
kreasinya dalam mengangkat suatu realitas, terlebih lagi pemerintah melakukan fungsi kontrol
terhadap jalannya pemerintahan. Oleh karena tidak diberikan keleluasaan maka sistem
pemerintahan berjalan menurut kemauan penguasa. Keadaan merupakan konflik interen yang
dalam skala tertentu dapat menyebabkan semacam ledakan apabila hal tersebut terakumulasi
secara sistimatik. Dengan demikian yang namanya kebenaran hanya dimiliki oleh penguasa.
2.2 Pembredelan Majalah Tempo pada masa Orde Baru mencerminkan control Negara
terhadap media massa
Tempo adalah majalah berita mingguan yang paling ditunggu di Indonesia. Pemimpin Editornya
adalah Gunawan Mohammad seorang panyair dan intelektual terkemuka di Indonesia.
Pemerintah Orde Baru selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam
pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan
juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo
terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah
menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang
terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”.
Pada 12 April 1982, Tempo dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang
dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah melanggar kode
etik pers karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Ide pembredelan itu sendiri
datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko,
wartawan harian Pos Kota.9 Saat itu Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan
Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar,
tidak suka dengan berita tersebut. Pada 7 Juni 1982, pembredelan Tempo dicabut setelah
8

Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi PascaOrde Baru. Kencana: Jakarta
9
Tim Alumni. (1998) Kasus Pencabutan SIUPP Tempo. Alumni: Bandung

8

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

Goenawan membubuhkan tanda tangan di secarik kertas. Secarik kertas itu berisi permintaan
maaf Tempo dan kesediaan untuk dibina oleh pemerintah. Waktu itu, Goenawan tidak punya
pilihan lain memang.10
Pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama beberapa majalah lain yaitu Editor dan
Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman
Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa
otoritasnya dilangkahi. Namun, berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran, karena penyebab
dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu.11
Aksi perlawanan tersebut tersebut dilakukan Tempo karena Tempo ingin menentang adanya
kontrol pemerintah pada media massa dan ingin mengembalikan kembali fungsi media massa
sebagai wadah untuk bebas berekspresi dan berpendapat. 12 Meskipun keberaniannya melawan
pemerintah membuat Tempo semakin mendapat tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah
berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah berkali-kali
mendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi
pembredelan itu.
Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari
riwayat Tempo. Untuk tetap mengudara, Tempo menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik
dan strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi
pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk
menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang dating
bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan
kebenaran kepada masyarakat.
Selain itu, wartawan Tempo juga aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo
Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini
membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada
zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah
10

Laporan Tahunan PT Tempo Inti Media Tbk. 2010
Ibid.
12
Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi PascaOrde Baru. Kencana: Jakarta
11

9

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

jatuhnya Orde Baru. Walau pun dibredel, Tempo punya cara sendiri untuk tetap eksis dan
menyapa pembacanya. Pada 1996, Tempo meluncurkan majalah digital pertama di Indonesia:
Tempo Interaktif, melalui situs www.tempo.co.id. Karena beredar di dunia maya, majalah ini
lolos dari jangkauan pembredelan.
Lepas dari pembredelan tersebut, muncul pelbagai reaksi dari masyarakat, para jurnalis muda,
dan pihak Tempo sendiri. Ada perlawanan menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara, jurnalis
muda mengecam sikap Departemen Penerangan, juga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
yang mendukung pembredelan. Belakangan sejumlah wartawan muda ini mendirikan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) sebagai bentuk perlawanan atas kontrol informasi dan kontrol
organisasi wartawan di tangan pemerintah. Selain itu, demonstrasi berbagai kalangan terjadi di
berbagai kota di Indonesia.13 Hal ini justru semakin membuka jalan bagi kebebasan dan
demokrasi di Indonesia. Dimana aksi demonstran yang mencapai puncak dengan aksi mahasiswa
yang dikenal dengan “Revolusi Mei” berhasil menjatuhkan rezim orde baru.
Jatuhnya Presiden Soeharto pada reformasi 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh BJ
Habibie sebagai Presiden memberi angin segar bagi masa depan Tempo. Hal itu terjadi karena
BJ Habibie mencabut pembredelan Tempo dan mengizinkannya untuk terbit kembali.
Perlawanan Tempo dan beberapa majalah serta surat kabar lainnya terhadap kontrol pemerintah
rezim orde baru akhirnya berbuah manis. Tidak hanya mengembalikan kembali fungsi dan
kebebasan pers. Namun juga berpengaruh pada demokrasi di Indonesia. Dimana jatuhnya
pemerintahan Soeharto juga membuka gerbang kebebasan masyarakat Indonesia dalam
berpendapat dan berdemokrasi. Pasca Orde Baru, pers selalu dihubungkan dengan demokrasi.
Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu
indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada
kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka
terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah
tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan
memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang
13

Tempo.com (http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-Tahun-PembredelanMajalah-Tempo) di akses pada 30 Juni 2013.

10

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan
dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.
Tindakan media massa ini sesuai dengan fungsi lain pers dalam masyarakat demokratis yang
berkaitan dengan kenyataan bahwa agar demokrasi dapat berjalan atau menjadi kenyataan hidup
diperlukan hak-hak politik dan kebebasan sipil untuk melindungi kepentingan kelompok
minoritas dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, pers memiliki
fungsi sebagai watchdog yang berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan
baik dalam bidang politik. Ini dilakukan agar mereka bertanggungjawab terhadap segala tindakan
mereka. Dalam kaitan ini, pers dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif
dan yudikatif, yang dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya check and
balances dari berbagai kekuasaan yang ada.14
Dalam peranan yang demikian ini, kedepannya pers harus mampu melahirkan laporan-laporan
investigative untuk menampilkan berbagai penyelewengan kekuasaan yang berlangsung dalam
berbagai lembaga yang ada. Untuk itu, para pekerja pers dituntut agar dapat melakukan peliputan
bukan saja yang berupa peristiwa-peristiwa sesaat dalam bidang politik yang seringkali hanya
menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat permukaan, tetapi juga membuat laporan yang
lebih mendalam tentang berbagai kehidupan para pemegang kekuasaan. Dengan demikian, pers
akan mampu memberi informasi yang berbeda dengan informasi yang mungkin sudah atur oleh
para politisi untuk menjaga citra mereka.

BAB III
14

Putra, I Gusti Ngurah. (2006) Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia. Jurnal
Komunikasi, 3 (2)

11

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesungguhan pers memperjuangkan kebebasan pada orde baru membuat pers harus berhadaphadapan dengan rezim yang otoriter. Namun perbedaan secara nyata yang diperlihatkan oleh
actor orde baru malah membuat pers tidak leluasa menjalankan fungsinya sebagai wadah untuk
mengeluarkan ekspresi dan pendapat. Hal ini terjadi karena pengalihfungsian media massa
menjadi penunjang pemerintah oleh pemerintah demi kepentingan pemerintah sendiri. Media
penghubung komunikasi di era orde baru malah seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk
mempertahankan kekuasaannya sehingga pers tidak menjalankan fungsinya yang dapat menjadi
pembangkit demokrasi dan sebagai pendukung dan pembela masyarakat. Akibatnya, latar
belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai kekuatan dalam sistem politik dan
bahwa pers selama orde baru semakin dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah, hal ini terjadi
akibat kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers. Pemerintahan dan sistem pers yang
otoriter pada masa Orde Baru itu mendapatkan protes dan perlawanan dari beberapa media
massa.
Meski harus berkali-kali ditekan oleh pemerintah, media massa seperti Tempo tetap berjuang
keras demi mendapatkan kebebasan pers. Karena kebebasan pers merupakan cerminan
demokrasi di suatu Negara. Namun rezim otoriter Soeharto kebebasan berpendapat tak dapat
dirasakan penuh oleh massyarakat dan media massa sehingga demokrasi pancasila pada saat itu
hanyalah label semata. Hal inilah yang diperjuangkan oleh media massa demi mewudujkan
kebebasan dan demokrasi di Indonesia.
Ditengah tekanan dan kendala yang menimpa media massa kala pemerintahan Soeharto, media
massa terus berusaha lepas dari ikatan rezim otoriter dengan berbagai cara. Sehingga akhirnya
usaha pers melakukan perlawanan terhadap rezim tersebut berhasil dan membuktikan bahwa
pers mampu mewujudkan demokrasi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
12

Sistem Politik Indonesia

FK Bella Septiarani
1121004008

Depari, Eduard dkk. (1978) Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan, Suatu
Kumpulan

Karangan,

Gadjah

Mada University

Press: Yogyakarta

Gandhi, L.M (1985) Undang-Undang Pokok Pers – Proses Pembentukan dan Penjelasannya.
Rajawali Press: Jakarta
Imawan, Riswandha. (19980 Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laporan Tahunan PT Tempo Inti Media Tbk. 2010
Nazaruddin. (1974) Kumpulan Peraturan-Peraturan dan Perundang-undangan Mengenai
Pers, Radio, Film dan Televisi. Erlangga: Jakarta
Mallaranggeng, Rizal. (2010) Pers Orde Baru. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta
Marijan, Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru.
Kencana: Jakarta
Putra, I Gusti Ngurah. (2006) Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia. Jurnal Komunikasi, 3(2)
Siebert, Peterson, dan Schramm. (1986) Empat Teori Pers. Intermega: Jakarta
Tempo.com

(Online)

(http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-Tahun-

Pembredelan-Majalah-Tempo) di akses pada 30 Juni 2013.
Tim Alumni. (1998) Kasus Pencabutan SIUPP Tempo. Alumni: Bandung

13